Kelainan genetika 5

 














Kromosom merupakan unsur penanggung jawab penurunan sifat 

dari orang tua kepada keturunannya. Kromosom tersusun atas 

sekumpulan gen yang terdiri atas untaian asam deoksiribonukleat 

(DNA) yang akan menentukan fenotip seseorang. Kromosom mulai diamati 

sejak pertengahan abad 19 setelah perkembangan teknik pewarnaan sel. 

DNA baru ditemukan pada tahun 1953 oleh Watson dan Crick. Kelainan 

genetik merupakan kelainan yang jarang terjadi, setidaknya 2% dari kelahiran 

mengalami kelainan genetik.1

Proses replikasi DNA merupakan mekanisme yang menjawab bagaimana 

proses penurunan sifat terjadi. Pada saat pembelahan sel, DNA akan 

mengalami replikasi, rantai ganda DNA akan terpisah dan masing-masing 

rantai akan menyintesis rantai komplementernya. Pada akhir pembelahan sel 

akan terbentuk dua rantai DNA yang yang sama persis dengan rantai yang 

ada sebelumnya. Rantai DNA yang baru ini, terdiri atas 1 utas rantai lama 

dan 1 utas rantai baru.1

Diperkirakan ada sekitar 20.000‒25.000 gen yang terdapat pada 

inti sel. Distribusi gen ini pada kromosom sangat bervariasi sehingga 

menghasilkan daerah heterokromatin dan eukromatin. Daerah yang paling 

banyak mengandung non koding DNA dengan densitas tinggi adalah daerah 

subtelomerik.1

1.2 DNA DAN KROMOSOM SEBAGAI UNSUR PEMBAWA SIFAT

DNA adalah kepanjangan dari deoxyribonucleic acid yang merupakan rantai 

panjang polimer nukleotida. DNA merupakan rantai double helix. Setiap nukleotida terdiri atas basa nitrogen, gula, dan fosfat. Basa nitrogen terdiri 

atas purin (adenin dan guanin) dan pirimidin (sitosin, timin, dan urasil). 

Serangkaian urutan DNA akan membentuk gen yang nantinya akan 

menghasilkan protein tertentu. Gen terdiri atas bagian yang disebut ekson 

dan intron.1

DNA dikemas dalam beberapa tahap untuk menjadi kromosom. DNA 

dikemas melingkar pada protein histon untuk membentuk nukleosom. 

Nukleosom digulung untuk membentuk benang-benang kromatin yang 

membentuk loop panjang pada rangka protein asam nonhiston, yang 

selanjutnya membentuk kumparan ketat sehingga terbentuk kromosom. 

Manusia memiliki 23 pasang kromosom (46 buah), terdiri atas 22 pasang 

autosom dan 1 pasang kromosom seks. Pada saat fertilisasi, masing-masing 

gamet akan membawa sifat dari ayah dan ibu untuk selanjutnya bergabung 

membentuk embrio.2


Fertilisasi didefinisikan sebagai interaksi antara gamet pria (sperma) 

dan gamet wanita (ovum), selanjutnya terjadi fusi, membentuk zigot, dan 

menghasilkan individu baru. Oosit dihasilkan dalam ovarium dan berhenti 

pada meiosis I, dalam perkembangannya oosit menghasilkan matriks ekstraseluler yang disebut Zona Pelusida (ZP). ZP pada manusia terdiri atas 

ZP1, ZP2, ZP3, dan ZP4. Pertumbuhan oosit diikuti dengan pertumbuhan sel 

granulosa yang mengelilinginya, yang akan mendukung terjadinya fertilisasi. 

Spermatozoa dihasilkan di testis kemudian dipindahkan ke epididimis untuk 

ditambahkan beberapa jenis protein. Spermatozoa akan diejakulasikan dalam 

keadaan matang tetapi belum mempunyai kemampuan fertilisasi. Setelah 

diejakulasikan, spermatozoa perlu mengalami beberapa tahap perubahan agar 

dapat melakukan fertilisasi. Spermatozoa mengalami beberapa perubahan 

fisiologi pada kepala, leher, dan ekor yang disebut kapasitasi. Sekali 

terkapasitasi, spermatozoa akan mempunyai kemampuan berenang yang kuat 

untuk dapat mencapai oosit. Selanjutnya akan mengalami reaksi akrosom agar 

dapat mencerna zona pelusida dan melakukan fusi dengan oosit.3,4

Fertilisasi dimulai ketika spermatozoa menembus kumulus ooforus dan 

korona radiata. Spermatozoa dengan akrosom yang intak akan menempel 

pada zona pelusida, menstimulasi terjadinya reaksi akrosom. Akrosom adalah 

organel subseluler yang ditemukan di ujung apikal kepala sperma, terdiri 

atas berbagai enzim dan protein pengikat ZP. Penetrasi spermatozoa akan 

dilanjutkan hingga terjadi fusi dengan oolemma. Kepala spermatozoa akan 

mengalami dekondensasi dan membentuk pronukleus. Dua pronuklei dari 

sperma dan oosit setelah terbentuk akan berpindah ke tengah saling terkait 

erat tetapi tidak mengalami fusi. Proses asosiasi akan mengakibatkan lapisan 

masing-masing pronukleus akan menghilang dan mengalami singami. KELAINAN GENETIK

Kelainan genetik merupakan kondisi yang diakibatkan kelainan pada 

kromosom atau gen tertentu. Kelainan genetik bisa disebabkan karena mutasi 

pada satu gen (monogenic disorder), mutasi pada beberapa gen, kombinasi dari 

mutasi gen dan faktor lingkungan atau karena kelainan kromosom (baik 

kelainan jumlah maupun kelainan bentuk).7 Kelainan kromosom secara garis 

besar dibagi menjadi dua, kelainan jumlah dan kelainan bentuk. Kelainan 

jumlah dapat berupa penambahan atau pengurangan kromosom yang 

disebut aneuploidi atau penambahan 1 set kromosom yang disebut poliploidi. 

Kehilangan satu kromosom disebut monosomi. Penambahan satu atau dua 

kromosom homolog disebut trisomi atau tetrasomi.




Beberapa Contoh Kelainan Jumlah Kromosom

Kelainan jumlah kromosom dapat berupa adanya penambahan atau 

pengurangan pada jumlah kromosom yang seharusnya 46. Penambahan ini 

dapat terjadi pada kromosom autosom maupun kromosom seks. Di bawah 

ini merupakan beberapa contoh kelainan yang diakibatkan oleh kelebihan 

atau kekurangan jumlah kromosom.

1. Sindrom Down

Kelainan ini pertama kali diperkenalkan oleh John Langdon Down 

pada tahun 1866. Kelainan ini disebabkan adanya kelebihan kromosom 

21, sebagian, atau seluruhnya. Sindrom Down merupakan penyakit genetik 

paling umum di seluruh dunia dan penyebab genetik paling umum terjadinya 

kecacatan intelektual, terjadi sekitar 1 dari 400–1500 bayi baru lahir.8

Ciri-ciri kelainan ini yang dapat diketahui sejak neonatus adalah telinga 

kecil, brachycephaly, wajah datar, lipatan epicantus, jembatan hidung datar, 

mulut kecil dengan lidah besar yang menonjol, leher pendek dengan tonjolan 

lemak di punggung, tangan lebar, garis melintang di telapak tangan yang 

disebut “lipatan Simian,” celah antara jari pertama dan jari kaki kedua yang 

dikenal sebagai “celah sandal”, hipotonia, dan hiperfleksibilitas.9

Ada tiga tipe kelainan pada Sindrom Down, yaitu tipe klasik di mana 

terjadi trisomi pada kromosom nomor 21, tipe ini adalah tipe tersering, terjadi 

pada sekitar 94% dari kejadian Sindrom Down. Tipe translokasi, di mana 

kromosom nomor 21 terlepas pada saat pembelahan dan menempel pada 

kromosom akrosentrik yang lain, kromosom nomor 13, 14, 15, dan 22. Tipe 

ini terjadi pada 3-4% kasus. Tipe mosaik di mana ada sebagian kromosom 

yang normal dan ada sebagian yang mengalami trisomi. Kelainan tipe klasik 

dan mosaik tidak diturunkan, terjadi karena kesalahan pembelahan sel pada 

sperma, oosit, maupun embrio. Pada tipe translokasi, pada beberapa kasus 

diturunkan dari orang tuanya.



2. Sindrom Turner

Didefinisikan sebagai keadaan di mana seorang wanita kehilangan 

seluruh atau sebagian kromosom X, terjadi pada 1 di antara 2500 kelahiran 

hidup wanita. Penderita Sindrom Turner memiliki ciri-ciri postur pendek,

pubertas yang lambat, tidak terbentuknya ovarium, hipergonadotropin 

hipogonadisme, infertil, kelainan jantung bawaan, kelainan endokrin seperti 

diabetes mellitus tipe 1 dan 2, osteoporosis, dan penyakit autoimun. Ciri￾ciri lain sangat bervariasi, dapat meliputi edema pada tangan dan kaki, webbed 

neck, garis rambut belakang yang rendah, displasia kuku, rahang bawah yang 

kecil, hipoplasia kuku, kuku hiperkoveks, cubituc valgus, dan jarak puting 

yang jauh

3. Sindrom Klinefelter

Sindrom Klinefelter merupakan kelainan kromosom yang paling sering 

terjadi pada laki-laki. Kelainan ini terjadi akibat adanya kelebihan kromosom 

X, kelebihan kromosom ini bisa didapatkan baik dari ayah maupun ibunya. 

Kelainan ini terjadi pada 1/500 sampai 1/1000 laki-laki.18,19 Gambaran 

pemeriksaan Sindrom Klinefelter 80% menunjukkan 47,XXY dan 20% grade

yang lebih tinggi dari kromosom aneuploidi, 46,XY/47,XXY mosaik atau 

adanya kelainan struktur pada koromosom X.20

Ciri-ciri Sindrom Klinefelter adalah kegagalan testis primer dengan 

ukuran testis kecil, azoospermia, hipergonadotropin hipogonadisme, postur 

tubuh tinggi dengan tipe tubuh eunukoid, ginekomastia, kriptokidisme, 

penis kecil, rambut pubis sedikit, sindrom metabolik, osteoporosis, kelainan 

psikiatri, defisiensi growth hormone, prolaps katup mitral, mengalami kesulitan 

dalam belajar, interaksi sosial dan perilaku.18,20 Sangat sulit menegakkan 

diagnosis tanpa pemeriksaan kromosom.

Diagnosis Sindrom Klinefelter sulit ditegakkan pada masa anak-anak, 

biasanya dilahirkan dengan fenotip normal walaupun pada beberapa kasus 

ditemukan sex ambigus. Diagnosis biasanya baru bisa ditegakkan sekitar 

usia 30 tahun saat mencari penyebab infertilitas. Hanya 10% kasus yang 

bisa ditegakkan sebelum pubertas.18 Diperkirakan 50–75% laki-laki dengan 

Sindrom Klinefelter tidak terdiagnosis.


Pola Penurunan Kelainan Genetik

Kelainan monogenic diturunkan dengan mengikuti hukum Mendel, ada empat 

pola penurunan sifat, yaitu:

1. Autosomal dominan

Pada kelainan ini, laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan 

yang sama, kelainan akan muncul pada setiap generasi, individu yang 

menderita salah satu orang tuanya adalah penderita, anak yang dilahirkan 

dari orang tua yang mempunyai kelainan dan tidak akan mempunyai 

kemungkinan 50% mengalami kelainan, pola penurunan antar jenis kelamin 

dapat terjadi (laki-laki ke laki-laki, laki-laki ke perempuan, perempuan ke 

perempuan, dan perempuan ke laki-laki)


Kelainan yang pola pewarisannya mengikuti pola ini antara lain 

achondroplasia, aniridia, glaukoma, Sindrom Costello, Renal Cysts and Diabetes 

(RCAD) Syndrome, Myotonic Dystrophy, Huntington Disease, spinoserebral 

ataksia, dan Familial Hypercholesterolemia.

23,24

2. Autosomal resesif

Kelainan autosomal resesif akan muncul ketika individu mewarisi sifat 

dari kedua orang tuanya (homozigot). Pada individu heterozigot yang hanya 

mewarisi sifat dari salah satu orang tuanya saja, kelainan ini tidak akan muncul. 

Individu ini sehat tetapi karier.1 Perkawinan sesaudara (consanguity) akan 

meningkatkan angka kejadian, terjadi pada laki-laki maupun perempuan.

Kelainan hemofilia, thalassemia, sickle cell anemia, Oculocutaneous 

Albinism, Crigler–Najjar Syndrome tipe I, Cystic fibrosis, dan Friedreich ataxia

merupakan beberapa contoh kelainan yang diwariskan secara autosomal 

resesif.23

3. X-Linked recessive

Kelainan ini utamanya terjadi pada laki-laki, diturunkan melalui 

perempuan karier kepada anak laki-lakinya. Laki-laki yang mempunyai 

kelainan apabila bisa mencapai usia reproduksi akan mewariskan kelainan 

ini pada cucu laki-lakinya melalui anak perempuannya yang karier. Tidak 

ditemukan transmisi dari laki-laki ke laki-laki.


Duchenne Muscular Dystrophy, Becker Muscular Dystrophy, Androgen 

Insensivity Syndrome, dan ichthyosis merupakan beberapa contoh kelainan 

X-linked recessive.

23,25

4. X-Linked dominant

Kelainan ini bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, tetapi 

lebih banyak pada perempuan, salah satu orang tua adalah penderita. Kelainan

ini lebih ringan dan bervariasi jika terjadi pada perempuan dibandingkan 

pada laki-laki. Perempuan yang menderita, 50% anaknya akan menderita 

kelainan yang sama, tidak memandang jenis kelaminnya. Jika laki-laki yang 

menderita, maka semua anak perempuannya akan menderita tetapi tidak 

pada anak laki-lakinya.

Kelainan yang diwariskan secara X-Linked dominant antara lain Charcot￾Marie-Tooth disease, Amyotrophic lateral sclerosis, hypophosphatemic rickets, dan 

protoporphyria.

26–29

1.3.3 Kelainan Multifaktorial

Kelainan multifaktorial merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor 

risiko, baik yang bersifat genetik maupun karena pengaruh lingkungan. 

Depresi, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit jantung, dan endokrin 

merupakan contohnya.30 Penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis, 

systemic lupus erythematosus, multiple sclerosis, diabetes mellitus tipe 1, psoriasis,

inflammatory bowel disease, serta penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson 

dan Alzheimer adalah contoh kelainan multifaktorial lainnya.31,32

Faktor genetik meliputi perubahan urutan basa pada genom manusia, 

beberapa polimorfisme berhubungan lebih dari satu macam penyakit, 

walaupun polimorfisme yang spesifik hanya berhubungan dengan satu jenis

penyakit, mutasi yang berbeda pada gen yang sama akan berakibat timbulnya 

penyakit yang berbeda. Paparan faktor lingkungan dapat terjadi seumur hidup, 

faktor lingkungan meliputi polusi, intervensi medis (obat-obatan, operasi), 

gaya hidup (diet, rokok, aktivitas fisik), dan status sosial ekonomi.30

1.4 RINGKASAN

Kelainan genetik dapat terjadi pada tingkat gen sampai tingkat kromosom. 

Kelainan genetik tingkat kromosom akan mengakibatkan kelainan yang 

cukup kompleks dan berupa sindrom (kumpulan gejala). Kelainan genetik 

tingkat gen akan mengakibatkan kelainan yang lebih spesifik dan hanya 

berkenaan dengan gen yang rusak saja. Kelainan genetik tidak selalu tampak 

pada awal kehidupan. Kelainan genetik yang bersifat multifaktorial akan 

mengakibatkan kelainan jika ada pengaruh faktor dari luar. Pengobatan 

kelainan genetik sampai saat ini baru berupa pengobatan simptomatis untuk 

meringankan gejala yang ada, belum ada pengobatan definitif yang bisa 

memperbaiki gen yang rusak. Oleh karena itu, deteksi dini sangat diperlukan 

agar penderita kelainan genetik mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.



Differences of sex development (DSD) merupakan suatu kondisi 

bawaan yang dapat menyebabkan jenis kelamin seorang bayi 

baru lahir menjadi sulit untuk ditentukan. Padahal, keputusan 

awal jenis kelamin seorang anak memiliki dampak signifikan karena akan 

digunakan dalam banyak hal, mulai dari pembuatan akta lahir hingga pola 

asuh orang tua.

Deteksi dini kondisi DSD sangat penting sebab pada kondisi yang relatif 

berat, anak dengan kromosom kelamin tertentu bisa memiliki gambaran 

klinis yang menyerupai jenis kelamin yang lain. Kesalahan penentuan 

jenis kelamin dapat menimbulkan dampak yang besar bagi masa depan 

anak. Melalui uraian sistematis dalam buku ini, para pembaca diharapkan 

dapat memahami serta mengambil keputusan yang cepat dan tepat apabila 

menjumpai kasus-kasus DSD.

2.2 PENENTUAN JENIS KELAMIN

Penentuan jenis kelamin seorang anak terjadi pada saat pembuahan 

(fertilisasi).1 Manusia normal memiliki 1 set kromosom yang berjumlah 46 

buah (diploid), sementara spermatozoa dan telur manusia memiliki separuh 

dari jumlah tersebut (haploid). Telur yang normal akan selalu memiliki 22 

autosom ditambah 1 kromosom seks, yaitu kromosom X. Spermatozoa di lain 

pihak memiliki dua variasi, yaitu 22 autosom ditambah 1 kromosom seks X 

atau 22 autosom ditambah 1 kromosom Y. Apabila spermatozoa yang memiliki 

kromosom X membuahi sel telur, maka secara genetik hasil pembuahan akan memiliki kelamin perempuan. Apabila spermatozoa memiliki kromosom Y 

membuahi telur, maka secara genetik hasil pembuahan akan memiliki jenis 

kelamin laki-laki.Meskipun jenis kelamin telah ditentukan sejak pembuahan, namun 

hasil pembuahan yang kita kenal sebagai embrio belum dapat dibedakan 

jenis kelaminnya secara langsung. Embrio akan berkembang membentuk 

bakal kelenjar kelamin (gonad) dan organ lainnya yang mulanya bersifat 

bipotensial (dapat berkembang menjadi organ reproduksi laki-laki maupun 

perempuan). Pada minggu ke-6 kehamilan, ekspresi dari SRY yang terdapat 

pada kromosom Y akan mengaktifkan jalur pembentukan gonad bipotensial 

menjadi testis. Ketiadaan kromosom Y akan menyebabkan gonad bipotensial 

berkembang menjadi ovarium (indung telur).

Pembentukan kelenjar kelamin juga diikuti perkembangan organ-organ 

dalam lainnya yang bersifat bipotensial menjadi organ kelamin yang sesuai 

dengan jenis kelamin yang telah ditentukan secara genetik. Organ kelamin 

dalam mulai mengalami perubahan pada minggu ke-9 atau 10 kehamilan. 

Pada embrio laki-laki, akibat pengaruh hormon testosteron, duktus Wolfii 

akan berkembang menjadi epididimis, vas deferen, dan vesikula seminalis. 

Anti-mulerian hormone (AMH) menyebabkan regresi duktus Muller.Organ kelamin luar mengalami perkembangan yang identik selama 

minggu ke-8 hingga 12 kehamilan. Perubahan mulai nampak pada minggu 

ke-12 kehamilan dan perkembangannya akan lengkap pada minggu ke-14 

kehamilan. Pada embrio laki-laki, hormon dihidrotestosteron (DHT) akan 

menyebabkan organ kelamin yang awalnya bipotensial akan berkembang 

menjadi organ kelamin luar laki-laki.


2.3 DIFFERENCES OF SEX DEVELOPMENT

Perkembangan organ seksual tidak selalu berjalan secara normal. Kelainan 

kromosom seks maupun ketidaksesuaian kromosom seks dengan gonad, 

organ kelamin dalam, dan organ kelamin luar dapat terjadi. Kondisi kelainan 

kongenital ini memiliki beragam istilah yang kemudian diseragamkan 

menjadi disorders of sex development yang bila diterjemahkan ke dalam 

bahasa Indonesia menjadi “gangguan perkembangan jenis kelamin”. Istilah 

ini kemudian diganti menjadi differences of sex development. Kedua istilah 

masih umum dipakai untuk menjelaskan kondisi yang sama dan memiliki 

singkatan yang sama, yaitu DSD.2 Insiden DSD dilaporkan sekitar 1:4500 

hingga 1:5000 kelahiran hidup.3

DSD diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi yang diajukan oleh 

Lawson Wilkins Pediatric Endocrinology Society dan European Society of


DSD mencakup beragam spektrum kondisi, mulai dari yang tidak 

mengancam hingga mengancam nyawa seperti congenital adrenal hyperplasia. 

Kondisi ini juga mencakup kondisi di mana jenis kelamin masih dapat

ditentukan dengan cukup mudah hingga sangat sulit. Peningkatan kejadian 

gangguan kognitif, motorik, dan kondisi neuropsikiatri dapat terjadi terutama 

pada individu dengan aneuploidi kromosom seks dan pada tingkat lebih 

rendah pada individu yang memiliki bentuk lain dari DSD kromosom 

seks.5,6

DSD perlu ditatalaksana secara komprehensif dengan melibatkan tim 

dari berbagai disiplin ilmu. Penanganan ini umumnya dilakukan pada pusat 

rujukan tersier yang telah berpengalaman menangani kasus-kasus DSD. Tim 

multidispilin ini akan melakukan diagnosis, penetapan jenis kelamin, dan 

pilihan terapi.4,7

Layanan primer tidak dituntut untuk menentukan jenis kelamin bayi 

baru lahir dengan DSD segera apabila jenis kelamin sulit ditentukan. Namun, 

penting bagi pemberi layanan primer mendeteksi adanya DSD, memberikan 

penanganan terhadap kondisi yang mengancam nyawa, memberikan informasi 

yang jelas kepada orang tua, dan melakukan rujukan yang benar. Beberapa 

hari pertama kehidupan adalah periode waktu kritis untuk mendeteksi kadar 

hormon reproduksi. Penundaan yang terlalu lama menyebabkan ahli endokrin 

tidak dapat mengkaji tingkat hormon dengan baik.8

2.4 PEMERIKSAAN KELAMIN

Setiap bayi baru lahir perlu diperiksa segera setelah dilahirkan. Salah satu 

hasil pemeriksaan yang sangat ditunggu oleh orang tua dan anggota keluarga 

lainnya adalah jenis kelamin sang bayi. Meskipun demikian, berbagai 

pemeriksaan lain seperti tanda-tanda vital perlu dilakukan terlebih dahulu. 

Penjelasan sederhana mengenai pemeriksaan bayi baru lahir dan pemeriksaan 

kelamin akan dijelaskan pada subbab ini.

2.4.1 Pemeriksaan Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir perlu dikaji untuk mengetahui adanya tanda-tanda 

kedaruratan. Tanda-tanda kedaruratan yang dapat ditemui dan harus segera 

ditangani adalah:1. Tidak bernapas sama sekali walaupun distimulasi, bernapas terengah￾engah; frekuensi napas kurang dari 20 kali per menit; ATAU

2. Perdarahan; ATAU

3. Syok (pucat, dingin saat disentuh, frekuensi jantung lebih dari 180 kali 

per menit, letargi, atau tidak sadar).

Setelah melakukan pemeriksaan tanda kedaruratan dan melakukan 

penatalaksanaan segera bila diperlukan, pengkajian dilanjutkan pemeriksaan 

menyeluruh yang meliputi penampakan umum, status pertumbuhan, kepala 

dan leher, bahu dan ekstremitas atas, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas 

bawah, punggung, dan neurologis. Buku ini akan memfokuskan hanya pada 

pemeriksaan urogenital yang berperan untuk menentukan jenis kelamin dan 

adanya DSD.

2.4.2 Pemeriksaan Kelamin Laki-laki

Inspeksi daerah urogenital pada bayi yang diduga laki-laki dilakukan dalam 

posisi terlentang. Gambar 2.3 adalah diagram alat kelamin laki-laki normal. 

Usia kehamilan sangat berpengaruh terhadap penampilan genitalia eksterna. 

Rugae (kerutan atau lipatan) mulai terbentuk pada permukaan ventral skrotum 

pada usia kehamilan sekitar 36 minggu. Saat aterm, skrotum sepenuhnya 

kasar dan berpigmen lebih gelap daripada kulit di sekitarnya.Palpasi kantung skrotum dan kanalis inguinalis untuk menemukan testis 

dan mendeteksi adanya massa. Letak testis bergantung pada usia kehamilan. 

Pada usia kehamilan di bawah 26 minggu, testis umumnya tidak ditemukan 

di dalam skrotum. Pada perkembangan selanjutnya, testis akan berada di 

kanalis inguinalis dan umumnya telah berada di skrotum pada sebagian 

besar janin berusia kehamilan 31 minggu.9 Saat dipalpasi, testis normal akan 

berbatas tegas dan halus serta ukurannya relatif sama. Testis berbentuk bulat 

telur, biasanya dapat bergerak, dan rata-rata berukuran 1,4 hingga 1,6 cm 

pada bayi baru lahir.

Pada bayi baru lahir, preputium melekat pada glans dan tidak dapat 

ditarik ke belakang tanpa mengganggu perlekatan alaminya dengan 

permukaan glans. Oleh karena itu, retraksi paksa harus dihindari. Kondisi 

ini dianggap sebagai fimosis fisiologis dan umumnya dapat diretraksi setelah beberapa tahun pertama kehidupan.10 Traksi lembut pada preputium untuk 

memvisualisasikan meatus uretra di bagian tengah ujung penis. Penis harus 

lurus; ereksi sering terlihat pada bayi baru lahir. Panjang dan lebar penis harus 

dinilai. Panjang penis yang diukur dengan peregangan dari penopubic junction

ke kepala glans harus setidaknya 2–3 cm dan diameternya harus 0,9 cm pada 

bayi cukup bulan. Beberapa bayi baru lahir memiliki deposit besar jaringan 

adiposa di atas tulang kemaluan, memberikan ilusi penis kecil. Dalam kasus 

seperti itu, penting untuk menekan bantalan lemak saat meregangkan penis 

untuk penilaian panjang penis. Gambar 2.4 menunjukkan teknik pengukuran 

panjang penis.

2.4.3 Pemeriksaan Kelamin Perempuan

Pada bayi yang diduga sebagai perempuan, alat kelamin diperiksa dengan 

bayi baru lahir dalam posisi telentang. Ilustrasi anatomi eksternal wanita 

normal disajikan pada Gambar 2.5. Labia mayor adalah struktur terluar, 

membentang dari mons pubis ke komisura labial. Medial dari labia mayor 

adalah labia minor, yang bergabung secara anterior untuk membentuk 

preputium klitoris.


Selama 8 minggu pertama kehidupan, bayi baru lahir cukup bulan 

mungkin memiliki labia yang menonjol, klitoris yang besar, dan meatus 

uretra yang sulit untuk divisualisasikan karena pengaruh estrogen ibu. 

Paparan hormon ibu dapat merangsang keluarnya cairan putih, mukoid, dan/

atau perdarahan (pseudomens). Temuan ini dapat bertahan hingga 10 hari. 

Alat kelamin bayi baru lahir dengan posisi sungsang dan besar mungkin 

mengalami edema dan ekimosis selama beberapa hari setelah dilahirkan.

Usia kehamilan memengaruhi penampilan alat kelamin wanita. Pada 

kondisi bayi lahir prematur, labia minor dan klitoris sangat menonjol, dan 

labia mayor akan tampak kecil karena kurangnya jaringan adiposa. Labia 

mayor lebih besar pada bayi baru lahir yang lebih matang. Pada bayi cukup 

bulan, labia mayor biasanya menutupi klitoris dan labia minor. Meatus 

uretra harus tepat di bagian ventral dari lubang vagina. Penyimpangan dari 

posisi ini mungkin menunjukkan gangguan perkembangan (kelainan) sinus 

urogenital atau DSD. Labia, daerah inguinal, dan suprapubik diperiksa dan 

dipalpasi untuk mendeteksi adanya massa, tonjolan, atau pembengkakan. 

Labia kemudian dipisahkan dengan traksi ke arah lateral dan bawah dengan 

lembut menggunakan jari-jari pemeriksa. Klitoris adalah struktur paling atas, 

terletak di persimpangan labia minor. Pada bayi perempuan cukup bulan, 

lebar klitoris normal adalah 2–6 mm dan harus dianggap abnormal jika >9 

mm.11

Tepat di bawah klitoris dan di atas lubang vagina terdapat meatus uretra. 

Perineum normalnya selebar ujung jari pada bayi perempuan aterm. Hymen 

(selaput dara) menutupi vagina dengan memiliki lubang di sentral. Hymenal tag

adalah variasi neonatal yang dapat terjadi pada 5.75–13% bayi baru lahir dan akan 

menghilang dalam beberapa minggu karena berkurangnya kadar estrogen.12,13

2.5 DETEKSI DIFFERENCES OF SEX DEVELOPMENT

DSD patut dicurigai apabila terdapat beberapa kondisi sebagai berikut:14,15

 Ambiguitas genital yang jelas


 Riwayat keluarga DSD, seperti sindrom insensitivitas androgen lengkap/

complete androgen insensitivity syndrome (CAIS)

 Ketidaksesuaian antara penampilan genital dan kariotipe prenatal

 Alat kelamin wanita yang jelas dengan klitoris yang membesar dan fusi 

labial posterior

 Alat kelamin wanita yang jelas dengan massa inguinal/labial

 Alat kelamin laki-laki jelas dengan testis tidak turun bilateral

 Alat kelamin pria yang jelas dengan mikrophallus

 Alat kelamin pria yang jelas dengan hipospadia proksimal

 Genitalia pria yang jelas dengan hipospadia distal atau mid-shaft dengan 

testis yang tidak turun

Pada pemeriksaan kelamin pasien DSD sebaiknya pemeriksa 

menggunakan istilah yang netral seperti ‘phallus’ di awal pemeriksaan untuk 

klitoris atau penis. Gonad, lipatan labioskrotal, phallus, dan defek urogenital 

harus diperiksa satu per satu.

2.5.1 Pemeriksaan Labioskrotum dan Gonad

Lipatan labioskrotum dan keberadaan gonad di skrotum harus dievaluasi 

terlebih dahulu. Meskipun gonad yang dapat dipalpasi umumnya adalah 

testis, harus diingat bahwa pada kondisi yang jarang dapat berupa ovotestikel. 

Selanjutnya, asimetri, maskulinisasi, dan status gonad labioskrotal pada 

struktur genital eksternal, adanya pembengkakan, pigmentasi, fusi, dan lipatan 

labioskrotal harus dinilai dengan inspeksi dan palpasi. Hiperpigmentasi di 

daerah genital atau daerah puting mungkin merupakan tanda adanya CAH. 

Pemeriksaan inguinal sangat penting pada anak perempuan, meskipun 

fenotipe normal perempuan. Adanya hernia harus diselidiki dengan palpasi 

bilateral.

2.5.2 Pemeriksaan Phallus

Panjang penis yang diukur dengan peregangan dari penopubic junction ke 

kepala glans harus setidaknya 2–3 cm dan diameternya harus 0,9 cm pada bayi cukup bulan. Amati juga posisi uretra. Apabila muara uretra berada 

di ventral penis, maka kondisi ini disebut sebagai hipospadia. Ada atau 

tidak adanya chordae harus ditentukan pada pemeriksaan fisik pada bayi 

ini. Klitoris mungkin tampak lebih besar karena jumlah jaringan adiposa 

yang sedikit di labia pada bayi prematur. Selain itu, juga harus diingat 

bahwa peningkatan kadar dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA-S) dapat 

menyebabkan klitoromegali yang umumnya membaik pada bulan pertama 

pascakelahiran dengan penurunan DHEA-S.

Dari hasil pemeriksaan di atas, jenis kelamin dan DSD dapat dijabarkan 

menggunakan skala Prader dan skor maskulinisasi eksternal (External 

Masculinization Score). Skala Quigley tidak disarankan untuk digunakan 

pada bayi baru lahir karena umumnya digunakan pada pasien 46,XY yang 

mengalami sindrom insensitivitas androgen. Selain itu, skala 6 dan 7 tidak 

dapat dibedakan hingga pubertas.16

Skala Prader atau Prader staging adalah sistem penilaian sederhana untuk 

mengukur tingkat virilisasi alat kelamin yang dibuat oleh Andrea Prader dan 

mirip dengan skala Quigley. Skala ini mulanya digunakan untuk menilai 

virilisasi alat kelamin wanita dalam kasus hiperplasia adrenal kongenital dan 

mengidentifikasi lima tahap yang berbeda.17 Namun, belakangan ini telah 

digunakan untuk menggambarkan kisaran perbedaan alat kelamin luar, 

dengan presentasi bayi normal ditunjukkan pada kedua ujungnya. Skala 

perempuan berada di sebelah kiri dan laki-laki di sebelah kanan.

Skala Prader terdiri atas 7 kondisi yang dijelaskan sebagai berikut 

(perhatikan Gambar 2.6):

1. Wanita dengan alat kelamin eksternal normal dan wanita dengan 

Sindrom Turner 45,X dan 45,X/46,XX. Namun, mereka yang 46,XY 

dan memiliki bentuk lengkap disgenesis gonad 46,XY dan sindrom 

insensitivitas androgen dapat memiliki gambaran yang serupa.

2. Prader 1 ditandai dengan klitoris yang sedikit membesar tanpa fusi 

labioskrotal. Prader I dapat dianggap sebagai kondisi umum yang ada 

pada populasi wanita secara umum.3. Prader 2 ditandai dengan klitoromegali dengan fusi labioskrotal bagian 

posterior.

4. Prader 3 ditandai klitoromegali dengan orifisium urogenital yang tunggal 

dan fusi labioskrotal yang hampir lengkap.

5. Prader 4 dikenal dengan phallic clitoris, ditandai dengan sinus urogenital 

yang menyerupai uretra terletak di pangkal klitoris dan fusi labioskrotal 

yang lengkap.

6. Prader 5 dikenal dengan penile clitoris (phallus menyerupai penis), ditandai 

dengan meatus uretra pada batang phallus, daerah balanik (hipospadia 

glandular) hingga di ujung penis, dan labioskrotal menyerupai skrotum 

tanpa adanya gonad.

7. Laki-laki normal dengan genitalia eksterna yang khas dan testis yang 

normal di skrotum.External Masculinization Score (EMS) adalah sistem penilain tervalidasi 

yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat maskulinisasi. Setiap fitur alat 

kelamin luar (ukuran lingga, fusi labioskrotal, lokasi gonad, dan lokasi meatus 

uretra) dapat dinilai secara individual untuk memberikan skor dari 0–12.14

(Gambar 2.7).

2.6 TATA LAKSANA DI LAYANAN PRIMER

Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan apabila nakes layanan primer 

menemukan kondisi-kondisi abnormalitas pada organ kelamin bayi baru lahir 

adalah sebagai berikut:

1. Semua bayi yang baru lahir harus diperiksa dan diidentifikasi jenis 

kelamin laki-laki atau perempuan.

2. Apabila testis tidak turun sempurna dan hanya teridentifikasi dengan 

perabaan atau terjadi undensensus testis unilateral, lakukan pemeriksaan 

ulang atau rujukan setelah 6 minggu. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh 

dokter umum yang terlatih atau dokter spesialis.

3. Apabila pasien memiliki hipospadia distal (bukan penoskrotal atau 

perineal) dan tidak ditemukan kelainan lain yang membutuhkan 

penanganan segera, edukasi pasien untuk menunda khitan hingga pasien 

telah ditatalaksana oleh dokter spesialis urologi.4. Bayi dengan suspek DSD yang memerlukan evaluasi klinis lebih lanjut 

dan perlu untuk dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis. Kasus 

ini mencakup bayi dengan hipospadia perineal terisolasi, mikropenis 

terisolasi, klitoromegali terisolasi, segala bentuk hipospadia familial, dan 

mereka yang memiliki kombinasi anomali genital dengan EMS kurang 

dari 11.14

5. Jika terdapat kondisi DSD yang jenis kelaminnya belum pasti, jelaskan 

kepada orang tua bahwa tidak mungkin untuk menentukan apakah 

bayi mereka laki-laki atau perempuan pada saat ini. Menduga-duga jenis 

kelamin dapat merugikan pasien dan orang tua sebab ada kemungkinan 

kesulitan untuk menerima perubahan jenis kelamin di kemudian hari 

apabila pola asuh orang tua berbeda dengan kenyataan jenis kelamin.

6. Lakukanlah rujukan ke pusat rujukan tersier yang umumnya berlokasi 

di ibu kota provinsi Anda.

2.7 PEMERIKSAAN KROMATIN SEKS SEDERHANA

Pada individu dengan lebih dari satu kromosom X, akan terjadi inaktivasi 

(Lyonisasi) pada satu kromosom X di periode awal perkembangan embrio.19

Dengan demikian, perempuan dengan kromosom yang normal (46,XX) akan 

memiliki satu kromosom yang inaktif, sementara laki-laki (46,XY) tidak 

memiliki kromosom X yang inaktif. Namun, dilaporkan bahwa kromosom 

X yang mengalami inaktivasi ini dapat mengalami reaktivasi pada pasien 

dengan kanker payudara.20 Kromosom X yang inaktif ini dapat diamati 

pada neutrofil, mukosa mulut dan vagina, epitel kornea, fibroblas, dan sel 

pulpa gigi.21,22 Pada neutrofil, kromosom X yang inaktif akan memberikan 

gambaran unik berupa drum stick (DS) di bagian inti. Sementara pada epitel 

kornea, mukosa mulut dan vagina, serta fibroblas disebut “Barr body”.

DS pertama kali diidentifikasi oleh Davidson dan Smith sebagai struktur 

tambahan di inti. Oleh karena itu, DS sering juga disebut sebagai “Davidson’s 

bodies”. DS ditemukan pada 0,5% hingga 2,6% neutrofil. Davidson dan Smith 

mengklasifikasikan lima jenis tambahan inti pada neutrofil dewasa: DS, sessile nodule, small club, lobus minor (minor lobe), dan raket. Mereka menganggap 

hanya DS yang terkait dengan kromatin seks.23 Namun, Kosenow percaya 

bahwa sessile nodule memiliki kemaknaan diagnostik jenis kelamin yang 

sama.24 DS memiliki kepala bulat yang tegas, padat, berdiameter sekitar 1,5 

mikron, dan dihubungkan oleh satu untaian halus ke satu lobus nukleus. 

Sessile nodule memiliki penampilan seperti DS tetapi tidak memiliki batang 

penghubung. Lobus minor berukuran besar, memiliki dua untai penghubung, 

berupa garis tidak teratur. Small club (tongkat kecil) memiliki diameter kepala 

kurang dari 1 mikron dan tidak terlihat pada perbesaran x90; sering multipel 

dan lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Sessile nodule dan tag lebih 

sering terjadi pada wanita. Struktur raket berbeda dari DS karena memiliki 

bagian tengah yang pucat.

Pemeriksaan DS pada neutrofil dapat dilakukan sesuai dengan tahapan 

berikut:

1. Sterilkan daerah yang akan diambil darahnya dengan menggunakan 

alkohol 96%

2. Ambil sampel darah dengan menusukkan lancet pada daerah yang telah 

disterilkan

3. Teteskan darah pada gelas objek


4. Buat preparat hapus

5. Keringkan pada suhu ruangan

6. Fiksasi preparat dengan larutan fixatif (metanol) selama 5 menit

7. Warnai preparat dengan larutan Giemsa selama 5 menit

8. Bilas dengan air keran lalu keringkan

9. Amati 100 neutrofil dengan mikroskop, dimulai dari ujung preparat 

hapus

10. Bila ditemukan DS dalam neutrofil, maka pasien kemungkinan 

perempuan (46,XX). Bila tidak ditemukan DS, maka pasien 

kemungkinan laki-laki (46,XY), pasien dengan insensitivitas androgen 

(46,XY), atau Sindrom Turner (45,X)

Pemeriksaan DS memiliki sensitivitas 94.28% dan spesifisitas 90%. 

Kemaknaan klinis yang baik ini diperoleh hanya dengan mendeteksi satu DS 

dari pemeriksaan 100 neutrofil pada sampel hapusan darah tepi.25

Kelainan jumlah kromosom dapat terjadi pada kromosom X, misalnya 

45,X (Sindrom Turner), 47,XXY dan 48,XXXY (Sindrom Klinefelter 

dan variasinya), serta 47,XXX. Dengan demikian, pada kondisi 47,XXY, 

48,XXXY, dan 47,XXX seharusnya didapatkan tambahan kromosom inaktif 

yang membentuk DS ekstra. Namun, dilaporkan bahwa Sindrom Klinefelter 

memiliki insiden DS lebih rendah daripada wanita normal sedangkan 

frekuensi Barr body tidak menurun.24 Sementara pasien dengan kromosom 

XXX dan XXXY tidak mengalami pertambahan jumlah DS, namun insiden 

sessile nodule meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tambahan kromosom 

X yang ketiga tidak dapat membentuk DS tambahan namun membentuk 

sessile nodule.

26

Pemeriksaan DS ini tergolong sederhana dan dapat dilakukan di layanan 

primer. Namun, bukan berarti pemeriksaan ini dapat menggantikan rujukan 

pasien DSD ke pusat layanan yang lebih komprehensif mengingat pemeriksaan 

ini tidak sepenuhnya dapat menggantikan pemeriksaan genetik yang telah 

menjadi standar baku dalam pelayanan pasien DSD.

Penentuan jenis kelamin seseorang terjadi sejak proses pembuahan, di mana 

struktur genitalia internal serta eksternal akan berkembang pada minggu￾minggu selanjutnya. Namun, proses perkembangan ini tidak selalu terjadi 

secara normal, menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan differences 

of sex development (DSD). Klasifikasi DSD meliputi tiga bagian besar, yaitu 

DSD kromosom seks, DSD 46,XY, dan DSD 46,XX. Spektrum DSD ini 

cukup luas, dari yang tidak mengancam jiwa sampai yang mengancam jiwa 

seperti adrenal hiperplasia. 

Identifikasi jenis kelamin ini perlu dilakukan sesegera mungkin setelah 

bayi baru lahir tentunya setelah pemeriksaan tanda-tanda vital. Pemeriksaan 

kelamin laki-laki meliputi penis, preputium, meatus uretra, skrotum, dan 

testis. Sementara pemeriksaan kelamin perempuan meliputi labia mayor, labia 

minor, klitoris, meatus uretra, dan vagina. Bentuk alat kelamin yang tidak 

jelas merupakan suatu dugaan adanya DSD. Penilaian jenis kelamin dapat 

dinterpretasikan dengan menggunakan skala Prader yang terdiri atas tujuh 

kondisi. Penilaian yang lain dapat dilakukan dengan External Masculinization 

Score (EMS) dengan skor 0–12. Pemeriksaan seks kromatin dapat dilakukan 

untuk melakukan skrining terhadap bayi yang mengalami DSD. Pemeriksaan 

seks kromatin berupa gambaran Barr Body dan Drum Stick. Layanan 

kesehatan primer berperan penting sebagai garda terdepan dalam hal deteksi 

dini bayi lahir dengan DSD serta merujuk ke fasilitas kesehatan tingkat 

lanjut agar pasien dapat ditatalaksana secara komprehensif. Apabila terjadi 

keraguan dalam menentukan jenis kelamin seorang bayi baru lahir, sebaiknya 

penetapan jenis kelamin ini ditunda sementara waktu.





Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan sistem saraf 

pusat bahkan sejak bayi di dalam rahim. Kondisi hipotiroid 

kongenital sangat berisiko mengganggu perkembangan otak 

dan intelektual anak. Data menunjukkan bahwa lebih dari 1,7 juta orang di 

Indonesia berpotensi mengalami gangguan tiroid. Kasus positif gangguan 

tiroid pada bayi yang baru lahir dilaporkan sebesar 1:2.736. Jumlah ini lebih 

tinggi jika dibandingkan dengan rasio global, yaitu 1:3000 kelahiran. Sangat 

penting untuk melakukan skrining hipotiroid kongenital sebagai upaya 

pencegahan terjadinya hipotiroid kongenital.1

Salah satu upaya meningkatkan kualitas hidup anak adalah dengan 

melaksanakan pemeriksaan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Hal 

tersebut sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 

No. 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak, dan diperjelas secara 

teknis dengan Permenkes No. 78 Tahun 2014 tentang SHK. Permenkes 

tersebut menegaskan bahwa salah satu pelayanan kesehatan bayi baru lahir 

adalah skrining bayi baru lahir, yang dilakukan terhadap setiap bayi baru 

lahir oleh tenaga kesehatan, dan paling sedikit meliputi Skrining Hipotiroid 

Kongenital (SHK).2,3

3.2 AKSIS HIPOTALAMUS-HIPOFISIS-TIROID

Hormon ini penting untuk brain development, kerja otot, baik otot lurik 

atau polos, pertumbuhan lempeng epifisis, mengatur suhu, metabolisme tubuh, dsb. Pada proses release dari otak, awalnya daerah hipotalamus akan 

menghasilkan TRH (Thyroid Releasing Hormone). TRH akan menstimulasi 

hipofisis untuk menghasilkan TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dan 

menstimulasi release tiroksin dari kelenjar tiroid.4,5

Hipotiroid ini dapat terjadi sejak lahir (kongenital) atau acquired (didapat). 

Hipotiroid kongenital adalah kondisi di mana fungsi kelenjar tiroid pada anak 

menurun atau tidak berfungsi sejak lahir. Kelainan kelenjar tiroid ini bisa 

diikuti kelainan bentuk (anatomis) yang lebih kecil atau tidak terbentuk. 

Kelainan tiroid ini mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan fisik 

dan mental anak melambat. Hipotiroid yang didapat sebagian besar terjadi 

pada penyakit autoimun, misalnya Tiroiditis Hashimoto.6

Permasalahan hipotiroid merupakan masalah yang sangat penting. Jika 

tidak segera mendapat penanganan, bayi dengan hipotiroid kongenital akan 

mengalami gangguan tumbuh kembang hingga retardasi mental. Untuk 

diketahui, hormon tiroid memegang peran penting dalam perkembangan 

susunan saraf pusat di otak, mengatur panas tubuh, metabolisme, serta 

membantu jantung, otot, dan organ tubuh lainnya berfungsi dengan baik.6

3.3 HIPOTIROID KONGENITAL PRIMER

3.3.1 Gejala

Lebih dari 95% bayi dengan hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan gejala 

saat lahir. Kalaupun ada, sangat samar dan tidak khas. Tanpa pengobatan, 

gejala akan semakin tampak dengan bertambahnya usia.7

Gejala dan tanda yang dapat muncul:8

1. letargi (aktivitas menurun); 

2. ikterus (kuning); 

3. makroglosi (lidah besar); 

4. hernia umbilikalis (bodong); 

5. hidung pesek; 

6. konstipasi; 7. kulit kering; 

8. skin mottling (cutis marmorata)/burik;

9. mudah tersedak; 

10. suara serak; 

11. hipotoni (tonus otot menurun); 

12. ubun-ubun melebar; 

13. perut buncit; 

14. mudah kedinginan (intoleransi terhadap dingin); 

15. miksedema (wajah sembap); 

16. udem scrotum.Jika sudah muncul gejala klinis, berarti telah terjadi retardasi mental. 

Untuk itu penting sekali dilakukan SHK pada semua bayi baru lahir sebelum 

timbulnya gejala klinis di atas karena makin lama gejala makin berat. 

Hambatan pertumbuhan dan perkembangan mulai tampak nyata pada umur 

3–6 bulan dan gejala khas hipotiroid menjadi lebih jelas. Perkembangan

mental semakin terbelakang, terlambat duduk, dan berdiri serta tidak mampu 

belajar bicara.9

HK pada bayi baru lahir dapat bersifat menetap (permanen) maupun 

transien. Disebut sebagai HK transien bila setelah beberapa bulan atau 

beberapa tahun sejak kelahiran, kelenjar tiroid mampu memproduksi sendiri 

hormon tiroidnya sehingga pengobatan dapat dihentikan. HK permanen 

membutuhkan pengobatan seumur hidup dan penanganan khusus. Penderita 

HK permanen ini akan menjadi beban keluarga dan negara.10 Untuk itu, 

penting sekali dilakukan SHK pada semua bayi baru lahir sebelum timbulnya 

gejala klinis di atas, karena makin lama gejala makin berat. 

Bila tidak segera dideteksi dan diobati, maka bayi akan mengalami 

kecacatan yang sangat merugikan kehidupan berikutnya. Anak akan mengalami 

gangguan pertumbuhan fisik secara keseluruhan, dan yang paling menyedihkan 

adalah perkembangan mental terbelakang yang tidak bisa dipulihkan. Keluarga 

yang memiliki anak dengan gangguan hipotiroid kongenital akan mendapat 

dampak secara ekonomi maupun psikososial. Anak dengan retardasi mental 

akan membebani keluarga secara ekonomi karena harus mendapat pendidikan, 

pengasuhan, dan pengawasan yang khusus. Secara psikososial, keluarga akan 

lebih rentan terhadap lingkungan sosial karena rendah diri dan menjadi stigma 

dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu, produktivitas keluarga menurun 

karena harus mengasuh anak dengan hipotiroid kongenital.

Bila tidak dilakukan skrining pada setiap bayi baru lahir, negara akan 

menanggung beban biaya pendidikan maupun pengobatan terhadap kurang 

lebih 1600 bayi dengan hipotiroid kongenital setiap tahun. Jumlah penderita 

akan terakumulasi setiap tahunnya. Selanjutnya negara akan mengalami 

kerugian sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan 

bangsa.

3.3.2 Skrining Hipotiroid Kongenital

Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) adalah skrining/uji saring untuk 

memilah bayi yang menderita HK dari bayi yang bukan penderita. SHK


bukan hanya melakukan tes laboratorium, tetapi merupakan suatu sistem 

dengan mengintegrasikan proses/prosedur maupun individu yang terlibat, 

yaitu manajemen puskesmas/rumah sakit, penanggung jawab program, 

petugas kesehatan, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pemerintah 

daerah. Sistem ini mencakup komponen Komunikasi, Informasi, Edukasi 

(KIE), pengambilan dan pemeriksaan spesimen, tindak lanjut hasil skrining, 

diagnosis, tata laksana, pemantauan kasus, pengorganisasian, dan monitoring￾evaluasi program.3

Secara garis besar, dibedakan tiga tahapan utama yang sama 

pentingnya dalam pelaksanaan skrining yaitu,3 1) praskrining; 2) skrining; 

3) pascaskrining. 

Sebelum tes laboratorium, diperlukan sosialisasi, advokasi, dan edukasi 

termasuk pelatihan. Proses skrining, bagaimana prosedur yang benar, 

sensitivitas dan spesifisitas, validitas, pemantapan mutu (eksternal/internal). 

Tindak lanjut hasil tes, pemanggilan kembali bayi untuk tes konfirmasi, 

dilanjutkan diagnosis dan tata laksana pada kasus hasil tinggi HK

Pada bagian ini akan dibahas tentang KIE, proses skrining, dan tindak 

lanjut hasil skrining. Pembahasan tentang laboratorium, tata laksana kasus, 

dan pengorganisasian akan dibahas tersendiri.3

3.3.3 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)

Komunikasi, informasi, dan edukasi merupakan suatu proses berkelanjutan 

untuk menyampaikan kabar/berita dari komunikator kepada penerima 

pesan agar terjadi perubahan pengetahuan dan perilaku sesuai isi pesan yang 

disampaikan. Media KIE dapat berupa leaflet, video, poster, brosur, dan 

lain-lain.3

1. Tujuan KIE 

 Tujuan KIE adalah timbulnya reaksi/respons positif pemangku 

kebijakan, tenaga kesehatan, orang tua, keluarga, dan masyarakat agar 

dapat melaksanakan SHK pada bayi baru lahir.3

2. Prinsip KIE 

 Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan KIE. 

Penyampaian pesan harus dengan cara persuasif, dengan bahasa yang 

sederhana dan memperhatikan keadaan/kondisi lawan bicara.3

Isi pesan yang akan disampaikan terutama tentang keuntungan dan 

kerugian pada bayi jika memperoleh/tidak memperoleh SHK. Pesan yang 

disampaikan mengacu pada leaflet, brosur, dll. Sasaran KIE pada SHK: 1) 

ibu/orang tua/keluarga; 2) masyarakat luas; 3) tenaga kesehatan; 4) pemangku 

kebijakan.

3.4 PROSES SKRINING

Secara garis besar, skrining bayi baru lahir meliputi proses:

3.4.1 Persiapan

1. Persiapan Bayi dan Keluarga 

Memotivasi keluarga, ayah/ibu bayi baru lahir sangat penting. 

Penjelasan kepada orang tua tentang skrining pada bayi baru lahir dengan pengambilan tetes darah tumit bayi dan keuntungan skrining ini 

bagi masa depan bayi akan mendorong orang tua untuk mau melakukan 

skrining bagi bayinya.3

2. Persetujuan/Penolakan 

1) Persetujuan (informed consent) 

 Persetujuan (informed consent) tidak perlu tertulis khusus, 

tetapi dicantumkan bersama-sama dengan persetujuan 

tindakan medis lain pada saat bayi masuk ke ruang perawatan 

bayi.

2) Penolakan (dissent consent/refusal consent) 

 Bila tindakan pengambilan darah pada BBL ditolak, maka 

orang tua harus menandatangani formulir penolakan. Hal 

ini dilakukan agar jika di kemudian hari didapati bayi yang 

bersangkutan menderita HK, orang tua tidak akan menuntut 

atau menyalahkan tenaga kesehatan dan/atau fasilitas 

pelayanan kesehatan. Contoh formulir penolakan dapat 

dilihat pada formulir.1

Formulir ini harus disimpan pada rekam medis bayi. Bila kelahiran 

dilakukan di rumah, bidan/penolong persalinan harus tetap meminta 

orang tua menandatangani atau membubuhkan cap jempol pada 

formulir “penolakan” yang dibawa dan harus disimpan dalam arsip di 

fasilitas pelayanan kesehatan tempatnya bekerja. Penolakan dapat terjadi 

terhadap skrining maupun tes konfirmasi. Jumlah penolakan tindakan 

pengambilan spesimen darah dan formulirnya harus dilaporkan secara 

berjenjang pada koordinator. Skrining BBL tingkat provinsi/kabupaten/

kota, melalui koordinator tingkat puskesmas setempat pada bulan 

berikutnya.

3. Persiapan Alat 

Alat yang akan digunakan harus dipersiapkan terlebih dahulu. 

Alat tersebut terdiri atas:  Sarung tangan steril non powder; 

 Lancet; 

 Kotak limbah tajam/safety box; 

 Kertas saring; 

 Kapas; 

 Alkohol 70% atau alcohol swab; 

 Kasa steril; 

 Rak pengering

4. Persiapan diri

Dalam melakukan pengambilan spesimen, petugas perlu 

memperhatikan hal-hal di bawah ini:

 Semua bercak darah berpotensi untuk menularkan infeksi. 

Oleh karena itu harus berhati-hati dalam penanganannya.

 Meja yang digunakan untuk alas menulis identitas pada kartu 

kertas saring harus diberi alas plastik atau laken dan harus 

diganti atau dicuci setiap hari. Hal ini perlu dilakukan untuk 

mencegah terjadinya kontaminasi spesimen darah ke kertas 

saring lainnya.

 Gunakan alat pelindung diri (APD) saat penanganan 

spesimen.

 Sebelum dan setelah menangani spesimen, biasakan mencuci 

tangan memakai sabun dan air bersih mengalir,3 sesuai 

prosedur Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tempat 

kerja.

3.4.2 Pengambilan Spesimen

Hal yang penting diperhatikan pada pengambilan spesimen ialah:3

 Waktu pengambilan (timing);

 Data/identitas bayi;

 Metode pengambilan;

 Pengiriman/transportasi;

 Kesalahan pada pengambilan spesimen.

a. Waktu (timing) Pengambilan Darah

 Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur 

bayi 48 sampai 72 jam.3

b. Data/Identitas Bayi3

 Isi identitas bayi dengan lengkap dan benar dalam kertas saring. Data 

yang kurang lengkap akan memperlambat penyampaian hasil tes.

 Petunjuk umum pengisian identitas bayi pada kertas saring: 

 Pastikan tangan pengisi data/pengambil spesimen darah bersih 

dan kering sebelum mengambil kartu informasi/kertas saring. 

Gunakan sarung tangan. Usahakan tangan tidak menyentuh 

bulatan pada kertas saring.

 Hindari pencemaran pada kertas saring seperti air, air teh, air kopi, 

minyak, susu, cairan antiseptik, bedak, dan/atau kotoran lain. Pastikan data ditulis lengkap dan hindari kesalahan menulis 

data. Bila data tidak lengkap dan salah, akan menghambat 

atau menunda kecepatan dalam pemberian hasil tes dan 

kesalahan interpretasi.

 Isi data pasien dengan ballpoint warna hitam/biru yang tidak 

luntur.

 Amankan kertas saring agar tidak kotor. Usahakan kertas 

saring tidak banyak disentuh petugas lain.

 Tuliskan seluruh data dengan jelas dan lengkap. Gunakan 

HURUF KAPITAL.

 Petunjuk pengisian data demografi bayi dalam kertas saring. Harap 

diisi:

 Nama rumah sakit/rumah bersalin/puskesmas/klinik bidan

 Nomor rekam medis bayi

 Nama ibu, suku bangsa/etnis, dan nama bayi bila sudah ada

 Nama ayah, suku bangsa/etnis

 Alamat dengan jelas (nomor rumah, jalan/gang/blok/ RT/ 

RW, kode pos)

 Nomor telepon dan telepon seluler, atau nomor telepon yang 

dapat dihubungi. Lengkapi dengan email jika ada

 Dokter/petugas penanggung jawab beserta nomor telepon 

selulernya

 Kembar atau tidak, beri tanda √ pada kotak yang disediakan. 

Bila kembar, beri tanda √ sesuai jumlah kembar

 Umur kehamilan dalam minggu

 Prematur atau tidak

 Jenis kelamin, beri tanda √ pada kotak yang disediakan

 Berat badan dalam gram, pilih prematur atau tidak

 Data lahir: 

– Tanggal 2 digit (contoh tanggal 2 → 02) 

– Bulan 2 digit (contoh bulan Maret → 03, Desember → 12)– Tahun 2 digit (contoh tahun 2006 → 06 , 2012 → 12) 

– Data jam bayi lahir, jam:menit (contoh, 10:15) 

 Data spesimen:

– Tanggal/bulan/tahun, 2 digit 

 (contoh: 8 Februari 2006 → 08/02/06)

– Data jam diambil spesimen, jam:menit (contoh, 10:15)

– Spesimen diambil dari darah tumit atau vena

 Keterangan lain, bila ada bisa ditambahkan:

– Transfusi darah (ya/tidak) 

– Ibu minum obat anti tiroid saat hamil 

– Ada atau tidak kelainan bawaan pada bayi 

– Bayi sakit (dengan perawatan di NICU) 

– Bayi mendapat pengobatan atau tidak. Bila mendapat 

pengobatan, disebutkan

c. Metode dan Tempat Pengambilan Darah

 Teknik pengambilan darah yang digunakan adalah melalui tumit bayi 

(heel prick). Teknik ini adalah cara yang sangat dianjurkan dan paling 

banyak dilakukan di seluruh dunia. Darah yang keluar diteteskan 

pada kertas saring khusus sampai bulatan kertas penuh terisi darah, 

kemudian setelah kering dikirim ke laboratorium SHK.3

 Prosedur pengambilan spesimen darah melalui tahapan berikut:

 Cuci tangan menggunakan sabun dengan air bersih mengalir 

dan menggunakan sarung tangan 

 Hangatkan tumit bayi yang akan ditusuk dengan cara: 

– Menggosok-gosok dengan jari, atau; 

– Menempelkan handuk hangat (perhatikan suhu yang 

tepat), atau; 

– Menempelkan penghangat elektrik, atau; 

– Dihangatkan dengan penghangat bayi/baby warmer/

lampu pemancar panas/ radiant warmer.

 Supaya aliran darah lebih lancar, posisikan kaki lebih rendah 

dari kepala bayi 

 Agar bayi lebih tenang, pengambilan spesimen dilakukan 

sambil disusui ibunya atau dengan perlekatan kulit bayi 

dengan kulit ibu (skin to skin contact) 

 Tentukan lokasi penusukan, yaitu bagian lateral tumit kiri 

atau kanan sesuai daerah berwarna merah (Gambar 3.5)


 Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan antiseptik kapas 

alkohol 70%, biarkan kering (Gambar 3.6) 

 Tusuk tumit dengan lanset steril sekali pakai dengan 

kedalaman 2 mm. Gunakan lanset dengan ujung berbentuk 

pisau (blade tip lancet) (Gambar 3.6)

 Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain 

kasa steril (Gambar 3.7) 

 Kemudian lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes 

darah yang cukup besar Hindarkan gerakan memeras karena 

akan mengakibatkan hemolisis atau darah tercampur cairan 

jaringan (Gambar 3.7).

• Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring 

sampai bulatan terisi penuh dan tembus kedua sisi. Hindarkan 

tetesan darah yang berlapis-lapis (layering). Ulangi meneteskan 

darah ke atas bulatan lain. Bila darah tidak cukup, lakukan 

tusukan di tempat terpisah dengan menggunakan lanset baru 

(Gambar 3.8). Agar bisa diperiksa, dibutuhkan sedikitnya satu 

bulatan penuh spesimen darah kertas saring.

• Sesudah bulatan kertas saring terisi penuh, tekan bekas 

tusukan dengan kasa/kapas steril sambil mengangkat 

tumit bayi sampai berada di atas kepala bayi (Gambar 3.8). 

Bekas tusukan diberi plester ataupun pembalut hanya jika 

diperlukan.

Kertas saring dapat dikirim pada laboratorium senter skrining. Hasil 

positif perlu mendapat follow-up


SHK dan terapi dini akan membantu penderita hipotiroid kongenital bisa 

tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lainnya. Pemerintah mengeluarkan 

Permenkes Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak, serta 

Permenkes Nomor 78 Tahun 2014 Tentang Skrining Hipotiroid Kongenital. 

Dengan adanya SHK ini diharapkan kasus hipotiroid kongenital primer dapat 

terdeteksi lebih awal sehingga morbiditasnya dapat diturunkan.




Gangguan pendengaran merupakan kelainan sensorik yang paling 

sering terjadi pada manusia. Prevalensi gangguan pendengaran 

bawaan pada bayi baru lahir adalah sekitar 1‒3 kasus per 

1.000 dan pada kurang lebih 60% kasus didapatkan saat fase prelingual. 

Fase prelingual adalah gangguan pendengaran yang didapatkan sebelum 

fase perkembangan bicara, yaitu usia 2‒3 tahun dan sering disebabkan oleh 

faktor kongenital. Satu dari 1.000 orang anak akan menjadi tuli sebelum 

dewasa. Pada usia 60 tahun ke atas, kemungkinan gangguan pendengaran 

meningkat sampai dengan 50%, kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh faktor 

genetik.1

Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh banyak faktor penyebab 

dan memengaruhi kualitas hidup. Saat ini tingkat gangguan pendengaran 

sekunder akibat penyebab lingkungan menurun sehingga faktor genetik harus 

ditelusuri. Kemajuan dalam pemeriksaan biologi molekuler faktor genetik 

telah meningkatkan deteksi dan intervensi dini pada penderita dengan 

gangguan pendengaran. Teknologi implan koklea pada penderita dengan 

gangguan pendengaran yang berat menghasilkan keterampilan berbahasa 

dan komunikasi yang baik sehingga memahami kerangka komprehensif yang 

mendasari penyebab gangguan pendengaran dan manajemen penatalaksanaan 

gangguan pendengaran perlu dilakukan.2

4.2 DEFINISI

Gangguan pendengaran disebabkan oleh hambatan di telinga luar, tengah, 

atau dalam yang menyebabkan hambatan gelombang suara masuk ke dalam liang telinga sampai ke batang otak. Gangguan pendengaran diklasifikasikan 

berdasarkan jenis, onset, tingkat keparahan, dan frekuensi.3

Jenis gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli konduktif 

(Conductive Hearing Loss/CHL) yang terjadi akibat kelainan pada telinga luar 

dan/atau tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. Tuli sensorineural 

(Sensorineural Hearing Loss/SNHL) terjadi akibat kerusakan struktur dalam 

telinga dalam. Tuli campuran (Mix Hearing Loss) adalah kombinasi tuli 

konduktif dan sensorineural serta disfungsi pendengaran pusat karena 

disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi pada tingkat saraf kranial kedelapan, 

batang otak, atau korteks serebral.4

Onset gangguan pendengaran dapat terjadi saat fase prabahasa 

(prelingual) yang muncul sebelum perkembangan proses berbicara dan 

berbahasa, yaitu sebelum usia 2‒3 tahun. Tuli kongenital adalah prelingual, 

tetapi tidak semua gangguan pendengaran prabahasa (prelingual) disebabkan 

oleh faktor genetik karena bisa disebabkan oleh faktor lingkungan. Sedangkan 

gangguan pendengaran pascabahasa (postlingual) terjadi setelah perkembangan 

bicara normal, yaitu setelah usia 2‒3 tahun.4 Gangguan pendengaran yang 

disebabkan oleh faktor genetik merupakan tuli sensorineural (Sensorineural 

Hearing Loss/SNHL). Klasifikasi tuli genetik secara umum dibedakan dengan 

tuli genetik sindromik dan nonsindromik.5

Derajat gangguan pendengaran terbagi menjadi ringan (>25–40 dB), 

sedang (>40‒55 dB), sedang berat (>55–70 dB), berat (>70–90 dB), dan sangat 

berat (>90 dB).4

4.3 EPIDEMIOLOGI

Gangguan pendengaran kongenital terjadi pada 1 bayi dari setiap 1.000 

hingga 2.000 kelahiran. Lebih dari 50% dari semua kasus tuli prelingual

dipengaruhi oleh faktor genetik, sedangkan 40% hingga 50% merupakan 

kasus sekunder akibat faktor lingkungan karena penyebab infeksi atau 

iatrogenik saat kehamilan dan persalinan. Tuli kongenital karena faktor 

genetik dibagi menjadi tuli genetik sindromik yang dapat terjadi pada 15–30 % kasus dan nonsindromik (70 %) dari gangguan pendengaran yang 

dipengaruhi oleh faktor genetik.1,5

Studi epidemiologi terkait faktor usia dan kontribusi faktor genetik 

terhadap gangguan pendengaran belum sepenuhnya diketahui karena 

didapatkan lebih dari 100 gen yang berpengaruh terhadap gangguan 

pendengaran. Kondisi tersebut dapat memberikan dampak gangguan 

pendengaran pada masyarakat, sehingga deteksi gangguan pendengaran 

sejak dini sangat perlu dilakukan agar gangguan pendengaran tersebut dapat 

ditangani secara dini dan tidak berdampak pada kehidupan sosial penderita 

karena hambatan komunikasi dan sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari.6

4.4 ETIOLOGI

Gangguan pendengaran dapat muncul saat fase prelingual dan postlingual, 

mayoritas terjadi pada fase prelingual yang merupakan tuli kongenital. Tuli 

kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi bawaan sejak dalam 

kandungan. Tuli kongenital dapat disebabkan oleh faktor genetik dan faktor 

lingkungan. Faktor genetik menyebabkan tuli kongenital apabila didapatkan 

faktor keturunan dari jalur orang tua penderita. Sedangkan faktor lingkungan 

antara lain disebabkan oleh infeksi TORCHS, yaitu Toxoplasma, Rubella, 

Citomegalo Virus, Herpes Simplex saat kehamilan, kelainan anatomi kepala 

– leher, berat badan bayi lahir sangat rendah (kurang dari 1.500 gram), bayi 

mengalami hiperbilirubinemia atau bayi kuning, bayi mengalami asfiksia 

berat saat persalinan, pemberian obat ototoksik saat kehamilan, penggunaan 

ventilasi mekanik lebih dari 5 hari pada bayi, serta bayi mengalami meningitis 

bakterial (Gambar 4.1).


Gangguan pendengaran yang didapat pada orang dewasa paling sering 

dikaitkan dengan faktor lingkungan, yaitu paparan kebisingan. Kerentanan 

terhadap gangguan pendengaran kemungkinan besar merupakan interaksi 

faktor lingkungan dan faktor genetik. Sepuluh persen populasi mengalami 

gangguan pendengaran yang cukup parah sehingga mengganggu komunikasi, 

dan kondisi ini meningkat menjadi 40% pada individu berusia lebih dari 65 

tahun.

Interaksi dan pengaruh faktor genetik dan faktor lingkungan juga 

dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Ototoksitas yang diinduksi 

aminoglikosida terjadi karena dipengaruhi aspek genetik, yaitu mutasi DNA 

mitokondria 1555 A-ke-G.1,5

Etiologi gangguan pendengaran karena faktor genetik dibedakan 

menjadi dua, yaitu sindromik dan nonsindromik. Sindromik disebabkan 

antara lain oleh sindrom Pendred, sindrom Usher, sindrom Warrdenburg, 

sindrom Branchiorenal, sindrom Stickler, sindrom Jervell dan Lange-Nielsen, 

dan lain lain. Nonsindromik disebabkan oleh gen yang bersifat autosomal 

resesif, autosomal dominan, dan x-linked mitokondria yaitu melalui garis 

keturunan ibu (Gambar 4.2).


Sebagian besar tuli genetik yang didiagnosis pada masa bayi dan anak 

usia dini bersifat nonsindromik autosomal resesif dengan pewarisan di lokus 

DFNB1 dengan mutasi pada GJB2 dan/atau GJB6, yang masing-masing 

mengode protein connexin 26 dan connexin 30, dan memberikan koontribusi 

sebesar 50% dari tuli genetik nonsindromik resesif autosomal.

4

Diagnosis tuli bawaan ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan 

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah 

pemeriksaan fungsi pendengaran, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan 

genetik.

4.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Sebagian besar tuli genetik yang didiagnosis terjadi pada masa bayi dan 

anak usia dini atau dapat disebut sebagai tuli kongenital. Tuli kongenital 

adalah gangguan pendengaran yang terjadi bawaan sejak dalam kandungan. 

Masa emas perkembangan pendengaran pada anak adalah pada periode usia 

2‒3 tahun. Penegakan diagnosis gangguan pendengaran pada bayi baru 

lahir diharapkan sudah selesai sebelum usia 3 bulan sehingga bisa segera

mendapatkan tata laksana yang tepat saat usia 6 bulan karena seorang 

anak dapat belajar berbicara dan menirukan, diawali dengan kemampuan 

mendengar.

Menegakkan diagnosis gangguan pendengaran yang disebabkan faktor 

genetik harus dibedakan dari penyebab nongenetik atau lingkungan agar 

intervensi yang diberikan tepat dan sesuai. Diagnosis gangguan pendengaran 

kongenital memerlukan penelusuran riwayat kehamilan, persalinan, 

pascapersalinan dan riwayat ketulian dalam keluarga, pemeriksaan fisik telinga 

dan organ lain, pemeriksaan audiologi, dan pemeriksaan penunjang yang 

meliputi pemeriksaan radiologi CT-scan tulang temporal, serta pemeriksaan 

genetik molekuler. Mendiagnosis penyebab gangguan pendengaran secara 

spesifik dan tepat dapat memberikan informasi penting tentang prognostik, 

intervensi, dan kepentingan konseling genetik (Gambar 4.3)Riwayat kehamilan dan persalinan yang memengaruhi gangguan 

pendengaran kongenital yang harus ditelusuri antara lain yaitu saat hamil menderita infeksi TORCHS (Toxoplasma, Rubella, Citomegalo Virus, Herpes 

Simplex), kelainan anatomi kepala – leher, berat badan lahir sangat rendah 

(kurang dari 1500 gram), hiperbilirubinemia atau bayi kuning, asfiksia berat 

(saat lahir tidak menangis), pemberian obat ototoksik, ventilasi mekanik 

lebih dari 5 hari, serta meningitis bakterial. Riwayat keluarga dengan tuli 

kongenital pada tiga generasi harus ditelusuri untuk mencari pengaruh faktor 

genetik sebagai penyebab tuli kongenital.

Bayi dan anak dalam usia perkembangan dicurigai memiliki gangguan 

pendengaran apabila tidak terkejut walaupun ada suara keras, bayi saat 

tidur tidak terganggu suara keras, responsif terhadap apa yang dilihat tetapi 

kurang responsif terhadap suara, anak dipanggil tidak menoleh, usia 6 bulan 

belum mengoceh, ucapan anak tidak benar dan tidak bermakna, saat usia 

2‒3 tahun belum dapat bicara, hanya memberikan respons terhadap suara 

dengan kekerasan tertentu, dan kemampuan bicara tidak berkembang sesuai 

usia.

Deteksi dini tuli kongenital pada bayi baru lahir bertujuan untuk 

menyaring gangguan pendengaran segera setelah lahir atau sebelum keluar dari 

rumah sakit. Program tersebut termasuk tindak lanjut untuk mengonfirmasi 

gangguan pendengaran pada neonatus yang tidak lulus tes skrining awal 

sehingga intervensi dapat dimulai untuk mencegah keterlambatan penguasaan 

bahasa. Skrining deteksi tuli kongenital bisa dilakukan pada semua bayi baru 

lahir (Universal Newborn Hearing Screening) atau hanya pada bayi dengan 

risiko tinggi (Targeted Newborn Hearing Screening).

Pemeriksaan fisik pada bayi, anak usia dini, dan pada dewasa dengan 

gangguan pendengaran yang tidak diketahui penyebabnya harus dilakukan 

secara cermat dan saksama. Tanda fisik yang dicari antara lain branchial 

cleft pits, kista atau fistula; preauricular pits, telecanthus, heterochromia iridis, 

white forelock, kelainan pigmentasi, high myopia, pigmentary retinopathy, goiter, 

kelainan kraniofasial, dan kelainan tulang. Pemeriksaan neurologis berupa 

fungsi vestibular dengan pemeriksaan organ mata juga harus dilakukan. 

Tujuan pemeriksaan fisik yang cermat terhadap pasien dan anggota keluarga lainnya adalah untuk membuat diagnosis yang benar dan mencari peran 

faktor genetik yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran.

Sindrom Waardenburg merupakan gangguan pendengaran sindrom 

autosomal dominan yang terbanyak, didapatkan tuli sensorineural 

nonprogresif prelingual, kerontokan disertai kelainan pigmentasi pada 

kulit, rambut terdapat jambul putih, dan mata terdapat heterochromia iridis. 

Sindrom Branchio-Oto-Renal adalah yang kedua terbanyak dari gangguan 

pendengaran autosomal dominan. Tipe tuli konduktif, sensorineural, atau 

campuran, didapatkan kista atau branchial cleft pits, malformasi telinga luar, 

preauricular pits, dan kelainan ginjal. 

Sindrom Stickler adalah kelainan autosomal dominan yang 

mengakibatkan tuli sensorineural, celah langit-langit, miopia kongenital, 

dan displasia spondyloepiphyseal yang akhirnya mengarah pada osteoartritis. 

Sindrom Pendred adalah bentuk gangguan pendengaran sindrom autosomal 

resesif dengan tuli sensorineural, kelainan tulang temporal dan telinga bagian 

dalam, dan struma eutiroid. Struma muncul pada usia pubertas dengan 

kemungkinan sebesar 40% atau dewasa sebesar 60%. Gangguan pendengaran 

disebabkan oleh kelainan labirin tulang yang melebar yaitu Mondini displasia.

Sindrom Usher ditandai dengan tuli sensorineural, retinitis pigmentosa, 

degenerasi retina progresif yang menyebabkan untuk kehilangan penglihatan 

pada masa remaja. Sindrom Jervell dan Lange-Nielsen ditandai dengan tuli 

sensorineural prelingual dan pemanjangan interval QT.

Tuli kongenital sindrom x-linked antara lain sindrom Alport dan

Sindrom Mohr-Tranebjaerg. Sindrom Alport ditandai dengan tuli sensorineural 

post-lingual progresif, glomerulonefritis progresif, dan kelaian mata seperti 

lenticonus anterior. Sindrom Mohr-Tranebjaerg memberikan gambaran tuli 

sensorineural postlingual progresif, kelainan mata, distonia, patah tulang, dan 

keterbelakangan mental.

Selain tuli genetik sindromik, tuli genetik juga disebabkan oleh tuli 

nonsindromik yang didapatkan pada 70% ketulian. Jenis ketulian meliputi 

nonsindromik autosomal dominan, nonsindromik autosomal resesif, serta 

nonsindromik x-linked mitokondria


1. Pemeriksaan Skrining

Skrining deteksi dini yang dapat dilakukan saat bayi baru lahir adalah 

dengan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE). Pemeriksaan OAE bertujuan 

untuk menilai fungsi sel rambut luar (Outer Hair Cell/ OHC) rumah siput. 

Pemeriksaan OAE dilakukan pada bayi baru lahir dengan syarat terbentuk 

liang telinga. Hasil yang didapat adalah lulus atau pass atau tidak lulus atau 

refer. Pass berarti fungsi OHC saat pemeriksaan baik, dan bila refer belum 

tentu terjadi kerusakan pada OHC. Refer dapat disebabkan karena masih 

ada sisa cairan ketuban atau probe pemeriksaan yang kurang pas sehingga 

perlu diulang 1 bulan kemudian. Apabila hasil pemeriksaan masih refer saat 

diulang, perlu dilakukan pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry

(BERA). Tujuan pemeriksaan BERA untuk menilai fungsi pendengaran 

perifer, yaitu fungsi saraf pendengaran sampai batang otak. Serangkaian 

tes diagnostik pendengaran tersebut dilakukan sebelum usia 3 bulan dan 

intervensi dini dilakukan sebelum usia 6 bulan untuk semua bayi dengan 

gangguan pendengaran yang terkonfirmasi (Gambar 4.4)

2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

Pemeriksaan fungsi pendengaran yang dilakukan berupa OAE dan 

BERA merupakan pemeriksaan yang bersifat objektif dan dapat dilakukan 

pada usia berapapun. Pemeriksaan audiometri merupakan tes subjektif 

yang terdiri atas behavioral testing dan pure tone audiometry yang hanya 

dapat dilakukan pada usia tertentu. Behavioral testing terdiri atas behavioral 

observation audiometry dan visual reinforcement audiometry. Behavioral 

observasional audiometry digunakan pada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan, 

sementara visual reinforcement audiometry digunakan pada anak usia 6 bulan 

sampai 2,5 tahun dan dapat memberikan hasil audiogram yang baik.

Play audiometry digunakan untuk pemeriksaan pendengaran anak dari 

2,5 sampai 5 tahun. Pure tone audiometry dapat digunakan untuk pemeriksaan 

pendengaran anak usia 5 tahun dan lebih tua serta dewasa.1

Pemeriksaan audiometri immitans antara lain timpanometri, pemeriksaan 

refleks akustik, dan refleks akustik decay. Audiometri immitans dilakukan 

untuk mengevaluasi sistem pendengaran perifer, yaitu tekanan telinga tengah, 

mobilitas membran timpani, fungsi tuba Eustachius, dan mobilitas tulang 

pendengaran telinga tengah.

Profil audiogram hasil pemeriksaan audiometri memberikan gambaran 

yang khas pada kasus tuli genetik nonsindromik. Pemeriksaan audiometri 

juga harus dilakukan pada anggota keluarga yang lain. Gambaran komposit 

sering merupakan karakteristik penyebab genetik yang spesifik dari gangguan 

pendengaran autosomal dominan nonsindromik. Salah satu profil audiogram 

yang lebih khas dikaitkan dengan gangguan pendengaran DFNA6/14/38 

disebabkan oleh mutasi pada WFS1 (Gambar 4.5).

3. Pemeriksaan Radiologi

CT (Computer Tomography) scan adalah tes radiologi terbaik untuk 

evaluasi gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan anatomi 

yaitu Malformasi Mondini yang menyebabkan pelebaran saluran vestibular. 

Pemeriksaan CT-scan tulang temporal juga dilakukan untuk mengevaluasi 

penyebab gangguan pendengaran yang mendadak dan progresif yang dapat 

disebabkan oleh anomali tulang temporal, neoplasma, penyakit imunologi, 

trauma, infeksi, penyakit Lyme, gangguan neurologi dan sirkulasi, serta 

penderita dengan dugaan sindrom Pendred. Selain pemeriksaan CT-scan, 

pemeriksaan MRI dengan kontras gadolinium juga dapat dikerjakan untuk 

evaluasi jaringan lunak atau saraf di dalam telinga dalam. Pemeriksaan USG 

ginjal dilakukan untuk pemeriksaan kelainan yang mungkin terkait dengan 

sindrom gangguan pendengaran seperti sindrom Branchio-Oto-Renal.

4. Pemeriksaan Genetik

Tes genetik dapat dilakukan untuk berbagai jenis tuli sindromik dan 

nonsindromik. Tes genetik GJB2 dan GJB6 mempunyai peran penting dalam 

diagnosis dan berguna untuk konseling genetik. Mutasi pada gen tersebut 

menyebabkan lebih dari 50% tuli nonsindromik resesif di banyak populasi 

dunia.

Displasia Mondini dikaitkan dengan mutasi pada gen SLC26A4 

dan POU3F4. Cukup banyak gen lain yang diketahui menyebabkan tuli 

nonsindromik walaupun tersedia tes genetik untuk sejumlah gen tersebut, 

karena jenisnya banyak dan kontribusinya yang relatif kecil terhadap ketulian 

sehingga tidak direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan rutin.

5. Pemeriksaan Prakelahiran

Diagnosis prenatal untuk beberapa bentuk gangguan pendengaran 

herediter secara teknis dimungkinkan dengan analisis DNA yang diekstraksi 

dari sel janin. Bahan janin dapat diperoleh dengan amniosentesis pada usia 

kehamilan 15 sampai 18 minggu atau pengambilan sampel chorionic villus

pada usia kehamilan 10 sampai 12 minggu. Pemeriksaan ini dilakukan 

jika ada riwayat ketulian pada tiga generasi kelurga. Akan tetapi, indikasi 

intervensi terhadap hasil pemeriksaan masih menjadi perdebatan, apakah 

janin yang dikandung akan diterminasi atau menjadi persiapan penanganan 

pascakelahiran.

6. Konseling Genetik

Konseling genetik dan penilaian risiko tergantung pada penentuan 

yang akurat dari diagnosis genetik yang spesifik. Konseling genetik harus 

didukung dengan data tentang diagnosis yang spesifik, faktor risiko genetik, 

dan ekspresi GJB2 dan GJB6 serta gen lain yang berperan. 

Konseling genetik juga dilakukan untuk individu tuna rungu yang 

membutuhkan informasi tentang penyebab ketulian dan informasi 

tentang pencegahan agar tidak ada keturunan yang mengalami gangguan 

pendengaran.

PENCEGAHAN GANGGUAN PENDENGARAN

Terapi yang ideal belum tentu memperbaiki gangguan pendengaran, sehingga 

perlu upaya pencegahan gangguan pendengaran dengan mengurangi aspek 

risiko dan aspek genetik. Upaya yang dapat dilaksanakan dengan program 

vaksinasi, edukasi faktor yang memperburuk seperti kebisingan, konseling 

genetic, dan edukasi pada populasi dengan prevalensi kekerabatan pada 

gangguan pendengaran yang didapat dan turun-temurun.


Penatalaksanaan gangguan pendengaran kongenital dilakukan kolaborasi oleh 

dokter THT, ahli genetik, dokter anak, ahli saraf, dokter mata anak, dan guru 

pendidik tuna rungu. Deteksi dan intervensi dini sangat direkomendasikan 

untuk menghindari dampak yang tidak baik untuk perkembangan 

kehidupan selanjutnya, khususnya dalam aspek berbahasa, komunikasi, dan 

bersosialisasi. Inti dari penatalaksanaan adalah skrining, rehabilitasi, dan 

komunikasi.

Program deteksi dini telah mengurangi usia rata-rata terdiagnosisnya 

gangguan pendengaran, dari usia 20‒30 bulan menjadi usia 2‒3 bulan dan 

cakupan skrining sekitar 93% dari semua bayi baru lahir bayi sebelum keluar 

dari rumah sakit. Bayi yang diintervensi tepat sebelum usia 6 bulan kehidupan 

memberikan hasil perkembangan bicara, bahasa, sosial, dan emosional yang 

sebanding dengan perkembangan fisik, dibandingkan jika tidak terdeteksi 

sampai setelah usia 6 bulan.

Apabila bertahan hingga usia dua tahun, gangguan pendengaran akan 

memengaruhi proses membaca, berbicara, berbahasa, dan berkomunikasi 

seseorang. Intervensi harus dimulai sebelum usia 6 bulan untuk semua bayi 

dengan alat bantu dengar, perangkat vibrotactile, atau implan koklea untuk 

gangguan pendengaran berat. Pada beberapa sindrom gangguan pendengaran 

juga berpengaruh pada aspek kognitif sehingga intervensi gangguan 

pendengaran harus memperhatikan aspek kognitif dan psikologis penderita, 

tidak hanya aspek pendengaran saja.


PROGNOSIS

Gangguan pendengaran genetik sebagian besar menyebabkan tuli permanen. 

Beberapa kasus sindrom yaitu pada sindrom Waardenburg Tipe II dan 

Sindrom Usher Tipe III, gangguan pendengaran berlangsung secara progresif. 

Pada Sindrom Alport, gangguan pendengaran terjadi selama masa kanak￾kanak saja.

4

Gangguan pendengaran dapat dipengaruhi oleh aspek lingkungan dan 

genetik yang dapat terjadi saat fase prelingual dan postlingual. Gangguan 

pendengaran harus dideteksi sejak dini untuk mendapatkan intervensi 

sehingga mencegah terjadinya gangguan dalam perkembangan bicara, bahasa, 

dan komunikasi serta bersosialisasi. Gangguan pendengaran prelingual sering 

disebabkan oleh tuli kongenital yang harus terdeteksi sebelum usia 3 bulan 

dan mendapatkan intervensi di usia 6 bulan agar bisa menjalani masa emas 

perkembangan bicara dan berbahasa dengan baik pada periode usia 2‒3 

tahun. Gangguan pendengaran postlingual terjadi setelah masa perkembangan 

bicara dan bahasa juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik. 

Modalitas intervensi gangguan pendengaran dengan alat bantu dengar, 

perangkat vibrotactile, atau implan koklea untuk gangguan pendengaran berat. 

Perkembangan aspek kognitif dan psikologis penderita harus diperhatikan 

selain aspek pendengaran sehingga inti dari penatalaksanaan adalah skrining, 

rehabilitasi, dan komunikasi.

















DAFTAR SINGKATAN

SRY = sex determining region on the Y chromosome

AMH = anti-mullerian hormone

DHT = dihidrotestosteron

DSD = differences of sex development

StAR = steroidogenic acute regulatory protein

CAIS = complete androgen insensitivity syndrome

EMS = external masculinization score

DS = drum stick

DAFTAR ISTILAH

XY = Perempuan

XX = Laki-laki

XXX = Sindrom Triple X (Super Female)

45,X = Sindrom Turner

47,XXY = Sindrom Klinefelter

48,XXXY = Variasi Sindrom Klinefelter

DAFTAR ARTI LAMBANG

& = dan

% = persen

> = lebih besar

cm = sentimeter

mm = milimeter

: = perbandingan