Kulit kusta

 



kulit Kusta





Kusta merupakan penyakit tropis yang terabaikan. Reaksi kusta dengan episode subakut akibat respons 

imunologis terhadap antigen Mycobacterium leprae sering terjadi seiring perjalanan penyakit kusta yang 

kronis. Penting untuk mengetahui berbagai faktor pemicu yang mungkin akan mencetuskan reaksi kusta karena 

memberikan dampak yang bermakna terhadap kualitas hidup. Studi ini merupakan studi retrospektif analitik 

dengan data yang diambil dari rekam medis seluruh pasien kusta baru dari tahun 2015–2020. Seluruh varian 

data dianalisis dengan Pearson’s Chi Square dan Kruskal Wallis test. Analisis regresi logistik multivariat 

digunakan untuk menghitung risiko reaksi kusta. Reaksi tipe 1 lebih sering terjadi pada kusta borderline 

dengan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) negatif. Reaksi tipe 2 umumnya terjadi pada kusta tipe 

lepromatosa dengan IB ≥3 + (p=0,001) dan IM 1-5%. Pada analisis multivariat, hanya IB 3+ atau lebih yang 

memiliki korelasi positif dengan kemunculan reaksi kusta. Klinisi perlu menggunakan klasifikasi Ridley dan 

Jopling serta pemeriksaan IB dan IM untuk mengetahui risiko terjadinya reaksi kusta.Kusta merupakan penyakit tropis yang terabaikan 

dan secara resmi berhasil dieliminasi di Indonesia sejak 

tahun 2020.1

 Ternyata, lebih dari 17.000 kasus baru masih 

dilaporkan setiap tahun dengan kemungkinan 6,43% 

dari jumlah tersebut mengalami kecacatan fisik tingkat 

2.2

 Temuan kasus baru menunjukkan adanya penularan 

yang sedang berlangsung.3

 Selain kecacatan fisik akibat 

kusta, peradangan granulomatosa kronis akibat M. leprae

berimbas juga pada kerusakan saraf. Hal ini sangat 

penting untuk diperhatikan, terutama pada kasus reaksi 

kusta.3,4

Reaksi kusta merupakan respons imunologis 

terhadap antigen M. leprae dengan manifestasi klinis 

yang signifikan dengan kecacatan terkait. Reaksi kusta 

dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi reaksi tipe 1 

(T1R) atau tipe 2 (T2R).3,4 Terapi obat kombinasi (multi 

drug therapy/MDT) dapat menyembuhkan kusta dan 

mungkin mencegah kecacatan, meskipun dapat memicu 

respons imunologis terutama bila diperburuk dengan 

stres, kehamilan, infeksi penyerta, dan faktor lainnya.3

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko 

yang terkait dengan perkembangan reaksi kusta pada 

pasien yang datang ke rumah sakit tersier di wilayah 

endemik kusta di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi analitik retrospektif 

dengan data sekunder dari rekam medis. Kriteria 

inklusi ialah semua pasien baru kusta multibasiler (MB) 

berusia 20 tahun ke atas, belum diobati, dan terdaftar di 

poliklinik Divisi Kusta RSUD dr. Soetomo pada periode 

Januari 2015–Desember 2020. Kriteria eksklusi adalah 

pasien kusta MB dengan pemeriksaan fisis tidak lengkap 

atau hanya dirujuk untuk pemeriksaan penunjang. Data 

analisis meliputi usia, jenis kelamin, indeks bakteri (IB), 

indeks morfologi (IM), koinfeksi, riwayat penyakit, 

dan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT). 

Diagnosis dibuat berdasarkan penilaian klinis dan 

bakteriologik. Perhitungan IB dan IM mengacu pada 

pedoman Ridley dan Jopling (RJ), sedangkan IMT 

dihitung dengan membagi berat badan (kg) dengan 

tinggi badan (m2

). Izin etik diperoleh dari Komite Etik 

RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia dengan nomor 

referensi: 0459/LOE/301.4.2/V/2021. 

Sebanyak 665 pasien yang berobat ke poliklinik 

Divisi Kusta RSUD dr. Soetomo pada tahun 2015–2020 

dan hanya 307 (46,2%) subjek yang diikutsertakan dalam 

penelitian ini. Karakteristik demografi dan klinis subjek 

tercantum dalam Tabel 1. Reaksi kusta lebih banyak 

ditemukan pada pasien laki-laki (p=0,94), berusia 20-39 

tahun (p=0,283), indeks massa tubuh normal (p=0,427), 

dan tidak ada riwayat terapi obat kombinasi (p=0,001).

Sebagian besar pasien adalah kusta tipe MB tanpa 

gejala reaksi kusta (58,31%). Pasien dengan reaksi kusta 

terbagi menjadi 7,82% T1R dan 33,88% T2R. Demografi 

pasien MB dengan T1R, yaitu berusia 20–39 tahun 

(50%) dengan jenis kelamin laki-laki (79,16%), dan 

berdomisili di Surabaya (54,16%). Karakteristik klinis 

utama dari kelompok ini adalah memiliki tipe kusta BB 

(62,5%), IB negatif (50%), IM negatif (62,5%), tanpa 

riwayat MDT sebelumnya (62,5%), tidak ada penyakit 

penyerta (1,66%), dan IMT pada rentang 18,5–22,9 

(41,66%). Demografi pasien MB dengan T2R adalah 

berusia 20–39 tahun (61,53%) dengan jenis kelamin laki￾laki (68,26%), dan berdomisili di Surabaya (55,76%). 

Karakteristik klinis utama dari kelompok ini yaitu kusta 

tipe LL (55,76%), IB 3 + atau lebih (46,15%), IM 1-5% 

(48,07%), tanpa riwayat MDT sebelumnya (33,65%) 

atau telah RFT (31,73%), tidak ada penyakit penyerta 

(72,11%), dan IMT pada rentang 18,5–22,9 (67,36%).

Terdapat perbedaan bermakna pada karakteristik 

klinis antara kusta MB dengan atau tanpa reaksi ditemukan 

pada tipe kusta, IB, IM, ada tidaknya infeksi oral ataupun 

ISPA, serta riwayat pengobatan. Analisis multivariat 

dilakukan pada keenam variabel ini untuk mengetahui 

kemungkinan terjadinya reaksi kusta dan dapat dilihat 

pada Tabel 2. Analisis multivariat menunjukkan bahwa 

tipe kusta BL atau LL, serta IB ≥3 + merupakan faktor 

risiko reaksi kusta. Kemungkinan terjadinya reaksi 

kusta dihitung dengan maximum likelihood estimation 

(MLE). Penelitian ini melaporkan bahwa kemungkinan 

reaksi kusta pada pasien dengan tipe BL sebesar 11%, 

sedangkan IB 1-2 + sebesar 9% dan IB ≥3 + sebesar 72%. 

Kemungkinan terjadinya kusta apabila didapatkan pasien 

dengan tipe BL dan IB 1–2 + sebesar 1%, sedangkan tipe 

BL dengan IB ≥3 + sebesar 24%.


Kusta sering diklasifikasikan berdasarkan kriteria 

WHO untuk menentukan tata laksana dengan lebih mudah.5,6 WHO membuat klasifikasi kusta menjadi tipe 

PB dan MB untuk mempermudah praktik di lapangan 

karena klasifikasi tersebut sederhana dan berkaitan 

dengan penentuan pemberian MDT. Klasifikasi Ridley 

dan Jopling (RJ) adalah klasifikasi terstandar berdasarkan 

manifestasi klinis, bakterioskopik, histopatologik, dan 

imunologik. Penelitian Junior dkk. (2016)

 mendapatkan 

bahwa terdapat kesesuaian diagnosis antara klasifikasi 

operasional WHO dan RJ yang cukup. Penelitian kami 

menemukan bahwa klasifikasi RJ dapat memberikan 

manfaat tambahan terlebih pada penentuan reaksi kusta 

dibandingkan dengan klasifikasi WHO yang lebih 

sederhana. 

Reaksi tipe 1 lebih sering terjadi pada kusta tipe 

borderline, yaitu BB (62,5%) dan BL (33,33%), 

dibandingkan dengan kusta tipe LL (4,17%). Sementara 

itu, reaksi tipe 2 lebih sering terjadi pada tipe LL (55,76 

%) dan BL (41,34%), serta hanya sedikit pada tibe BB 

(4,17%). Kriteria RJ mengombinasikan komponen 

klinis, patologik, dan bakterioskoopik, sehingga dapat 

menyebabkan berbagai variasi di antara para ahli. 

Kesesuaian komponen klinis dan histopatologi klasifikasi 

RJ bervariasi dari 46,9–62,9%.7,8

Indeks bakteri menggambarkan densitas basil 

tahan asam, baik basil solid (hidup) maupun berbentuk 

fragmentasi dan granuler (basil mati) yang berinteraksi 

dengan kompleks imun.6 Pasien dengan spektrum BL 

dan LL memiliki IB 2+ hingga 6+, namun umumnya 

IB 3.9,10 Penelitian ini mendapatkan reaksi tipe 2 rata￾rata memiliki IB ≥3 + dan IM 1-5%. Analisis multivariat pada penelitian ini menemukan bahwa IB ≥3+ memiliki 

72% kemungkinan untuk mengalami reaksi kusta. 

Penemuan ini sejalan dengan hipotesis bahwa reaksi tipe 

2 merupakan reaksi kompleks imun terhadap antigen 

bakteri. Oleh karena itu, semakin tinggi fragmen bakteri 

pada pasien BL dan LL, atau IB≥3 semakin banyak 

pelepasan respons imun yang memicu reaksi tipe 2.1

Pemeriksaan sediaan kerokan jaringan kulit (slit skin 

smear) menjadi sangat penting untuk mendapatkan basil 

solid. Persentase basil solid pada sediaan ini dinyatakan 

sebagai indeks morfologis (IM). Reaksi tipe 1 terjadi 

akibat aktivasi imunitas seluler terhadap antigen M. leprae

pada kulit dan saraf. Reaksi ini biasanya didapatkan pada 

kusta non polar atau tipe borderline.11 Penelitian kami 

menemukan kemunculan reaksi tipe 1 yang umum terjadi 

pada pasien dengan IM yang negatif. Di lain pihak, 

reaksi tipe 2 berhubungan dengan angka fragmen basil 

yang tinggi pada tubuh yang menginisiasi reaksi imun.

Persentase IM yang lebih rendah menggambarkan jumlah 

basil utuh yang lebih rendah.10 Hal ini menunjukkan 

bahwa rendahnya nilai IM menunjukkan peningkatan 

jumlah kuman yang telah mati, dan basil yang hancur ini 

dapat mencetuskan reaksi kompleks imun yang berperan 

dalam patogenesis T2R. Dengan demikian, reaksi tipe 2 

lebih sering ditemukan pada pasien dengan IM tinggi, 

sesuai dengan yang ditemukan pada penelitian ini.

Penelitian ini menunjukan bahwa kemunculan 

tipe reaksi tidak berhubungan dengan regimen MDT. 

Kemungkinan ditemukan T1R pada saat diagnosis 

berkisar antara 2,6% dan 6,4%. Kejadian ini dapat 

meningkat pada masyarakat tertentu dengan kusta tipe 

MB. Sebagai contoh, yaitu pada penduduk Zaire sebanyak 

47,5% pasien kusta tipe MB mengalami T1R.11

Pada penelitian ini didapatkan reaksi tipe 1 yang 

lebih banyak pada pasien kusta tanpa riwayat pengobatan 

MDT dibandingkan dengan pasien kusta yang telah 

mendapat pengobatan. Penelitian Nery dkk. (2013)13

menemukan bahwa patogenesis reaksi tipe 1 berkaitan 

dengan peningkatan imunitas seluler terutama dalam 

6 bulan pertama pengobatan MDT. Observasi dengan 

jangka waktu yang lebih lama pada pasien kusta tipe MB 

dapat memberikan gambaran peningkatan insidensi T1R, 

meskipun tidak dapat dilihat pada penelitian ini. 

Reaksi tipe 2 lebih sering muncul saat 2 atau 3 tahun 

setelah pasien selesai mendapat MDT karena adanya 

antigen M. leprae yang mengacu pada fenomena Arthus.

Penelitian ini mendukung hasil dari penelitian tersebut 

dengan kelompok RFT sebagai kelompok dengan jumlah 

reaksi ENL paling banyak setelah kelompok pasien yang 

belum memiliki riwayat pengobatan sebelumnya. 

Komorbid dan penyakit penyerta dapat 

meningkatkan risiko terjadinya reaksi kusta. Koinfeksi 

dapat menyebabkan pelepasan penanda inflamasi 

sehingga merangsang sistem imun secara berlebihan.

Komorbid yang paling umum pada penelitian ini adalah 

infeksi oral, termasuk periodontitis, karies, dan gangren 

pulpa. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara 

koinfeksi dan kejadian reaksi kusta. Usia, jenis kelamin, 

dan IMT bukan faktor risiko reaksi kusta pada penelitian 

ini, namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa 

laki-laki pada usia produktif lebih cenderung mengalami 

reaksi kusta.

Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu 

penggunaan rekam medis yang tidak lengkap untuk 

menemukan faktor pencetus reaksi kusta. Di samping 

itu, klasifikasi dan diagnosis kusta tidak divalidasi oleh 

dokter penanggung jawab pelayanan.

Tipe kusta, IB, IM, ada tidaknya infeksi oral ataupun 

ISPA, serta riwayat pengobatan kemungkinan merupakan 

faktor risiko reaksi kusta. Analisis multivariat dari kelima 

faktor risiko menunjukkan bahwa hanya IB 3+ atau lebih 

yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi 

kusta dengan nilai MLE sebesar 72%. Penelitian ini 

menunjukkan bahwa reaksi tipe 1 lebih sering ditemukan 

pada tipe kusta BB dengan IB dan IM negatif, tanpa 

penyakit penyerta ataupun riwayat pengobatan. Reaksi 

tipe 2 lebih sering ditemukan pada pasien tipe LL dengan 

IB 3+ atau lebih dan IM 1–5%. Riwayat koinfeksi pada 

oral ataupun ISPA, dan riwayat pengobatan sebelumnya 

dapat menjadi faktor risiko pada reaksi tipe 2. Usia, jenis 

kelamin, dan IMT bukan faktor risiko reaksi kusta pada 

studi ini.

kusta 8



Tingginya angka insidensi kusta pada orang-orang kontak serumah hampir sepuluh kali 

dibanding mereka yang tidak kontak serumah. Pada mereka yang kontak serumah dengan 

penderita penyakit kusta mempunyai resiko lebih tinggi tertular. Kontak sekali saja atau 

beberapa kali kontak dengan penderita kusta, orang tersebut dapat saja tertular penyakit 

tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keberadaan Mycobacterium leprae pada 

hasil pewarnaan kontak serumah penderita kusta pasca menjalani pengobatan. Jenis 

penelitian ini merupakan penelitian observasi laboratorium dengan pendekatan deskriptif 

yakni melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya Mycobacterium 

leprae pada hasil pewarnaan sediaan kontak serumah penderita Penyakit Kusta Pasca 

Menjalani Pengobatan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai 

Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar dengan jumlah sampel sebanyak 40 

sampel.Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat puluh empat (40) sampel yang 

diperiksa, tujuh (7) diantaranya positif BTA sedangkan tiga puluh tiga (33) yang lainnya 

negatif BTA. Hasil pemeriksaan basil tahan asam pada deteksi dini Mycobacterium lepraepada kontak serumah penderita penyakit kusta dengan hasil negative yaitu 82,5 %, 1+ 

yaitu 15 %, dan 2+ yaitu 2,5 %, oleh karena itu perlunya peningkatan kegiatan penyuluhan 

tentang kusta. Kontak fisik (Serumah) dengan penderita perlu diminimalkan. Hygiene 

perorangan seperti menjaga kebersihan tempat tidur perlu ditingkatkan dan sanitasi rumah 

perluh dipertimbangkan kebersihannya.

Penyakit kusta adalah penyakit kronik 

yang disebabkan oleh kuman 

Mycobacterium leprae yang pertama 

kali menyerang susunan saraf tepi, 

selanjutnya depat menyerang kulit, 

mukosa, saluran pernapasan bagian atas, 

system retikulo endothelial, mata, otot, 

tulang dan testis

Penyakit kusta masih merupakan 

masalah kesehatan masyarakat di 

Indonesia, menurut data Departemen 

Kesehatan pada tahun 2018 terdapat 

18.248 penderita kusta di Indonesia. 

Penyakit ini adalah salah satu penyakit 

menular yang timbulnya memerlukan 

waktu yang lama dengan penyebab 

kuman Mycobacterium leprae yang 

menyerang kulit dan saraf. Penyakit ini 

sendiri merupakan salah satu gambaran 

nyata kemiskinan di masyarakat di 

Indonesia, karena kenyataannya 

sebagian besar penderita kusta berasal 

dari golongan ekonomi lemah 

Meskipun penyakit Kusta tidak 

menyebabkan kematian, namun penyakit 

ini termasuk penyakit paling ditakuti 

oleh seluruh dunia. Penyakit ini sering 

kali menyebabkan permasalahan yang 

sangat kompleks bagi penderita kusta itu 

sendiri, keluarga dan masyarakat. Cara 

penularannya yang pasti belum diketahui 

tetapi menurut sebagian besar ahli 

melalui pernapasan (inhalasi) dan kontak 

langsung yang lama dan erat 

melaluikulit. Pemeriksaan 

bakterioskopik merupakan salah satu 

pemeriksaan yang digunakan untuk 

membantu menegakkan diagnose dan 

pengobatan terhadap Mycobacterium 

leprae. Sediaan dibuat dari kerokan kulit 

atau mukosa hidung yang diwarnai 

dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. 

Adanya hubungan yang 

bermakna antara tingkat pengetahuan 

sebagai salah satu bagian dari perilaku 

dengan proses penularan dan 

penyembuhan pada penderita kusta. 

Orang yang memiliki pengetahuan yang 

tinggi tentang penyakit kusta tentunya 

akan berusaha menjauhkan dirinya dari 

faktor-faktor yang dapat menjadi sumber 

penularan penyakit ini 

Tingginya angka insidensi kusta 

pada orang-orang kontak serumah 

hampir sepuluh kali dibanding mereka 

yang tidak kontak serumah. Pada mereka 

yang kontak serumah dengan penderita 

penyakit kusta mempunyai resiko lebih 

tinggi tertular. Seorang anak yang 

tinggal serumah dengan orang tua yang 

menderita penyakit kusta mempunyai 

kesempatan yang lebih besar untuk 

melakukan kontak dengan penderita 

kusta. Kontak sekali saja atau beberapa 

kali kontak dengan penderita kusta, 

orang tersebut dapat saja tertular 

penyakit tersebut.

Mycobacterium leprae sebagai 

kuman penyebab penyakit ini 

sebenarnya sangat lambat dalam 

memperbanyak diri sehingga masa 

inkubasi penyakit ini sekitar lima tahun. 

Gejalanya dapat memakan waktu selama 

20 tahun untuk muncul. Meskipun WHO 

telah mencanangkan program eliminasi 

kusta pada tahun 2000 dan melaporkan 

118 dari 122 negara telah eliminasi, 

namun kenyataannya jumlah penderita kusta masih tinggi dan masih banyak 

temuan kasus baru yang dilaporkan 

setiap tahunnya. Situasi ini bahkan lebih 

serius jika mereka yang terkena dampak 

adalah anak-anak 

Indonesia telah mencapai target 

eliminasi kusta pada tahun 2001, dengan 

jumlah kasus tercatat pada akhir 2006 

sebanyak 22.175 angka prevalensi ini 

telah berhasil diturunkan dari 5,1 per 

10.000 penduduk pada tahun 1991 

menjadi 0.98 per 10.000 penduduk pada 

tahun 2005 dan pada tahun 2018 menjadi 

0.71 per 10.000 penduduk dengan total 

18.248 kasus terdaftar. Penurunan angka 

prevalensi kusta di Indonesia tidak 

disertai penurunan jumlah kasus baru 

terdeteksi (new case detection) yang 

merupakan proxy angka insidensi kusta. 

Fakta ini menunjukkan adanya indikasi 

terus berlangsungnya transmisi kusta 

pada setiap wilayah kusta dengan 

kecepatan pertumbuhan yang sama. 

Indikasi ini diperkuat dengan adanya 

kesenjangan antara jumlah kasus kusta 

tercatat yang menjadi proxy dari angka 

prevalensi kusta dengan angka 

prevalensi kusta berdasarkan survei. 

Angka prevalensi hasil survei ditemukan 

lebih tinggi dari angka kasus tercatat. 

Hal ini mengindikasikan adanya kasus 

yang tidak terdeteksi yang menjadi 

sumber penularan di masyarakat 

Desain, tempat, waktu

Desain penelitian ini merupakan 

penelitian observasi laboratorium 

dengan pendekatan deskriptif yakni 

melakukan pemeriksaan laboratorium 

untuk mengetahui adanya 

Mycobacterium leprae pada hasil 

pewarnaan sediaan kontak serumah 

penderita Penyakit Kusta Pasca 

Menjalani Pengobatan. Lokasi 

pengambilan sampel dilakukan di 

Kampung Kusta Jongaya Makassar dan 

lokasi pemeriksaan sampel dilakukan di 

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat 

Makassar. Penelitian ini dilakukan pada 

tanggal 27 Mei sampai dengan 31 Mei 

2019.

Bahan dan Alat

Populasi pada penelitian adalah 

orang serumah yang melakukan kontak 

dengan penderita penyakit kusta yang 

telah menjalani pengobatan. Sampel 

yang digunakan dalam penelitian ini 

adalah orang serumah penderita penyakit 

kusta yang telah 

Besar sampel dalam penelitian ini yaitu 

sebanyak 40 orang serumah penderita 

penyakit kusta yang telah menjalani 

pengobatan. Teknik penarikan sampel 

yang digunakan dalam penelitian ini 

adalah Purposive Sampling. Bahan yang 

digunakan yaitu Reitz Serum dan 

pewarna Ziehl Neelsen. Alat–alat yang 

digunakan adalah obyek glass, kapas 

alkohol 70%, skapel steril, mikroskop, 

oil emersi, pipet steril dan lampu 

spiritus.

Langkah-langkah Penelitian

Pelaksanaan penelitian meliputi 

pengambilan Reitz Serum pada serumah 

penderita penyakit kusta dan dilakukan 

pewarnaan Ziehl Neelsen dan dilakukan 

pembacaan menggunakan mikroskop.

Pengolahan dan Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini 

dilakukan secara deskriptif dalam bentuk 

tabel yang disertai dengan narasi.

 

Berdasarkan hasil penelitian 

yang dilakukan di Laboratorium 

mikrobiologi Balai Besar Kesehatan 

Paru Masyarakat Makassar pada tanggal 

27-31 Mei 2019 terhadap 40 sampel 

pembacaan basil tahan asam pada kontak 

serumah penderita penyakit kusta

dengan hasil penderita penyakit kusta 

dengan hasil negative yaitu 82,5 %, 1+ 

yaitu 15 %, dan 2+ yaitu 2,5 %.Kusta adalah suatu penyakit 

infeksi granulomatosa menahun yang 

disebabkan oleh organisme intraseluler 

obligat Mycobacterium leprae. 

Awalnya, bakteri ini menyerang susunan 

saraf tepi, lalu kulit, mukosa, saluran 

nafas, sistem retikuloendotelial, mata, 

otot, tulang, dan testis 

Berdasarkan teori Blum, yaitu 

diketahui bahwa terjadinya suatu 

penyakit disebabkan oleh empat faktor 

utama yaitu lingkungan, perilaku, 

pelayanan kesehatan, dan genetik. 

Secara umum lingkungan dapat dibagi 

menjadi lingkungan fisik, lingkungan 

biologik, dan lingkungan sosial, 

ekonomi, dan budaya. Rumah 

merupakan bagian dari lingkungan fisik 

yang dapat mempengaruhi kesehatan 

individu dan masyarakat, sehingga 

rumah yang ditempati harus memenuhi 

syarat kesehatan. 

Rumah yang tidak sehat dapat 

meningkatkan resiko penghuninya 

mengalami berbagai macam penyakit 

(Wijaya, 2016). Berdasarkan Report of 

the International Leprosy Association 

Technical Forum dilaporkan adanya M. 

leprae pada debu, air untuk mandi dan 

mencuci di rumah penderita (Norlatifah, 

2010). Hal ini sesuai penelitian yang 

dilakukan oleh 

bahwa kondisi fisik rumah seperti luas 

ventilasi, intensitas pencahayaan, 

kelembaban, kepadatan hunian dan 

frekuensi mengganti alas tidur berisiko 

terhadap kejadian kusta. Faktor lainnya 

yaitu seperti jenis lantai yang tidak baik 

dan personal hygiene yang buruk 

Pada rumah yang tidak sehat dan 

tidak memenuhi syarat kesehatan, 

memiliki komponen fisik yang kurang 

baik seperti lantai dan dinding tidak 

kedap air, kurangnya jendela dan 

ventilasi rumah (<10% luas lantai), serta 

kurangnya cahaya yang masuk ke dalam 

rumah mengakibatkan kelembaban yang 

tinggi. Hal ini akan membawa pengaruh 

buruk bagi penghuninya dan merupakan 

media tumbuh bakteri kusta dan 

mikroorganisme lainnya 

Pemeriksaan mikroskopis 

dilakukan untuk melihat keberadaan 

basil M. lepra pada hasil insisi telinga 

pasien lepra. Pewarnaan yang digunakan 

adalah Pewarnaan Ziehl Neelsen karena 

M. leprae memiliki dinding sel yang 

mengandung banyak zat lipid (lemak) 

sehingga bersifat permeabel dengan 

pewarnaan biasa. Positif BTA ditandai 

dengan ditemukannya basil M. leprae 

yang berwarna merah pada pengamatan 

mikroskopis. Warna merah yang muncul 

merupakan reaksi antara carbol fuchsin 

dengan sel M. leprae. Warna ini tidak 

luntur setelah pencucian dengan asam 

alkohol 3 % karena sel M. leprae

mengandung lapisan lilin dan lemak. 

Penambahan metilen biru akan 

memberikan warna biru pada latar 

sehingga bakteri M. leprae mudah 

diamati di bawah mikroskop 

Berdasarkan hasil penelitian 

menunjukkan keempat puluh empat 

(40) sampel yang diperiksa, tujuh (7) 

diantaranya positif BTA sedangkan tiga 

puluh tiga (33) yang lainnya negatif 

BTA. Hasil pemeriksaan basil tahan 

asam pada deteksi dini Mycobacterium 

leprae pada kontak serumah penderita 

penyakit kusta dengan hasil negative 

yaitu 82,5 %, 1+ yaitu 15 %, dan 2+ yaitu 

2,5 %.

Pada penelitian sebelumnya 

menunjukkan variabel kontak fisik 

(Serumah) menunjukkan bahwa 

sebagian besar responden yaitu 43 

responden atau sebesar 84,3% yang 

berisiko tinggi tertular kusta melalui 

kontak fisik. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar 

15,7% adalah responden yang berisiko 

rendah tertular kusta melalui kontak 

fisik. Kontak fisik yang paling sering 

dilakukan responden adalah kontak kulit 

dan berbicara dengan penderita 

Pada penelitian yang lain 

menunjukkan bahwa M. leprae mampu 

hidup beberapa waktu di lingkungan. M. 

leprae juga dapat ditemukan pada debu 

rumah penderita, air untuk mandi dan 

mencuci yang dapat menjadi sumber 

infeksi, akan tetapi hal ini masih 

memerlukan penelitian lebih lanjut 

Penelitian yang dilakukan oleh 

Yohana dkk menunjukkan Ada 

hubungan antara riwayat kontak dengan 

kejadian kusta di Kecamatan Kenjeran, 

Kecamatan Semampir dan Kecamatan 

Tandes dengan nilai p value 0.003 <0.05. 

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 

hubungan antara riwayat kontak dengan 

kejadian kusta dengan nilai OR 5.278 

(CI 95 % : 1.687-16.514). Responden 

yang memiliki riwayat kontak dengan 

penderita kusta berisiko terkena kusta 

sebesar 5.278 kali lebih besar 

dibandingkan dengan responden yang 

tidak memiliki riwayat kontak 

 Berdasarkan hasil penelitian 

yang dilaksanakan di Balai Besar 

Kesehatan Paru Masyrakat Makassar 

pada tanggal 27-31 Mei 2019 

menunjukkan bahwa keempat puluh 

empat (40) sampel yang diperiksa, tujuh 

(7) diantaranya positif BTA sedangkan 

tiga puluh tiga (33) yang lainnya negatif 

BTA. Hasil pemeriksaan basil tahan 

asam pada deteksi dini Mycobacterium 

leprae pada kontak serumah penderita 

penyakit kusta dengan hasil negative 

yaitu 82,5 %, 1+ yaitu 15 %, dan 2+ yaitu 

2,5 %.