neurologi 10

 











berupa hypermetric ipsiversive saccade atau hypometric contraversive


saccade. Sakadik diskinesia seperti ocular


flutter, opsclonus, dan square wave jerk


merupakan abnormal spontaneous eye


movement; beserta gangguan sakadik 


lain, seperti gangguan antisakadik, sakadik prediktif dan memory-guided saccade


tidak dibahas dalam bab ini.


D. Gangguan Smooth Pursuit


Apabila dibandingkan dengan gangguan 


sakadik, gangguan smooth pursuit lebih 


sulit ditentukan topisnya sebab  melibatkan struktur yang kompleks dan difus. 


Setidaknya ada tiga tipe gangguan smooth


pursuit, yakni direksional, retinotopik, 


dan kraniotopik (Gambar 22). Gangguan 


smooth pursuit direksional meliputi gangguan smooth pursuit ke arah ipsilateral 


lesi. Gangguan ini paling umum terjadi, 


akibat lesi di occipito-temporo-parietal


junction dan korteks frontal atau SEE 


Gangguan smooth pursuit retinotopik, 


yakni gangguan smooth pursuit pada sisi 


kontralateral lesi, tidak bergantung pada 


arah lirikan, Struktur yang dipikirkan 


terlibat yaitu  occipito-temporo-parietal


junction dan korteks striatum. Terakhir, 


gangguan smooth pursuit kraniotopik 


berupa gangguan smooth pursuit ke arah 


kontralateral lesi sesudah  melewati garis 


tengah. Dalam hal ini gerakan smooth pursuit ke arah kontralateral lesi masih normal sebelum mencapai garis tengah.


3. Nukleus dan Fasikulus Okular Motor


Lesi ini terletak di batang otak, dikelompokkan sebagai lesi sentral dan pada literatur lain sebagai lesi intraaksial. Lesi 


nukleus dan fasikulus relatif lebih jarang 


terjadi diban-dingkan lesi nervus okular 


motor, masing-masing memiliki karakteristikyang berbeda.


a. Nukleus dan fasikulus nervus III


Nuldeus nervus III terdiri dari beberapa 


subnukleus dengan yang dapat menginervasi secara bilateral (subnukleus levator palpebra), kontralateral (subnukleus 


rektus superior), dan sisanya ipsilateral. 


Dengan demildan, gambaran ldasik lesi 


nukleus yaitu  berupa: 1) kelumpuhan 


depresi, aduksi, eksiklorotasi, dan pupil 


abnormal (dilatasi pupil dengan refleks 


cahaya terganggu) ipsilateral; 2) ptosis 


bilateral; serta 3) kelumpuhan elevasi 


bilateral. Namun demildan varian selalu 


ada dan tidak dibahas dalam bab ini.


Fasikulus, yang merupakan serabut yang 


berasal dari beberapa subnukleus, berjalan di mesensefalon melalui beberapa 


struktur. Oleh sebab  itu petunjuk yang 


paling mudah yaitu  adanya sindrom 


mesensefalon yang terdiri dari paresis 


nervus III ditambah defisit lain (Gambar 23). Selain itu, oleh sebab  konfigurasi serabut yang menyusun fasikulus, 


kadang ditemukan pola divisional, yakni 


divisi superior (kelumpuhan otot rektus 


superior dan otot levator palpebral) atau 


divisi inferior yakni fungsi nervus III 


yang lain.

 

b. Nukleus dan fasikulus nervus IV


Lesi pada nukleus memilikl gejala yang 


sama dengan lesi di fasikulus nervus 


IV, yaitu kelumpuhan otot oblik superior kontralateral. Hal disebabkan oleh 


fasikulus nervus IV yang berasal dari 


nukleus berjalan menyilang di dorsal 


mesensefalon saat akan keluar dari 


mesensefalon (Gambar 24). Petunjuk 


lainnya, lesi nukleus dan fasikulus dapat 


disertai sindrom Horner, sebab  traktus 


okulosimpatik berdekatan dengan nukleus nervus IV.


c. Nukleus dan fasikulus nervus VI 


Nukleus nervus VI memiliki dua neuron, 


yakni motor neuron yang berproyeksi ke 


otot rektus lateral (fasikulus) dan interneuron yang memberikan sinyal ke nukleus nervus III kontralateral melalui FLM


(Gambar 25). Dengan demildan lesi nukleus nervus VI akan bermanifestasi sebagai 


kelumpuhan lirik horizontal, sedangkan 


lesi fasikulus sama seperti lesi nervus VI 


yakni kelumpuhan abduksi (otot rektus 


lateral). Petunjuk lain lesi fasikulus yaitu  


umumnya disertai paresis nervus VII yang 


letak nukleusnya berdekatan.


4. Nervus Olmlar Motor


Lesi nervus okular motor difokuskan pada 


nervus yang telah keluar dari batang otak, 


yakni yang berada di ruang subaraknoid, 


sinus kavernosus, dan intraorbita. Lesi ini 


disebut juga lesi perifer (neuropati perifer) dan pada literatur lain disebut lesi 


ekstraaksial. Nervus okular motor dalam 


bahasan ini dibedakan menjadi paresis 


nervus okular motor terisolir dan paresis 


nervus okular motor multipel.

 

a. Nervus III terisolir


berdasar  kelumpuhan otot rektus, 


oblik, dan levator palpebral, paresis nervus 


III terisolir dapat dibagi menjadi dua, yakni 


komplet atau inkomplet Paresis dianggap 


komplet jika kelumpuhan melibatkan 


seluruh otot ini , sedangkan apabila 


hanya sebagian yang lumpuh disebut 


inkomplet Gambaran klinis paresis nervus 


III komplet sangat khas, yakni ptosis dan 


posisi mata down and out ipsilateral.


Paresis nervus III terisolir yang hanya 


melibatkan otot, sementara pupil normal [pupil sparing) disebut juga oftalmoplegia eksternal. Namun jika melibatkan gangguan pupil [pupil involvement)


disebut sebagai oftalmoplegia internal. 


Penentuan keterlibatan pupil [pupil


sparing atau involvement) dan komplet 


atau inkomplet tidak memiliki nilai lokalisasi, namun sangat penting untuk 


manajemen tata laksana.


Dua etiologi paresis nervus III terisolir 


yang paling sering yaitu  iskemik mikrovaskular dan lesi kompresi. Keduanya sangat berbeda tata laksana dan 


prognosisnya, namun dapat ditentukan 


berdasar  gambaran pupil dan sinkinesia okulomotor. Sinkinesis okulomotor merupakan kontraksi anomali otot 


akibat regenerasi aberans. Misalnya saat 


aduksi atau depresi, kelopak mata akan 


terangkat atau pupil konstriksi. Pada lesi 


kompresi dapat ditemukan sinkinesis 


okulomotor, dan sebaliknya pada iskemik jarang ada  sinkinesis.


Lesi kompresi sering melibatkan pupil 


sebab  serabut yang mempersarafinya 


berada di dorsomedial dan paling superfisial, sehingga paling rentan terhadap - 


kompresi. Hal ini menjadi tanda yang 


penting dicari, pada keadaan herniasi unkal, peningkatan TIK yang meregangkan 


nervus III saat melalui tepi tentorium, 


dan aneurisma. Aneurisma merupakan 


pemicu  tersering, sebab  nervus ill 


pada saat keluar dari mesensefalon diapit oleh 3 pembuluh darah yakni PCA, 


SCA, dan arteri komunikans posterior 


[posterior communicating artery{ PCom).


pemicu  tersering paresis nervus III 


komplet dengan pupil sparing yaitu  


iskemia mikrovaskular. Berbeda dengan 


aneurisma yang mengancam jiwa, iskemia ini sering pada pasien diabetes melitus atau faktor risiko vaskular lain. Disebut juga pemicu  tidak berbahaya atau 


benign oleh sebab  umumnya gejalanya 


akan swasirna dalam 8-12 minggu.


Kaidah pupil [pupil rule) menyatakan 


bahwa paresis nervus III terisolir dan 


komplet dengan pupil sparing komplet 


tidak pernah disebabkan oleh aneurisma. Jadi jika ditemukan paresis nervus 


III komplet dengan pupil involvement,


harus dipikirkan aneurisma sampai terbukti tidak dengan pemeriksaan MRI/ 


MRA atau CT angiografi segera. Sebaliknya jika ditemukan paresis nervus III 


komplet dengan pupil sparing, paling 


sering dilakukan "wait and see"

 

berdasar  studi dilaporkan pupil sparing terjadi pada 75% masalah  iskemia mikrovaskular dan pupil involvement pada 


>90% aneurisma. Namun pada iskemia 


mikrovaskular dapat juga ditemukan pupil involvement. Dhune dkk melaporkan 


26% pasien iskemia mikrovaskular ditemukan pupil anisokor l-2mm, sedangkan Jacobson medapatkan 38% mengalami pupil anisokor <lmm.


Secara umum disebutkan bahwa pupil 


anisokor (<lmm hingga 2,5mm) dapat 


terjadi pada 30-40% pasien dengan iskemia mikrovaskular. Studi di Jepang melaporkan 90% pasien dengan aneurisma 


dan 32% pasien dengan iskemia mikrovaskular ada  pupil involvement


Dengan tambahan, pasien dengan aneurisma mengalami anisokor >2mm dan 


hanya <lmm pada iskemia mikrovaskular. Sebaliknya, pada pasien aneurismapun dapat ditemukan pupil sparing.


Dalam satu studi dilaporkan 14% pasien 


aneurisma mengalami pupil sparing, namun akhirnya mengalami keterlibatan 


dalam beberapa hari.


Masalah diagnosa  lain yang akan mempengaruhi tata laksana, yakni tidak selalu paresis nervus III komplet dengan 


pupil sparing disebabkan oleh pemicu  


yang benign, sehingga diperlukan identifikasi faktor lain yang dapat menjadi 


tanda bahaya untuk evaluasi diagnostik.


Pada iskemia mikrovaskular, umumnya 


pasien berusia lanjut (>50 tahun), memiliki faktor risiko vaskular, dan kejadiannya akut serta sering disertai nyeri. 


Pada keadaan ini , kebanyakan protokol memakai  pendekatan "wait


and see" Sebagian menganjurkan untuk melakukan follow up beberapa hari 


hingga 1 minggu untuk melihat adanya 


keterlibatan pupil. Ada pula yang menganjurkan follow up minggu ke 4-6 untuk 


melihat perbaikan atau progresifitas gejala. Pada usia lanjut tanpa faktor risiko 


vaskular, dipertimbangkan evaluasi giant cell arteritis (GCA) dengan pemeriksaan laju endap darah dan c-reactive


protein (CRP). Usia muda (<50 tahun), 


riwayat keganasan, disertai defisit neurologis merupakan tanda bahaya untuk 


segera evaluasi diagnostik.


Apabila ditemukan paresis inkomplet 


atau paresis komplet dengan pupil involvement, tanpa melihat usia, dianjurkan dilakukan pencitraan segera. Sampai saat ini belum ada protokol baku 


manajemen paresis nervus okular motor, 


khususnya nervus III, namun dapat dilakukan pendekatan Minis seperti pada 


Gambar 26.


b. Paresis nervus IV


Berbeda dengan lesi nuldeus dan fasikulus, kelumpuhan otot oblik superior 


pada lesi nervus yaitu  ipsilateral. Manifestasinya berupa hipertropia ipsilateral 


dan dapat disertai head tilt ke kontralateral. pemicu  paling sering paresis nervus IV terisolir yakni cedera kepala yang 


dapat diidentifikasi melalui anamnesis. 


Persentase iskemia mikrovaskular sebagai pemicu  paresis nervus IV tidak 


sebanyak nervus III. Protokol diagnositik 


yang dianjurkan yakni seperti paresis III 


komplet dengan pupil sparing. 

c. Paresis nervus VI


Karakteristiknya sama dengan lesi fasikulus, yaitu gangguan abduksi dan esotropia ipsilateral Oleh sebab  etiologinya berbeda, perlu dibedakan antara 


paresis nervus VI unilateral atau bilateral. Jika bilateral dipikirkan peningkatan TIK, akibat dampaknya pada nervus 


VI saat melalui kanal Dorello, sehingga 


perlu pemeriksaan pencitraan. pemicu  paresis nervus VI unilateral paling 


sering yakni iskemia mikrovaskular, perlu protokol diagnostik seperti paresis III 


komplet dengan pupil sparing.


N e u ro p a ti K r a n ia l M u ltip e l


Neuropati nervus okular motor multipel 


dapat mempunyai nilai lokalisasi ataupun 


tidak. Jika ditemukan paresis nervus III, 


IV, dan VI multipel, ada  beberapa kemungkinan pemicu , yakni: 1} lesi di ruang subaraknoid atau basis kranii seperti 


meningitis atau karsinoma nasofaring dengan infitrasi basis kranii; 2) lesi di sinus 


kavernosus seperti trombosis sinus kavernosus, dan 3) lesi di fisura orbitalis superior hingga intraorbita. ada  perbedaan 


nervus kranial yang terlibat pada lesi sinus 


kavernous, fisura orbitalis superior, apeks 


orbita (Gambar 27). Selain itu perlu dipikirkan pemicu  seperti miastenia gravis (MG) 


dan sindrom Miller Fisher (oftalmoplegia, 


ataksia, arefleksia).


T a u t O to t S a r a f


pemicu  tersering lesi taut otot saraf yaitu  


MG dan botulismus. Miastenia okular dapat 


menyerupai gangguan gerakan bola mata 


apapun, seperti INO dan paresis nervus okular motor. Namun yang dapat menjadi petunjuk pada paresis nervus III yakni adanya 


pupil sparing. Adanya fatig dan diplopia yang 

Dervariasi pada waktu pemeriksaan yang 


Derbeda dapat dipikirkan akibat etiologi ini, 


iemikian pula tanda-tanda miastenia okuar pada pemeriksaan fisik. Miastenia gravis 


iapat generalisata disertai kelumpuhan otot, 


lamun sensoris masih baik. Evaluasi diaglostik dapat dilakukan pemeriksaan Harvey 


Vlasland, pemeriksaan antibodi reseptor 


isetilkolin (AchR), dan single fiber test


3otulismus terjadi akibat paparan toksin 


mtikolinergik yang diproduksi Clostridium


iotulinum. Manifestasinya berupa oftalmoitaresis subakut dengan pupil involvement,


;erta gejala khas berupa paralisis akomoiasi dan light-near dissociation.


3 to t E k stra o k u la r


<elumpuhan otot ekstraokular terutama 


lipikirkan pada kecurigaan lesi intraorbita 


fang telah dibahas sebelumnya. Beberapa 


iteratur mengelompokkan sebagai lesi jilak (seperti tiroid oftalmopati atau thyroid


y e disease/TED) dan pseudotumor orbita 


fang biasanya berupa lesi inflamasi) dan lesi 


naligna, yakni tumor primer atau sekunder.


^ada TED ada  oftalmoparesis unilat- 


;ral atau bilateral asimetri yang tidak nyeri. 


)tot rektus medialis dan otot rektus infe- 


‘ior pada umumnya terlibat pertama kali, 


lal ini bisa terjadi pada kondisi eutiroid, 


lipotiroid, dan hipertiroid. Perlu dilakukan 


7T/MRI orbita berupa gambaran pembe- 


;aran otot ekstraokular yang terlibat tanpa 


nelibatkan insersi tendon pada bola mata.


Jada pseudotumor orbita, dapat terjadi 


jftalmoparesis unilateral dan nyeri, namun 


)tot ekstraokular yang terlibat tidak spesiik. Pada CT/MRI orbita ditemukan pembe- 


;aran otot ekstraokular yang terlibat yang


melibatkan insersi tendon pada bola mata, 


serta gambaran abnormal pada lemak periorbital dan sklera posterior.


Chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO) tidak memiliki karakteristik 


lesi intraorbita. Manifestasinya berupa 


gangguan motilitas okular bilateral simertris, ptosis bilateral, tidak nyeri, dan pupil


sparing, namun disertai keterlibatan otot 


orbikularis okuli. Oleh sebab  gejalanya bilateral simetris, biasanya tidak disertai diplopia. Perjalanan penyakitnya progresif lambat, sering merupakan bagian dari sindroiri 


Kearn Sayre (dapat disertai masalah jantung 


dan retinitis pigmentosa) dan MELAS (Mitochondrial Encephalomyopathy, Lactic Acidosis, and Stroke-like episodes)


TATA LAKSANA


Penentuan etiologi akan memengaruhi 


tata laksana kausatif, sehingga membantu 


pemulihan dan mencegah perburukan gejala akibat progresifitas penyakit. Misal paresis nervus III akibat kompresi aneurisma 


PCom yang dilakukan clipping. Pada studi 


retrospektif dkk Tan, dilaporkan 98,5% 


resolusi komplet paresis nervus III, lebih 


tinggi dari Khan dkk (87,5%). Metaanalisis dari 11 studi juga menunjukkan adanya 


resolusi komplet paresis nervus III pada 


83,7% masalah . Selain itu, penentuan etiologi 


juga menentukan prognosis kesembuhan 


yang bervariasi. Paresis akibat iskemia mikrovaskular umumnya akan swasirna dalam 


8-12 minggu, sehingga tidak dibutuhkan 


tata laksana khusus.


Namun, seringkali ocular misalignment atau 


gejala diplopia atau visual lainnya menetap meskipun telah dilakukan tata laksana 

kausatif. Pada onset akut sebelum diberikan 


tata laksana kausatif, gangguan ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan hendaya, sehingga dipertimbangkan tata laksana lain. 


Studi menunjukkan penurunan kualitas 


hidup pada pasien dengan ocular misalignment, terutama pada ranah fisik pada pasien 


yang disertai diplopia dan ranah psikososial 


yang tidak disertai diplopia.


Oleh sebab  itu, tujuan tata laksana gangguan gerakan bola mata antara lain menghilangkan atau mengurangi ocular misalignment, mengurangi gejala diplopia atau 


visual confusion, memperbaiki postur head


tilt (misalnya pada paresis nervus IV), dan 


akhirnya memperbaiki fungsi visual semaksimal mungkin. Secara umum tata laksana ini  dibagi menjadi non-operatif 


dan operatif. Tata laksana non-operatif antara lain oklusi, prisma, dan injeksi toksin 


botulinum, bergantung pada pemicu  dan 


tingkat keparahan.


Oklusi dilakukan dengan menutup salah 


satu mata memakai  olduder (occluder)


berupa patch atau plester pada mata atau 


kacamata. Hal ini dapat pada mata yang 


sakit, namun literatur lain menyebutkan 


bahwa oklusi, baik dilakukan pada mata 


yang sakit atau sehat akan efektif untuk 


mengeliminasi diplopia. Pilihan olduder 


dipertimbangkan yang tranlusen atau satin 


sehingga masih memungkinkan cahaya masuk. Oklusi dapat ditawarkan pada tahap  akut 


paresis okular motor atau pada pasien yang 


merupakan kandidat buruk untuk tata laksana non-operatif lain dan operatif.


Prisma terutama bermanfaat pada masalah  


strabismus komitan, deviasi relatif kecil, 


stabil, dan memiliki potensi fusi yang baik.


Namun, prisma pernah dipakai  dan 


berespons baik pada masalah  strabismus 


inkomitan dengan sudut deviasi besar. Dalam 


sebuah literatur disebutkan bahwa secara 


umum prisma efektif untuk pasien dengan 


horizontal misalignment hingga 20-15 prism


diopters (PD) dan vertical misalignment


Tamhakar dkk melaporkan tingkat kepuasan 


pemakaian  prisma sebesar 92% dari 82 


pasien hipertropia akibat paresis nervus IV, 


sedangkan Guntn dkk mencapai 80% untuk 


semua pemicu  diplopia yang diteliti. 


Pasien dengan diplopia vertikal akibat skew


deviation dan paresis nervus IV memiliki 


tingkat kepuasan paling tinggi (100% dan 


92%), sedangkan tiroid oftalmopati dan 


fraktur orbita blowout paling rendah (55% 


dan 8%), Diantara diplopia horizontal, pasien 


anak dengan strabismus dekompensasi 


kombinasi deviasi horizontal dan vertikal 


serta pasien dengan insufisiensi konvergensi 


memiliki tingkat kepuasan paling rendah, 


yakni masing-masing 71 % dan 50%.


ada  dua jenis prisma yakni prisma 


Fresnel yang bersifat temporer dan prisma 


permanen, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Prisma Fresnel menggunakan prinsip bahwa kekuatan prismatik 


dapat tercapai memakai  cincin prismatik konsentrik dengan permukaan tiap 


cincin memiliki kekuatan prismatik. Prisma 


ini tipis, diaplikasikan seperti stiker yang 


dilekatkan pada kaca mata dengan ketebalan hanya 1,00mm dan tidak bergantung 


pada kekuatan prismatik.


Oleh sebab  tipisnya, prisma Fresnel ringan 


dan dapat melakukan koreksi dengan kisaran yang lebih luas atau sudut deviasi yang 


besar (hingga 25D) meskipun dilekatkan pada kacamata. Selain itu, dibandingkan 


prisma permanen, biayanya lebih murah 


dan lebih fleksibel dalam mengubah kekuatan prisma pada masalah  dengan deviasi yang 


bervariasi farak dekat atau jauh. Kekurangannya yakni pemakaian  prisma Fresnel 


dapat memicu penurunan visus, terutama Jika kekuatan prismatik lebih dari 


12D. Berkurangnya kejernihan visualisasi 


obyek juga disebabkan sebab  prisma Fresnel dapat meningkatkan aberasi optik, atau 


adanya debu dan partikel yang terakumulasi pada alur prisma. Selain itu dari segi kosmetik juga kurang diminati.


Prisma permanen biasanya ditanamkan 


pada lensa kacamata. Dengan demikian, 


kurang fleksibel untuk merubah kekuatan 


prismatik, terutama pada masalah  dengan deviasi yang bervariasi menurut jarak. Kelebihan dibandingkan prisma Fresnel yaitu  


dapat memvisualisasikan obyek lebih 


jernih, mudah dibersihkan, dan tidak mudah terlepas.


Pada prakteknya, prisma Fresnel biasanya 


dipakai  pada masalah  ocular misalignment


temporer, seperti pasien dengan paresis nervus IV dan VI akibat iskemia mikrovaskular 


atau sebagai uji awak efektivitas prisma sebelum meresepkan prisma permanen atau 


pada masalah  yang tidak diketahui kekuatan 


prisma yang dibutuhkan. Pasien biasanya 


diminta untuk kontrol 2 minggu untuk memastikan dapat beradaptasi dengan prisma. 


Ketika pasien dapat beradaptasi, maka akan 


diaplikasikan prisma permanen.


Injeksi toksin botulinum dipakai  untuk memperbaiki ocular alignment dengan 


melemahkan otot ekstraokular yang turut 


berkontribusi memperburuk ocular alignment serta mencegah kontraktur pada otot 


antagonis. Dengan demikian diharapkan 


dapat memperbaiki ocular alignment seiring 


dengan perbaikan fungsi otot yang mengalami 


kelumpuhan. Terapi ini terutama bermanfaat 


pada kondisi operasi strabismus tidak memungkinkan seperti pada usia lanjut, kondisi 


Minis tidak stabil atau operasi tidak berhasil. 


Efek toksin botulinum terlihat dalam 2 -4 hari 


pascainjeksi dan biasanya akan hilang sesudah  


8 -12 minggu.


Tata laksana operatif merupakan tata 


laksana utama pada strabismus dewasa 


dengan ocular misalignment besar dan 


stabil dalam beberapa bulan (sekitar 6-12 


bulan). Tindakan ini efektif dan aman pada 


sebagian besar pasien. Angka keberhasilan 


operasi strabismus dengan luaran ocular


alignment dapat mencapai 80% masalah . 


Mills dkk melaporkan angka keberhasilan 


ditinjau dari perbaikan gejala diplopia, 


yakni sebesar 72%, Meskipun efektifitasnya 


baik, tindakan operatif jarang dikerjakan. 


Repka dkk mengestimasi insidens operasi 


hanya 1 dari 5000 pasien.


Pemah dilaporkan pula kegagalan dan komplikasi operasi strabismus, hingga sepertiga pasien mengalami diplopia temporer 


pasca operasi, dan diplopia persisten <1%. 


Komplikasi yang paling sering yaitu  misalignment yang tidak diharapkan, sehingga 


membutuhkan operasi ulang. Mills dick melaporkan tingkat operasi ulang bervariasi dari 


6% hingga 21%, bergantung pada durasi 


follow-up dan kompleksitas strabismus.


ada  beberapa prosedur operasi strabismus, antara lain reseksi, resesi, dan 


transposisi. Reseksi berguna memperkuat 


otot yang mengalami kelumpuhan dengan memendekkan tendon otot dan menjahit 


otot di bagian belakang insersi awal. Resesi bertujuan melemahkan otot antagonis 


dan yoke muscle dengan cara diinsersi otot 


dan menjahitkan pada posisi yang sulit secara mekanik untuk bekerja, misalnya pada 


bagian posterior bola mata. Adapun transposisi melibatkan transfer tendon tanpa 


disinsersi. Hal ini cukup sulit dan akan 


meningkatkan potensi komplikasi. Pilihan 


prosedur operasi dapat berbeda bergantung pemicu  kelumpuhan, tingkat keparahan, dan faktor lain.


Pada masalah  paresis nervus III, prosedur 


operasi bergantung pada jenis kelumpuhan 


[komplet atau inkomplet), tingkat keparahan 


kelumpuhan atau keterbatasan duksi, dan 


faktor terkait lain. Pada paresis komplet, 


beberapa prosedur yang dapat dipilih yaitu  


large recession and resection, globe anchoring


procedure, transposisi oblik superior, dan 


transposisi rektus lateral. Pada masalah  


inkomplet, lebih banyak lagi prosedur yang 


dapat dipilih bergantung otot ekstraokular 


yang mengalami kelumpuhan. Contoh pada 


paresis divisi superior dapat dilakukan 


prosedur Knapp dan prosedur Kushner pada 


paresis divisi inferior.


Berbeda dengan paresis nervus IIII, pilihan 


prosedur lebih terbatas pada paresis nervus 


IV dan VI. Prosedur pada paresis nervus IV 


yaitu  penguatan otot oblik superior ipsilateral, pelemahan otot oblik inferior ipsilateral, resesi rektus inferior kontralateral 


atau resesi otot rektus superior ipsilateral. 


Untuk mengoreksi eksiklotorsi dapat dipertimbangkan prosedur Harada-Ito yang dimodifikasi. Pada paresis nervus VI dengan 


fungsi abduksi masih cukup baik, kombinasi


resesi otot rektus medial dan reseksi otot 


rektus lateral menjadi pilihan. Adapun pada 


gangguan abduksi berat dengan tonus otot 


rektus lateral yang sangat minim, dipertimbangkan transposisi vertikal otot rektus 


kombinasi dengan resesi otot rektus medial. 




TUMOR OTAK PRIMER



Insidens tumor di susunan saraf pusat tidaklah setinggi tumor-tumor sistemik lainnya, 


tetapi merupakan 10 terbesar pemicu  


kematian akibat keganasan sistemik. Pasien 


sering datang dalam keadaan tumor yang 


sudah sangat besar, padahal tumor yang 


ideal yaitu  pada ukuran yang seminimal 


mungkin sehingga akan memberikan luaran 


yang baik.


Tumor otak mempunyai beberapa keunikan sehingga memerlukan pendekatan yang 


berbeda dibanding keganasan di tempat 


lain. Dengan lokasinya yang berada di rongga yang tertutup, maka semua jenis tumor 


yang memicu lesi desak ruang akan 


memicu defisit neurologis. Massa tumor juga dapat tumbuh di mana saja, sehingga walaupun ukurannya kecil, tetapi 


jika berada di lokasi yang fungsionai harus 


segera diatasi   tanpa memperhatikan 


derajat keganasannya. Selain itu, massa tumor juga memicu edema di sekitarnya 


serta dapat menekan sistem ventrikel sehingga terjadi hidrosefalus, yang kesemuanya akan meningkatkan tekanan intrakranial 


(T1K] dan mengancam nyawa.


Prinsip utama tumor secara umum yaitu  


reseksi semaksimal mungkin, bahkan sampai tepi sayatan bebas tumor. Namun pada 


tumor otak, hal ini tidak selalu dapat dilakukan, ter utama jika tumor berada di area 


yang fungsionai, ukurannya terlalu besar, 


atau sulit dijangkau. Adanya sawar darah 


otak juga membatasi pilihan kemoterapi, 


tidak seperti pada keganasan lain yang bisa 


diberikan secara sistemik, Sementara otak 


dan vertebra merupakan organ yang sering 


menjadi target metastasis dari tumor lain. 


Hal-hal ini  mendasari pentingnya deteksi dini klinis kecurigaan adanya tumor 


di SSP, baik primer maupun sekunder, oleh 


sebab  tata laksana pada massa yang berukuran kecil akan memberi prognosis yang 


jauh lebih baik dibandingkan saat tumor sudah menimbulkan berbagai defisit neurologis.


EP1DEMIOLOGI


Secara umum berdasar  data Central Brain


Tumor Registry o f the United States (C8TRUS) 


tahun 2007-2011, meningioma merupakan 


tumor tersering hingga lebih dari 35% dari 


seluruh tumor otak primer usia dewasa, 


diikuti glioblastoma [16% ]. Di Amerika 


Serikat, tumor otak termasuk dalam 10 pemicu  kematian tersering yaitu 1,4% dari 


seluruh keganasan dan 2,4% dari seluruh kematian akibat keganasan. Data Riset Kesehatan 


Dasar (Riskesdas] 2013 tidak memberikan 


keterangan spesifik mengenai angka kejadian 


tumor otak di negara kita . Namun, di Departemen Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo, 


selama tahun 2011-2015 didapatkan rerata usia pasien 48 (18-74) tahun dengan proporsi 


perempuan sedildt lebih banyak dibandingkan 


laki-laki (55,6% vs 44,4%). Mayoritas tumor 


primer yaitu  astrositoma (47%) diikuti meningioma (26%). Data di RS Kanker Dharmais 


pada tahun 1993-2012 menunjukkan insidens 


tumor otak sebesar 1% dari seluruh keganasan, juga terutama golongan glioma (67,4%) 


dan meningioma (16,3%).


PATOFISIOLOGI


Pada prinsipnya tumor otak merupakan hasil akhir dari onkogenesis, yaitu suatu proses 


transformasi sel normal menjadi kanker. Hal 


ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara pembuatan sei-sel baru pada sildus sel 


dengan hilangnya sel-sel lama akibat kematian terprogram (apoptosis). Ketidakseimbangan ini merupakan hasil dari mutasi 


genetik pada 3 kelompok protein, yaitu 1) 


protoonkogen, yang berperan pada pencetus 


pertumbuhan dan diferensiasi sel normal, 


2) tumor suppressor genes, penghambat pertumbuhan dan pengatur apoptosis, serta 3) 


kelompok gen perbaikan DNA. Mutasi protoonkogen disebut sebagai onkogen, menghasilkan protein yang jumlahnya dalam batas 


normal tetapi molekulnya mengalami mutasi 


sehingga efek biologiknya tidak sama dengan 


yang normal, atau dapat fungsinya normal 


tetapi jumlahnya berlebihan.


Pertumbuhan sel yang abnormal secara 


terus menerus akan memicu vaskularisasi dari pembuluh darah host tidak 


mencukupi, sehingga terjadi hipoksia. Hal 


ini memicu sel tumor mensekresi vascular endothelial growth factor (VEGF) untuk 


merangsang pembentukan pembuluh darah 


baru atau angiogenesis (Gambar 1). Selain 


itu sel tumor memnsekresi sitokin proinflamasi yang memicu kerusakan pada 


okludin, suatu protein tight junction antar 


endotel. Hal ini memicu pembuluh darah yang terbentuk tidak sama morfologinya 


dengan yang normal, antara lain hilangnya 


tight junction antar endotel dan tidak utuhnya membran basalis, yang disebut sebagai 


keadaan rusaknya sawar darah otak (SDO) 


atau blood brain barrier (BBB). Pada keadaan ini , terjadi ekstravasasi cairan 


ke sekitar jaringan tumor (edema peritumoral), sebagai suatu edema vasogenik. Hal 


inilah yang memicu lesi desalt ruang 


menjadi peningkatan tekanan intrakranial, 


adanya edema seiring dengan penambahan 


ukuran massa tumornya.


Tumor glia atau glioma merupakan tumor 


dari jaringan penunjang, seperti astrositoma berasal dari sel astrosit, oligodendroglioma dari oligodendrosit, dan ependimoma 


dari sel ependim. Adapun meningioma berasal dari sel meningotel araknoid. Deraj at 


keganasan masing-masing tumor dinilai 


menurut kriteria WHO berdasar  tingkat 


proliferasi dan keaktifan bermitosis, muiai 


dari derajat I yang tingkat proliferasinya 


paling rendah hingga derajat IV yang paling 


aktif bermitosis dan dianggap ganas.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Gambaran klinis memang sangat bervariasi 


tergantung pada letak tumor. Namun berdasarkan prinsip adanya efek desak ruang 


dari massa yang tumbuh progresif di rongga 


kompartemen tertutup, maka sebenarnya 


anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti 


dapat menjadi alat deteksi dini yang efektif. 


Alarm utama sistem saraf kita yaitu  nyeri. 


Dengan bertambahnya tekanan di intrakranial akibat massa di manapun letaknya, akan terjadi peregangan meningen yang merangsang reseptor nyeri di sekitarnya dan menyebabkan nyeri kepala. Gejala ini merupakan 


gejala utama [90%] pada tumor intrakranial.


Semua gejala klinis tumor otak yaitu  berlandaskan pada efek desak ruang. Tekanan 


di intrakranial dipertahankan konstan sesuai dengan hukum Monroe Kelly dengan 


memodifikasi aliran darah dan cairan serebrospinal. Oleh sebab  itu, penambahan 


massa yang minimal masih dapat ditoleransi oleh otak dan belum memicu gejala. 


fika massa terus membesar, meningen akan 


meregang sehingga merangsang reseptor 


nyeri. Efek desak ruang bukan hanya ditimbulkan oleh massa, namun juga oleh edema 


di sekitarnya, sehingga lebih mudah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial 


(Gambar 2]. Selain itu, nyeri juga dapat menyebabkan regangan pada pembuluh darah


dan sinus, sehingga bisa jadi nyeri hebat tidak sesuai dengan efek desak yang minimal.


Nyeri kepala akibat tumor intrakranial harus 


bisa dibedakan dengan nyeri kepala primer. 


Sesuai dengan pertumbuhan massa, maka 


nyeri akan terasa makin lama maldn berat, 


terutama jika ada penambahan volume ke 


intrakranial seperti sesudah  aktivitas fisik, 


malam atau pagi hari, dan saat batuk atau 


mengedan. Pada awal nyeri kepala masih hilang timbul, kemudian nyeri akan lebih sering, 


terlokalisir pada satu area tertentu. Saat nyeri 


menetap dan memberat berarti daya kompensasi otak sudah berkurang, biasanya mulai muncul defisit neurologis. Jika hal ini masih belum terdeteksi, maka bisa jadi pasien 


datang dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala hebat disertai muntah 


serta penurunan kesadaran yang merupakan 


tanda-tanda herniasi serebi (Gambar 2].

 Pada peningkatan volume intrakranial, di 


manapun massanya, tekanan akan diteruskan ke segala arah, sehingga meregangkan meningen, termasuk saraf kranial yang 


melintasinya. Nervus abdusens merupakan 


saraf yang terpanjang melewati area subaraknoid di antara saraf kranial lainnya. Maka 


pada pasien-pasien dengan keluhan nyeri 


kepala berulang bisa ditanyakan adanya keiuhan pandangan ganda atau diplopia terutama saat melihat jauh, dilanjutkan dengan 


pemeriksaan nervus VI yang teliti untuk 


mencari adanya paresis secara minimal. 


Demikian pula dengan nasib nervus optikus


yang begitu keluar dari rongga orbita langsung diselimuti oleh meningen. Tekanan 


yang mulai meningkat secara progresif akan 


memicu jeratan pada nervus ini  


sehingga terjadi papiledema.


Penilaian jaras visual dapat menjadi salah 


satu alat penapis klinis oleh sebab  letaknya 


yang membentang mulai dari bola mata di 


bagian anterior hingga lobus oksipital di daerah posterior sebagai area persepsi visual. 


Selain itu, ada  pula radiasio optika yang 


'mengisi’ parenkim dari bagian tengah ke belakang, ke arah superior dan inferior. Maka 


keluhan pandangan buram, pemeriksaan visual, fundus, dan lapang pandang merupakan paketyang wajib dinilai untukmendeteksi 


adanya massa kecil di intrakranial


Fungsi otak utama yaitu  fungsi kognitif 


yang bisa terlihat pada hampir semua area 


di setiap lobus baik depan belakang, kanan 


dan kiri mempunyai peran dalam fungsi 


ini . Oleh sebab  itu, perubahan fungsi 


kognitif sebenarnya dapat menjadi penapis 


yang sering terlupakan oleh defisit neurologis lain yang terlihat secara kasat mata. 


Gangguan kognitif sebagai awal gejala muncul hingga 30%, setara dengan sakit kepala, 


lebih tinggi dibanding kelemahan motorik. 


Pada pasien yang berpendidikan tinggi atau 


masih aktif bekerja dapat ditanyakan kapan 


mulai merasa aktivitasnya 'terganggu' atau 


keluarga melihat adanya 'perbedaan' dalam 


kegiatan sehari-hari, yang seminimal mungkin seperti gangguan atensi, perubahan 


emosi, dan sebagainya. Hal ini dapat ditindaklanjuti minimal dengan pemeriksaan 


Mini Mental Status Examination (MMSE), 


Montreal Cognitive Assessment [MoCA] versi 


negara kita  (MoCA-Ina] atau pemeriksaan 


fungsi kognitif lengkap untuk memastikan 


gangguannya.


Area otak yang juga cukup luas untuk dicari adanya efek desak ruang yaitu  korteks 


yang melapisi seluruh parenkim. Sesuai 


dengan patofisiologinya, adanya lesi di 


korteks dapat menimbulkan kejang. Keluhan ini bisa tidak disadari oleh pasien atau 


keluarga sebab  bentuk kejang yang bisa 


berbeda-beda sesuai dengan area yang terganggu sehingga perlu anamnesis tersendiri. Oleh sebab  itu, kejang pertama kali pada 


usia dewasa atau tua tanpa demam harus 


dicurigai adanya tumor di intrakranial yang


membutuhkan pemeriksaan pencitraan lebih lanjut dengan pemberian kontras. Hal 


ini biasanyaterjadi pada tumor jenis oligodendroglioma atau astrositoma derajatrendah.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


diagnosa  pasti tumor otak yaitu  dengan 


biopsi. Namun diperlukan anamnesis dan 


pemeriksaan fisik untuk dapat membuat 


dugaan tumor otak agar sebelumnya dapat 


dilakukan pemeriksaan pencitraan baik CT 


scan maupun MRI dengan pemberian zat kontras. Sesuai dengan patofisiologi terjadinya 


kerusakan sawar darah otak oleh sel tumor, 


maka zat kontras akan keluar dari pembuluh darah dan menunjukkan gambaran penyangatan pada pencitraan. Oleh sebab  itu, 


jika pencitraan dilakukan tanpa pemberian 


zat kontras, maka gambaran lesinya menjadi 


kurang jelas karakteristiknya untuk menentukan dugaan tumor atau bahkan lesinya menjadi 


tidak terlihat


Anamnesis yang khas pada dugaan tumor 


otak yaitu  adanya gejala yang kronik progresif. berdasar  patofisiologinya juga, 


ada  perbedaan gejala Minis pada tumor yang memicu efek desak ruang 


dengan tumor yang terutama memicu 


gangguan fungsional. Pada tumor yang menyebabkan efek desak ruang, seperti meningioma atau astrositoma derajat tinggi, 


gejala klinis biasanya dimulai dengan sakit 


kepala dan diikuti defisit neurologis lainnya. Namun pada tumor yang terutama 


memicu gangguan fungsional seperti 


astrositoma derajat rendah, gejala biasanya 


berupa kejang atau gangguan fungsi luhur 


sesudah  beberapa lama, baru diikuti dengan 


sakit kepala atau defisit neurologis lainnya. Pemeriksaan fisik perlu dimulai dari tanda 


vital untuk menentukan ada tidaknya tanda 


peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan neurologis juga hams disertai funduskopi untuk menilai papiledema. Pada 


tumor-tumor daerah khusus, seperti tumor 


hipofisis, pineal atau serebelum, diperlukan 


pemeriksaan neurooftalmologi untuk menilai adanya gangguan visus dan lapangan 


pandang, deviasi konjugat, atau nistagmus. 


Sistem lainnya yang juga penting mencakup 


hampir seluruh area otak yaitu  gangguan 


fungsi luhur yang biasanya sering tidak terdeteksi. Pada meningioma lobus frontal yang 


tumbuh perlahan-lahan, gangguan fungsi 


luhur merupakan gejala utama sebelum 


munculnya defisit neurologis klasik lainnya.


Pemeriksaan pencitraan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk 


mempertajam dugaan diagnosa . MRI dengan 


segala fiturnya dapat membantu memberikan gambaran tumor dengan kecurigaan ganas berdasar  kuatnya penyangatan kontras, densitas yang inhomogen, serta luasnya 


edema peritumoral di sekitarnya. Demildan 


pula berdasar  letaknya di intraparenkim 


(intra-aksial) dapat ditentukan kemungkinan suatu astrositoma atau di luar parenkim (ekstra-aksial] sebagai meningioma, 


schwannoma, dan metastasis leptomeningeal.


MRI lebih unggul dalam menggambarkan 


kelainan struktural secara detil terutama 


untuk lesi yang kecil, bukan hanya untuk 


diagnosa , namun juga penilaian pascaradioterapi dan adanya rekurensi. Walaupun 


demikian, pada tumor-tumor yang menunjukkan gambaran kalsifikasi, seperti pada 


oligodendroglioma, akan terlihat lebih jelas 


pada CT scan dibanding MRI.


berdasar  efek desak ruangnya, maka diagnosis banding tumor otak tersering yaitu  


lesi lain yang memicu proses peningkatan tekanan intrakranial secara progresif, 


seperti tuberkuloma, abses intrakranial, atau 


toksoplasma ensefalitis. Oleh sebab  itu perlu dicari adanya tanda-tanda infeksi sistemik, 


seperti tuberkulosis, human immunodeficiency virus (HIV), atau sumber infeksi lainnya dari telinga, hidung, gigi, dan sebagainya. 


Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang 


teliti, dapat dilakukan pemeriksaan magnetic


resonance spectroscopy [MRS] bersamaan 


dengan MRI untuk menilai metabolit infeksi 


dan neoplasma berdasar  rasio cholin dan 


N-as eti 1-asp artat (NAAj di area lesi.


Pada tumor juga dapat terjadi perdarahan 


akibat hipervaskularisasi yang rentan, sehingga memicu gejala klinis dan gambaran CT scan seperti stroke hemoragik. Namun hal ini dapat dikenali jika didapatkan 


anamnesis adanya sakit kepala sebelumnya, 


sehingga dilakukan CT scan kepala dengan 


kontras. Demikian pula adanya hiperkoagulasi pada keganasan dapat memicu 


gejala akut seperti stroke [stroke-like syndrome). Adanya hiperkoagulasi semacam itu 


biasanya ditemukan pada tumor metastasis 


yang juga ada  tumor primer di organ 


lain, sehingga dapat dideteksi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gejala 


akut pada tumor otak primer juga dapat ditemukan pada pasien pascakejang yang mengaIami edema peritumoral, sehingga didapatkan 


defisit neurologis seolah-olah mendadak. Namun hal ini juga dapat ditelaah dari anamnesis dengan menanyakan gejala soft sign yang 


mungkin sudah ada sebelum kejang, seperti 


gangguan fungsi luhur. 

Kesemua analisis ini  penting dilakukan 


untuk mendapat dugaan yang lebih jelas, bukan hanya tumor otak secara umum, namun 


termasuk kemungkinan jenisnya walaupun 


belum dipastikan dengan biopsi. Hal itu terutama untuk edukasi terhadap pasien agar 


mau dilakukan tindakan operatif. Dugaan ini 


juga diperlukan termasuk untuk mempersiapkan pasien jika harus dirujuk ke kota besar yang membutuhkan dana dan dukungan 


dari keluarga.


KLASIFIKASI


berdasar  Idasifikasi WHO tahun 2007, 


tumor otak digolongkan menurut temuan 


histopatologis (Tabel 1). Namun saat ini Idasifikasi WHO tahun 2016 dibedakan secara 


biomolekular untuk kepentingan tata laksana 


dan prognosis, seperti adanya mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH)-l dan 2, serta p53. 


Pada oligodendroglioma anaplastik dengan 


delesi kromosom lp mempunyai prognosis 


yang lebih baik terhadap terapi dibandingkan 


yang kromosom lpnya intak (Tabel 2}. 

berdasar  epidemiologinya, tumor tersering yaitu  astrositoma dan meningioma. 


Goiongan astrositoma tersering yaitu  derajat tinggi [high grade), terutama glioblastoma, sekitar 38% dari tumor otak keseluruhan. Tumor ini termasuk ganas, sehingga 


gejala klinis biasanya dalam waktu hitungan 


bulan dengan defisit neurologis yang berat, 


serta gambaran MRI yang khas bisa berupa 


kistik, nekrosis, atau perdarahan, dan edema yang luas. Prognosis biasanya buruk, 


kecuali jika dapat dideteksi dini dan ditata 


laksana segera dikatakan dapat memperpanjang kesintasan.


Meningioma merupakan tumor kedua tersering, terutama pada perempuan, dikatakan 


berkaitan dengan hormon estrogen dan progesteron. Mayoritas (90%) tumor ini jinak 


(derajat I) dan mempunyai prognosis yang 


baik jika dapat direseksi total. Mengingat letaknya yang dapat jauh di dalam, seperti daerah basis kranii atau klivus, maka kadang terjadi residu tumor yang dapat memicu 


rekurensi. Sejauh ini belum ada kemoterapi 


yang tepat dan tumor juga tidak terlalu berespons terhadap radioterapi. laju tumbuhnya 


yang sangat lambat, maka kadang pasien


dapat bertahan cukup lama dengan gejala 


sisa yang minimal.


TATA LAKSANA


Pada prinsipnya pada tumor otak terbagi 


atas terapi simtomatik, definitif, dan paliatif. 


Hal ini dilakukan secara bersama dalam tim 


yang multidisiplin disertai pembicaraan untuk menentukan kesepakatan bersama. Untuk menjalani itu semua, pasien harus kuat 


secara mental dengan dukungan penuh dari 


keluarga. Pasien dengan tumor otak dapat 


mengalami gangguan psikiatri hingga 78%, 


baik bersifat organik akibat tumornya atau 


fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat 


menghambat proses terhadap pasien.


Oleh sebab  itu, diperlukan pendampingan 


bersama dengan sejawat Psikiatri mulai 


dari menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien [breaking the bad


news) melalui pertemuan keluarga [family


meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan 


selanjutnya. Perlu juga dilakukan penilaian 


fungsional memakai  Karnofsl<y performance score (Tabel 3), saat awal masuk dan 


keluar dari perawatan, untuk menentukan 


prioritas terapi yang akan diberikan. Terapi Simtomatik


Pasien dengan tumor otak bisa datang 


dalam keadaan peningkatan TIK, sehingga 


harus diatasi   segera. Perlu dilakukan 


analisis pemicu  peningkatan tekanannya 


segera berdasar  gambaran klinis dan 


imajing, sebab  berbeda pengobatan nya. 


Gejala peningkatan TIK akibat ukuran masa 


tumor yang besar biasanya berlangsung 


secara perlahan dalam durasi yang lama 


dalam hitungan minggu atau bulan, memerlukan tindakan operatif segera. Namun jika 


gejala berlangsung singkat dalam hitungan 


jam atau hark maka peningkatan TIK biasanya disebabkan oleh edema peritumoral 


atau hidrosefalus akibat sumbatan sistem 


ventrikel. Bahkan peningkatannya juga bisa 


berlangsung mendadak menyerupai gejala 


stroke, yang ditemukan pada tumor berdarah seperti apopleksia hipofisis, astrositoma derajat tinggi yang kaya akan pembuluh 


darah yang rapuh, atau tumor metastasis.


pemicu  peningkatan TIK tersering yaitu  


edema vasogenik, sesuai dengan patofisiologi 


tumor untuk cenderung memicu edema di sekitarnya. Obat pilihan utama yaitu  


kortikosteroid golongan deksametason dosis 


tinggi, loading lOmg IV dilanjutkan dosis rumatan 16-20mg/hari dan dapat dinaikkan 


dosisnya. Secara teori dosis maksimal bisa 


hingga 96mg/hari, namun kenyataannya dosis 30mg/hari juga sudah berefek bermakna. 


Pemberian antiedema ini sebenarnya bersifat 


sementara sambil mempersiapkan pasien 


untuk tindakan operatif. Namun kenyataannya persiapannya sering cukup lama.


Pada pemberian lebih lebih dari 5-7 hari, 


steroid tidak boleh dihentikan tiba-tiba 


sebab  dapat memicu rebound phenomenon, sehingga dilakukan penurunan 


secara bertahap (tapering off), Penurunan 


dilakukan sebanyak 20% dari dosis harian 


setiap 3-5 hari tergantung keadaan klinis. 


Sebaliknya dosis juga dapat dinaikkan jika 


dianggap terjadi perburukan klinis akibat 


edemanya. Manitol tidak dianjurkan diberikan sebab  dapat memperburuk edema, 


kecuali bersamaan dengan deksametason 


pada situasi yang berat atau pascaoperasi.


Hidrosefalus biasanya ditemukan akibat 


penekanan ventrikel oleh tumor di daerah 


sella, pineal, serebelum, atau intraventrikel 


itu sendiri. Dapat dilakukan pemasangan 


pirau ventrikuloperitoneal (ventriculoperitoneal/VP shunt) segera untuk menurunkan TIK sebelum kemudian dilakukan reseksi 


tumor pemicu nya. Pada tumor berdarah, 


dapat terjadi edema sitotoksik bercampur 


dengan edema vasogenik, sehingga jika belum 


terjadi perbaikan klinis yang signifikan sesudah  


pemberian deksametason dapat dilanjutkan 


dengan pemberian manitol 25-50mg dalam 


solusio 20% intravena selama 10-20 menit.


Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-ulcer, miopati, 


perubahan mood, peningkatan nafsu makan, 


Cushingoid, dan sebagainya. Sebagian besar 


dari efek samping ini  bersifat reversibel apabila steroid dihentikan. Selain efek 


samping, hal-hal yang perlu diperhatikan 


dalam pemberian steroid yakni interaksi 


obat. Kadar antikonvulsan serum, seperti 


fenitoin dan karbamazepin dapat dipengaruhi oleh deksametason, sehingga membutuhkan pemantauan.


Epilepsi merupakan kelainan yang sering 


ditemukan, 30% sebagai manifestasi awal 


dengan bentuk bangkitan tersering yaitu 

 bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh sebab  


tingginya tingkat rekurensi bangkitan, maka 


harus diberikan obat antiepilepsi (OAE) 


yang ditentukan berdasar  pertimbangan 


profil efelt samping, interaksi obat, dan biaya. OAE golongan lama seperti fenitoin dan 


karbamazepin kurang dianjurkan sebab  


dapat berinteraksi dengan deksametason 


dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup 


Ievetirasetam, asam valproat, lamotrigin, 


klobazam, topiramat, atau okskarbazepin. 


Levetirasetam lebih dianjurkan (Level A] 


dan memiliki profil efek samping yang lebih 


baik dengan dosis antara 20-40mg/kgBB, 


serta dapat dipakai  pascakraniotomi.


Terapi Definitif


Tumor otak yaitu  biopsi dan reseksi tumor. 


Terutama pada tumor-tumor di ekstraaksial 


seperti meningioma, tata laksana utamanya 


hanya reseksi luas beserta kapsulnya. Untuk 


lokasi yang lebih dalam, dapat dilakukan 


biopsi stereotaktik, Semakin banyak tumor 


yang dapat direseksi maka keluarannya 


akan lebih baik. Selain efek desak ruangnya 


teratasi, kemungkinan untuk rekuren juga 


lebih kecil. Oleh sebab  itu lebih disukai jika 


tumor dapat didiagnosa  dalam ukuran kecil 


berdasar  deteksi dini.


Pada golongan astrositoma biasanya agak 


sulit untuk menentukan batas tumor dengan 


jaringan yang sehat, selalu ada sisa tumor 


yang perlu ditidaklanjuti dengan radioterapi 


atau kemoterapi, terutama pada astrositoma 


derajat tinggi. Saat ini dengan perkembangan teknik operasi, pengambilan massa tumor bisa memakai  neuronavigasi atau 


zat fluoresens agar lebih akurat. Radioterapi 


terutama dilakukan pada tumor-tumor yang


peka  seperti tumor pineal, germ cell, astrositoma derajat tinggi, dan metastasis 


otak. Pada tumor yang letak dalam dilakukan 


steretotactic radiotherapy atau radiosurgery.


Kemoterapi untuk tumor otak lebih terbatas 


pilihannya, sebab  harus dapat menembus 


sawar darah otak. Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan kualitas hidup [quality o f life) pasien 


semaksimal mungkin. Sejauh ini yang menjadi pilihan yaitu  temozolamid, untuk 


glioblastoma dan metastasis. Kemoterapi 


jenis allylating agent ini dapat diberikan 


tunggal sebagai kemoterapi dengan dosis 


200mg/m2/hari selama 5 hari yang dapat 


diulang setiap 28 hari selama 6 siklus. Cara 


pemberian dapat juga bersamaan dengan 


radioterapi, yang berfungsi sebagai radiosensitizer dengan dosis 75mg/m2/hari selama 6 minggu. Selanjutnya dosis meningkat kenjadi 150-200mg/m2/hari setiap 28 


hari selama 6 siklus. Namun temozolamide 


ini hanya akan berespons baik jika jaringan 


tumor termasuk metilasi (bertambahnya 


gugus metil) pada promotor O-6-methylguanine-methyltransferase (MGMT), yang harus 


dibuktikan dulu pada pemeriksaan jaringan 


sebelum diberikan agen yang ini .


Selain kemoterapi, ada  beberapa agen 


golongan targeted therapy yang bekerja 


spesifik menghambat reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF), yaitu bevacizumab, dan epidermal growth factor receptor (EGFR), yaitu nimotuzumab. Terapi ini 


juga baru dapat diberikan pada astrositoma 


derajat tinggi dengan mutasi EGFR yang 


signifikan. Oleh sebab  cara kerjanya yang 


spesifik, maka efek sampingnya juga lebih 


minimal dibandingkan kemoterapi.

 Terapi Paliatif


Kata paliatif berasal dari bahasa Yunani 


'pallium' yang berarti 'cloak' dalam bahasa 


Inggris atau 'mantel' yang dimaksudkan untuk menutupi hal-hal yang tidak nyaman. Biasanya dilakukan sesudah  pasien menjalani 


terapi definitif namun masih ada  keluhan akibat gejala sisa tumornya. Terapi ini 


juga diindikasikan jika pasien tidak dapat 


dilakukan terapi definitif oleh sebab  ukuran tumor yang terlalu besar, kondisi buruk, 


dan terlalu berisiko untuk dilakukan terapi 


definitif. Penetapan terapi ini perlu disepakati 


oleh semua tim secara multidisiplin bersama 


dokter penanggung jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan 


ahli terapi paliatif.


Pasien perlu penyesuaian terhadap gejala 


sisanya untuk bisa kembali minimal beraktivitas mandiri. Biasanya gangguan berupa 


kejang, nyeri, atau gangguan fungsi luhur 


yang dapat diberikan terapi yang sesuai. 


Dapat diberikan juga diberikan psikoterapi 


suportif dan relaksasi yang akan membantu 


pasien dan keluarga.


CONTOH masalah 


Laki-Iaki, usia 59 tahun mengeluh sakit 


kepala dan kesulitan berkonsentrasi sejak 


enam minggu sebeluninya, Sakit kepala dirasakan pada bagian kanan, terutama saat 


malam hari sesudah  beraktivitas. Pasien juga 


mengeluh sulit berkonsentrasi dan menurut istrinya, pasien menjadi lebih mudah 


tersinggung dan terlihat bingung sejak sebulan terakhir ini. Tidak ada riwayat mengonsumsi minuman beralkohol atau riwayat terpapar dengan toksin sebelumnya.


Pada pemeriksaan fisik dan neurologis


umum dalam batas normal, namun funduskopi didapatkan kesan early papiledema bilateral dan nilai MMSE=24,


Pertanyaan;


1. Apa kemungkinan diagnosa  pada pasien 


di atas?


2. Apa pemeriksaan yang selanjutnya dibutuhkan pada pasien?


3. Tata laksana apa yang dibutuhkan pada 


pasien?


Jawaban:


1. Tumor intrakranial jika tidak ada  


keluhan sistemik dan dipikirkan topis lesi soliter, maka dapat dianggap 


suatu tumor primer. Secara epidemiologi tumor primer tersering yaitu  


astrositoma dan meningioma. Namun 


mengingat onsetnya yang cepat, biasanya bukan meningioma, melainkan 


astrositoma yang maligna, seperti deraj at III atau IV (glioblastoma).


2. Pemeriksaan MRI kepala dengan kontras dan foto polos dada unutk menyingkirkan kemungkinan metastasis, 


walaupun tetap bisa normal. Jika foto 


polos ada kelainan, dilanjutkan dengan CT thoraks.


3. Kortikosteroid sesegera mungkin, 


sementara menunggu biopsi dan reseksi massa tumor. Penilaian neurooftalmologi dan fungsi luhur sambil menunggu jadwal operasi, sebagai 


data dasar sebelum dilakukan terapi. 










TUMOR SPINAL



Tumor spinal dapat diklasifikasikan ke 


dalam beberapa kelompok. Tumor spinal 


dapat merupakan tumor primer atau metastasis. Tumor primer di spinal bisa berasal 


dari jaringan tulang atau medula spinalis, 


sedangkan metastasis berasal dari lokasi 


di luar spinal, seperti payudara, paru, dan 


prostat


Secara anatomi, tumor spinal dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu 


tumor ekstradural, ekstramedula, dan intramedula. Adanya klasifikasi tumor spinal secara anatomi harus dipahami oleh 


setiap klinisi sebab  sangat berguna dalam 


melakukan pemeriksaan klinis, memilih 


pemeriksaan penunjang yang tepat, menyusun rencana terapi, dan menentukan prognosis pasien.


Bab ini akan membahas tumor spinal secara 


rinci, mulai dari ldasifikasi tumor spinal, 


jenis-jenis tumor beserta karakteristiknya, 


pendekatan klinis yang harus dilakukan bila 


bertemu pasien dengan diagnosa  klinis tumor spinal, dan tata laksananya.


EPIDEMIOLOGI


Tumor primer medula spinalis tergolong 


jarang ditemukan. Prevalensinya sekitar 


4-8% dari total semua tumor di susunan


saraf pusat. Insidens tumor ini menurut 


Central Brain Tumor Registry o f the United


States (CBTRUS) antara tahun 1998-2002 


yaitu  0,74/100.000 penduduk pertahun. 


Studi ini juga menunjukkan bahwa sebesar 


69% tumor primer medula spinalis bersifat jinak (nonmalignantf Distribusi tiga 


besar gambaran histologi dari tumor primer 


medula spinalis yaitu  meningioma (29%), 


tumor selubung saraf (24% ), dan ependimoma (23% ]. Astrositoma hanya memiliki 


frekuensi 6% pada studi ini. Selain itu, studi 


ini juga menunjukkan bahwa menurut jenis 


kelamin dan lokasi tumornya, insidens tumor 


intradural ekstramedula lebih besar pada 


perempuan (0,29/100.000) daripada laldlaki (0,09/100.000). Keadaan ini sebaliknya 


ditemukan pada tumor intramedula, yaitu 


insidens laki-laki (0,57/100.000) lebih besar 


daripada perempuan (0,45/100.000).


Studi epidemiologi lain di Jepang yang mengambil data pasien antara tahun 2000-2009 


menunjukkan hasil yang berbeda dengan 


studi CBTRUS di atas. Pada studi ini, tiga besar 


gambaran histologi yang paling sering ditemukan yaitu  schwannoma (57,2%), meningioma 


(11,6%), dan ependimoma (8%). Frekuensi 


astrositoma hanya 1,3%. berdasar  lokasinya, frekuensi tumor intradural ekstramedula (54,7%) lebih besar daripada tumor 


intramedula (18,1%). 

Selain tumor primer, ada  puia tumor 


metastasis di spinal. Spinal merupakan 


tempat sasaran paling sering perihal metastasis tumor primer. Sebanyak 95% dari 


total keseluruhan pasien dengan tumor spinal yaitu  tergolong metastasis. Sebanyak


500.000 pasien diperkirakan mengalami 


metastasis tumor di spinal tiap tahunnya. 


Sayangnya, hanya 64% pasien metastasis 


tumor spinal yang simptomatik, sedangkan 


sisanya tidak memiliki keluhan dan ditemukan secara insidental.


KLASIFIKASI TUMOR SPINAL


Tumor spinal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori menurut letak lesinya, 


yaitu ekstradural, intradural ekstramedula, 


dan intramedula (Gambar 1 dan 2], Masingmasing kategori dapat berupa tumor primer 


atau metastasis. Namun, oleh sebab  tumor 


metastasis spinal paling sering tergolong 


ekstradural, maka tumor metastasis spinal


dimasukkan dalam kategori tumor ekstradural pada pembahasan selanjutnya.


Pemahaman mengenai anatomi meningen 


medula spinalis, terutama dura mater (Gambar 3), sangat penting dalam kaitannya dengan klasifikasi tumor spinal berdasar  


letak lesinya. Dura mater spinalis berasal 


dari dua lapisan dura mater yang menyatu 


pada rongga kranium, tetapi terpisah saat 


memasuki kanalis spinalis.


Pada kanalis spinalis, dura mater terluar 


menjadi periosteium kanalis spinalis. Adapun lapisan dalamnya membentuk sakus 


duralis yang menyelubungi medula spinalis. Kedua lapisan dura mater ini kembali 


menyatu di tempat keluarnya radiks nervi 


spinalis dari kanalis spinalis. Ujung bawah 


sakus duralis mengeliiingi kauda ekuina 


dan berakhir pada level S2. Selanjutnya, 


sakus duralis membentuk filum terminal 


dura mater (Gambar 4) 

Tumor Ekstradural


1. Tumor Primer


Tumor primer ekstradural termasuk 


dalam kumpulan tumor tulang. Tumor 


primer tulang di spinal ini dapat bersifat jinak (hemangioma, osteoma osteoid, 


dan kista tulang aneurisma) atau ganas 


(plasmasitoma, kordoma, sarkoma 


Ewing, osteosarkoma, dan kondrosarkoma. Sebagian lain memiliki karakteristik jinak, tetapi bisa berkembang 


menjadi ganas, misalnya osteoblastoma, 


osteokondroma, dan giant ceil tumor.


Lokasi tumor juga merupakan petunjuk 


untuk lebih mengarahkan jenis tumor, 


mengingat tumor primer ini dapat berlokasi di segmen anterior, eksentrik, atau 


segmen posterior (Tabel 1).

 

Tumor-tumor primer ini pada umumnya 


akan mendestruksi tulang vertebra dan 


memicu deformitas pada tulang 


belakang (Gambar 2A), Selain deformitas, tumor primer ini juga menimbulkan 


nyeri di tulang belakang. Nyeri ini biasa 


dirasakan di malam hari dan tidak dipengaruhi perubahan posisi dan tetap 


dirasakan saat pasien beristirahat. Defisit neurologis baru terjadi bila terjadi 


ekstensi tumor yang mengkompresi medula spinalis atau radiks. Pada tumortumor yang tergolong jinak, perjalanan 


penyakitnya relatif lebih lama daripada 


tumor yang ganas. Hal ini memicu 


pasien jarang datang menemui dokter di 


awal perjalanan penyakit.


2. Metastasis


Sebagian besar pasien dengan tumor spinal merupakan metastasis. Oleh sebab 


itu, klinisi harus memikirkan metastasis 


dahulu ketimbang tumor primer pada 


pasien tumor spinal. Metastasis tidak 


hanya berlokasi di ekstradural, tetapi 


juga di intradural ekstramedula dan intramedula dalam persentase yang kecil. 


Oleh sebab  lokasi yang paling sering 


menjadi tujuan metastasis yaitu  ekstradural, maka tumor metastasis dimasukkan dalam kelompok tumor ekstradural.


Tumor primer yang sering bermetastasis 


ke spinal antara lain, payudara [21%), 


paru-paru [14%), prostat [7,5%), ginjal 


[5,5%), gastrointestinal [5%), dan tiroid 


[2,5%). Namun, ada pula hasil penelitian 


lain dengan komposisi urutan yang berbeda, tetapi kanker payudara dan paru 


yang selalu mendominasi dari setiap 


studi epidemiologi [Tabel 2).


Lokasi metastasis tumor di spinal dapat 


ditemukan di korpus vertebra [85%), 


ruang paravertebra [10-15% ), dan ruang epidural [<5%). Oleh sebab itu, metastasis tumor di spinal secara anatomis 


tergolong tumor ekstradural. Sepanjang 


vertebra, metastasis tumor di spinal paling sering ditemukan di segmen torakal 


[70% ), kemudian diikuti lumbosakral 


(20% ), dan servikal (10%) 

Tumor Intradural Ekstramedula


Kategori tumor ini berlokasi di dalam (intra) dura mater, tetapi di luar (ekstra) medula spinalis (Gambar 2B). Tumor intradural ekstramedula memiliki kekerapan 


sekitar dua pertiga masalah  tumor intradural. 


Dari keseluruhan kategori tumor spinal ini, 


sekitar 95% memiliki jenis schwannoma, 


neurofibroma, meningioma, dan ependimoma filum terminal. Sisanya bisa berupa 


metastasis, kista, dan paraganglioma.


1. Tumor Selubung Saraf [Nerve Sheath


Tumor)


Neurofibroma dan schwannoma terma-

 

suk dalam jenis tumor selubung saraf 


yang berlokasi di dalam dura mater, tetapi 


di luar medula spinalis. Neurofibroma 


biasa terjadi pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 1. Tumor ini membentuk 


massa fusiformis yang bercampur dengan 


serabut saraf yang sehat, sehingga sulit 


untuk melakukan diseksi tumor ini dari 


jaringan saraf. Bila neurofibroma ditemukan multipel, maka diagnosa  neurofibromatosis dapat