Kusta m

 



Kusta adalah penyakit infeksi kronik dipicu  oleh kuman Mycobacterium leprae. Jumlah 

angka kejadian kusta di Kabupaten Brebes pada Tahun 2018 di Kecamatan Larangan sebanyak 58 

kasus tertinggi pertama, sedangkan Kecamatan Wanasari 41 kasus tertinggi kedua padahal kedua 

wilayah memiliki karakteristik wilayah berbeda. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui 

factor risiko yang berhubungan degan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Larangan dan 

Puksesmas Wanasari tahun 2020. Penelitian ini survey analitik dengan pendekatan kasus kontrol. 

Besar sampel adalah 120 sampel yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Hasil 

penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan (p= 0,002), tingkat 

pengetahuan (p= 0,0020, perosnal hygiene (p=0,001), peran petugas kesehatan (p=0,016), suhu 

rumah (p=0,001), luas ventilasi ruangan (p=0,002), kepadatan hunian (p=0,020), dan jenis lantai 

(p=0,007). Jenis pekerjaan, lama kontak, tingkat pengetahuan, personal hygiene, peran petugas 

kesehatan, intensitas pencahayaan rumah, suhu rumah, luas ventilasi ruangan, kepadatan hunian 

dan jenis lantai merupakan faktor risiko kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Larangan dan 

Puskesmas Wanasari. Saran dari penelitian ini adalah penempatan dan pemerataan tenaga 

kesehatan, perlu ditingkatkannya sosialisasi tentang kusta dan rumah sehat serta melakukan 

koordinasi lintas sektoral.

Kusta adalah penyakit infeksi kronik 

yang dipicu  oleh kuman Mycobacterium 

leprae. Terutama 

menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat

menyerang kulit dan jaringan tubuh lainnya, 

seperti mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, 

sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan 

testis, kecuali susunan saraf pusat. Penyakit ini 

merupakan penyakit infeksius dengan waktu 

inkubasi yang panjang sampai bertahun-tahun. 

Timbulnya Kusta merupakan suatu interaksi 

antara berbagai faktor penyebab yaitu pejamu 

(host), kuman (agent), dan lingkungan 

(environment), melalui suatu proses yang 

dikenal sebagai rantai penularan 

Faktor utama kasus kusta tentu saja 

sumber penular penyakitnya, yaitu kuman 

Mycobacterium leprae. Namun demikian, 

kuman ini memiliki ruang lingkup yang tidak 

terpisah dari faktor-faktor lain. Faktor risiko lain 

seperti etnik atau suku, faktor sosial ekonomi, 

jenis kelamin, dan faktor menurut umur. 

Menurut catatan sebagain besar negara di dunia 

kecuali negara di Afrika menunjukkan bahwa 

laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan 

dengan wanita. Sedangkan dari segi umur kusta 

dapat terjadi pada semua umur antara bayi 

sampai usia lanjut. Namun yang terbanyak 

adalah pada umur muda dan produktif . serta faktor risiko lingkungan, seperti 

kondisi geografis, demografis, dan iklim 

memiliki andil yang cukup besar. Kualitas 

lingkungan yang buruk seperti sumber air yang 

tercemar, jenis lantai yang tidak memenuhi 

syarat, suhu rumah yang berisiko kusta dan 

penduduk yang padat merupakan lingkungan 

yang sangat baik untuk perkembangbiakan dan 

penularan penyakit kusta 

Selain faktor lingkungan, faktor 

pelayanan kesehatan memiliki peran yang 

penting dalam penanganan kasus kusta, 

termasuk jarak ke pelayanan kesehatan serta 

peran petugas kesehatan. Jarak ke pelayanan 

kesehatan berpengaruh terhadap kemampuan 

seseorang untuk melakukan pengobatan atau 

pelayanan kesehatan lainnya. Tenaga kesehatan 

sangat berpengaruh dalam pengendalian 

penyakit kusta  Peran 

petugas kesehatan yang baik dapat menekan 

angka kejadian kusta, menentukan keberhasilan 

pengobatan penderita kusta dan dapat 

memberikan motivasi pada penderita untuk 

melakukan pemeriksaan lanjut ke pelayanan 

kesehatan sehingga meminimalisir penyebaran 

penyakit kusta. Berdasrkan studi pendahuluan 

untuk sistem surveilans kusta di Kabupaten 

Brebes masih sangat sederhana untuk 

pengumpulan data hanya dilakukan oleh 

puskesmas, petugas belum menyadari 

pentingnya data yang akurat dan lengkap untuk 

pengambilan keputusan dan kurangnya 

ketepatan waktu dalam pengumpulan informasi, 

sudah melakukan penyuluhan kusta namun  

dalam praktiknya kurang menjangkau seluruh 

warga .

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, 

dengan sebagian besar kasus terdapa di daerah 

tropis dan subtropis, namun  dengan adanya 

perpindahan penduduk maka penyakit ini bisa 

menyerang dimana saja. Data yang dirilis oleh 

World Health Organization (WHO) 

menyebutkan bahwa pada tahun 2015 kusta 

telah menyerang sekitar 210.758 jiwa, dan Asia 

tenggara menempati posisi pertama (156.118) 

diikuti regional Amerika (28.806) dan sisanya 

berada di regional lainnya. negara kita  menjadi 

negara dengan jumlah kasus terbanyak ke tiga 

(17.202) setelah India (127.326) dan Brazil 

(26.395) dan merupakan salah satu negara yang 

memiliki risiko cukup besar dengan penykit ini 

Meskipun secara nasional negara kita  

sudah mencapai eliminasi kusta pada bulan Juni 

2000, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 

penduduk pada tahun 2000 namun sampai saat 

ini jumlah penderita kusta di negara kita  masih 

cukup tinggi. Jumlah kasus kusta di negara kita  

pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 19.033 

kasus (0,72/10.000 penduduk). Adapun jumlah 

kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di 

provinsi dengan jumlah penduduk yang besar, 

yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan JawaTengah .

Di Kabupaten Brebes, berdasarkan data 

dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 

kabupaten ini menempati peringkat kedua 

dalam hal kasus kusta terbanyak di Jawa 

Tengah dengan prevalensi kasus kusta sebesar 

23,4/100.000 penduduk (Dinkes Provinsi Jawa 

Tengah, 2019). Selain itu, jumlah penemuan 

kasus kusta di Kabupaten Brebes dari tahun 

2016 sampai dengan tahun 2018 cenderung 

mengalami peningkatan, mulai dari 230 kasus, 

323 kasus, kemudian menjadi 422 kasus. 

Kecamatan Wanasari dan Kecamatan Larangan 

merupakan kecamatan dengan kasus kusta 

tertinggi pertama dan kedua pada tahun 2018 

(Dinkes Kabupaten Brebes, 2019).

Berdasarkan data penemuan kasus kusta 

pada tahun 2017 di Kecamatan Larangan 

sebanyak 31 kasus tertinggi keempat dan pada 

tahun 2018 mengalami peningkatan menjadi 58 

kasus tertinggi pertama. Kecamatan Larangan 

merupakan kecamatan dengan jarak tempuh (29 

km) dari ibukota Kabupaten Brebes. Kepadatan 

penduduk di Kecamatan Larangan pada tahun 

2018 sebesar 876 jiwa/km2 (BPS Kabupaten 

Brebes, 2020). Sedangkan berdasarkan data 

penemuan kasus kusta pada tahun 2017 di 

Kecamatan Wanasari memiliki jumlah kasus 

sebanyak 31 tertinggi kelima, dan pada tahun 

2018 tertinggi kedua yaitu sebanyak 41 kasus 

(Dinkes Kabupaten Brebes, 2019). Kecamatan 

Wanasari merupakan kecamatan dengan jarak 

tempuh (4 km) dari ibukota Kabupaten Brebes. 

Kepadatan penduduk di Kecamatan Wanasari 

pada tahun 2018 sebesar 2.022 jiwa/km2. 

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian 

sebelumnya adalah belum pernah dilakukan 

penelitian tentang variabel jarak rumah ke 

pelayanan kesehatan dan peran tenaga 

kesehatan dengan kejadian kusta. Tujuan dari 

penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor 

risiko yang berhubungan dengan kejadain kusta 

di wilayah kerja Puskesmas Larangan dan 

Puskesmas Wanasari Kabupaten Brebes tahun 

2020. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti 

kira perlu adanya penelitian lebih lanjut dan 

lebih mendalam terkait dengan faktor risiko apa 

saja yang berhubungan dengan kejadian kusta di 

wilayah kerja Puskesmas Larangan dan 

Puskesmas Wanasari di Kabupaten Brebes.


Jenis penelitian yang digunakan adalah 

survey analitik, dengan rancangan penelitian 

kasus kontrol untuk mengetahui faktor risiko 

yang berhubungan dengan kejadaian kusta. 

Pada penelitian ini fokus penelitiannya adalah 

jenis pekerjaan, status ekonomi, personal 

hygiene, tingkat pengetahuan, tingkat 

pendidikan, jarak tempuh ke pelayanan 

kesehatan, peran petugas kesehatan, kepadatan 

hunian, luas ventilasi rumah, suhu kamar, dan 

jenis lantai. Penelitian dilakukan pada bulan 

Januari-Maret 2020 di wilayah kerja Puskesmas 

Larangan dan Puskesmas Wanasari Kabupaten 

Brebes.

Populasi kasus dalam penelitian ini 

adalah jumlah seluruh penderita kusta di 

wilayah kerja Puskesmas Wanasari dan 

Puskesmas Larangan pada tahun 2018 dan 2019 

yang berjumlah 142 orang. Populasi kontrol 

dalam penelitian ini adalah bukan penderita 

kusta yang tercatat dalam rekam medik 

Puskesmas Larangan dan Wanasari Kabupaten 

Brebes Tahun 2019. Teknik pengambilan 

sampel yang digunakan yaitu teknik purposive 

sampling. Jumlah sampel pada penelitian ini 60 

kasus dan 60 kontrol, dengan total secara 

keseluruhan adalah 120 sampel.

Sumber data penelitian terdiri dari data 

primer dan data sekunder. data primer 

didapatkan melalui wawancara secara langsung 

dan mendalam serta observasi dengan 

responden/sampel penelitian, sedangkan data 

sekunder data laporan kasus kusta Dinas 

Kesehatan Kabupaten Brebes tahun 2019, 

rekam medis penderita kusta yang ada di 

Puskesmas Larangan dan Wanasari Kabupaten 

Brebes. Teknik pengumpulan data melalui 

empat cara, observasi, wawancara dengan 

menggunakan kuisioner, pengukuran langsung 

kondisi rumah, dan dokumentasi berupa 

laporan catatan, berkas, atau bahan-bahan 

tertulis lainnya. Teknik analisis data pada 

penelitian ini diolah secara statistik dengan menggunakan program SPSS Windows 16.0 Uji 

statistik yang digunakan dalam penelitian ini 

adalah uji chi-square dan uji Fisher.


Menurut hasil penelitian di wilayah kerja 

Puskesmas Larangan sebagian besar mata 

pencaharian penduduknya adalah sebagai 

petani atau buruh tani. warga  Larangan 

adalah daerah yang penduduknya sebagain 

besar bermata pencaharian sebagai petani, ini 

mencirikan bahwa Kecamatan Larangan 

merupakan daerah agraris yaitu daerah 

pertanian. Diketahui bahwa dalam warga  

agraris di mana kehidupannya masih tergantung 

pada hasil produksi tanah sebagai sarana 

produksi pokok dan memiliki corak yang 

homogen dalam mata pencaharian yaitu sebagai 

petani. Wilayah dengan luas sawah lebih 

banyak biasanya diikuti dengan mata 

pencaharian penduduk di sekor pertanian, hal 

ini didukung juga dengan kondisi geografis 

berupa sawah yang luas sesuai dengan data 

BPS Kabupaten Brebes Tahun 2019 sejumlah 

2285,90 Ha. Pekerjaan dengan beban kerja yang 

berat sehingga mengeluarkan tenaga berlebihan 

yang selanjutnya dapat berdampak pada 

penurunan stamina berakibat pada perubahan 

sistem imun memicu pada terjadinya ENL 

(Entrhema Nodosum Leprosum) sehigga mudah 

terkena virus/bakteri 

Selanjutnya seperti yang kita ketahui pekerjaan 

sebagai buruh/tani seringkali kontak dengan 

tanah dan juga lingkungan yang kotor, padahal 

tanah dan lingkungan yang kotor merupakan 

tempat yang baik untuk perkembangbaikan 

bakteri. Hal ini dibenarkan penelitian yang 

menyatakan bahwa bakteri kusta atau dikenal 

mycobacterium leprae dapat hidup diluar tubuh 

manusia, yaitu pada tanah hingga 46 hari 

(

Berdasarkan Tabel 1, kelompok kasus 

terdapat 31 orang (51,7%) yang berjenis kelamin 

laki-laki dan 29 orang (48,3%) yang berjenis 

kelamin perempuan, sedangkan pada kelompok 

kontrol terdapat 24 orang (40,0%) yang berjenis 

kelamin laki-laki dan 36 orang (60,0%) yang 

berjenis kelamin perempuan. Kelompok kasus 

terdapat 8 orang (13,3%) yang tidak sekolah, 

tamat SD sebanyak 28 orang (46,7%), 

SMP/sederajat sebanyak 7 orang (11,7%) dan 

yang SMA/sederajat sebanyak 17 orang 

(28,3%). sedangakan pada responden kontrol 

terdapat 11 orang (8,3%) yang tidak sekolah, 

tamat SD sebanyak 20 orang (33,3%), 

SMP/sederajat sebanyak 5 orang (8,3%), 

SMA/sederajat sebanyak 19 orang (31,7%) dan 

perguruan tinggi sebanyak 5 orang (8,3). 

Kelompok kasus didapatkan paling banyak 

bekerja sebagai petani/buruh tani sebanyak 30 

orang (50,0%) dan pada kelompok kontrol 

paling banyak bekerja sebagai petani/buruh tani 

sebnayak 23 orang (38,3%).

Berdasarkan jenis pekerjaan hasil 

menunjukkan bahwa jenis pekerjaan ada 

hubungan dengan kejadian kusta di wilayah 

kerja Puskesmas Larangan dan Puskesmas 

Wanasari. Hal ini didasarkan pada hasil uji Chi￾square diperoleh bahwa nilai p (0.002) < α (0,05) 

maka Ho ditolak, berarti dapat diketahui ada 

hubungan antara jenis pekerjaan dengan 

kejadian Kusta. Nilai odd ratio (OR) 3,127 

dengan 95% CI 1,523-6,795. Hal ini 

menunjukkan bahwa responden dengan jenis 

pekerjaan berisiko memiliki risiko 3,127 kali 

lebih besar terkena penyakit kusta bila 

dibandingkan dengan responden yang memiliki pekerjaan tidak berisiko. Hasil Penelitian ini 

sesuai dengan penelitian yang dilakuan oleh 

Aprliana (2019) yang menyatakan bahwa ada 

hubungan antara jenis pekerjaan dengan 

kejadian kusta berdasarkan hasil uji chi-square 

dengan p value 0,016<0,005 di wilayah kerja 

Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi 

responden yang memiliki pekerjannya berisiko 

(petani, buruh tani dll) memiliki risiko 4,571 kali 

lebih besar terkena kusta dibandingkan dengan 

responden yang pekerjaanya tidak berisiko 

Hasil uji Chi-square untuk variabel tingkat 

pendidikan diperoleh bahwa nilai p p (0.087) > 

α (0,05) maka H0 diterima, berarti dapat 

diketahui tidak ada hubungan antara tingkat 

pendidikan dengan kejadian Kusta. Tingkat 

pendidikan akan berpengaruh pada 

ketidakampuan dalam merubah pola pikir 

seseorang dalam berorientasi pada masa depan, 

dengan rendahnya tingkat pendidikan maka 

warga  tidak mempunyai akses informasi, 

pengetahuan dan tekonologi, hal ini berkorelasi 

dengan jenis pekerjaan yang dijelaskan diatas. 

Sehingga akan mempengaruhi kemampuannya 

dalam berpikir untuk beralih pekerjaan lain 

selain petani. Berdasarkan hasil penelitian pada 

daerah pedesaan responden kebanyakan tingkat 

pendidikan sebatas tamat SD dan SMP. 

Menurut peneliti alasan daerah pedesaan 

memiliki tingkat pendidikan yang rendah adalah 

faktor ekonomi. Hal ini sejalan dengan 

penelitian yang menyatakan faktor ekonomi 

merupakan masalah utama warga  tidak 

melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi 

Hasil penelitian ini selaras dengan 

penelitian dari di Kabupaten Rembang yang 

menemukan bahwa tidak adanya hubungan 

antara tingkat pendidikan dengan kejadian kusta 

mengatakan bahwa tingkat pendidikan sebagai 

salah satu unsur yang menentukkan 

pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik 

dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan 

sosial, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa 

pendidikan rendah yang dimiliki penderita 

seharusnya berhubungan dengan kejadian kusta. 

Pada umumnya semakin tinggi pendidikan 

seseorang maka semakin baik pula tingkat 

pengetahuannya, dengan memberikan informasi 

tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara 

pemeliharaan kesehatan, cara menghindari 

penyakit dan sebagainya akan meningkatkan 

pengetahuan warga  tentang hal tersebut 

. Dalam hal ini, 

pendidikan dianggap sebagai faktor substansial 

dari kesadaran warga  yang berkontribusi 

terhadap eliminasi penyakit kusta. Hal ini 

sejalan dengan penelitian di Brazil, dimana 

pasien tidak melaporkan gejala yang mereka 

miliki untuk mendapatkan pengobatan atau 

bahkan tidak tahu bahwa mereka menderita 

kusta karena kurangnya pengetahuan dan 

kesadaran akan penyakit ini 

Rendahnya pendidikan dapat pula 

mengakibatkan lambatnya seseorang melakukan 

pencairan pengobatan dan diagnosis penyakit, 

sehingga mengakibatkan penderita kusta 

mengalami kecacatan yang semakin parah.

W.S Winke menyatakan bahwa 

pengertian status sosial ekonomi mempunyai 

makna suatu keadaan yang menunjukan pada 

kemampuan finansial keluarga dan 

perlengkapan material yang dimilki, dimana 

keadaan ini bertaraf baik, cukup, dan kurang 

(Basrowi, 2010). Penyakit kusta adalah salah 

satu manifestasi dari kemiskinan karena 

sebagian besar penderita kusta berasal dari 

golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta jika 

tidak ditangani dapat menyebabkan cacat, dan 

hal tersebut menjadi penghalang bagi pasien 

kusta untuk menjalani kehidupan 

berwarga  untuk memenuhi kebutuhan 

sosial ekonominya. Penghasilan keluarga 

merupakan faktor yang dianggap mewakili 

keadaan sosio ekonomi keluarga dan 

merupakan salah satu faktor yang dapat 

mempengaruhi keadaan kesehatan seseorang. 

Pendapatan yang diterima seseorang akan 

mempengaruhi daya beli terhadap barang￾barang kebutuhan pokok dan barang-barang 

kebutuhan lainnya seperti sandang (pakaian) 

dan pangan (makanan).

Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai 

p (0,095) > α (0,05) maka Ho diterima, berarti 

dapat diketahui tidak ada hubungan antara 

status ekonomi dengan kejadian Kusta. Hasil 

penelitian ini sejalan dengan penelitian di 

Kecamatan Mendahar Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang menyatakan bahwa hasil p￾value 0.350 artinya tidak terdapat hubungan 

antara pendapatan keluarga dengan kejadian 

kusta 

Berdasarkan hasil observasi para 

penderita kusta memiliki keluarga dengan 

anggota 4-5 orang memiliki hanya satu tulang 

punggung sehingga beban keluarga hanya 

diberikan kepada satu orang, sedangkan 

pekerjaanya sebagai petani, buruh tidak mampu 

untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Untuk 

mengkases pelayanan kesehatan, pemenuhan 

gizi keluarga dan kondisi fisik rumah sangat 

berkorelasi dengan status ekonomi. Sebagian 

besar responden memiliki status ekonomi 

rendah dengan penghasilan perbulan < UMR ( 

Rp. 1.665.000).

Penyakit kusta menyerang banyak di 

negara berkembang dengan status ekonomi yang 

rendah. Negara atau warga  berstatus 

ekonomi rendah, akan berakibat pada 

pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan 

tentang kesehatan dan lingkungan juga rendah, 

sehingga menyebabkan keadaan kesehatannya 

buruk. Hal ini mengakibatkan adanya populasi 

berisiko tinggi terhadap penyait menular 

termasuk penyakit kusta. Sudah diketahui 

bahwa faktor sosial ekonomi sangat berperan 

penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti 

pada negara-negara di Eropa dengan adanya 

peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian 

kusta akan cepat menurun bahkan hilang. Kasus 

kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak 

menularkan pada orang yang tingkat sosial 

ekonominya tinggi. Kegagalan kasus kusta 

impor untuk menularkan pada kasus kedua di 

Eropa juga dipicu  karena tingkat sosial 

ekonomi yang tinggi.

Pengetahuan adalah hasil proses yang 

dilakukan oleh penginderaan manusia terhadap 

suatu objek melalui indera yang dimilikinya 

(mata, hidung, telinga dan sebagainya) 

(Notoatmodjo, 2010). Kemampuan seseorang 

dalam mengetahui gejala, cara penularan 

penyakit kusta dan penangannya dapat 

dihasilkan dari pengetahuan yang baik. Hasil uji 

Chi-square diperoleh bahwa nilai p (0.002) < α

(0,05) maka Ho ditolak, berarti dapat diketahui 

ada hubungan antara tingkat pengetahuan 

dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio (OR) 

3,361 dengan 95% CI 1,563-7,227. Hal ini 

menunjukkan bahwa responden dengan tingkat 

pengetahuan rendah memiliki risiko 3,361 kali 

lebih besar terkena penyakit kusta bila 

dibandingkan dengan responden yang memiliki 

tingkat pengetahuan tinggi. Hasil penelitian ini 

sejalan dengan penelitian di wilayah kerja 

Puskesmas Bakunase Kota Kupang yang 

menyatakan bahwa variabel pengetahuan 

merupakan faktor yang berpengaruh terhadap 

kejadian kusta karena memiliki nilai OR>1 

yakni sebesar 18,16 terhadap Kejadian kusta di 

Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Kota

Kupang tahun 2017 karena memiliki nilai p 

value = 0,027 (p<0,05) (Salju, 2018).

Orang yang memiliki pengetahuan yang 

tinggi tentang kusta cenderung akan mencoba 

untuk menghindari dirinya dari berbagai faktor 

yang dapat menyebabkan penularan (Sapriadi, 

2019). Kemudian, pengetahuan tentang 

penyakit kusta pasti juga mempengaruhi personal 

hygiene seseorang dalam kehidupan sehari-hari. 

Berdasarkan pengamatan di lapangan, 

kebanyakan responden melihat gejala kusta 

sebagai penyakit kulit biasa seperti panu, kadas, 

dan kurap sehingga mengalami keterlambatan 

dalam pengobatan penyakit kusta, kemudian 

dalam pengobatan juga tidak sesuai dengan 

anjuran petugas kesehatan hal ini akan 

berdampak dnegan resistennya bakteri kusta. 

kurangnya pengetahuan peneliti mengira karena 

akses menuju pelayanan kesehatan juga sulit 

selain karena waktu tempuhnya serta jarak yang 

sangat jauh juga tidak adanya angkutan umum 

sehingga responden kurang mau 

memeriksakan diri ke pelayanan 

kesehatan. Dari pihak puskesmas juga tidak 

pernah memberikan penyuluhan tentang 

penyakit kusta.

Responden dengan tingkat pengetahuan 

yang baik memilki sumber informasi yang 

lengkap dari media massa ataupun media 

elektronik, serta adanya penyuluhan dan 

sosialisasi akan memberikan dampak terhadap 

peningkatan pengetahuan responden. Selain itu, 

pengetahuan responden yang rendah juga 

merupakan salah satu dampak dari rendahnya 

pendidikan yang ditempuh oleh responden, 

dimana pada penelitian ini responden sebagian 

besar menempuh pendidikan tingkat SD dan SMP. Kusta sangat dekat kaitannya dengan 

pengetahuan, dimana kusta sering terjadi pada 

pasien yang memiliki pengetahuan yang rendah. 

Karena ketidaktahuan maka mereka tidak 

segera memeriksakan diri ke puskesmas atau 

pelayanan kesehatan lainnya. Periode sebelum 

penyembuhan adalah masa paling rentan untuk 

menularkan kusta kepada orang lain (Marizal, 

2020). Orang dengan pengetahuan yang tinggi 

tentang kusta tentu akan mencoba menjauhkan 

dirinya dari faktor yang dapat menjadi sumber 

penularan penyakit kusta. Kemudian, 

pengetahuan tentang penyakit juga sejalan atau 

berbanding lurus dengan kebiasaan personal 

hygiene di setiap hari (Sapriadi, 

2019).Berdasarkan penelitian, dapat diketahui 

bahwa perilaku higienis memiliki hubungan 

signifikan dengan penularan kusta. Di samping 

itu, pengetahuan yang baik harus diimbangi 

dengan praktik yang baik pula.

Praktik personal hygiene bertujuan untuk 

meningkatkan kesehatan pada individu, dengan 

kulit sebagai garis tubuh pertama yang 

melakukan pertahanan melawan infeksi, 

sehinga kebanyakan pasien kusta menderita 

kecacatan pada kulit. Oleh karena itu personal 

hygiene sangat penting bagi penderita kusta 

adalah perawatan kulit. Perilaku atau kebiasaan 

seseorang dalam menjalankan kehidupan sehari￾hari berkaitan dengan kebersihan (personal 

hygiene) yang juga dapat mempengaruhi 

kesehatan seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian berdasarkan 

hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai p 

(0.001) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti 

dapat diketahui ada hubungan antara personal 

hygiene dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio 

(OR) 3,714 dengan 95% CI 1,746-7,900. Hal ini 

menunjukkan bahwa responden dengan personal 

hygiene buruk memiliki risiko 3,714 kali lebih 

besar terkena penyakit kusta bila dibandingkan 

dengan responden yang memiliki personal 

hygiene baik. Hasil penelitian sejalan dengan 

penelitian Akbar yang menyatakan ada 

hubungan antara personal hygiene dengan 

kejadian kusta hal ini sejalan dengan penelitian 

yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas 

Juntinyuat mengungkapkan bahwa Personal 

hygiene adalah faktor yang berhubungan dengan 

kejadian kusta(OR=3,14 ; CI 95%, 1,066-9,267 

p=0,035) (Akbar, 2020).

Pengetahuan akan hygiene akan 

mempengaruhi praktik hygiene seseorang. 

Namun, hal ini saja tidak cukup, karena 

motivasi merupakan kunci penting dalam 

pelaksanaan hygiene tersebut. Permasalahan 

yang sering terjadi adalah ketiadaan motivasi 

karena kurangnya pengetahuan. Dari hasil ini 

dapat dilihat masih banyak responden yang 

memiliki personal hygiene buruk. Banyak dari 

mereka yang tidak mengetahui bahwa kebiasaan 

menggunakan alat-alat pribadi (handuk, sabun, 

sisir) bersama dapat menjadi salah satu media 

penularan penyakit kusta. Saran dari peneliti 

adalah pemberian pendidikan kesehatan 

(khususnya tentang kebersihan 

perseorangan/personal hygiene) yang diberikan 

kepada warga , dimaksudkan untuk 

membantu meningkatkan daya tahan tubuh 

anggota keluarga di suatu warga  terhadap 

serangan kuman penyakit. Pendidikan 

kesehatan tentang kebersihan perseorangan 

yang dibangun di warga  ini, sebagai salah 

satu bentuk implementasi dari program 

Kementerian Kesehatan tentang Pola Hidup 

Bersih dan Sehat (PHBS) yang berdampak pada 

pengurangan angka kejadian penyakit.

warga  memerlukan peran petugas 

kesehatan dalam mewujudkan suatu perilaku 

yang berhubungan dengan kesehatan. 

Seharusnya peran petugas kesehatan yang baik 

cenderung menciptakan perilaku yang baik pula. 

Peran petugas kesehatan sudah baik pada 

warga  perkotaan, hal ini dapat dipengaruhi 

oleh pengetahuan dan sikap warga  rural 

mengenai perilaku pencegahan kusta yang 

kurang baik sehingga dorongan dari petugas 

kesehatan sudah mampu mengubah perilaku 

warga  untuk menjadi baik. Berdasarkan 

wawancara dengan responden pernah dilakukan 

pemantauan kontak dengan penderita kusta, 

kunjungan ke penderita kusta dilakukan rutin, 

namun  tidak dilakukan upaya promosi 

kesehatan.

Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa 

nilai p (0,016) < α (0,05) maka Ho ditolak, 

berarti dapat diketahui ada hubungan antara 

peran petugas kesehatan dengan kejadian Kusta. 

Nilai odd ratio (OR) 2,466 dengan 95% CI 1,172-5,188. Hal ini menunjukkan bahwa 

responden dengan peran tenaga kesehatan 

kurang memiliki risiko 2,466 kali lebih besar 

terkena penyakit kusta bila dibandingkan 

dengan responden yang memiliki peran tenaga 

kesehatan baik. Penelitian ini selaras dengan 

penelitian yang dilakukan Khotimah yang 

menjelaskan bahwa peran tenaga kesehatan 

bermakna terhadap kepatuhan minum obat 

pada pendeita kusta dengan diperoleh nilai p￾value (0,001), nilai OR sebesar 3,143 dan nilai 

(95% CI= 2,039-4,844) (Khotimah, 2014). 

Peneliti menyimpulkan bahwa peran tenaga 

kesehatan yang kurang baik dipicu  pula 

akses menuju pelayanan kesehatan juga kurang 

baik, selain itu petugas kesehatan 

penanggungjawab program kusta juga bertugas 

untuk program lain sehingga beban kerja terlalu 

berat. Hal ini akan berdampak pada kurangya 

edukasi kepada warga , jarang melakukan 

kunjungan pada penderita kusta. Peranan 

petugas kesehatan dalam melayani pasien kusta 

dapat membangun hubungan yang baik dengan 

pasien. Selain peran dalam pengobatan, peran 

petugas kesehatan memiliki peran yang besar 

dalam upaya pemberantasan penyakit kusta 

adalah menurunkan angka kejadian kusta, dan 

menentukan keberhasilan pengobatan kusta. 

Dengan adanya peran petugas kesehatan dapat 

memberikan motivasi pada penderita untuk 

melakukan pemeriksaan ke pelayanan 

kesehatan, selain itu juga memberikan motivasi 

untuk melakukan kegiatan pencegahan penyakit 

kusta. namun  kurang efektif dikarenakan

lingkungan puskesmas Larangan sangat luas 

dan kurangnya petugas kesehatan sehingga 

peran petugas tidak maksimal.

Akses fisik terkait dengan ketersediaan 

pelayanan kesehatan, atau jaraknya terhadap 

pengguna pelayanan. Akses fisik dapat dihitung 

dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis 

transportasi, dan kondisi di pelayanan 

kesehatan, seperti jenis pelayanan, tenaga 

kesehatan yang tersedia dan jam buka. Jarak 

rumah ke pelayanan kesehatan adalah seberapa 

jauh lintasan yang ditempuh responden menuju 

ke tempat pelayanan kesehatan meliputi 

puskesmas, rumah sakit, dan lainnya. Hasil uji 

Chi-square diperoleh bahwa nilai p (0.062) > α

(0,05) maka Ho diterima, berarti dapat 

diketahui tidak ada hubungan antara jarak 

rumah ke pelayanan kesehatan dengan kejadian 

Kusta.

Berdasarkan penelitian dapat diketahui 

bahwa jarak rumah ke pelayanan kesehatan 

rata-rata memiliki akses yang jauh dari rumah 

responden. Jarak yang dekat dapat 

memudahkan responden untuk mendapatkan 

pelayanan sehingga mudah dalam mencari 

pengobatan akan keluhan yang dirasakan 

responden. Pelayanan kesehatan warga  

khususnya bagi golongan warga  sosial 

rendah harus lebih dekat sehingga pelayanan 

kesehatan tersebut dapat dengan mudah 

diterima dan diakses oleh warga . Jarak 

merupakan penghalang yang meningkatkan 

kecenderungan penundaan upaya seseorang 

atau warga  dalam mencari pelayanan 

kesehatan. warga  diharapkan dapat 

memanfaatkan pelayanan kesehatan berupa 

(dalam hal ini puskesmas) untuk keluarganya, 

jika jarak tempat tinggalnya tidak terlalu jauh 

dari pusat pelayanan kesehatan. warga  

yang tempat tinggalnya dekat dengan 

puskesmas memiliki peluang lebih besar dalam 

memanfaatkan pelayanan kesehatan 

dibandingkan warga  yang bertempat 

tinggal jauh kaitannya adalah dengan 

pencegahan penyakit kusta. Dalam 

pemanfaatan pelayanan kesehatan terkadang 

akses yang sulit terhadap pelayanan kesehatan 

sangat mempengaruhi dalam pengambilan 

keputusan untuk memanfaatkan pelayanan 

kesehatan Puskesmas.

Suhu adalah besaran yang menyatakan 

derajat panas atau dingin sutau benda dan alat 

yang digunakan untuk mengukur suhu adalah

termohygrometer (Indrawati, 2019). Rata-rata 

suhu rumah di wilayah pedesaan adalah 30,1 0C 

sedangkan pada daerah perkotaan suhu rata￾ratanya adalah 320C hal ini sangat berpengaruh

terhadap bakteri kusta.

Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai 

p (0.001) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti 

dapat diketahui ada hubungan suhu rumah 

dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio (OR) 

4,363 dengan 95% CI 1,938-11,092. Hal ini 

menunjukkan bahwa responden dengan suhu 

rumah berisiko kusta memiliki risiko 4,363 kali 

lebih besar terkena penyakit kusta bila dibandingkan dengan responden yang memiliki 

suhu rumah tidak berisiko kusta. Penelitian ini 

sejalan dengan penelitian di Kecamatan 

Winongan Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 

berdasarkan hasil uji chi square didapatkan hasil 

0,004 < 0,05 dengan hasil ada hubungan antara 

kejadian kusta dengan suhu rumah. Nilai rasio 

Odds mengatakan bahwa responden yang tidak 

memiliki suhu rumah sesuai dengan persyaratan 

33 kali lebih berisiko terhadap kejadian kusta 

daripada responden yang memiliki suhu rumah 

sesuai dengan persyaratan (Latifah, 2020).

Berdasarakan penelitian di lapangan pada 

wilayah kerja Puskesmas Wanasari berada pada 

dataran rendah dekat dengan pantai sehingga 

sedikit banyak mempengaruhi suhu di 

lingkungan tersebut, sedangkan pada daerah 

pedesaan wilayah ada yang berada pada dataran 

tinggi. Sebagian besar didapatkan bahwa suhu 

rumah melebihi suhu yang berisiko yaitu 270 C-

300 C. Pertumbuhan optimal in vivo 

Mycobacterium Leprae pada tikus yaitu pada 

suhu ruang yaitu 27-30ºC, sehingga hal ini 

dapat dikatakan bahwa kuman kusta dapat 

hidup pada suhu udara yang nyaman yang telah 

ditetapkan oleh pemerintah, akan namun  kuman 

kusta dapat tumbuh secara optimal pada suhu 

31-37ºC, diluar tubuh manusia (dalam kondisi 

tropis) kuman kusta dan sekret nasla dapat 

bertahan hidup sampai 9 hari (Amirudin, 2012). 

Selain itu ketidakseimbangan antara luas rumah 

dengan jumlah penghuni akan menyebabkan 

suhu di dalam rumah menjadi tinggi dan hal ini 

yang dapat mempercepat penularan suatu 

penyakit (Siswanti, 2018). Upaya penyehatan 

yang bisa dilakukan jika suhu diatas 30ºC 

dengan cara meningkatkan sirkulasi udara 

dengan menambah ventilasi mekanik atau 

buatan dan apabila suhu kurang dari 18ºC dapat 

dilakukan dengan menggunakan pemanas 

ruangan dengan menggunakan sumber energy 

yang aman bagi lingkungan dan kesehatan.

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi 

kondisi atmosfer yang menyenangkan dan 

menyehatkan manusia. Fungsi ventilasi udara 

adalah untuk menjaga agar aliran udara di 

dalam rumah tetap segar. Kurangnya ventilasi 

udara akan menyebabkan kelembaban udara di 

dalam ruangan naik karena rendahnya cahaya 

matahari yang masuk dan terjadinya proses 

penguapan cairan dari kulit penyerapan. 

Kelembaban ini akan merupakan media yang 

baik untuk perkembangan Mycobacterium Leprae.

Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai 

p (0.002) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti 

dapat diketahui ada hubungan luas ventiasi 

ruangan dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio 

(OR) 3,237 dengan 95% CI 1,529-6,853. Hal ini 

menunjukkan bahwa responden dengan luas 

ventilasi ruangan tidak memenuhi syarat 

memiliki risiko 3,237 kali lebih besar terkena 

penyakit kusta bila dibandingkan dengan 

responden yang memiliki luas ventilasi ruangan 

memenuhi syarat. Hasil penelitian tidak sejalan 

dengan penelitian yang dilakukan di Puseksmas 

Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan yang 

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan 

antara kelembaban dengan kejadian penyakit 

kusta (p value > α (0,05) (Wulansari, 2020). 

Lokasi pada penelitian di wilayah kerja 

Puskesmas Wanasari merupakan daerah pesisir 

dengan suhu yang tinggi dan cuaca sangat 

panas. Suhu rata-rata di lokasi penelitian diatas 

32,5ºC. Luas ventilasi udara akan 

mempengaruhi faktor lingkungan lainnya 

berupa suhu, kelembaban, pencahyaan, kondisi 

lantai dan sebagainya. Melalui ventilasi yang 

cukup maka pertukaran udara semakin baik dan 

cahaya matahari akan menyinari ruangan 

rumah yang dapat membunuh kuman-kuman 

kusta. Oleh karena itu penderita kusta dan 

keluarga perlu memahami cara penggunaan 

ventilasi udara yang baik yaitu ventilasi udara 

atau jendela harus dibuka setiap harinya agar 

cahaya matahari masuk ke dalam rumah. 

Meskipun luas ventilasi memenuhi syarat namun  

apabila tidak berfungsi sebagaimana mestinya 

maka tidak akan berdampak apa-apa terhadap 

kondisi rumah.

Kepadatan hunian rumah adalah 

perbandingan antara luas lantai rumah dengan 

jumlah anggota keluarga dalam satu rumah 

tinggal. Luas rumah yang tidak sebanding 

dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan 

penjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat 

karena disamping menyebabkan kurangnya 

oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga 

terkena penyakit infeksi akan mudah 

menularkan ke anggota keluarga yang lain.Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai 

p (0,020) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti 

dapat diketahui ada hubungan antara kepadatan 

hunian dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio 

(OR) 2,513 dengan 95% CI 1,144-5,517. Hal ini 

menunjukkan bahwa responden dengan 

kepadatan hunian tidak memenuhi syarat 

memiliki risiko 2,513 kali lebih besar terkena 

penyakit kusta bila dibandingkan dengan 

responden yang memiliki kepadatan hunian 

memenuhi syarat. Hasil penelitian selaras 

dengan penelitian Akbar (2020) yang 

menunjukkan hasil uji statistik diperoleh nilai 

(OR=3,50 ; CI 95%, 1,112-11,017 p=0,028) hal 

ini berarti responden dengan kepadatan hunian 

tidak memenuhi standar 3,50 kali berisiko lebih 

besar untuk menderita penyakit kusta 

dibandingkan responden dengan kepadatan 

hunian yang kepadatan hunian memenuhi 

standar. Selain itu nilai p-value = 0,0028 < α

(0,05) sehingga kepadatan hunian merupakan 

faktor risiko terhadap kejadian kusta di wilayah 

kerja Puskesmas Juntinyuat (Akbar, 2020).

Kepadatan hunian rumah akan 

memudahkan terjadinya penularan penyakit 

seperti kusta. Koloni bakteri dan kepadatan 

hunian per meter persegi memberikan efek 

sinergis menciptakan sumber pencemar yang 

berpotensi menekan reaksi kekebalan bersama 

dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen 

dengan kepadatan hunian pada setiap keluarga. 

Bakteri kusta di rumah penderita kusta semakin 

banyak, bila jumlah penghuni semakin banyak 

jumlahnya. Kondisi kepadatan hunian rumah 

penduduk di lokasi penelitian sebagian besar 

rumah penduduk dihuni 1-3 kepala keluarga 

dimana masing-masing beranggotakan 4-6 

anggota keluarga dan menempati ruangan yang 

kurang dari 9m². Kepadatan penghuni dalam 

satu rumah tinggal akan menyebabkan 

kurangnya konsumsi oksigen dan akan 

mempermudah penularan kusta kepada anggota 

keluarga yang lain. Menurut teori bahwa rumah 

yang dihuni oleh orang banyak berpotensi 

terhadap penularan penyakit dan infeksi serta 

bertambahnya kadar O2

, uap air dan suhu. Oleh 

sebab itu kepadatan hunian dalam rumah 

tempat tinggal merupakan variabel yang 

berperan dalam kejadian kusta (Patmawati & 

Setiani, 2015).

Rumah sehat memiliki lantai kedap air 

dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki 

peran terhadap proses kejadian penyakit kusta, 

melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai 

tanah cenderung menimbulkan kelembapan, 

pada musim panas lantai menjadi kering 

sehingga dapat menimbulkan debu yang 

berbahaya bagi penghuninya. Lantai yang tidak 

memenuhi syarat kesehatan dapat dijadikan 

tempat berkembangbiaknya kuman dan vektor 

penyakit, menjadikan udara dalam rumah 

menjadi lembab. Lantai rumah perlu dibuat dari 

bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, 

semen atau keramik. Lantai yang jarang 

dibersihkan, banyak mengandung debu dan 

lembab, tanah yang berasal dari berbagai tempat 

dan mengandung bakteri, dan lantai yang basah 

merupakan sarang penyakit (Notoatmodjo, 

2010).

Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai 

p (0.007) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti 

dapat diketahui ada hubungan antara jenis 

lantai rumah dengan kejadian Kusta. Nilai odd 

ratio (OR) 5,255 dengan 95% CI 1,413-19,544. 

Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan 

jenis lantai yang tidak memenuhi syarat 

memiliki risiko 5,255 kali lebih besar terkena 

penyakit kusta bila dibandingkan dengan 

responden yang memiliki jenis lantai

memenuhi syarat. Hasil penelitian ini selaras 

dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas 

Bandarharjo yang menyatakan bahwa dari hasil 

analisis bivariat jenis lantai dengan kejadian 

kusta diperoleh bahwa ada hubungan antara 

jenis lantai rumah dengan kejadian kusta p 

(0.007) < α (0,05). Responden yang memiliki 

lantai rumah tidak kedap air memiliki risiko 

5,43 lebih besar terkena penyakit kusta 

dibanding responden yang memiliki lantai 

rumah kedap air (Siswanti & Wijayanti, 2018). 

Sejalan dengan penelitian di Puskesmas Bonang 

II yang menyatakan sebagian besar penderita 

kusta mempunyai jenis lantai yang tidak 

memenuhi syarat (Prasetyaningtyas, 2017). 

Kondisi ini akan mempermudah 

perkembangbiakan bakteri di dalam tanah 

karena lantai yang kondisinya seperti itu tidak 

dapat dibersihkan dengan desinfektan ataupun 

lisol, karena terbuat dari tanah ataupun plester 

yang sudah rusak serta retak.Jenis lantai yang tidak memenuhi syarat 

merupakan tempat tinggal yang baik bagi 

kuman kusta. Oleh karen itu penderita kusta 

harus memperhatikan kondisi lantainnya dan 

perlu dijaga kebersihannya setiap hari dan 

mengusahakan penggunaan ventilasi udara 

untuk mengurangi kelembaban dalam rumah.

Berdasarkan teori, lantai rumah yang 

menggunakan tanah memiliki risiko tinggi 

terhadap kejadian kusta karena lantai yang tidak 

memenuhi syarat merupakan media yang baik 

untuk perkembangan Mycobacterium leprae. Hal 

ini dipicu  karena Mycobacterium leprae dapat 

bertahan hidup di tanah hingga 46 hari. Selain 

itu, Mycobacterium leprae mampu tumbuh diluar 

tubuh manusia dan dapat ditemukan di tanah 

atau debu. Jenis lantai yang digunakan 

responden ada yang masih menggunakan tanah 

atau tidak kedap air. Kondisi lantai seperti ini 

akan sulit atau bahkan tidak dapat dibersihkan 

dengan desinfektan. Lingkungan rumah yang 

buruk dapat menyebabkan berbagai jenis 

penyakit muncul. Lantai rumah yang tidak 

kedap air akan menyerap air dari tanah sehingga 

meningkatkan kelembaban dan dapat bertindak 

sebagai reservoir untuk Mycobacterium leprae.


kusta23




Penyakit kusta merupakan penyakit menular, menahun disebabkan oleh kuman kusta 

(Mycobacterium leprae) yang bersifat intraseluler obligat. Salah satu dampak dari penyakit 

kusta yaitu  kecacatan yang dapat berupa cacat tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2 yang 

dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, tipe kusta, lama menderita dan pengobatan. 

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan korelasional mengenai faktor-faktor 

yang berhubungan dengan tingkat kecacatan klien kusta di Kelurahan Bitahan RT 11 dan 12 

wilayah kerja Puskesmas Lokpaikat tahun 2015. Jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan 

penelitian deskriptif korelasional dan dengan metode pendekatan retrospektif. Metode 

pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling yang berjumlah 44 responde. Proses 

pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Data yang diperoleh 

kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan uji chi-square atau koefisien kontingensi 

dengan tingkat kepercayaan 95%, signifikansi ditentukan jika ρ kurang dari 0,05. Hasil 

penelitian menunjukan bahwa variabel usia diperoleh hasil (ρ=0,627), variabel jenis kelamin 

diperoleh hasil (ρ=0,438), variabel tipe kusta diperolah hasil (ρ=0,021), variabel lama menderita 

diperoleh hasil (ρ=0,007), variabel pengobatan diperolah hasil (ρ=0,520). Disarankan kepada 

pemberi pelayanan kesehatan, agar meningkatkan pemberian informasi kepada warga   

melalui penyuluhan agar memahami pentingnya pengobatan secara dini dan teratur.Penyakit kusta atau lepra atau disebut juga 

penyakit moorbus hansen yaitu  penyakit 

menular, menahun dan disebabkan oleh 

kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang 

bersifat intraseluler obligat. Penyakit 

menular yaitu  suatu penyakit yang dapat 

menyebar dari seseorang yang menderita 

penyakit ke orang lain yang belum 

menderitanya. Klien kusta dapat 

menularkan penyakit kepada warga   di 

sekitar yang ditentukan oleh faktor 

lingkungan dan imunitas. (Kemenkes, 

2012).

Penularan penyakit kusta oleh klien akan 

menimbulkan beberapa masalah yang akan 

mengakibatkan klien kusta menjadi suatu 

population at risk. Masalah yang dimaksud 

bukan hanya dari segi medis tetapi meluas 

sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, 

keamanan dan ketahanan. Permasalahan 

penyakit kusta yang sangat komplek terkait 

dengan kehidupan klien kusta yang terjadi 

secara fisik, psikologis dan sosial di 

komunitas membutuhkan penanganan yang 

menyeluruh. Permasalahan fisik penyakit 

kusta terkait dengan lesi pada kulit dan 

kecacatan fisik (Suryanda, 2007 dalam 

Susanto, 2013).

Kecacatan seringkali dialami oleh banyak 

klien kusta sebelum mendapatkan 

pengobatan karena lemahnya kesadaran dari 

klien, keluarga, bahkan warga   

terhadap penyakit kusta. Bayangan cacat 

kusta menyebabkan klien seringkali tidak 

dapat menerima kenyataan bahwa ia 

menderita kusta. Akibatnya akan ada 

perubahan mendasar pada kepribadian dan 

tingkah lakunya dan klien berusaha untuk 

menyembunyikan keadaannya sebagai klien 

kusta. Hal ini tidak menunjang proses 

pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya 

akan memperbesar resiko timbulnya cacat 

(Kemenkes, 2012).

WHO (1998) membagi cacat kusta menjadi 

tiga tingkatan yaitu cacat tingkat 0 berarti 

tidak ada cacat, cacat tingkat 1 berarti cacat 

yang disebabkan oleh kerusakan saraf 

sensoris yang tidak terlihat seperti 

hilangnya rasa raba pada kornea mata, 

talapak tangan dan telapak kaki. Cacat 

tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang 

terlihat pada mata, tangan maupun kaki. 

Tingkat cacat digunakan untuk menilai 

kualitas penanganan pencegahan cacat yang 

dilakukan oleh petugas. Fungsi lain dari 

tingkat cacat yaitu  untuk menilai kualitas 

penemuan dengan melihat proporsi cacat 

tingkat 2 diantara penderita baru 

(Kemenkes, 2012).

Angka proporsi cacat tingkat II yang tinggi 

mengindikasikan adanya keterlambatan 

dalam penemuan klien yang dapat 

diakibatkan oleh rendahnya kinerja petugas 

dan rendahnya pengetahuan warga   

mengenai tanda-tanda dini penyakit kusta.

Hasil studi pendahuluan tanggal 20 

Desember 2014 menyebutkan bahwa dari 

13 puskesmas yang terdapat di Kabupaten 

Tapin, Puskesmas Lokpaikat merupakan 

salah satu Puskesmas dengan jumlah klien 

kusta terbanyak, dikarenakan Kelurahan 

Bitahan Rt 11 dan 12 pernah dijadikan 

sebagai tempat lokalisasi klien kusta. 

Sampai tahun 2015 tercatat tersisa 50 klien 

kusta yang pernah menjalani pengobatan 

dan masih hidup dan berada kelurahan 

Bitahan Rt 11 dan 12 dengan cacat tingkat 

II tercatat sebanyak 32 klien kusta. Pada 

tahun 2014 di wilayah kerja Puskesmas 

Lokpaikat masih terdapat 3 klien kusta yang 

sedang menjalani regimen pengobatan. 

Petugas kesehatan pemegang program kusta 

mengatakan bahwa klien kusta di Lokpaikat 

banyak yang menderita tipe kusta 

Multibasiler sehingga resiko untuk terkena 

cacat lebih besar dan beresiko menularkan 

kepada orang lain. Dikatakan bahwa klien 

kusta menderita kecacatan akibat 

terlambatnya penemuan kasus ketika berada 

di daerah asal masing-masing dan 

rendahnya pengetahuan warga   tentang 

kusta. Hal ini juga di dukung dengan melakukan 

wawancara kepada 10 klien kusta, banyak 

diantaranya yaitu  berjenis kelamin wanita 

yaitu sebanyak 7 orang dengan kisaran 

umur berkisar antara 40-60 tahun. 

Didapatkan hasil mereka mengatakan ketika 

terdapat bercak kulit mati rasa mengira 

panu dan penyakit kulit biasa dan kecacatan 

yang dialami dikarenakan terlambat berobat 

ke Puskesmas dan tidak ada pengobatan 

secara gratis di daerah asal mereka masing￾masing. Berdasarkan wawancara dengan 

seorang ibu yang mempunyai anak 

menderita kecacatan, ibu mengatakan 

ketika mengandung tidak mengetahui 

bahwa ibu dan suaminya sedang menderita 

kusta. Ketika melahirkan terdapat bercak 

pada lengan bayi tersebut. Bidan hanya 

mengira bercak tersebut merupakan tanda 

lahir, ketika dewasa hingga anak tersebut 

menderita kecacatan baru diketahui 

menderita kusta dan dibawa ketempat 

penampungan dan mendapatkan 

pengobatan. Berdasarkan wawancara 

tersebut diketahui bahwa rendahnya 

pengetahuan warga   maupun petugas 

kesehatan dalam mendeteksi kasus kusta 

sehingga diagnosis yang lambat 

mengakibatkan kuman kusta mengalami 

progresifitas dan dapat mengakibatkan 

kecacatan pada klien kusta. Berdasarkan 

hasil observasi yang dilakukan didapatkan 

hasil bahwa banyak klien kusta yang 

mengalami jari-jari kiting lengkap dan kaki 

semper dan beberapa klien kusta juga tidak 

memiliki jari-jari tangan karena pernah 

melakukan bedah rekonstruksi.Dari 44 responden yang diteliti umur ketika 

pertama kali ditemukan oleh petugas 

kesehatan dan mendapatkan pengobatan 

terbanyak pada usia dewasa awal (18-40 

tahun) sebanyak 20 responden (45,5%). 

Penentuan distribusi umur berdasarkan 

pertama kali responden timbul penyakitnya 

sangat sulit diketahui. Umur pada klien 

kusta berkembang dengan karakteristik 

yang beragam mulai dari anak-anak sampai 

dengan lanjut usia. Faktor usia yang sangat 

beresiko untuk tertular pada populasi kusta 

yaitu  kelompok usia anak-anak dan 

dewasa (Susanto, 2013). Penyakit kusta 

dapat menyerang semua umur (3 minggu 

sampai 70 tahun), terbanyak pada umur 

muda dan produktif. Frekuensi tertinggi 

terdapat pada kelompok umur antara 25-35 

tahun. Di Indonesia klien anak-anak 

dibawah umur 14 tahun didapatkan ± 

11,39%, tetapi anak dibawah 1 tahun jarang 

sekali ditemukan (FKUI, 2009).

Penelitian Kattan et al (2006) cit

Nurkasanah (2013) di India Selatan 

kebanyakan klien kusta berumur 10–14 

tahun, kemudian menurun pada kelompok 

umur berikutnya dan akan meningkat 

kembali pada umur 20–60 tahun. Pola 

distribusi sesuai kelompok umur tersebut 

hampir sama pada kebanyakan negara 

endemis kusta. Hasil ini sesuai dengan 

penelitian di Kota Makassar tahun 2013 

yang menunjukkan bahwa umur merupakan 

faktor protektif kejadian penyakit kusta. 

Artinya, responden yang berumur 0-14 

tahun dapat tercegah dari penyakit kusta. 

Hal ini dapat disebabkan oleh masa 

inkubasi penyakit kusta yang lama dan 

lambat (Susanto,2013).

Hasil penelitian ini bertentangan dengan 

teori bahwa infeksi oleh kuman kusta lebih 

mudah pada anak-anak yang memiliki 

sistem imun yang belum sempurna. Pada 

penelitian ini pravelensi responden yang 

ditemukan oleh petugas kesehatan pada 

masa anak-anak (0-17 tahun) hanya 

berjumlah 12 responden (27,3%). Menurut

Kumar, et al, (2005) cit Manyullei (2012) 

pravelensi kusta lebih tinggi terjadi pada 

umur 18 tahun kebawah. Faktor umur 

berkaitan dengan sistem imun pada anak 

yang belum berkembang dengan baik. 

Selain itu anak-anak masih rentan terhadap trauma infeksi yang dapat memfasilitasi 

terjadinya transmisi kusta.

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis 

Kelamin

Jenis Kelamin F

Persentase 

(%)

Laki-laki 28 63.6

Perempuan 16 36.4

Total 44 100

Dari 44 responden yang diteliti diketahui 

bahwa responden terbanyak yaitu laki-laki 

berjumlah 28 responden (63,6%). 

Penelitian ini menunjukan bahwa jenis 

kelamin yang terbanyak menderita kusta 

berada pada golongan laki-laki. Dimana 

dari hasil tersebut membuktikan bahwa 

laki-laki lebih banyak beraktifitas 

dilingkungan yang berpopulasi dan 

berkontaminasi dengan berbagai penyakit 

terutama klien kusta maupun dengan 

mantan klien kusta. Sedangkan perempuan 

paling sedikit yaitu 16 responden (36,4%) 

disebabkan perempuan lebih banyak 

beraktifitas didalam rumah. 

Perempuan merupakan seseorang yang 

sangat memperhatikan kesehatannya dan 

citra tubuh. Demikian juga terdapat masalah 

kesehatan yang berhubungan dengan 

kulitnya. Ketika perempuan mendapatkan 

tanda penyakit kusta berupa bercak kulit 

mati rasa hal tersebut tentu akan 

berpengaruh terhadap citra tubuhnya 

sehingga mereka tidak akan tinggal diam 

dan mencari bantuan untuk mengatasi 

masalah tersebut yang salah satunya pergi 

ke pusat kesehatan atau Puskesmas. Selum 

(2012) menjelaskan bahwa jika jumlah 

klien kusta laki-laki lebih banyak, maka ada 

beberapa sebab antara lain laki-laki 

mempunyai aktivitas diluar rumah yang 

lebih sering dibanding dengan perempuan, 

sehingga laki-laki lebih rentan untuk 

tertular penyakit kusta. Pemeriksaan 

terhadap perempuan kurang maksimal 

karena faktor budaya tertentu, hal ini 

menyebabkan kasus kusta pada perempuan 

tidak terdeteksi secara maksimal. Wanita 

yang biasa menutup tubuhnya dengan rapat 

juga mempunyai kemungkinan lebih kecil 

untuk terjadinya kontak kulit dengan klien 

kusta. Menggunakan pakaian pelindung dan 

alas kaki dapat membantu mengurangi 

kemungkinan penularan kusta, mengingat 

kuman M.leprae dapat hidup pada 

lingkungan diluar tubuh manusia/tanah 

selama 46 hari (Amirrudin, 2012).

Distribusi Responden Berdasarkan Tipe 

Kusta

Tipe Kusta F

Persentase 

(%)

Paubasiler (PB) 6 13.6

Multibasiler (MB) 38 86.4

Total 44 100

Dari 44 responden yang diteliti diketahui 

bahwa responden terbanyak menderita 

kusta tipe Multibasiler (MB) sebanyak 38 

responden (86,4%). Berdasarkan hasil 

observasi dan wawancara dengan responden 

ketika penelitian di Kelurahan Bitahan RT 

11 dan 12 didapatkan bahwa sebagian besar 

responden merupakan status sosial ekonomi 

rendah. Klien kusta yang sudah lanjut usia 

dan menderita kecacatan serta tidak bisa 

bekerja lagi dalam memenuhi kebutuhan 

mendapatkan bantuan hidup dari 

Pemerintah Kabupaten Rantau. Kondisi 

status sosial ekonomi yang rendah tentunya 

akan memberikan pengaruh terhadap 

pemenuhan nutrisi dan status gizi klien 

yang akan memberikan pengaruh nyata 

terhadap daya tahan tubuh klien tersebut.

Depkes (2007) menyebutkan hanya sedikit 

orang yang akan terjangkit kusta setelah 

kontak dengan penderita, hal ini disebabkan 

karena adanya imunitas. M.leprae termasuk 

kuman obligat intraseluler dan sistem 

kekebalan yang efektif yaitu  sistem 

kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti 

pubertas, menopause, kehamilan, serta 

faktor infeksi dan malnutrisi dapat 

meningkatkan perubahan klinis penyakit 

kusta. Kemenkes (2012) menyebutkan 

penjamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan kelompok terbesar yang 

telah atau akan menjadi resisten terhadap 

kuman kusta, penjamu yang mempunyai 

kekebalan rendah terhadap kuman kusta 

biasanya hanya akan menderita kusta tipe 

Paubasiler (PB), sedangkan seseorang yang 

tidak mempunyai kekebalan terhadap 

kuman kusta bila terpapar kuman akan 

menderita kusta tipe Multibasiler (MB) 

yaitu tipe kusta yang banyak mengandung 

kuman Mycobacterium Leprae.

Seperti halnya terhadap penyakit-penyakit 

lainnya maka terhadap kuman-kuman kusta 

tubuh manusia mempunyai daya tahan dan 

kerentanan tubuh sendiri-sendiri. Untuk 

melindungi tubuh dari serangan M.leprae 

dengan sendirinya sistem imun seluler 

sangat diharapkan dapat membasmi kuman 

M.leprae. Status gizi pada pasien kusta 

memiliki pengaruh nyata terhadap daya 

tahan tubuhnya. Hal ini disebabkan status 

gizi yang baik yaitu  proteksi yang baik 

untuk melawan virus patogen dalam tubuh. 

Sistem imunologi yang didukung 

sepenuhnya oleh protein tubuh akan 

memberikan pertahanan maksimal dan 

mengurangi efek kerusakan jaringan akibat 

infeksi virus dan bakteri oleh tubuh. 

Interaksi antara infeksi termasuk penyakit 

kusta dan gizi di dalam tubuh seseorang 

dikemukakan sebagai suatu peristiwa 

sinergistik. Selama terjadinya infeksi status 

gizi akan menurun dan dengan menurunnya 

status gizi, orang tersebut menjadi kurang 

resisten terhadap infeksi. Respon imun 

menjadi kurang efektif dan kuat ketika 

seseorang mengalami gizi kurang

Distribusi Responden Berdasarkan 

Lama Menderita Kusta

Lama Menderita Kusta F

Persentase 

(%)

< 1 tahun 9 20,5 9 20.5

≥ 1 tahun 35 79,5 35 79.5

Total 44 100

Dari 44 responden yang diteliti diketahui 

bahwa responden yang memiliki riwayat 

lamanya menderita kusta terbanyak 

menderita kusta ≥ 1 tahun sebanyak 35 

responden (79,5%). Sebagian besar 

penderita kusta di Kelurahan Bitahan RT 11 

dan 12 mempunyai pendidikan tidak 

sekolah atau tamat SD sehingga 

menyebabkan rendahnya pengetahuan 

warga   tentang tanda dan gejala kusta 

menyebabkan klien sudah ditemukan dalam 

keadaan cacat ketika pertama kali datang ke 

Puskesmas.

Lama menderita oleh klien kusta menderita 

kusta sampai ditemukan oleh petugas 

kesehatan dan menjalani pengobatan 

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain 

klien tidak mengerti tanda dini kusta berupa 

bercak-bercak kulit mati rasa, malu karena 

klien sudah dalam keadaan cacat, klien 

yang tidak mengetahui bahwa terdapat obat 

yang tersedia secara Cuma-Cuma di 

Puskesmas. Faktor lain yang juga menjadi 

penghambat klien datang ke pusat 

kesehatan yaitu  jarak antara tempat 

tinggal dengan sarana kesehatan cukup 

jauh. Nicholls (2002) dalam Susanto (2013) 

juga menyebutkan bahwa penemuan klien 

baru terkait dengan deteksi penyakit kusta 

di komunitas masih sulit. Penemuan klien 

kusta di komunitas biasanya sudah 

terlambat dan tertunda. Penemuan klien 

kusta yang terlambat dan tertunda 

berhubungan dengan anggapan warga   

yang negatif terhadap klien kusta, 

rendahnya kesadaran mengenai awal gejala 

kusta dan kondisi cacat yang dialami oleh

klien kusta. Rentang waktu yang lama 

terhadap penundaan pengobatan juga 

diakibatkan oleh usaha pencarian pelayanan 

kesehatan oleh klien kusta dan keluarga 

yang salah seperti penggunaan obat 

tradisional dan interaksi dengan intervensi 

pelayanan kesehatan khususnya Puskesmas 

yang menjadi alternatif terakhir dalam 

penanganan kusta.Distribusi Responden Berdasarkan 

Pengobatan

Pengobatan f

Persentase 

(%)

Teratur 39 88.6

Tidak Teratur 5 11.4

Total 44 100

Dari 44 responden yang diteliti menunjukan 

bahwa sebanyak 39 responden (88,6%) 

teratur dalam pengobatan kusta. Sebagian 

besar respoden yag diteliti patuh dalam 

menjalani regimen pengobatan kusta 

sebanyak 39 responden (88,6%). Hal ini 

dikarenakan di Kelurahan Bitahan RT 11 

dan 12 yang pernah dijadikan sebagai 

tempat penampungan klien kusta, 

pengobatan kusta sangat diawasi oleh 

petugas kesehatan dan sering mendapat 

kunjungan Dokter dari dalam maupun luar 

negri sehingga regimen pengobatan bisa 

diawasi secara ketat.

Klien kusta yang mematuhi aturan minum 

obat MDT didukung oleh adanya dampak 

positif dari pengobatan kusta. Pengobatan 

kusta yang adekuat dan keteraturan minum 

obat akan mengurangi kondisi yang 

infeksius dari klien kusta yang menular. 

Ketidakteraturan minum obat pada klien 

kusta akan berakibat sangat buruk yang 

berdampak terhadap kondisi resistensi obat￾obatan anti kusta pada klien kusta sebagai 

akibat dari ketidakpatuhan klien kusta 

terhadap pengobatan yang diberikan. 

Perburukan dari kondisi kecacatan juga 

menjadi motivasi bagi klien untuk 

menjalani pengobatan secara teratur 

.

Pengobatan kusta yang diberikan kepada 

klien kusta dapat membunuh kuman kusta. 

Dengan demikian pengobatan akan 

memutuskan mata rantai penularan, 

menyembuhkan penyakit klien serta 

mencegah bertambahnya cacat yang sudah 

ada sebelum pengobatan. Pengobatan pada 

klien kusta ditujukan untuk mematikan 

kuman kusta sehingga tidak berdaya 

merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda 

penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya 

hilang. Dengan hancurnya kuman maka 

sumber penularan dari klien terutama tipe 

MB ke orang lain terputus (Depkes, 2007).

Ketidakpatuhan klien kusta terhadap 

pengobatan kusta ditunjukan melalui 

perilaku melanggar aturan pemberian obat. 

Klien kusta dalam melanggar pemberian 

obat kusta berkaitan dengan kurang percaya 

terhadap pengobatan karena lamanya 

pengobatan dan kesembuhan yang akan 

dicapai. Berdasarkan penelitian kualitatif di 

Kabupaten Bangkalan didapatkan hasil 

bahwa klien kusta terpaksa berobat ke 

petugas kesehatan katena malu akan 

penyakitnya dan keluarga percaya bahwa 

penyakit kusta diakibatkan oleh adanya 

guna-guna, sehingga klien akan berobat ke 

petugas kesehatan sudah dalam keadaan 

yang sangat parah. Hal ini akan berdampak 

pada manajemen terapeutik pengobatan 

kusta yang tidak efektif (Susanto, 2013).

Distribusi Frekuensi Tingkat Cacat 

Responden

Tingkat Cacat 

Responden F

Persentase 

(%)

Tingkat 0 4 9.1

Tingkat 1 10 22.7

Tingkat 2 30 68.2

Total 44 100

Dari 44 responden hasil penelitian tingkat 

kecacatan tertinggi yaitu sebanyak 30 orang 

responden (68,2%) mengalami kecacatan 

tingkat 2. Berdasarkan penelitian yang 

dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil 

bahwa sebagian besar responden yang 

mengalami kecacatan tingkat 2 mengatakan 

telah mengalami kecacatan sebelum mereka 

ditemukan oleh petugas kesehatan dan 

menjalani pengobatan. Tingginya tingkat 

kecacatan tingkat 2 pada klien kusta di 

Kelurahan Lokpaikat RT 11 dan 12 

dipengaruhi karena terlambat diagnosis dan 

pengobatan, rendahnya pengetahuan klien 

kusta tentang tanda gejalanya, malu dengan

penyakitnya sehingga tidak memeriksakan 

diri ke fasilitas kesehatan sebelum 

penyakitnya menjadi parah maupun 

kurangnya survei penemuan dini kasus 

kusta sehingga klien ditemukan sudah 

mengalami kecacatan.

Adanya ketakutan terhadap penyakit kusta 

yang menyebabkan mutilasi terhadap 

anggota tubuh, dengan masa inkubasi yang 

cukup lama maka proses terdeteksinya oleh 

tenaga medis tidak dikontrol dengan baik 

sehingga kerusakan maupun kecacatan 

dapat terjadi pada mata, tangan maupun 

kaki. Tetapi jika diagnosis dini dan 

pengobatan oleh petugas kesehatan segera 

dilakukan maka kecacatan tersebut dapat 

dicegah. Pendapat Brakel et al. (2004) cit

Susanto (2006) menyatakan bahwa proporsi 

dari kasus baru dengan kecacatan tingkat 2 

telah terjadi penurunan dengan 

diterapkannya penemuan kasus baru kusta, 

sehingga penegakan diagnosis kusta secara 

dini dapat mengurangi tingkat kecacatan 

kusta. Hasil penelitian ini sesuai dengan 

pendapat Ganapati et al. (2003) cit Susanto 

(2006) yang mengatakan bahwa setelah 4 

tahun terdeteksi kusta dengan perawatan 

diri yang baik dapat membantu 

memperbaiki tingkat kecacatan lebih dari 

50% dari pasien.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan 

bahwa responden pada dewasa awal paling 

dominan mengalami kecacatan tingkat 2 

yaitu 11 orang (25%). Hasil analisis lebih 

lanjut menujukkan nilai ρ(0,627) > α (0,05) 

hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat 

hubungan antara umur dengan tingkat 

kecacatan klien kusta di Kelurahan Bitahan 

RT 11 dan 12 Wilayah Kerja Puskesmas 

Lokpaikat. Penelitian ini juga terdapat hasil 

bahwa kecacatan tingkat 2 juga banyak 

didominasi oleh kategori umur anak-anak 

(0-17 tahun) sebanyak 9 responden (75%). 

Kerentanan populasi anak terhadap kusta 

dipengaruhi daya imunitas tubuh dengan 

melawan bibit penyakit. Populasi anak yang 

masih muda menyebabkan kecacatan yang 

cepat bila dibandingkan dengan anak yang 

lebih tua. Hal ini mencerminkan siklus 

penularan penyakit karena anak-anak 

mungkin berada dalam kondisi 

transmissibility tinggi dan paparan awal 

basil. Faktor-faktor tersebut meningkatkan 

kemungkinan tertular dan terserang 

penyakit dan menyoroti kekurangan 

layanan kesehatan tepat waktu dalam 

mendeteksi kasus. Pada penelitian juga 

didapatkan bahwa penemuan klien ketika 

usia > 60 tahun sebanyak 3 orang 

responden sudah mengalami kecacatan 

tingkat 2. Peningkatan tingkat kecacatan 

pada klien kusta dapat disebabkan oleh 

meningkatnya umur. Peningkatan umur 

dapat menyebabkan kemampuan sistem 

saraf berkurang sehingga pada syaraf 

motorik terjadi paralisis ,pada usia lanjut 

terjadi penurunan kemampuan hormonal, 

kemampuan sensorik, dan kemampuan 

motorik.

Rambey (2012) menyebutkan kecacatan 

klien kusta lebih sering terjadi pada klien 

dewasa atau tua dibandingkan klien anak￾anak atau dewasa muda. Kecacatan pada 

usia tua cenderung ireversibel, kondisi fisik dan penurunan fungsi organ tubuh pada 

orang tua menjadi faktor risiko terjadinya 

cacat yang progesif dan irreversibel.

Klien kusta dapat mengalami reaksi hampir 

tiap saat yaitu sebelum pengobatan. 

Ranque, et al, (2006) cit Manyullei (2012) 

menyebutkan umur saat didiagnosa kusta 

lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko 

terjadiya reaksi kusta, sedangkan umur 

kurang dari 15 tahun cenderung lebih 

sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini 

disebabkan karena dalam sistem imun anak, 

TH2 diduga kuat mampu mengatasi 

terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi 

kusta lebih kecil terjadi pada anak. 

Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan 

sel T memori lebih banyak dan 

menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi 

kusta lebih tinggi. Pada reaksi terjadi proses 

inflamasi akut yang menyebabkan 

kerusakan saraf. Besarnya resiko terjadinya 

kecacatan pada penderita dengan reaksi 

kusta 9 kali dibanding dengan penderita 

yang tidak pernah mengalami reaksi. Hal 

ini disebabkan karena pada reaksi reversal

terjadi peningkatan respon imun seluler 

yang hebat secara tiba-tiba. Mengakibatkan 

kerusakan dan kecacatan yang timbulnya 

dalam hitungan hari jika tidak ditangani 

dengan adekuat. Hal ini menjadi salah satu 

faktor terjadinya kecacatan tingkat 2 lebih 

sering terjadi pada umur dewasa awal (18-

40 tahun)Berdasarkan hasil analisis menunjukkan 

bahwa responden laki-laki lebih dominan 

mengalami kecacatan tingkat 2 yaitu 21 

orang (47,7%). Hasil analisis lebih lanjut 

menunjukkan nilai ρ (0,438) > α (0,05) hal 

ini menunjukkan bahwa tidak terdapat 

hubungan antara jenis kelamin dengan 

tingkat kecacatan klien kusta di Kelurahan 

Bitahan RT 11 dan 12 Wilayah Kerja 

Puskesmas Lokpaikat. Kelurahan Bitahan 

RT 11 dan 12 merupakan tempat yang 

dijadikan sebagai lokalisasi klien kusta. 

Lokalisasi merupakan tempat pembatasan 

pada suatu tempat atau lingkungan. Salah 

satu tujuan dari adanya lokalisasi bagi klien 

kusta yang berada di Kelurahan Bitahan 

yaitu  untuk mengurangi terjadinya 

penyebaran Mycobacterium leprae kepada 

warga   di lingkungan sekitar.

Penelitian Lana (2013) tingkat cacat lebih 

umum terjadi pada laki-laki terkait dengan 

keterlambatan diagnosis pada pria, 

perempuan memiliki akses terbaik untuk 

pelayanan kesehatan dan perempuan 

memiliki perhatian yang lebih besar 

terhadap citra tubuh. Moschioni (2010) 

dalam penelitiannya menyebutkan pria 

lebih sering mengalami kecacatan dari pada 

perempuan, dikarenakan pria mengalami 

kesulitan datang ke fasilitas kesehatan 

selama hari kerja, rasa takut kehilangan 

pekerjaan karena stigma dari penyakit 

kusta, pria lebih mungkin untuk terlibat 

dalam kegiatan fisik yang berat sehingga 

resiko kecacatan akan meningkat.Berdasarkan hasil analisis menunjukkan 

bahwa responden paling dominan 

mengalami kusta tipe Multibasiler (MB) 

dan kecacatan tingkat 2 yaitu 28 orang 

(63,6%). Hasil analisis lebih lanjut 

menunjukkan nilai ρ (0,021) < α (0,05) hal 

ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan 

antara tipe kusta dengan tingkat kecacatan 

klien kusta di Kelurahan Bitahan RT 11 dan 

12 Wilayah Kerja Puskesmas Lokpaikat. 

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 

hubungan yang bermakna antara tipe kusta 

dengan kejadian kacacatan tingkat 2 

(p=0,006). Besarnya resiko terjadinya 

kecacatan tingkat 2 pada penderita tipe MB 

5 kali dibandingkan dengan penderita tipe 

PB (OR=5,950). Perbedaan tingkat 

kecacatan pada tipe pausibasilar dan 

multibasiler disebabkan karena perbedaan 

respon imunitas dimana ditemukan sistem 

imunitas yang baik pada tipe pausibasilar 

dan sebaliknya pada tipe multibasiler. Hal 

ini yang menyebabkan kecacatan lebih 

banyak pada tipe multibasiler.

Pada kusta tipe TT yang termasuk dalam 

penggolongan kusta tipe paubasiler (PB) 

kemampuan fungsi sistem imunitas selular 

tinggi sehingga makrofag sanggup 

menghancurkan kuman. Sayangnya setelah 

kuman di fagositosis, makrofag akan 

berubah menjadi sel epiteloid yang tidak 

bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu 

membentuk sel dantia Langhans. Bila 

infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi 

reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan 

menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan 

sekitarnya (Amiruddin, 2012).

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian 

Kumar et al, di distrik Agra yang 

menyebutkan bahwa tipe kusta MB 

memiliki faktor risiko yang sangat besar 

dan bermakna terhadap timbulnya 

kecacatan derajat 2. Richardus et al, juga 

mengatakan terjadinya kecacatan lebih 

sering pada tipe MB dibandingkan tipe PB 

karena pengobatan yang lama pada tipe MB 

dapat mengakibatkan klien bosan sehingga 

putus berobat dan mengakibatkan 

timbulnya kecacatan.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan 

bahwa responden paling dominan menderita 

kusta ≥ 1 tahun dan menderita kecacatan 

tingkat 2 yaitu sebanyak 27 orang (61,4%). 

Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan 

nilai ρ (0,007) < α (0,05) artinya Ha 

diterima dan dapat disimpulkan terdapat 

hubungan antara lama menderita dengan 

tingkat kecacatan klien kusta di Kelurahan 

Bitahan RT 11 dan 12 Wilayah Kerja 

Puskesmas Lokpaikat. Penelitian ini 

menunjukkan bahwa terdapat hubungan 

yang bermakna antara lama sakit dengan 

tingkat kecacatan (<0,01). Besarnya resiko 

terjadinya cacat tingkat satu pada penderita 

dengan lama sakit > 1 tahun sebesar 2 kali 

lebih tinggi dibanding penderita dengan 

lama sakit < 1 tahun, sedangkan pada cacat 

tingkat 2 yaitu  sebesar 4 kali lebih tinggi 

yang disebabkan oleh lamanya menderita 

sakit dan tidak segera mendapatkan 

pengobatan serta perawatan maka makin 

membesarnya terjadi reaksi kusta yang 

tidak segera diatasi maka dapat 

menyebabkan kerusakan saraf dan akhirnya 

dapat menyebabkan timbulnya cacat.FKUI (2003) menyebutkan tingkat 

kerusakan saraf pada klien kusta dapat 

dibagi menjadi 3 tahapan yaitu Stage of

Involvement dimana pada tingkat ini saraf 

menjadi lebih tebal dari normal (penebalan 

saraf) dan mungkin disertai nyeri tekan dan 

nyeri spontan pada saraf perifer tersebut, 

tetapi belum disertai gangguan fungsi saraf, 

misalnya anastesi atau kelemahan otot. 

Tahapan berikutnya tahap Stage of damage

dimana pada stadium ini saraf telah rusak 

dan fungsi saraf tersebut telah terganggu. 

Kerusakan fungsi saraf, misalnya 

kehilangan fungsi saraf otonom, sensoris 

dan kelemahan otot menunjukkan bahwa 

saraf tersebut telah mengalami 

kerusakan(damage) atau telah mengalami 

paralisis yang tidak lengkap atau saraf 

batang tubuh telah mengalami paralisis 

lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. 

Selanjutnya tahap stage of destruction yaitu 

pada tingkat ini saraf telah rusak secara 

lengkap.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan 

penelitian Kurnianto (2002) yang 

menyebutkan bahwa terdapat hubungan 

yang bermakna atara lama sakit dengan 

tingkat kecacatan (<0,01). Besarnya resiko 

terjadinya cacat tingkat satu pada penderita 

dengan lama sakit > 1 tahun sebesar 2 kali 

lebih tinggi dibanding penderita dengan 

lama sakit < 1 tahun, sedangkan pada cacat 

tingkat 2 yaitu  sebesar 4 kali lebih tinggi 

yang disebabkan oleh lamanya menderita 

sakit dan tidak segera mendapatkan 

pengobatan serta perawatan maka makin 

membesarnya terjadi reaksi kusta yang 

tidak segera diatasi maka dapat 

menyebabkan kerusakan saraf dan akhirnya 

dapat menyebabkan timbulnya cacat.

Keterlambatan klien dalam mencari 

pengobatan dipengaruhi oleh seberapa cepat 

perkembangan penyakit hingga dapat 

menyebabkan keluhan bermakna bagi klien 

dan seberapa besar kesadaran klien akan 

gejala dan tanda pertama penyakit kusta 

yang kebanyakan menyerupai penyakit kulit 

yang ringan. Pada pertemuan para ahli 

kusta di New Delhi pada tahun 2009 Smith 

merumuskan dari penelitian di Myanmar, 

Nepal dan India mengenai kasus kecacatan 

derajat 2 yang tersembunyi bahwa yang 

menjadi alasan klien terlambat mencari 

pengobatan yaitu  masalah akses ke 

sarana kesehatan, terbatasnya pelayanan 

kesehatan, terdapat kondisi di mana 

penyakit kusta sembuh sendirinya 

sehingga dianggap warga   tidak 

berbahaya dan adanya rasa malu dari diri 

sendiri maupun keluarga yang akhirnya 

menyembunyikan keadaan klien kusta.Berdasarkan hasil analisis menunjukkan 

bahwa responden paling dominan menjalani 

pengobatan kusta secara teratur serta 

mengalami kecacatan tingkat 2 yaitu 

sebanyak 27 orang responden (20,5%). 

Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan 

nilai ρ (0,520) > α (0,05) hal ini 

menunjukkan bahwa tidak terdapat 

hubungan antara pengobatan dengan tingkat 

kecacatan klien kusta di Kelurahan Bitahan 

RT 11 dan 12 Wilayah Kerja Puskesmas 

Lokpaikat. Dalam penelitian menyebutkan 

bahwa keteraturan berobat bukan faktor 

resiko terhadap kejadian kecacatan tingkat 

2 pada penderita kusta di Kelurahan 

Bitahan RT 11 dan 12 Wilayah Kerja 

Puskesmas Lokpaikat.

Penyakit kusta merupakan suatu penyakit 

yang dapat berdampak kecacatan bagi penderitanya. Pengobatan bagi klien kusta 

yaitu berupa MDT (multi drug therapy) 

yang diberikan selama 12-18 bulan bagi 

pengobatan kusta tipe MB dan 6-9 bulan 

bagi kusta tipe PB. Pemberian Multi Drug 

Therapy (MDT) pada klien kusta terutama 

pada tipe Multibasiler karena tipe tersebut 

merupakan sumber kuman menularkan 

kepada orang lain. Tujuan pengobatan klien 

untuk memutuskan mata rantai penularan, 

menyembuhkan penyakit klien dan 

mencegah terjadinya cacat atau mencegah 

bertambahnya cacat yang sudah ada 

sebelum pengobatan.

Beberapa klien kusta di Kelurahan Bitahan 

RT 11 dan 12 pada awal merasakan tanda 

gejala kusta berupa bercak kulit mati rasa 

tidak menggunakan jasa pelayanan 

Puskesmas oleh beberapa sebab seperti 

kurangnya informasi dan keyakinan klien 

tentang sakit dan ada yang takut 

meggunakan jasa pelayanaan kesehatan 

karena kondisi penyakit yang dialami 

sebagai suatu ancaman. Klien menganggap 

sakit sebagai suatu kondisi yang buruk dan 

tidak dapat disembuhkan. Hal ini 

mengakibatkan klien kusta ditemukan 

sudah dalam kondisi cacat.

Kondisi kecacatan tersebut sangat 

berpengaruh terhadap regimen pengobatan 

yang akan dijalani. Kemenkes (2012) 

menyebutkan bahwa pengobatan kusta 

hanya dilakukan untuk mencegah terjadinya 

keparahan dari kecacatan lebih lanjut. Bagi 

klien kusta yang telah mengalami 

kecacatan, pengobatan tidak akan 

memperbaiki dari kondisi kecacatan, tetapi 

hanya mencegah terjadinya perburukan dari 

kecacatan. Bila klien kusta tidak meminum 

obat secara teratur maka kuman kusta dapat 

menjadi aktif kembali dan dapat 

menimbulkan gejala-gejala baru yang akan 

memperburuk keadaan klien. Pentingnya 

pengobatan sedini mungkin dan teratur 

minum obat agar tidak timbul cacat yang 

baru.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian 

Sulastri (2013) yang menyebutkan bahwa 

keteraturan berobat bukan faktor risiko 

terhadap kejadian kecacatan tingkat 2 pada 

penderita kusta di RS Dr. Tadjuddin Chalid 

Makassar. Penelitian ini sesuai dengan hasil 

penelitian Jain et al, yang mendapatkan 

bahwa dari 76 klien kusta dengan kecacatan 

tingkat 2 hampir keseluruhan (73 klien) 

teratur dalam pengobatan. Serta adanya 

fakta bahwa klien yang memiliki cacat

tingkat 2 lebih termotivasi untuk 

melakukan pengobatan akibat rasa malu 

dan kuatnya keinginan untuk sembuh dari 

kecacatan yang dideritanya.

Motivasi dalam menjalani pengobatan 

secara teratur juga sesuai dengan penelitian 

yag dilakukan oleh Hutabarat et al, dari 

penelitiannya di Kabupaten Asahan tahun 

2007 yang mendapatkan adanya hubungan 

bermakna secara statistik antara cacat kusta 

derajat 2 dengan kepatuhan minum obat. 

Hal ini disebabkan kekhawatiran seseorang 

untuk kehilangan anggota geraknya 

sehingga berpengaruh pada kepatuhan 

dalam pengobatan agar kecacatannya tidak 

bertambah parah. Demikian juga menurut 

Mahmud dalam penelitiannya di Rumah 

Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makasar, yang 

menemukan bahwa klien yang memiliki 

motivasi tinggi untuk berobat yaitu  klien 

kusta dengan kecacatan derajat 2. Persepsi 

klien juga berperan dalam proses 

pengobatan sebagaimana dipaparkan oleh 

Masykur yang menemukan bahwa persepsi 

beratnya penyakit, persepsi resiko penyakit 

kusta dan persepsi konsekuensi tidak teratur 

berobat dari klien kusta merupakan variabel 

yang dominan yang mempengaruhi tingkat 

kepatuhan klien dalam berobat.