Kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman
kusta
(mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Berdasarkan laporan regional WHO tahun 2000, Indonesia sebagai peringkat keempat dunia
setelah India, Brazil dan Nepal, namun pada tahun 2011 indonesia telah menempati peringkat
ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Data Depkes tahun 2012 dilaporkan ada 18.994 kasus
kusta baru di Indonesia dan 2.131 penderita (11,2%) diantaranya sudah cacat pada tingkat 2,
yaitu cacat kelihatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi pasien
kusta tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga pada pasien kusta di RS.Dr.Tadjuddin
Chalid Makassar dengan mengambil 79 pasien kusta sebagai sampel. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif dan cara pengambilan sampelnya secara accidental sampling serta untuk pengumpulan data menggunakan kuesioner. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa sebagian besar pasien kusta memiliki persepsi yang positif tentang penyakit kusta (83,5%) dan dukungan keluarga yang mendukung
dari keluarganya (62%). Dari hasil penelitian yang dilakukan maka penulis menyarankan
kepada Rumah Sakit terkait untuk menyampaikan informasi-informasi yang baru mengenai
penyakit kusta secara berkesinambungan sehingga baik pasien maupun keluarganya tidak kehilangan komunikasi dengan pihak rumah sakit dan hendaknya petugas kusta menjadi pemotifator dan melakukan kerjasama dengan keluarga dalam mengawasi pasien meminum obat.Kusta (lepra) atau Morbus Hansen
merupakan penyakit menular yang menahun
dan disebabkan oleh kuman kusta
(mycobacterium leprae) yang menyerang
syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit kusta merupakan suatu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks, tidak hanya dari segi
medis (misalnya penyakit atau kecacatan
fisik), tetapi juga meluas sampai masalah
sosial dan ekonomi. Disamping itu, ada
stigma negatif dari masyarakat yang mengatakan penyakit kusta adalah penyakit yang
menakutkan. Ini karena dampak yang ditimbulkan dari penyakit tersebut cukup parah,
yaitu deformitas/kecacatan yang menyebabkan perubahan bentuk tubuh ( Penyakit kusta merupakan penyakit yang ditakuti masyarakat
bahkan keluarga sehingga penderita kusta
banyak yang merasa terkucilkan oleh
masyarakat, ini disebabkan karena persepsi
dari penderita dan masyarakat yang tidak
baik terhadap penyakit kusta
Tercatat sebanyak 19.695 penderita
kusta di Indonesia sampai tahun 2005, Indonesia sendiri telah mencapai tahap eliminasi sejak tahun 2000, tapi sampai sekarang
masih banyak dijumpai kasus kusta. Pada
tahun 2005 di Indonesia tercatat 21.537
penderita kusta terdaftar, jumlah kasus baru
sebanyak 19.695 penderita, 8,74% penderita mengalami cacat tingkat II serta 9,09
% diantaranya adalah penderita kusta anak.
Menurut data kusta nasional tahun
2000, sebanyak 5% penderita mengalami
reaksi kusta. Di Indonesia kusta mencapai
tahap eliminasi sejak tahun 2000, tapi sampai sekarang kasusnya masih belum
menurun lagi, dan masih dijumpai kasus
pada anak (11,3%), angka kecacatan sebesar 10,8 % serta 81% kasus masih tergolong multibasiler atau banyak bakterinya
(Depkes, 2007). Di tahun 2012 dilaporkan
ada 18.994 kasus kusta baru di Indonesia
dan 2.131 penderita (11,2 %) diantaranya
ditemukan sudah pada cacat tingkat 2, yaitu
cacat yang kelihatan. Sedangkan 2.191
penderita (11,5 %) dantaranya adalah anakanak (Depkes,2012).
Untuk Sulawesi Selatan, situasi
penderita kusta hampir sama dengan pola
nasional, dimana jumlah penderita dan
prevalensi rate per 10.000 penduduk mengalami penurunan yang tidak signifikan
dari tahun ke tahun. Berdasarkan pengumpulan data dari tahun 2011 jumlah penderita kusta sebanyak 1.258 penderita yaitu
penderita PB sebanyak 193 orang, penderita MB sebanyak 1.065 orang. Untuk
tahun 2012 kasus baru kusta sebanyak
1.115 orang, 685 laki-laki dan 430 perempuan. Penderita baru kusta B umur 0-14
tahun sebanyak 19 orang, 11 laki-laki dan 8
perempuan. Penderita baru kusta PB umur
diatas 15 tahun sebanyak 152 orang, 84
laki-laki dan 68 perempuan. Total penderita baru kusta PB sebesar 171 orang, 95
laki-laki dan 76 perempuan. Sedangkan
penderita baru MB umur 0-14 tahun
sebanyak 48 orang, 27 laki-laki dan 21 perempuan. Penderita baru kusta MB umur
diatas 15 tahun sebanyak 896 orang, 563
laki-laki dan 333 perempuan.
Berdasarkan data kasus kusta tahun
2013 Dinas Kesehatan Provinsi Sul-sel, di
kota makassar terdapat 101 kasus baru
kusta. Sedangkan data untuk provinsi sulawesi selatan terdapat 1.172 kasus baru
kusta.
Melihat sejarah, penyakit kusta
merupakan penyakit yang ditakuti oleh keluarga dan masyarakat. Saat itu telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu.
Masyarakat menjauhi penderita
kusta karena kurangnya pengetahuan atau
pengertian juga kepercayaan yang keliru
terhadap penyakit kusta. Masyarakat masih
menganggap bahwa kusta disebabkan oleh
kutukan dan guna-guna, proses inilah yang
membuat para penderita terkucil dari
masyarakat, dianggap menakutkan dan harus dijauhi, padahal sebenarnya stigma ini
timbul karena adanya suatu persepsi tentang
penyakit kusta yang keliru (Soedarjatmi,
2009).
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang bagaimana gambaran persepsi pasien tentang penyakit kusta dan
dukungan keluarga pasien kusta di Rumah
Sakit DR.Tadjuddin Chalid Makassar.
Penelitian ini dilaksanakan di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar mulai
dari tanggal 13 april sampai 13 mei 2015.
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif. Dengan populasi semua penderita kusta yang menjalani rawat jalan di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar yaitu
4083 atau 371 pasien rawat jalan setiap bulannya. Sampel pada penelitian ini adalah
pasien kusta yang berkunjung di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar untuk
menjalani proses rawat jalan pada tanggal
13 april sampai 13 mei 2015 sebanyak 79
responden.
Teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini menggunakan metode accidental sampling (menunggu).
Instrumen yang dipakai dalam
penelitian ini adalah kuesioner dengan pengukuran yang menggunakan skala guttmen.
Penilaian persepsi penderita tentang penyakit kusta dibagi menjadi dua yaitu positif
dan negatif.
Persepsi tentang penyakit kusta
terdiri atas empat yaitu : Persepsi tentang
beratnya penyakit kusta adalah respons atau
tanggapan penderita terhadap beratnya atau
tidaknya penyakit kusta yang dialaminya,
terdiri dari empat pertanyaan dengan bobot
nilai jawaban Ya= 1 dan Tidak= 0 nilai
tertinggi 4 dan terendah 0, apabila jumlah
nilai jawaban dari responden ≥2 maka persepsi penderita tentang beratnya penyakit
positif dan bila <2 maka persepsi penderita
tentang beratnya penyakit negatif.
Persepsi tentang risiko penyakit
kusta adalah respons atau tanggapan dari
penderita kusta terhadap risiko yang akan
muncul dikemudian hari dari penyakit kusta
yang diderita, terdiri dari 5 pertanyaan
dengan bobot nilai jawaban Ya= 1 dan Tidak= 0 nilai tertinggi 5 dan terendah 0, apabila jumlah nilai jawaban dari responden ≥3 maka persepsi penderita tentang risiko penyakit kusta positif dan bila <3 persepsi penderita tentang risiko penyakit kusta negatif.
Persepsi tentang konsekuensi tidak
teratur berobat adalah respons atau tanggapan penderia kusta terhadap dampak
negatif dan positif dari minum obat sampai
selesai, terdiri empat pertanyaan dengan
bobot nilai jawaban Ya= 1 dan Tidak= 0
nilai tertinggi 4 dan terendah 0, apabila
jumlah nilai jawaban dari responden ≥2
maka persepsi penderita tentang konsekuensi tidak teratur berobat positif dan bila
<2 maka persepsi penderita tentang
konsekuensi tidak teratur berobat negatif.
Persepsi tentang tindakan pencegahan kecacatan respons atau tanggapan penderita kusta terhadap upaya-upaya yang
dilakukan dalam mencegah terjadinya
kecacatan atau reaksi lain yang kemungkinan terjadi, terdiri dari 5 pertanyaan
dengan bobot nilai jawaban Ya= 1 dan Tidak= 0 nilai tertinggi 5 dan terendah 0, apabila jumlah nilai jawaban dari responden
≥3 maka persepsi penderita tentang tindakan pencegahan positif dan bila <3 persepsi
penderita tentang tindakan pencegahan
negatif.
Jadi persepsi pasien akan dikatakan
positif ketika ≥2 kategori persepsi pasien
baik, dan jika sebaliknya dikatakan negatif.
Persepsi tentang dukungan keluarga
terdiri atas empat yaitu : Dukungan Emosional adalah adanya interaksi anggota
keluarga terhadap pendeita kusta selama
proses pengobatan dalam bentuk empati
dan kepedulian, terdiri dari 6 pertanyaan
dengan bobot nilai Ya= 1dan Tidak=0 nilai
tertinggi 6 dan terendah 0, apabila jumlah
nilai jawaban dari responden ≥3 maka
dukungan emosional dikatakan mendukung
dan bila <3 dukungan emosional dikatakan
tidak mendukung.
Dukungan Instrumental adalah
adanya interaksi anggota keluarga terhadap
penderita kusta berupa penyediaan obat dan
makanan, terdiri dari 5 pertanyaan dengan
bobot nilai Ya= 1 dan Tidak=0 nilai
tertinggi 5 dan terendah 0, apabila jumlah
nilai jawaban dari responden ≥3 maka
dukungan instrumental dikatakan mendukung dan bila <3 dukungan instrumental
dikatakan tidak mendukung.
Dukungan Informasi adalah adanya
interaksi anggota keluarga dalam memberikan informasi kesehatan maupun informasi perawatan selama proses pengobatan
pasien kusta, terdiri dari 6 pertanyaan
dengan bobot nilai Ya= 1dan Tidak=0 nilai
tertinggi 6 dan terendah 0, apabila jumlah
nilai jawaban dari responden ≥3 maka
dukungan informasi dikatakan mendukung
dan bila <3 dukungan informasi dikatakan
tidak mendukung.
Dukungan spiritual adalah adanya interaksi
anggota keluarga dalam bentuk harapan, doa dan pengertian kepada pasien kusta atau
seberapa besar keluarga meyakinkan anggotanya bahwa dengan melakukan pengobatan akan menghasilkan kesembuhan,
terdiri dari 6 pertanyaan dengan bobot nilai
Ya=1 dan Tidak=0 nilai tertinggi 6 dan terendah 0, apabila jumlah nilai jawaban dari
responden ≥3 maka dukungan spiritual
dikatakan mendukung dan bila <3 maka
dukungan spiritual dikatakan tidak mendukung.
Persepsi dukungan keluarga
dikatakan mendukung apabila ≥3 kategori
persepsi dukungan keluarga baik, dan jika
sebaliknya dikatakan tidak mendukung.
Hasil penelitian menunjukkan persepsi
pasien tentang penyakit kusta yang mencakup persepsi tentang beratnya penyakit
kusta adalah positif yaitu sebesar 75,9%,
persepsi risiko penyakit kusta adalah positif
yaitu sebesar 58,2%, persepsi konsekuensi
tidak teratur berobat yaitu positif sebesar
74,7%, dan persepsi pencegahan kecacatan
yaitu negatif sebesar 54,4%. Sedangkan untuk dukungan keluarga yang meliputi
dukungan emosional yaitu mendukung
sebesar 50,6%, dukungan instrumental yaitu
tidak mendukung sebesar 74,7%, dukungan
informasi yaitu tidak mendukung sebesar
65,8%,dan dukungan spiritual yaitu mendukung sebesar 75,9%.
Hasil crosstabulasi antara variabel persepsi
risiko penyakit kusta dan konsekuensi tidak
teratur berobat yaitu dari 46 responden yang
memiliki persepsi positif tentang risiko penyakit kusta 89,1% responden diantaranya
memiliki persepsi positif terhadap konsekuensi tidak teratur berobat. Crosstabulasi
antara dukungan instrumental dan dukungan
informasi yaitu dari 59 responden yang
memiliki dukungan keluarga tidak mendukung tentang dukungan instrumental,
69,5% responden diantara memiliki
dukungan keluarga yang tidak mendukung
terhadap dukungan informasi. Crosstabulasi
antara dukungan spiritual dan dukungan
emosional yaitu dari 60 responden yang
memiliki dukungan keluarga mendukung
tentang dukungan spiritual, 56,7% diantaranya memiliki dukungan keluarga yang
mendukung tentang dukungan emosional.
PEMBAHASAN
Menurut Ress (1975) jenis kelamin
adalah salah satu faktor yang berperan dalam penularan penyakit kusta. Pada dasarnya laki-laki lebih banyak dijangkiti daripada perempuan. Dari 79 responden
penelitian ini, ada 46 orang responden
(58,2%) laki-laki, yang rata-rata berusia 60-
69 tahun (16,5%).
Dari hasil penelitian terhadap 79
responden, 71 responden (89,9%) menjawab percaya bahwa kusta adalah penyakit yang pasti bisa disembuhkan, 51 responden (64,6%) menjawab bahwa penyakit
kusta bukanlah penyakit yang disebabkan
akibat berhubungan intim dengan suami
pada saat menstruasi, 55 responden
(69,6%) menjawab bahwa penyakit kusta
tidak bisa ditularkan melalui sentuhan dan
air, dan 42 responden (53,2%) menjawab
bahwa tidak menerapan prilaku hidup bersih bukanlah penyebab seseorang terkena
penyakit kusta.
Risiko yang paling menakutkan dari
penyakit kusta adalah timbulnya
kecacatan,70 responden (88,6%) dari 79
responden menjawab bahwa memang benar
dampak terparah dari penyakit kusta adalah
kecacatan, dan 60 responden (75,9%) dari
79 responden menjawab bahwa penyakit
kusta juga bisa menyebabkan kematian.
Akan tetapi pada dasarnya kusta adalah
penyakit yang jarang menyebabkan kematian, kematian yang terjadi pada penderita kusta bukan disebabkan oleh penyakit kustanya melainkan oleh penyakit lain
yang menyerang penderita.
Pada umumnya penderita kusta
akan merasa rendah diri, merasa tertekan,
merasa takut terhadap penyakitnya dan dan
takut akan timbulnya kecacatan dikemudian hari, penderita juga pasti merasa takut
untuk menghadapi keluarganya dan
masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang biasanya dinilai kurang wajar.
Untuk melihat bagaimana persepsi pasien
tentang penyakit kusta, peneliti berlandaskan pada teori Health Belief Model
atau Model Kepercayaan Kesehatan.
Health belief model dikemukakan
pertama kali oleh Rosenstock tahun 1966,
kemudian disempurnakan oleh Becker,dkk
1970 dan 1980. Model kepercayaan
kesehatan ini mencakup lima unsur utama,
yang pertama adalah persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Unsur yang kedua ialah pandangan
individu tentang beratnya penyakit tersebut, yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang
akan dialaminya dari penyakit itu, makin
berat risiko suatu penyakit dan makin besar
kemungkinannya bahwa individu itu
terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya. Dari ancaman yang
terjadi kemudian mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau
penyembuhan penyakit. Namun ancaman
yang terlalu besar malah menimbulkan rasa
takut dalam diri individu yang justru menghambatnya untuk melakukan tindakan karena individu tak berdaya melawan ancaman tersebut. Untuk mengurangi rasa
terancam itu, ditawarkanlah suatu alternatif
tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah
individu akan menyetujui alternatif yang
dianjurkan petugas tersebut, tergantung pada pandangan tentang manfaat dan hambatan dari pelaksanaan alternatif tersebut. Namun sebaliknya,dalam unsur yang ketiga
yakni konsekuensi dari tindakan yang dianjurkan itu (biaya yang mahal, rasa malu,
takut akan rasa sakit dan sebagainya)
seringkali menimbulkan keinginan individu
justru menhindari alternatif yang dianjurkan
petugas kesehatan.
Dukungan keluarga adalah semua
bantuan yang diberikan oleh anggota
keluarga sehingga akan memberikan rasa
nyaman secara fisik dan psikologis pada
individu yang sedang merasa tertekan atau
stress
Untuk melihat bagaimana dukungan
keluarga terhadap pasien kusta maka peneliti berlandaskan kepada bentuk dukungan
keluarga menurut Goldsworthy,1998 (dalam
Masykur,2010) bahwa ada 4 jenis dukungan
sosial, yaitu dukuingan emosional,
dukungan instrumental, dukungan informasi
dan dukungan spiritual.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Masykur (2010) dan Rilauni
Mongi (2012) tidak melibatkan variabel
dukungan spiritual, karena berpegang pada
konsep dukungan keluarga terhadap
perawatan dan pelayanan kesehatan
(Friedman,2003), bahwa dukungan keluarga
adalah bagian dari dukungan sosial.
Dukungan keluarga dalam perawatan kesehatan ada 3, dan tidak termasuk
didalamnya dukungan spiritual. Namun
peneliti menambahkan variabel dukungan
spiritual untuk melihat apakah keluarga
mendukung pasien dari segi dukungan spiritual.
Ada 44 (55,7%) dari 79 responden
yang mengatakan bahwa anggota keluarga
dengan senangtiasa meyakinkan agar responden tidak berputus asa. Bahkan 61 responden (77,2%) percaya ketika keluarga
mereka memberi tahu bahwa doa adalah
obat yang terbaik diantara obat-obat yang
lain asalkan didampingi dengan usaha untuk
berobat.
Dapat dilihat bagaimana kesabaran
Nabi Ayyub as dalam menghadapi cobaan
yang diberikan kepadanya berupa beratnya
penyakit kulitnya, sebagaimana Allah berfirman dalam QS Al-Anbiyaa 21/84 sebagai
berikut :
Terjemahnya :
“Maka Kamipun memperkenankan
seruannya itu, lalu Kami lenyapkan
penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang
menyembah Allah.”
Ayat diatas berbicara tentang ujian
yang dialami nabi ayyub as serta anugerah
rahmat Allah kepadanya ditutup dengan pernyataan bahwa yang demikian itu adalah peringatan bagi hamba-hamba Allah.
Ini memberi kesan bahwa setiap orang
yang mengabdi kepada Allah harus siap
menghadapi aneka ujian karena dengan
ujian seseorang dapat meningkat dan
meningkat
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 79 responden pasien kusta di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar tentang
persepsi pasien tentang penyakit kusta dan
dukungan keluarga terhadap penderita,
dapat disimpulkan : 1) Responden yang
memiliki persepsi positif tentang beratnya
penyakit kusta sebanyak 60 responden
(75,9%) dari 79 responden di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun
2015. 2) Responden yang memiliki persepsi positif tentang risiko penyakit kusta
sebanyak 46 responden (58,2%) dari 79
responden di RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun 2015. 3) Responden yang
memiliki persepsi positif tentang konsekuensi tidak teratur berobat sebanyaki 59
responden (75,7%) dari 79 responden di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun
2015. 4) Responden yang memiliki persepsi negatif tentang persepsi pencegahan
kecacatan sebanyak 43 responden (54,4%)
dari 79 responden di RS.Dr.Tadjuddin
Chalid Makassar Tahun 2015. 5) Responden yang memiliki dukungan emosional
keluarga yang mendukung sebanyak 40
responden (50,6%) dari 79 responden di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun
2015. 6) Responden yang memiliki
dukungan instrumental keluarga yang tidak
mendukung sebanyak 59 responden
(74,7%) dari 79 responden di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun
2015. 7) Responden yang memiliki
dukungan informasi keluarga yang tidak
mendukung sebanyak 52 responden
(65,8%) dari 79 responden di
RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun
2015. 8) Responden yang memiliki
dukungan spiritual keluarga yang mendukung sebanyak 60 responden (75,9%)
dari 79 responden di RS.Dr.Tadjuddin
Chalid Makassar Tahun 2015.
kusta20
Penyakit kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, akan
menyerang kulit dan saraf tepi, serta ditularkan melalui saluran pernafasan atas.
Penatalaksanaan penyakit kusta perlu kesabaran penderita dalam pengobatan, karena
membutuhkan waktu yang lama. Kepatuhan penderita dalam proses pengobatan menentukan
keberhasilan pengobatan. Perilaku sehat dalam penatalaksanaan pengobatan kusta
membutuhkan kepatuhan disipilin dalam mengonsumsi obat kusta. Penatalaksanaan
pengobatan yang buruk dapat berdampak kerusakan permanen pada anggota tubuh penderita
yaitu terjadinya kecacatan tubuh. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor utama dimensi
dari perilaku sehat yang mempengaruhi kepatuhan penderita kusta dalam mengonsumsi Multi
Drug Therafi (MDT) penyakit kusta. Desain penelitian menggunakan deskritif cross sectional, teknik sampel yang digunakan secara total sampling sebanyak 15 orang. Instrumen penelitian
menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan kepatuhan serta perilaku sehat yang terdiri
dari dimensi pengetahuan, sikap dan psikomotor, dan dianalisa dengan menggunakan regresi
linier berganda. Hasil didapat bahwa faktor pengetahuan, sikap, dan psikomotor memiliki
pengaruh positif dan signifikan dengan kepatuhan penderita mengonsumsi MDT (p value <
0,005), dimensi pengetahuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan dengan
nilai p value 0,001. Secara keseluruahan koefisien determinan pengetahuan, sikap, dan perilaku
terhadap kepatuhan penderita kusta mempunyai hubungan yang sangat kuat ( R = 0,809).
Maka peneliti menyarankan penderita kusta untuk berperilaku sehat dalam menjalankan
kepatuhan mengosumsi obat untuk mencegah kecacatan dan perlu adanya pengawas minum
obat bagi penderita kusta.
Profil Kesehatan RI melaporkan terdapat
17.202 kasus baru kusta dengan 84,5%
kasus di antaranya merupakan tipe Multi
Basiler (MB), dan Jawa Barat merupakan
urutan kedua yang mempunyai kasus kusta
baru terbanyak serta termasuk provinsi
beban kusta high burden yaitu sebanyak 2026
orang atau New Case Detection Rate (NCDR)
34%, jenis kusta MB sebanyak 2.223 orang
dan PB 125 orang dari jumlah penduduk
Jawa Barat sebanyak 46.709.569 jiwa
(Kemenkes RI, 2015) .
Sedangkan laporan Dinkes Kota Depok
tahun 2016 ditemukan ada 40 penderita
kusta Baru dengan wilayah Puskesmas
Limo sebanyak 16 penderita, Puskesmas
Cipayung terdapat 14 penderita, dan
Puskesmas Bojongsari sebanyak 10
penderita (Depok Pos, 2017).
Kelurahan Limo merupakan bagian dari
wilayah Kota Depok, yang didapatkn 16
penderita baru, dan hasil penelitian Siregar
& Ratnawati (2018) dari 9 penderita kusta di
Kelurahan Limo hidupnya berada di garis
kemiskinan, membuat penderita malas
untuk kontrol secara rutin datang berobat
ke Puskesmas, sehingga penderita
menjalankan pengobatan dan perawatan
belum optimal, terutama dalam kepatuhan
mengonsusmi obat secara rutin. Laporan
Puskesmas tercatat dari 9 orang yang
terdata di Puskesmas, masih ada 3 orang
yang tidak disiplin dalam berobat
Pengobatan kusta memerlukan penanganan
yang cepat dan berkelanjutan serta
memerlukan kedisiplinan dalam
pengobatan. Pengobatan kusta
membutuhkan waktu yang lama. Kusta tipe
PB membutuhkan waktu 6 – 9 bulan,
sedangkan tipe MB membutuhkan waktu 12
– 18 bulan. Pengobatan penderita kusta
bertujuan untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit
penderita, mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada dalam pengobatan
Pengobatan yang lama ini memiliki risiko
tinggi dalam ketidakpatuhan berobat dan
minum obat bagi penderita (Kemenkes RI,
2014). Seperti riset Wiyarni, (2013)
menyimpulkan sebanyak 48 orang (62,3%)
penderita kusta tidak patuh dalam minum
obat. Ketidakpatuhan seseorang dalam
pengobatan juga sebagai pendukung
morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan
kesehatan yang cukup besar
Banyak faktor yang mempengaruhi
kepatuhan penderita kusta dalam
mengkonsumsi MDT. Beberapa penelitian
mengungkapkan kepatuhan seseorang
dalam mengonsumsi obat karena lupa, tidak
suka obat tersebut, efek samping dari obat
yang tidak disukai, kondisi merasa lebih baik
dan biaya (Morisky, 2015). Faktor-faktor
tersebut sangat ditentukan oleh perilaku
sehat dari penderita dalam kepatuhan
mengonsumsi obat. Ketaatan minum obat
adalah salah satu yang paling menarik dan
kompleks dari perilaku pasien.
Ketidakpatuhan pada rejimen obat dapat
menghasilkan hasil yang negatif, dan dapat
ditambah pada populasi dengan penyakit
kronis karena durasi waktu yang panjang
dalam pengobatan semua ini ditentukan dari
perilaku sehat penderita (Cognizant, 2014).
Maka berdasarkan latar belakang yang ada
terkait dengan partisipasi penderita dalam
pelaksanaan program pengobatan kusta
yang dicanagkan pemerintah dalam
mencegah kecacatan sangat penting
dilakukan oleh penderita kusta. Peneliti
tertarik membahas perilaku sehat penderia
kusta dalam kepatuhan mengonsumsi MDT
penyakit kusta, untuk itu peneliti ingin
mencari faktor dimensi manakah yang lebih
dominan dari perilaku sehat penderita kusta
untuk patuh mengonsumsi MDT penyakit
kusta di wilayah kerja Puskesma Limo Koa
Depok ?
Penelitian ini menggunakan desain
penelitian deskritif cross sectional, dan analisa
data menggunakan regresi berganda. Sampel
yang digunakan total sampling hanya 15 orang
penderita kusta yang aktif di Puskesmas
Limo Depok.
Pengambilan data menggunakan kuesioner
yang berisi peryataan dari dimensi variabel
perilaku sehat konsep (Notoadmodjo,
2007): 10 pernyataan pengetahuan, 10
pernyataan sikap, dan 10 pernytaan
psikomotor; serta varibel kepatuhan diambil
dari (Bruner and Sudarth, 2014) dengan 12
pernyataan, bentuk jawaban kuesioner
menggunakan skala likert. Hasil uji
reliabilitas validitas dilakukan pada
penderita yang berobat kontrol di Puskemas
sebanyak 20 reponden dengan hasil sikap
(reliabilitas 0,912 dan validitas 0,584 –
0,870), pengetahuan (reliabilitas 0,922 dan validitas 0,410 – 0,533), psikomotor
(reliabilitas 0,946 dan validitas 0,525 –
0,976), serta kepatuhan (reliabilitas 0,940
dan validitas 0,532 – 0,931).
Hasil analisa data untuk menjawab hipotesa
menggunakan Regresi Linier Berganda,
namun untuk memenuhi syarat
penggunanaan metode analisa data ini
dilakukan ujia asumsi penggunaan model
linier berganda terlebih dahulu berupa uji
asumsi eksistensi, asumsi idependensi, uji
homoscedasiticiy, asumsi normalitas dan
multikolinearitas
Tabel 1 berikut menjelaskan karakteristik
responden penderita kusta, bahwa penderita
kusta usia termuda ada 1 dikatagroikkan
dibawah usia 17 tahun dengan data asli usia
4 tahun, sedangkan usia > 17 ada 14
orang(93,33%) dan dengan usia tertua dari
pendataan 61 tahun satu orang. Jenis
kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak
9 orang (60%). Pendididkan penderita
terbanyak SMA sebanyak 8 orang (53,33%),
Jenis Kusta terbanyak adalah tipe Multi
Basiler sebanyak 13 orang (86,7%), lama
menderita kusta lebih dari 12 bulan juga
sebanyak 13 orang (86,7%).
Melihat data karakteristik ini juga telah
disesuaikan dengan data dari Puskesmas
dan saat kunjungan rumah untuk validasi, terutama kehidupan sehari-hari penderita
semua berada pada kondisi miskinHasil Uji Asumsi Linier Berganda
Uji Asumsi terpenuhi semua karena, pada
1) Asumsi eksistensi, dimana nilai mean
berada di analisa statistik residual 0,000 dan
standar deviasi 0,805, 2) Asumsi
independensi dengan nilai Durbin Watson
1,813 yang berarti direntang -2 sampai
dengan +2; 3) Asumsi Homscedascity,
didapat titik tebaran tidak berpola tertentu
dan mentebar merata di sekitar garis tiik
nol maka dapat disebut, varian homogenypada setiap nilai x; 4) Asumsi Liniearitas,
dari hasil uji ANOVA p value 0,000 <
0,005, berarti model berbentuk linier; 5)
Asumsi Normalitas, dimana Plot residual
data menyebar di sekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis , maka model
memenuhi asumsi model regresi., 6)
Diagnostik Multikolinearitas, dilihat pada
nilai VIF < 10 (Pengetahuan VIF 1,180,
Sikap VIF 1,171, dan Psikomotor VIF
1,031).
Berdasarkan data kareakteristirk repsonden
pada Tabel 1, didapat data penderita kusta
terbanyak adalah jenis MB (Multi Basiler)
sebanyak 13 orang (86,7%). Penderita kusta
dengan jenis MB membutuhkan
pengobatan selama 12 bulan, secara tidak
langsung sangat membutuhkan kepatuhan signifikan terhadap kepatuhan dengan nilai
t hitung 3,915 dan probabilitanya 0,002;
psikomotor berpengaruh positif terhadap
kepatuhan dengan nilai t hitung 2.589 dan
probabilitasnya 0,003. Ketiga koefisien
regresi signifikan terhadap kepatuhan
Pada tabel 4 juga dijelaskan secara parsial
pengetahuan (p value= 0,001), sikap (p value
= 0,002), dan psikomotor (p value 0,025)
berhubungan dengan kepatuhan. Faktor
penentu utama dalam kepatuhan secara
berturut-turut dari pengetahuan, sikap, dan
psikomotor. Dari uji Anova atau F di
dapat F hitung 14,204 dengan tingkat
signifikan 0,000, yaitu lebih kecil dari 0,05,
maka model regresi bisa dipakai untuk
memprediksi kepatuhan. penderita dalam pengobatan, karena
pengobatan yang tidak tuntas
mengakibatkan penderita harus memulai
lagi dari tahap awal
Kusta tipe MB lebih berisiko untuk mengalami reaksi kusta (kecacatan) dan 50%
penderita kusta mengalami reaksi kusta
pada tahun per-tama setelah didiagnosis kusta, reaksi kusta akan me-ningkat pada
pasien dengan penyakit kusta lama atau
pengobatan kusta yang lama
Dari survey langsung ke rumah penderita
dan pegamatan bahwa kehidupan
penderitan termasuk dalam katagorik
miskin, rumah sangat sederhana dan kondisi
lingkungan sangat lembab, berisiko penyakit
kusta penderita terbanyak dalam katgorik
MB. Kondis hidup miskin ditambah adanya
penyakit kusta yang didierita menambah
stigma dari masyarakat. Stigma yang
didapat penderita mempengaruhi penderita
untuk datang ke pelayanan kesehatan
sehingga mempengaruhi juga penderita
dalam kepatuhan berobat. stigma sosial dan
self-stigma dapat menjadi faktor yang
berkontribusi besar untuk mencari
pengobatan yang teratur
bahwa pendapatan keluarga yang rendah
juga mempengaruhi kepatuhan penderita
dalam kepatuhan pengobatan
Data karakteristik pada Tabel 1, tingkat
pendidikan penderita terbanyak 8 orang
SMA (53,33%) selebihnya SMP.Riset
Siregar & Ratnawati (2018) dari 9 penderita
kusta, empat orang berpendidikan SMP,
dan sisanya SD dan SMA, bahwa pasien dan
keluarga menyatakan tidak memahami
etiologi, pengobatan dan perawatan pada
penyakit kusta. Kondisi ini kaitannya
dengan pendidikan penderita. Tingkat
pendidikan seseorang mempengaruhi
wawasan sesorang dalam memahami
penyakit atau pengobatannya
Wawasana seseorang dalam memahami
sesuatu dalam pengetahuan pengobatan dan
perawatan penyakitnya menentukan
keberhasilan dalam penyembuhan
penyakitnya. Pengetahuan sangat
menentukan terlambatnya diagnosa
penyakit sehingga tingginya frekuensi
diagonsa kusta yang tertunda,
ketidaksadaran akan diagnosis, serta
kepatuhan dalam pengobatan, waktu yang
panjang anatar terpapar gejala dengan waktu
diagnosis mencerminkan ketidaktahuan
penderita dan ketidak pedulian gejala
penyakit kusta
Hampir separuh responden kusta (49,7%)
dari 245 responden tidak mengetahui
keparahan gejala seperti bercak merah,
bengkak kecil, sensasi kesemutan dirasakan
di luka, percaya bahwa gejala akan hilang
Pengetahuan penderita kusta perlu
diberikan karena berkaitan dengan
pengobatan khususnya dalam kepatuhan
mengonsumsi obat. Hasil riset Rustam
(2014) bahwa ada hubungan antara
pengetahuan dengan kepatuhan minum
obat, pengetahuan mempengaruhi
kepatuhan seseorang dalam mengonsumi obat, dikarenaka pada risetnya mayoritas
penderita kurang mendapat informasi dan
edkuasi dari petugas kesehatan tentang
penyakit kusta dan tata cara pengobatannya.
Hal ini juga didukung dari riset Selum &
Wahyuni (2012) ada pengaruh antara
pengetahuan dengan kepatuhan berobat
karena semakin banyak informasi yang
diperoleh penderita tentang kusta, maka
pengetahuan penderita tentang kusta
khususnya pentingnya pengobatan untuk
kesembuhan kusta akan baik, sehingga
penderita dapat termotivasi untuk berobat
secara teratur. Terbukti dari riset Brown et
al (2016) bahwa 50% penderita yang
mengingat apa yang dibahas saat bertemu
dengan dokter mengenai penyakitnya, hal
ini akan mempengaruhi kepatuhan dalam
,mengonsumsi obat, maka dibutuhkan
teknik yang efektif dalam pendidikan
kesehatan penderita.
Dari pendidikan kesehatan yang didapat
oleh penderita menentukan ketaatan
penderita minum obat sering diartikan
sebagai usaha pasien untuk mengendalikan
perilaku atau sikapnya apakah pasien
mengikuti apa yang disampkain oleh
petugas untuk dilaksanakan guna mencapai
kesembuhan. Sikap dalam kehidupan seharihari adalah merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan/psikomotor atau
perilaku
Sikap penderita kusta ingin berobat dengan
patuh dibuktikan dengan kemampuannya
dalam kemampuan penderita untuk
melakukan perawatan pribadi, dengan
diidentifikasi sebagai kemampuan mereka
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,
mengontrol lingkungan hidup mereka,
menggunakan alat pelindung diri, kulit dan
perawatan luka, pencegahan kecacatan dan
partisipasi dalam self care gorups (Sutanto, T.,
Dewi, EI., & Rahmawati, I., 2017). Hasil
penelitian pada penderita kusta di
Kabupaten Gresik, bahwa ada pengaruh
sikap penderita terhadap pengobatan dini
dan pengobatan teratur, karena dengan
pengobatan yang
Kepatuhan minum obat pada pasien
merupakan suatu perilaku terbuka (overt
behavior), pendidikan kepatuhan minum obat
mengajak klien lebih berperilaku terbuka dan
mampu menerima keadaannya sehingga bisa
berkomitmen dengan keputusan yang dia
buat adanya keyakinan,
konstruksi pengetahuan atau pemahaman
seseorang menentukan sebuah episode
penyakit, penyebabnya, kronisitas dan
modus dari onset gejala, patofisiologi
penyakit, dan konsekueni dalam
pengobatan merupakan faktor-faktor
berperilaku sehat untuk mengatasi masalah
kesehatannya.Selain faktor perilaku sehat, ada faktor lain
yang harus diperhatikan untuk membahas
mengenai kepatuhan seseorang dalam
berobat, seperti yang diuraikan WHO (2003
dalam Gurumurthy, 2018) yaitu sosial
ekonomi, provider pasien/sistem pelayanan
kesehatan, terkait kondisi dengan rejimen
pengobatan penyakit lain yang mneyertai,
terkait obatnya, terkait kondisi pasiennya.