Diabetes melitus 2

 








intensity). 

8. Pencegahan primer kejadian kardiovaskular pada pasien disertai faktor risiko 

kardiovaskular multipel menggunakan terapi statin intensitas tinggi (high 

intensity). 

9. Pencegahan sekunder kejadian kardiovaskular menggunakan terapi statin 

intensitas tinggi (high intensity).

10. Pada pasien DM dengan kadar trigliserida tinggi (t 150 mg/dL) dan/atau 

kolesterol HDL rendah (< 40 mg/dL untuk pria, < 50 mg/dL untuk wanita) harus dilakukan intensifikasi terapi gaya hidup dan mengoptimalkan kontrol 

glikemik. (C)


Sasaran terapi:

o Pada pasien DM, target utamanya adalah penurunan LDL.

o Target LDL < 100 mg/dL pada pasien diabetes tanpa disertai penyakit 

kardiovaskular (kelompok risiko tinggi). (B)

o Target LDL < 70 mg/dL pada diabetes risiko kardiovaskuler multipel (kelompok 

risiko sangat tinggi). (C)

o Target LDL < 55 mg/dL pada diabetes yang disertai dengan penyakit 

kardiovaskular (kelompok risiko ekstrim). (B)

o Bila LDL tetap t 70 mg/dL meskipun sudah mendapat terapi statin dosis optimal

yang dapat ditoleransi, pertimbangkan pemberian terapi tambahan dengan 

ezetimibe. (A)

o Bila kadar trigliserida mencapai ш 500 mg/dL perlu segera diturunkan dengan 

terapi fibrat untuk mencegah timbulnya pankreatitis.

o Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontraindikasi (B).

III.3.2. Hipertensi 

1. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan setiap kali kunjungan pasien ke 

poliklinik. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dalam beberapa kali 

pemeriksaan dan pada hari berbeda terdapat peningkatan tekanan darah t

140/90 mmHg.(B)


2. Sasaran tekanan darah:

ƒ Target pengobatan pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi tanpa 

disertai penyakit kardiovaskular aterosklerotik atau risiko kejadian 

kardiovaskular aterosklerotik 10 tahun ke depan < 15%, adalah tekanan 

darah sistolik < 140 mmHg dan dan tekanan darah diatolik < 90 mmHg. (A)

ƒ Pada pasien dengan risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik 10 tahun 

ke depan >15%, harus mencapai target tekanan darah sistolik <130 mmHg 

dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg. (C) 

ƒ Pada wanita hamil dengan diabetes, dan sebelumnya menderita 

hipertensi dan sudah mendapat terapi antihipertensi maka target tekanan 

darah adalah 120 - 160/80 ʹ 105 mmHg untuk mengoptimalisasi 

kesehatan ibu dan mengurangi risiko gangguan pertumbuhan janin. (E)

3. Pengelolaan :

ƒ Non ʹ farmakologis :

Pada pasien dengan tekanan darah >120/80 mmHg diharuskan melakukan 

perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dengan cara menurunkan 

berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan 

alkohol serta mengurangi konsumsi garam (< 2300 mg/hari), 

meningkatkan konsumsi buah dan sayuran (8 - 10 porsi per hari), produk 

dairy low-fat (2 -3 porsi per hari).

ƒ Farmakologis :

a. Pemberian terapi obat antihipertensi harus mempertimbangkan 

proteksi terhadap kardiorenal, efek samping obat dan kebutuhan 

pasien. (C)

b. Pasien dengan tekanan darah t 140/90 mmHg dapat diberikan terapi 

farmakologis secara langsung. Umumnya cukup dengan pemberian 

monoterapi, namun bila target terapi tidak tercapai dapat diberikan 

terapi kombinasi.

c. Pada pasien dengan tekanan darah darah t 160/100 mmHg maka 

langsung diberikan terapi antihipertensi kombinasi. 

d. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah 

tercapai. Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun 

pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada 

orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan :

ƒ Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE inhibitor/ACE-i)

ƒ Penyekat reseptor angiotensin II/Angiotensin Receptor Blockers (ARB)

ƒ Antagonis kalsium 

ƒ Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah 

ƒ Diuretik dosis rendah 

Catatan :

ƒ Penghambat ACE atau ARB dengan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, sebagai pilihan pertama 

pada pasien DM dengan hipertensi disertai albuminuria (albumin to creatinin ratio t 300 mg/g (A), < 

300 mg/g (B)). 

ƒ Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.

ƒ Kombinasi penghambat ACE (ACE-I) dengan ARB tidak dianjurkan.

ƒ Pemberian diuretik Hydrochlorothiazide (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti 

memperburuk toleransi glukosa.

ƒ Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.

ƒ Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis 

secara bertahap.

ƒ Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.

III.3.3. Obesitas 

1. Prevalansi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula sebaliknya kejadian 

DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas sering dijumpai.

2. Obesitas, terutama obesitas sentral berhubungan secara bermakna dengan 

sindroma metabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi) yang didasari 

oleh resistensi insulin.

3. Resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas membutuhkan pendekatan 

khusus.

4. Tujuan penatalaksanaan obesitas tidak hanya semata ʹ mata untuk 

menurunkan berat badan, tapi juga untuk menurunkan glukosa darah, 

memperbaiki profil lipid, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi 

tekanan mekanis pada ekstremitas bawah yaitu pinggul dan lutut.

Berdasarkan hal tersebut, maka American Association of Clinical 

Endocrinologists(AACE) dan American College of Endocrinology (ACE) membagi 

menjadi 3 kelompok obesitas, yaitu:

I.Tahap 0 (IMT tinggi tanpa komplikasi obesitas)II.Tahap 1 (IMT tinggi disertai dengan 1 atau 2 komplikasi obesitas ringan 

hingga sedang)

III.Tahap 2 (IMT tinggi disertai dengan ш 1 komplikasi obesitas yang berat, atau 

> 2 komplikasi obesitas ringan hingga sedang)

5. Penurunan berat badan 5 ʹ 10% sudah memberikan hasil yang baik.

6. Pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas harus dilakukan terapi nutrisi medis, 

aktivitas fisik dan perubahan perilaku untuk mencapai dan mempertahankan 

penurunan berat badan sebanyak >5%. Intervensi dilakukan dengan intensitas 

tinggi (sebanyak 16 sesi selama 6 bulan) disertai dengan diet yang sesuai untuk 

mencapai penurunan kalori 500 -750 kkal/hari. (A)

7. Diet harus bersifat individual, yaitu dengan pembatasan kalori tetapi terdapat 

perbedaan dalam komposisi karbohidrat, lemak dan protein yang bertujuan 

untuk mencapai penurunan berat badan. (A) Bila akan dilakukan penurunan 

berat badan >5% dalam jangka waktu yang pendek (3 bulan) maka dapat 

diberikan asupan kalori yang sangat rendah (ч 800 kkal/hari), namun harus 

dilakukan pengawasan medis yang ketat oleh tenaga terlatih. (B)

8. Pemilihan terapi DM pada pasien obesitas harus mempertimbangkan efek obat 

terhadap peningkatan berat badan. 

III.3.4 Gangguan Koagulasi 

1. Terapi aspirin 75 ʹ 162 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan 

primer kejadian kardiovaskular pada pasien DM dengan faktor risiko 

kardiovaskular (risiko kardiovaskular dalam 10 tahun mendatang > 10%). 

Termasuk pada laki-laki usia > 50 tahun atau perempuan usia > 60 tahun yang 

memiliki tambahan paling sedikit satu faktor risiko mayor (riwayat penyakit 

kardiovaskular dalam keluarga, hipertensi, merokok, dislipidemia, atau 

albuminuria) (C).

2. Terapi aspirin 75 ʹ 162 mg/hari perlu diberikan sebagai strategi pencegahan 

sekunder kejadian kardiovaskular bagi pasien DM dengan riwayat pernah 

mengalami penyakit kardiovaskular (A).

3. Aspirin dianjurkan tidak diberikan pada pasien dengan usia di bawah 21 

tahun, seiring dengan peningkatan kejadian sindrom Reye.

4. Terapi kombinasi antiplatelet (aspirin dan clopidogrel) diberikan sampai satu 

tahun setelah kejadian sindrom koroner akut (A).5. Clopidogrel 75 mg/hari dapat digunakan sebagai pengganti aspirin pada 

pasien yang mempunyai alergi dan atau kontraindikasi terhadap penggunaan 

aspirin (B).

III.4 Penyulit Diabetes Melitus

III.4.1. Penyulit Akut

1. Krisis Hiperglikemia

ƒ Ketoasidosis Diabetik (KAD) 

Komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah 

yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma 

keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300 - 320 mOs/mL) dan 

peningkatan anion gap.

ƒ Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (>600 

mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat 

meningkat (>320 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau 

sedikit meningkat. 

Catatan: Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang 

tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang 

memadai.

2. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dL. 

Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau 

tanpa adanya tanda dan gejala sistem autonom, seperti adanya whipple͛s 

triad:

o Terdapat gejala-gejala hipoglikemia

o Kadar glukosa darah yang rendah

o Gejala berkurang dengan pengobatan.

Sebagian pasien dengan DM dapat menunjukkan tanda dan gejala glukosa 

darah rendah tetapi pemeriksaan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, 

tidak semua pasien DM mengalami tanda dan gejala hipoglikemia meskipun 

pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran 

yang terjadi pada pasien DM harus selalu dipikirkan kemungkinan 

disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh 

penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi 

dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus 

dilakukan selama 24 - 72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal 

kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang. 

Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, 

mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental yang 

bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering 

lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Pasien dengan 

risiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan hipoglikemia 

simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan (C)

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat 

keparahannya, yaitu :

o Hipoglikemia ringan : pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk 

pemberian glukosa per-oral.

o Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk 

pemberian glukosa intravena, glukagon, atau resusitasi lainnya.

Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain:

ƒ Kendali glikemik terlalu ketat

ƒ Hipoglikemia berulang

ƒ Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun 

terdiagnosis DMT1

ƒ Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol 

responses

ƒ Neuropati autonom

ƒ Tidak menyadari hipoglikemia

ƒ End Stage Renal Disease (ESRD)

ƒ Tumor penghasil IGF-2 seperti insulinoma dan NICTH (Non Islet Cell Tumor 

Hypoglycemia) berupa karsinoma hepatoseluler, tumor Phylloides, GIST 

(Gastro Intestinal Stromal Tumor), mesothelioma, hemangioperisitoma, 

adenokarsinoma, sarkoma, tumor renal, tumor korteks ginjal dan tumor 

tiroid. 

ƒ Malnutrisi

ƒ Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:

Pengobatan pada hipoglikemia ringan:

1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana).

2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain 

yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah. (E)

3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikan 

glukosa darah.

4. Glukosa 15 ʹ 20 g (2 ʹ 3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan dalam air 

adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar (E)

5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 

menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 

menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada (glukosa serum 

<70 mg/dL), pengobatan dapat diulang kembali. (E)

6. Jika hipoglikemia menetap setelah 45 menit atau 3 siklus pengananan 

sesuai dengan poin 4 maka diperlukan pemberikan cairan glukosa yaitu 

infus dextrose 10% sebanyak 150 ʹ 200 mL dalam waktu 15 menit. 

7. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal

(glukosa serum >70 mg/dL), pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi makanan ringan untuk mencegah berulangnya 

hipoglikemia. (E)

Pengobatan pada hipoglikemia berat :

1. Hentikan obat ʹ obat antidiabetes. Jika pasien menggunakan insulin, maka 

perlu dilakukan penyesuaian dosis. 

2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa 

pemberian intravena dextrose 20% sebanyak 75 ʹ 100 mL dalam waktu 15 

menit. 

3. Periksa glukosa darah tiap 10 ʹ 15 menit setelah pemberian i.v tersebut 

dengan target t 70 mg/dL. Bila target belum tercapai maka prosedur dapat 

diulang.

4. Jika glukosa darah sudah mencapai target, maka pemeliharaannya 

diberikan dextrose 10% dengan kecepatan 100 mL/jam (hati ʹ hati pada 

pasien dengan gangguan ginjal dan jantung) hingga pasien mampu untuk 

makan. 

5. Pemberian glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan sebagai alternatif 

lain terapi hipoglikemia jika akses intravena sulit dicapai (hati ʹ hati pada 

pasien malnutrisi kronik, penyalahgunaan alkohol, dan penyakit hati berat). 

6. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia. Jika hipoglikemia 

disebabkan oleh regimen SU atau insulin kerja panjang maka hati ʹ hati 

hipoglikemia dapat bertahan dalam kurun waktu 24 ʹ 36 jam (E)

Pencegahan hipoglikemia:

1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemia, penanganan 

sementara, dan hal lain harus dilakukan.

2. Anjurkan melakukan PGDM, khususnya bagi pengguna insulin atau obat oral 

golongan insulin sekretagog.

3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, 

tentang: dosis, waktu megkonsumsi, efek samping.

4. Bagi dokter yang menghadapi pasien DM dengan kejadian hipoglikemia 

perlu melalukan: 

o Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien.

o Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan 

melakukan program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek 

seperti: jadwal makan, kegiatan oleh raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang mungkin berpengaruh 

terhadap glukosa darah.

o Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan 

menimbulkan hipoglikemia.

III.4.2. Penyulit Menahun

1. Makroangiopati

ƒ Pembuluh darah otak : stroke

ƒ Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner

ƒ Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada 

pasien DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri 

pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio 

intermittent), Namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik 

pada kaki merupakan kelainan lain yang dapat ditemukan pada pasien 

DM. 

ƒ Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik

2. Mikroangiopati

a. Retinopati Diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko 

atau memperlambat progresi retinopati (A). Terapi aspirin tidak 

mencegah timbulnya retinopati.

b. Nefropati Diabetik

ƒ Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi 

risiko atau memperlambat progresifitas nefropati (A).

ƒ Untuk pasien penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan protein 

sampai di bawah 0.8 g/kgBB/hari tidak direkomendasikan karena 

tidak memperbaiki risiko kardiovaskular dan menurunkan LFG

ginjal (A).

c. Neuropati 

ƒ Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor 

penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang 

meningkatkan risiko amputasi.

ƒ Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan 

bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.

ƒ Setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal 

yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi 

sederhana (menggunakan monofilamen 10 gram). Pemeriksaan ini 

kemudian diulang paling sedikit setiap tahun. (B)

ƒ Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki 

yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan 

amputasi.

ƒ Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau 

pregabalin dapat mengurangi rasa sakit.

ƒ Semua pasien DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan 

edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

ƒ Untuk pengelolaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama 

dengan bidang/disiplin ilmu lain.

d. Kardiomiopati 

ƒ Pasien DM Tipe 2 memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk 

terjadinya gagal jantung dibandingkan pada non-diabetes. 

ƒ Diagnosis kardiomiopati diabetik harus dipastikan terlebih dahulu 

bahwa etiologinya tidak ada berkaitan dengan adanya hipertensi, 

kelainan katup jantung, dan penyakit jantung koroner. 

ƒ Pada pasien diabetes disertai dengan gagal jantung, pilihan terapi 

yang disarankan adalah golongan penghambat SGLT-2 atau GLP-1

RA. 

III.5. Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

III.5.1. Pencegahan Primer Terhadap Diabetes Melitus Tipe 2

Sasaran pencegahan primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki 

faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk menderita 

DM tipe 2 dan intoleransi glukosa.

Faktor Risiko Diabetes Melitus

Faktor risiko DM Tipe 2 sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :

A. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi

ƒ Ras dan etnik 

ƒ Riwayat keluarga dengan DM Tipe 2

ƒ Umur: risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 40 tahun harus dilakukan skrining DM Tipe 2. 

ƒ Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat 

pernah menderita DM gestasional (DMG).

ƒ Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang 

lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding 

dengan bayi yang lahir dengan BB normal.

B. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi 

ƒ Beraƚ badan lebih ;IMT ш Ϯϯ kgͬm2

).

ƒ Kurangnya aktivitas fisik

ƒ Hipertensi (> 140/90 mmHg)

ƒ Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan/atau trigliserida > 250 mg/dL)

ƒ Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah 

serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi 

glukosa dan DM tipe 2.

C. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM Tipe 2. 

ƒ Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat TGT atau GDPT 

sebelumnya.

ƒ Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, 

atau PAD 

Identifikasi dan pemeriksaan penyaring kelompok risiko tinggi DM Tipe 2 dan 

prediabetes dapat dilihat pada poin Diagnosis di Bab 3 Pengelolaan DM tipe 2. 

Pencegahan primer DM tipe 2 dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan 

pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko 

tinggi DM tipe 2 dan intoleransi glukosa. 

Upaya pencegahan dilakukan terutama melalui perubahan gaya hidup. Berbagai 

bukti yang kuat menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup dapat mencegah DM 

tipe 2. Perubahan gaya hidup harus menjadi intervensi awal bagi semua pasien 

terutama kelompok risiko tinggi. Perubahan gaya hidup juga dapat sekaligus 

memperbaiki komponen faktor risiko diabetes dan sindroma metabolik lainnya 

seperti obesitas, hipertensi, dislipidemia dan hiperglikemia. 

Indikator keberhasilan intervensi gaya hidup adalah penurunan berat badan 0,5 - 1 

kg/minggu atau 5 - 7% penurunan berat badan dalam 6 bulan dengan cara mengatur 

pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik. Studi Diabetes Prevention Programme(DPP) menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup yang intensif dapat menurunkan 

58% insiden DM tipe 2 dalam 3 tahun. Tindak lanjut dari DPP Outcome Study

menunjukkan penurunan insiden DM tipe 2 sampai 34% dan 27 % dalam 10 dan 15 

tahun. 

Perubahan gaya hidup yang dianjurkan untuk individu risiko tinggi DM tipe 2 dan 

intoleransi glukosa adalah :

A. Pengaturan pola makan

ƒ Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.

ƒ Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi 

dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak glukosa darah yang 

tinggi setelah makan.

ƒ Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat 

larut.

B. Meningkatkan aktifitas fisik dan latihan jasmani 

ƒ Latihan jasmani yang dianjurkan :

o Latihan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu 

dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50 - 70% denyut 

jantung maksimal) (A), atau 90 menit/minggu dengan latihan 

aerobik berat (mencapai denyut jantung > 70% maksimal).

o Latihan jasmani dibagi menjadi 3 ʹ 4 kali aktivitas/minggu

C. Menghentikan kebiasaan merokok (A) 

D. Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi farmakologis.

Tidak semua individu dengan risiko tinggi dapat menjalankan perubahan gaya hidup 

dan mencapai target penurunan berat badan seperti yang diharapkan, oleh karena 

itu dibutuhkan intervensi lain yaitu dengan penggunaan obat-obatan. Intervensi 

farmakologis untuk pencegahan DM tipe 2 direkomendasikan sebagai intervensi 

sekunder yang diberikan setelah atau bersama-sama dengan intervensi perubahan 

gaya hidup. 

Metformin merupakan obat yang dapat digunakan dalam pencegahan diabetes 

dengan bukti terkuat dan keamanan jangka panjang terbaik. Metformin dapat 

dipertimbangkan pemberiannya pada pasien prediabetes berusia < 60 tahun dengan 

obesitas, atau wanita dengan riwayat diabetes gestasional. Obat lain yang dapat 

dipertimbangkan adalah alfa glukosidase inhibitor (acarbose) yang bekerja dengan 

cara menghambat kerja enzim alfa glukosidase yang mencerna karbohidrat. Berdasarkan studi STOP-NIDDM dalam tindak lanjut selama 3,3 tahun, acarbose 

terbukti menurunkan risiko DM tipe 2 sampai 25% dan risiko penyakit kardiovaskular 

sebesar 49%.

(Pencegahan primer terhadap DM tipe 2 dapat dibaca lengkap pada Buku Panduan 

Pengelolaan Prediabetes dan Pencegahan Diabetes Tipe 2 tahun 2019 yang 

diterbitkan oleh PB PERSADIA)

III.5.2. Pencegahan Sekunder Terhadap Komplikasi Diabetes Melitus

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat 

timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM Tipe 2. Tindakan 

pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa sesuai target 

terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan pemberian 

pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan 

bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak awal pengelolaan 

penyakit DM Tipe 2. Program penyuluhan memegang peran penting untuk 

meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga 

mencapai target terapi yang diharapkan. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan 

pertama dan perlu selalu diulang pada pertemuan berikutnya.

Rekomendasi pemberian vaksinasi pada pasien DM Tipe 2 

CDC Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) merekomendasikan 

beberapa vaksinasi yang dapat diberikan kepada pasien dewasa dengan DM, yaitu 

:

ƒ Vaksinasi Influenza

Influenza merupakan penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya 

mortalitas dan morbiditas pada populasi risiko tinggi seperti pasien DM. 

Vaksinasi influenza yang diberikan pada pasien DM dapat menurunkan

kejadian influenza dan perawatan di rumah sakit akibat infeksi.

ƒ Vaksinasi Hepatitis B 

Pasien DM memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena hepatitis B 

dibandingkan populasi umum. Risiko ini disebabkan karena kontaknya 

darah yang terinfeksi atau peralatan pemantauan glukosa atau jarum yang 

terinfeksi. Vaksin hepatitis B direkomendasikan pada pasien DM berusia < 

60 tahun. Vaksinasi Pneumokokus 

Pasien DM berisiko tinggi terhadap infeksi pneumokokus dan bakteremia 

nosokomial, dengan tingkat mortalitas 50 persen. Vaksinasi pneumokokus 

berguna untuk memberikan perlindingan terhadap pneumonia 

pneumokokal. Vaksin yang direkomendasikan berupa vaksin polisakarida 

pneumokokus valen -23 (PPSV-23). Vaksinasi ini direkomendasikan untuk 

pasien diabetes berusia 2 ʹ 64 tahun. Usia t 65 tahun juga diperbolehkan 

mendapatkan vaksin jenis ini walaupun sudah memiliki riwayat vaksinasi 

pneumokokus sebelumnya. 

ƒ Vaksinasi COVID-19 

Berdasarkan data dari CDC, diketahui bahwa sebagian besar angka 

kematian (40%) infeksi COVID-19 berasal dari pasien dengan DM. 

Berdasarkan data tersebut, CDC merekomendasikan bahwa pasien dengan 

DM diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin COVID-19.

III.5.3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok pasien diabetes yang telah 

mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta 

meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini 

mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap 

dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya 

rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan 

terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama 

yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah 

ortopedi, bedah vaskular, radiologi, kedokteran fisik dan rehabilitasi, gizi, podiatris, 

dan lain-lain.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.Diabetes dengan Infeksi

Infeksi pada pasien diabetes sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa 

darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah 

yang tinggi meningkatkan kerentanan atau memperburuk infeksi. Kadar glukosa 

yang tidak terkendali perlu segera diturunkan, antara lain dengan menggunakan 

insulin, dan setelah infeksi teratasi dapat diberikan kembali pengobatan seperti 

semula.

Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes akibat munculnya 

lingkungan hiperglikemik yang meningkatkan virulensi patogen, menurunkan 

produksi interleukin, menyebabkan terjadinya disfungsi kemotaksis dan aktifitas 

fagositik, serta kerusakan fungsi neutrofil, glukosuria, dan dismotitilitas 

gastrointestinal dan saluran kemih. Sarana untuk pemeriksaan penunjang harus 

lengkap seperti pemeriksaan kultur dan tes resistensi antibiotik.

A. Diabetes dengan tuberkulosis 

Diabetes diasosiasikan dengan peningkatan risiko tuberkulosis (TB) aktif pada 

studi kontrol dan studi kohort, namun belum ada bukti yang kuat yang

mendukung. Penyakit diabetes dapat mempersulit diagnosis dan manajemen TB 

karena terdapat perubahan gambaran klinis penyakit TB dan perlambatan 

periode konversi kultur sputum. Diabetes juga dapat memengaruhi hasil 

pengobatan TB akibat perlambatan reaksi mikrobiologis terhadap obat, 

percepatan perkembangan infeksi, serta peningkatan risiko kematian dan risiko 

TB berulang (relaps). 

Saat ini, prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring dengan peningkatan 

prevalensi pasien DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10 ʹ 15%

dan prevalensi penyakit infeksi ini 2 ʹ 5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes 

dibandingkan dengan yang non-diabetes.

Obat-obatan untuk diabetes dan tuberkulosis dapat berinteraksi sehingga 

menghambat aktifitas satu sama lain. Pasien diabetes yang juga menderita tuberkulosis juga sering mengalami risiko untuk terjadinya hepatitis imbas obat 

(drug induced hepatitis) akibat obat-obat antituberkulosis.

Rekomendasi yang dianjurkan pada diabetes dengan tuberkulosis adalah: 

x Pada pasien dengan DM perlu dilakukan skrining untuk infeksi TB, dan sebaliknya 

pada pasien dengan tuberkulosis perlu dilakukan skrining diabetes. 

x Skrining tuberkulosis yang direkomendasikan adalah penilaian gejala-gejala 

tuberkulosis seperti batuk lebih dari 2 minggu pada setiap pasien DM. Skrining 

lengkap dengan pemeriksaan penunjang belum disarankan karena belum ada 

bukti yang mendukung.

x Pasien DM yang menunjukkan gejala tuberkulosis perlu mendapatkan 

pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan foto dada dan pemeriksaan sputum 

tuberkulosis sebanyak tiga kali untuk menegakkan diagnosis.

x Penatalaksanaan TB pada pasien DM umumnya tidak berbeda dengan pasien TB 

tanpa DM, tidak ada bukti yang mendukung perlunya regimen baru ataupun 

penambahan masa pengobatan. Namun apabila kadar glukosa darah tidak 

terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.

x Pasien dengan TB direkomendasikan untuk mendapatkan skrining diabetes 

dengan pemeriksaan kadar glukosa darah saat diagnosis TB ditegakkan.

x Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas 

obat oral antidiabetik (golongan sulfonilurea) sehingga diperlukan monitoring 

kadar glukosa darah lebih ketat atau diganti dengan anti diabetik lainnya seperti 

insulin yang dapat meregulasi glukosa darah dengan baik tanpa memengaruhi 

efektifitas OAT.

x Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena pasien DM sering mengalami 

komplikasi pada mata. 

x Pemberian isoniazid (INH) dapat menyebabkan neuropati perifer yang dapat 

memperburuk atau menyerupai diabetik neuropati maka sebaiknya diberikan 

suplemen vitamin B6 atau piridoksin selama pengobatan.

B. Diabetes dengan infeksi saluran kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) lebih sering terjadi pada pasien diabetes dan 

diasosiasikan dengan peningkatan komplikasi dan perburukan penyakit. Faktor 

risiko yang meningkatkan terjadinya ISK pada diabetes antara lain: kontrol 

glikemi yang inadekuat, durasi terjadinya DM yang lama, vaginitis berulang, 

ataupun abnormalitas anatomi saluran kemih. Pielonefritis akut lebih sering terjadi 4 ʹ 5 kali lipat lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan pasien non-DM 

dengan manifestasi klinis yang umumnya sama kecuali keterlibatan ginjal 

bilateral pada pasien DM.

C. Diabetes dengan infeksi saluran pernapasan

Infeksi Streptokokus dan virus influenza merupakan infeksi tersering yang 

diasosiasikan dengan diabetes. Rekomendasi dari ADA adalah pemberian 

imunisasi influenza setiap tahun pada semua pasien diabetes yang berusia lebih 

dari 60 tahun.

D. Diabetes dengan infeksi saluran pencernaan

Diabetes sering diasosiasikan dengan peningkatan terjadinya gastritis akibat 

infeksi H. pylori. Meski demikian, belum ada studi yang membuktikan hal 

tersebut. Infeksi hepatitis C tiga kali lebih sering terjadi pada pasien diabetes

dibandingkan non-DM dengan manifestasi yang lebih berat. Infeksi hepatitis B 

dua kali lebih sering terjadi pada pasien diabetes di atas 23 tahun dibandingkan 

non-diabetes.

E. Diabetes dengan infeksi jaringan lunak dan kulit

Infeksi jaringan lunak dan kulit yang sering dialami pasien diabetes adalah 

furunkel, abses dan gangren. Infeksi kulit yang akut seperti selulitis dan abses 

umumnya disebabkan oleh kuman aerob kokus gram positif, tetapi untuk infeksi 

yang sudah lama kuman penyebab biasanya bersifat polimikrobial, yang terdiri 

dari kokus gram negatif, basil gram positif, dan bakteri anaerob.

F. Diabetes dengan infeksi jaringan rongga mulut 

Infeksi pada gigi dan gusi (periodontal) merupakan infeksi tersering ke-6 pada 

pasien DM dan empat kali lebih sering terjadi dibanding non-DM. Keadaan 

penyakit umumnya juga lebih parah dan dapat memengaruhi prognosis penyakit 

DM.

G. Diabetes dengan infeksi telinga

Otitis eksterna maligna umumnya menyerang pasien DM berusia lanjut dan 

sering disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa.H. Diabetes dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Pasien HIV seharusnya dilakukan pemeriksaan glukosa plasma puasa untuk 

mengetahui sudah terjadi prediabetes atau DM tipe 2 sebelum memulai terapi 

antiretroviral (ARV), pada saat terjadi perubahan terapi ARV dan setelah 3 ʹ 6 

bulan setelah terapi ARV diberikan. Bila pada pemeriksaan glukosa puasa normal, 

maka dilakukan pemeriksaan glukosa puasa ulang setiap tahun. (E) Pemeriksaan 

HbA1c terkadang tidak akurat karena nilainya lebih rendah dari yang sebenarnya, 

sehingga tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan skrining ataupun 

pemantauan. Diabetes lebih sering terjadi 4 kali lebih banyak pada pasien HIV 

dibandingkan non-HIV. Risiko diabetes dapat meningkat akibat penggunaan obat 

ARV golongan protease inhibitor (PI) dan nukleosida reverse transcriptase 

inhibitor (NRTI). 

Kejadian DM baru diperkirakan terjadi pada lebih dari 5% pasien HIV yang 

meggunakan golongan protease inhibitor, sedangkan angka kejadian prediabetes 

relatif lebih tinggi yaitu lebih dari 15%. Obat golongan PI ini diduga dapat 

meningkatkan resistensi insulin akibat tingginya kadar sitokin antiinflamasi dan 

menyebabkan apoptosis sel-sel beta pankreas. Obat ARV golongan NRTI juga 

memengaruhi distribusi lemak tubuh, baik berupa lipohipertrofi maupun 

lipoatrofi, yang berkaitan dengan resistensi insulin. Pasien HIV yang mengalami 

hiperglikemia akibat pemberian terapi ARV, perlu dipertimbangkan untuk 

mengganti dengan obat ARV golongan lain yang lebih aman dengan 

memperhatikan kondisi penyakitnya. Terapi obat antidiabetes dapat diberikan 

bila diperlukan.

Pada pasien HIV dengan prediabetes, asupan nutrisi yang sehat dan aktivitas fisik 

yang baik, sangat dianjurkan karena dapat menurunkan risiko untuk menjadi 

diabetes. Penatalaksanaan pada pasien HIV dengan diabetes juga sama dengan 

pasien non-HIV yaitu bertujuan untuk mencegah komplikasi mikrovaskular dan 

makrovaskular.

IV. 2 Kaki Diabetes 

Setiap pasien dengan diabetes perlu dilakukan pemeriksaan komprehensif kaki 

minimal setiap satu tahun meliputi inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis 

dan tibialis posterior, dan pemeriksaan neuropati sensorik.Deteksi dini kelainan kaki pada pasien diabetes dapat dilakukan dengan penilaian 

karakteristik: 

x Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku

x Rambut kaki yang menipis

x Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh, ingrowing nail).

x Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.

x Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang

menonjol.

x Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari

x Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.

x Kaki yang terasa dingin

x Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau kehitaman). 

Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus 

kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang 

meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien. Ulkus 

kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer 

ataupun kombinasi keduanya.

Pemeriksaan neuropati sensorik menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10

g ditambah salah satu dari pemeriksaan garpu tala frekuensi 128 Hz, tes refleks tumit 

dengan palu refleks, tes pinprick dengan jarum, atau tes ambang batas persepsi 

getaran dengan biotensiometer.

Kaki diabetes dapat dibagi menjadi berbagai kelompok, yaitu:

1. Kaki diabetes tanpa ulkus

Pasien kaki diabetes tanpa ulkus perlu mendapatkan edukasi untuk 

mencegah munculnya masalah-masalah kaki diabetes lebih lanjut. 

Beberapa poin edukasi tersebut antara lain adalah:

x Hindari berjalan tanpa alas kaki di dalam ataupun luar ruangan

x Hindari penggunaan sepatu tanpa kaus kaki.

x Tidak disarankan penggunaan zat kimia ataupun plasters untuk 

membuang kalus.

x Inspeksi dan palpasi harian perlu dilakukan pada bagian dalam sepatu.

Jangan menggunakan sepatu ketat atau dengan tepi tajam. 

x Penggunaan minyak dan krim pelembab dapat diberikan pada kulit

kering, tetapi tidak pada sela-sela jari kaki.

x Penggantian kaus kaki setiap hari.

x Hindari penggunaan kaus kaki yang ketat atau setinggi lutut.

x Kuku kaki dipotong tegak lurus.

x Kalus dan kulit yang menonjol harus dipotong di layanan kesehatan,

x Kewaspadaan pasien untuk memastikan kaki diperiksa secara teratur 

oleh penyedia layanan kesehatan.

x Memberitahukan penyedia layanan kesehatan apabil terdapat luka 

pada kaki.

2. Kaki diabetes dengan ulkus

Infeksi pada kaki diabetes merupakan komplikasi yang sering terjadi dan 

dapat memperberat perjalanan penyakit. Klasifikasi kaki diabetes dengan 

ulkus dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria Wagner (Tabel 16) 

atau PEDIS (Tabel 17).


Pengawasan perbaikan luka dengan infeksi dapat dilakukan dengan penilaian 

karakteristik ulkus yaitu ukuran, kedalaman, penampakan, dan lokasi. Ukuran luka 

dapat dinilai dengan teknik planimetri. Klasifikasi infeksi pada kaki diabetes dapat 

ditentukan tanpa pemeriksaan penunjang, yaitu berdasarkan manifestasi klinis, 

yakni


Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin. 

Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah:

x Kendali metabolik (metabolic control):

Pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar 

glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.

x Kendali vaskular (vascular control):

Perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau angioplasti), biasanya 

dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.

x Kendali infeksi (infection control): 

Pengobatan infeksi harus diberikan secara agresif jika terlihat tanda-tanda 

klinis infeksi. Kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap, namun 

tidak disertai tanda-tanda klinis, bukan merupakan infeksi.

x Kendali luka (wound control): 

Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur. Perawatan lokal 

pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME:

o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)

o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)

o Moisture Balance (menjaga keseimbangan kelembaban)

o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)

x Kendali tekanan (pressure control): 

Mengurangi tekanan karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan 

ulkus, sehingga harus dihindari. Hal itu sangat penting dilakukan pada ulkus 

neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang 

sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.

x Penyuluhan (education control): 

Penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan 

edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri.

IV.3 Diabetes dengan Osteomielitis 

1. Osteomielitis adalah infeksi pada jaringan tulang. Pada kaki diabetik biasanya 

terjadi akibat penyebaran infeksi dari luka. 

2. Gejala klinis akut biasanya disertai demam dan ditemukan adanya luka. Pada 

yang kronik, biasanya port d͛entree tidak jelas. 

3. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Pada 

jari biasanya ditemukan gambaran khusus seperti jari sosis (sausage toe). Jika didapatkan ulkus, dapat dilakukan pemeriksaan tes bone-proof, dengan 

melakukan sondase pada luka. Jika ujung sonde menyentuh permukaan 

tulang dapat dipastikan mengalami osteomielitis.

4. Pemeriksaan penunjang terdapat leukositosis dan peningkatan LED. 

Pemeriksaan foto tulang baru akan terlihat abnormal setelah 10 ʹ 14 hari 

terkena infeksi.

5. Diagnosis osteomielitis yang akurat dapat ditegakkandengan pemeriksaan 

MRI tulang. 

6. Pemeriksaan kultur jarimgan tulang yang mengalami osteomielitis berguna 

untuk menentukan patogen penyebab infeksi.

7. Manajemen kaki diabetik dengan osteomielitis dapat dilakukan dengan 

pemberian antibiotik jangka panjang, debridement, ataupun amputasi. 

Antibiotik jangka panjang diberikan sampai 3 bulan misalnya dari golongan 

kuinolon.

IV.4 Diabetes dengan Penyakit Pembuluh Darah Perifer 

Penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral Arterial Disease/ PAD) merupakan 

penyakit penyempitan pembuluh darah perifer terutama pada kaki, yang sebagian 

besar disebabkan oleh proses aterosklerosis. Faktor-faktor risiko utama terjadinya 

PAD antara lain: usia, jenis kelamin laki-laki, merokok, dislipidemia, hipertensi, 

diabetes melitus. 

Gejala PAD pada kaki antara lain:

x Klaudikasio intermiten (claudicatio intermitent), yaitu nyeri yang terjadi 

pada saat latihan fisik dan hilang pada saat istirahat.

x Penyembuhan luka di kaki yang lama.

x Suhu kaki menurun.

x Jumlah bulu pada kaki menurun.

x Pulsasi kaki menurun (arteri femoralis, arteri popliteal, arteri tibialis 

posterior dan arteri dorsalis pedis).

Diagnosis PAD ditegakkan dengan pemeriksaan ankle brachial index (ABI), yaitu rasio 

tekanan darah sistolik antara arteri dorsalis pedis/tibialis posterior dengan tekanan 

sistolik tertinggi antara arteri brachialis kiri dan kanan. Pemeriksaan dilakukan 

dengan menggunakan handheld ultrasound. Penilaian hasil ABI adalah:


Pasien dengan PAD sebaiknya dievaluasi mengenai riwayat klaudikasio dan 

pemeriksaan pulsasi pedis. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan ABI karena banyak 

pasien PAD adalah asimtomatik. Pemeriksaan PAD dapat dilakukan di pusat dengan 

sarana memadai untuk pemeriksaan USG doppler dupleks dan angiografi.

Terapi pada pasien dengan PAD selain dengan menggunakan medikamentosa, juga 

dapat dilakukan tindakan revaskularisasi. Tindakan revaskularisasi adalah suatu 

tindakan untuk membuka pembuluh darah arteri yang tersumbat, dengan melalui 

intervensi endovaskular atau teknik bedah terbuka (bypass surgery). Pasien PAD 

dengan infeksi umumnya memiliki prognosis buruk sehingga perlu dilakukan terapi 

infeksi sebelum dilakukan tindakan revaskularisasi.

ƒ Critical limb ischemia (CLI) 

1. Keadaan CLI adalah penyumbatan berat pada arteri di daerah ekstremitas 

bawah, yang ditandai dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut.

2. Keadaan ini lebih serius dari PAD, karena merupakan kondisi kronik yang 

sangat parah pada kaki, sehingga pasien tetap mengeluh nyeri walaupun 

dalam keadaan istirahat.

3. Gejala yang paling sering pada CLI adalah ischemic rest pain, yaitu nyeri yang 

hebat pada tungkai bawah dan kaki ketika seseorang tidak bergerak atau 

luka yang tidak membaik pada tungkai bawah atau kaki, akibat iskemia.

4. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan pulsasi nadi pada tungkai bawah 

atau kaki. 

5. Infeksi dapat terjadi berupa luka yang terbuka, infeksi kulit dan ulkus yang 

tidak membaik, maupun gangren kering (dry gangrene) dan terlihat kulit


yang berwarna hitam pada tungkai bawah atau kaki. 

6. Kriteria diagnosis CLI :

ƒ Nyeri istirahat kronik (Chronic rest pain)

ƒ Tissue loss :

a. Ulkus

b. Gangren 

ƒ ABI d 0,4

ƒ Ankle systolic pressure d 0,5 mmHg

ƒ Toe systolis pressure d 30 mmHg

7. Pasien dengan diagnosis CLI direkomendasikan untuk mendapatkan 

tindakan revaskularisasi segera untuk mempertahankan jaringan yang 

terkena.

8. Pada pasien CLI dengan infeksi kaki, perlu pemberian antibiotik terlebih 

dahulu untuk penanganan infeksi sebelum melakukan revaskularisasi.

ƒ Acute limb ischemia (ALI)

1. ALI merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan pada ekstremitas, yang 

terjadi secara mendadak. 

2. Keadaan ALI dapat disebabkan oleh adanya trombus atau emboli yang 

menyumbat peredaran darah di esktremitas. 

3. Onset ALI adalah kurang dari 2 minggu.

4. Terdapaƚ iƐƚilah ͞ϲ P͟ LJang didefiniƐikan Ɛebagai gejala dan ƚanda kliniƐ 

kondisi membahayakan esktremitas terkait :

o Pain

o Pulselessness

o Pallor

o Paresthesia 

o Paralysis 

o Polar (suhu)

IV.5 Diabetes dengan Selulitis dan Fasitis Nekrotikan

Selulitis adalah infeksi pada jaringan lunak yang dapat dijumpai pada kaki diabetes 

tanpa atau dengan ulkus. Penanganan selulitis terutama dengan pemberian 

antibiotik terutama untuk golongan kokus gram positif. Tindakan segera perlu 

dilakukan bila telah terbentuk abses, yaitu berupa insisi dan drainase, dan bila perlu 

dengan anastesi umum. Kuman golongan anaerob dan MRSA dapat menyebabkan


perluasan infeksi jaringan lunak sepanjang fasia otot (fasitis nekrotikan) sehingga 

perlu dilakukan tindakan debridement yang luas dengan membuang seluruh fascia 

otot yang mengalami infeksi.

Tindakan amputasi pada kaki diabetik dilakukan atas indikasi:

x Kerusakan jaringan kaki yang luas atau infeksi yang meluas dan 

mengancam nyawa

x Luka pada CLI yang tidak memungkinkan dilakukan tindakan

revaskularisasi.

x Jika berdasarkan aspek rehabilitatif tindakan amputasi lebih bermanfaat

IV.6 Diabetes dengan Nefropati Diabetik 

1. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari Gagal Ginjal

Stadium Akhir.

2. Sekitar 20 ʹ 40% pasien diabetes akan mengalami nefropati diabetik.

3. Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30 ʹ 299 mg/24 jam

merupakan tanda dini nefropati diabetik pada DM tipe 2.

4. Pasien yang disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30 ʹ 299 mg/24 

jam dan berubah menjadi albuminuria persisten pada kadar ш 300 mg/24 jam 

sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir 

5. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan melalui pemeriksaan urinary albumin 

to creatinin ratio (UACR) dengan sampel spot urin acak. Nefropati diabetik 

merupakan diagnosis klinis berdasarkan adanya albuminuria dan/atau 

penurunan LFG. 

6. Nilai diagnosis UACR adalah:

a. Normal : < 30 mg/g

b. Rasio albumin kreatinin 30 ʹ 299 mg/g

c.Rasio albumin kreatinin ш 300 mg/g

7. Penapisan dilakukan:

a. Segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.

b. Jika albuminuria < 30 mg/24 jam dilakukan evaluasi ulang setiap tahun. 

(B)

8. Metode Pemeriksaan

a. Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu

b. Kadar albumin dalam urin 24 jam: Pemantauan albumin urin secara 

kontinu untuk menilai respon terapi dan progresivitas penyakit masih 

dapat diterima. (E)

9. Penatalaksanaan

a. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi risiko ataupun 

menurunkan progresi nefropati. (A)

b. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi risiko ataupun 

menurunkan progresi nefropati. (A)

c. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit 

ginjal kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar 

glikemik, risiko kejadian kardiovaskular, atau penurunan LFG. (A)

d. Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor 

angiotensin II tidak diperlukan untuk pencegahan primer. (B)

e. Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensin II 

diberikan pada pasien tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30 

ʹ 299 mg/24 jam) (C) dan albuminuria berat (> 300 mg/24 jam) (A).

10. Perlu dilakukan monitoring terhadap kadar serum kreatinin dan kalium serum 

pada pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, atau 

diuretik lain. (E)

a. Diuretik, penyekat kanal kalsium, dan penghambat beta dapat diberikan 

sebagai terapi tambahan ataupun pengganti pada pasien yang tidak 

dapat mentoleransi penghambat ACE dan Penyekat Reseptor 

Angiotensin II.

b. Apabila serum kreatinin ш 2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut 

dilibatkan.

c. Pertimbangkan konsultasi ke ahli nefrologi apabila kesulitan dalam 

menentukan etiologi, manajemen penyakit, ataupun gagal ginjal 

stadium lanjut. (B)

IV.7 Diabetes dengan Disfungsi Ereksi 

o Prevalensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien diabetes tipe 2 lebih dari 10 

tahun cukup tinggi, berkisar antara 35 ʹ 75% dibandingkan 26% di 

populasi umum dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, 

angiopati dan problem psikis.

o Prevalensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien diabetes tipe 2 lebih dari 10 

tahun cukup tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, 

angiopati dan problem psikis. Keluhan DE perlu ditanyakan pada saat 

konsultasi pasien diabetes dikarenakan kondisi ini sering menjadi sumber 

kecemasan pasien diabetes, tetapi jarang disampaikan oleh pasien.

Diagnosis DE dapat ditegakkan dengan menilai 5 hal yaitu fungsi ereksi,

fungsi orgasme, nafsu seksual, kepuasan hubungan seksual, dan kepuasan 

umum, dengan menggunakan instrumen sederhana yaitu kuesioner 

international index of erectile function 5 (IIEF-5)Pada pria dengan DM yang memiliki gejala atau tanda-tanda hipogonadisme 

seperti penurunan keinginan atau aktivitas seksual (libido), atau disfungsi ereksi, perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan testosteron 

serum pada pagi hari. (B)

o Tingkat testosteron rata-rata pria dengan diabetes lebih rendah dibandingkan 

dengan pria tanpa diabetes, tetapi hal ini masih mungkin diakibatkan juga 

keadaan obesitas yang umumnya menyertai pasien DM.

o Pemeriksaan hormon testosteron bebas (free testosterone) pada pagi hari 

dianjurkan pada pasien DM bila kadar hormon testosteron total mendekati 

batas bawah. Pemeriksaan luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating 

hormone (FSH) dapat dilakukan untuk membedakan hipogonadisme primer 

atau sekunder.

o Penyebab DE perlu dipastikan apakah merupakan masalah organik atau 

masalah psikis bila diagnosis DE telah ditegakkan. Upaya pengobatan utama 

adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal mungkin dan 

memperbaiki faktor risiko DE lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan

hipertensi. Identifikasi berbagai obat yang dikonsumsi pasien yang 

berpengaruh terhadap timbulnya atau memberatnya DE perlu dilakukan. 

o Pengobatan lini pertama adalah terapi psikoseksual dan medikamentosa 

berupa obat penghambat fosfodiesterase tipe 5 (sildenafil, taldanafil, dan 

vardenafil). 

o Pada pasien DM yang belum memperoleh hasil memuaskan, dapat diberikan 

injeksi prostaglandin intrakorporal, aplikasi prostaglandin intrauretral, dan 

penggunaan alat vakum, maupun prostesis penis pada kasus dengan terapi lain 

tidak berhasil.

o Pemberian terapi hormon testosteron pada kondisi hipogonadisme yang 

simptomatik dapat memiliki manfaat termasuk peningkatan fungsi seksual, 

kekuatan dan massa otot, dan kepadatan tulang.

IV.8 Diabetes dengan Kehamilan

Hiperglikemia yang terdeteksi pada kehamilan harus ditentukan klasifikasinya 

sebagai salah satu di bawah ini: 

(WHO 2013, NICE update 2014)

A. Diabetes melitus dengan kehamilan 

ƒ Pengelolaan sebelum konsepsi

Semua perempuan diabetes mellitus tipe 2 yang berencana hamil 

dianjurkan untuk :

o Konseling mengenai kehamilan pada DM tipe 2. Target glukosa darah :ƒ GDP dan sebelum makan: 80 ʹ 110 mg/dL

ƒ GD 1 jam setelah makan : 100 ʹ 155 mg/dL

ƒ HbA1c: < 7%; senormal mungkin tanpa risiko sering hipoglikemia 

berulang.

ƒ Hindari hipoglikemia berat.

o Suplemen asam folat 800 mcg ʹ 1 mg / hari (riwayat neural tube defect : 4 

mg/hari)

o Hentikan rokok dan alcohol

o Hentikan obat-obat dengan potensi teratogenik seperti Obat hipertensi 

golongan ACE-inhibitor, ARB dan obat hipolipidemik.

o Mengganti terapi anti diabetes oral ke insulin, kecuali metformin pada 

kasus PCOS (polycystic ovarium syndrome).

o Evaluasi retina oleh optalmologis, koreksi bila perlu

o Evaluasi kardiovaskular

ƒ Pengelolaan dalam kehamilan

o Target optimal kendali glukosa darah (tanpa sering hipoglikemia) : 

- Glukosa darah puasa 70 ʹ 95 mg/dL

- Glukosa 1 jam post-prandial 110 ʹ 140 mg/dL atau 2 jam post-prandial

100 ʹ 120 mg/dL

o Target tekanan darah pada ibu yang disertai hipertensi kronis : 

- Sistolik : 110 ʹ 135 mmHg

- Diastolik : 85 mmHg

o Kendali glukosa darah menggunakan insulin dengan dosis titrasi yang 

kompleks, sebaiknya dirujuk pada dokter ahli yang berkompeten.

B. Diabetes mellitus gestasional

o Perempuan hamil dengan faktor risiko dilakukan pemeriksaan diagnosis 

untuk diabetes pada kunjungan prenatal pertama. (B) 

o Pemeriksaan penapisan DM gestasional (DMG) dilakukan pada usia 

kehamilan 24 ʹ 28 minggu pada semua perempuan hamil yang sebelumnya 

tidak memliki riwayat DM. (B) 

o Skrining dilakukan dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan 

menggunakan glukosa 75 gram. Pasien didiagnosis DMG bila glukosa darah 

puasa ш 92 mg/dL, atau glukosa darah setelah 1 jam ш 180 mg/dL atau glukosa 

darah setelah 2 jam ш 153 mg/dL. Hasil skrining awal yang negatif sebelum 24 

minggu kehamilan, tetap harus dilakukan pemeriksaan ulang antara 24 ʹ 28 

minggu kehamilan.(Pembahasan lebih detail mengenai diabetes melitus gestasional akan terpisah pada 

konsensus pengelolaan Diabetes Melitus Gestasional)

IV.9 Diabetes dengan Ibadah Puasa 

Bagi pasien DM, kegiatan berpuasa (dalam hal ini puasa Ramadhan) akan 

memengaruhi kendali glukosa darah akibat perubahan pola dan jadual makan serta 

aktivitas fisik. Berpuasa dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko 

terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis 

diabetikum, dan dehidrasi atau thrombosis. Risiko tersebut terbagi menjadi risiko 

sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Risiko komplikasi tersebut terutama muncul 

pada pasien DM dengan risiko sedang sampai sangat tinggi 

Pertimbangan medis terkait risiko serta tatalaksana DM secara menyeluruh harus 

dikomunikasikan oleh dokter kepada pasien DM dan atau keluarganya melalui 

kegiatan edukasi. Jika pasien tetap berkeinginan untuk menjalankan ibadah puasa 

Ramadhan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Satu-dua bulan sebelum menjalankan ibadah puasa, pasien diminta untuk 

melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh meliputi kadar 

glukosa darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah, sekaligus 

menentukan risiko yang akan terjadi bila pasien tetap ingin berpuasa.

2. Pasien diminta untuk memantau kadar glukosa darah secara teratur, 

terutama pertengahan hari dan menjelang berbuka puasa.

3. Jangan menjalankan ibadah puasa bila merasa tidak sehat.

4. Harus dilakukan penyesuaian dosis serta jadwal pemberian obat 

antihiperglikemik oral dan atau insulin oleh dokter selama pasien 

menjalankan ibadah puasa

5. Hindari melewatkan waktu makan atau mengonsumsi karbohidrat atau 

minuman manis secara berlebihan untuk menghindari terjadinya 

hiperglikemia post prandial yang tidak terkontrol. Pasien dianjurkan untuk 

mengonsumsi karbohidrat kompleks saat sahur dan karbohidrat simpel saat 

berbuka puasa, serta menjaga asupan buah, sayuran dan cairan yang cukup. 

Usahakan untuk makan sahur menjelang waktu imsak (saat puasa akan 

dimulai).

6. Hindari aktifitas fisik yang berlebihan terutama beberapa saat menjelang 

waktu berbuka puasa.

7. Puasa harus segera dibatalkan bila kadar glukosa darah kurang dari 60 

mg/dL. Pertimbangkan untuk membatalkan puasa bila kadar glukosa darah 

kurang dari 80 mg/dL atau glukosa darah meningkat sampai lebih dari 300 

mg/dL untuk menghindari terjadi ketoasidosis diabetikum.

8. Selalu berhubungan dengan dokter selama menjalankan ibadah puasa.

(Penjelasan lengkap dapat dibaca di Buku Pedoman Penatalaksanaan DM tipe 2 pada 

Individu Dewasa di Bulan Ramadan)

Tabel 21. Kategori Risiko Terkait Puasa Ramadan pada Pasien DM tipe 2 

Risiko sangat tinggi pada pasien dengan :

ƒ Hipoglikemia berat dalam 3 bulan terakhir menjelang Ramadan.

ƒ Riwayat hipoglikemia yang berulang.

ƒ Hipoglikemia yang tidak disadari (unawareness hypoglycemia).

ƒ Kendali glikemik buruk yang berlanjut.

ƒ DM tipe 1.

ƒ Kondisi sakit akut.

ƒ Koma hiperglikemia hiperosmolar dalam 3 bulan terakhir menjelang Ramadan.

ƒ Menjalankan pekerjaan fisik yang berat.

ƒ Hamil.

ƒ Dialisis kronik.

Risiko tinggi pada pasien dengan :

ƒ Hiperglikemia sedang (rerata glukosa darah 150ʹ300 mg/dL atau HbA1c 7,5ʹ9%).

ƒ Insufisiensi ginjal.

ƒ Komplikasi makrovaskular yang lanjut.

ƒ HidƵp ͞Ɛendiri͟ dan mendapaƚ ƚerapi inƐƵlin aƚaƵ ƐƵlfonilƵrea͘

ƒ Adanya penyakit penyerta yang dapat meningkatkan risiko.

ƒ Usia lanjut dengan penyakit tertentu.

ƒ Pengobatan yang dapat mengganggu proses berpikir

Risiko sedang pada pasien dengan :

ƒ Diabetes terkendali dengan glinid (short-acting insulin secretagogue).

Risiko rendah pada pasien dengan :

ƒ DiabeƚeƐ ͞Ɛehaƚ͟ dengan glikemia LJang ƚerkendali melalƵi͖

ƒ terapi gaya hidup, 

o metformin,

o acarbose,

o thiazolidinedione,

o penghambat enzim DPP-4


Penyesuaian terapi DM tipe 2 pada pasien yang berpuasa :

1. Metformin 

ƒ Metformin cukup aman digunakan pada pasien DM yang sedang 

berpuasa, karena relatif jarang mengakibatkan hipoglikemia, namun pada 

beberapa pasien tetap diperlukan penyesuaian dosis dan jadwal.

ƒ Pasien yang menggunakan metformin satu kali sehari tidak perlu 

penyesuaian dosis dan obat dapat dikonsumsi setelah buka puasa. 

Demikian pula pada pasien yang menggunakan metformin dua kali sehari, 

juga tidak perlu penyesuaian dosis dan obat dapat dikonsumsi setelah 

buka puasa dan sahur. 

ƒ Pasien yang menggunakan metformin tiga kali sehari, maka pada saat 

buka puasa obat diminum 2 tablet sekaligus, dan saat sahur cukup 

mengkonsumsi 1 tablet saja. 

ƒ Pemberian metformin lepas lambat (prolonged release atau extended 

release), juga tidak perlu penyesuaian dosis, dan obat diminum saat buka 

puasa.

2. Acarbose 

ƒ Acarbose menghambat kerja enzim alfa-glukosidase yang memecah 

karbohidrat menjadi glukosa di usus, sehingga memperlambat 

penyerapan glukosa dan memodifikasi sekresi insulin. 

ƒ Risiko hipoglikemianya rendah sehingga tidak diperlukan penyesuaian 

dosis selama puasa.

3. Thiazolidinedion

ƒ Mekanisme kerjanya mengaktifkan reseptor proliferator peroksisom 

gamma yang terdapat di sel lemak, otot dan hati sehingga dapat 

meningkatkan sensitivitas reseptor insulin tanpa meningkatkan sekresi 

insulin. Hal inilah menyebabkan risiko hipoglikemia yang rendah, sehingga 

tidak perlu perubahan dosis dan obat dapat diminum saat berbuka 

ataupun sahur.

4. Sulfonilurea 

ƒ Sulfonilurea bekerja dengan cara meningkatkan sekresi insulin di sel β

pankreas yang tidak tergantung pada glukosa (glucose independent) 

sehingga mengakibatkan kejadian hipoglikemia yang lebih tinggi 

dibandingkan dengan OHO lain.

ƒ Risiko hipoglikemia ini bervariasi antar obat karena interaksi reseptor 

yang berbeda, afinitas obat dan lama kerja obat dalam tubuh. Insiden hipoglikemia tertinggi dikaitkan dengan glibenclamide (25,6%), glimepirid 

(16,8%) dan gliclazid (14.0%). 

ƒ Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa pasien dengan DM dapat 

terus menggunakan SU generasi kedua dan berpuasa dengan aman. 

ƒ Pemberian sulfonilurea sekali sehari pada pasien diabetes bisa diberikan 

saat berbuka puasa, dan pada pasien dengan kadar glukosa darah yang 

terkontrol dapat dipertimbangkan untuk menurunkan dosis. 

ƒ Pasien yang mengonsumsi sulfonilurea dua kali sehari, maka dosis obat 

saat berbuka sama dengan dosis sebelumnya namun dosis yang diberikan 

saat sahur harus diturunkan terutama pada pasien dengan glukosa darah 

yang terkontrol. 

5. Penghambat SGLT-2 

ƒ Penghambat SGLT2 termasuk dapagliflozin, canagliflozin dan 

empagliflozin, adalah kelas obat antidiabetik terbaru. 

ƒ Penghambat SGLT2 mengurangi reabsorpsi glukosa di tubulus sehingga 

meningkatkan ekskresi glukosa oleh ginjal dan akibatnya menurunkan 

dapat glukosa darah. 

ƒ Penghambat SGLT2 dikaitkan dengan risiko hipoglikemia yang rendah 

sehingga merupakan pilihan pengobatan yang cukup aman untuk pasien 

dengan DM tipe 2 selama Ramadan. 

ƒ Golongan obat ini memiliki efek samping infeksi saluran kemih dan infeksi 

genital, serta risiko ketoasidosis dan dehidrasi yang merupakan masalah 

yang sangat terkait selama bulan Ramadan.

ƒ Penggunaan obat ini dianjurkan saat berbuka puasa namun tidak perlu 

penyesuaian dosis, dan dianjurkan mengkonsumsi cairan dalam jumlah 

yang cukup. 

6. Penghambat DPP-4

ƒ DPP-4 adalah enzim yang dengan cepat memetabolisme GLP-1. 

Pemberian penghambat DPP-4 secara efektif dapat meningkatkan kadar 

GLP-1 di dalam sirkulasi, sehingga merangsang insulin, namun tergantung 

pada glukosa (glucose dependent). 

ƒ Golongan obat ini, seperti sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, alogliptin 

dan linagliptin, yang diberikan secara oral sekali atau dua kali sehari, 

merupakan salah satu obat antidiabetik dengan toleransi yang baik pada 

pasien yang berpuasa dan risiko hipoglikemia yang rendah. 

ƒ Obat-obatan ini tidak memerlukan perubahan dosis ataupun cara 

pemberian selama bulan Ramadan.7. GLP-1 RA

ƒ Obat agonis reseptor GLP-1 meniru kerja hormon inkretin, GLP-1 

endogen, yaitu meningkatkan sekresi insulin sehingga dapat menurunkan 

glukosa dalam darah, yang bergantung pada glukosa (glucose dependent). 

ƒ Agonis reseptor GLP-1 juga mengurangi sekresi glukagon, meningkatkan 

penyerapan glukosa dan penyimpanan glikogen di otot, mengurangi 

produksi glukosa oleh hati, mengurangi nafsu makan dan memperlambat 

pengosongan lambung. 

ƒ Risiko hipoglikemianya rendah ketika digunakan sebagai monoterapi. 

Penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa kombinasi GLP-1 RA dengan 

metformin efektif dalam mengurangi berat badan dan kadar HbA1c. 

ƒ Sebelum Ramadan pasien sebaiknya sudah melakukan pengaturan dosis 

GLP-1 sesuai dengan target HbA1c dan kadar glukosa darah yang ingin 

dicapai, sehingga 6 minggu sebelum Ramadhan pasien sudah 

menggunakan dosis yang tepat.

8. Insulin 

ƒ Penggunaan insulin selama puasa dapat mengakibatkan hipoglikemia. 

ƒ Insulin analog lebih direkomendasikan daripada human insulin, karena 

risiko kejadian hipoglikemia lebih rendah. 

ƒ Hasil penelitian observasional membuktikan bahwa penggunaan insulin 

basal aman digunakan selama bulan Ramadan dan tidak ada peningkatan 

signifikan kejadian hipoglikemia. 

ƒ Pemberian insulin kerja menengah atau kerja panjang sekali sehari 

diberikan saat berbuka puasa dengan dosis yang diturunkan sebanyak 15

ʹ 30% dari dosis sebelumnya. Bila diberikan dua kali sehari maka dosis pagi 

hari diberikan saat berbuka puasa, dan dosis sore hari diturunkan sebesar 

50% dan diberikan saat sahur. 

ƒ Insulin kerja cepat atau kerja pendek dapat digunakan untuk lebih 

mengontrol glukosa darah postprandial. 

ƒ Uji coba acak label terbuka menunjukkan bahwa peningkatan kadar 

glukosa darah postprandial setelah berbuka puasa dan tingkat 

hipoglikemia, lebih rendah pada pemberian insulin kerja cepat. 

ƒ Pasien yang menggunakan insulin kerja cepat atau kerja pendek maka

pada saat berbuka puasa diberikan dosis normal, dosis siang hari tidak 

diberikan, dan pada saat sahur dosis diturunkan 25 ʹ 50% dari dosis 

sebelumnya.

ƒ Insulin premixed yang menggabungkan insulin kerja cepat dan insulin kerja menengah, lebih mudah digunakan karena membutuhkan lebih 

sedikit suntikan daripada rejimen basal-bolus, tetapi mengakibatkan risiko 

hipoglikemia yang lebih tinggi, sehingga pengaturan dosis harus lebih 

diperhatikan. Pasien yang menggunakan insulin premixed yang diberikan 

sekali sehari tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis dan diberikan saat 

berbuka puasa. 

ƒ Pasien yang menggunakan insulin premixed dua kali sehari, maka dosis 

insulin saat berbuka puasa tetap dan dosis saat sahur diturunkan 25 ʹ 50% 

dari dosis sebelumnya. 

ƒ Pemberian insulin premixed 3 kali sehari perlu dilakukan perubahan yaitu 

menghilangkan dosis siang hari, dan menurunkan dosis yang diberikan 

saat sahur dan berbuka puasa. 

ƒ Titrasi dosis sebaiknya dilakukan setiap 3 hari berdasarkan kadar glukosa 

darah pasien.

IV. 10 Diabetes dengan Pengelolaan Perioperatif 

Diabetes menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas dan masa rawat pada 

pasien operasi. Tingkat kematian perioperatif pada pasien diabetes 50% lebih tinggi 

dibandingkan pada pasien tanpa diabetes. Penyebab dari kondisi ini adalah :

ƒ Risiko hipo/hiperglikemia

ƒ Faktor-faktor komorbid, di antaranya komplikasi makro dan mikrovaskular.

ƒ Pemberian obat-obatan yang kompleks, termasuk insulin.

ƒ Kesalahan dalam proses peralihan terapi insulin intravena ke subkutan.

ƒ Risiko infeksi perioperatif.

ƒ Perhatian yang kurang dalam pemantauan pasien diabetes.

ƒ Kelalaian dalam mengidentifikasi pasien diabetes.

ƒ Tidak adanya pedoman institusi terhadap manajemen diabetes.

ƒ Kurangnya pengetahuan manajemen diabetes pada staf tenaga kesehatan.

IV.11 Diabetes yang menggunakan steroid 

ƒ Glukokortikoid sering memberikan efek samping metabolik karena 

pengaruhnya dalam beberapa proses homeostasis glukosa, sensitivitas 

insulin, metabolisme lemak dan adipogenesis.

ƒ Glukokortikoid dapat memicu diabetes dengan mengurangi sensitivitas 

insulin, yaitu dengan menurunkan ikatan insulin pada reseptornya, mengubah interaksi protein pada insulin cascade, meningkatkan lipolisis, 

meningkatkan hepatic glucose uptake, dan mengganggu ekspresi GLUT-2 dan 

GLUT-4, serta pendistribusian insulin subselular.

ƒ Manajemen pasien DM yang diobati dengan glukokortikoid umumnya sama 

dengan pengobatan dengan DM pada umumnya, tetapi perlu dipikirkan 

kemungkinan terjadinya perubahan kadar glukosa darah yang dipengaruhi 

oleh pemberian kortikosteroid.

ƒ Insulin direkomendasikan sebagai obat pilihan utama untuk pengobatan

glucocorticoid-induced hyperglycemia (terlebih pada fase akut). Pemberian 

insulin dapat dilakukan dengan metode insulin basal ditambah insulin 

prandial subkutan yaitu regimen basal bolus atau basal plus koreksi.

IV.12 Diabetes dengan Retinopati Diabetik 

ƒ Retinopati diabetes adalah komplikasi mikrovaskular yang paling umum dan 

paling berpotensi sebagai penyebab kebutaan. 

ƒ Komplikasi mata pada pasien diabetes lebih sering terjadi, seperti kelainan 

kornea, glaukoma, neovaskularisasi iris dan katarak. 

ƒ Gejala retinopati diabetes antara lain floaters, pandangan kabur, distorsi, dan 

kehilangan ketajaman visual progresif (progressive visual acuity loss).

ƒ Tanda-tanda retinopati diabetes antara lain pembentukan mikroaneurisma, 

perdarahan berbentuk api (flame shaped hemorrhages), edema retina dan 

eksudat, cotton-wool spot, venous loops dan venous beading, kelainan 

mikrovaskular intraretina dan makular edema. 

ƒ Metode pemeriksaan pada retinopati diabetes menggunakan pencitraan, 

antara lain angiografi fluoresen, optical coherence tomography scanning dan 

ultrasonografi B-scan.

ƒ Pasien DM tipe memerlukan pemeriksaan mata komprehensif oleh spesialis 

mata segera setelah diagnosis ditegakkan.

ƒ Pemeriksaan mata rutin dilakukan setiap 2 tahun pada pasien tanpa temuan 

retinopati pada skrining awal, dan setiap 1 tahun pada pasien dengan temuan 

retinopati diabetik. Pemeriksaan dapat lebih sering pada retinopati stadium 

lanjut. (B) 

ƒ Wanita dengan diabetes yang merencanakan kehamilan perlu mendapatkan 

pemeriksaan dan konseling mata komprehensif untuk mengetahui risiko 

progresi retinopati. (B) 

ƒ Pasien dengan temuan retinopati diabetik dalam stadium apapun perlu dikonsultasikan ke spesialis mata. (A) 

ƒ Kontrol glukosa darah dan tekanan darah secara intensif dapat mencegah 

kemunculan ataupun peningkatan keparahan retinopati diabetik. 

Retinopati diabetes dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu:

1. Retinopati diabetes nonproliferatif

x Ringan: diindikasikan dengan setidaknya terdapat 1 mikroaneurisma

x Sedang: adanya perdarahan, mikroaneurisma, dan eksudat

x Berat: dikarakterkan dengan perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 

kuadran, dengan venous beading setidaknya pada 2 kuadran serta 

kelainan mikrovaskular intraretinal setidaknya pada 1 kuadran (4-2-1).

2. Retinopati diabetes proliferatif

Terdapat gambaran neovaskularisasi, perdarahan preretina, perdarahan 

dalam vitreous, proliferasi jaringan fibrovaskular, traction retinal 

detachments, dan makular edema.

IV.13 Diabetes dengan Penyakit Kritis 

Glukosa darah yang direkomendasikan untuk pasien DM dengan penyakit kritis harus 

dikontrol pada kisaran 140 ʹ 180 mg/dL dan tidak boleh melebihi 180 mg/dL (A). 

Target yang lebih ketat seperti 110 ʹ 140 mg/dL, mungkin dapat diterapkan pada 

pasien-pasien tertentu, namun harus diperhatikan risiko terjadinya hipoglikemia (C).

Pada hampir seluruh kondisi klinis di rawat inap, terapi insulin merupakan pilihan 

utama dalam kontrol glikemik. Pada pasien ICU, pemberian insulin secara drip 

intravena umumnya lebih dipilih. Di luar ICU, terapi insulin subkutan lebih 

direkomendasikan. Perlu diperhatikan risiko hiperglikemia pada perubahan terapi 

insulin drip intravena menjadi subkutan.

Pemberian insulin secara sliding scale sangat tidak disarankan. Pemberian insulin 

subkutan dengan memperhatikan pola sekresi insulin endogen yang fisiologis berupa 

insulin basal, prandial, lebih direkomendasikan, yang bila diperlukan dapat 

ditambahkan dosis insulin koreksi.

1. Krisis Hiperglikemia

Sudah dibahas pada bab komplikasi.

2. Sindrom Koroner Akut (SKA)Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatan medis yang diakibatkan 

penurunan perfusi jaringan jantung akibat penyempitan hingga penyumbatan 

arteri koroner. Pasien dengan SKA memberikan gambaran klinis nyeri dada 

sebelah kiri yang menjalar ke area sekitar. Klasifikasi SKA ditentukan berdasarkan 

gambaran EKG dan pemeriksaan laboratorium, yaitu SKA dengan elevasi segmen 

ST (ST-elevation myocardial infarction / STEMI) dan SKA tanpa peningkatan 

segmen ST (Non-ST segment elevation myocardial infraction/NSTEMI atau angina 

pektoris tidak stabil/APS).

Konsensus penatalaksanaan SKA dengan elevasi segmen ST oleh European Society of 

Cardiology pada tahun 2012 menjelaskan bahwa target glukosa darah pasien harus 

di bawah 200 mg/dL karena hipoglikemia merupakan faktor penting yang dapat 

meningkatkan mortalitas. Penelitian metaanalisis lainnya pada tahun 2012 

menyimpulkan bahwa kontrol glukosa yang ketat dengan terapi insulin intensif tidak 

menurunkan mortalitas pasien, bahkan meningkatkan insiden hipoglikemia.

Faktor-faktor pada pasien DM dapat meningkatkan risiko SKA, di antaranya 

terjadinya akselerasi aterosklerosis, prothrombic state dan disfungsi autonomik. 

Pasien DM yang mengalami sindrom koroner akut ber

isiko mengalami silent infarct, 
dimana keluhan klasik nyeri dada tidak muncul pada pasien. Rekomendasi 
pengobatan pasien dengan DM dan SKA:
1. Terapi antiagregasi trombosit yang agresif
x Terapi antiplatelet:
o Aspirin adalah terapi dasar pada SKA
o Clopidogrel masih kurang didokumentasikan pada pasien 
DM, tapi termasuk pilihan penting.
o Terapi kombinasi aspirin dan clopidogrel dapat digunakan 
sampai setahun setelah SKA. Terapi antiplatelet yang baru, 
sebagai contoh prasugrel, menunjukan keuntungan yang 
potensial pada pasien DM
x Terapi antikoagulan:
o Terapi antikoagulan menggunakan un-fractionated 
heparin atau low molecular weight heparin sangat
disarankan
o Pada MI dengan STEMI, segera dilakukan percutaneous 
coronary intervention (PCI), konsultasikan dengan spesialis 
jantung
2. Early invasive angiography
x Pada MI dengan STEMI, segera dilakukan percutaneous 
coronary intervention (PCI), konsultasikan dengan spesialis 
jantung
3. Stroke 
ƒ Stroke adalah manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak, 
medula spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap 
selama t 24 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh 
darah. 
ƒ Stroke yang disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan 
radiologi, patologi, atau bukti lain yang menunjukkan iskemi otak, medula 
spinalis, atau retina) disebut stroke iskemik. 
ƒ Stroke perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan intrakranial atau 
subaraknoid. Perdarahan intrakranial terjadi pada parenkim otak maupun 
ventrikel tanpa didahului trauma, sementara perdarahan subaraknoid terjadi 
di rongga subaraknoid (antara membran araknoid dan piamater). 
ƒ Definisi transient ischemic attack (TIA) adalah disfungsi neurologis sementara 
akibat iskemia fokal termasuk iskemi retina dan medulla spinalis, tanpa bukti 
adanya infark.
ƒ Menurut Riskesdas tahun 2007, prevalensi nasional stroke adalah 8,3 per 
1.000 penduduk. Hasil Riskesdas 2013 didapatkan prevalensi stroke nasional 
naik 50% menjadi 12,1 per 1000 penduduk. 
Berdasarkan data stroke registry tahun 2012 ʹ 2014, sebanyak 67% dari total 
stroke adalah iskemik, dan 33% lainnya adalah stroke hemoragik.
ƒ Keadaan hiperglikemia sangat memengaruhi tingkat mortalitas penyakit 
stroke dan penyembuhan pasca stroke. Hiperglikemia yang berkelanjutan 
dapat meningkatkan ukuran infark. 
ƒ Manajemen stroke untuk pasien dengan stroke iskemik non-kardioembolik 
atau TIA, direkomendasikan untuk pemberian antiplatelet daripada 
antikoagulan oral, karena dapat menurunkan risiko stroke berulang dan 
kejadian kardiovaskular yang lain.
ƒ Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar 
glukosa darah > 180 mg/dL) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi 
insulin. (C)
ƒ Rekomendasi target glukosa darah untuk pasien stroke akut adalah 110 ʹ 140
mg/dL tetapi tanpa terjadi keadaan hipoglikemia. Penelitian metaanalisis 
membuktikan bahwa glukosa darah > 200 mg/dL mengakibatkan peningkatan 
mortalitas dibandingkan dengan target glukosa darah 140 ʹ 180 mg/dL.
ƒ Pemberian insulin regular secara intravena berkesinambungan dianjurkan 
untuk menurunkan variabilitas glukosa darah.
ƒ Metode kontrol glikemik yang lain (perubahan gaya hidup) dapat 
diimplementasikan pada saat fase penyembuhan.
4. Sepsis 
Respon imun mengalami perubahan dan kerentanan terhadap infeksi yang 
meningkat pada pasien DM. Orang dengan DM memiliki kemungkinan lebih tinggi 
untuk terkena infeksi, tetapi masih belum jelas jika prognosis mereka lebih buruk
dari non-diabetik.
Langkah-langkah kontrol glukosa darah pada pasien sepsis:
x Stabilisasi
x Pasien dengan sepsis berat dan hiperglikemia dirawat ICU dan diberikan 
terapi insulin intravena. Pemberian terapi insulin pada pasien sepsis 
direkomendasikan setelah hasil pemantauan glukosa serum > 180 mg/dL 
sebanyak dua kali pemeriksaan berturut-turut, dengan target 
mempertahankan kadar glukosa di bawah 180 mg/dL.
x Pasien yang menerima insulin intravena juga menerima sumber glukosa
kalori
x Memantau nilai glukosa darah setiap 1 ʹ 2 jam sampai kadar nilai glukosa 
dan infus insulin stabil, dan dimonitor setiap 4 jam setelah itu.
Pertimbangan dalam mengontrol glukosa darah pada sepsis, antara lain:
x Kadar glukosa darah yang rendah pada tes point-of-care darah kapiler harus 
diintepretasikan dengan hati-hati, karena pengukuran tersebut melebihi 
darah arteri atau nilai plasma glukosa
x Akurasi dan produksi pada tes point-of-care darah kapiler

SISTEM RUJUKAN PASIEN DIABETES MELITUS 
Diabetes melitus sebagai satu kasus dengan frekuensi kunjungan yang tinggi dan 
terus menerus akan meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan. Kasus yang 
membutuhkan perawatan khusus dan modalitas pemeriksaan yang canggih menjadi 
permasalahan penting di bidang endokrin. Pada sisi lain permasalahan biaya 
kesehatan akan menjadi beban keluarga maupun pemerintah. Sejak tahun 2014, 
sistem pembiayaan kesehatan dibebankan kepada BPJS berdasarkan koding tarif 
INACBGs termasuk di dalamnya terdapat unsur kodefikasi ICD X dan ICD 9CM, tidak 
berdasarkan out of pocket. Permasalahan lain, diagnosis diabetes melitus diawali 
dengan kondisi hiperglikemia yang telah terbukti sebagai penyebab komplikasi, baik 
secara langsung atau tidak langsung, akan sangat memengaruhi kualitas hidup 
pasien dan meningkatkan biaya kesehatan. 
Upaya mengatasi hiperglikemia dapat dilakukan mulai dengan perubahan gaya hidup 
secara komprehensif sesuai dengan indikasi medis meliputi pemberian obat oral 
maupun injeksi, aktifitas fisik yang teratur serta pengaturan makanan sesuai dengan 
kebutuhan. Selain itu kesinambungan pelayanan kesehatan secara terpadu dan 
paripurna sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik 
Indonesia Nomor 374 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional, dapat dicapai 
melalui sistem rujukan yang jelas sesuai dengan peran dan fungsi dari setiap jenjang 
fasilitas pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan rujukan menjadi patut untuk diperhatikan dengan seksama. 
Dengan terpenuhinya sistem pelayanan kesehatan rujukan yang baik maka upaya 
peningkatan kesehatan universal dapat terpenuhi secara efisien dan rasional. 
Namun demikian, pencapaian tersebut pada akhirnya juga amat bergantung pada
kesiapan infrastruktur baik dari sisi ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, 
sistem kelembagaan maupun sumber daya manusia. Hal ini didukung oleh peraturan 
kementerian kesehatan Nomor 1 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan 
kesehatan perorangan. Sistem rujukan sendiri bersifat timbal balik antar pemberi 
pelayanan kesehatan, artinya setelah permasalahan medis telah teratasi dengan 
optimal sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, maka kasus tersebut harus 
dirujuk balik ke fasilitas pelayanan kesehatan perujuk.

Pelayanan kesehatan pasien DM tipe 2 di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) 
atau PPK I (Pemberi Pelayanan Kesehatan I adalah dokter umum) dapat dirujuk ke 
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL), baik PPK II (pemberi pelayanan kesehatan 
adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam) ataupun PPK III (pemberi pelayanan 
kesehatan adalah dokter sub spesialis endokrinologi metabolisme diabetes). 
A. Kasus Diabetes Melitus Tipe 2 
Pada pasien DM tipe 2 di FKTP, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai berikut 
x Dalam 3 bulan ditemukan GDP > 130 mg/dL, GDPP > 180 mg/dL atau HbA1c 
>7 %
x Dislipidemia
x Hipertensi
x Anemia
x Infeksi 
x Retinopati
x Lansia
x TBC paru atau lainnya
x Dalam terapi OAD tunggal dalam 3 bulan tidak tercapai target
x Dalam terapi kombinasi OAD dalam 3 bulan tidak tercapai target
x Krisis hiperglikemia
x Komplikasi kronis akibat diabetes seperti retinopati, nefropati,
x Kehamilan
x Hypoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana 
medis.
x Infeksi kaki berat: ulkus, selulitis, abses
(Perlu dilakukan rujukan ke PPK II untuk mendapatkan pelayanan Spesialis Penyakit 
Dalam)

Pada pasien DM tipe 2 di PPK II, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai berikut 
:
x Diabetes dengan tanda unstable angina
x Hypoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana 
medis.
x Komplikasi akut seperti ketoasidosis, hyperglycemic/ hyperosmolar state
setelah diberikan tindakan awal.
x Komplikasi retinopati/nefropati diabetik
x Dalam 3 bulan ditemukan GDP > 130 mg/dL, GDPP > 180 mg/dL atau HbA1c 
>7 %
x Dislipidemia, hipertensi, anemia, infeksi tidak terkendali dalam 3 bulan 
x Dalam terapi OAD tunggal dalam 3 bulan tidak tercapai target
x Dalam terapi kombinasi OAD dalam 3 bulan tidak tercapai target
x Komplikasi kronis akibat diabetes tidak terkendali 
x Kehamilan dengan gula darah tak terkontrol dalam 3 bulan
x Hipoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana 
medis.

Infeksi kaki : ulkus , selulitis, abses tidak teratasi dalam 7 hari
x diabetes dengan tanda unstable angina
x Hipoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana 
medis.
x Komplikasi retinopati/nefropati diabetik tidak terdapat perbaikan
(Perlu dilakukan rujukan ke PPK III untuk mendapatkan pelayanan Subspesialis Endokrin 
Metabolisme Diabetes)
Pada pasien DM tipe 2 di PPK II yang sudah diberikan pelayanan spesialis 
penyakit dalam, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai berikut:
x GDP < 130 mg/dL, GDPP < 180 mg/dL atau HbA1c < 7 %
x Dalam terapi OAD tunggal atau kombinasi setiap 3 bulan 
x Dalam terapi kombinasi OAD dalam 3 bulan telah tercapai target
x Komplikasi kronis akibat diabetes setiap 3 bulan
x Kehamilan dengan DM setiap 3 bulan
x Infeksi kaki : ulkus, selulitis teratasi dan gula darah telah terkontrol
x Komplikasi neuropati diabetes dalam 3 bulan
(Dirujuk balik ke PPK I untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kedokteran dasar atau 
melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)
Pada pasien DM tipe 2 di PPK III yang sudah diberikan pelayanan subspesialis 
endokrin metabolism diabetes, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai 
berikut :
x Dalam 3 bulan ditemukan GDP < 130 mg/dL, GDPP < 180 mg/dL atau HbA1c 
< 7 %
x Dalam terapi OAD tunggal dalam 3 bulan telah tercapai target
x Dalam terapi kombinasi OAD dalam 3 bulan telah tercapai target
x Komplikasi kronis akibat diabetes terkendali
x Diabetes gestasional terkontrol
x Hipoglikemia yang telah teratasi 
x Infeksi kaki: ulkus, selulitis teratasi dan gula darah telah terkontrol
(Dirujuk balik ke PPK II untuk mendapatkan pelayanan kesehatan spesialis peyakit dalam 
atau melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)B. Kasus Diabetes Melitus Tipe 1 
Semua kasus DM tipe 1 di PPK I, perlu dilakukan rujukan ke PPK II untuk 
mendapatkan pelayanan spesialis penyakit dalam. Pada pasien DM tipe 1 di PPK 
II yang sudah diberikan pelayanan spesialis penyakit dalam, apabila di temukan 
salah satu hal hal sebagai berikut :
x Diabetes dengan tanda unstable angina
x Hipoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana 
medis.
x Komplikasi akut sperti ketoasidosis, Hyperglycemic/ hyperosmolar state 
setelah diberikan tindakan awal
x Dalam 3 bulan ditemukan GDP >130 mg/dL, GDPP >180 mg/dL atau HbA1c >7
% (uncontrolled diabetes selama 3 bulan).
x Dislipidemia, hipertensi, anemia, infeksi tidak terkendali dalam 3 bulan 
x Dalam terapi insulin dalam 3 bulan tidak tercapai target
x Komplikasi kronis akibat diabetes tidak terkendali 
x Kehamilan dengan gula darah tak terkontrol dalam 3 bulan
x Hipoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana 
medis.
x Infeksi kaki : ulkus , selulitis, abses tidak teratasi dalam 7 hari
x diabetes dengan tanda unstable angina
x Komplikasi retinopati diabetik tidak ada perbaikan dalam 3 bulan
x Nefropati tidak ada perbaikan dalam 3 bulan
(Rujuk ke PPK III untuk mendapatkan pelayanan kesehatan Subspesialis Endokrin 
Metabolisme Diabetes)
Pada pasien DM tipe 1 di PPK II yang sudah diberikan pelayanan spesialis penyakit 
dalam, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai berikut:
x GDP <130 mg/dL, GDPP < 180 mg/dL atau HbA1c <7 %
x Dalam terapi insulin setiap 3 bulan 
x Komplikasi kronis akibat diabetes setiap 3 bulan
x Kehamilan dengan DM setiap 3 bulan
x Infeksi kaki : ulkus , selulitis teratasi dan gula darah telah terkontrol
(Dirujuk balik ke PPK I untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kedokteran dasar dan 
melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)
Pada pasien DM tipe 1 di PPK III yang sudah diberikan pelayanan subspesialis 
endokrin metabolism diabetes, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai 
berikut :
x Dalam 3 bulan ditemukan GDP <130 mg/dL, GDPP <180 mg/dL atau HbA1c 
<7 %
x Dalam terapi insulin dalam 3 bulan telah tercapai target
x Komplikasi kronis akibat diabetes terkendali
x Diabetes gestasional terkontrol
x Hipoglycemia yang telah teratasi 
x Infeksi kaki : ulkus, selulitis teratasi dan gula darah telah terkontrol
(Dirujuk balik ke PPK II untuk mendapatkan pelayanan kesehatan spesialis penyakit dalam 
dan melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)
Dari hasil RISKESDAS tahun 2018, terlihat bahwa prevalensi pasien DM di Indonesia 
mengalami peningkatan. Tidak hanya itu, jumlah pasien prediabetes juga masih 
cukup tinggi. Untuk glukosa darah puasa terganggu sebanyak 26,3% dan untuk 
toleransi glukosa terganggu sebanyak 30,8% dari seluruh penduduk yang melakukan 
TTGO. Berdasarkan data penelitian DiabCare, pasien DM tipe 2 yang menjalani 
pengobatan di fasilitas kesehatan dengan HbA1c 7 % hanya sekitar 30%. DM yang 
tidak terkontrol akan menyebabkan komplikasi baik mikro- maupun makrovaskular 
yang sulit untuk dikelola. 
Setiap pasien DM yang sudah memiliki komplikasi mikro- atau makrovaskular akan 
menimbulkan beban sosial dan finansial yang besar untuk negara. Dari laporan BPJS 
th 2018 periode januari Agustus 2018 diketahui bahwa pengeluaran dana untuk 
penyakit kronik jantung sebesar Rp. 6,67 triliun (peringkat 1) dan gagal ginjal sebesar 
Rp. 1,50 triliun (peringkat 2), dan komplikasi DM merupakan porsi yang terbesar 
untuk penyakit kronik tersebut. Pada tahun 2020, diprediksi akan terjadi 
peningkatan beban biaya pada jaminan kesehatan nasional (JKN) sebesar 56% untuk 
diabetes sehingga menambah beban biaya sebesar Rp. 81,2 triliun (sekitar 5,8 miliar 
US dolar) pada sistem JKN Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan suatu Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes 
Melitus tipe 2 Dewasa yang lebih komprehensif yang mengedepankan proses 
preventif melalui edukasi modifikasi gaya hidup yang terstruktur, serta mewujudkan 
sistem layanan rujuk baik yang baik di antara FKTP dan FKTL. 
Kerja sama yang baik dari berbagai ahli juga diperlukan untuk memberikan tata 
laksana yang holistik untuk pasien-pasien DM dengan penyulit. Perkembangan 
pengetahuan yang baru tentang patofisiologi DM, obat-obatan antidiabetes baru 
dengan keluaran klinis kardiovaskular yang baik, perkembangan insulin dan inkretin 
serta penelitian tentang stem sel akan makin membuka peluang untuk 
meningkatkan kontrol glikemik pasien DM dan mencegah komplikasi.





















A1C Hemoglobin-glikosilat/ HbA1c GIST Gastro Intestinal Stromal Tumor
AACE American Association of Clinical Endocrinologist GLP-1 RA Glucagon Like Peptide-1 Receptor Agonist
ABI Ankle Brachial Index HCT Hydrochlorothiazide
ACE Angiotensin converting enzyme HDL High Density Lipoprotein
ADA American Diabetes Association HFrEF Heart Failure with reduced Ejection Fraction
ADI Accepted Daily Intake HIV Human Immunodeficiency Virus
ALT Alanine Aminotransferase IBS Irritable Bowel Syndrome 
APS Angina Pektori Stabil IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia
ARB Angiotensin II Receptor Blocker IDF International Diabetes Federation
ARV Antiretroviral IGF Insulin-like Growth Factor
BB Berat Badan INH Isoniazid
BBI Beran Badan Ideal IIEF International Index of Erectile Function
CDC Centers for Disease Control and Prevention IMA Infark Miokard Akut
CLI Critical Limb Ischemia IMT Indeks Massa Tubuh
DE Disfungsi Ereksi ISK Infeksi Saluran Kemih
DIT Dosis Insulin Total KAD Keto Asidosis Diabetik
DHHS Department of Health and Human Services LDL Low Density Lipoprotein
DM Diabetes Melitus LFG Laju Filtrasi Glomerulus
DMG Diabetes Melitus Gestasional LED Laju Endap Darah
DPP4-i Dipeptidyl Peptidase IV inhibitor MUFA Mono Unsaturated Fatty Acid
EKG Elektrokardiogram NICE National Institute for Health and Clinical Excellent 
EF Ejection Fraction NICTH Non-Islet Cell Tumor Hypoglycemia
ESRD End Stage Renal Disease NRTI Nukleosida Reverse Transcriptase Inhibitor 
FFA Free Fatty Acid NSTEMI Non-ST segment Elevation Myocardial Infarction
GDP Glukosa Darah Puasa GIST Gastro Intestinal Stromal Tumor
GDPP Glukosa Darah 2 Jam Post Prandial GLP-1 RA Glucagon Like Peptide-1 Receptor Agonist
GDPT Glukosa Darah Puasa Terganggu NYHA New York Heart Association
GDS Glukosa Darah Sewaktu OAH Obat Antihipertensi
GIP Glucose-Dependent Insulinotropic Polypeptide OHO Obat Hipoglikemik Oral
PAD Peripheral Arterial Disease SAFA Saturated Fatty Acid 
PCOS Polycystic Ovary Syndrome SHH Status Hiperglikemia Hiperosmolar
PERKENI Perkumpulan Endokrinologi Indonesia SIRS Systemic Inflammatory Response Syndrome 
PERSAIDA Persantuan Diabetes Indonesia STEMI ST-elevation Myocardial Infarction
PGDM Pemantauan Glukosa Darah Mandiri SU Sulfonilurea
PGD Penyakit Ginjal Diabetik TBC Tuberkulosis 
PGK Penyakit Ginjal Kronik TG Trigliserida
PI Protease Inhibitor TGT Toleransi Glukosa Terganggu
PJK Penyakit Jantung Koroner TIA Transient Ischemic Attack
PKVAS Penyakit Kardiovaskular Aterosklerotik TTGO Tes Toleransi Glukosa Oral 
PPAR Peroxisome Proliferator Activated Receptor TZD Thiazolidinedion
PPOK Panyakit Paru Obstruktif Kronik UACR Urinary Albumin to Creatinin Ratio
PUFA Poly Unsaturated Fatty Acid WHO World Health Organization