Penyakit kusta atau morbus hansen merupakan
penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae.1Penyakit ini menyerang kulit,
saraf tepi, mukosa saluran pernapasan bagian atas,
dan mata.2 Penyakit kusta dapat menginfeksi lakilaki atau perempuan dan di semua kelompok umur.
Penyakit ini tidak hanya menimbulkan masalah medis
karena dapat menyebabkan disabilitas bagi pasien,
tetapi juga menimbulkan masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan nasional.3
Berdasarkan data dari World Health Organization
(WHO) tahun 2019, Brazil, India, dan negara kita
menempati urutan teratas dengan masing-masing
negara menyumbangkan lebih dari 10.000 kasus.4
negara kita masih menjadi negara ketiga tertinggi di
dunia sebagai penyumbang kasus kusta terbanyak
setelah Brazil dan India hingga saat ini. Pada tahun
2021, di negara kita ada 7.146 penderita kusta
baru, dengan 11% adalah anak-anak.5 Pada tahun
1991 World Health Assembly (WHA) mengeluarkan
suatu resolusi untuk eliminasi kusta pada tahun 2000,
karena penyakit kusta dianggap sebagai salah satu
masalah kesehatan di warga . Eliminasi kusta
di negara kita telah mencapai tingkat nasional (angka
prevalensi <1/10.000 penduduk) sesuai dengan
target eliminasi kusta global yang diamanatkan oleh
WHA pada tahun 2000. Namun situasi epidemiologi
kusta di negara kita statis sejak tahun 2001 sampai
sekarang dengan angka penemuan penderita kusta
baru berada pada kisaran 17.000 hingga 20.000
penderita kusta baru setiap tahunnya.3
ada 6 provinsi di negara kita yang
belum mencapai eliminasi kusta hingga saat ini.
Prevalensi penyakit kusta di keenam provinsi
tersebut masih di atas 1/10.000 penduduk.
Keenam provinsi tersebut yaitu Papua Barat,
Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan
Gorontalo. Sementara di tingkat kabupaten/kota,
total masih ada 101 kabupaten/kota yang
belum mencapai eliminasi kusta.5 Berdasarkan
data Kementerian Kesehatan Republik negara kita
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit tahun 2021, jumlah kasus kusta di
Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 378
kasus dengan 10 kota/kabupaten terbanyak yaitu
Kota Kupang, Flores Timur, Alor, Timor Tengah
Selatan, Lembata, Kupang, Malaka, Sikka, Timor
Tengah Utara, Ende.6 Penyakit kusta menimbulkan
banyak masalah, tidak hanya masalah medis
tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi,
dan budaya karena masih ada stigma di
warga terhadap kusta dan disabilitas yang
ditimbulkannya.3 Disabilitas merupakan salah satu
sumber permasalahan hidup bagi penderita kusta
yang dapat mengganggu kehidupan sosial. Hal ini
membuat sebagian besar warga di sekitar
merasa jijik sehingga penderita kusta dijauhi
oleh warga dan timbul tindakan diskriminasi
terhadap penderita.7 Selain itu, penderita kusta
juga cenderung mengalami kesulitan dalam
bekerja akibat dari disabilitas yang dialami. Hal
tersebut yang menyebabkan kehilangan sumber
pendapatan dan menjadi pengangguran sehingga
tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya dengan
baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Risal et al9
tahun 2019 di Kolaka, Sulawesi
Tenggara menyatakan bahwa dampak ekonomi
kusta cukup signifikan dengan total kerugian
ekonomi akibat kusta kurang lebih 1 miliar rupiah.
Penyakit kusta memberikan dampak ekonomi
yang besar bagi penderita dan keluarganya.
Orang dengan kusta dan keluarganya
mengalami kehilangan pendapatan dan menjadi
pengangguran.9 Penelitian Lutfi dan Wahyudi10 di
Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah Kabupaten
Mojokerto mendapatkan hasil bahwa penderita
kusta memiliki interaksi sosial yang kurang karena
warga beranggapan bahwa penyakit kusta
merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan
dan penyakit karena kutukan, maka dari itu banyak
warga yang tidak mau berkomunikasi dengan
penderita kusta.10 Hingga saat ini belum ada data
atau penelitian yang dilakukan terkait dampak
sosial dan ekonomi akibat disabilitas pada pasien
kusta di NTT. Selain itu, tidak banyak penelitian
yang membahas mengenai dampak sosial dan
ekonomi pada pasien kusta akibat disabilitas dari
perspektif pasien. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi dampak sosial
dan ekonomi akibat disabilitas pada pasien kusta
dari perspektif pasien.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif,
deskriptif dan menggunakan pengamatan atau
analisis mendalam terhadap suatu masalah yang
sedang terjadi.11 Instrumen dalam penelitian ini
menggunakan handphone untuk merekam suara,
panduan observasi dan daftar pertanyaan yang
telah disusun peneliti khusus untuk menjawab
tujuan penelitian ini. Penelitian ini sudah
mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana dengan No. Register
UN01230636, pada tanggal 24 Juli 2023.
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit
Kusta dan Cacat Umum Bunda Pembantu Abadi
Naob. Rumah sakit ini terletak di Desa Naob,
Kecamatan Noemuti Timur, Kabupaten Timor
Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT), pada bulan Juli−Agustus 2023.
Peneliti melakukan observasi dan wawancara
secara langsung selama satu bulan dengan
pasien yang dirawat inap terutama bagi
penderita yang sudah mengalami disabilitas.
Rumah Kusta Naob dipilih sebagai tempat
penelitian dikarenakan merupakan satusatunya rumah sakit khusus kusta di Provinsi
NTT yang menangani pasien kusta dan disabilitas
yang ditimbulkannya. Subjek dalam penelitian
berjumlah 14 orang yang merupakan pasien
Rumah Sakit Kusta Naob yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Teknik pengambilan subjek
adalah purposive sampling, subjek yang
diwawancarai dianggap mengetahui mengenai
masalah yang diteliti. Subjek dipilih dengan
metode maximum variation sampling dengan
variabel: jenis kelamin, usia pasien, dan tipe
kusta.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu,
pasien kusta berusia ≥17 tahun yang berobat ke
Rumah Sakit Kusta Naob Timor Tengah Utara,
pasien yang bersedia mengikuti penelitian dengan
menandatangani formulir persetujuan (informed
consent) atau memberikan persetujuan secara
lisan bila pasien tidak bisa menandatangani formulir
persetujuan karena kecacatan ditangan yang
dialaminya, dan pasien yang mengalami kecacatan
akibat kusta. Kriteria eksklusi yang meliputi pasien
yang memiliki kesulitan dalam berkomunikasi atau
tidak bisa berbahasa negara kita dengan baik.
Pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara mendalam, dan
dokumentasi. Observasi dilakukan oleh peneliti
secara langsung untuk melihat keadaan subjek
yang ada di sana. Wawancara dilakukan di salah
satu ruangan di Rumah Sakit Kusta Naob selama
30−60 menit. Proses wawancara direkam dengan
alat perekam suara atas izin dari subjek. Selama
proses wawancara, peneliti ditemani oleh dua orang
pembantu peneliti. Data hasil wawancara yang
telah dikumpulkan ditranskrip dan dilakukan
analisis secara kualitatif dengan menggunakan
program Open Code 4.03.
Hasil
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan subjek sebanyak 14 orang. Pasien
laki-laki lebih banyak (12 orang) dibandingkan
perempuan (2 orang). Pada karakteristik usia,
didapatkan subjek usia dewasa dengan rentang
usia 19−44 tahun lebih banyak dibandingkan
remaja dan lansia. Berdasarkan tipe kusta, tipe
kusta multibasiler (MB) merupakan tipe yang paling
banyak diderita oleh subjek dengan jumlah 11
orang dibandingkan tipe pausibasiler (PB) dengan
jumlah 3 orang (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik Pasien Kusta di Rumah Sakit
Kusta Naob Timor Tengah Utara
Karakteristik Jumlah
Jenis kelamin
Laki-laki 12
Perempuan 2
Usia
Dewasa (19-44 tahun) 9
Pra Lansia (45-59 tahun) 5
Tipe kusta
Pausibasiler 3
Multibasiler 11
Disabilitas yang dialami oleh pasien
berdasarkan hasil observasi didapatkan lebih
banyak terjadi di tangan dan dialami 13 subjek
dengan manifestasi klinis claw hand dan jarijari yang memendek. Disabilitas yang terjadi di
kaki dialami 12 subjek dengan manifestasi klinis
kelemahan dan ulkus yang membuat pasien
kesulitan berjalan, serta jari-jari yang memendek.
Disabilitas di mata dialami oleh 3 orang dengan
manifestasi klinis penurunan tajam penglihatan
(Gambar 1).
Dampak Sosial
Keberadaan suatu kelompok atau individu
dalam kehidupan manusia akan memberikan
dampak, secara positif maupun negatif.12 Hal ini juga
yang dialami oleh penderita penyakit kusta terutama
bagi yang mengalami disabilitas. Subjek dijauhi oleh
teman, tetangga dan keluarga. Sembilan subjek
mengungkapkan bahwa semenjak terkena penyakit
kusta, keluarga dan orang-orang sekitarnya meminta
subjek untuk menjauh bahkan menegur agar tidak
mendekat dan tidak menggunakan fasilitas yang
ada di desa secara bersama-sama.
”Ambil air sa beta son bisa sendiri ambil, son
boleh timba sama-sama dengan dong, mandi itu
di rumah, sonde mandi di kali. Dong sond mau...
itu dong yang bilang kek tausa pi mandi, soalnya
itu penyakit menular juga to, beta bilang sudah
biar beta mandi di rumah sa son masalah... Kek
umpama kumpul keluarga dong kasih tau saya,
minta kek jangan datang, di rumah saja”
(Ambil air saja saya tidak bisa ambil sendiri,
tidak boleh ambil sama-sama dengan orang lain,
mandi juga di rumah, tidak mandi di sungai. Orangorang tidak mau, mereka bilang tidak boleh mandi
di sungai karena penyakit menular, saya juga sadar
diri biar saya mandi di rumah saja tidak masalah.
Contoh lain seperti kumpul keluarga, yang lain
kasih tau saya untuk tidak datang, dirumah saja)
(Subjek 1, laki-laki, 48 tahun).
”Misalnya saya mau timba air begitu, sudah
berhenti timba baru orang bilang kau stop timba air,
tidak boleh timba air. Kalau kau pu istri yang timba
baru kau yang pikul boleh. Tapi kalau kau yang ambil
langsung dari sumur tidak boleh. Dong bilang nanti
merambat kah apa kah”(Subjek4, laki-laki, 49 tahun).
Tidak hanya dijauhi orang-orang di sekitar,
bahkan ada subjek yang mengatakan bahwa
sempat dipindahkan tempat tinggalnya.
”Saya tinggal di hutan bukan tinggal samasama dengan istri ... itu sudah sakit, jadi tidak
boleh tinggal dalam kampung” (Subjek 4, laki-laki,
49 tahun)
”Sampai mama saya itu menjauhi, memang kita
satu rumah dengan mama, tapi saya dipindahkan
tidur di dapur gitu” (Subjek 6, laki-laki, 40 tahun).
Subjek lain juga mengungkapkan bahwa
semenjak sakit teman-teman mulai menjauhinya.
”Iya mengapa sebelum saya dapat ini penyakit
saya pu teman dong ini selalu bergaul dengan saya,
nah setelah saya dapat ini penyakit teman yang
bergaul dengan saya tiba-tiba mereka menghindar
dari saya” (Subjek 2, laki-laki, 49 tahun).
”Itukawan-kawandongitulangsungmenghindar
dari saya karena takut ini penyakit tidak tau kan ini
penyakit, katanya kan bilang apa takut dong mereka
juga dapat ini penyakit, menular begitu, jadi mereka
menghindar dari saya” (Subjek 9, 27 tahun, laki-laki).
Subjek 3 menambahkan juga bahwa tidak perlu
orang lain, keluarganya sendiri pun menjauhkan
diri darinya.
”Pernah dijauhi, tidak perlu orang lain, keluarga
saya sendiri menjauhkan diri dari saya. Seperti ada
acara apa ada berkumpul ketika saya duduk ikut
gabung ada yang langsung bangun jalan” (Subjek
3, laki-laki, 37 tahun).
Pasien kusta juga merasa malu dan rendah diri
akibat penyakit dan disabilitas yang dialami. Hal
tersebut diungkapkan oleh 7 subjek penelitian.
”Iya malu mendekati orang, kan orang pasti jijik
ke kita karena kita punya badan su begini, luka-luka,
minder juga” (Subjek 5, 36 tahun, perempuan).
”Malu itu pasti, kita su kena penyakit begini ni.
Bukan sering lagi, ini setiap hari” (Subjek 3, lakilaki, 37 tahun).
”Kalau mau pi orang banyak itu beta malu, kek
umpama di kampung ini kan biasa setiap malam
itu ibadat bersama, atau doa kek umpama kumpul
keluarga itu maitua (istri) yang pi beta sonde pi”
(Subjek 1, laki-laki, 48 tahun).
Selain merasa malu, rendah diri, tertekan,
adanya dampak negatif hubungan subjek dengan
orang-orang sekitar, dan disabilitas tersebut juga
mengganggu aktivitasnya.
”Permisi ma sonde bisa pegang sendok,
makan juga maitua (istri) harus bantu, mandi juga
dibantu, bahkan mau tidur saja susah” (Subjek 1,
laki-laki, 48 tahun).
”Semakin hari cuma ditempat tidur tidak
bekerja, tiap hari makan, minum, BAB, dan BAK
orang tua yang bantu ambil buang begitu, bantubantu” (Subjek 5, perempuan, 36 tahun).
”Permisi ma jalan ke kamar mandi saja
merangkak pakai belakang, tangan dengan tumitkaki dua-dua merangkak belakang karena memang
tidak bisa injak, nah itu yang buat saya tidak bisa
keluar” (Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).
Sebanyak 3 subjek mengungkapkan bahwa
subjek merasa putus asa dan tertekan akibat
penyakit kusta.
”Iya putus asa pasti pernah, karena kita sudah
seperti ini sudah punya penyakit ini mau cari uang
kermana” (Subjek 4, laki-laki, 49 tahun).
”Iya (putus asa), karena mau buat sesuatu tidak
jalan dengan lancar, terganggu, saya menyesal
mau lanjut sekolah tiba-tiba jatuh sakit” (Subjek 12,
laki-laki, 28 tahun).
”Kalau dibilang putus asa, terkadang sampai
sekarang pun ada rasa putus asa karena kondisi
kita seperti ini kan dengan ini penyakit... sampai
saya berpikir saya berharap kalau bisa saya mati,
memang keadaan kita sudah ngeri sekali karena
penyakit ini” (Subjek 6, laki-laki, 40 tahun).
Penyakit kusta tidak hanya memberi dampak
sosial padasubjek, tetapi juga pada keluarga mereka.
”Tetangga malahan takut mau datang, sampai
mereka bilang begini ah jangan ke rumahnya
mama saya, jangan ketemu keluarganya itu, itu
ada dia punya anak bawa penyakit virus itu, nanti
kalian kena” (Subjek 6, laki-laki, 40 tahun).
”Iya anak sempat kena omong dari orang, tapi
dia juga terima itu kan dia bilang itu Tuhan yang
kasih, saya punya mama tidak beli itu penyakit”
(Subjek 8, perempuan, 55 tahun).
Tidak semua subjek mengalami dampak negatif
terhadap kehidupan sosial. Walaupun tingkat disabilitas
yang dialami cukup tinggi, subjek tetap mendapat
dukungan dari keluarga, teman, dan tetangga.
”Kalau saya punya tetangga mereka usaha
supaya harus bawa ke rumah sakit. Mereka tidak
menjauh.” (Subjek 2, laki-laki, 49 tahun).
”Iya masih baik (hubungan dengan tetangga),
mereka malah mendukung saya untuk sembuh.”
(Subjek 11, laki-laki, 43 tahun).
”Tidak menjauh, setiap malam di kampung itu
dong pi kunjung” (Subjek 13, laki-laki, 27 tahun).
Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan
juga oleh Subjek 10 yang mengatakan bahwa
teman-teman kerjanya tetap memberikan dukungan
dan tidak menghindarinya.
”Kalau mereka (teman-teman) tidak, mereka
malah bergaul dengan saya, selalu kasih saya
support. Mereka tetap sumbang dana beli obat
kasih saya.” (Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).
Selain tetap mendapat dukungan dari berbagai
pihak, beberapa subjek juga masih tetap berpikir
positif, tidak putus asa, dan tidak tertekan.
”Saya tidak apa-apa, tidak putus asa, tidak
takut. Soalnya kan ada obat kan, yang penting ada
kita minum rutin ya nanti dia akan sembuh” (Subjek
7, laki-laki, 51 tahun).
”Tidak, kalau putus asa tidak, kalau putus asa
berarti saya tidak sampai sekuat sampai di sini...
tidak merasa tertekan. Karena memang kalau
mau rasa tertekan saya berpikir bahwa mungkin di
luar sana masih ada yang lebih parah dari saya”
(Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).
Dampak Ekonomi
Dampak ekonomi yang dirasakan oleh pasien
kusta akibat disabilitas antara lain kesulitan
ataupun ketidakmampuan untuk bekerja dan
mencari nafkah. Sebelum terkena kusta dan
mengalami disabilitas, subjek masih bisa bekerja
dengan baik dan memenuhi kebutuhan seharihari. Sebanyak tiga belas subjek penelitian
mengalami dampak negatif terhadap kehidupan
ekonomi akibat penyakit kusta dan disabilitasnya.
Akibatnya pendapatan menurun bahkan tidak
ada lagi, sementara pengeluaran yang semakin
besar untuk membiayai pengobatan. Sepuluh
subjek mengatakan dapat bekerja dan memenuhi
kebutuhan sehari-hari, namun setelah sakit dan
terjadi perubahan pada penampilan fisik sehingga
sulit untuk bekerja bahkan terpaksa untuk berhenti
dan mengundurkan diri dari pekerjaan.
”Iya dari penghasilan kebutuhan sehari-hari bisa
terpenuhi... sekarang su begini ni kita mau dapat
kerja juga sulit” (Subjek 5, perempuan, 36 tahun).
”Iya dulu kebutuhan bisa terpenuhi, Tuhan tolong
saya waktu itu saya beli babi beli sapi kambing...
Saya berhenti kerja 2021, saya tidak bawa (mobil)
lagi karena penyakit sudah semakin kena semakin
parah, jadi saya berhenti kerja dari 2021 sampai
sekarang” (Subjek 11, laki-laki, 43 tahun).
”Iya bisa memenuhi kebutuhan... saya juga
bantu orang tua angkat di Kalimantan... masih bisa
bantu mama dong bangun rumah... Setelah sakit
saya mengundurkan diri dari perusahaan... tidak
ada uang lagi, ya begini sudah hidup, dengan apa
adanya kita bersyukur”(Subjek 6, laki-laki, 40 tahun).
”Iya mengundurkan diri, di hotel kan butuh
orang yang artinya normal” (Subjek 10, laki-laki, 38
tahun).
Subjek juga mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan hidup terpaksa menjual
barang atau hewan ternak untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Empat subjek mulai menjual
barang dan hewan ternak bahkan untuk pemenuhan
ekonomi mendapatkan bantuan oleh saudaranya.Dua subjek penelitian juga mengatakan bahwa
anak dan istrinya yang menggantikan untuk bekerja
mencari nafkah.
”Iya memang ada kesulitan, seperti ficin,
garam, bahan-bahan masak, sampai garam tidak
ada saya bilang di istri sudah kamu lihat ayam ko
apa kamu pergi jual sudah ko beli kasih kita ficin
garam, karena saya su sakit begini saya mau cari
kasih kita uang kermana” (Subjek 2, laki-laki, 49
tahun).
”Itu saya hanya jual itu, saya jual ini kambing
dong. Pokoknya pembeli liat apa yang cocok saya
jual, pokoknya untuk kami punya hidup” (Subjek
11, laki-laki, 43 tahun).
”Pokoknya (uang) habis. Barang-barang yang
sudah dibeli dijual kembali hanya gara-gara untuk
obati” (Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).
”Iya tidak ada (penghasilan). Uang dong habis
sudah” (Subjek 13, laki-laki, 27 tahun)
“Kerja di kebun pisang sana saya rasa makin
parah, akhirnya saya pulang kembali ke Malaka…
Sekarang istri lagi pergi TKW untuk bantu bayar
sekolah anak” (Subjek 7, laki-laki, 51 tahun).
“Anak yang pertama mau sekolah lanjut kuliah
tapi batal karena saya sakit di sini. ada dia punya
bapak kecil di Papua, dia antar saya sampai sini baru
dari sana telepon kirim tiket dia ke Papua sudah.
Dia kerja di sana tapi saya kasihan dia karena umur
baru 18 tahun” (Subjek 11, laki-laki, 43 tahun).
Diskusi
Pada penelitian ini didapatkan subjek berjenis
kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Oktariana et al14 di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang yang mendapatkan
bahwa frekuensi subjek dengan jenis kelamin
laki-laki lebih banyak dengan jumlah 33 orang
dibandingkan dengan perempuan dengan jumlah
17 orang.14 Sejalan juga dengan penelitian
yang dilakukan oleh Widya et al15 di Puskesmas
Pemalang yang mendapatkan pasien dengan
jenis kelamin laki-laki lebih banyak ditemukan
dengan jumlah 29 orang dibandingkan dengan
perempuan dengan jumlah 11 orang.15 Banyaknya
pasien kusta laki-laki dibandingkan perempuan
terjadi dikarenakan adanya perbedaan aktivitas
dari laki-laki yang lebih banyak dan lebih sering
dilakukan di luar rumah, terlebih lagi kebanyakan
tulang punggung keluarga adalah laki-laki. Selain
itu, laki-laki juga terkadang lambat dalam mencari
pengobatan dan kurang memperhatikan kondisi
kesehatannya secara menyeluruh.
Pada karakteristik usia, didapatkan bahwa
subjek usia dewasa lebih dominan dibandingkan
lansia. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Aviana et al16 di RSUD Bali Mandara yang
mendapatkan bahwa subjek dengan usia 26−44
tahun lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan
kelompok usia yang lain.16 Sejalan juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh Salsabila et al17 di
Aceh Utara yang mendapatkan bahwa pasien kusta
terbanyak ada pada kelompok usia 19−44 tahun,
yaitu sebanyak 76 orang.17Hal tersebut dikarenakan
kelompok usia tersebut termasuk dalam kategori
usia produktif, dalam fase pergaulan dan mobilitas
yang tinggi sehingga berinteraksi dengan banyak
orang dan dapat meningkatkan risiko kontak dengan
penderita kusta.
Berdasarkan tipe kusta, tipe kusta MB
merupakan tipe yang paling banyak diderita oleh
subjek dibandingkan tipe PB. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Amaliah et al18 di Puskesmas Tamalate Makassar
yang mendapatkan bahwa kusta tipe MB lebih
banyak ditemukan yaitu sebanyak 33 orang
dibandingkan dengan kusta PB yang hanya
sebanyak sembilan orang.18 Sejalan juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh Aviana et al16 di RSUD
Bali Mandara yang juga mendapatkan penderita
kusta tipe MB sebanyak 51 orang dibandingkan
dengan tipe PB yang hanya sebanyak empat orang.
Tipe MB lebih sering ditemukan dibandingkan tipe
PB karena kusta tipe MB lebih mudah menular
disebabkan oleh respons imun seluler terhadap M.
leprae yang lemah, sehingga jumlah bakteri pada
lesi lebih banyak yang menjadi sumber infeksi.16
Sistem imun tubuh seseorang merupakan faktor
utama penyebab kusta dengan tipe MB. Apabila
seseorang memiliki respon imun atau sistem imun
yang baik dan terinfeksi kusta, maka manifestasi
klinis yang muncul akan mengarah ke tipe PB,
bahkan bisa sembuh dengan sendirinya. Namun,
apabila sistem imun tubuh orang tersebut lemah
maka akan mengarah ke tipe MB.19
Hingga saat ini warga masih memandang
penyakit kusta sebagai penyakit kutukan dari
Tuhan akibat dosa atau kesalahan yang dilakukan
oleh pasien dan keluarganya di masa lalu serta
tidak dapat disembuhkan. Hal tersebut yang
membuat warga menganggap penyakit
ini sebagai momok yang harus disingkirkan.
Pandangan-pandangan tersebut membuat pasien
kusta mendapat tindakan-tindakan negatif dari
warga yang berdampak pada kehidupan
sosial pasien sendiri maupun keluarganyaTindakan negatif yang diberikan kepada
penderita kusta antara lain dikucilkan dari lingkungan
sekitarnya. Penderita juga tidak dapat mengatasi
berbagai konsekuensi sosial akibat perubahan
fisik yang ditimbulkan oleh kusta, seperti kesulitan
mencari pekerjaan, kesulitan mencari pasangan
hidup, ditolak dalam pekerjaan, dijauhi warga
bahkan keluarga sendiri. Berbagai dampak sosial
yang dialami membuat pasien kusta seperti tidak
dimanusiakan oleh warga sekitar, bahkan
status apapun yang dimiliki karena menderita
penyakit kusta merupakan status yang mati secara
sosial dan tidak mempunyai peranan sedikitpun
dalam kehidupan warga .20
Perilaku warga yang negatif biasanya lebih
ditujukan pada penderita kusta yang mengalami
disabilitas, yaitu terjadi perubahan penampilan
fisik. Disabilitas paling sering menyebabkan
pasien dijauhi, dikucilkan oleh warga , dan
mengalami tindakan diskriminasi terhadap mereka.
Hal tersebut yang dialami oleh subjek dalam
penelitian ini, sebanyak 12 orang subjek dalam
penelitian ini mengalami dampak negatif sosial
akibat peyakit kusta dan disabilitas yang dialami.
Dampak sosial yang paling banyak dialami adalah
dijauhi warga dan keluarga sendiri. Subjek
yang mengalami keterbatasan fisik juga berdampak
pada aktivitas sehari-hari serta istirahat mereka
yang terganggu. Subjek bergantung kepada orang
lain dikarenakan tidak bisa melakukan aktivitas
sehari-hari akibat disabilitas yang diderita, seperti
makan, minum, mandi, buang air besar, buang
air kecil, bahkan berjalan pun mereka tidak bisa
melakukannya sendiri.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Darmawan19 tahun 2018 di
Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo,
yang menemukan bahwa 80% subjek dalam
kondisi sosial kurang baik. Subjek menyatakan
bahwa sering mendengar orang membicarakan
penyakitnya, malu bergaul dengan orang lain,
merasa putus asa dengan hidup, tidak optimis
menjalani hidup, sering diperlakukan tidak baik
karena kondisinya, tidak merasa puas dengan diri,
serta merasa bahwa penyakitnya mengganggu
warga .19 Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Maryuni dan Inayati21 di Puskesmas
Mulyo Rejo Kabupaten Lampung Utara didapatkan
bahwa dari 10 pasien kusta yang diwawancara,
sebagian besar merasa mendapatkan perlakuan
yang berbeda dari warga sekitar yaitu
merasa terkucilkan, minder, dan malu bergaul
dengan orang lain.21 Penelitian lain yang dilakukan
oleh Jainudin dan Astuti22 di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah Kabupaten Mojokerto Provinsi
Jawa Timur mengungkapkan bahwa subjek
penelitiannya mengalami malu, kepercayaan diri
menurun, kehilangan harapan, dan merasa harga
diri rendah karena penyakitnya.22
Namun dari hasil observasi dan wawancara
yang dilakukan, peneliti mendapatkan bahwa tidak
semua subjek mengalami dampak negatif sosial.
Bahkan ada subjek dengan tingkat disabilitas
yang tinggi namun tidak mengalami dampak negatif.
Hal tersebut dikarenakan orang-orang di sekitarnya
mengetahui bahwa apabila penyakit kusta ditangani
dan diobati dengan baik maka penyakit tersebut tidak
menular sehingga tetap memberikan mendukung
dan membantu subjek. Subjek juga tetap berpikir
positif karena mereka mempunyai edukasi atau
pemahaman yang baik terhadap penyakit kusta. Hal
tersebut membuat timbul rasa lebih bersyukur, tidak
merasa putus asa, serta tidak tertekan.
Selain dari dampak sosial, dampak ekonomi
juga dirasakan oleh pasien kusta. Pasien kusta
seringkali mengalami keterbatasan ataupun
ketidakmampuan dalam bekerja akibat kondisi
fisiknya. Hal tersebut membuat subjek kehilangan
sumber pendapatan yang berakibat tidak
terpenuhinya kebutuhan hidup mereka seharihari.23 Dampak yang paling banyak dialami yaitu
pasien kusta terpaksa untuk berhenti bekerja
dan mengundurkan diri dari pekerjaan mereka
sebelumnya akibat disabilitas yang dialami.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nasution et al24 di Rumah Sakit
Dr. Tadjuddin Chalid Makassar yang menyatakan
bahwa disabilitas menyebabkan pasien kusta tidak
berdaya kerja dan bergantung kepada pasangan
hidupnya dikarenakan tidak dapat bekerja untuk
mencari nafkah setelah dilakukan amputasi.24
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yunita et al8 di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh yang
mengungkapkan bahwa pihak pasien mengalami
kerugian ekonomi yang paling besar akibat kusta
karena mereka kehilangan sumber pendapatan
disebabkan tidak dapat bekerja seperti biasa
karena disabilitas atau keterbatasan yang dialami.8
Pendapat lain disampaikan oleh Putra dan
Gianawati25 di Jember yang menyatakan bahwa
pasien kusta masih bisa bekerja dengan memilih
untuk melakukan usaha di bidang jasa dan jual
beli dengan modal pinjaman, awalnya penderita
tidak diterima di warga akibat penyakit dan
disabilitas yang dialami, namun setelah berusaha
lebih keras pasien kusta ini diterima serta bisamengembangkan usahanya untuk mencukupi
kebutuhan hidup.25
Banyaknya masalah yang timbul tidak hanya
dari segi medis membuat tidak hanya pengobatan
yang dibutuhkan oleh pasien kusta tetapi juga
membutuhkan dukungan dari pemerintah dan
warga . Dukungan tersebut dapat dilakukan
dengan cara tidak menjauhi, mencela, atau
pun melakukan tindakan diskriminasi lainnya.21
Dukungan sosial yang diberikan warga dapat
menjadi penawar stres dari aspek psikologis,
sedangkan dukungan sosial dapat memberikan
dampak yang positif bagi para penderita kusta.26
Dengan adanya dukungan yang diberikan
pada pederita kusta dan edukasi yang benar
pada warga serta berkurangnya tindakan
diskriminasi, diharapkan penderita kusta tidak
merasa malu dan takut terutama untuk berobat
sehingga pengobatan terhadap penderita kusta
dapat dilaksanakan sesegera mungkin. Hal
tersebut dapat membantu pasien kusta terhindar
dari disabilitas yang berdampak pada kehidupan
sosial dan ekonomi mereka, serta dalam hal ini
juga dapat membantu mencapai eliminasi dan
eradikasi penyakit kusta di negara kita .
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah
pemilihan sampel yang menggunakan teknik
purposive sampling sehingga dapat menghasilkan
sampel yang tidak representatif dari populasi
yang lebih luas. Hal ini membatasi kemampuan
untuk menggeneralisasi temuan ke seluruh pasien
kusta. Pemilihan sampel dengan purposive sering
kali mengarah pada bias, karena hanya individu
dengan kriteria tertentu yang dipilih. Keterbatsan
lain adalah studi kualitatif dapat memberikan
wawasan mendalam tentang pengalaman pasien,
tetapi hasilnya mungkin sulit untuk diukur atau
dibandingkan secara objektif.
Berdasarkan kekurangan penelitian di
atas, ada saran perbaikan untuk penelitian
pengembangan pada tahap yang lebih lanjut antara
lain mempertimbangkan penggunaan metode
random sampling atau stratified sampling untuk
memastikan keberagaman sampel dan meningkatkan
representativitas. Melakukan penelitian mixed
methods dengan menggabungkan data kualitatif dan
kuantitatif dapat memberikan gambaran yang lebih
komprehensif dan kuat mengenai dampak sosial dan
ekonomi yang dialami pasien kusta.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar subjek mengalami dampak
negatif sosial dan ekonomi akibat disabilitas.
Namun, dalam penelitian ini peneliti juga
mendapatkan bahwa ternyata subjek yang memiliki
tingkat disabilitas tinggi tidak mengalami dampak
sebesar mereka yang tingkat disabilitasnya rendah.
Selain itu, dampak yang dirasakan tidak hanya
dialami oleh pasien tetapi juga keluarga mereka.
Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan dan kerja
sama dari berbagai pihak, serta edukasi yang baik
pada warga mengenai penyakit kusta agar
dapat mengurangi dampak sosial dan ekonomi
yang dirasakan pasien.
Disabilitas merupakan salah satu sumber permasalahan hidup bagi penderita kusta yang dapat
mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi. Sebagian besar warga merasa jijik sehingga penderita
kusta dijauhi. Penderita kusta juga tidak dapat bekerja lagi akibat disabilitas yang membuat kerugian ekonomi
yang cukup besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak sosial dan ekonomi akibat disabilitas
kusta pada pasien kusta dari perspektif pasien. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini
dilakukan di Rumah Sakit Kusta Naob yang merupakan satu-satunya rumah sakit khusus kusta di Provinsi
Nusa Tanggara Timur (NTT) pada tanggal bulan Juli−Agustus 2023. Pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Subjek dipilih secara purposive sampling. Data yang
dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan aplikasi Open Code 4.03. Hasil analisis menunjukkan bahwa
sebagian besar subjek mengalami dampak negatif sosial dan ekonomi akibat disabilitas. Namun, dari hasil
penelitian didapatkan juga bahwa ternyata subjek yang memiliki tingkat disabilitas tinggi tidak mengalami
dampak sebesar yang tingkat disabilitasnya rendah dikarenakan adanya pemahaman yang baik terhadap
kusta, baik dari warga maupun pasien. Oleh karena itu, diperlukan edukasi serta keterlibatan berbagai
pihak untuk membantu mengurangi dampak sosial dan ekonomi yang dialami pasien.kusta3
Kekambuhan kusta didefinisikan sebagai munculnya kembali tanda dan gejala kusta setelah pasien
menyelesaikan Multidrug Therapy (MDT) secara adekuat. Indonesia menjadi negara ketiga penyumbang
kasus kekambuhan kusta terbanyak, yaitu 284 kasus pada tahun 2018. Faktor yang berperan dalam terjadinya
kekambuhan adalah kuman persisters, terapi inadekuat, resistensi obat, terapi yang tidak teratur, monoterapi
dapson, indeks bakteriologis awal yang tinggi, jumlah lesi kulit dan saraf yang banyak, hasil tes lepromin
negatif, pemberian terapi antireaksi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan kehamilan. Apabila
memungkinkan, diagnosis kekambuhan dapat ditegakkan dengan kriteria klinis, bakteriologis, dan terapeutik,
serta kriteria histopatologi dan serologis,. Dengan kriteria ini , diharapkan lebih mudah membedakan
kekambuhan dengan reaksi, resistensi, reaktivasi, dan reinfeksi. Tata laksana kekambuhan utamanya adalah
pemberian kembali MDT sesuai tipe kekambuhan kusta namun terapi perlu dimodifikasi apabila terjadi
resistensi obat. Hal yang penting diperhatikan saat pengobatan kekambuhan adalah tipe kusta, riwayat terapi
sebelumnya, dan kemungkinan resistensi obat. Dengan pemahaman dan penegakan diagnosis yang tepat,
diharapkan terapi dapat segera diberikan sehingga mencegah kecacatan dan transmisi infeksi.
Kusta, lepra, atau morbus Hansen adalah infeksi
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
dengan manifestasi klinis pada kulit, sistem saraf tepi,
mata, membran mukosa, tulang, dan testis. Infeksi ini
menurunkan kualitas hidup pasien secara signifikan
walaupun sebenarnya dapat disembuhkan.1
Sebanyak 159
negara melaporkan 208.619 kasus baru pada tahun 2018
dengan prevalensi 0,24 per 100.000 orang. Indonesia
melaporkan 17.017 kasus baru dan merupakan negara
ketiga penyumbang kasus terbanyak
Salah satu tolok ukur keberhasilan pengobatan kusta
adalah laju kekambuhan yang ditentukan dari angka
kesembuhan penyakit kusta yang berkaitan erat dengan
laju release from treatment (RFT). Program yang berjalan
perlu dievaluasi lebih lanjut apabila laju kekambuhan
melebihi 5%. Risiko kekambuhan 10 kali lebih rendah
pada pasien yang menerima multidrug treatment (MDT)
dibandingkan penerima monoterapi dapson. Berdasarkan
estimasi World Health Organization (WHO), risiko
kekambuhan sembilan tahun setelah MDT dihentikan
adalah 0,77% pada kusta multibasilar (MB) dan 1,07%
pada kusta pausibasilar (PB).3
Pada tahun 2017, sebanyak 53 negara melaporkan laju
RFT lebih dari 85% dari seluruh kasus kusta. Sebanyak
3.361 kasus kekambuhan dilaporkan pada tahun 2018
dengan Brazil dan India sebagai penyumbang kasus
terbanyak diikuti Indonesia sebanyak 284 kasus (8,4%)
dengan laju kekambuhan 1,7%.2
Laju kekambuhan
kusta di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta mencapai 1,2% pada tahun
2015-2019, mencakup 0,5% kusta PB dan 0,7% kusta
MB.
Laju kekambuhan adalah salah satu tolok ukur yang
digunakan untuk menilai keberhasilan tata laksana kusta
sehingga penting dilakukan studi untuk mengetahui kasus
kekambuhan di dunia dan tata laksana untuk menekan
angka kekambuhan. Tinjauan pustaka ini bertujuan
menelaah kekambuhan pada penyakit kusta dan tata
laksananya.
Dengan penemuan MDT, definisi kesembuhan pada
kusta adalah pasien yang telah menerima MDT secara
adekuat. MDT diberikan sebanyak 12 dosis selama 12-
18 bulan pada kusta MB dan 6 dosis selama 6-9 bulan
pada kusta PB, dengan syarat kapanpun selama terapi,
pasien setidaknya mengonsumsi dua per tiga dosis yang
seharusnya.
Definisi kekambuhan kusta mencakup:
Guide to leprosy control (WHO 1988)
Pasien yang telah menyelesaikan MDT secara
adekuat namun kembali muncul tanda dan gejala
penyakit kusta selama masa pemantauan atau setelahnya.
Masa pemantauan didefinisikan dua tahun untuk kusta
PB dan lima tahun untuk kusta MB.
Kriteria Becx-Bleumink
Diagnosis kekambuhan ditegakkan apabila didapat
lesi kulit baru, lesi lama kembali aktif, indeks bakteriologis
(IB) 2+ atau lebih pada 2 sampel, kehilangan fungsi saraf
baru, temuan sesuai kekambuhan pada pemeriksaan
histopatologi kulit atau saraf, serta aktivitas lepromatosa
pada mata.
Kekambuhan kusta PB
Kasus kekambuhan kusta PB sulit dibedakan secara
klinis dengan reaksi reversal (RR) lanjut, berbeda dengan
kasus kekambuhan kusta MB yang mudah dikenali
secara klinis.
Kriteria diagnosis kekambuhan kusta PB
ditampilkan pada Tabel 1.3
INTERVAL KEKAMBUHAN
Interval kekambuhan atau masa inkubasi
kekambuhan menjadi pedoman untuk penentuan masa
pemantauan pasien kusta sesudah RFT. Lebih dari
50% kasus kekambuhan pada pasien yang menerima
monoterapi dapson terjadi dalam tiga tahun pada kasus
nonlepromatosa, lima tahun pada kasus borderline, dan
enam tahun pada kasus lepromatosa. Pada penerima
MDT, interval kekambuhan kusta PB sama dengan
monoterapi dapson sedangkan pada kusta MB median
interval kekambuhan adalah sembilan tahun.3
KLASIFIKASI KEKAMBUHAN
Kekambuhan kusta dapat diklasifikasikan menjadi kekambuhan dini dan lanjut. Kekambuhan dini terjadi
dalam 0-3 tahun setelah RFT akibat kesalahan tipe kusta
saat awal terapi sehingga durasi terapi tidak adekuat atau
terapi tidak teratur. Kekambuhan lanjut terjadi dalam
3-10 tahun setelah RFT akibat resistensi obat atau kuman
persisters atau reinfeksi.3
FAKTOR PREDISPOSISI KEKAMBUHAN
Kuman persisters
Kuman persisters adalah organisme yang bertahan
pada pejamu secara permanen atau dorman parsial walau
telah diberikan terapi. Kuman persisters dapat ditemukan
pada lokasi yang rentan secara imunologis, seperti saraf
dermis, otot polos, kelenjar getah bening, iris, sumsum
tulang, dan hati. Kuman persisters ditemukan pada 10%
pasien kusta MB dan proporsinya semakin meningkat
seiring meningkatnya IB.3
Terapi yang lebih lama
dikaitkan dengan keparahan dan kuman persisters.
4
Terapi inadekuat
Terapi inadekuat umumnya terjadi akibat kesalahan
diagnosis kusta MB sebagai kusta PB.3
Pasien yang
diberi enam dosis MDT berisiko 3,62 kali lebih besar
untuk mengalami kekambuhan dibandingkan pasien
yang menerima 12 dosis MDT, yang mendukung teori
kemungkinan kesalahan diagnosis kusta MB sehingga
terapi yang diberikan inadekuat.4
Resistensi obat
Resistensi primer terjadi akibat infeksi M. leprae
dengan galur resisten sedangkan resistensi sekunder
terjadi akibat terapi tidak teratur atau monoterapi.3
Empat
kasus resistensi dilaporkan dari 92 kasus kekambuhan
kusta di Brazil dengan median waktu sejak RFT hingga
kekambuhan 3,26 tahun pada pasien dengan resistensi
obat, yang lebih singkat dibandingkan pasien tanpa
resistensi (9,45 tahun).5
Terapi tidak teratur
Terapi tidak teratur umumnya disebabkan suplai obat
tidak memadai atau ketidakpatuhan pasien.3
Pasien yang
mendapatkan terapi yang tidak teratur memiliki risiko
3,8 kali lebih besar untuk mengalami kekambuhan.4
Monoterapi dapson
Laju kekambuhan lebih tinggi pada pasien yang
menerima monoterapi dapson dibandingkan MDT akibat
perkembangbiakan organisme yang resisten terhadap
obat.3
Monoterapi dapson dikaitkan dengan banyaknya
kejadian resistensi terhadap dapson. Pada pasien
kekambuhan ditemukan 70% kasus resistensi terhadap
dapson, lima kasus diantaranya menerima monoterapi
dapson.6
IB awal tinggi
Pasien dengan IB tinggi sebelum terapi memiliki
risiko kekambuhan lebih tinggi. Pasien dengan kusta
lepromatosa memiliki imunitas selular yang buruk
sehingga lebih sering ditemukan kuman persisters yang
mudah memicu kekambuhan.3
Pasien dengan IB sebelum
terapi ≥ 2+ memiliki risiko 4,294 kali lebih besar untuk
mengalami kekambuhan dibandingkan dengan pasien
dengan IB < 2+.7
Jumlah lesi kulit dan saraf
Laju kekambuhan tinggi dikaitkan dengan banyak
lesi kulit dan saraf (lebih dari lima buah dan terdapat
pada tiga atau lebih area tubuh). Antibodi mikobakterial
telah ditemukan pada pasien kusta tuberkuloid (TT) dan
borderline tuberculoid (BT) yang memiliki banyak lesi
kulit, yang mengindikasikan terdapat banyak organisme.
Maka, kasus ini mungkin sebenarnya bukan kusta PB
dengan pemberian MDT selama 6 bulan kemungkinan
inadekuat.3
Tes lepromin negatif
Pasien dengan kusta tipe borderline dan tes lepromin
positif ditemukan memiliki laju kekambuhan lebih
rendah.3
Pasien dengan kusta tipe selain borderline
memiliki risiko 7,1 kali lebih besar mengalami
kekambuhan dibandingkan seluruh tipe borderline.
4
Terapi antireaksi
Salah satu faktor yang dipikirkan berperan pada
reaksi dan kekambuhan adalah kuman persisters.
3
Pasien yang diberikan terapi antireaksi memiliki risiko
4,881 lebih besar untuk mengalami kekambuhan. Risiko
ini tidak terkait supresi imun oleh kortikosteroid tetapi
akibat kebanyakan reaksi merupakan eritema nodosum
leprosum (ENL) yang ditemukan pada pasien kusta MB
dengan persisters.
7
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
Risiko kekambuhan meningkat pada pasien dengan
koinfeksi HIV dan kusta dilaporkan sebagai penyakit
rekonstitusi imun pada pasien yang mendapatkan highly
active antiretroviral treatment (HAART).Kondisi fisiologis
Kehamilan, terutama pada trimester ketiga, seringkali
dikaitkan dengan kekambuhan.8
Kekambuhan pada
kehamilan diduga akibat penurunan imunitas selular yang
ditandai dengan penurunan regulasi respons T-helper 1
(Th1) dan penurunan produksi interleukin-2 (IL2).8-10
MANIFESTASI KLINIS
Pada kusta MB, kekambuhan lebih sering terjadi
pada usia lanjut sedangkan kasus kusta PB lebih sering
ditemukan pada usia muda. Laki-laki cenderung sering
mengalami kekambuhan kemungkinan sebab prevalensi
kusta lebih banyak pada laki-laki. Pada populasi
perempuan dengan kusta, kekambuhan lebih sering
ditemukan pada ibu hamil dan menyusui.3
Manifestasi kekambuhan kusta PB
Lesi lama yang sudah menyembuh menunjukkan
aktivitas baru, seperti eritema, infiltrasi, perluasan, lesi
satelit, serta peningkatan jumlah lesi. Saraf sehat menjadi
nyeri dan menebal, disertai perluasan area mati rasa dan
defisit motorik. Kekambuhan dapat terjadi hanya pada
saraf dan dapat disertai perubahan tipe kusta.3
Kusta PB
dilaporkan dapat mengalami kekambuhan dalam bentuk
MB.11
Manifestasi kekambuhan kusta MB
Infiltrasi muncul di berbagai bagian tubuh yang
dapat disertai papul dan nodus subkutan merah muda,
lembut, dan mengkilap. Papul dapat membentuk plak
dan membesar, serta teraba seperti memiliki selubung.
Papul dan nodus dapat ditemukan pada palatum durum,
bibir bagian dalam, dan glans penis. Sampel pemeriksaan
apusan kulit diambil dari bagian dalam nodul.
Pembengkakan nodular dapat ditemukan di sekitar saraf
kulit dan saraf perifer disertai dengan kehilangan fungsi,
penebalan dan/atau nyeri pada saraf yang sebelumnya
sehat, dan area mati rasa bertambah. Kekambuhan dapat
berupa kusta histoid. Kusta dengan keterlibatan mata
dapat mengalami kekambuhan dalam bentuk mutiara
iris atau lepromata.3
Sebuah kasus kekambuhan kusta
dilaporkan dengan manifestasi klinis hanya pada saraf
tanpa keterlibatan kulit pada pasien kusta MB setelah
RFT 6 tahun.12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikrobiologi, imunologi, dan
histopatologi dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis kekambuhan kusta. Pemeriksaan mikrobiologi
terdiri atas teknik in-vivo, in-vitro, dan molekular. Teknik
in-vivo dilakukan dengan menginokulasi bakteri pada
kaki mencit. Teknik in-vitro mencakup pemeriksaan
indeks morfologi, perwarnaan fluorescein diacetateethidium bromide (FDA-EB), laser microprobe mass
analysis (LAMMA), pengukuran adenosin trifosfat
(ATP), dan pemeriksaan berbasis makrofag. Teknik
molekular mencakup pemeriksaan yang menargetkan
asam deoksiribonukleat dan asam ribonukleat serta
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan imunologi
mencakup pemeriksaan antibody phenolic glycolipid
1 (PGL-1), natural disaccharide-octyl-bovine serum
albumin enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),
dan pemeriksaan berbasis interleukin. Pemeriksaan
histopatologi dan mikrobiologi harus dilakukan minimal
1 kali setiap 6 bulan selama pengobatan dan diulang
hingga 5 tahun setelah hasilnya negatif.3
KRITERIA DIAGNOSIS KEKAMBUHAN
Diagnosis kekambuhan cukup ditegakkan dengan
kriteria klinis, bakteriologis, dan terapeutik. Kriteria
histopatologi dan serologi dapat digunakan jika fasilitas
memadai. Diagnosis kekambuhan kusta PB ditegakkan
apabila terdapat manifestasi klinis sesuai kusta PB,
peningkatan IB, tidak membaik dengan pemberian
steroid, temuan histopatologi sesuai kusta PB, atau
peningkatan kadar indikator serologis. Kekambuhan
kusta MB ditegakkan apabila terdapat manifestasi klinis
sesuai kusta MB, peningkatan IB, tidak membaik dengan
pemberian steroid, temuan histopatologi sesuai kusta
MB, peningkatan kadar indikator serologis, atau skor ≥3
pada sistem penilaian Linder.
IM tidak digunakan sebab
sulit distandarisasi dan kurang reliabel di lapangan.
Kriteria klinis3
Kriteria klinis dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis kekambuhan kusta PB maupun MB. Kriteria
klinis mencakup ukuran dan luas lesi bertambah, timbul
lesi baru, eritema dan infiltrasi pada lesi yang telah
menyembuh, serta keterlibatan saraf (penebalan atau
nyeri).
Kriteria bakteriologis
Kriteria ini digunakan untuk menegakkan diagnosis
kekambuhan kusta MB. Dengan asumsi penurunan IB
0,5-1 log-unit/tahun pada kusta MB, estimasi IB pada
akhir terapi dapat dihitung dengan rumus:
Estimasi IB pada akhir terapi = IB pada awal terapi – jumlah tahun yang dibutuhkan untuk mencapai RFTPada pasien dengan IB positif di awal terapi,
diagnosis kekambuhan ditegakkan apabila dalam dua
kali pemeriksaan berturut-turut setelah RFT terdapat
peningkatan IB >2+ pada dua lokasi pengambilan,
dengan catatan pasien telah mengkonsumsi minimal
75% dari obat yang diberikan. Pada pasien dengan hasil
negatif sebelumnya, bila hasil pemeriksaan IB positif
dalam dua kali pemeriksaan selama masa pemantauan
dapat ditegakkan sebagai kekambuhan.3
Kekurangan kriteria ini adalah kekambuhan dengan
IB <2+ tidak terdiagnosis, yang mungkin terjadi pada
pasien dengan imunitas tinggi dan ketika fase awal
perkembangbiakan bakteri, serta kualitas pemeriksaan
apusan kulit yang beragam.3
Kriteria terapeutik
Kriteria terapeutik dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis kekambuhan kusta PB maupun
MB. Apabila pasien yang diduga mengalami RR
diberikan prednisolon dengan dosis 1 mg/kg/hari, RR
akan menyembuh sepenuhnya dalam 2 bulan. Jika
dalam 4 minggu setelah pemberian kortikosteroid,
gejala tidak membaik atau bertambah parah, diagnosis
kekambuhan dapat ditegakkan.14 Pemberian steroid
pada kasus kekambuhan yang tidak terdeteksi dapat
menyebabkan perkembangbiakan bakteri.
Walaupun
demikian, Efek imunosupresi steroid tidak dikaitkan
dengan meningkatnya risiko kekambuhan, melainkan
akibat kebanyakan reaksi terjadi pada kusta MB dengan
persisters
Kriteria histopatologi
Kriteria histopatologi untuk kusta PB adalah
munculnya granuloma yang telah regresi sebelumnya
sedangkan kriteria untuk kusta MB adalah peningkatan
infiltrasi makrofag disertai peningkatan IB dan BTA
solid.3
Kriteria serologis
Indikator serologis untuk kekambuhan kusta MB,
yaitu tipe lepromatous leprosy (LL), adalah antibodi IgM
PGL-
Pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan
diagnosis kekambuhan dan didapatkan peningkatan
kadar antibodi setelah sebelumnya menurun saat pasien
dinyatakan RFT
Sistem penilaian Linder untuk kekambuhan kusta
MB
Sebuah sistem penilaian telah dikembangkan
oleh Linder untuk kekambuhan kusta MB (Tabel 2).
Kriteria ini lebih sensitif dibandingkan kriteria WHO.
Kekambuhan didiagnosis jika skor ≥3.3
DIAGNOSIS BANDING
Perbedaan kekambuhan dan reaksi
Kekambuhan dan RR memiliki gambaran granuloma
yang serupa pada pemeriksaan histopatologi.3,15
Perbedaannya adalah peningkatan IB pada kekambuhan
tidak ditemukan pada kasus RR. Terdapat beberapa
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang dapat
membedakan keduanya (Tabel 3 dan 4).3
Perbedaan kekambuhan dan resistensi
Resistensi terhadap dapson sering ditemukan.
Sejak penggunaan MDT, resistensi terhadap rifampisin
dan ofloksasin sering terjadi akibat terapi tidak teratur
(Tabel 5). Resistensi terhadap klofazimin sangat jarang
terjadi sehingga mekanismenya masih belum diketahui.
Resistensi terhadap rifampisin ditemukan sebanyak 5,1%
pada 1.143 kasus kekambuhan.16
Perbedaan kekambuhan dan reaktivasi
Reaktivasi terjadi akibat terapi tidak tuntas atau
tidak teratur. Reaktivasi timbul segera setelah penyakit
membaik sedangkan kekambuhan muncul setelah
RFT dan penyakit menyembuh selama beberapa saat.3
Reaktivasi sering terjadi pada kusta borderline yang
tidak stabil secara klinis dan imunologis. Reaktivasi
disebabkan oleh produksi sitokin proinflamasi lokal
(terutama interferon-γ dan tumor necrosis factor-α) yang Perbedaan kekambuhan dan reinfeksi
Reinfeksi sulit dibuktikan terutama pada daerah
endemis. Pasien kusta lepromatosa yang sembuh tidak
menjadi imunokompeten sepenuhnya sehingga walaupun
risiko reinfeksi rendah, terdapat risiko yang signifikan
bagi pasien ini . Pasien kusta umumnya tetap tinggal
di daerah endemis kusta dan kembali terpajan terhadap
M. leprae sehingga sering terjadi reinfeksi. Pada
reinfeksi, masa inkubasi sulit diduga dan lesi baru kulit
maupun saraf tidak menyerupai lesi awal. Namun, ketika
ditemukan pasien dengan interval sejak RFT hingga
terjadi lesi baru melebihi masa inkubasi (umumnya
lebih dari 15 tahun), dapat dipikirkan kemungkinan
reinfeksi.
Pengobatan kekambuhan harus segera dimulai untuk
mencegah kecacatan dan transmisi infeksi. Pasien dengan
IB sebelum terapi ≥4+ sebaiknya diberikan terapi dan
pemantauan lebih lama. Tata laksana utama kekambuhan
kusta adalah MDT sesuai jenis kustanya, yaitu MDT
PB untuk kekambuhan kusta PB dan MDT MB untuk
kekambuhan kusta MB. Modifikasi MDT perlu dilakukan
jika ditemukan resistensi obat.
Tipe kusta
Pasien kusta umumnya mengalami kekambuhan
dengan tipe yang sama. Akan tetapi, pasien kusta PB
kadang-kadang mengalami kekambuhan dalam bentuk
MB sehingga perlu diberikan MDT MB.
Riwayat terapi sebelumnya
Pasien yang sebelumnya menerima monoterapi
dapson atau klofazimin ketika mengalami kekambuhan
perlu diberikan MDT sesuai tipe kustanya.3
Resistensi obat
Terapi perlu dimodifikasi apabila pasien resisten
terhadap rifampisin (Tabel 6).
KEGAGALAN RESPONS TERAPI
Tidak tampaknya perbaikan klinis maupun
bakteriologis meskipun terapi adekuat atau perburukan
selama terapi digolongkan sebagai gagal merespons
terapi. Kasus ini berpotensi kekambuhan sehingga
penanganan perlu diberikan untuk membedakan reaksi
atau kegagalan reespons terapi. WHO mendefinisikan
hasil memuaskan MDT sebagai pasien yang patuh
berobat dengan hasil akhir basil mulai menghilang pada
kusta MB dan lesi membaik secara umum pada kusta
PB dan MB. Lesi kemungkinan belum menghilang
seluruhnya ketika terapi dihentikan. Perbaikan yang
lambat dapat menandakan kegagalan terapi sehingga
pemantauan perlu dilakukan setidaknya dua tahun atau
jika memungkinkan sampai lima tahun. Antimikroba
alternatif perlu dipertimbangkan pada kasus ini.
Kekambuhan kusta adalah sebuah hambatan
dalam mencapai target eliminasi kusta. Penegakan
diagnosis kekambuhan dapat dilakukan dengan kriteria
klinis, bakteriologis, dan terapeutik serta kriteria
histopatologi dan serologi jika memungkinkan. Tata
laksana kekambuhan kusta bergantung pada tipe kusta
saat kekambuhan dan ada tidaknya resistensi obat.
Kekambuhan kusta diharapkan dapat segera ditangani
dan menurunkan angka morbiditas pasien kusta dengan
pemahaman yang baik mengenai hal ini .