Mata a

 



Kesehatan mata merupakan aspek vital yang sering terabaikan dalam 

masyarakat pedesaan. Artikel ini membahas 

program bakti sosial yang diselenggarakan di Desa Citeko, Puncak Bogor, dengan fokus pada pemeriksaan mata gratis 

untuk warga desa. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mata, mendeteksi 

masalah penglihatan sejak dini, dan memberikan solusi yang tepat melalui donasi kacamata dan rujukan medis. Kegiatan 

ini melibatkan kerjasama antara tenaga medis profesional, relawan, dan pemerintah setempat. Hasil dari program ini 

menunjukkan bahwa sejumlah besar warga desa mengalami berbagai masalah penglihatan yang dapat ditangani dengan 

pemeriksaan rutin dan intervensi yang tepat. Kesimpulannya, bakti sosial ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup 

warga Desa Citeko tetapi juga menekankan pentingnya program serupa di daerah pedesaan lainnya untuk menjaga 

kesehatan mata masyarakat secara menyeluruh.

Kesehatan mata merupakan komponen krusial dalam kualitas hidup seseorang, namun seringkali 

terabaikan, terutama di komunitas pedesaan. Desa Citeko, yang terletak di kawasan Puncak Bogor, 

tidak terkecuali dari fenomena ini. Masyarakat desa ini, seperti banyak komunitas pedesaan lainnya, 

menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses layanan kesehatan mata yang 

memadai.(Haryandi et al., 2024) Kurangnya kesadaran akan pentingnya pemeriksaan mata rutin 

dan terbatasnya fasilitas kesehatan membuat masalah kesehatan mata sering kali tidak terdeteksi 

dan tidak tertangani dengan baik.

Sebagai respons terhadap kebutuhan ini, program bakti sosial dengan fokus pada pemeriksaan mata 

gratis di Desa Citeko dilaksanakan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran 

masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mata, mendeteksi secara dini berbagai masalah 

penglihatan, dan menyediakan solusi yang tepat melalui donasi kacamata dan rujukan medis. 

Kegiatan ini melibatkan kerjasama antara tenaga medis profesional, relawan, dan pemerintah 

setempat, yang bersama-sama bekerja untuk memberikan layanan kesehatan mata yang 

komprehensif kepada masyarakat desa.(Prasetya et al., 2023)

Program pemeriksaan mata ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kesehatan mata penduduk 

Desa Citeko, tetapi juga memperkuat kesadaran tentang pentingnya kesehatan mata di kalangan 

masyarakat pedesaan. Melalui upaya kolaboratif ini, diharapkan dapat ditemukan solusi jangka 

panjang yang berkelanjutan untuk menjaga kesehatan mata, serta mencegah dan mengatasi masalah 

penglihatan yang dapat menghambat produktivitas dan kualitas hidup masyarakat. Pendahuluan ini 

akan menggambarkan latar belakang, tujuan, dan metode pelaksanaan program bakti sosial ini, serta 

menyoroti pentingnya intervensi kesehatan mata di daerah pedesaan seperti Desa Citeko.

Melalui pendahuluan ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai latar belakang, tujuan, dan metode 

pelaksanaan program bakti sosial di Desa Citeko. Program ini tidak hanya berfungsi sebagai 

intervensi jangka pendek untuk mengatasi masalah kesehatan mata yang ada, tetapi juga sebagai 

langkah awal menuju peningkatan kualitas hidup masyarakat desa secara keseluruhan. Dengan 

pendekatan yang holistik dan kolaboratif, program ini bertujuan untuk menciptakan perubahan 

positif yang berkelanjutan dalam kesehatan mata di komunitas pedesaan.

Hasil Pemeriksaan Mata

Program bakti sosial pemeriksaan mata di Desa Citeko, Puncak Bogor, berhasil menjangkau 

sejumlah besar warga desa. Dari data yang terkumpul, terdapat sekitar 110 warga yang 

mengikuti pemeriksaan mata gratis selama tiga hari kegiatan berlangsung. Hasil pemeriksaan 

menunjukkan bahwa sebagian besar peserta mengalami masalah penglihatan yang memerlukan 

perhatian lebih lanjut. Beberapa masalah yang umum ditemui antara lain rabun dekat, rabun 

jauh, astigmatisme dan presbyopia.(Abdu et al., 2021) Dan mendapatkan kacamata gratis 89 

warga.

Tindak Lanjut dan Intervensi

Setelah pemeriksaan mata, peserta yang memerlukan kacamata langsung diberikan kacamata 

secara gratis sesuai dengan ukuran hasil refraksi. Selain itu, peserta yang memerlukan 

perawatan lebih lanjut direferensikan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan 

perawatan lanjutan. Proses tindak lanjut ini dilakukan dengan kerjasama antara tim medis, 

relawan, dan pemerintah setempat. Beberapa peserta yang memerlukan perawatan lanjutan 

telah diberikan rujukan ke rumah sakit atau klinik mata terdekat.

Dampak dan Manfaat

Program bakti sosial ini memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat Desa Citeko. 

Beberapa manfaat yang dapat diamati antara lain:

Peningkatan Kesadaran: Kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mata meningkat di 

kalangan masyarakat desa.

Aksesibilitas Layanan: Warga desa mendapatkan akses mudah dan gratis terhadap pemeriksaan 

mata, kacamata, dan perawatan medis.

Peningkatan Kualitas Hidup: Warga yang menderita masalah penglihatan mendapatkan solusi 

yang tepat, sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka.

Penguatan Kemitraan: Kerjasama antara pihak terkait seperti tenaga medis, relawan, dan 

pemerintah desa menjadi lebih solid dan berkelanjutan.

Evaluasi Program

Evaluasi program dilakukan secara menyeluruh setelah kegiatan berakhir. Data hasil 

pemeriksaan dan tindak lanjut peserta direkapitulasi dan dianalisis untuk mengevaluasi 

efektivitas program. Selain itu, dilakukan juga survei kepuasan peserta untuk mendapatkan 

masukan dan saran perbaikan ke depannya. Hasil evaluasi ini akan menjadi dasar untuk 

perencanaan program bakti sosial kesehatan mata di masa mendatang.

Pembahasan

Program bakti sosial pemeriksaan mata di Desa Citeko telah membawa manfaat yang nyata 

bagi masyarakat. Pada saat dilakukan refraksi yang mendapatkan kacamata 89 dengan kelainan 

refraksi myopia 2 (2,25%), astigmat 19 (21,35%), myopia astigmat 2 (2,25%) dan presbyopia 

66 (74,16%). Namun, tantangan-tantangan masih ada, seperti perluasan jangkauan program ke 

desa-desa lain, pemeliharaan layanan yang berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya yang 

efisien. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara pihak terkait, 

pengembangan strategi pendanaan yang berkelanjutan, serta upaya-upaya untuk meningkatkan 

partisipasi masyarakat dalam program-program kesehatan mata di masa mendatang.Program bakti sosial pemeriksaan mata di Desa Citeko, Puncak Bogor, telah memberikan 

kontribusi yang signifikan dalam menjaga kesehatan mata masyarakat. Melalui pemeriksaan gratis 

dan pemberian kacamata, program ini berhasil meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan 

mata, mendeteksi masalah penglihatan sejak dini, dan memberikan solusi yang tepat kepada warga 

desa yang memerlukan. Hasilnya, kualitas hidup masyarakat Desa Citeko meningkat, dan 

kerjasama antara pihak terkait pun menjadi lebih solid.


mata2



Latar Belakang: Penyakit mata kering (dry eye 

disease/DED) merupakan salah satu penyakit mata 

tersering di dunia. Di negara kita , seiring dengan 

kemajuan teknologi informatika, DED menjadi masalah 

kesehatan yang serius. Pasien umumnya datang dengan 

keluhan yang bervariasi, seperti fotofobia, mata lelah, 

gatal, terasa panas atau terbakar, iritasi, dan gangguan 

penglihatan. Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah 

memberikan ulasan mengenai klasifikasi, diagnosis, 

dan tatalaksana mata kering saat ini.

Metode: Sumber pustaka diperoleh dari database 

Pubmed, Proquest, dan Google Scholar. Artikel-artikel 

yang relevan yang dipublikasi dalam rentang waktu 

tahun 2015 sampai 2021 dikumpulkan dan dianalisis 

berdasar  hasil dari penelitian sebelumnya.

Hasil: berdasar  laporan Asia Dry Eye Society (ADES) 

di tahun 2020, DED diklasifikasikan menjadi tiga tipe,Penyakit mata kering (dry eye disease/DED) 

merupakan salah satu penyakit mata yang 

sering ditemui dalam praktik sehari-hari. 

Pasien umumnya memiliki keluhan yang 

bervariasi, seperti fotofobia, mata lelah, 

gatal, terasa panas atau terbakar, iritasi, 

dan gangguan penglihatan. Keluhan￾keluhan ini dapat mengganggu aktivitas 

sehari-hari dan menurunkan kualitas 

hidup seseorang karena sifatnya yang 

kronis dan membutuhkan terapi jangka 

panjang. Tidak jarang pasien dengan 

penyakit mata kering juga disertai dengan 

gejala depresi dan gangguan mood.1

DED merupakan penyakit 

multifaktorial yang berhubungan 

dengan ketidakstabilan lapisan air 

mata, hiperosmolaritas, inflamasi, dan 

abnormalitas neurosensori.2

 Pada tahun 

2017, Asia Dry Eye Society (ADES) 

menekankan ketidakstabilan lapisan air 

mata sebagai etiologi utama dari DED dan 

pada tahun 2020 mengklasifikasikan DED 

menjadi tiga, yaitu defisiensi aqueous, 

peningkatan evaporasi, dan penurunan 

keterbasahan kornea, dan konjungtiva.3,4

Studi epidemiologi menunjukkan 

bahwa prevalensi DED dengan atau 

tanpa gejala mata kering berkisar antara 

5-50%. Prevalensi DED di negara-negara 

Asia Tenggara menunjukkan angka yang 

cukup tinggi, yaitu sebesar 20-52,4% 

dibandingkan dengan negara-negara di 

Eropa (Spanyol 18,4%, Inggris 20%) dan 

Amerika (14,5%). 

 Sebagian besar studi 

menunjukkan bahwa prevalensi DED 

pada perempuan 1,33-1,74 kali lebih 

tinggi dibandingkan dengan laki-laki dan 

meningkat seiring dengan usia (puncaknya 

pada usia 40-50 tahun).5,6

 Seiring dengan 

kemajuan teknologi informatika, DED 

menjadi masalah kesehatan yang serius. 

Penggunaan komputer atau gadget 

akan berdampak pada turunnya refleks 

berkedip yang kemudian menyebabkan 

peningkatan evaporasi pada mata

Selain usia tua, jenis kelamin perempuan, 

dan ras Asia, beberapa faktor risiko 

DED lainnya adalah disfungsi kelenjar 

Meibom, sindrom Sjogren, defisiensi 

hormon androgen, terapi hormon 

estrogen, penyakit jaringan ikat, pengguna 

komputer dan lensa kontak, lingkungan 

(angin, polusi, humiditas rendah), serta 

obat-obatan (antihistamin, antidepresan, 

ansiolitik, dan isotretinoin).

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas 

mengenai klasifikasi, diagnosis, dan 

tatalaksana mata kering yang diharapkan 

dapat memudahkan klinisi dalam 

menegakkan diagnosis dan pemberian 

terapi.


Metode penulisan yang digunakan adalah 

tinjauan pustaka. Sumber kepustakaan 

diperoleh dari database Pubmed, Proquest, 

dan Google Scholar dengan menggunakan 

kata kunci “dry eye”, “tear”, “fluorescein 

breakup pattern”, “tear film-oriented 

diagnosis”, dan “tear film-oriented therapy”. 

Literatur yang dipilih adalah literatur 

yang dipublikasikan tahun 2015 sampai 

2021, yang relevan dengan penyakit mata 

kering, dan sesuai dengan kata kunci. 

Literatur yang dipublikasikan di luar 

rentang waktu yang telah disebutkan tidak 

dimasukkan ke dalam tinjauan pustaka. 

Literatur-literatur yang dipilih kemudian 

dikumpulkan dan dianalisis berdasar  

hasil dari penelitian sebelumnya lalu 

disusun menjadi satu kajian literatur 

ilmiah.

HASIL

Definisi dan klasifikasi

Dry eye disease (DED) atau penyakit 

mata kering didefinisikan sebagai 

penyakit multifaktorial yang ditandai 

dengan hilangnya homeostasis air 

mata, dan disertai oleh gejala di mata, 

di mana ketidakstabilan lapisan air 

mata, hiperosmolaritas, inflamasi, dan 

abnormalitas neurosensori memiliki 

peran penting. Tear Film and Ocular 

Surface Society Dry Eye Workshop II 

(TFOS DEWS II) mengklasifikasikan 

DED menjadi dua tipe, yaitu aqueous 

deficient dry eye (ADDE) dan evaporative 

dry eye (EDE).2

 ADDE merupakan kondisi 

yang berkaitan dengan kegagalan fungsi 

kelenjar lakrimal untuk menghasilkan 

komponen aqueous yang adekuat sehingga 

terjadi kerusakan permukaan mata 

(kornea dan konjungtiva). Penyakit mata 

kering tipe ini sering ditemui pada pasien 

dengan sindrom Sjogren, graft versus 

host disease (GVHD), ocular cicatricial 

pemphigoid (OCP) dan sindrom Steven￾Johnson. Sementara itu, EDE berkaitan 

dengan peningkatan evaporasi air mata 

yang sering terjadi pada disfungsi kelenjar 

Meibom/Meibom gland dysfunction

(MGD), blink-related (contoh pada 

lagoftalmos atau pengguna gadget), dan 

pengguna lensa kontak.

Pada tahun 2017, Asia Dry Eye Society 

(ADES) mendefinisikan DED sebagai 

penyakit multifaktorial yang ditandai 

dengan ketidakstabilan lapisan air mata 

yang menyebabkan serangkaian gejala 

dan/atau gangguan penglihatan, yang 

berpotensi menyebabkan kerusakan 

permukaan mata. Berbeda dari TFOS 

DEWS II yang menekankan homeostasis 

air mata, ADES 2017 menekankan 

ketidakstabilan air mata sebagai 

mekanisme inti dari gejala mata kering 

dan/atau gangguan penglihatan.3

Menindaklanjuti konsensus pada 

tahun 2017, pada tahun 2020 ADES 

mengklasifikasikan DED menjadi tiga 

sesuai dengan letak lapisan air mata 

yang mengalami kelainan, yaitu DED 

akibat defisiensi aqueous, peningkatan 

evaporasi, dan penurunan keterbasahan 

permukaan mata. Tiap komponen 

air mata (lipid, aqueous atau secretory 

mucin, dan membrane-associated mucin) 

memengaruhi kestabilan lapisan air mata. 

Abnormalitas pada komponen lipid akan 

meningkatkan evaporasi yang kemudian 

menyebabkan ketidakstabilan lapisan air 

mata. Defisiensi aqueous, yang merupakan 

bentuk klasik dari mata kering, seperti 

yang terdapat pada sindrom Sjogren, juga 

menyebabkan ketidakstabilan lapisan air 

mata. Defisiensi membrane-associated 

mucin menurunkan keterbasahan kornea 

dan konjungtiva yang kemudian juga 

dapat menyebabkan ketidakstabilan 

lapisan air mata.

Diagnosis

Penegakkan diagnosis diperlukan untuk 

membedakan antara DED, infeksi, dan 

alergi yang mana ketiganya memiliki gejala 

klinis yang serupa, tetapi penatalaksanaan 

yang berbeda. Anamnesis lengkap yang 

meliputi onset, keluhan, faktor risiko 

(pekerjaan, lingkungan), riwayat penyakit 

sistemik (Grave’s disease, Sjogren syndrome, 

diabetes mellitus, penyakit vaskular 

kolagen), dan riwayat pengobatan harus 

ditanyakan.

 Pendekatan gejala mata 

kering dapat dinilai dengan menggunakan kuesioner Ocular Surface Disease Index

(OSDI), McMonnies Questionnaire, 

Women’s Health Study Questionnaire, 

atau Dry Eye-Related QoL score (DEQ). 

Alat ukur ini telah diuji validitas dan 

reliabilitasnya untuk skrining DED.8

Setelah anamnesis, pemeriksaan 

oftalmologi yang umumnya dilakukan 

antara lain tear film break up time

(TBUT), tes Schirmer, pewarnaan kornea￾konjungtiva, pemeriksaan margo palpebra

dan orifisium kelenjar Meibom.1,4

Pemeriksaan TBUT menggambarkan 

kestabilan lapisan air mata, dilakukan 

dengan menggunakan zat pewarna 

fluoresein 1%. Jumlah zat fluoresein 

yang ditetes sekitar 1-2 L, pemberian 

dapat menggunakan pipet atau kertas 

strip fluoresein. Setelah itu, pasien 

diminta untuk mengedipkan mata 

sebanyak tiga kali untuk memastikan 

zat warna bercampur dengan air mata 

secara adekuat. Waktu interval yang 

dibutuhkan antara kedipan terakhir 

sampai munculnya bercak gelap pada 

kornea diukur menggunakan stopwatch. 

Waktu kurang dari 10 detik menunjukkan 

bahwa pasien memiliki mata kering.9

Pemeriksaan sekresi air mata dapat dinilai 

dengan tes Schirmer I (tanpa anestesi) dan 

tear film meniscus height (meniscometry).

Tes Schirmer I yang kurang dari 5 mm 

dalam 5 menit dan tear film meniscus 

height < 0,25 mm menggambarkan 

penurunan sekresi air mata yang ditemui 

pada penyakit mata kering tipe ADDE.1,4

Pemeriksaan palpebra dan margo 

palpebra meliputi penilaian adanya 

entropion, ektropion, lagoftalmos, paralisis 

N.VII, obstruksi orifisium kelenjar 

Meibom. Frekuensi berkedip juga perlu 

diperhatikan karena berkedip merupakan 

mekanisme mata untuk mendistribusikan 

air mata ke seluruh permukaan mata 

sehingga jika terjadi penurunan frekuensi 

berkedip, yang sering terjadi pada saat 

membaca atau menggunakan komputer, 

akan terjadi peningkatan evaporasi air 

mata yang berujung pada penyakit mata 

kering tipe EDE.

Pewarnaan kornea dan konjungtiva 

dilakukan dengan slit lamp biomicroscopy. 

Jenis pewarnaan yang umum dipakai 

adalah fluorescein, lissamine green, dan 

rose bengal. Salah satu terobosan tentang 

pendekatan diagnosis DED dilaporkan 

oleh Yokoi et al. yang menyebutkan bahwa 

fluorescein breakup pattern (FBUP) dapat 

menentukan klasifikasi DED.10 Tear film 

breakup dapat timbul akibat peningkatan 

evaporasi, penurunan volume aqueous

air mata, dan penurunan keterbasahan 

permukaan kornea. Detail gambaran 

tear film breakup pada tiap tipe DED 

dapat dilihat pada Gambar 1. Jika DED 

disebabkan oleh defisiensi aqueous, maka 

pola yang dominan muncul adalah line

atau area break. Jika DED disebabkan 

peningkatan evaporasi, pola yang muncul 

adalah random break. Sementara itu, DED 

akibat penurunan keterbasahan akan 

memberikan gambaran pola berupa spot

atau dimple break.

4,10

berdasar  konsensus ADES 

2017, diagnosis mata kering dapat 

ditegakkan dengan gejala klinis 

(menggunakan kuesioner) yang disertai 

dengan ketidakstabilan lapisan air mata (menggunakan pemeriksaan TBUT).

Pada skema (Gambar 2) yang ditampilkan 

di laporan ADES tahun 2020, dijabarkan 

jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan 

berdasar  dari klasifikasi DED. DED 

tipe defisiensi aqueous dapat didiagnosis 

dengan pemeriksaan Schirmer I atau

meniscometry. Pada DED tipe defisiensi 

lipid, karena erat kaitannya dengan 

disfungsi kelenjar Meibom, pemeriksaan 

manual kelopak mata dapat membantu 

diagnosis. Selain itu, lipid layer inferometry, 

walau jarang digunakan, dapat digunakan 

untuk mengevaluasi penurunan ketebalan 

lapisan lipid pada pasien DED 

Tatalaksana

ADES telah mengusung klasifikasi 

DED berdasar  lapisan air mata yang 

mengalami kelainan. Klasifikasi ini 

kemudian menjadi dasar penting untuk 

konsep penatalaksanaan DED yang 

kemudian disebut dengan Tear Film 

Oriented Therapy (TFOT) (Gambar 3). 

Jika DED disebabkan oleh defisiensi 

mucin, pasien sebaiknya diberikan mucin 

secretatogue seperti tetes mata diquafosol 

atau rebamipide.3,4,11 Diquafosol 

merupakan P2Y2 reseptor agonis yang 

berfungsi meningkatkan sekresi aqueous

dan mucin, sedangkan rebamipide 

merupakan derivat quinolinone yang 

berfungsi meningkatkan komponen 

mucin pada lapisan air mata. Pada 

beberapa penelitian, diquafosol dan 

rebamipide terbukti dapat meningkatkan 

TBUT dan memperbaiki staining kornea 

dan konjungtiva.4,11–14

Jika lapisan aqueous yang mengalami 

kelainan, seperti pada sindrom Sjogren 

maupun non-Sjogren, maka terapi 

berfokus pada peningkatan volume 

air mata dengan pemberian artificial 

tears, asam hyaluronat, diquafosol, atau 

oklusi puncta. Artificial tears dan asam 

hyaluronat merupakan terapi inisial yang 

umum dipilih, namun keduanya memiliki 

durasi yang singkat pada permukaan 

mata, yaitu sekitar 3-5 menit. Diquafosol 

memiliki efikasi yang lebih baik 

dibandingkan dengan artificial tears dan 

asam hyaluronat sehingga saat ini menjadi 

terapi pilihan pertama.13-16 Oklusi puncta 

tidak hanya meningkatkan komponen 

aqueous, tetapi juga komponen lipid dan 

mucin. Kombinasi oklusi puncta dengan 

diquafosol memberikan perbaikan jangka 

panjang pada ADDE berat,

Pemberian anti-inflamasi dipercaya 

dapat meningkatkan stabilitas lapisan 

air mata. Tetes mata siklosporin A 

merupakan imunosupresan yang 

berfungsi menurunkan aktivasi sel T 

melalui IL-2. Pemberian siklosporin A 

0,05% sebanyak 2 kali per hari dapat 

memperbaiki keratopati, meningkatkan 

hasil tes Schirmer dan mengurangi 

keluhan subjektif pasien. Lifitegrast juga 

merupakan modalitas baru yang sudah 

melalui fase 3 uji klinis. Obat ini berfungsi 

menghambat interaksi antara ICAM-1 dan 

LFA-1 yang berpengaruh pada aktivasi dan 

migrasi sel T. Pemberian kortikosteroid 

topikal seperti fluorometholone selama 

2-4 minggu terbukti mengurangi keluhan 

subjektif pasien DED dan memperbaiki 

staining kornea.

Jika kelainan ada pada lapisan lipid, 

seperti yang sering ditemukan pada 

disfungsi kelenjar Meibom, maka 

tatalaksana mengacu pada algoritma 

terapi disfungsi kelenjar Meibom, yaitu 

kompres hangat, lid hygiene, artificial 

tears, antibiotik sistemik/topikal 

(golongan tetrasiklin atau makrolid), dan 

suplementasi asam lemak omega-3 (yang 

terdapat pada minyak ikan).

DED diklasifikasikan menjadi tiga 

tipe berdasar  lapisan air mata yang 

mengalami kelainan, yaitu defisiensi 

aqueous, peningkatan evaporasi, dan 

penurunan keterbasahan kornea, dan 

konjungtiva. Pendekatan diagnosis tipe 

DED dapat dilakukan dengan melihat 

fluorescein breakup pattern (FBUP) di 

mana pada defisiensi aqueous pola yang 

dominan adalah line atau area break, pada 

peningkatan evaporasi akan menunjukkan 

pola random break, dan pada penurunan 

keterbasahan akan menunjukkan pola spot

atau dimple break. 

Ketiga klasifikasi ini kemudian yang 

menjadi dasar penting untuk konsep 

penatalaksanaan DED yang disebut 

dengan Tear Film Oriented Therapy

(TFOT). Jika DED disebabkan oleh 

defisiensi mucin, pasien sebaiknya 

diberikan mucin secretatogue seperti tetes 

mata diquafosol atau rebamipide. Jika 

lapisan aqueous yang mengalami kelainan, 

seperti pada sindroma Sjogren maupun 

non-Sjogren, maka terapi berfokus 

pada peningkatan volume air mata 

dengan pemberian artificial tears, asam 

hyaluronat, diquafosol, atau oklusi puncta. 

Jika kelainan ada pada lapisan lipid, seperti 

yang sering ditemukan pada disfungsi 

kelenjar Meibom, maka tatalaksana 

mengacu pada algoritma terapi disfungsi 

kelenjar Meibom, yaitu kompres hangat, 

lid hygiene, artificial tears, antibiotik 

sistemik/topikal, dan suplementasi asam lemak omega-3.