kusta26
DAFTAR SINGKATAN
BB : Mid Borderline
BCG : Bacille Calmette Guerin
BL : Borderline Lepromatous
BT : Borderline tuberkuloid
BTA : Basil Tahan Asam
CMI : Cell Mediated Immunity
DRESS : Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom
ENL : Eritema Nodosum Leprosum
LL : Lepromatosa polar
LPD : Lembar Pengumpul Data
MB : Multibasiler
MDT : Multi Drug Therapy
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PB : Pausibasiler
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RFT : Release From Treatment
SAGE : Strategic Advisory Group of Expert on immunization
SDR : Single Dose Rifampisin
SIS : Sistem Imunitas Seluler
SPSS : Software Statistical Product and Service Solution
TT : Tuberkuloid tuberkuloid
VMT : Voluntary Muscle Test
WHO : World Health Organization
Kusta yaitu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae. Penyakit ini mempunyai afinitas utama pada beberapa
bagian tubuh diantaranya kulit, mata, dan juga anggota gerak
Kusta yaitu salah satu penyakit infeksi yang masih merupakan masalah
kesehatan di negara kita . Hal ini disebabkan adanya kasus baru yang tetap ditemukan
walaupun bukan berasal dari daerah endemis. Kebanyakan kasus datang terlambat
dan telah terjadi kecacatan. Keterlambatan diagnosis dapat terjadi antara lain karena
pasien tidak segera datang berobat untuk kelainan kulitnya, atau petugas kesehatan
tidak dapat menegakkan diagnosis yang disebabkan kelainan klinis mirip dengan
penyakit lain. Sementara itu sarana penunjang klinis tidak dikuasai dengan baik dan
penunjang laboratoris tidak tersedia. Di sisi lain, penanganan yang tidak
komprehensif akan menyebabkan komplikasi akibat kusta secara langsung maupun
akibat pengobatan yang tidak tuntas
Kusta tergolong penyakit infeksi granulomatosa kronik yang dapat
menyebabkan kecacatan dan neuropati perifer apabila tidak segera ditangani. Hal
ini yang membedakan kusta dengan penyakit lain mengingat dampak yang
ditimbulkan dalam segi fisik, psikologis, dan sosial yang cukup besar
2.1.2 Epidemiologi
Epidemiologi penyakit kusta dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
distribusi kusta berdasar orang, distribusi kusta berdasar geografi (tempat),
dan distribusi kusta berdasar waktu, yaitu :
1. Distribusi berdasar orang
Distribusi penderita kusta berdasar faktor manusia (orang) dapat dilihat
dalam beberapa hal, yaitu
a. berdasar usia
Penyakit kusta dapat dialami oleh semua kelompok usia. Namun, kasus
yang banyak terjadi di negara kita yaitu pada usia produktif. Di negara kita penderita anak-anak di bawah usia 14 tahun didapatkan ±13 %, namun anak di
bawah usia 1 tahun jarang ditemukan. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok usia 25-35 tahun
berdasar data dari Kementrian Kesehatan RI tahun 2020, proporsi kusta
anak pada tahun 2019 sebesar 11,52%. Proporsi tersebut lebih tinggi dari tahun
2018, yaitu sebesar 10,94%, akan namun persentase kasus baru kusta pada anak
secara nasional mengalami penurunan selama periode 2015-2017, yaitu
sebelumnya 11,22% kemudian menurun menjadi 11,03% di tahun 2017.
Adapun data kasus kusta pada anak di tahun 2013-2017, pada tahun 2013 yaitu
kasus tertinggi yaitu 11,88 tiap 100.000 warga nya
b. berdasar jenis kelamin
Kusta bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Pada beberapa daerah,
laki-laki memiliki jumlah penderita kusta dua kali lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Penderita baru kusta laki-laki di negara kita sebesar 62,7% dan
perempuan sebesar 37,3%. Pada tahun 2019 Provinsi Aceh memiliki kasus baru
sebanyak 337 kasus. Jumlah laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan,
yaitu 203 kasus laki-laki dan 134 kasus perempuan
c. berdasar etnik
Pada beberapa wilayah ataupun negara yang memiliki keadaan lingkungan
yang sama, didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi kusta.
Penyakit kusta di negara Myanmar banyak terjadi pada etnik Buma. Begitu juga
di Malaysia, penyakit kusta paling sering terjadi pada etnik Cina(13). Hal ini
berhubungan dengan adanya migrasi di daerah tersebut, penelitian yang
dilakukan di Brazil menyatakan bahwa migrasi meningkatkan distribusi kusta.
Hal ini dikarenakan para imigran yang tinggal di pinggiran kota Brazil
bermigrasi dari daerah endemik ke daerah non-endemik dan hidup dalam
kondisi sosioekonomi rendah yang menyebabkan penularan penyakit kusta
d. berdasar sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya penyakit kusta. Penyakit
kusta banyak terjadi di negara dengan tingkat sosioekonomi rendah. Hal
tersebut berbanding terbalik dengan Eropa, karena angka kejadian kusta di wilayah tersebut mengalami penurunan yang sangat pesat yang sejalan dengan
meningkatnya sosial ekonomi
2. Distribusi berdasar geografi (tempat)
Pada tahun 2019, regional Asia merupakan wilayah dengan kasus baru kusta
tertinggi, yaitu sebanyak 143.787 kasus dan regional Eropa memiliki kasus baru
kusta terendah dengan jumlah kasus sebanyak 42 kasus negara kita telah
melaksanakan eliminasi kusta tingkat nasional sejak tahun 2000, yaitu dengan
prevalensi <1 tiap 10.000 warga . Pada tahun 2019, dari seluruh provinsi
yang ada di negara kita masih terdapat delapan provinsi lagi yang belum
mencapai status eliminasi kusta, artinya masih memiliki prevalensi >1 per
10.000 warga . Delapan provinsi yang belum melakukan eliminasi, yaitu
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku
Utara, Papua dan Papua Barat(15).
2.1.4 Faktor risiko
Pada dasarnya faktor risiko seseorang terkena kusta di seluruh dunia sangat
rendah. Hal ini disebabkan karena sebesar 95% manusia memiliki kekebalan alami
terhadap penyakit kusta dan hanya sebesar 5% saja yang dapat terinfeksi. Dari 5%
yang terinfeksi, ada sekitar 70% dapat sembuh dengan sendirinya tanpa minum obat
dan hanya sebesar 30% saja yang dapat menjadi sakit
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit kusta
yakni jumlah bakteri, faktor host, seperti umur, jenis kelamin, genetik serta faktorfaktor yang mempermudah penularan lainnya seperti tingkat pendidikan yang
rendah, pekerjaan, kemiskinan, status gizi yang buruk dan tempat tinggal atau
bermigrasi ke daerah yang endemis kusta(20). berdasar penelitian Oktaria
(2018) di Jawa Timur, orang yang berisiko terkena penyakit kusta yaitu orang yang
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang kurang stabil untuk
menyediakan makanan yang beragam dan memiliki gejala anemia Penelitian
serupa yang dilakukan di Kediri tahun 2017 menyatakan bahwa tingkat pendidikan
meningkatkan risiko kusta melalui pekerjaan. Orang yang berpendidikan tinggi
akan memiliki pekerjaan yang layak dan memiliki pendapatan juga, lain halnya
dengan orang yang memiliki pendidikan rendah, pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya juga rendah. Secara otomatis hal tersebut akan menyebabkan
kurangnya kesempatan kerja dan pendapatan rendah. Maka karena itu, akan
menjadi sulit bagi mereka untuk memenuhi nutrisi sehingga kekebalan tubuh akan
menjadi rendah dan rentan terkena penyakit
2.1.3 Etiologi
Kuman penyebab yaitu Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A.
Hansen pada tahun 1873 di Norwegia, yang hingga saat ini belum dapat dibiakkan
dalam media artifisial. Namun, pada tahun 1960 Shepard berhasil
menginokulasikan Mycobacterium leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak
di sekitar area tersebut. Mycobacterium leprae berbentuk batang dengan ukuran 1-
8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol serta Gram-positif(20).
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Basil kusta masuk
ke tubuh manusia melalui kontak langsung dengan kulit atau mukosa nasal yang
berasal dari droplet. Basil dari droplet akan bertahan hidup selama 2 hari dalam
lingkungan yang kering, bahkan hingga 10 hari pada lingkungan yang lembab dan
suhu yang rendah. sesudah infeksi terjadi, gejala klinis pada saraf perifer atau kulit
akan muncul dalam waktu 3 bulan hingga 10 tahun. Gejala klinis yang timbul
bervariasi, bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik,
akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya bila SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa
Mycobacterium Leprae, ditemukan oleh G.A Hansen yang merupakan
warga negara Norwegia pada tahun 1874 dan sampai saat ini belum dapat dibiakkan
dalam media buatan. Mycobacterium leprae merupakan kuman berbentuk basil
dengan ukuran 3 – 8 µm × 0,5µm, tahan asam dan alkohol serta bersifat gram
positif. Mycobacterium leprae hidup secara intraseluler dan memiliki afinitas yang
besar pada sel saraf (Schwan cell) juga sistem retikulo endotel(15).
Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan ratarata 3-5 tahun. Masa inkubasi berhubungan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu berkisar antara 2-3 minggu dan diluar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman
kusta bisa bertahan sampai 9 hari
2.1.5 Patogenesis
Spektrum klinis kusta bergantung secara eksklusif pada keterbatasan
variabel di dalam kemampuan pejamu untuk mengembangkan imunitas yang
diperantarai sel yang efektif terhadap Mycobacterium leprae. Organisme mampu
menyerang dan berkembang biak di saraf perifer dan menginfeksi dan bertahan
hidup di sel endotel dan sel fagosit di banyak organ. Infeksi subklinis kusta sering
terjadi pada warga di daerah endemis. Agaknya infeksi subklinis ditangani
dengan mudah oleh respons CMI pejamu. Ekspresi klinis kusta yaitu
perkembangan granuloma, penderita dapat mengembangkan "keadaan reaksi" yang
dapat terjadi dalam beberapa bentuk pada >50% dari kelompok pasien tertentu
2.1.6 Klasifikasi
Berbagai klasifikasi penyakit kusta dibuat dengan tujuan tertentu, namun
yang banyak digunakan yaitu klasifikasi menurut WHO dan klasifikasi RidleyJopling
1. Klasifikasi WHO
Untuk kepentingan pengobatan, WHO pada tahun 1987 membuat
klasifikasi kusta menjadi 2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan sedikit atau
tidak ditemukan bakteri dan tipe Multibasiler (MB) dengan jumlah bakteri yang
banyak. Tipe PB menurut WHO yaitu tipe TT dan BT menurut Ridley dan Jopling,
sedangkan tipe MB yaitu tipe BB, BL dan LL, atau tipe apapun dengan BTA
positif
Pada umumnya pemeriksaan kerokan jaringan kulit untuk pemeriksaan
BTA tidak tersedia di lapangan, maka pada tahun 1995 WHO mengubah klasifikasi
menjadi lebih sederhana berdasar hitung lesi kulit dan jumlah saraf perifer yang
terkena
Kulit
Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak hipopigmetasi dengan
anestesi, atau makula hipopigmetasi disertai tepi yang menimbul dan sedikit
eritematosa, atau berupa infiltrat/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul
dan nodul. Kelainan kulit ini menyerupai berbagai penyakit kulit lain, sehingga
adanya gangguan sensibilitas berupa anestesi atau hipoestesi sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis kusta. Gambaran klinis kulit yang beragam ini dapat
digunakan untuk menentukan tipe kusta, karena khas untuk tipe tertentu(20).
2. Saraf Perifer
Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya kerusakan saraf
perifer yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf kulit dan trunkus saraf.
Gambaran dan distribusi kerusakan saraf yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah
bakteri yang menginfiltrasi saraf, serta respons imunologis penderita terhadap saraf
yang terinfeksi. berdasar hal tersebut, manifestasi klinis kerusakan saraf perifer
dapat digolongkan menjadi gangguan sensorik, gangguan motorik dan gangguan
otonom. Ketiga gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer di ekstremitas maupun
saraf kranial
Neuropati perifer paling sering bermanifestasi sebagai mononeuropati,
polineuropati atau mononeuropati multipleks. Saraf perifer yang sering terkena
ialah N.ulnaris, N.radialis, N.medianus, N. poplitea lateralis, N. tibialis posterior,
N. fasialis, N. trigeminus serta N.auricularis magnus. Gangguan pada saraf perifer
tersebut meliputi gangguan pada cabang saraf sensorik, otonom dan motorik.
2.1.8 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta ditetapkan berdasar temuan satu dari tiga tanda
kardinal kusta berikut ini, yaitu:
a. Kelainan kulit atau lesi yang khas kusta, dapat berbentuk hipopigmentasi atau
eritema yang mati rasa (anestesi)
b. Penebalan saraf perifer disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat peradangan
(neuritis) kronis. Gangguan fungsi saraf ini dapat berupa:
1) Gangguan fungsi sensoris: anestesi
2) Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis otot
3) Gangguan fungsi otonom: kulit kering atau anhidrosis dan terdapat fisura
c. Adanya basil tahan asam (BTA) pada kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Untuk memastikan tanda kardinal pertama, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan gangguan sensibilitas pada lesi kulit. Pemeriksaan gangguan rasa raba
dilakukan dengan menggunakan usapan ujung kapas pada lesi. Gangguan terhadap
suhu, dapat dilakukan dengan menggunakan dua tabung reaksi berisi air hangat
bersuhu 400°C dan air dingin. Bila pasien tidak dapat membedakan suhu hangat
dan dingin, maka telah terjadi gangguan sensibilitas. Gangguan terhadap rasa nyeri
diperiksa dengan menggunakan ujung jarum. Bila pasien merasakan ujung jarum
tersebut tumpul, maka telah terjadi hipoestesi. namun bila tidak merasakan sakit,
berarti telah terjadi anestesi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf
otonom, harus diperhatikan adanya kekeringan kulit di daerah lesi berupa sisik
halus. Bila tidak jelas, dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pensil
tinta. Cara pemeriksaan yaitu dengan menggores kulit menggunakan pensil tersebut
mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, maka goresan pada
kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi, karena
goresan pinsil lumer karena adanya keringat. Dapat pula diperhatikan adanya
alopesia di daerah lesi, yang lebih mudah terlihat bila rambut yang tumbuh cukup
lebat. Gangguan fungsi motoris menyebabkan kelainan otot, atrofik atau paresis, dan dapat diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). Pada dasarnya, sebagian
besar pasien dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis
Apabila hanya ditemukan tanda kardinal kedua, perlu dirujuk ke dokter
saraf atau dokter spesialis kulit, dengan sarana pemeriksaan penunjang yang
memadai. Jika masih ragu maka dianggap sebagai penderita yang dicurigai atau
tersangka
1.4.2 Komplikasi
Pada individu dengan kusta, masih ada kemungkinan berkembangnya abses
pada saraf. Sebagian besar terlihat pada saraf ulnaris, jenis komplikasi ini
memerlukan intervensi bedah segera untuk mencegah gejala sisa yang tidak dapat
diperbaiki. Komplikasi terkait saraf juga melibatkan mata yang menyebabkan
kelumpuhan saraf kranial ditambah dengan insensitivitas kornea dan
lagophthalmos. Hal ini dapat menyebabkan trauma, infeksi serta ulserasi kornea
dan kekeruhan. Kebutaan di negara dunia ketiga berkorelasi dengan jumlah kasus
kusta positif. Neuropati pada ekstremitas juga merupakan komplikasi yang terkait
dengan kusta, menyebabkan ketidakpekaan terhadap sentuhan halus, rasa sakit, dan
reseptor panas dan akibatnya menyebabkan hilangnya jari distal. Dalam kasus yang
melibatkan pasien kusta, hilangnya sensitivitas distal mungkin terjadi, meskipun
proses ini tidak sepenuhnya dipahami dan mungkin merupakan proses osteolitik
yang kurang dipahami. Dalam reaksi imunologi yang meradang, kemungkinan
morbiditas tinggi. Eritema nodosum leprosum (ENL) biasanya muncul dengan
papula eritematosa yang nyeri dan sembuh dalam waktu seminggu. Jenis papula ini
terjadi pada hampir 50% orang yang mendekati kusta tipe LL
Terlepas dari kerusakan yang disebabkan sebagian besar pada kulit dan
saraf perifer, itu juga melibatkan sistem retikuloendotelial, endokrin, dan
hemopoietik bersama dengan otot, tulang, dan mata(24).
2.1.10 Prognosis
Prognosis kusta tergantung pada beberapa faktor, yang meliputi: stadium
penyakit saat diagnosis, inisiasi pengobatan dini, akses pasien terhadap pengobatan,
dan kepatuhan terhadap terapi Dengan dimulainya terapi multiobat (MDT) tepat waktu sesudah onset awal,
kusta umumnya dipandang sebagai penyakit yang dapat disembuhkan. Perawatan
dengan MDT dapat mencegah kelainan bentuk yang luas dan kecacatan neurologis.
Dengan mengikuti terapi yang ditentukan dengan benar, tingkat gangguan
neurologis dapat dibatasi. namun ada kasus yang menunjukkan pemulihan parsial
atau tidak ada pemulihan dari kelemahan otot atau kehilangan sensasi yang terjadi
sebelum dimulainya terapi. Kekambuhan (munculnya kembali penyakit sesudah
pengobatan selesai) minimal sesudah MDT diterapkan, dan kematian juga jarang
terjadi
2.2 Pencegahan dan Pengobatan Kusta
2.2.1 Pencegahan
Saat ini, tidak ada intervensi imunoprofilaksis spesifik kusta yang tersedia,
meskipun vaksinasi Bacille Calmette Guerin (BCG) dapat memberikan
perlindungan akan namun tidak ada vaksin yang secara khusus menargetkan
Mycobacterium leprae. Pendekatan paling efektif untuk mengurangi risiko
berkembangnya kusta terhadap individu yang terpapar Mycobacterium leprae
dalam waktu lama yaitu kemoprofilaksis menggunakan single-dose rifampicin
(SDR) diberikan untuk kontak dekat tanpa gejala dari pasien kusta yang baru
didiagnosis. Kombinasi antara imunoprofilaksis dan kemoprofilaksis masih dalam
tahap eksplorasi
1. Pencegahan kusta melalui kemoproflaksis
World Health Organization (WHO) merekomendasikan SDR sebagai
preventif kontak pasien kusta (dewasa dan anak-anak usia >2 tahun) pengecualian
bagi yang didiagnosis kusta, TB, dan kontraindikasi lain. Jadwal dosis yang
direkomendasikan untuk SDR yaitu sebagai berikut :2. Pencegahan kusta melalui imunoprofilaksis
WHO merekomendasikan golongan Strategic Advisory Group of Expert
on immunization (SAGE) sebagai vaksinasi. Vaksin untuk penyakit kusta masih
dalam tahap uji coba, seperti pada penelitian LepVax, vaksin subunit baru yang saat
ini terdapat di tahap 1. WHO merekomendasikan agar setiap vaksin TB baru
dievaluasi untuk pencegahan penyakit Mycobacterium lainnya seperti kusta dan
buruli ulkus
2.2.2 Pengobatan
Pengobatan kusta sudah distandarisasi di seluruh dunia dan didasarkan pada
rekomendasi WHO yang dikeluarkan pada tahun 1982. Mirip dengan tuberkulosis,
pengobatan kusta melibatkan multidrug therapy (MDT). Tiga obat pilihan pertama
yaitu : Dapson, Rifampisin, dan Klofazimin. Monoterapi atau hanya
menggunakan salah satu dari obat-obatan ini sudah tidak dipakai untuk mencegah
terjadinya resistensi
1. Dapson
Disintesis di Jerman pada tahun 1908, dapson merupakan obat pertama yang
digunakan sebagai monoterapi pada tatalaksana kusta di tahun 1941. Efek
samping termasuk hemolisis tergantung dosis dan pembentukan methemoglobin,
keparahan jelas terlihat dalam kasus defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase.
Efek samping lainnya yaitu gejala gastrointestinal, sakit kepala, dan kelelahan.
Efek samping yang jarang termasuk reaksi fototoksik, urtikaria, erupsi obat, eritema
multiforme, sindrom DRESS, agranulositosis, dan hepatitis. Tidak ada
teratogenisitas yang diketahui dan kehamilan bukan merupakan kontraindikasi.
Dosis harian yaitu 100 mg dalam semua bentuk kusta
2. Rifampisin
Pertama ditemukan dan dipakai sebagai OAT pada tahun 1965 dan mulai
dipakai sebagai obat kusta di tahun 1970. Rifampisin merupakan obat yang menjadi
salah satu komponen kombinasi dapson dengan dosis harian 10 mg/kg berat badan.
Rifampisin tidak boleh digunakan sebagai monoterapi mengingat resistensi yang
akan terjadi lebih besar kemungkinannya jika diberikan setiap minggu atau setiap
2 minggu, maka dari itu rifampisin harus selalu diikutkan pada pengobatan
kombinasi. Efek samping yang mungkin terjadi yaitu hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit
3. Klofazimin (lampren)
Klofazimin cocok untuk mengobati reaksi kusta tipe 2 karena bersifat
sebagai antiinflamasi. Lebih dari 75% pasien yang diobati dengan Klofazimin
mengalami hiperpigmentasi merah-coklat pada lesi kusta sesudah beberapa minggu
yang terutama menonjol pada ras Kaukasia. Perubahan pada kulit ini bisa sembuh
jika pengobatan dihentikan, mereka sering menjadi penyebab penghentian dini
pengobatan pada wanita muda yang akhirnya akan mengakibatkan kekambuhan dan
terjadinya reaksi kusta
Regimen pengobatan menurut Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of leprosy WHO tahun 2018 disesuaikan dengan indikasi sebagai
berikut
dapat diberikan dengan berbagai indikasi, antara lain
a. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi Rifampisin pasien yang kumannya resisten
terhadap Rifampisin umumnya resisten juga terhadap Dapson.Oleh karena itu,
digunakan regimen berikut
Ofloksasin 400 mg bisa diganti dengan levofloksasin 500 mg atau moxifloksasin
400 mg.
b. Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi Klofazimin, maka dalam MDT 12 bulan
dapat diganti dengan Ofloksasin 400 mg/hari atau Minosiklin 100 mg/hari selama
12 bulan atau Rifampisin 600 mg/bulan, Ofloksasin 400 mg/bulan dan Minosiklin
100 mg/bulan selama 24 bulan
c. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi Dapson apabila obat menyebabkan efek
samping yang berat, seperti sindrom Dapson (sindrom hipersensitivitas obat), maka
obat harus segera dihentikan. Untuk tipe kusta MB, MDT tetap dilanjutkan tanpa
Dapson selama 12 bulan sedangkan untuk tipe kusta PB, Dapson dapat diganti
dengan Klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan
Data Penelitian
Data dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder yaitu data rekam
medik pasien kusta yang dikumpulkan peneliti dari 5 puskesmas yaitu Puskesmas
Muara Satu, Puskesmas Muara Dua, Puskesmas Banda Sakti, Puskesmas Blang
Mangat, dan Puskesmas Kandang yang meliputi usia, jenis kelamin, tipe kusta,
pekerjaan, serta lamanya pemberian obat yang didapatkan oleh pasien di Puskesmas
Kota Lhokseumawe.
Data dalam penelitian ini yaitu seluruh pasien kusta yang mendapatkan
MDT di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Data pada penelitian ini berjumlah 42
sampel.
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Tipe kusta
Persentase pasien berdasar tipe kusta dapat dilihat pada tabel 4.1
dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.
berdasar tabel 4.3 menunjukkan terdapat 4 orang pasien (9,5%) dengan
tipe kusta PB dan 38 orang pasien (90,5%) dengan tipe kusta MB.
4.2.2 Usia
Persentase pasien berdasar kategori usia dapat dilihat pada tabel 4.2
dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.
berdasar tabel 4.2 didapatkan hasil data pengelompokan pasien kusta
dari usia di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Dari data tersebut, didapatkan bahwa
kategori usia terbanyak merupakan kategori usia dewasa (28,6%) dan untuk
kategori usia anak yaitu dengan total penderita kusta sebanyak 2 orang (4,8%).
4.2.3 Jenis kelamin
Persentase pasien berdasar jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.3
dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.
berdasar tabel 4.3 menunjukkan data menurut kategori jenis kelamin
pada pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Dari data tersebut, didapatkan
hasil dari pengelompokan pasien kusta menurut jenis kelamin yang dibedakan
menjadi laki-laki dan perempuan, dengan total pasien laki-laki sebanyak 27 orang
(64,3%) dan pasien perempuan sebanyak 15 orang (35,7%).
4.2.4 Pekerjaan
Persentase pasien berdasar kategori pekerjaan dapat dilihat pada tabel
4.4 dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe
berdasar tabel 4.4 didapatkan bahwa kejadian kusta tertinggi ada pada
pasien yang tidak bekerja yaitu sebanyak 21 orang dengan persentase 50% dari
total pasien kusta yang ada di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Pasien dengan
kategori pekerjaan sebagai PNS merupakan kategori pekerjaan dengan kasus pasien
kusta terendah (7,1%).
4.2.5 Tepat lamanya pengobatan
Persentase pasien berdasar tepat lamanya pengobatan dapat dilihat pada
tabel 4.6 dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.
berdasar tabel 4.6 didapatkan bahwa sebanyak 32 orang pasien kusta
(76,2%) menjalani pengobatan tepat 6 bulan dan 12 bulan, sedangkan sebanyak 10
orang pasien kusta (23,8%) menjalani pengobatan tidak tepat waktu. Lamanya
pengobatan yang tidak tepat bulan dikarenakan pasien meninggal, pindah, putus
berobat dan pasien tidak di evaluasi.
Hasil pengobatan
Persentase pasien berdasar hasil pengobatan dapat dilihat pada tabel 4.7
dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.
berdasar tabel 4.7 diatas dapat diketahui bahwa hasil pengobatan
lengkap dapat dinyatakan RFT yaitu sebanyak 76,2%, pasien putus berobat
sebanyak 16,7%, dan 7,1% pasien meninggal.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar tipe kusta
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kusta yang dialami
yaitu kusta tipe MB dibandingkan tipe PB. Tipe MB terjadi pada individu dengan
sistem imunitas tubuh yang rendah, biasanya pada individu usia tua. berdasar
hasil penelitian menunjukkan bahwa kusta tipe MB lebih banyak yaitu 90,5% dari
total penderita. Hal ini disebabkan karena tipe tersebut mudah menular melalui
kontak kulit maupun inhalasi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Jayanti (2014) dari 46 penderita kusta, terdapat sebanyak 25 orang
penderita kusta tipe MB sedangkan pada kusta tipe PB terdapat sebanyak 21 orang
penderita. berdasar penelitian yang dilakukan De Almeida (2014) juga
mengatakan bahwa dari total 23 pasien kusta yang diteliti, diketahui kejadian kusta
tertinggi yaitu dengan tipe Multibasiler (MB) yaitu sebanyak 13 orang atau
sebanyak 56,5%. Sedangkan tipe Pausibasiler (PB) ditemukan sebanyak 10
orang
4.3.2 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar usia
Hasil penelitian ini diperoleh data penderita usia termuda 9 tahun dan usia
tertua 70 tahun. Usia terbanyak pada sampel penelitian ini yaitu usia dewasa
dengan rentang usia 31-40 tahun sejumlah 12 penderita, sedangkan kelompok usia
paling sedikit yaitu usia anak-anak dengan rentang usia 1-10 tahun sejumlah 2
penderita. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penderita kusta usia
dewasa lebih banyak daripada penderita usia anak-anak.
Menurut penelitian kusta oleh Jariyakulwong, dkk (2022) insiden kusta
meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Hal tersebut disebabkan oleh masa
inkubasi kusta yang sangat lama dan gambaran klinis dari kusta yang muncul
terlambat. Masa inkubasi bervariasi dari 5 hingga 10 tahun, tergantung pada subtipe
klinis. berdasar hasil penelitian di Rumah Sakit Kusta Kediri, penderita usia
dewasa lebih banyak daripada penderita usia anak-anak dengan persentase lebih
dari 90%. Hal ini disebabkan oleh karena masa inkubasi Mycobacterium leprae
yang membutuhkan waktu lama sekitar 40 hari sampai 40 tahun, sehingga
gambaran klinis muncul pada usia dewasa
4.3.3 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar jenis kelamin
Data penderita kusta berdasar kelompok jenis kelamin pada penelitian
ini menunjukkan bahwa kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe lebih banyak
ditemukan pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 27 orang atau
sebesar 64,3% dari total pasien yang ada. Sedangkan pada pasien perempuan
sebanyak 15 orang atau sebesar 35,7%.
Laki-laki memiliki tingkat terkena kusta lebih tinggi dibandingkan
perempuan dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain faktor lingkungan
dan biologis. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peng, dkk (2020) rasio kasus
kusta baru antara pria dan wanita di Tiongkok pada tahun 2020 yaitu 2,1:1, yaitu
dengan total 273 laki-laki (67,2%) dan 133 perempuan (32,8%). Hal ini mungkin
disebabkan oleh perbedaan persepsi dan pengetahuan mengenai penyakit kusta,
ketergantungan ekonomi, dan ketidakpekaan jenis kelamin dalam layanan penyakit
kusta yang menyebabkan keterlambatan diagnosis pada perempuan
4.3.4 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar pekerjaan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian kusta tertinggi
berdasar pekerjaan pada pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe yaitu
kategori pasien yang tidak bekerja, hal ini dikarenakan dalam kategori pasien yang
tidak bekerja terdapat pasien pelajar, ibu rumah tangga, dan juga lanjut usia.
berdasar dari hasil penelitian di Rumah Sakit Kusta Kediri, jenis
kelamin laki-laki lebih banyak menderita kusta 75% dari total penderita kasus baru.
Hal ini kemungkinan karena laki-laki lebih sering bekerja di luar rumah daripada
wanita, sehingga meningkatkan risiko tertular kusta. Namun, hal itu juga
dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaan dan keadaan sosial ekonomi penderita
Kusta lebih banyak diderita oleh penderita dengan keadaan sosial ekonomi
rendah. berdasar hasil penelitian, jenis pekerjaan terbanyak sesudah pasien
dengan kategori tidak bekerja yaitu pasien dengan kategori pekerjaan sebagai
buruh yaitu sejumlah 8 penderita (19%). Petugas puskesmas menjelaskan bahwa
data tersebut didapat dari wawancara petugas dengan penderita kusta dan sebagian
besar penderita kusta dengan kategori pekerjaan buruh ini menyebutkan bahwa
pekerjaan buruh yaitu pekerja pabrik.
4.3.5 Regimen pengobatan pasien kusta berdasar tepat lamanya pengobatan
Regimen pengobatan MDT harus sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO, termasuk lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan tipenya.
Lamanya pengobatan dan efek samping MDT kemungkinan besar akan
menimbulkan ketidakpatuhan pada pasien dan menyebabkan mereka berhenti
meminum obat. Jika masalah ini tidak diatasi, pasien akan terus menjadi sumber
penularan pajanan. Waktu pengobatan yang lama dengan pengobatan rutin yang
harus diminum setiap hari dari MDT dapat menjadi faktor yang menyebabkan
ketidakpatuhan. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu dengan memberikan
dukungan tenaga lingkungan dan kesehatan sebagai mediator informasi kepada para
korban
berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terkait dari
lamanya pengobatan terdapat 76,2% menjalani pengobatan dengan tepat lamanya
pengobatan, yaitu 6-9 bulan untuk kusta tipe PB dan 12-18 bulan untuk kusta tipe
MB. Pemberian obat kurang dari tepat lamanya pengobatan dikarenakan pasien
tidak mendapatkan dukungan untuk pengobatan dari lingkungannya sehingga
pasien putus obat, kemudian ada pasien yang meninggal dan juga ada pasien yang pindah berobat. Menurut penelitian lain, didapatkan dampak terkait penyakit kusta
juga termasuk dengan adanya stigma negatif kepada penderita kusta
Tujuan pengobatan yang dilakukan pada pasien kusta yaitu untuk
memutuskan mata rantai penularan, mencegah terjadinya resistensi obat,
memperpendek masa pengobatan, meningkatkan keteraturan berobat dan mencegah
terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Pasien kusta yang tidak patuh dalam menjalani pengobatan
dikarenakan waktu pengobatan yang cukup panjang dan mengonsumsi berbagai
macam obat-obatan serta efek samping yang ditimbulkan. Ketidakpatuhan ini juga
sering menjadi masalah secara global, apabila tidak mengikuti prosedur pengobatan
secara benar dapat menimbulkan terjadinya kekambuhan, resistensi obat, atau
bahkan kematian. Hasil dari studi juga menyebutkan bahwa berbagai macam faktor
yang mempengaruhi kepatuhan seperti manajemen pengobatan yang belum baik,
rendahnya tingkat pengetahuan tentang penanganan kusta, dan kurangnya
kedisiplinan pasien meminum obat
4.3.6 Hasil pengobatan
Hasil pengobatan yang didapatkan oleh peneliti diperoleh pasien RFT
sebanyak 76,2%, pasien putus berobat 16,7%, dan pasien meninggal dalam masa
pengobatan 7,1%. Pasien yang dinyatakan RFT yaitu pasien yang menjalani
pengobatan lengkap dan telah menyelesaikan pengobatan secara menyeluruh.
Pasien yang putus berobat didefinisikan jika seorang penderita tidak
mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan untuk kusta tipe PB dan penderita
tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 6 bulan untuk tipe MB secara
kumulatif, maka yang bersangkutan dikategorikan sebagai putus obat. Pasien
meninggal didefinisikan sebagai pasien yang meninggal karena alasan apa pun
sebelum pengobatan selesai
Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan (RFT) harus tetap
dilakukan pemantauan oleh petugas puskesmas untuk menghindari reaksi Kusta
yang dapat menyebabkan disabilitas. Setiap puskesmas dan fasilitas pelayanan
kesehatan lain yang memberikan layanan pengobatan kusta wajib melakukan
pencatatan dan pelaporan. Hal ini digunakan sebagai dasar pemenuhan kebutuhan program dan untuk penetapan status pencapaian Eliminasi Kusta. sesudah eliminasi
kusta di seluruh provinsi dan kabupaten/kota tercapai, penaggulangan kusta masih
tetap perlu dilanjutkan dengan tujuan menurunkan penderita kusta dan memutuskan
transmisi Kusta. Sebagaimana dengan target Sustainable Development Goals
(SDG’s) 3.3 yaitu penurunan 90% jumlah orang yang membutuhkan intervensi
terhadap penyakit-penyakit AIDS, Tuberculosis, Malaria, dan penyakit tropis
terabaikan yaitu Kusta dan Filariasis. Untuk itu pada tahun 2024-2030 dilakukan
upaya untuk menurunkan angka prevalensi Kusta tingkat nasional sampai kurang
dari 0,05 per 10.000 warga
Menurut penelitian yang dilakukan Tatiana Siregar (2019), kepatuhan
penderita dalam proses pengobatan sangat menentukan keberhasilan pengobatan.
Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Rieke Dianita (2020) yang
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan dengan pencegahan
kusta. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin rendah peluang
mereka kontak dengan penderita kusta. Dalam hal ini, pendidikan dianggap sebagai
faktor substansial dari kesadaran masyarakat yang berkontribusi terhadap eliminasi
penyakit kusta. Hal ini sejalan dengan penelitian di Brazil, dimana pasien tidak
melaporkan gejala yang mereka miliki untuk mendapatkan pengobatan atau bahkan
tidak tahu bahwa mereka menderita kusta karena kurangnya pengetahuan dan
kesadaran akan penyakit ini,
berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terkait gambaran
pengobatan MDT pada pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Karakteristik pasien kusta pada penelitian ini didapatkan bahwa kusta tipe
MB yaitu 90,5%. berdasar kelompok usia, pasien kusta paling banyak
pada kelompok usia dewasa tahun yaitu 88,1%. berdasar jenis kelamin,
pasien kusta yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan yaitu 64,3%. berdasar pekerjaan paling banyak pasien kusta
dengan kelompok kategori tidak bekerja yaitu 50%.
2. Penggunaan MDT di Puskesmas Kota Lhokseumawe yang mengacu pada
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta tahun 2020
diperoleh tepat lamanya pengobatan 76,2% dengan hasil pengobatan di
didapatkan pasien RFT 76,2%, putus berobat 16,7%, dan meninggal 7,1%.
Kusta yang biasa dikenal dengan sebutan lepra atau Morbus Hansen yaitu
penyakit menular kronik yang diakibatkan oleh Mycobacterium leprae. Asal kata
kusta sendiri berasal dari bahasa sanskerta yaitu kustha yang memiliki arti
sekumpulan gejala yang terdapat pada kulit. Kusta tergolong penyakit infeksi
granulomatosa kronik yang dapat menyebabkan kecacatan apabila tidak segera
ditangani. Hal ini yang membedakan kusta dengan penyakit lain mengingat dampak
yang ditimbulkan dalam segi fisik, psikologis, dan sosial yang cukup besar(1,2)
Kusta yaitu penyakit tropis terabaikan yang masih terjadi dilebih dari 120
negara, dengan lebih dari 200.000 kasus baru dilaporkan setiap tahun. berdasar
data World Health Organization (WHO) pada tahun 2021 ditemukan kasus kusta
dengan total sebanyak 140.552 kasus dengan rincian penderita kusta terbanyak
ditempati India dengan total 75.394 kasus dan urutan kedua ditempati Brazil dengan
penderita kusta sebanyak 18.318 orang. negara kita menempati sebagai negara
terbanyak ketiga dengan total 10.976 kasus. Pada tahun 2021, di Aceh, terdapat
kasus baru kusta sebanyak 254 kasus. Menurut data awal yang diambil peneliti di
Puskesmas Kandang, Puskesmas Muara Satu, Puskesmas Muara Dua, Puskesmas
Banda Sakti dan juga Puskesmas Blang Mangat, didapatkan sebanyak 42 kasus
pasien kusta di Kota Lhokseumawe(3,4).
Mycobacterium leprae menyerang saraf-saraf perifer pada tangan, kaki,
badan, dan wajah, yang kemudian dapat menyerang organ tubuh lain seperti mata,
mukosa saluran nafas atas, otot, tulang dan testis(5,6). Bakteri ini menyerang sel
schwann dan makrofag, maka jika seseorang sudah terinfeksi akan muncul
manifestasi klinis umumnya pada persarafan dan kulit. Individu yang rentan
terhadap Mycobacterium leprae memiliki berbagai gambaran klinis dan patologis.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan setiap orang yang berbeda untuk
mengembangkan respon imun seluler terhadap kusta yaitu dasar untuk variasi
ini Tanda awal penyakit kusta dapat berupa perubahan warna atau bercakbercak pada kulit dengan hilangnya sensasi rasa. Ketika saraf di lengan
terpengaruh, hal ini bisa menyebabkan jari dan ibu jari melengkung, sebagian
tangan mengalami penurunan sensasi, juga dapat menyebabkan kelumpuhan otot.
Begitu juga ketika kusta menyerang pada kaki. Akibatnya, penderita tidak
merasakan rasa sakit, dan bisa mengalami luka pada tangan dan kaki tanpa disadari.
Saraf yang rusak juga menyebabkan kulit terkelupas dan jaringan di bawah kulit
terbuka(5).
Klasifikasi kusta menurut WHO (pausibasiler dan multibasiler) yaitu
kriteria yang digunakan dalam menentukan tipe kusta di negara kita dan bermanfaat
selanjutnya untuk menentukan regimen pengobatan. Penatalaksanaan pengobatan
kusta sepenuhnya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Pemberantasan Kusta
Nomor 11 Tahun 2019. Regimen pengobatan kusta yaitu Multidrug Therapy
(MDT), kombinasi rifampisin, dapson, dan klofazimin. Pemberian obat pada
penderita kusta berdasar klasifikasi umur. Jangka waktu pengobatannya yaitu
6 sampai 9 bulan untuk tipe PB dan 12 sampai 18 bulan untuk tipe MB(7–9)
Tipe Pausibaciliary (PB) menerima terapi dapson 100 mg/hari untuk
diminum di rumah dan rifampisin 600 mg/bulan untuk diminum dihadapan petugas.
Pasien yang telah menerima 6 dosis MDT dalam waktu 6 bulan atau sampai dengan
9 bulan dapat segera dinyatakan RFT (Release From Treatment) asalkan tidak
terjadi lesi baru atau lesi sebelumnya yang sudah membesar. Pasien yang
diresepkan RFT dikeluarkan dari daftar pengobatan dan ditempatkan dalam
kelompok observasi. Tipe MB juga menerima pengobatan dapson dan rifampisin
yang sama dengan tipe PB. Perbedaannya yaitu pengobatan MB ditambah dengan
klofazimin (Lamprene) 50 mg/hari untuk dibawa ke rumah dan 300 mg/bulan
diminum di depan petugas. Durasi pengobatannya yaitu 12 bulan dan maksimal
18 bulan (12 dosis rifampisin). Jika ada kontraindikasi klofazimin dapat diberikan
kombinasi rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg selama 24
bulan. Pasien MB yang menerima 12 dosis MDT dalam waktu maksimum 18 bulan
dan menerima sampel BTA negatif (follow-up bulanan) dapat dinyatakan sebagai
pasien RFT
Lama waktu pengobatan kusta dapat membuat timbulnya permasalahan
pada pelaksanaan program Multi Drug Therapy (MDT), yaitu adanya pasien yang
tidak patuh minum obat dan adanya risiko kemunculan resistensi. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik negara kita Nomor 11 Tahun 2019, sejak
tahun 2001 sampai 2019, situasi epidemiologi Kusta di negara kita statis dengan
angka penemuan penderita kusta baru berada pada kisaran 17.000-20.000 kasus
baru per tahunnya dan terjadi peningkatan tren penderita kusta disabilitas tingkat 2,
dengan proporsi di atas 10%. berdasar data Kementerian Kesehatan pertanggal
16 Januari 2022 diketahui bahwa secara nasional tercatat pencapaian indikator
persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu masih
dibawah target yaitu didapatkan 87% dari target indikator nasional 90%
Kepatuhan pengobatan MDT perlu diperhatikan untuk mendukung
penggunaan antibiotik yang efisien dan efektif agar dapat meminimalkan terjadinya
toksisitas obat dan mencegah perkembangan resistensi terhadap pemakaian
antibiotik ini. Pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dapat membuat bakteri kebal
terhadap antibiotik. Oleh karena itu, diperlukan penggunaan antibiotik yang tepat
dan benar.
berdasar hasil pengamatan dan pengambilan data awal yang dilakukan
oleh peneliti di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, saat ini didapatkan masih
kurangnya penelitian yang mencatat persebaran data pasien kusta maupun
karakteristik pasien kusta yang ada di Kota Lhokseumawe, sehingga peneliti
tertarik ingin melakukan penelitian mengenai pendataan karakteristik kasus kusta
di Kota Lhokseumawe dan juga mengenai gambaran pengobatan multi drug therapy
(MDT) pada pasien kusta di Kota Lhokseumawe.
1.2 Rumusan Masalah
Kusta yaitu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. Ketidakpatuhan dalam penggunaan antibiotik kusta dapat membuat
timbulnya permasalahan pada pelaksanaan program multi drug therapy (MDT).
Secara nasional juga didapatkan pencapaian indikator persentase penderita kusta
yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu masih dibawah target yaitu
didapatkan 87% dari target indikator nasional 90%(12). Saat ini juga didapatkan
masih kurangnya penelitian yang mencatat persebaran data pasien kusta maupun
karakteristik pasien kusta yang ada di Kota Lhokseumawe, sehingga peneliti ingin
melakukan penelitian mengenai gambaran penggunaan MDT pada pengobatan
pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe dan pendataan karakteristik kasus
kusta di Kota Lhokseumawe.
1.
1.
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran
pengobatan MDT terhadap pengobatan pasien kusta di Kota Lhokseumawe.
1. Mengetahui karakteristik pasien kusta meliputi sebaran demografi penderita
kusta di Kota Lhokseumawe berdasar tipe kusta, usia, jenis kelamin, dan
pekerjaan.
2. Mengetahui gambaran hasil pengobatan MDT pada pasien kusta di Puskesmas
Kota Lhokseumawe.
1. Manfaat teoritis dari penelitian ini ialah sebagai informasi ilmu pengetahuan
bagi pembaca, khususnya pada tenaga kesehatan dan mahasiswa kesehatan
untuk lebih menambah pengetahuan mengenai gambaran pengobatan MDT
terhadap pasien kusta.
2. Menjadi sarana untuk penelitian lebih lanjut mengenai gambaran penggunaan
antibiotik terhadap pengobatan pasien kusta bagi peneliti dari mahasiswa
bidang kesehatan ataupun bidang lainnya.
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan khususnya bagi tenaga kesehatan
untuk lebih mewaspadai pemberian antibiotik yang sesuai dengan tipe kusta
pasien dan durasi pemberian antibiotik untuk menghindari ketidakpatuhan
dan efek samping yang tidak diinginkan.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber edukasi pada masyarakat penderita
kusta untuk lebih cerdas dalam meminum obat yang sesuai dengan anjuran
yang diberikan demi untuk menciptakan pengobatan yang efektif.
3. Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada
keluarga penderita tentang penyakit kusta. Mereka dapat belajar lebih banyak
tentang gejala, penanganan, dan bagaimana menjaga diri mereka sendiri atau
anggota keluarga yang terkena kusta.
Morbus Hansen (MH) yang disebut lepra atau kusta adalah suatu penyakit menular yang menimbulkan
masalah dalam dunia kesehatan di seluruh dunia. Kusta tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis
dan subtropis serta menyerang semua umur dengan frekuensi tertinggi pada kelompok umur 20 hingga 30
tahun. Tn. AB, laki-laki, berusia 33 tahun datang keluhan mati rasa dan sering kesemutan. Tangan dan kaki
mulai bengkak dan luka-luka. Beberapa kuku kaki terlepas tanpa disadari. Pemerikasaan fisik didapatkan
kesadaran komposmentis. Status generalis pasien didapatkan madarosis pada kedua bulu mata, mata tampak
anemis. Telinga didapatkan infiltrat pada kedua cuping telinga. Status dermatologis pada regio fasialis dan
ekstremitas superior didapatkan makula dan patch hiperpigmentasi multipel batas tegas, bentuk geografika,
ukuran bervariasi. Pemerikasan bakterioskopis sdengan Slit Skin Smear pada cuping telinga ditemukan 1-
10 kuman Basil Tahan Asam (BTA) / 100 lapang pandang (+1). Indeks Bakteriologis didaptkan +1.
Morbus Hansen (MH) yang disebut lepra atau kusta adalah suatu penyakit menular
yang menimbulkan masalah dalam dunia kesehatan di seluruh dunia. Masalah yang
timbul bukan hanya dari segi medis tapi juga mempengaruhi kehidupan sosial penderita
karena adanya stigma yang buruk dari masyarakat. MH adalah infeksi kronis pada manusia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang pertama-tama akan
menyerang saraf tepi, selanjutnya mengenai kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis namun tidak pernah mengenai
sistem saraf pusat. Kusta tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis dan subtropis
serta menyerang semua umur dengan frekuensi tertinggi pada kelompok umur 20 hingga
30 tahun. Morbus hansen memberikan gejala klinis yang berbeda-beda pada setiap
indivindu tergantung dari indivindu tersebut
Pada tahun 1962 Ridley dan Jopling mengklasifikasikan MH menjadi 5 tipe dalam
suatu spektrum klinis yaitu kusta tipe tuberculoid polar (TT), tipe bordeline tuberculoid
(BT), tipe mid borderline (BB), tipe bordeline lepromatosa (BL) dan tipe lepromatosa
polar (LL). WHO sejak 1981 merekomendasikan penggunaan multidrug therapy (MDT)
yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofazimin. Untuk kepentingan terapi WHO
mengklasifikasi penderita kusta menjadi tipe pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB).
Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 atau pasien dengan BTA positif mendapatkan
kombinasi pengobatan yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofazimin (2).
Reaksi kusta merupakan keadaan akut pada perjalanan kronis penyakit yang
memberikan gejala dan tanda inflamasi akut pada lesi kulit pasien kusta. Reaksi kusta ini
dapat muncul sebelum, selama dan sesudah pengobatan kusta yang dapat terjadi pada 30-
50% penderita kusta. Secara umum reaksi kusta dibagi dua yaitu reaksi reversal (RR) atau
reaksi tipe 1 dan Erythema Nodosum Leprosum (ENL) atau reaksi tipe 2 (3).
Identitas Pasien
Nama : Tn. AB
Umur : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Dusun Tanjong Meuleuweuk, Desa Krueng Lingka
Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara
Pasien Berobat : Poliklinik Kulit RSUD Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara
Provinsi Aceh pada tanggal 11 Januari 2022
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis di poliklinik kulit untuk mendapatkan
informasi tentang penyakit dari pasien.
Keluhan Utama
Mati Rasa
2.4 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengelukan mati rasa dan sering kesemutan yang dirasakan sekitar 5 bulan
yang lalu. Awalnya keluhan hanya dirasakan di kedua tangan dan mulai menjalar
kearah lengan bawah, kaki dan tungkai bawah. Pasien tidak merasakan gatal maupun
nyeri pada lokasi bercak. Kemudian pasien mengeluhkan tangan dan kaki mulai
bengkak dan luka-luka. Beberapa kuku kaki pasien juga terlepas tanpa pasien sadari,
pasien mengaku hanya merasakan sedikit nyeri pada lokasi kuku yang terlepas
tersebut. Keluhan tersebut dirasakan semakin berat dan pasien juga merasa lemas dan
nyeri pada kepala sehingga pasien tidak efisien dalam mencari nafkah.
2.5 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa tahun yang lalu
dan tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat alergi obat, atopi,
kencing manis, penyakit kuning, darah tinggi, dan keganasan disangkal.
2.6 Riwayat Penyakit Keluarga/Lingkungan Sekitar
Pasien mempunyai ayah dengan riwayat hipertensi dan mempunyai ibu dengan riwayat
diabetes melitus. Pasien mengatakan tidak terdapat anggota keluarga yang lain
mengalami hal serupa. Sepengetahuan pasien tidak ada tetangga yang pernah
menderita penyakit serupa maupun sakit kulit yang perlu minum obat dalam jangka
waktu lama.
2.7 Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku sudah pernah berobat ke Puskesmas sebanyak dua kali dan di
berikann Paracetamol 500 mg, prednison 5 mg, Chlorphenamine Maleate 4 mg. Pasien
bekerja sebagai kuli. Sehari – hari pasien mengaku makan tidak teratur, tergantung
pendapatan yang didapatkan.
3. HASIL PEMERIKSAAN
3.1 Status Generalikus
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Frekuensi nadi : 92 x/menit
Frekuensi nafas : 21 x/menit
Suhu : 36,7’C
Status gizi : Normal
3.2 Keadaan Spesifik
Mata Status generalis pasien didapatkan kepala normosefali, rambut tidak ditemukan
kelainan, tampak madarosis pada kedua bulu mata, mata tampak anemis, namun tidak
didapatkan tanda ikterik dan lagoftalmos. Pemeriksaan telinga didapatkan infiltrat
pada kedua cuping telinga. Pada hidung dan tenggorokan tidak ditemukan adanya
kelainan.
Status dermatologis pada regio fasialis didapatkan makula dan patch
hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi antara
0,3x0,5cm – 0,5x1cm tersebar diskret dengan distribusi simetris. Regio aurikularis
dextra bagian tragus didapatkan pustul. Tampak infiltrat pada kedua aurikularis
dekstra dan sinistra.
Status dermatologis regio thorakoabdominal anterior dan posterior tidak terdapat
efloresensi. Status dermatologis regio ekstremitas superior didapatkan makula dan
patch hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi
antara 0,3x0,5 cm – 0,5x1 cm tersebar diskret dengan distribusi simetris dan nodul
eritema multipel bentuk bulat, batas tegas, ukuran diameter bervariasi antara 0,3 –
0,5cm tersebar diskret dengan distribu sisimetris, pada palpasi terdapat konsistensi
lunak, nyeri tekan dan hangat pada perabaan, xerotic skin (+). Regio kuku digiti IIV pedis dekstra et sinistra dan manus dekstra et sinistra didapatkan ekskoriasi
multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,1x0,2 – 0,2x0,3cm ditutupi krusta
coklat kehitaman, anonychia (+).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasan bakterioskopis pada tangga 10 Januari 2022 dengan Slit Skin Smear pada
cuping telinga ditemukan 1-10 kuman Basil Tahan Asam (BTA) / 100 lapang pandang
(+1). Indeks Bakteriologis didaptkan +1.
5. DIAGNOSIS
5.1 Diagnosis Kerja
Kusta tipe MB disertai Eritema Nodusum Leprosum
5.2 Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah proses saat dokter membedakan antara dua atau lebih kondisi
medis yang mungkin berada di balik gejala seseorang
6. TATALAKSANA
6.1 Medikamentosa
Penatalaksanaan yang diberikan saat datang pertama kali ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Cut Meutia adalah prednisolon tablet 5 mg 2x1/hari pada pagi dan siang masingmasing sebanyak 4 tablet, omeprazole tablet 20 mg 2x1/hari 30 menit sebelum makan
dan fucilex 2% cream 5gram 2x1/hari pada luka dan permohonan pemberian multidrug
therapy multibasiller (MDT MB) paket pertama pada Puskesmas Simpang Tiga.
6.2 Edukasi
Pasien dan keluarga diberikan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) mengenai
penyakit yang diderita dan penyebabnya, terapi yang diberikan dan rencana pemberian
MDT sebanyak 12 paket, pentingnya kepatuhan minum obat, efek samping obat yang
mungkin terjadi, perjalanan penyakit, komplikasi yang mungkin terjadi, kontrol secara
rutin untuk reaksi kusta serta memeriksa, melindungi dan merawat kedua tangan dan
kakinya untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut.
7. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad fungsionam : Dubia ad bonam hingga malam
Quo Ad sanationam : Dubia ad bonam hingga malam
KOMPLIKASI
Tidak ada
9. PEMBAHASAN
Isi Kusta merupakan infeksi kronis yang terutama menyerang kulit dan sistem saraf
tepi (4). Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang merupakan kuman
berbentuk batang, tahan asam, bersifat obligat intraseluler dan tidak dapat dibiakkan
dalam media buatan. Mycobacterium leprae tidak dapat mensintesis purin dan besi yang
dibutuhkan untuk metabolismenya sehingga kuman ini akan mengambil zat – zat yang
diperlukan tersebut dari host nya. Kuman ini membutuhkan waktu 11-13 hari untuk
membelah diri. Waktu replikasi yang lama ini menyebabkan masa inkubasi yang panjang
dari penyakit kusta (5). Masa inkubasi penyakit kusta antara 5 tahun untuk tipe
pausibasiler dan dapat mencapai hingga 20 tahun untuk tipe multibasiler.
Pada kasus diatas pasien merupakan seorang laki-laki berusia 33 tahun, suku Aceh.
Kusta dapat menginfeksi setiap individu berbagai usia, dengan rentang 3 minggu sampai
lebih dari 70 tahun. Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif,
terutama terlihat pada usia 20 hingga 30 tahun. Mengacu pada Indian Association of
Leprologist (IAL) didapatkan bahwa di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia,
kasus kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan
dengan rasio 2 : 1. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor
lingkungan dan sosial budaya (6).
Anamnesis yang dilakukan dengan pasien didapatkan keluhan utama keluhan mati
rasa dan sering kesemutan yang dirasakan sekitar 5 bulan yang lalu. Awalnya keluhan
hanya dirasakan di kedua tangan dan mulai menjalar kearah lengan bawah, kaki dan
tungkai bawah. Pasien tidak merasakan gatal maupun nyeri pada lokasi bercak. Penyakit
kusta memiliki 2 bentuk spektrum yaitu bentuk tuberculoid dan lepromatous.
Karakteristik klinisnya adalah (7) :
1. Tuberculoid : satu atau beberapa lesi kulit dengan eritema, atau hipopigmentasi, batas
tegas, hipoestetik, sering timbul, aktif, terdapat penyebaran pada tepinya dan bagian
tengah jelas. Pada kelainan ini terdapat respons cell-mediated immune.
2. Lepromatous : awalnya terdapat beberapa lesi, nyeri, makula eritema atau
hipopigmentasi yang akan berkembang jadi papula, nodul, atau plak; pada akhirnya akan menjadi hipoestesia. Infiltrasi kulit pada wajah, tangan, dan kaki billateral dan
simetris dapat terjadi tanpa diawali lesi makulopapular
Pasien juga mengeluhkan tangan dan kaki mulai bengkak dan luka-luka.
Beberapa kuku kaki pasien juga terlepas tanpa pasien sadari, pasien mengaku hanya
merasakan sedikit nyeri pada lokasi kuku yang terlepas tersebut. Hal ini sesuai pada
reaksi tipe 2 lesi berupa nodul merah dan nyeri. Gambaran klinis reaksi kusta sangat
khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri, dan dapat disertai gangguan fungsi saraf.
Setelah lesi menyembuh dapat meninggalkan warna keunguan yang sukar terlihat
pada penderita berkulit gelap (3).
Pasien bekerja sebagai kuli. Sehari – hari pasien mengaku makan tidak teratur,
tergantung pendapatan yang didapatkan. Faktor lingkungan berhubungan dengan
terjadinya kusta, mencakup kemiskinan, lahir atau tinggal pada daerah endemik dan
adanya anggota keluarga yang menderita kusta (8).
Status dermatologis pada regio fasialis didapatkan makula dan patch
hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi antara
0,3x0,5cm – 0,5x1cm tersebar diskret dengan distribusi simetris. Regio aurikularis
dextra bagian tragus didapatkan pustul. Tampak infiltrat pada kedua aurikularis
dekstra dan sinistra. Status dermatologis regio thorakoabdominal anterior dan
posterior tidak terdapat efloresensi. Status dermatologis regio ekstremitas superior
didapatkan makula dan patch hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk
geografika, ukuran bervariasi antara 0,3x0,5 cm – 0,5x1 cm tersebar diskret dengan
distribusi simetris dan nodul eritema multipel bentuk bulat, batas tegas, ukuran
diameter bervariasi antara 0,3 – 0,5 cm tersebar diskret dengan distribu sisimetris,
pada palpasi terdapat konsistensi lunak, nyeri tekan dan hangat pada perabaan,
xerotic skin (+). Regio kuku digiti I-IV pedis dekstra et sinistra dan manus dekstra et
sinistra didapatkan ekskoriasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran
0,1x0,2 – 0,2x0,3cm ditutupi krusta coklat kehitaman, anonychia (+).
Gambaran klinis dari kusta mencerminkan patologi, yang bergantung pada
keseimbangan antara multiplikasi basil dan respon imunitas seluler dari pejamu. Pada
tahun 1962, Ridley dan Jopling mengklasifikasikan kusta berdasarkan klinis, yang
meliputi typical tuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT), borderline borderline
(BB), borderline lepromatous (BL), dan lepromatous leprosy (LL) (9).Pemerikasan bakterioskopis pada tangga 10 Januari 2022 dengan Slit Skin Smear
pada cuping telinga ditemukan 1-10 kuman Basil Tahan Asam (BTA) / 100 lapang
pandang (+1). Indeks Bakteriologis didaptkan +1. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
membantu menegakan diagnosis serta pilihan pengobatan. Menurut Ridley, rentang IB
dimulai dari angka 0 hingga 6+, dengan 0 berarti tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang (LP) (10) : (1) 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP; (2) 2+ bila 1-10 BTA dalam
10 LP; (3) 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP; (4) 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam
1 LP; (5) 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP; (6) 6+ bila > 1000 BTA rata-rata
dalam 1 LP.
Bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
diagnosis pasien ini adalah Kusta tipe MB disertai Eritema Nodusum Leprosum.
Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut WHO, yaitu (6)
: (1) Bercak kulit yang mati rasa. Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri; (2) Penebalan saraf tepi Dapat/tanpa disertai rasa
nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu : (a) Gangguan fungsi sensoris: mati
rasa; (b) Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis; (c) Gangguan fungsi otonom :
kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu; (3) Ditemukan kuman
tahan asam Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Pada
Tn AB didapatkan 3 dari 3 tanda kardinal. Karakteristik kusta tipe multibasilar (MB),
yakni ditemukan lesi kulit dengan jumlah lebih dari lima dan/atau keterlibatan lebih dari
satu percabangan saraf dengan gangguan fungsi neurologis. Reaksi Kusta adalah suatu
episode dalam perjalanan kronis penyakit Kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan
(seluler respons) atau reaksi antigen-antibodi (Humoral respons) yang dapat merugikan.
Reaksi Kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah
pengobatan. Reaksi kusta dibagi menjadi reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2. Reaksi tipe 2
sering disebut sebagai reaksi ENL (eritema nodusum leprosum), karena memberikan
gambaran klinis peradangan pada kulit yaitu timbul nodus eritema, lunak dan nyeri, dan
dapat berulserasi. Biasanya pada lengan dan tungkai. Gejala ini umumnya menghilang
dalam beberapa hari atau beberapa minggu, dan dapat pula diikuti dengan pembentukan
nodus baru, sedangkan nodus lama menjadi keunguan.Tujuan dari tatalaksana kusta yaitu: memutus rantai penularan, mencegah resistensi
obat, memperpendek masa pengobatan, meningkatkan keteraturan berobat dan mencegah
terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacatyang sudah ada sebelum pengobatan.
Penatalaksanaan yang diberikan saat datang pertama kali ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUD Cut Meutia adalah prednison tablet 5 mg 2x1/hari pada pagi dan siang
masing-masing sebanyak 4 tablet, omeprazole tablet 20 mg 2x1/hari 30 menit sebelum
makan dan fucilex 2% cream 5gram 2x1/hari pada luka dan permohonan pemberian
multidrug therapy multibasiller (MDT MB) paket pertama pada Puskesmas Simpang
Tiga. Tahun 1995 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug
Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.
Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, salah
satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti
kusta lain bersifat bakteriostatik. Pasien multibasiler (MB) dewasa pada pengobatan
bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg
(600 mg) b) 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg) c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28 d) 1 tablet lampren 50 mg e) 1 tablet dapson/DDS
100 mg. Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan (10).
Sesuai rekomendasi WHO untuk reaksi kusta harus segera di terapi dengan
antiinflamasi atau obat imunosupresi. Umumnya banyak digunakan kortikosteroid (4).
Pada kasus ini di berikan prednison. Prednison dapat menekan inflamasi oleh beberapa
mekanisme yaitu selsel imunokompeten dan makrofag dalam sirkulasi dikurangi karena
efek kortikosteoid yang dapat menekan respon makrofag dan pembentukan mediator
proinflamasi, seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor (PAF)
dihambat (11). Prednison merupakan golongan glukocorticoid yang dapat menyebabkan
efek samping pada sistem gastrointestinal. Peningkatan yang signifikan resiko terjadinya
peptic ulcer dan perdarahan gastroinstestinal, untuk profilaksis dapat diberikan golongan
proton pump inhibitor seperti omeprazol (4). Fucilex cream diberikan untuk luka-luka
dan mencegah terjadinya infeksi sekunder. Fucilex cream berisi Fusidic acid yang bekerja
secara bakteriostatik dan bakterisidal pada dosis tinggi. Fusidic acid menghambat sintesis
protein bakteri (pada proses translokasi) dengan berikatan dengan translokasi (protein
yang dibutuhkan saat proses translokasi bakteri di ribosom) yang dikenal juga dengan
faktor elongasi G (EF-G). Hal ini akan menghambat proses translokasi dari situs P ke situs A, sehingga protein yang diperlukan bakteri tidak terbentuk, dan akhirnya bakteri
mengalami lisis.
Selain terapi farmakologis dapat juga di berikan terapi non farmakologi yaitu
tatalaksana kedokteran fisik dan rehabilitasi, agar penderita kusta dapat kembali ke
masyarakat sebagai manusia yang produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi
medik berupa terapi fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan prosthesis, perawatan
luka, supporting psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai (10).
Telah dilaporkan Tn. AB, laki-laki, berusia 33 tahun, Kecamatan Langkahan,
Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Nomor RM 002161, datang bersama istrinya ke poliklinik
kulit dan kelamin RSUD Cut Meutia pada hari Selasa, 11 Januari 2022. Pasien membawa
rujukan dari Puskesmas Simpang Tiga dengan diagnosis suspek Leprosy (Hansen
Desease).
Anamnesis yang dilakukan dengan pasien didapatkan keluhan utama keluhan mati
rasa dan sering kesemutan yang dirasakan sekitar 5 bulan yang lalu. Diagnosis Kusta tipe
MB disertai Eritema Nodusum Leprosum dan cacat kusta tingkat 1 ditegakkan
berdasrakan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan yang diberikan saat datang pertama kali ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUD Cut Meutia adalah prednisolon tablet 5 mg 2x1/hari pada pagi dan siang
masing-masing sebanyak 4 tablet, omeprazole tablet 20 mg 2x1/hari 30 menit sebelum
makan dan fucilex 2% cream 5 gram 2x1/hari pada luka dan permohonan pemberian
multidrug therapy multibasiller (MDT MB) paket pertama pada Puskesmas Simpang
Tiga. Prognosis pada pasien quo ad vitam yaitu bonam, quo ad functionam yaitu dubia ad
bonam hingga dubia ad malam dan quo ad sanationam yaitu dubia ad bonam hingga dubia
ad malam.
Kusta adalah penyakit menular karena bakteri Mycobacterium leprae dan tetap endemik secara global seperti di
negara Brasil, India dan Indonesia juga menyumbang sekitar 80% dari kasus baru yang terdaftar secara global. Di
dunia negara indonesia adalah negara tertinggi ketiga setelah negara lain yaitu negara India dan Brazil yang
didapatkan kasus baru penderita lepra pada tahun 2017 adalah 15.910 atau penemuan kasus lepra baru yaitu 6,07
per 100.000 penduduk). beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit Kusta yaitu faktor manusia seperti jenis
kelamin, usia, etnik dan suku serta faktor sosial ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
karakteristik penderita Lepra (Kusta) yang menjalani pengobatan rawat jalan di puskesmas Tamalate Makassar
periode 2018–2021. Penelitian ini adalah penelitian dengan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan crosssectional dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medik pasien lepra (kusta) dan pengambilannya dengan
cara teknik total sampling. Ditemukan distribusi penderita lepra atau kusta yang menjalani perawatan rawat jalan
di Puskesmas Tamalate Makassar periode 2018-2021 berdasarkan klasifikasinya terbanyak pada kusta tipe
Multibasiller yaitu 33 orang (78%), berdasarkan usia didapatkan terbanyak pada kelompok usia 26-35 tahun
(28,6%), berdasarkan jenis kelamin didapatkan lebih banyak pada kelompok laki-laki sebanyak 34 orang (81%),
dan berdasarkan pekerjaan lebih banyak pada pasien yang bekerja sebagai buru harian yaitu 16 orang (38,1%).
Kesimpulan Karakteristik penderita Lepra (Kusta) yang menjalani pengobatan rawat jalan di puskesmas Tamalate
Makassar periode 2018–2021 yaitu terbanyak pada kusta tipe Multibasiller, kelompok usia 26-35 tahun, berjenis
kelamin laki-laki dan pasien yang bekerja sebagai buruh harian.
Kusta yaitu penyakit menular karena bakteri Mycobacterium leprae dan tetap endemik secara
global seperti di negara Brasil, India dan Indonesia juga menyumbang sekitar 80% dari kasus baru yang
terdaftar secara global. Penyakit kusta mempengaruhi kulit dan saraf perifer dari individu yang terinfeksi
(1). Penyakit ini dominan menyerang kulit dan saraf perifer, mengakibatkan neuropati serta konsekuensi
jangka panjang, termasuk kelainan bentuk dan kecacatan. Kalau dulunya umum di daerah beriklim
sedang (misalnya Eropa), sekarang kusta terutama terbatas pada daerah tropis dan subtropic (2).
Di dunia negara indonesia adalah negara tertinggi ketiga setelah negara lain yaitu negara India
dan Brazil yang didapatkan kasus baru penderita lepra pada tahun 2017 adalah 15.910 atau penemuan
kasus lepra baru yaitu 6,07 per 100.000 penduduk). beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit Kusta
yaitu faktor manusia seperti jenis kelamin, usia, etnik dan suku serta faktor sosial ekonomi (3).
Kusta dapat terjadi pada semua usia yaitu dari usia bayi hingga usia lanjut (yaitu sekitar usia 3
minggu hingga lebih dari 70). Kusta ditemukan lebih banyak pada pasien muda atau produktif. Kusta
lebih dominan pada pasien jenis kelamin laki-laki dibandingkan jenis kelamin perempuan. Pada
beberapa negara di dunia kecuali beberapa negara di bagian Afrika mendapatkan hasil jenis kelamin
laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan. Di Indonesia, pria dan wanita relatif seimbang (3).
Pada tahun 2015 Curnella melakukan penelitian hubungan pekerjaan terhadap kejadian kusta atau
lepra di kabupaten Blora didapatkan hasil bahwa buruh dan petani lebih banyak dibandingkan pekerjaan
lainnya seperti wirasuasta, pedagang dan tidak bekerja (4).
WHO mengklasifikasikan penyakit kusta menjadi 2 yaitu kusta Multibasiler (MB) dan kusta
Pausibasiler (PB). Ini berdasarkan gejala klinis serta hasil penunjang yaitu BTA dengan pemeriksaan
kerokan jaringan kulit (5).
Diagnosis dini dan pengobatan yang cepat dari seluruh kasus kusta baru yang diobati dengan
multidrug (MDT) merupakan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih jadi kunci
strategi dalam pengendalian kusta dan selanjutnya mencegah rusaknya saraf dan cacat. Diagnosis dini
pada pasien merupakan peluang yang tinggi untuk meurunkan bahkan menghentikan penularan lebih
lanjut. Meskipun demikian, banyak laporan terbaru di dunia memperlihatkan masih banyak pasien yang
terlambat didiagnosis (5,6).
METODE
Metode penelitian pada penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif yang menggunakan
pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tamalate Makassar. Waktu
penelitian dilaksanakan pada Desember 2021 selama 1 minggu. Sampel pada penelitian ini yaitu seluruh
pasien yang menderita Lepra (kusta) dan menjalani pengobatan rawat jalan di Puskesmas Tamalate
Makassar pada tahun 2018-2021 yang diperoleh dengan cara total sampling menggunakan data rekam
medik pasien yang didiagnosa oleh dokter Kusta (lepra) yang menjalani pengobatan rawat jalan. Data
dikumpulkan dari pengamatan kemudian diedit dan dimasukkan ke file komputer. diolah, serta data
disajikan dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows v.23.00.
HASIL
Data hasil yang didapatkan pada pasien penderita Lepra (kusta) yang menjalani pengobatan rawat
jalan di Puskesmas Tamalate Makassar periode 2018-2021 akan disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan tipe kusta yang terbanyak adalah
kelompok kusta tipe Multibasiller dengan jumlah 33 kasus (78,6%)
Tabel 2. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan usia pasien kusta yang terbanyak
adalah kelompok usia 26-35 tahun dengan jumlah 12 kasus (28,6%).
Tabel 3. Karakteristik lepra pada pasien yang menjalani perawatan rawat jalan
di Puskesmas Tamalate Makassar periode 2018-2021 berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 3. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan usia pasien yang terbanyak adalah
kelompok usia 26-35 tahun dengan jumlah 34 kasus (81 %).
Tabel 4. Karakteristik lepra pada pasien yang menjalani perawatan rawat jalan di Puskesmas Tamalate
Tabel 4. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan Pekerjaan pasien yang terbanyak
adalah kelompok pasien yang bekerja sebagai buruh harian dengan jumlah 16 kasus (38,1%)
PEMBAHASAN
Klasifikasi Kusta
Pada table 1. tersebut didapatkan perbedaan jumlah penderita kusta berdasarkan tipenya.
Klasifikasi kusta menurut WHO membaginya menjadi 2 yaitu kusta paucibasiler atau multibaciler.
Kusta pausibasiler adalah jenis penyakit yang lebih ringan, yang didefinisikan oleh lesi hipopigmentasi,
pucat, dan kemerahan dengan adanya 1 hingga 5 lesi kulit. Sedangkan kusta multibaciler ditandai adanya
> 5 lesi pada kulit dan juga dapat ditemukan nodul, plak, dan infiltrasi kulit yang menyebar (7).
Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Prakoeswa pada tahun 2022
mendapatkan hasil Jenis kusta tipe Multibasiler yaitu yang lebih dominan di negara Indonesia dengan
persentasi 86,2% (7). Keadaan ini sejalan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muchtar yang
mendapatkan hasil rasio tipe Multibacillary (MB) dan tipe Paucibacillary (PB) yaitu 3:1(8).
Bakterioskopic diperiksa agar dapat membantu dalam penegakan diagnose pasien serta membantu dalam
observasi dalam tatalaksana pasien (9)(10).
Data dari WHO mengkonfirmasi hal tersebut dalam global leprosy pada tahun 2018, khasus
Multibaciller lebih dominan sebanyak 14.543 pasien (9). Kusta dengan jenis MB didapatkan lebih tinggi
angka kejadiannya jika dibandingkan dengan jenis PB, karena tipe MB merupakan tipe kusta yang lebih
mudah menular dibandingkan tipe PB ini disebabkan oleh respons imun seluler terhadap M. leprae yang
lemah, sehingga jumlah bakteri pada lesi lebih banyak yang menjadi sumber infeksi. tipe MB mudah
menular melalui kontak kulit maupun inhalasi (11). Tipe MB terjadi pada individu dengan sistem
imunitas tubuh yang rendah, biasanya pada individu usia tua (12).
Tingkat prevelensi pasien denganjenis multibaciler lebih tinggi dari pada jenis yang paucibasiler.
Hal ini dapat disebabkan karena berbagai factor seperti keturunan, tingginya virulensi dari kuman,
pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah serta tingkat kesadaran dan pengetahuan dari masyarakat
juga berpengaruh. Selain itu kecepatan penderita untuk menjalani pengobatan, jarak dari fasilitas
Kesehatan dan juga keadaan social-economy serta keteraturan lama mengkomsumsi obat. seseorang
untuk mencari pengobatan, jarak dan ketersediaan akses serta keteraturan dalam meminum obatnya (13).
Diantara semua factortersebut dikatakan bahwa faktor paling utama yang menjadi penyebab yaitu
system imunitas tubuh penderita atau dengan kata lain respon imun seluler seseorang terhadap kuman
tersebut. Apabila seseorang memiliki respon imunitas celuler yang baik maka orang itu jika terinfeksi
M. Lepra hanya muncul manifestasi dalam bentuk paucibasiler dan bahkan bisa sembuh dengan
sendirinya. Namun, apabila seseorang memiliki respon imunitas celuler yang rendah atau buruh makan
pasien terseut akan mengalami lepra dengan jenis multibaciler (13).
Usia
Dari penelitian ini hasil yang didapatkan berdasarkan umur yaitu lebih dominan pada umur 26-
35 tahun sebanyak 28.6% dan dari penelitian ini terlihat gambaran pasien di Puskesmas Tamalate
Makasar lebih dominan pada usia dewasa dibandingkan dengan usia anak anak.
Hasil ini sama dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Prakoeswa pada tahun 2022 dengan
hasil mayoritas subjek adalah> 14tahun (95,3%), dan hanya 4,7% yang berusia <14 tahun. Begitupun
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Nabila pada tahun 2010 yang mendapatkan hasil penderita
usia dewasa lebih banyak daripada penderita usia anak-anak (7).
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Nabila pada tahun 2010
penderita dewasa lebih dominan dari pada penderita kusta kelompok usia anak-anak. penyakit lepra bisa
menyerang semua kelompok umur bisa dari pasien bayi hingga yang usianya telah mencapai usia lanjut.
Tapi yang terlihat dilapangan dan praktek sehari hari terbanyak ditemukan pada pasien yang umurnya
masih muda dan umur produktif. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasien orang dengan umur yang
produktif saat itu adalah fase dimana pergaulan dan aktivitas yang dilakukan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan umur yang non produktif. Maka dari itu usia produktif lebih rentang tertular
penyakit infeksi termasuk morbus hensen ini (10).
Penyakit bisa terjadi pada pasien yang umurnya memasuki produktif kemungkinan alasannya
adalah pada usia ini ruang gerak dan kegiatan itu meluas dan memiliki aktifitas yang lebih padat inilah
yang bisa menyebabkan system imunitas tubuh bisa mengalami penurunan dan ini akan menjadi alas an
mengapa pasien mudah terinfeksi. Alasan lain yaitu, insiden penyakit morbus hensen ini sulit ditemukan
pada usia dini dan penyakit ini memiliki masa inkubasi sangat lama maka dari itu kebanyakan pasien
kusta baru didiagnosis saat umurnya antara 15 tahun sampai umur 60 tahun. Pada usia produktif kusta
memiliki efek yang bisa mempengatruhi kondisi dari social-econimy pasien. Banyak diantara mereka
yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan atau ditolak oleh masyarakat sekitar. Inilah yang menyebabkan
pada akhirnya pasien ini tidak mampu bertahan hidup secara mandiri dan mereka harus bergantung pada
anggota keluarga mereka (10).
Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan pasien dengan jenis kelamin laki- laki
lebih dominan dari pada perempuan. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Prakoeswa
pada tahun 2022 dengan hasil jenis kelamin laki-laki juga lebih dominan dari pada perempuan
Begitupun juga penelitian yang dilakukan oleh Saragi pada tahun 2012 yang mendapatkan hasil yang
sama
Adanya yang lebih cenderung pada prevalensi kemunginan disebabkan karena laki-laki lebih
tidak memperhatikan secara detail kesehatannya disbanding dengan perempuan yang begitu sangat
memperdulikan dan sangat proaktif dalam memperhatikan kesehatan apalagi terkhusus pada kesehatan
kulitnya. Berdasarkan kontak dengan masyarakat Wanita lebih jarang dan dari kegiatan sehati-hari
berdasarkan pakaian Wanita lebih tertutup sehingga ini yang menjadi pencegahan terpaparnya penyakit
infeksi maka dari itu lebih terproteksi daibandingkan dengan laki-laki
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Depkes RI tahun 2014 menyebutkan laki-laki dominan
terjan penyakit infeksi dibanding wanita. Hasil ini sesuai dengan data dari kementrian Kesehatan RI
tahun 2018 yang menjelaskan bahwa jumlah pasien baru lepra di Indonesia adalah jenis kelamin lakilaki yaitu sebanyak 9.8722 orang sedangkan untuk pasien dengan jenis kelamin perempuan didapatkan
6,048
Pada Wanita kasus morbus hensen ini rendah bisa juga dipengaruhi oleh factor lingkungan, factor
biologi dan factor gaya hidupnya. Adanya pserbedaan prilaku dertaan gaya hidup dari masing- masing
juga dapat menjadi pengaruh yang berpotensi. Diketahui pada wanita sudah terbiasa dengan perlakuan
dalam merawat duru serta kenjaga Kesehatan dirinya. Pasien laki-laki lebih dominan mengalami
penyakit infeksi termasuk kusta karena pada umumnya aktivitas yang mereka lakukan lebih banyak di
luar rumah dibandingkan didalam rumah hal ini berbeda dengan wanita yang aktivitasnya kebanyakan
berat dan didalam rumah alasan ini yang bisa menjadi penyebab mengapa laki-laki ini lebih mudah
terjangkit suatu penyakit infeksi. Pada wanita di kehiduoan sehari-hari jarang bekerja atau melakukan
aktivitas di luar rumah sehingga resiko terpapar suatu peyakit kusta pun berpeluang kecil jika ingin
dibandingan dengan mereka yang berjenis kelamin laki-laki (14).Jenis pekerjaan
Berdasarkan jenis pekerjaan pada penelitian ini didapatkan penderita kusta yang lebih dominan
adalah buruh harian dan paling rendah adalah PNS. Hasil dari penelitian ini sedikit berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Porong pada tahun 2020 yang mendapatkan hasil bahwa kelompok
pekerjaan terbanyak yaitu petani, begitupun juga penelitian yang dilakukan oleh singh pada tahun 2019
yang mendapatkan hasil diantara jenis pekerjaan dari penderita kusta yang terkonfirmasi, petani
memiliki angka tertinggi
Berdasarkan hasil penelitian, distribusi jenis pekerjaan dengan penelitian sebelumnya memiliki
hasil yang berdeda. Perbedaan ini bisa terjadi karena factor geografi dan tingkat kemajuan serta
pengembangan dari kota tempat dilakukannya penelitian. Wilayah kerja Puskesmas Tamalate tempat
dilakukannya penelitian ini terletak di Kota Makassar dimana pada daerah ini lahan pertanian yang
kurang. Hasil penelitian Ini juga dihubungakan dengan kenyataan kusta lebih dominan pada penderita
dengan keadaan social-economi rendah. Keadaan social-economy yang rendah juga termasuk factor
yang berpengaruh terhadap prevalensi kustha. Berdasarkan penelitian ini, jenis pekerjaan yang dominan
yaitu pasien yang bekerja sebagai buruh harian yaitu sebanyak 16 pasien (38.1%)
Jenis pekerjaan juga merupakan salah satu faktor risiko kejadian penyakit kusta. Orang-rang yang
bekerja sebagai petani maupun buruh memiliki risiko tiga setengah kali terjangkit penyakit kusta jika
dibanding dengan orang yang memiliki pekerjaan selain petani maupun buruh. Orang-orang yang
memiliki pekerjaan sebagai pekerja kasar yang harus mengeluarkan tenaga yang banyak dan pasien yang
pekerjaannya sering mengalami kelelahan fisik juga diduga menjadi lebih mudah terkena penyakit kusta
Penelitian oleh Apriliana pada tahun 2019 yang menyatakan kalau ada hubungan antara jenis
pekerjaan dengan prevalensi kusta di lokasi penelitiannya yaitu Puskesmas Wonoasri Kab Madiun. Pada
hasil penelitiannya dijelaskan bahwa responden yang memiliki pekerjannya berisiko (petani, buruh tani
dan sebagainya) punya risiko 4,5711 kali lebih berisiko terkena kusta daripada responden yang memiliki
pekerjaan tidak berisiko. Pernyataan ini yang sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini
yaitu buruh harian yang masuk dalam kelompok pekerjaan yang berisiko memiliki jumlah tertinggi jika
dibandingkan dengan kelompok jenis pekerjaan yang tidak beresiko seperti kelompok PNS dan
kelompok yang bekerja sebagai pegawai swasta (15).
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pasien lepra yang
menjalani perawatan rawat jalan di Puskesmas Tamalate Makassar selama periode 2018-2021
menunjukkan hasil terbanyak pada kusta tipe Multibasiller, kelompok usia 26-35 tahun, jenis kelamin
laki-laki, dan pekerjaan sebagai buruh harian. Meskipun begitu, penelitian ini masih memerlukan
penambahan informasi lebih lanjut. Oleh karena itu, disarankan agar penelitian selanjutnya dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama guna memperoleh gambaran karakteristik pasien lepra yang lebih
komprehensif. Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan penambahan informasi tentang lama
pengobatan, potensi kecacatan, dan faktor-faktor lain yang relevan dalam karakteristik pasien lepra.