disentri amuba

 



disentri amuba

Kejang demam (Febrile Seizure) adalah salah satu masalah umum pada anak-anak. Kejang demam 

biasanya terjadi antara usia 6-60 bulan dengan suhu 380C dan lebih. Kejang demam terbagi menjadi 2 

klasifikasi, yaitu kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) dan kejang demam komplek (Complex 

Febrile Seizure). Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lama kejangnya lebih dari 15 menit, 

dan berulang dalam 24 jam. Disentri adalah penyakit diare akibat infeksi Entamoeba Hystolytica 

merupakan penyakit yang tersebar diseluruh dunia dengan terpusat dinegara berkembang dengan tingkat

sanitasi yang rendah. Kami melaporkan kasus anak usia 2 tahun dengan berat badan 12 kg, datang ke 

IGD dengan keluhan kejang SMRS. Pasien mengalami kejang disertai demam 1 kali dengan durasi ±7 

menit dan setelah masuk bangsal demam 1 kali durasi ±5 berulang selama 24 jam, kejang seluruh tubuh. 

BAB cair berwarna hijau dan kuning, terdapat ampas dan tidak ada lendir sejak 2 hari sebelum masuk 

rumah sakit sebanyak 2 kali. Batuk (+) Pilek (+). Pemeriksaan Feses Rutin menunjukan warna hijau, 

konsistensi lunak dan Amuba positif. Pada Hari rawat kedua dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan 

stomatitis pada bibir Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut, 

diagnosis pasien adalah kejang demam kompleks, febris H-1 dengan disentri amuba, stomatitis.

Kejang demam adalah salah satu 

masalah umum pada anak-anak. Kejang 

demam biasanya terjadi antara usia 6 bulan 

– 5 tahun dengan suhu 38 0C dan lebih. 

Mereka tidak terjadi karena infeksi sistem saraf pusat atau gangguan elektrolit dan 

metabolisme. Kejang demam merupakan 

kejadian pada bayi atau anak yang 

berhubungan dengan demam tetapi tidak 

pernah terbukti adanya infeksi intrakranial 

atau penyebab tertentu. Anak yang pernah 

kejang tanpa demam dan bayi berumur 

kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam 

kejang demam. Kejang demam harus 

dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang 

ditandai dengan kejang berulang tanpa 

demam. Menurut J. Gordon Millichap

membagi kejang demam menjadi 2 

golongan, yaitu kejang demam sederhana 

(Simple Febrile Seizure) dan kejang demam 

kompleks (Complex Febrile 

Seizure).(Kliegman, 2016)

Studi populasi di Eropa dan 

Amerika melaporkan insiden kejang demam 

sebesar 2-5% dari anak. Insiden di bagian 

lain dunia bervariasi, antara 5-10 % (India), 

8,8% (Jepang). Data dari negara-negara 

berkembang sangat terbatas, frekuensinya 

mungkin didapatkan lebih tinggi di Asia. 

Sebanyak 2-5% anak-anak yang berumur 

kurang dari 5 tahun pernah mengalami 

kejang disertai demam. Puncak umur 

mulainya adalah sekitar 14-6 bulan. Sekitar 

9-35% dari seluruh kejang demam awal 

merupakan kejang demam 

kompleks.(Kliegman, 2016)

Disentri menyebar di seluruh dunia 

dengan terpusat pada negara berkembang 

yang memiliki tingkat sanitasi yang rendah. 

Angka insidensi disentri basiler terbanyak 

adalah pada anak-anak dengan usia 1 hingga 

4 tahun. Kondisi ini menjadikan disentri 

basiler sebagai penyebab diare tersering 

pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun, di 

Afrika dan Asia Selatan. Prinsip penularan 

disentri amuba adalah dengan tertelannya 

makanan yang terkontaminasi feses yang 

mengandung kista matang. 

Infeksi Entamoeba Histolytica paling

banyak terjadi di negara subtropis dan tropis 

seperti negara negara di Amerika tengah dan 

selatan, Asia Pasifik dan Afrika. Di benua 

Afrika dan Asia tenggara 

infeksi Entamoeba Histolytica menjadi 

salah satu penyebab terjadinya diare berat 

pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun 

yang kemudian berpotensi tinggi menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, 

disentri amuba sering ditemukan pada 

wisatawan yang melakukan perjalanan ke 

wilayah endemik. World Health 

Organization memperkirakan 4 milyar 

kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 

2,2 juta diantaranya meninggal; sebagian 

besar anak-anak di bawah umur 5 tahun. 

Lebih dari 5000 anak meninggal setiap hari 

akibat diare. Dari semua kematian anak 

akibat diare, 78% terjadi di Afrika dan Asia 

Tenggara. Laporan Riskesdas tahun 2007 

menunjukkan bahwa penyakit Diare 

merupakan penyebab kematian nomor satu 

pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), 

sedangkan pada golongan semua umur 

merupakan penyebab kematian yang ke 

empat (13,2%) (Kementrian Kesehatan RI, 

2018)

Disentri adalah peradangan dan infeksi 

pada usus, yang mengakibatkan diare yang 

mengandung darah atau lendir. Gejala lain 

yang mungkin termasuk kram perut, mual, 

muntah, dan demam. Kondisi ini dapat 

terjadi sebagai akibat dari infeksi bakteri 

atau parasit. Infeksi ini biasanya menyebar 

sebagai akibat dari kebersihan atau sanitasi 

yang buruk. (Kementrian Kesehatan RI, 

2018)

Disentri terbagi jadi dua jenis, yaitu: 

Disentri basiler atau shigellosis, yang 

disebabkan oleh infeksi bakteri Shigella. 

Dan Disentri amuba atau amoebiasis yang 

disebabkan oleh infeksi Entamoeba 

histolytica.(Ikatan Dokter Anak Indoensia, 

2013)

LAPORAN KASUS

Pasien merupakan An. A.P usia 2 

tahun 2 bulan dengan berat badan 12 kg, 

datang ke IGD dengan keluhan kejang. 

Pasien mengalami kejang disertai demam 

(+) 1 kali dengan durasi ±7 menit dan 

berulang pada saat pasien dibangsal dahlia 

dengan durasi kejang ±5 selama 24 jam,

kejang seluruh tubuh dimulai dari tangan 

dan kaki, mata mendelik keatas, setelah 

kejang pasien sadar dan langsung menangis. 

Demam dikeluhkan sejak 1 hari SMRS.

BAB cair sebanyak 3 kali setiap BAB 

kurang lebih ¼ gelas belimbing (±50 cc), 

BAB berwarna kuning, ampas (+), lendir 

(+), darah (-), batuk (+) dan pilek (+). HMRS pasien masih BAB cair. BAK 

berwarna kuning jernih, nyeri saat berkemih 

(-). Saat kejang pasien tidak sadar. Setelah 

kejang, pasien langsung menangis, nafsu 

makan menurun (+), rewel (-), tampak haus 

(-).

Riwayat ANC baik, riwayat 

persalinan tidak baik, riwayat PNC baik. 

ASI eksklusif, kualitas dan kuantitas 

makanan baik, makanan sesuai dengan 

usianya. Perkembangan motorik kasar, 

motorik halus, bahasa dan personal sosial

sesuai usia. Vaksinasi dasar dinyatakan 

lengkap sesuai usia. Sosial ekonomi cukup, 

lingkungan baik kurang baik, dan personal 

hygiene kurang baik. 

Pada pemeriksaan fisik didapatkan 

keadaan umum tampak sedang, kesadaran 

compos mentis, suhu tubuh 38.5ºC, Nadi 

110x/menit, Pernapasan 25 x/menit, SpO2

97%. Pada pemeriksaan kulit, kelenjar 

limfe, otot, tulang dan sendi dalam batas 

normal. Pemeriksaan kepala dalam batas 

normal, UUB sudah menutup, UUB tidak 

membonjol, reflek cahaya (+/+), pupil 

isokor kanan dan kiri (3mm/3mm), bulging

fontanella (-). Pemeriksaan leher, thoraks 

dan jantung dalam batas normal, 

pemeriksaan fisik paru dalam batas normal. 

Pemeriksaan abdomen dalam batas normal, 

turgor kulit menurun (-) dan anogenital 

dalam batas normal. Pemeriksaan 

ekstremitas didapatkan akral hangat. 

Pemeriksaan status neurologis, reflek 

patologis dan meningeal sign dalam batas 

normal. Pemeriksaan mata dalam batas 

normal, pupil isokor 3mm, reflek cahaya 

(+/+) normal, papil edema (-/-), mata 

cowong (-/-). Pemeriksaan kepala, hidung, 

mulut, telinga, dan gigi dalam batas normal. 

Pemeriksaan laboratorium darah rutin 

menunjukkan peningkatan leukosit, MCHC, 

Neutrofil dan Rasio N/L serta terjadi 

penurunan Limfosit dan Eosinofil

akibat diare memberikan prognosis yang 

lebih baik. Pasien selanjutnya diobservasi di 

ruang Dahlia dengan terapi Infus RL 

36cc/jam, Injeksi Diazepam 3mg (kp kejang 

berulang), Inj. Paracetamol 100mg/4 jam 

(kp T > 38,5oC), Ampicillin 300 mg/6 jam 

(skin test), Diazepam puyer 3x1 mg, Syrup 

Paracetamol 1 cth/4 jam (kp T > 37,5oC), 

Zinc syr 1x1, L-bio 2x1, Puyer batuk 

(Salbutamol 1mg + trifed 1/6 tab + 

ambroxol 5 mg) 3x1.

Setelah dirawat selama 5 hari, dan 

keadaan stabil, pasien diperbolehkan pulang 

dengan pemberian edukasi kepada ibu anak 

dan keluarga apa yang harus dilakukan 

apabila terjadi demam, dan kejang dirumah. 

Serta kontrol rutin untuk mengevaluasi 

kondisi dan tumbuh kembang anak. 

DISKUSI

KEJANG DEMAM

Kasus ini mengambarkan presentasi 

klinis pasien dengan kejang demam. Dalam 

keadaan yang sering terjadi di IGD pasien 

anak datang dengan keluhan demam disertai 

kejang sedangkan banyak diagnosis yang 

memiliki tanda dan gejala yang sama 

sehingga kita sebagai tenaga medis harus 

dapat membedakan kejang pada pasien 

harus tepat diagnosis dan penatalaksanaan.

(Kliegman, 2016)


Kejang Demam adalah bangkitan 

kejang yang terjadi pada kenaikan suhu 

tubuh di atas 38°C yang disebabkan oleh 

suatu proses ekstrakranium. Definisi ini 

menyingkirkan kejang yang disebabkan 

penyakit saraf seperti meningitis, ensefatitis 

atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini

mempunyai prognosis berbeda dengan 

kejang demam karena keadaan yang 

mendasarinya mengenai sistem susunan 

saraf pusat.1 Menurut J. Gordon Millichap 

membagi kejang demam menjadi 2 

golongan, yaitu kejang demam sederhana 

(Simple Febrile Seizure) dan kejang demam 

kompleks (Complex Febrile 

Seizure).(Tejani, 2018)

1. Kejang Demam Sederhana (Simple 

Febrile Seizure), dengan ciri-ciri 

gejala klinis

sebagai berikut:

• Kejang berlangsung 

singkat < 15 menit

• Kejang umum tonik dan 

atau klonik

• Umumnya berhenti sendiri

• Tanpa gerakan fokal atau 

berulang dalam 24 jam

• Umur penderita 6 bulan- 5 

tahun

2. Kejang Demam Kompleks

(Complex Febrile Seizure), dengan 

ciri-ciri gejala klinis

 sebagai berikut:

• Kejang lama >15 menit

• Kejang fokal atau parsial 

satu sisi, atau kejang umum 

didahului kejang parsial

• Berulang atau lebih dari 1 

kali dalam 24 jam

• Kejang pertama kali pada 

umur < 6 bulan atau > 5 

tahun

Penyebab kejang demam hingga kini masih 

belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa 

faktor yang mungkin berperan dalam 

menyebabkan kejang demam,yaitu:

1. Demam

2. Efek produk toksik daripada 

mikroorganisme (kuman dan virus) 

terhadap otak 

3. Respon alergik atau keadaan imun yang 

abnormal oleh infeksi 

4. Perubahan keseimbangan cairan atau

elektrolit 

5. Ensefalitis viral (radang otak akibat 

virus) yang ringan atau yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik 

sepintas 

• Anamnesis: Biasanya didapatkan 

riwayat kejang demam pada 

anggota keluarga yang lainnya 

(ayah, ibu, atau saudara kandung).

• Pemeriksaan Neurologis: tidak 

didapatkan kelainan.

• Pemeriksaan Laboratorium: 

pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, 

kecuali untuk mengevaluasi sumber 

infeksi atau mencari penyebab 

(darah tepi, elektrolit, dan 

guladarah).

• Pemeriksaan Radiologi: X-ray 

kepala, CT scan kepala atau MRI 

tidak rutin dan hanya dikerjakan 

atas indikasi.

Indikasi CT scan CT Scan atau MRI : 

kelainan neurologi fokal menetap 

(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi 

struktural di otak. (mikrosefali, spastisitas) 

atau terdapat tanda peningkatan tekanan 

intrakranial (kesadaran menurun, muntah 

berulang, UUB menonjol, paresis N.VI, 

edema papil)

• Pemeriksaan cairan 

serebrospinal (CSS) : tindakan 

pungsi lumbal untuk pemeriksaan 

CSS dilakukan untuk menegakkan 

atau menyingkirkan kemungkinan 

meningitis. Pada bayi kecil, klinis 

meningitis tidak jelas, maka 

tindakan pungsilumbal dikerjakan 

dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Bayi <12 bulan: diharuskan.

2. Bayi antara 12 – 18 bulan: 

dianjurkan.

3. Bayi >18 bulan : tidak rutin, 

kecuali bila ada tanda-tanda 

meningitis.

• Pemeriksaan Elektro 

Ensefalografi (EEG) :tidak 

direkomendasikan, kecuali pada 

kejang demam yang tidak khas 

(misalnya kejang demam 

komplikata pada anak usia > 6 

tahun atau kejang demam fokal.

Pemberian obat kejang demam 

terbagi menjadi 3 yaitu pengobatan saat 

kejang, pengobatan rumatan, dan pengobatan intermitten. Pada kasus dengan 

kejang demam kompleks, anak dengan 

fakor resiko berupa demam yang melebihi 

38,5C diberikan terapi pengobatan 

intermitten yaitu diazepam dosis 0,3-0,5 

mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis saat pasien 

demam atau intrarectal tiap 8 jam sebanyak 

5 mg (BB<12 kg) dan 10 mg 

(BB>12kg).(Tejani, 2018; Xixis, Samanta 

and Keenaghan, 2023)

Saat ini diazepam merupakan obat 

pilihan utama untuk kejang demam fase 

akut, karena diazepam mempunyai masa 

kerja yang singkat. Diazepam dapat 

diberikan secara intravena atau secara 

rektal, jika diberikan secara intramuskular 

absorbsinya lambat. Pemberian diazepam 

secara rektal aman dan efektif serta dapat 

pula diberikan oleh orang tua di rumah. 

Faktor resiko terjadinya kejang demam 

berulang dan harus diberikan terapi 

intermitten adalah riwayat kejang demam 

dalam keluarga, usia kurang dari 18 bulan, 

tingginya suhu sebelum kejang demam, 

makin kecil resiko berulangnya kejang 

demam; lamanya demam sebelum kejang, 

semakin pendek jarak antara mulainya 

demam dengan terjadinya kejang, makin 

besar resiko berulangnya kejang demam. 

Pada kasus ini tidak terdapat faktor faktor 

untuk diberikannya pengobatan intermitten, 

dimana pada kasus ini suhu anak tidak 

sampai 38,5 oC dan juga tidak terdapat 

riwayat kejang demam pada keluarga.

Sehingga pada kasus ini hanya diberikan 

pengobatan saat kejang. (Xixis, Samanta 

and Keenaghan, 2023)

a. Kejang demam akan terjadi kembali 

pada sebagian kasus. Faktor resiko 

terjadinya kejang demam berulang 

adalah:

• riwayat kejang demam dalam 

keluarga 

• usia kurang dari 15 bulan

• temperatur yang rendah saat kejang 

• cepatnya kejang saat demam.

Bila seluruh faktor di atas ada, 

kemungkinan berulang 80% sedangkan 

bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 

10% - 15% kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang adalah pada 

tahun pertama.

b. Epilepsi Faktor resiko lain adalah 

terjadinya epilepsi di kemudian hari. 

Faktor resiko menjadi epilepsi adalah: 

• kelainan neurologis atau 

perkembangan yang jelas sebelum 

kejang demam pertama

• kejang demam kompleks 

• riwayat epilepsi pada orang tua atau 

saudara kandungDISENTRI AMOEBA

Menurut Dorland, 2011, diare 

merupakan pengeluaran tinja, konsistensi 

cair, dengan frekuensi berkali-kali yang 

tidak normal.

Data dari Riset Kesehatan Dasar 

(Riskesdas), 2013, menunjukkan insiden 

diare pada balita di Indonesia sebesar 6,7%. 

Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi 

yaitu Aceh 10,2%, Papua 9,6%, DKI Jakarta 

8,9%, Sulawesi Selatan 8,1%, dan Banten 

8,0%. Sebagian besar (70%-80%) kasus 

adalah anak di bawah 5 tahun (lebih kurang 

40 juta kejadian). Sedangkan menurut jenis 

kelamin, prevalensi diare pada laki-laki dan 

perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada 

laki-laki dan 9,1% pada perempuan.(Badan 

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 

RI, 2013)

Disentri menyebar di seluruh dunia 

dengan terpusat pada negara berkembang 

yang memiliki tingkat sanitasi yang rendah. 

Angka insidensi disentri basiler terbanyak 

adalah pada anak-anak dengan usia 1 hingga 4 tahun. Kondisi ini menjadikan disentri 

basiler sebagai penyebab diare tersering 

pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun, di 

Afrika dan Asia Selatan. Prinsip penularan 

disentri amuba adalah dengan tertelannya 

makanan yang terkontaminasi feses yang 

mengandung kista matang. 

Infeksi Entamoeba Histolytica paling 

banyak terjadi di negara subtropis dan tropis 

seperti negara negara di Amerika tengah dan 

selatan, Asia Pasifik dan Afrika. Di benua 

Afrika dan Asia tenggara 

infeksi Entamoeba Histolytica menjadi 

salah satu penyebab terjadinya diare berat 

pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun 

yang kemudian berpotensi tinggi 

menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, 

disentri amuba sering ditemukan pada 

wisatawan yang melakukan perjalanan ke 

wilayah endemik. WHO memperkirakan 4 

milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 

2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal; 

sebagian besar anak-anak di bawah umur 5 

tahun. Lebih dari 5000 anak meninggal 

setiap hari akibat diare. Dari semua 

kematian anak akibat diare, 78% terjadi di 

Afrika dan Asia Tenggara. Laporan 

Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa 

penyakit Diare merupakan penyebab 

kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan 

pada balita (25,2%), sedangkan pada 

golongan semua umur merupakan penyebab 

kematian yang ke empat (13,2%) (Badan 

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 

RI, 2013)

Disentri adalah peradangan dan infeksi 

pada usus, yang mengakibatkan diare yang 

mengandung darah atau lendir. Gejala lain 

yang mungkin termasuk kram perut, mual, 

muntah, dan demam. Kondisi ini dapat 

terjadi sebagai akibat dari infeksi bakteri 

atau parasit. Infeksi ini biasanya menyebar 

sebagai akibat dari kebersihan atau sanitasi 

yang buruk.(Ikatan Dokter Anak Indoensia, 

2013)

Disentri terbagi jadi dua jenis, yaitu: 

Disentri basiler atau shigellosis, yang 

disebabkan oleh infeksi bakteri Shigella. 

Dan Disentri amuba atau amoebiasis yang 

disebabkan oleh infeksi Entamoeba 

histolytica.(Ikatan Dokter Anak Indoensia, 

2013)Cara penularan diare pada umumnya 

melalui fekal oral yaitu melalui makanan 

atau minuman yang tercemar oleh 

enteropatogen, atau kontak langsung tangan 

dengan penderita atau barang-barang yang

telah tercemar tinja penderita atau tidak 

langsung melalui lalat. (4F= field,flies, 

fingers, fluid)

Faktor risiko lainnya adalah makanan 

yang tidak higienis, tempat penyimpanan 

makanan dingin yang kurang, kontak 

makanan dengan lalat, dan mengkonsumsi 

air minum yang tercemar. Beberapa faktor 

risiko dari penderita adalah usia, kebersihan 

perorangan, asam lambung dan rintangan 

lainnya yaitu intestinal motility, enteric 

microflora, imunity dan intestinal receptors.

Tingginya insiden diare salah satunya dapat 

disebabkan oleh beberapa jenis bakteri 

seperti Vibrio cholera, Salmonella sp, 

Shigella sp, Campylobacter jejuni dan 

Escherichia coli. Beberapa subtype E.colii

yang dapat menyebabkan diare yaitu : 

Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), 

Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC), 

Enteroaggregative Escherichia coli

(EAEC), Enteroinvasive Escherichia coli

(EIEC) dan Enterohemorraghic Escherichia 

coli (EHEC).(Chou and Austin, 2023)

Menurut gejala klinis diare, dapat 

diklasifikasikan mejadi tujuh, yaitu:(Ikatan 

Dokter Anak Indoensia, 2013)Pemeriksaan fisik yang dinilai pada 

penderita diare: 

- Keadaan umum, kesadaran, dan 

tanda vital

- Tanda utama: keadaan umum 

gelisah/cengeng atau 

lemah/letargi/koma, rasa haus, 

turgor kulit abdomen menurunTanda tambahan: ubun-ubun 

besar, kelopak mata, air mata, 

mukosa bibir, mulut, dan lidah

- Berat badan

- Tanda gangguan keseimbangan 

asam basa dan elektrolit seperti 

napas cepat, dan dalam (asidosis 

metabolik), kembung 

(hipokalemi), kejang (hipo atau 

hipernatremi)

- Penilaian derajat dehidrasi 

dilakukan sesuai dengan kriteria 

berikut:

a. Tanpa dehidrasi (kehilangan 

cairan <5% berat badan)

- Tidak ditemukan tanda 

utama dan tanda tambahan

- Keadaan umum baik, sadar

- Ubun ubun besar tidak 

cekung, mata tidak cekung, air 

mata ada, mukosa mulut dan 

bibir basah

- Turgor abdomen baik, 

bising usus normal

- Akral hangat

b. Dehidrasi ringan sedang/ tidak 

berat (kehilangan cairan 5-

10% berat badan)

- Apabila didapatkan 2 tanda 

utama ditambah 2 atau lebih 

tanda tambahan

- Keadaan umum gelisah 

atau cengeng

- Ubun ubun besar sedikit 

cekung, mata sedikit cekung, 

air mata kurang, mukosa mulut 

dan bibir sedikit kering’turgor 

kurang, akral hangat

c. Dehidrasi berat (kehilangan 

cairan >10% berat badan)

- Apabila didapatkan 2 tanda 

utama ditambah 2 atau lebih 

tanda tambahan

- Keadaan umum lemah, 

letargi atau koma

- Ubun-ubun sangat cekung, 

air mata tidak ada, mukosa 

mulut dan bibir sangat kering,

- Turgor sangat kurang dan 

akral digin

- Pasien harus rawat inap

Lebih lanjut, diare juga dapat dibagi 

berdasarkan lamanya waktu terjadinya 

diare, yaitu diare akut dan diare persisten. 

Diare akut adalah buang air besar lebih dari 

3 kali dalam 24 jam, dengan konsistensi 

cair, dan berlangsung kurang dari 1 minggu. 

Diare persisten yaitu episode diare yang 

diperkirakan penyebabnya adalah infeksi 

dan mulainya sebagai diare akut, tetapi 

berakhir lebih dari 14 hari. Diare persisten 

sering berhubungan atau bersamaan dengan 

intoleransi laktosa atau protein susu sapi. 

Intoleransi laktosa dan protein susu sapi 

dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan. 

Kedua keadaan ini terjadi sekunder terhadap 

kerusakan mukosa karena infeksi, 

malnutrisi atau reaksi alergi susu sapi atau 

protein lain.(Ikatan Dokter Anak Indoensia, 

2013)

Diare pada anak secara umum dapat 

meberikan manifestasi klinis berupa:

1. Diare cair

2. Rasa haus

3. Rewel

4. Lemah

5. Kesadaran menurun

6. Demam

7. Sesak

8. Kejang

9. Kembung

10. Muntah

Pemeriksaan penunjang yang dapat 

dilakukan pada anak dengan diare antara 

lain yaitu, pemeriksaan tinja, terutama 

apabila ada tanda intoleransi laktosa dan 

kecurigaan amubiasis. Hal yang dinilai adalah makroskopis (konsistensi, warna, 

lendir, darah, dan bau), mikroskopis 

(leukosit, eritrosit, parasite, dan bakteri), 

kimia (pH, clinitest, elektrolit (Na, K, 

HCO3)). Analisis gas darah dan elektrolit 

dilakukan jika dicurigai adanya ganguan 

keseimbangan asam basa dan elektrolit.11

Prinsip-prinsip pengobatan pada diare 

adalah rehidrasi. Diare berair disebabkan 

oleh organisme selain Vibrio cholerae

biasanya sembuh sendiri dan tidak 

memerlukan terapi antibiotic. The 

Integrated Management of Childhood 

Illness (IMCI) merekomendasikan 

penggunaan antimikroba oral hanya untuk 

anak-anak dengan diare berdarah (amuba 

atau disentri bakteri), kolera, dan giardiasis.

Tatalaksana Suportif pada Disentri:

• Masuk Rumah Sakit untuk anak gizi 

buruk dan bayi muda <2 bulan, 

keracunan, letargi, perut kembung, 

dan nyeri tekan atau kejang serta 

rewsiko sepsis.

• Penanganan dehidrasi dan 

Pemberian Makanan.

• Suplemen Zinc

• Jangan berikan obat simtomatis 

untuk keluhan nyeri perut, nyeri 

anus, maupun untuk mengurangi 

frekuensi BAB karena dapat 

memperburuk kondisi pasien, dan 

tidak terbukti bermanfaat untuk 

mencegah dehidrasi dan 

memperbaiki gizi.

Tatalaksana Antibiotik pada Disentri, 

banyak laporan resistensi shigella terhadap 

ampicillin, kotrimoksazol, klorampenikol, 

tetrasiklin, gentamicin, Pilihan Terapi:

• Ceftriaxone IV/IM 50-100 

mg/kgBB/hari

• Cefixim 8 mg/kgBB/hari 1-2 dd

• Asam nalidisik 55 mg/kgBB/hari 4 

dd

• Azitromisin 12 mg/kgBB/hari. Hari 

pertama lanjut 6 mg/kgBB/hari 

selama 4 hari

• Ciprofloksasin 20-30 mg/kg/hari 2 

dd.

Antibiotik diberikan minimal selama 5 

hari.

✓ Jika hasil Laboratorium Feses rutin 

sudah keluar : Amoeba (+) beri Metronidazol30-50 mg/kgBB/hari 

3 dd selama 5 hari.

Strategi pengendalian penyakit diare 

yang yang dilaksanakan yaitu LINTAS 

Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare ):

1. Berikan Oralit

Untuk mencegah terjadinya 

dehidrasi dapat dengan memberikan 

oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak 

tersedia berikan cairan rumah tangga 

seperti air tajin, kuah sayur, air matang. 

Bila penderita tidak bisa minum harus 

segera di bawa ke sarana kesehatan 

untuk mendapat pertolongan cairan 

melalui infus.(Ikatan Dokter Anak 

Indoensia, 2013)

Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 

klasifikasi : 

a. Diare tanpa dehidrasi

Dosis oralit bagi penderita 

diare tanpa dehidrasi sbb : Umur < 

1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali 

anak mencret. Umur 1–4 tahun: ½ -

1 gelas setiap kali anak mencret. 

Umur diatas 5 Tahun : 1– 1½ gelas 

setiap kali anak mencret.

b. Diare dehidrasi Ringan/Sedang

Dosis oralit yang diberikan 

dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb 

dan selanjutnya diteruskan dengan 

pemberian oralit seperti diare tanpa 

dehidrasi.

c. Diare dehidrasi berat 

Penderita diare yang tidak 

dapat minum harus segera dirujuk 

ke Puskesmas untuk di infus.

2. Berikan obat zinc

Zinc merupakan salah satu 

mikronutrien yang penting dalam tubuh. 

Zinc dapat menghambat enzim INOS 

(Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana 

ekskresi enzim ini meningkat selama diare 

dan mengakibatkan hipersekresi epitel 

usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi 

dinding usus yang mengalami kerusakan 

morfologi dan fungsi selama kejadian diare. 

Dosis pemberian Zinc pada balita: - Umur < 

6 bulan: ½ tablet(10mg) per hari selama 10 

hari - Umur > 6 bulan: 1 tablet (20mg) per 

hari selama 10 hari. 

Pemberian ASI / Makanan

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada 

penderita terutama pada anak agar tetap kuat 

dan tumbuh serta mencegah berkurangnya 

berat badan. Anak yang masih minum Asi 

harus lebih sering di beri ASI.

Pemberian Antibiotika hanya atas 

indikasi.Berdasarkan Pathogen Penyebab Diare.

Prognosis diare dengan pemberian 

penggantian cairan yang adekuat, perawatan 

yang mendukung, dan terapi antimikrobial 

jika diindikasikan, prognosis diare infeksius 

hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan 

mortalitas yang minimal