berupa hypermetric ipsiversive saccade atau hypometric contraversive
saccade. Sakadik diskinesia seperti ocular
flutter, opsclonus, dan square wave jerk
merupakan abnormal spontaneous eye
movement; beserta gangguan sakadik
lain, seperti gangguan antisakadik, sakadik prediktif dan memory-guided saccade
tidak dibahas dalam bab ini.
D. Gangguan Smooth Pursuit
Apabila dibandingkan dengan gangguan
sakadik, gangguan smooth pursuit lebih
sulit ditentukan topisnya sebab melibatkan struktur yang kompleks dan difus.
Setidaknya ada tiga tipe gangguan smooth
pursuit, yakni direksional, retinotopik,
dan kraniotopik (Gambar 22). Gangguan
smooth pursuit direksional meliputi gangguan smooth pursuit ke arah ipsilateral
lesi. Gangguan ini paling umum terjadi,
akibat lesi di occipito-temporo-parietal
junction dan korteks frontal atau SEE
Gangguan smooth pursuit retinotopik,
yakni gangguan smooth pursuit pada sisi
kontralateral lesi, tidak bergantung pada
arah lirikan, Struktur yang dipikirkan
terlibat yaitu occipito-temporo-parietal
junction dan korteks striatum. Terakhir,
gangguan smooth pursuit kraniotopik
berupa gangguan smooth pursuit ke arah
kontralateral lesi sesudah melewati garis
tengah. Dalam hal ini gerakan smooth pursuit ke arah kontralateral lesi masih normal sebelum mencapai garis tengah.
3. Nukleus dan Fasikulus Okular Motor
Lesi ini terletak di batang otak, dikelompokkan sebagai lesi sentral dan pada literatur lain sebagai lesi intraaksial. Lesi
nukleus dan fasikulus relatif lebih jarang
terjadi diban-dingkan lesi nervus okular
motor, masing-masing memiliki karakteristikyang berbeda.
a. Nukleus dan fasikulus nervus III
Nuldeus nervus III terdiri dari beberapa
subnukleus dengan yang dapat menginervasi secara bilateral (subnukleus levator palpebra), kontralateral (subnukleus
rektus superior), dan sisanya ipsilateral.
Dengan demildan, gambaran ldasik lesi
nukleus yaitu berupa: 1) kelumpuhan
depresi, aduksi, eksiklorotasi, dan pupil
abnormal (dilatasi pupil dengan refleks
cahaya terganggu) ipsilateral; 2) ptosis
bilateral; serta 3) kelumpuhan elevasi
bilateral. Namun demildan varian selalu
ada dan tidak dibahas dalam bab ini.
Fasikulus, yang merupakan serabut yang
berasal dari beberapa subnukleus, berjalan di mesensefalon melalui beberapa
struktur. Oleh sebab itu petunjuk yang
paling mudah yaitu adanya sindrom
mesensefalon yang terdiri dari paresis
nervus III ditambah defisit lain (Gambar 23). Selain itu, oleh sebab konfigurasi serabut yang menyusun fasikulus,
kadang ditemukan pola divisional, yakni
divisi superior (kelumpuhan otot rektus
superior dan otot levator palpebral) atau
divisi inferior yakni fungsi nervus III
yang lain.
b. Nukleus dan fasikulus nervus IV
Lesi pada nukleus memilikl gejala yang
sama dengan lesi di fasikulus nervus
IV, yaitu kelumpuhan otot oblik superior kontralateral. Hal disebabkan oleh
fasikulus nervus IV yang berasal dari
nukleus berjalan menyilang di dorsal
mesensefalon saat akan keluar dari
mesensefalon (Gambar 24). Petunjuk
lainnya, lesi nukleus dan fasikulus dapat
disertai sindrom Horner, sebab traktus
okulosimpatik berdekatan dengan nukleus nervus IV.
c. Nukleus dan fasikulus nervus VI
Nukleus nervus VI memiliki dua neuron,
yakni motor neuron yang berproyeksi ke
otot rektus lateral (fasikulus) dan interneuron yang memberikan sinyal ke nukleus nervus III kontralateral melalui FLM
(Gambar 25). Dengan demildan lesi nukleus nervus VI akan bermanifestasi sebagai
kelumpuhan lirik horizontal, sedangkan
lesi fasikulus sama seperti lesi nervus VI
yakni kelumpuhan abduksi (otot rektus
lateral). Petunjuk lain lesi fasikulus yaitu
umumnya disertai paresis nervus VII yang
letak nukleusnya berdekatan.
4. Nervus Olmlar Motor
Lesi nervus okular motor difokuskan pada
nervus yang telah keluar dari batang otak,
yakni yang berada di ruang subaraknoid,
sinus kavernosus, dan intraorbita. Lesi ini
disebut juga lesi perifer (neuropati perifer) dan pada literatur lain disebut lesi
ekstraaksial. Nervus okular motor dalam
bahasan ini dibedakan menjadi paresis
nervus okular motor terisolir dan paresis
nervus okular motor multipel.
a. Nervus III terisolir
berdasar kelumpuhan otot rektus,
oblik, dan levator palpebral, paresis nervus
III terisolir dapat dibagi menjadi dua, yakni
komplet atau inkomplet Paresis dianggap
komplet jika kelumpuhan melibatkan
seluruh otot ini , sedangkan apabila
hanya sebagian yang lumpuh disebut
inkomplet Gambaran klinis paresis nervus
III komplet sangat khas, yakni ptosis dan
posisi mata down and out ipsilateral.
Paresis nervus III terisolir yang hanya
melibatkan otot, sementara pupil normal [pupil sparing) disebut juga oftalmoplegia eksternal. Namun jika melibatkan gangguan pupil [pupil involvement)
disebut sebagai oftalmoplegia internal.
Penentuan keterlibatan pupil [pupil
sparing atau involvement) dan komplet
atau inkomplet tidak memiliki nilai lokalisasi, namun sangat penting untuk
manajemen tata laksana.
Dua etiologi paresis nervus III terisolir
yang paling sering yaitu iskemik mikrovaskular dan lesi kompresi. Keduanya sangat berbeda tata laksana dan
prognosisnya, namun dapat ditentukan
berdasar gambaran pupil dan sinkinesia okulomotor. Sinkinesis okulomotor merupakan kontraksi anomali otot
akibat regenerasi aberans. Misalnya saat
aduksi atau depresi, kelopak mata akan
terangkat atau pupil konstriksi. Pada lesi
kompresi dapat ditemukan sinkinesis
okulomotor, dan sebaliknya pada iskemik jarang ada sinkinesis.
Lesi kompresi sering melibatkan pupil
sebab serabut yang mempersarafinya
berada di dorsomedial dan paling superfisial, sehingga paling rentan terhadap -
kompresi. Hal ini menjadi tanda yang
penting dicari, pada keadaan herniasi unkal, peningkatan TIK yang meregangkan
nervus III saat melalui tepi tentorium,
dan aneurisma. Aneurisma merupakan
pemicu tersering, sebab nervus ill
pada saat keluar dari mesensefalon diapit oleh 3 pembuluh darah yakni PCA,
SCA, dan arteri komunikans posterior
[posterior communicating artery{ PCom).
pemicu tersering paresis nervus III
komplet dengan pupil sparing yaitu
iskemia mikrovaskular. Berbeda dengan
aneurisma yang mengancam jiwa, iskemia ini sering pada pasien diabetes melitus atau faktor risiko vaskular lain. Disebut juga pemicu tidak berbahaya atau
benign oleh sebab umumnya gejalanya
akan swasirna dalam 8-12 minggu.
Kaidah pupil [pupil rule) menyatakan
bahwa paresis nervus III terisolir dan
komplet dengan pupil sparing komplet
tidak pernah disebabkan oleh aneurisma. Jadi jika ditemukan paresis nervus
III komplet dengan pupil involvement,
harus dipikirkan aneurisma sampai terbukti tidak dengan pemeriksaan MRI/
MRA atau CT angiografi segera. Sebaliknya jika ditemukan paresis nervus III
komplet dengan pupil sparing, paling
sering dilakukan "wait and see"
berdasar studi dilaporkan pupil sparing terjadi pada 75% masalah iskemia mikrovaskular dan pupil involvement pada
>90% aneurisma. Namun pada iskemia
mikrovaskular dapat juga ditemukan pupil involvement. Dhune dkk melaporkan
26% pasien iskemia mikrovaskular ditemukan pupil anisokor l-2mm, sedangkan Jacobson medapatkan 38% mengalami pupil anisokor <lmm.
Secara umum disebutkan bahwa pupil
anisokor (<lmm hingga 2,5mm) dapat
terjadi pada 30-40% pasien dengan iskemia mikrovaskular. Studi di Jepang melaporkan 90% pasien dengan aneurisma
dan 32% pasien dengan iskemia mikrovaskular ada pupil involvement
Dengan tambahan, pasien dengan aneurisma mengalami anisokor >2mm dan
hanya <lmm pada iskemia mikrovaskular. Sebaliknya, pada pasien aneurismapun dapat ditemukan pupil sparing.
Dalam satu studi dilaporkan 14% pasien
aneurisma mengalami pupil sparing, namun akhirnya mengalami keterlibatan
dalam beberapa hari.
Masalah diagnosa lain yang akan mempengaruhi tata laksana, yakni tidak selalu paresis nervus III komplet dengan
pupil sparing disebabkan oleh pemicu
yang benign, sehingga diperlukan identifikasi faktor lain yang dapat menjadi
tanda bahaya untuk evaluasi diagnostik.
Pada iskemia mikrovaskular, umumnya
pasien berusia lanjut (>50 tahun), memiliki faktor risiko vaskular, dan kejadiannya akut serta sering disertai nyeri.
Pada keadaan ini , kebanyakan protokol memakai pendekatan "wait
and see" Sebagian menganjurkan untuk melakukan follow up beberapa hari
hingga 1 minggu untuk melihat adanya
keterlibatan pupil. Ada pula yang menganjurkan follow up minggu ke 4-6 untuk
melihat perbaikan atau progresifitas gejala. Pada usia lanjut tanpa faktor risiko
vaskular, dipertimbangkan evaluasi giant cell arteritis (GCA) dengan pemeriksaan laju endap darah dan c-reactive
protein (CRP). Usia muda (<50 tahun),
riwayat keganasan, disertai defisit neurologis merupakan tanda bahaya untuk
segera evaluasi diagnostik.
Apabila ditemukan paresis inkomplet
atau paresis komplet dengan pupil involvement, tanpa melihat usia, dianjurkan dilakukan pencitraan segera. Sampai saat ini belum ada protokol baku
manajemen paresis nervus okular motor,
khususnya nervus III, namun dapat dilakukan pendekatan Minis seperti pada
Gambar 26.
b. Paresis nervus IV
Berbeda dengan lesi nuldeus dan fasikulus, kelumpuhan otot oblik superior
pada lesi nervus yaitu ipsilateral. Manifestasinya berupa hipertropia ipsilateral
dan dapat disertai head tilt ke kontralateral. pemicu paling sering paresis nervus IV terisolir yakni cedera kepala yang
dapat diidentifikasi melalui anamnesis.
Persentase iskemia mikrovaskular sebagai pemicu paresis nervus IV tidak
sebanyak nervus III. Protokol diagnositik
yang dianjurkan yakni seperti paresis III
komplet dengan pupil sparing.
c. Paresis nervus VI
Karakteristiknya sama dengan lesi fasikulus, yaitu gangguan abduksi dan esotropia ipsilateral Oleh sebab etiologinya berbeda, perlu dibedakan antara
paresis nervus VI unilateral atau bilateral. Jika bilateral dipikirkan peningkatan TIK, akibat dampaknya pada nervus
VI saat melalui kanal Dorello, sehingga
perlu pemeriksaan pencitraan. pemicu paresis nervus VI unilateral paling
sering yakni iskemia mikrovaskular, perlu protokol diagnostik seperti paresis III
komplet dengan pupil sparing.
N e u ro p a ti K r a n ia l M u ltip e l
Neuropati nervus okular motor multipel
dapat mempunyai nilai lokalisasi ataupun
tidak. Jika ditemukan paresis nervus III,
IV, dan VI multipel, ada beberapa kemungkinan pemicu , yakni: 1} lesi di ruang subaraknoid atau basis kranii seperti
meningitis atau karsinoma nasofaring dengan infitrasi basis kranii; 2) lesi di sinus
kavernosus seperti trombosis sinus kavernosus, dan 3) lesi di fisura orbitalis superior hingga intraorbita. ada perbedaan
nervus kranial yang terlibat pada lesi sinus
kavernous, fisura orbitalis superior, apeks
orbita (Gambar 27). Selain itu perlu dipikirkan pemicu seperti miastenia gravis (MG)
dan sindrom Miller Fisher (oftalmoplegia,
ataksia, arefleksia).
T a u t O to t S a r a f
pemicu tersering lesi taut otot saraf yaitu
MG dan botulismus. Miastenia okular dapat
menyerupai gangguan gerakan bola mata
apapun, seperti INO dan paresis nervus okular motor. Namun yang dapat menjadi petunjuk pada paresis nervus III yakni adanya
pupil sparing. Adanya fatig dan diplopia yang
Dervariasi pada waktu pemeriksaan yang
Derbeda dapat dipikirkan akibat etiologi ini,
iemikian pula tanda-tanda miastenia okuar pada pemeriksaan fisik. Miastenia gravis
iapat generalisata disertai kelumpuhan otot,
lamun sensoris masih baik. Evaluasi diaglostik dapat dilakukan pemeriksaan Harvey
Vlasland, pemeriksaan antibodi reseptor
isetilkolin (AchR), dan single fiber test
3otulismus terjadi akibat paparan toksin
mtikolinergik yang diproduksi Clostridium
iotulinum. Manifestasinya berupa oftalmoitaresis subakut dengan pupil involvement,
;erta gejala khas berupa paralisis akomoiasi dan light-near dissociation.
3 to t E k stra o k u la r
<elumpuhan otot ekstraokular terutama
lipikirkan pada kecurigaan lesi intraorbita
fang telah dibahas sebelumnya. Beberapa
iteratur mengelompokkan sebagai lesi jilak (seperti tiroid oftalmopati atau thyroid
y e disease/TED) dan pseudotumor orbita
fang biasanya berupa lesi inflamasi) dan lesi
naligna, yakni tumor primer atau sekunder.
^ada TED ada oftalmoparesis unilat-
;ral atau bilateral asimetri yang tidak nyeri.
)tot rektus medialis dan otot rektus infe-
‘ior pada umumnya terlibat pertama kali,
lal ini bisa terjadi pada kondisi eutiroid,
lipotiroid, dan hipertiroid. Perlu dilakukan
7T/MRI orbita berupa gambaran pembe-
;aran otot ekstraokular yang terlibat tanpa
nelibatkan insersi tendon pada bola mata.
Jada pseudotumor orbita, dapat terjadi
jftalmoparesis unilateral dan nyeri, namun
)tot ekstraokular yang terlibat tidak spesiik. Pada CT/MRI orbita ditemukan pembe-
;aran otot ekstraokular yang terlibat yang
melibatkan insersi tendon pada bola mata,
serta gambaran abnormal pada lemak periorbital dan sklera posterior.
Chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO) tidak memiliki karakteristik
lesi intraorbita. Manifestasinya berupa
gangguan motilitas okular bilateral simertris, ptosis bilateral, tidak nyeri, dan pupil
sparing, namun disertai keterlibatan otot
orbikularis okuli. Oleh sebab gejalanya bilateral simetris, biasanya tidak disertai diplopia. Perjalanan penyakitnya progresif lambat, sering merupakan bagian dari sindroiri
Kearn Sayre (dapat disertai masalah jantung
dan retinitis pigmentosa) dan MELAS (Mitochondrial Encephalomyopathy, Lactic Acidosis, and Stroke-like episodes)
TATA LAKSANA
Penentuan etiologi akan memengaruhi
tata laksana kausatif, sehingga membantu
pemulihan dan mencegah perburukan gejala akibat progresifitas penyakit. Misal paresis nervus III akibat kompresi aneurisma
PCom yang dilakukan clipping. Pada studi
retrospektif dkk Tan, dilaporkan 98,5%
resolusi komplet paresis nervus III, lebih
tinggi dari Khan dkk (87,5%). Metaanalisis dari 11 studi juga menunjukkan adanya
resolusi komplet paresis nervus III pada
83,7% masalah . Selain itu, penentuan etiologi
juga menentukan prognosis kesembuhan
yang bervariasi. Paresis akibat iskemia mikrovaskular umumnya akan swasirna dalam
8-12 minggu, sehingga tidak dibutuhkan
tata laksana khusus.
Namun, seringkali ocular misalignment atau
gejala diplopia atau visual lainnya menetap meskipun telah dilakukan tata laksana
kausatif. Pada onset akut sebelum diberikan
tata laksana kausatif, gangguan ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan hendaya, sehingga dipertimbangkan tata laksana lain.
Studi menunjukkan penurunan kualitas
hidup pada pasien dengan ocular misalignment, terutama pada ranah fisik pada pasien
yang disertai diplopia dan ranah psikososial
yang tidak disertai diplopia.
Oleh sebab itu, tujuan tata laksana gangguan gerakan bola mata antara lain menghilangkan atau mengurangi ocular misalignment, mengurangi gejala diplopia atau
visual confusion, memperbaiki postur head
tilt (misalnya pada paresis nervus IV), dan
akhirnya memperbaiki fungsi visual semaksimal mungkin. Secara umum tata laksana ini dibagi menjadi non-operatif
dan operatif. Tata laksana non-operatif antara lain oklusi, prisma, dan injeksi toksin
botulinum, bergantung pada pemicu dan
tingkat keparahan.
Oklusi dilakukan dengan menutup salah
satu mata memakai olduder (occluder)
berupa patch atau plester pada mata atau
kacamata. Hal ini dapat pada mata yang
sakit, namun literatur lain menyebutkan
bahwa oklusi, baik dilakukan pada mata
yang sakit atau sehat akan efektif untuk
mengeliminasi diplopia. Pilihan olduder
dipertimbangkan yang tranlusen atau satin
sehingga masih memungkinkan cahaya masuk. Oklusi dapat ditawarkan pada tahap akut
paresis okular motor atau pada pasien yang
merupakan kandidat buruk untuk tata laksana non-operatif lain dan operatif.
Prisma terutama bermanfaat pada masalah
strabismus komitan, deviasi relatif kecil,
stabil, dan memiliki potensi fusi yang baik.
Namun, prisma pernah dipakai dan
berespons baik pada masalah strabismus
inkomitan dengan sudut deviasi besar. Dalam
sebuah literatur disebutkan bahwa secara
umum prisma efektif untuk pasien dengan
horizontal misalignment hingga 20-15 prism
diopters (PD) dan vertical misalignment
Tamhakar dkk melaporkan tingkat kepuasan
pemakaian prisma sebesar 92% dari 82
pasien hipertropia akibat paresis nervus IV,
sedangkan Guntn dkk mencapai 80% untuk
semua pemicu diplopia yang diteliti.
Pasien dengan diplopia vertikal akibat skew
deviation dan paresis nervus IV memiliki
tingkat kepuasan paling tinggi (100% dan
92%), sedangkan tiroid oftalmopati dan
fraktur orbita blowout paling rendah (55%
dan 8%), Diantara diplopia horizontal, pasien
anak dengan strabismus dekompensasi
kombinasi deviasi horizontal dan vertikal
serta pasien dengan insufisiensi konvergensi
memiliki tingkat kepuasan paling rendah,
yakni masing-masing 71 % dan 50%.
ada dua jenis prisma yakni prisma
Fresnel yang bersifat temporer dan prisma
permanen, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Prisma Fresnel menggunakan prinsip bahwa kekuatan prismatik
dapat tercapai memakai cincin prismatik konsentrik dengan permukaan tiap
cincin memiliki kekuatan prismatik. Prisma
ini tipis, diaplikasikan seperti stiker yang
dilekatkan pada kaca mata dengan ketebalan hanya 1,00mm dan tidak bergantung
pada kekuatan prismatik.
Oleh sebab tipisnya, prisma Fresnel ringan
dan dapat melakukan koreksi dengan kisaran yang lebih luas atau sudut deviasi yang
besar (hingga 25D) meskipun dilekatkan pada kacamata. Selain itu, dibandingkan
prisma permanen, biayanya lebih murah
dan lebih fleksibel dalam mengubah kekuatan prisma pada masalah dengan deviasi yang
bervariasi farak dekat atau jauh. Kekurangannya yakni pemakaian prisma Fresnel
dapat memicu penurunan visus, terutama Jika kekuatan prismatik lebih dari
12D. Berkurangnya kejernihan visualisasi
obyek juga disebabkan sebab prisma Fresnel dapat meningkatkan aberasi optik, atau
adanya debu dan partikel yang terakumulasi pada alur prisma. Selain itu dari segi kosmetik juga kurang diminati.
Prisma permanen biasanya ditanamkan
pada lensa kacamata. Dengan demikian,
kurang fleksibel untuk merubah kekuatan
prismatik, terutama pada masalah dengan deviasi yang bervariasi menurut jarak. Kelebihan dibandingkan prisma Fresnel yaitu
dapat memvisualisasikan obyek lebih
jernih, mudah dibersihkan, dan tidak mudah terlepas.
Pada prakteknya, prisma Fresnel biasanya
dipakai pada masalah ocular misalignment
temporer, seperti pasien dengan paresis nervus IV dan VI akibat iskemia mikrovaskular
atau sebagai uji awak efektivitas prisma sebelum meresepkan prisma permanen atau
pada masalah yang tidak diketahui kekuatan
prisma yang dibutuhkan. Pasien biasanya
diminta untuk kontrol 2 minggu untuk memastikan dapat beradaptasi dengan prisma.
Ketika pasien dapat beradaptasi, maka akan
diaplikasikan prisma permanen.
Injeksi toksin botulinum dipakai untuk memperbaiki ocular alignment dengan
melemahkan otot ekstraokular yang turut
berkontribusi memperburuk ocular alignment serta mencegah kontraktur pada otot
antagonis. Dengan demikian diharapkan
dapat memperbaiki ocular alignment seiring
dengan perbaikan fungsi otot yang mengalami
kelumpuhan. Terapi ini terutama bermanfaat
pada kondisi operasi strabismus tidak memungkinkan seperti pada usia lanjut, kondisi
Minis tidak stabil atau operasi tidak berhasil.
Efek toksin botulinum terlihat dalam 2 -4 hari
pascainjeksi dan biasanya akan hilang sesudah
8 -12 minggu.
Tata laksana operatif merupakan tata
laksana utama pada strabismus dewasa
dengan ocular misalignment besar dan
stabil dalam beberapa bulan (sekitar 6-12
bulan). Tindakan ini efektif dan aman pada
sebagian besar pasien. Angka keberhasilan
operasi strabismus dengan luaran ocular
alignment dapat mencapai 80% masalah .
Mills dkk melaporkan angka keberhasilan
ditinjau dari perbaikan gejala diplopia,
yakni sebesar 72%, Meskipun efektifitasnya
baik, tindakan operatif jarang dikerjakan.
Repka dkk mengestimasi insidens operasi
hanya 1 dari 5000 pasien.
Pemah dilaporkan pula kegagalan dan komplikasi operasi strabismus, hingga sepertiga pasien mengalami diplopia temporer
pasca operasi, dan diplopia persisten <1%.
Komplikasi yang paling sering yaitu misalignment yang tidak diharapkan, sehingga
membutuhkan operasi ulang. Mills dick melaporkan tingkat operasi ulang bervariasi dari
6% hingga 21%, bergantung pada durasi
follow-up dan kompleksitas strabismus.
ada beberapa prosedur operasi strabismus, antara lain reseksi, resesi, dan
transposisi. Reseksi berguna memperkuat
otot yang mengalami kelumpuhan dengan memendekkan tendon otot dan menjahit
otot di bagian belakang insersi awal. Resesi bertujuan melemahkan otot antagonis
dan yoke muscle dengan cara diinsersi otot
dan menjahitkan pada posisi yang sulit secara mekanik untuk bekerja, misalnya pada
bagian posterior bola mata. Adapun transposisi melibatkan transfer tendon tanpa
disinsersi. Hal ini cukup sulit dan akan
meningkatkan potensi komplikasi. Pilihan
prosedur operasi dapat berbeda bergantung pemicu kelumpuhan, tingkat keparahan, dan faktor lain.
Pada masalah paresis nervus III, prosedur
operasi bergantung pada jenis kelumpuhan
[komplet atau inkomplet), tingkat keparahan
kelumpuhan atau keterbatasan duksi, dan
faktor terkait lain. Pada paresis komplet,
beberapa prosedur yang dapat dipilih yaitu
large recession and resection, globe anchoring
procedure, transposisi oblik superior, dan
transposisi rektus lateral. Pada masalah
inkomplet, lebih banyak lagi prosedur yang
dapat dipilih bergantung otot ekstraokular
yang mengalami kelumpuhan. Contoh pada
paresis divisi superior dapat dilakukan
prosedur Knapp dan prosedur Kushner pada
paresis divisi inferior.
Berbeda dengan paresis nervus IIII, pilihan
prosedur lebih terbatas pada paresis nervus
IV dan VI. Prosedur pada paresis nervus IV
yaitu penguatan otot oblik superior ipsilateral, pelemahan otot oblik inferior ipsilateral, resesi rektus inferior kontralateral
atau resesi otot rektus superior ipsilateral.
Untuk mengoreksi eksiklotorsi dapat dipertimbangkan prosedur Harada-Ito yang dimodifikasi. Pada paresis nervus VI dengan
fungsi abduksi masih cukup baik, kombinasi
resesi otot rektus medial dan reseksi otot
rektus lateral menjadi pilihan. Adapun pada
gangguan abduksi berat dengan tonus otot
rektus lateral yang sangat minim, dipertimbangkan transposisi vertikal otot rektus
kombinasi dengan resesi otot rektus medial.
TUMOR OTAK PRIMER
Insidens tumor di susunan saraf pusat tidaklah setinggi tumor-tumor sistemik lainnya,
tetapi merupakan 10 terbesar pemicu
kematian akibat keganasan sistemik. Pasien
sering datang dalam keadaan tumor yang
sudah sangat besar, padahal tumor yang
ideal yaitu pada ukuran yang seminimal
mungkin sehingga akan memberikan luaran
yang baik.
Tumor otak mempunyai beberapa keunikan sehingga memerlukan pendekatan yang
berbeda dibanding keganasan di tempat
lain. Dengan lokasinya yang berada di rongga yang tertutup, maka semua jenis tumor
yang memicu lesi desak ruang akan
memicu defisit neurologis. Massa tumor juga dapat tumbuh di mana saja, sehingga walaupun ukurannya kecil, tetapi
jika berada di lokasi yang fungsionai harus
segera diatasi tanpa memperhatikan
derajat keganasannya. Selain itu, massa tumor juga memicu edema di sekitarnya
serta dapat menekan sistem ventrikel sehingga terjadi hidrosefalus, yang kesemuanya akan meningkatkan tekanan intrakranial
(T1K] dan mengancam nyawa.
Prinsip utama tumor secara umum yaitu
reseksi semaksimal mungkin, bahkan sampai tepi sayatan bebas tumor. Namun pada
tumor otak, hal ini tidak selalu dapat dilakukan, ter utama jika tumor berada di area
yang fungsionai, ukurannya terlalu besar,
atau sulit dijangkau. Adanya sawar darah
otak juga membatasi pilihan kemoterapi,
tidak seperti pada keganasan lain yang bisa
diberikan secara sistemik, Sementara otak
dan vertebra merupakan organ yang sering
menjadi target metastasis dari tumor lain.
Hal-hal ini mendasari pentingnya deteksi dini klinis kecurigaan adanya tumor
di SSP, baik primer maupun sekunder, oleh
sebab tata laksana pada massa yang berukuran kecil akan memberi prognosis yang
jauh lebih baik dibandingkan saat tumor sudah menimbulkan berbagai defisit neurologis.
EP1DEMIOLOGI
Secara umum berdasar data Central Brain
Tumor Registry o f the United States (C8TRUS)
tahun 2007-2011, meningioma merupakan
tumor tersering hingga lebih dari 35% dari
seluruh tumor otak primer usia dewasa,
diikuti glioblastoma [16% ]. Di Amerika
Serikat, tumor otak termasuk dalam 10 pemicu kematian tersering yaitu 1,4% dari
seluruh keganasan dan 2,4% dari seluruh kematian akibat keganasan. Data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas] 2013 tidak memberikan
keterangan spesifik mengenai angka kejadian
tumor otak di negara kita . Namun, di Departemen Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo,
selama tahun 2011-2015 didapatkan rerata usia pasien 48 (18-74) tahun dengan proporsi
perempuan sedildt lebih banyak dibandingkan
laki-laki (55,6% vs 44,4%). Mayoritas tumor
primer yaitu astrositoma (47%) diikuti meningioma (26%). Data di RS Kanker Dharmais
pada tahun 1993-2012 menunjukkan insidens
tumor otak sebesar 1% dari seluruh keganasan, juga terutama golongan glioma (67,4%)
dan meningioma (16,3%).
PATOFISIOLOGI
Pada prinsipnya tumor otak merupakan hasil akhir dari onkogenesis, yaitu suatu proses
transformasi sel normal menjadi kanker. Hal
ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara pembuatan sei-sel baru pada sildus sel
dengan hilangnya sel-sel lama akibat kematian terprogram (apoptosis). Ketidakseimbangan ini merupakan hasil dari mutasi
genetik pada 3 kelompok protein, yaitu 1)
protoonkogen, yang berperan pada pencetus
pertumbuhan dan diferensiasi sel normal,
2) tumor suppressor genes, penghambat pertumbuhan dan pengatur apoptosis, serta 3)
kelompok gen perbaikan DNA. Mutasi protoonkogen disebut sebagai onkogen, menghasilkan protein yang jumlahnya dalam batas
normal tetapi molekulnya mengalami mutasi
sehingga efek biologiknya tidak sama dengan
yang normal, atau dapat fungsinya normal
tetapi jumlahnya berlebihan.
Pertumbuhan sel yang abnormal secara
terus menerus akan memicu vaskularisasi dari pembuluh darah host tidak
mencukupi, sehingga terjadi hipoksia. Hal
ini memicu sel tumor mensekresi vascular endothelial growth factor (VEGF) untuk
merangsang pembentukan pembuluh darah
baru atau angiogenesis (Gambar 1). Selain
itu sel tumor memnsekresi sitokin proinflamasi yang memicu kerusakan pada
okludin, suatu protein tight junction antar
endotel. Hal ini memicu pembuluh darah yang terbentuk tidak sama morfologinya
dengan yang normal, antara lain hilangnya
tight junction antar endotel dan tidak utuhnya membran basalis, yang disebut sebagai
keadaan rusaknya sawar darah otak (SDO)
atau blood brain barrier (BBB). Pada keadaan ini , terjadi ekstravasasi cairan
ke sekitar jaringan tumor (edema peritumoral), sebagai suatu edema vasogenik. Hal
inilah yang memicu lesi desalt ruang
menjadi peningkatan tekanan intrakranial,
adanya edema seiring dengan penambahan
ukuran massa tumornya.
Tumor glia atau glioma merupakan tumor
dari jaringan penunjang, seperti astrositoma berasal dari sel astrosit, oligodendroglioma dari oligodendrosit, dan ependimoma
dari sel ependim. Adapun meningioma berasal dari sel meningotel araknoid. Deraj at
keganasan masing-masing tumor dinilai
menurut kriteria WHO berdasar tingkat
proliferasi dan keaktifan bermitosis, muiai
dari derajat I yang tingkat proliferasinya
paling rendah hingga derajat IV yang paling
aktif bermitosis dan dianggap ganas.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gambaran klinis memang sangat bervariasi
tergantung pada letak tumor. Namun berdasarkan prinsip adanya efek desak ruang
dari massa yang tumbuh progresif di rongga
kompartemen tertutup, maka sebenarnya
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
dapat menjadi alat deteksi dini yang efektif.
Alarm utama sistem saraf kita yaitu nyeri.
Dengan bertambahnya tekanan di intrakranial akibat massa di manapun letaknya, akan terjadi peregangan meningen yang merangsang reseptor nyeri di sekitarnya dan menyebabkan nyeri kepala. Gejala ini merupakan
gejala utama [90%] pada tumor intrakranial.
Semua gejala klinis tumor otak yaitu berlandaskan pada efek desak ruang. Tekanan
di intrakranial dipertahankan konstan sesuai dengan hukum Monroe Kelly dengan
memodifikasi aliran darah dan cairan serebrospinal. Oleh sebab itu, penambahan
massa yang minimal masih dapat ditoleransi oleh otak dan belum memicu gejala.
fika massa terus membesar, meningen akan
meregang sehingga merangsang reseptor
nyeri. Efek desak ruang bukan hanya ditimbulkan oleh massa, namun juga oleh edema
di sekitarnya, sehingga lebih mudah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(Gambar 2]. Selain itu, nyeri juga dapat menyebabkan regangan pada pembuluh darah
dan sinus, sehingga bisa jadi nyeri hebat tidak sesuai dengan efek desak yang minimal.
Nyeri kepala akibat tumor intrakranial harus
bisa dibedakan dengan nyeri kepala primer.
Sesuai dengan pertumbuhan massa, maka
nyeri akan terasa makin lama maldn berat,
terutama jika ada penambahan volume ke
intrakranial seperti sesudah aktivitas fisik,
malam atau pagi hari, dan saat batuk atau
mengedan. Pada awal nyeri kepala masih hilang timbul, kemudian nyeri akan lebih sering,
terlokalisir pada satu area tertentu. Saat nyeri
menetap dan memberat berarti daya kompensasi otak sudah berkurang, biasanya mulai muncul defisit neurologis. Jika hal ini masih belum terdeteksi, maka bisa jadi pasien
datang dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala hebat disertai muntah
serta penurunan kesadaran yang merupakan
tanda-tanda herniasi serebi (Gambar 2].
Pada peningkatan volume intrakranial, di
manapun massanya, tekanan akan diteruskan ke segala arah, sehingga meregangkan meningen, termasuk saraf kranial yang
melintasinya. Nervus abdusens merupakan
saraf yang terpanjang melewati area subaraknoid di antara saraf kranial lainnya. Maka
pada pasien-pasien dengan keluhan nyeri
kepala berulang bisa ditanyakan adanya keiuhan pandangan ganda atau diplopia terutama saat melihat jauh, dilanjutkan dengan
pemeriksaan nervus VI yang teliti untuk
mencari adanya paresis secara minimal.
Demikian pula dengan nasib nervus optikus
yang begitu keluar dari rongga orbita langsung diselimuti oleh meningen. Tekanan
yang mulai meningkat secara progresif akan
memicu jeratan pada nervus ini
sehingga terjadi papiledema.
Penilaian jaras visual dapat menjadi salah
satu alat penapis klinis oleh sebab letaknya
yang membentang mulai dari bola mata di
bagian anterior hingga lobus oksipital di daerah posterior sebagai area persepsi visual.
Selain itu, ada pula radiasio optika yang
'mengisi’ parenkim dari bagian tengah ke belakang, ke arah superior dan inferior. Maka
keluhan pandangan buram, pemeriksaan visual, fundus, dan lapang pandang merupakan paketyang wajib dinilai untukmendeteksi
adanya massa kecil di intrakranial
Fungsi otak utama yaitu fungsi kognitif
yang bisa terlihat pada hampir semua area
di setiap lobus baik depan belakang, kanan
dan kiri mempunyai peran dalam fungsi
ini . Oleh sebab itu, perubahan fungsi
kognitif sebenarnya dapat menjadi penapis
yang sering terlupakan oleh defisit neurologis lain yang terlihat secara kasat mata.
Gangguan kognitif sebagai awal gejala muncul hingga 30%, setara dengan sakit kepala,
lebih tinggi dibanding kelemahan motorik.
Pada pasien yang berpendidikan tinggi atau
masih aktif bekerja dapat ditanyakan kapan
mulai merasa aktivitasnya 'terganggu' atau
keluarga melihat adanya 'perbedaan' dalam
kegiatan sehari-hari, yang seminimal mungkin seperti gangguan atensi, perubahan
emosi, dan sebagainya. Hal ini dapat ditindaklanjuti minimal dengan pemeriksaan
Mini Mental Status Examination (MMSE),
Montreal Cognitive Assessment [MoCA] versi
negara kita (MoCA-Ina] atau pemeriksaan
fungsi kognitif lengkap untuk memastikan
gangguannya.
Area otak yang juga cukup luas untuk dicari adanya efek desak ruang yaitu korteks
yang melapisi seluruh parenkim. Sesuai
dengan patofisiologinya, adanya lesi di
korteks dapat menimbulkan kejang. Keluhan ini bisa tidak disadari oleh pasien atau
keluarga sebab bentuk kejang yang bisa
berbeda-beda sesuai dengan area yang terganggu sehingga perlu anamnesis tersendiri. Oleh sebab itu, kejang pertama kali pada
usia dewasa atau tua tanpa demam harus
dicurigai adanya tumor di intrakranial yang
membutuhkan pemeriksaan pencitraan lebih lanjut dengan pemberian kontras. Hal
ini biasanyaterjadi pada tumor jenis oligodendroglioma atau astrositoma derajatrendah.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
diagnosa pasti tumor otak yaitu dengan
biopsi. Namun diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk dapat membuat
dugaan tumor otak agar sebelumnya dapat
dilakukan pemeriksaan pencitraan baik CT
scan maupun MRI dengan pemberian zat kontras. Sesuai dengan patofisiologi terjadinya
kerusakan sawar darah otak oleh sel tumor,
maka zat kontras akan keluar dari pembuluh darah dan menunjukkan gambaran penyangatan pada pencitraan. Oleh sebab itu,
jika pencitraan dilakukan tanpa pemberian
zat kontras, maka gambaran lesinya menjadi
kurang jelas karakteristiknya untuk menentukan dugaan tumor atau bahkan lesinya menjadi
tidak terlihat
Anamnesis yang khas pada dugaan tumor
otak yaitu adanya gejala yang kronik progresif. berdasar patofisiologinya juga,
ada perbedaan gejala Minis pada tumor yang memicu efek desak ruang
dengan tumor yang terutama memicu
gangguan fungsional. Pada tumor yang menyebabkan efek desak ruang, seperti meningioma atau astrositoma derajat tinggi,
gejala klinis biasanya dimulai dengan sakit
kepala dan diikuti defisit neurologis lainnya. Namun pada tumor yang terutama
memicu gangguan fungsional seperti
astrositoma derajat rendah, gejala biasanya
berupa kejang atau gangguan fungsi luhur
sesudah beberapa lama, baru diikuti dengan
sakit kepala atau defisit neurologis lainnya. Pemeriksaan fisik perlu dimulai dari tanda
vital untuk menentukan ada tidaknya tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan neurologis juga hams disertai funduskopi untuk menilai papiledema. Pada
tumor-tumor daerah khusus, seperti tumor
hipofisis, pineal atau serebelum, diperlukan
pemeriksaan neurooftalmologi untuk menilai adanya gangguan visus dan lapangan
pandang, deviasi konjugat, atau nistagmus.
Sistem lainnya yang juga penting mencakup
hampir seluruh area otak yaitu gangguan
fungsi luhur yang biasanya sering tidak terdeteksi. Pada meningioma lobus frontal yang
tumbuh perlahan-lahan, gangguan fungsi
luhur merupakan gejala utama sebelum
munculnya defisit neurologis klasik lainnya.
Pemeriksaan pencitraan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk
mempertajam dugaan diagnosa . MRI dengan
segala fiturnya dapat membantu memberikan gambaran tumor dengan kecurigaan ganas berdasar kuatnya penyangatan kontras, densitas yang inhomogen, serta luasnya
edema peritumoral di sekitarnya. Demildan
pula berdasar letaknya di intraparenkim
(intra-aksial) dapat ditentukan kemungkinan suatu astrositoma atau di luar parenkim (ekstra-aksial] sebagai meningioma,
schwannoma, dan metastasis leptomeningeal.
MRI lebih unggul dalam menggambarkan
kelainan struktural secara detil terutama
untuk lesi yang kecil, bukan hanya untuk
diagnosa , namun juga penilaian pascaradioterapi dan adanya rekurensi. Walaupun
demikian, pada tumor-tumor yang menunjukkan gambaran kalsifikasi, seperti pada
oligodendroglioma, akan terlihat lebih jelas
pada CT scan dibanding MRI.
berdasar efek desak ruangnya, maka diagnosis banding tumor otak tersering yaitu
lesi lain yang memicu proses peningkatan tekanan intrakranial secara progresif,
seperti tuberkuloma, abses intrakranial, atau
toksoplasma ensefalitis. Oleh sebab itu perlu dicari adanya tanda-tanda infeksi sistemik,
seperti tuberkulosis, human immunodeficiency virus (HIV), atau sumber infeksi lainnya dari telinga, hidung, gigi, dan sebagainya.
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti, dapat dilakukan pemeriksaan magnetic
resonance spectroscopy [MRS] bersamaan
dengan MRI untuk menilai metabolit infeksi
dan neoplasma berdasar rasio cholin dan
N-as eti 1-asp artat (NAAj di area lesi.
Pada tumor juga dapat terjadi perdarahan
akibat hipervaskularisasi yang rentan, sehingga memicu gejala klinis dan gambaran CT scan seperti stroke hemoragik. Namun hal ini dapat dikenali jika didapatkan
anamnesis adanya sakit kepala sebelumnya,
sehingga dilakukan CT scan kepala dengan
kontras. Demikian pula adanya hiperkoagulasi pada keganasan dapat memicu
gejala akut seperti stroke [stroke-like syndrome). Adanya hiperkoagulasi semacam itu
biasanya ditemukan pada tumor metastasis
yang juga ada tumor primer di organ
lain, sehingga dapat dideteksi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gejala
akut pada tumor otak primer juga dapat ditemukan pada pasien pascakejang yang mengaIami edema peritumoral, sehingga didapatkan
defisit neurologis seolah-olah mendadak. Namun hal ini juga dapat ditelaah dari anamnesis dengan menanyakan gejala soft sign yang
mungkin sudah ada sebelum kejang, seperti
gangguan fungsi luhur.
Kesemua analisis ini penting dilakukan
untuk mendapat dugaan yang lebih jelas, bukan hanya tumor otak secara umum, namun
termasuk kemungkinan jenisnya walaupun
belum dipastikan dengan biopsi. Hal itu terutama untuk edukasi terhadap pasien agar
mau dilakukan tindakan operatif. Dugaan ini
juga diperlukan termasuk untuk mempersiapkan pasien jika harus dirujuk ke kota besar yang membutuhkan dana dan dukungan
dari keluarga.
KLASIFIKASI
berdasar Idasifikasi WHO tahun 2007,
tumor otak digolongkan menurut temuan
histopatologis (Tabel 1). Namun saat ini Idasifikasi WHO tahun 2016 dibedakan secara
biomolekular untuk kepentingan tata laksana
dan prognosis, seperti adanya mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH)-l dan 2, serta p53.
Pada oligodendroglioma anaplastik dengan
delesi kromosom lp mempunyai prognosis
yang lebih baik terhadap terapi dibandingkan
yang kromosom lpnya intak (Tabel 2}.
berdasar epidemiologinya, tumor tersering yaitu astrositoma dan meningioma.
Goiongan astrositoma tersering yaitu derajat tinggi [high grade), terutama glioblastoma, sekitar 38% dari tumor otak keseluruhan. Tumor ini termasuk ganas, sehingga
gejala klinis biasanya dalam waktu hitungan
bulan dengan defisit neurologis yang berat,
serta gambaran MRI yang khas bisa berupa
kistik, nekrosis, atau perdarahan, dan edema yang luas. Prognosis biasanya buruk,
kecuali jika dapat dideteksi dini dan ditata
laksana segera dikatakan dapat memperpanjang kesintasan.
Meningioma merupakan tumor kedua tersering, terutama pada perempuan, dikatakan
berkaitan dengan hormon estrogen dan progesteron. Mayoritas (90%) tumor ini jinak
(derajat I) dan mempunyai prognosis yang
baik jika dapat direseksi total. Mengingat letaknya yang dapat jauh di dalam, seperti daerah basis kranii atau klivus, maka kadang terjadi residu tumor yang dapat memicu
rekurensi. Sejauh ini belum ada kemoterapi
yang tepat dan tumor juga tidak terlalu berespons terhadap radioterapi. laju tumbuhnya
yang sangat lambat, maka kadang pasien
dapat bertahan cukup lama dengan gejala
sisa yang minimal.
TATA LAKSANA
Pada prinsipnya pada tumor otak terbagi
atas terapi simtomatik, definitif, dan paliatif.
Hal ini dilakukan secara bersama dalam tim
yang multidisiplin disertai pembicaraan untuk menentukan kesepakatan bersama. Untuk menjalani itu semua, pasien harus kuat
secara mental dengan dukungan penuh dari
keluarga. Pasien dengan tumor otak dapat
mengalami gangguan psikiatri hingga 78%,
baik bersifat organik akibat tumornya atau
fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat
menghambat proses terhadap pasien.
Oleh sebab itu, diperlukan pendampingan
bersama dengan sejawat Psikiatri mulai
dari menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien [breaking the bad
news) melalui pertemuan keluarga [family
meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan
selanjutnya. Perlu juga dilakukan penilaian
fungsional memakai Karnofsl<y performance score (Tabel 3), saat awal masuk dan
keluar dari perawatan, untuk menentukan
prioritas terapi yang akan diberikan. Terapi Simtomatik
Pasien dengan tumor otak bisa datang
dalam keadaan peningkatan TIK, sehingga
harus diatasi segera. Perlu dilakukan
analisis pemicu peningkatan tekanannya
segera berdasar gambaran klinis dan
imajing, sebab berbeda pengobatan nya.
Gejala peningkatan TIK akibat ukuran masa
tumor yang besar biasanya berlangsung
secara perlahan dalam durasi yang lama
dalam hitungan minggu atau bulan, memerlukan tindakan operatif segera. Namun jika
gejala berlangsung singkat dalam hitungan
jam atau hark maka peningkatan TIK biasanya disebabkan oleh edema peritumoral
atau hidrosefalus akibat sumbatan sistem
ventrikel. Bahkan peningkatannya juga bisa
berlangsung mendadak menyerupai gejala
stroke, yang ditemukan pada tumor berdarah seperti apopleksia hipofisis, astrositoma derajat tinggi yang kaya akan pembuluh
darah yang rapuh, atau tumor metastasis.
pemicu peningkatan TIK tersering yaitu
edema vasogenik, sesuai dengan patofisiologi
tumor untuk cenderung memicu edema di sekitarnya. Obat pilihan utama yaitu
kortikosteroid golongan deksametason dosis
tinggi, loading lOmg IV dilanjutkan dosis rumatan 16-20mg/hari dan dapat dinaikkan
dosisnya. Secara teori dosis maksimal bisa
hingga 96mg/hari, namun kenyataannya dosis 30mg/hari juga sudah berefek bermakna.
Pemberian antiedema ini sebenarnya bersifat
sementara sambil mempersiapkan pasien
untuk tindakan operatif. Namun kenyataannya persiapannya sering cukup lama.
Pada pemberian lebih lebih dari 5-7 hari,
steroid tidak boleh dihentikan tiba-tiba
sebab dapat memicu rebound phenomenon, sehingga dilakukan penurunan
secara bertahap (tapering off), Penurunan
dilakukan sebanyak 20% dari dosis harian
setiap 3-5 hari tergantung keadaan klinis.
Sebaliknya dosis juga dapat dinaikkan jika
dianggap terjadi perburukan klinis akibat
edemanya. Manitol tidak dianjurkan diberikan sebab dapat memperburuk edema,
kecuali bersamaan dengan deksametason
pada situasi yang berat atau pascaoperasi.
Hidrosefalus biasanya ditemukan akibat
penekanan ventrikel oleh tumor di daerah
sella, pineal, serebelum, atau intraventrikel
itu sendiri. Dapat dilakukan pemasangan
pirau ventrikuloperitoneal (ventriculoperitoneal/VP shunt) segera untuk menurunkan TIK sebelum kemudian dilakukan reseksi
tumor pemicu nya. Pada tumor berdarah,
dapat terjadi edema sitotoksik bercampur
dengan edema vasogenik, sehingga jika belum
terjadi perbaikan klinis yang signifikan sesudah
pemberian deksametason dapat dilanjutkan
dengan pemberian manitol 25-50mg dalam
solusio 20% intravena selama 10-20 menit.
Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-ulcer, miopati,
perubahan mood, peningkatan nafsu makan,
Cushingoid, dan sebagainya. Sebagian besar
dari efek samping ini bersifat reversibel apabila steroid dihentikan. Selain efek
samping, hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian steroid yakni interaksi
obat. Kadar antikonvulsan serum, seperti
fenitoin dan karbamazepin dapat dipengaruhi oleh deksametason, sehingga membutuhkan pemantauan.
Epilepsi merupakan kelainan yang sering
ditemukan, 30% sebagai manifestasi awal
dengan bentuk bangkitan tersering yaitu
bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh sebab
tingginya tingkat rekurensi bangkitan, maka
harus diberikan obat antiepilepsi (OAE)
yang ditentukan berdasar pertimbangan
profil efelt samping, interaksi obat, dan biaya. OAE golongan lama seperti fenitoin dan
karbamazepin kurang dianjurkan sebab
dapat berinteraksi dengan deksametason
dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup
Ievetirasetam, asam valproat, lamotrigin,
klobazam, topiramat, atau okskarbazepin.
Levetirasetam lebih dianjurkan (Level A]
dan memiliki profil efek samping yang lebih
baik dengan dosis antara 20-40mg/kgBB,
serta dapat dipakai pascakraniotomi.
Terapi Definitif
Tumor otak yaitu biopsi dan reseksi tumor.
Terutama pada tumor-tumor di ekstraaksial
seperti meningioma, tata laksana utamanya
hanya reseksi luas beserta kapsulnya. Untuk
lokasi yang lebih dalam, dapat dilakukan
biopsi stereotaktik, Semakin banyak tumor
yang dapat direseksi maka keluarannya
akan lebih baik. Selain efek desak ruangnya
teratasi, kemungkinan untuk rekuren juga
lebih kecil. Oleh sebab itu lebih disukai jika
tumor dapat didiagnosa dalam ukuran kecil
berdasar deteksi dini.
Pada golongan astrositoma biasanya agak
sulit untuk menentukan batas tumor dengan
jaringan yang sehat, selalu ada sisa tumor
yang perlu ditidaklanjuti dengan radioterapi
atau kemoterapi, terutama pada astrositoma
derajat tinggi. Saat ini dengan perkembangan teknik operasi, pengambilan massa tumor bisa memakai neuronavigasi atau
zat fluoresens agar lebih akurat. Radioterapi
terutama dilakukan pada tumor-tumor yang
peka seperti tumor pineal, germ cell, astrositoma derajat tinggi, dan metastasis
otak. Pada tumor yang letak dalam dilakukan
steretotactic radiotherapy atau radiosurgery.
Kemoterapi untuk tumor otak lebih terbatas
pilihannya, sebab harus dapat menembus
sawar darah otak. Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan kualitas hidup [quality o f life) pasien
semaksimal mungkin. Sejauh ini yang menjadi pilihan yaitu temozolamid, untuk
glioblastoma dan metastasis. Kemoterapi
jenis allylating agent ini dapat diberikan
tunggal sebagai kemoterapi dengan dosis
200mg/m2/hari selama 5 hari yang dapat
diulang setiap 28 hari selama 6 siklus. Cara
pemberian dapat juga bersamaan dengan
radioterapi, yang berfungsi sebagai radiosensitizer dengan dosis 75mg/m2/hari selama 6 minggu. Selanjutnya dosis meningkat kenjadi 150-200mg/m2/hari setiap 28
hari selama 6 siklus. Namun temozolamide
ini hanya akan berespons baik jika jaringan
tumor termasuk metilasi (bertambahnya
gugus metil) pada promotor O-6-methylguanine-methyltransferase (MGMT), yang harus
dibuktikan dulu pada pemeriksaan jaringan
sebelum diberikan agen yang ini .
Selain kemoterapi, ada beberapa agen
golongan targeted therapy yang bekerja
spesifik menghambat reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF), yaitu bevacizumab, dan epidermal growth factor receptor (EGFR), yaitu nimotuzumab. Terapi ini
juga baru dapat diberikan pada astrositoma
derajat tinggi dengan mutasi EGFR yang
signifikan. Oleh sebab cara kerjanya yang
spesifik, maka efek sampingnya juga lebih
minimal dibandingkan kemoterapi.
Terapi Paliatif
Kata paliatif berasal dari bahasa Yunani
'pallium' yang berarti 'cloak' dalam bahasa
Inggris atau 'mantel' yang dimaksudkan untuk menutupi hal-hal yang tidak nyaman. Biasanya dilakukan sesudah pasien menjalani
terapi definitif namun masih ada keluhan akibat gejala sisa tumornya. Terapi ini
juga diindikasikan jika pasien tidak dapat
dilakukan terapi definitif oleh sebab ukuran tumor yang terlalu besar, kondisi buruk,
dan terlalu berisiko untuk dilakukan terapi
definitif. Penetapan terapi ini perlu disepakati
oleh semua tim secara multidisiplin bersama
dokter penanggung jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan
ahli terapi paliatif.
Pasien perlu penyesuaian terhadap gejala
sisanya untuk bisa kembali minimal beraktivitas mandiri. Biasanya gangguan berupa
kejang, nyeri, atau gangguan fungsi luhur
yang dapat diberikan terapi yang sesuai.
Dapat diberikan juga diberikan psikoterapi
suportif dan relaksasi yang akan membantu
pasien dan keluarga.
CONTOH masalah
Laki-Iaki, usia 59 tahun mengeluh sakit
kepala dan kesulitan berkonsentrasi sejak
enam minggu sebeluninya, Sakit kepala dirasakan pada bagian kanan, terutama saat
malam hari sesudah beraktivitas. Pasien juga
mengeluh sulit berkonsentrasi dan menurut istrinya, pasien menjadi lebih mudah
tersinggung dan terlihat bingung sejak sebulan terakhir ini. Tidak ada riwayat mengonsumsi minuman beralkohol atau riwayat terpapar dengan toksin sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik dan neurologis
umum dalam batas normal, namun funduskopi didapatkan kesan early papiledema bilateral dan nilai MMSE=24,
Pertanyaan;
1. Apa kemungkinan diagnosa pada pasien
di atas?
2. Apa pemeriksaan yang selanjutnya dibutuhkan pada pasien?
3. Tata laksana apa yang dibutuhkan pada
pasien?
Jawaban:
1. Tumor intrakranial jika tidak ada
keluhan sistemik dan dipikirkan topis lesi soliter, maka dapat dianggap
suatu tumor primer. Secara epidemiologi tumor primer tersering yaitu
astrositoma dan meningioma. Namun
mengingat onsetnya yang cepat, biasanya bukan meningioma, melainkan
astrositoma yang maligna, seperti deraj at III atau IV (glioblastoma).
2. Pemeriksaan MRI kepala dengan kontras dan foto polos dada unutk menyingkirkan kemungkinan metastasis,
walaupun tetap bisa normal. Jika foto
polos ada kelainan, dilanjutkan dengan CT thoraks.
3. Kortikosteroid sesegera mungkin,
sementara menunggu biopsi dan reseksi massa tumor. Penilaian neurooftalmologi dan fungsi luhur sambil menunggu jadwal operasi, sebagai
data dasar sebelum dilakukan terapi.
TUMOR SPINAL
Tumor spinal dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa kelompok. Tumor spinal
dapat merupakan tumor primer atau metastasis. Tumor primer di spinal bisa berasal
dari jaringan tulang atau medula spinalis,
sedangkan metastasis berasal dari lokasi
di luar spinal, seperti payudara, paru, dan
prostat
Secara anatomi, tumor spinal dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu
tumor ekstradural, ekstramedula, dan intramedula. Adanya klasifikasi tumor spinal secara anatomi harus dipahami oleh
setiap klinisi sebab sangat berguna dalam
melakukan pemeriksaan klinis, memilih
pemeriksaan penunjang yang tepat, menyusun rencana terapi, dan menentukan prognosis pasien.
Bab ini akan membahas tumor spinal secara
rinci, mulai dari ldasifikasi tumor spinal,
jenis-jenis tumor beserta karakteristiknya,
pendekatan klinis yang harus dilakukan bila
bertemu pasien dengan diagnosa klinis tumor spinal, dan tata laksananya.
EPIDEMIOLOGI
Tumor primer medula spinalis tergolong
jarang ditemukan. Prevalensinya sekitar
4-8% dari total semua tumor di susunan
saraf pusat. Insidens tumor ini menurut
Central Brain Tumor Registry o f the United
States (CBTRUS) antara tahun 1998-2002
yaitu 0,74/100.000 penduduk pertahun.
Studi ini juga menunjukkan bahwa sebesar
69% tumor primer medula spinalis bersifat jinak (nonmalignantf Distribusi tiga
besar gambaran histologi dari tumor primer
medula spinalis yaitu meningioma (29%),
tumor selubung saraf (24% ), dan ependimoma (23% ]. Astrositoma hanya memiliki
frekuensi 6% pada studi ini. Selain itu, studi
ini juga menunjukkan bahwa menurut jenis
kelamin dan lokasi tumornya, insidens tumor
intradural ekstramedula lebih besar pada
perempuan (0,29/100.000) daripada laldlaki (0,09/100.000). Keadaan ini sebaliknya
ditemukan pada tumor intramedula, yaitu
insidens laki-laki (0,57/100.000) lebih besar
daripada perempuan (0,45/100.000).
Studi epidemiologi lain di Jepang yang mengambil data pasien antara tahun 2000-2009
menunjukkan hasil yang berbeda dengan
studi CBTRUS di atas. Pada studi ini, tiga besar
gambaran histologi yang paling sering ditemukan yaitu schwannoma (57,2%), meningioma
(11,6%), dan ependimoma (8%). Frekuensi
astrositoma hanya 1,3%. berdasar lokasinya, frekuensi tumor intradural ekstramedula (54,7%) lebih besar daripada tumor
intramedula (18,1%).
Selain tumor primer, ada puia tumor
metastasis di spinal. Spinal merupakan
tempat sasaran paling sering perihal metastasis tumor primer. Sebanyak 95% dari
total keseluruhan pasien dengan tumor spinal yaitu tergolong metastasis. Sebanyak
500.000 pasien diperkirakan mengalami
metastasis tumor di spinal tiap tahunnya.
Sayangnya, hanya 64% pasien metastasis
tumor spinal yang simptomatik, sedangkan
sisanya tidak memiliki keluhan dan ditemukan secara insidental.
KLASIFIKASI TUMOR SPINAL
Tumor spinal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori menurut letak lesinya,
yaitu ekstradural, intradural ekstramedula,
dan intramedula (Gambar 1 dan 2], Masingmasing kategori dapat berupa tumor primer
atau metastasis. Namun, oleh sebab tumor
metastasis spinal paling sering tergolong
ekstradural, maka tumor metastasis spinal
dimasukkan dalam kategori tumor ekstradural pada pembahasan selanjutnya.
Pemahaman mengenai anatomi meningen
medula spinalis, terutama dura mater (Gambar 3), sangat penting dalam kaitannya dengan klasifikasi tumor spinal berdasar
letak lesinya. Dura mater spinalis berasal
dari dua lapisan dura mater yang menyatu
pada rongga kranium, tetapi terpisah saat
memasuki kanalis spinalis.
Pada kanalis spinalis, dura mater terluar
menjadi periosteium kanalis spinalis. Adapun lapisan dalamnya membentuk sakus
duralis yang menyelubungi medula spinalis. Kedua lapisan dura mater ini kembali
menyatu di tempat keluarnya radiks nervi
spinalis dari kanalis spinalis. Ujung bawah
sakus duralis mengeliiingi kauda ekuina
dan berakhir pada level S2. Selanjutnya,
sakus duralis membentuk filum terminal
dura mater (Gambar 4)
Tumor Ekstradural
1. Tumor Primer
Tumor primer ekstradural termasuk
dalam kumpulan tumor tulang. Tumor
primer tulang di spinal ini dapat bersifat jinak (hemangioma, osteoma osteoid,
dan kista tulang aneurisma) atau ganas
(plasmasitoma, kordoma, sarkoma
Ewing, osteosarkoma, dan kondrosarkoma. Sebagian lain memiliki karakteristik jinak, tetapi bisa berkembang
menjadi ganas, misalnya osteoblastoma,
osteokondroma, dan giant ceil tumor.
Lokasi tumor juga merupakan petunjuk
untuk lebih mengarahkan jenis tumor,
mengingat tumor primer ini dapat berlokasi di segmen anterior, eksentrik, atau
segmen posterior (Tabel 1).
Tumor-tumor primer ini pada umumnya
akan mendestruksi tulang vertebra dan
memicu deformitas pada tulang
belakang (Gambar 2A), Selain deformitas, tumor primer ini juga menimbulkan
nyeri di tulang belakang. Nyeri ini biasa
dirasakan di malam hari dan tidak dipengaruhi perubahan posisi dan tetap
dirasakan saat pasien beristirahat. Defisit neurologis baru terjadi bila terjadi
ekstensi tumor yang mengkompresi medula spinalis atau radiks. Pada tumortumor yang tergolong jinak, perjalanan
penyakitnya relatif lebih lama daripada
tumor yang ganas. Hal ini memicu
pasien jarang datang menemui dokter di
awal perjalanan penyakit.
2. Metastasis
Sebagian besar pasien dengan tumor spinal merupakan metastasis. Oleh sebab
itu, klinisi harus memikirkan metastasis
dahulu ketimbang tumor primer pada
pasien tumor spinal. Metastasis tidak
hanya berlokasi di ekstradural, tetapi
juga di intradural ekstramedula dan intramedula dalam persentase yang kecil.
Oleh sebab lokasi yang paling sering
menjadi tujuan metastasis yaitu ekstradural, maka tumor metastasis dimasukkan dalam kelompok tumor ekstradural.
Tumor primer yang sering bermetastasis
ke spinal antara lain, payudara [21%),
paru-paru [14%), prostat [7,5%), ginjal
[5,5%), gastrointestinal [5%), dan tiroid
[2,5%). Namun, ada pula hasil penelitian
lain dengan komposisi urutan yang berbeda, tetapi kanker payudara dan paru
yang selalu mendominasi dari setiap
studi epidemiologi [Tabel 2).
Lokasi metastasis tumor di spinal dapat
ditemukan di korpus vertebra [85%),
ruang paravertebra [10-15% ), dan ruang epidural [<5%). Oleh sebab itu, metastasis tumor di spinal secara anatomis
tergolong tumor ekstradural. Sepanjang
vertebra, metastasis tumor di spinal paling sering ditemukan di segmen torakal
[70% ), kemudian diikuti lumbosakral
(20% ), dan servikal (10%)
Tumor Intradural Ekstramedula
Kategori tumor ini berlokasi di dalam (intra) dura mater, tetapi di luar (ekstra) medula spinalis (Gambar 2B). Tumor intradural ekstramedula memiliki kekerapan
sekitar dua pertiga masalah tumor intradural.
Dari keseluruhan kategori tumor spinal ini,
sekitar 95% memiliki jenis schwannoma,
neurofibroma, meningioma, dan ependimoma filum terminal. Sisanya bisa berupa
metastasis, kista, dan paraganglioma.
1. Tumor Selubung Saraf [Nerve Sheath
Tumor)
Neurofibroma dan schwannoma terma-
suk dalam jenis tumor selubung saraf
yang berlokasi di dalam dura mater, tetapi
di luar medula spinalis. Neurofibroma
biasa terjadi pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 1. Tumor ini membentuk
massa fusiformis yang bercampur dengan
serabut saraf yang sehat, sehingga sulit
untuk melakukan diseksi tumor ini dari
jaringan saraf. Bila neurofibroma ditemukan multipel, maka diagnosa neurofibromatosis dapat