neurologi 11

 











ditegakkan. Berbeda dengan neurofibroma, tumor schwannoma 


lebih sering ditemukan pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2.


2. Meningioma


Meningioma spinal biasanya tumbuh di 


lateral kanalis spinalis, terutama daerah 


dekat radiks dan ganglion radiks dorsalis. 


Sekitar 40% tumor ekstramedula merupakan meningioma. Sepanjang vertebra, 


tumor ini paling sering terjadi di segmen 


torakal (sekitar 80%), kemudian diikuti 


segmen servikal, dan lumbosakral. Tumor 


ini biasanya tumbuh membentuk konfigurasi seperti bolayangmemiliki perlekatan 


dura mater. Oleh sebab  sifatnya yang cenderung tidak menginvasi pia mater, maka 


tumor ini dapat direseksi dengan aman.


3. Ependimoma Fiium Terminal


Selain tumor selubung saraf dan meningioma, sekitar 15% tumor ekstramedula 


dapat berupa ependimoma miksopapilar. 


Jenis tumor ini merupakan tumor yang paling sering tumbuh di daerah fiium terminal. 


Sesuai dengan namamnya, tumor ini memiiika tampilan susunan papilar dari sel epitel 


kubus atau batang dengan kandungan kaya 


musin. Walaupun tumor ini berasal dari


fiium terminal, pertumbuhan tumor ini 


dapat melibatkan radiks dari kauda ekuina. 


Karakteristik lain dari tumor ini yaitu  sifatnya yang bisa menyebarkan sel tumor ke 


dalam ruang cairan spinal.


4. Tumor Ekstramedula Lainnya


Kondisi patologis lain yang bisa terjadi 


di ruang intradural ekstramedula yaitu  


kista (epidermoid, dermoid, dan lipoma), 


paraganglioma, malformasi vaskular, 


dan metastasis. Penelusuran ke arah metastasis leptomeningeal perlu dilakukan 


bila ada pasien dengan diagnosa  kanker 


sebelumnya dan ada  massa di ruang 


intradural ekstramedula.


Tumor Intramedula


Tumor intramedula merupakan tumor yang 


berasal dari medula spinalis (Gambar 2C). 


Sekitar 80% tumor intramedula tergolong 


dalam tumor glial (astrositoma, ependimoma, ganglioma, dan oligodendroglioma). 


Tumor intramedula yang paling sering ditemukan yaitu  astrositoma, kemudian diikuti ependimoma, dan hemangioblastoma.


1. Astrositoma


Angka kejadian astrositoma di spinal 


tergolong jarang, yaitu sekitar 3% dari 


seluruh masalah  astrositoma susunan saraf 


pusat. Tumor ini dapat terjadi di segala 


usia, tetapi paling sering terjadi pada 


anak dan usia kurang dari 30 tahun. 


Sepanjang tulang vertebra, tumor intramedula ini memiliki predileksi di segmen servikal atau servikotorakal.


2. Ependimoma


Berbeda dengan astrositoma yang merupakan tumor intramedula tersering di 


anak, ependimoma yaitu  tumor intra-

 

medula yang sering ditemukan pada 


orang dewasa. Hampir semua ependimoma termasuk tumor jinak, dengan 


karakteristik berbatas tegas dan tidak 


menginfiltrasi area sekitar.


3. Hemangioblastoma


Sekitar 3-8% tumor intramedula merupakan hemangioblastoma. Tumor ini berasal dari pembuluh darah yang berbatas 


tegas, tetapi tidak berkapsul. Sebanyak 


15-25% masalah  berhubungan dengan penyakit von Hippel-Lindau yang diturunkan secara autosom dominan.


4. Tumor Intramedula Lainnya


Selain dari ketiga jenis tumor yang sering 


ditemukan di atas, ltelainan patologis 


lain yang bisa terjadi yaitu  metastasis, 


kista, dan malformasi vaskular. Metastasis tumor paru dan payudara yaitu  


yang paling sering ditemukan di medula 


spinalis, dengan kekerapan kurang dari 


5% dari total tumor intramedula.


PATOFISIOLOGI


Tumor Metastasis


Tumor metastasis di spinal sebagian besar 


terletak di ekstradural Oleh sebab itu, pembahasan kali ini menjelaskan bagaimana 


tumor metastasis spinal ekstradural dapat 


memicu keadaan patologis yang bermanifestasi Minis.


Sel tumor primer paling sering menyebar ke 


spinal melalui sistem vena. Untuk dapat mencapai spinal, sel tumor sebelumnya melalui 


sirkulasi di had dan paru. Pada kondisi normal, 


5-10% darah yang berada dalam sistem vena 


porta dan vena kava mengalir ke sistem vena


vertebra, yang berhubungan dengan pleksus 


vena epidural. Pleksus vena epidural ini berada 


di dalam kanalis spinalis dan tidak memiliM 


katup. Batson pertama kali mengemukakan 


bahwa pleksus vena epidural merupakan jalur 


potensial penyebaran metastasis tumor primer 


di spinal. Oleh sebab itu, Pleksus ini disebut juga 


pleksus Batson. Pleksus vena epidural (Batson) 


ini terletak di ruang epidural, di antara kolumna spinalis dan dura mater medula spinalis. Aliran dari pleksus vena ini berhubungan dengan 


vena kava superior dan inferior yang kemudian 


membawa darah menuju jantung. Oleh sebab  


tidak ada katup di pleksus vena epidural, maka 


setiap peningkatan tekanan di sistem vena 


kava dapat memicu aliran balik ke pleksus vena epidural.


Selain metastasis melalui sistem vena, sel 


tumor bisa juga menyebar ke spinal melalui sistem arteri dan limfatik. Penyebaran 


melalui arteri dapat terjadi melalui arteriarteri yang memperdarahi korpus vertebra. 


Contoh masalah  pada tumor di paru yang bisa 


menyebar ke spinal melalui arteri-arteri segmental. Berbeda dengan sistem arteri, penyebaran metastasis tumor melalui sistem 


limfatik terjadi sebab  adanya saluran limfe 


di dalam tulang vertebra. Sayangnya, penyebaran tumor melalui sistem ini masih perlu 


diteliti lagi kepentingan klinisnya.


Selain cara-cara di atas, penyebaran langsung 


tumor primer ke spinal sering juga ditemukan, 


terutama untuk masalah  tumor prostat. Tumor 


yang berada di bagian retroperitoneal atau mediastinum dapat mengerosi korpus vertebra 


secara langsung, atau masuk ke kanalis spinalis 


melalui foramen neuralis. 

Terjadinya metastasis ini tidak lepas dari struktur sumsum tulang yang berada di dalam korpus vertebra. Sumsum tulang memilild sistem 


pembuluh darah sinusoid yang biasanya memiliki tekanan rendah, sehingga darah cenderung 


mengumpul (pooling) di daerah ini. Kondisi ini, 


disertai adanya penumpukan fibrin dan proses 


trombosis, sangat mendukung secara biolamia 


dan hemodinamik bagi implantasi dan proliferasi sel-sel tumor. Selanjutnya, sel-sel tumor 


menjadi mudah untuk keluar dari pembuluh 


darah dan menginvasi jaringan tulang trabekular. Selain beberapa kondisi ini , ada  


faktor intrinsik dari sel tumor primer yang 


mendukung keberhasilan pertumbuhan sel tumor di dalam jaringan tulang, misalnya prostaglandin dan stimulasi faktor aktivasi osteoklas 


pada metastasis sel kanker payudara yang menyebabkan lesi litik pada tulang.


Sel-sel tumor metastasis yang telah menginvasi jaringan tulang trabekular kemudian 


akan menghasilkan beberapa substansi yang 


memicu resorpsi tulang secara langsung ataupun tidak langsung, antara lain hormon paratiroid, faktor aktivasi osteoldas, faktor pertumbuhan, dan prostaglandin, Dengan 


adanya sekresi beberapa substansi ini oleh sel 


tumor, maka terjadi peningkatan stimulasi osteoklas di jaringan tulang trabekular,


sesudah  sel-sel tumor menginvasi jaringan 


tulang trabekular, proses selanjutnya yaitu  


invasi sel-sel tumor terhadap korteks tulang, 


Hal ini bermanifestasi dengan adanya keterlibatan pedikel vertebra pada metastasis tumor 


spinal. Adanya keterlibatan pedikel ini biasanya tidak bersifat primer, tetapi merupakan 


akibat sekunder dari penyebaran langsung 


dari korpus vertebra atau struktur tulang


lainnya (Gambar 5). Walaupun gambaran 


awal metastasis pada radiografi foto polos 


berupa kerusakan pedikel, sebenarnya korpus vertebra merupakan struktur pertama 


yang biasa-nya lebih awal rusak. Hal ini diduloing oleh fakta bahwa sekitar 30-50% korpus 


vertebra telah mengalami kerusakan sebelum 


kelainan ini dapatterdeteksi melalui radiografi 


foto polos.


Proses metastasis tumor spinal berlanjut dengan menginvasi ruang epidural, Invasi ruang 


epidural dapat terjadi melalui ligamen longitudinal posterior (Gambar 6), Ligamen ini 


yaitu  struktur yang paling lemah terhadap 


penyebaran sel-sel tumor di tulang vertebra. 


Sel-sel tumor metastasis di ruang epidural 


menimbulkan efek desak massa yang dapat 


mengkompresi medula spinalis beserta struktur pembuluh darahnya. Efek massa desak 


pada medula spinalis ini menimbulkan demielinisasi atau degenerasi aksonal. Adapun 


komponen vaskular yang turut terkompresi 


memicu kongesti vena dan edema vasogenik medula spinalis. Adanya demielinisasi, degenerasi aksonal, dan edema vasogenik 


pada medula spinalis inilah yang kemudian 


bermanifestasi Minis sebagai defisit neurologis akibat metastasis tumor spinal.


Metastasis tumor juga dapat terjadi pada 


daerah leptomeningeal, terutama pada keganasan hematopoietik, seperti limfoma 


dan leukemia. Penyebaran ini biasanya terjadi secara hematogen atau infiltrasi langsung ke meningen (Gambar 7), sehingga berada di ruang epidural/subdural (Gambar 6 


(3) & (4)) dan menimbulkan gejala seperti 


pada tumor intradural ekstramedula.

 

Tumor Primer


Tidakjauhberbeda dengan tumor metastasis 


ekstradural, tumor primer spinal yang terletak intradural ekstramedula dan intramedula 


memiliki efek desak massa jaringan sehat di 


sekitarnya. Pada medula spinalis, invasi jaringan sehat oleh sel-sel tumor mengakibatkan efek desak massa medula spinalis. Efek 


desak massa dari sel-sel tumor ini mengaldbatkan demielinisasi dan degenerasi akson di 


medula spinalis. Selain itu, terjadi pula stasis 


aliran vena dan arteri di medula spinalis akibat efek desak massa ini. Kondisi ini selanjutnya menjadi edema vasogenik dan infork di 


medula spinalis. Adanya edema vasogenik ini 


tentunya akan menambah progresivitas efek 


desak massa, sehingga kerusakan medula spinalis yang ditimbulkan menjadi semakin luas 


dan ekstensif.


Mengingat setiap area di medula spinalis memiliki fungsi aferen dan eferen yang 


menghubungkan antara otak dengan saraf 


perifer, maka setiap lesi di medula spinalis 


akan menimbulkan gangguan fungsi tersebut. Gangguan fungsi aferen dan eferen inilah yang bermanifestasi klinis sebagai defisit neurologis. Misalnya, efek desak massa 


oleh sel-sel tumor di daerah jaras kortikospinal lateralis akan menimbulkan manifestasi kelemahan motorik.


GEJALA DAN TANDA K L IN IS


Tumor Ekstradural


Perjalanan penyakit tumor ekstradural 


seringkali progresif berkembang cepat. Gejala dan tanda klinis muncul akibat dari 


kompresi medula spinalis. sebab  letaknya 


ekstradural (Gambar 8), maka jaringan tumor akan mengkompresi dura mater dari 


arah luar ke dalam. Selain itu, fraktur patolo-gis  juga ditemukan pada tumor ekstradural yang membuat gejala awal berupa 


nyeri yang disebut sebagai nyeri aksial vertebra. Nyeri ini terasa di sepanjang sumbu vertebra yang bersifat gradual, progresif, terusmenerus, tidak bersifat mekanik, dan sering 


terjadi di malam hari. Nyeri biasanya bertambah parah saat pasien berbaring telentang, apalagi dalam durasi beberapa jam, kemudian membaik saat pasien berdiri. Seiring 


progresi perkembangan tumor ekstradural, 


efek desak massa selanjutnya akan mengenai 


struktur radiks dan medula spinalis. Struktur 


radiks yang terkena efek massa tumor menimbulkan gejala klinis nyeri radikular.


Selain nyeri, pasien dapat mengalami tandatanda kompresi lainnya, yaitu kelemahan ekstremitas, gangguan sensorik, dan disfungsi 


otonom. Kelemahan ekstremitas umumnya 


bersifat UMN pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh medula spinalis pada level di 


bawah lesi. Gangguan sensasi posisi, rasa 


getar, gangguan diskriminasi dua titik dapat 


terjadi bila kompresinya berasal dari arah 


dorsal. Disfungsi miksi dan defekasi lebih 


sering terjadi kemudian sesudah  kelemahan


ekstremitas, tetapi bisa juga terjadi secara 


bersamaan.


T u m o r In trad u ral E k stram ed u ia


Lokasi tumor ini paling sering di sekitar radiks posterior, kemudian diikuti di sekitar radiks anterior. Oleh sebab lokasinya di sekitar 


radiks, maka gejala awal yang sering ditemukan yaitu  nyeri radikular. Sesuai namanya, 


nyeri ini memiliki karakteristik penjalaran 


nyeri sesuai distribusi radiks sensorik. Nyeri 


ini bertambah parah dengan batuk, bersin, 


atau mengedan. Seiring pertumbuhan tumor 


yang membesar, kompresi akan semakin bertambah pada radiks dan medula spinalis.


Bila letak tumor lebih ke arah posterior, maka 


proses kompresi akan mengenai kolumna posterior dan jaras piramidalis. Dengan demikian, 


gejala berikutnya sesudah  nyeri radikular 


yaitu  gangguan propioseptif dan kelemahan 


ekstremitas. Kelemahan ini bersifat asimetris antara lengan dan tungkai (lesi servikal) 


dan antara kedua tungkai (lesi torakolumbal). 


Gangguan sensorik juga dapat terjadi awalnya 


ipsilateral, kemudian bilateral, dan berjalan 


dari kaudal ke kranial hingga setinggi lesi.

 Bila letak tumor Iebih ke arah anterior, maka 


kompresi dapat mengenai radiks anterior 


pada satu sisi atau kedua sisi. Hal ini dapat 


memicu  kelemahan ekstremitas tipe 


LMN. Namun, kelemahan tipe UMN bisa saja 


dijumpai apabila kompresinya sudah mengenai jaras piramidalis. Biasanya, kelemahan ekstremitas terjadi pada ipsilateral lesi, 


kemudian bilateral. Gangguan sensasi raba 


kasar dapat muncul bila ada kompresi pada 


jaras spinotalamikus anterior. Bila tumornya terletak anterolateral, maka jaras spinotalamikus lateral dapat terkompresi dan 


memicu  gangguan sensasi nyeri dan 


suhu pada kontralateral lesi. Bila tumornya 


terletak di filum terminal dan kauda ekuina, 


maka gejala yang sering ditimbulkan yaitu  


nyeri punggung yang memberat saat posisi telentang, kemudian disertai kelemahan 


ekstremitas tungkai dan gangguan otonom 


buang air besar dan berkemih. Baik lesi intradural ekstramedula di daerah anterior maupun posterior, disfungsi miksi dan defekasi 


biasanya muncul belakangan saat kompresi 


medula spinalis sudah lanjut dan progresif.


Tumor Intramedula


Lokasi tumor spinal di intramedula memiliki gambaran yang unik dan berbeda 


dengan kedua kategori tumor sebelumnya 


(Gambar 9). Tumor intramedula jarang menimbulkan nyeri. Kalaupun ada, nyeri bersifat atipikal dengan lokalisasi difus. Gejala 


awal yang sering ditemukan yaitu  defisit 


sensorik terdisosiasi. Gambaran unik lainnya yaitu  pertumbuhan tumor intramedula sering bersifat longitudinal, sedangkan 


tumor ekstramedula bersifat transversal. 


Hal ini memicu  gangguan sensorik 


pada tumor intramedula dapat mengalami 


perubahan level (batas atas defisit sensorik}, sedangkan level ini pada tumor ekstramedula tetap konstan.


Selain itu, disfungsi miksi dan defekasi 


dapat timbul di awal perjalanan penyakit. 


Atrofi otot dapat ditemukan sebagai akibat 


dari keterlibatan dari kornu anterior substansia grisea medula spinalis. Spastisitas 


pada ekstremitas dapat terjadi, walaupun 


tidak seberat tumor ekstramedula.

 T u m o r Spinal di B e b e ra p a Lokasi K husus


Selain ketiga kategori di atas, ada  beberapa lokasi tumor spinal yang memiliki 


gejala khusus, yaitu di servikal atas, foramen 


magnum, dan lumbal. Tumor spinal servikal 


atas dapat memiliki gejala bulbar dan fasikuIasi pada ekstremitas. Tumor spinal setinggi 


foramen magnum dapat memiliki hipestesia setinggi dermatom C2 dan paresis N. XI 


(nervus aksesorius). Tumor spinal di lumbal 


dapat menimbulkan gejala dan tanda seperti 


sindrom kauda ekuina atau konus medularis. 


Pada tumor spinal, sindrom kauda ekuina 


dapat terjadi sebab  keterlibatan radiks 


nervi lumbalis dan sakralis di bawah konus 


medularis. Pasien awalnya mengeluh nyeri 


radikular sesuai distribusi nervus iskhiadiItus dan nyeri pada kandung kemih. sesudah  


nyeri, manifestasi klinis berikutnya yaitu  


defisit semua modalitas sensorik pada tungkai, terutama pada perineum [saddle anaesthesia'). Selain itu, kelemahan tungkai tipe 


LMN dengan disertai inkontinensia urin dan 


alvi dapat terjadi pada sindrom ini.


Konus medularis yaitu  batas bawah dari 


medula spinalis dan terletak setinggi kanalis spinalis LI. Lesi konus medularis 


terisolasi menimbulkan beberapa defisit 


neurologis, antara lain, arefleksia detrusor 


dengan retensi urin dan overflow incontinence, inkontinensia alvi, gangguan fungsi 


seksual, saddle anaesthesia, dan biasanya 


tanpa kelemahan motorik.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


diagnosa  tumor spinal secara umum 


ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang, 


sekaligus untuk mendapat tanda dan gejala klinis sesuai letak lesi (Tabel 3). Adapun 


pemeriksaan penunjang berguna untuk 


lebih memastikan diagnosa  dan menyingkirkan diagnosa  banding. Adapun diagnosis banding dari tumor spinal, antara 


lain spondilitis, mielitis, multipel sklerosis, neuromielitis optik, mielopati akibat 


proses autoimun, trauma medula spinalis, 


dan proses degeneratif tulang, Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan pada 


pasien tumor spinal yaitu  pencitraan dan 


pemeriksaan laboratorium, termasuk analisis cairan otak tumor primer dan pasien dengan gejala tumor spinal, tetapi belum diketahui tumor 


primernya. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini 


lebih diutamakan untuk skrining sebab  nilai spesifisitas yang rendah. Jika bone scan


menunjukkan area terdispersi yang tersebar di beberapa tulang, maka diagnosa nya 


mengarah ke metastasis tumor. Jika bone


scan hanya menunjukkan sedikit tulang 


yang terlibat, maka klinisi dapat memastikan kelainan ini  dengan pemeriksaan 


CT atau MRI.


Pemeriksaan CT scan sangat peka  pada 


perubahan mineral tulang dan dapat 


menunjukkan proses destruksi tulang dengan resolusi lebih tinggi daripada foto polos. Dengan demikian, pemeriksaan ini bisa 


lebih dini menemukan kelainan destruksi 


tulang akibat tumor. Namun, pemeriksaan 


foto polos atau bone scan tetap perlu dilakukan sebelum CT scan untuk meningkatkan nilai diagnostik. Terapat dua peran 


yang dimiliki CT scan dalam proses skrining 


pasien dengan dugaan tumor spinal, yaitu 


untuk menentukan lokasi, perluasan, dan 


karakteristik lesi spinal serta menentukan apakah tumor telah menyebar ke paru 


atau hati. Adanya lesi desalt ruang di paru 


atau parenkim hati, pembesaran kelenjar 


getah bening, dan infiltrat atau efusi yang 


tidak dapat dijelaskan, menunjukkan ke arah 


ada-nya tumor primer yang bermetastasis ke 


spinal. Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan gambaran struktur saraf dengan jelas, sehingga 


dapat ditentukan lokasi lesi ekstradural, 


intradural ekstramedula, dan intradural intramedula. Selain itu, pemeriksaan ini dapat 


menunjukkan besarnya kompresi medula 


spinalis dan perluasan tumor ke jaringan 


lunak di sekitar tulang vertebra. MRI dapat 


mendeteksi tumor berukuran kecil di dalam 


kanalis spinalis sebab  adanya peningkatan 


konten cairan intrasel dan ekstrasel akibat 


tumor. Dengan pemeriksaan MRI, klinisi 


dapat membedakan pemicu  fraktur pato-Iogis akibat fraktur osteoporosis atau 


proses keganasan. Karakteristik sel tumor 


pada MRI yaitu  hipointens pada T1 dan 


hiperintensi pada T2. Pemberian kontras 


gadolinium intravena akan memberi penyangatan yang kemudian akan membedakan jaringan normal dengan tumor. Pada 


pemeriksaan MRI, lesi keganasan biasanya 


melibatkan struktur pedikel, penyangatan 


yang kuat, dan keterlibatan jaringan lunak 


paravertebral. Di lain pihak, kompresi vertebra akibat osteoporosis tidak melibatkan 


struktur pedikel dan jaringan lunak paravertebral.


Pemeriksaan Serologi dan Analisis Cairan


Otak


Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan 


pada metastasis tumor spinal antara lain 


serum penanda tumor untuk skrining tumor 


primer, yaitu PSA (prostat), CEA (kolorektal), 


CA 125 (ovarium), CA 15-3 (payudara), dan 


CYFRA 21-1 (paru). Pemeriksaan darah 


lengkap, albumin, ureum, kreatinin, dan tes 


fungsi liver dapat dikerjakan untuk evaluasi 


kondisi sistemik pasien. Selain itu, protein 


urin Bence-Jones untuk mendeteksi mieloma. 


Peme-riksaan analisis cairan otak dapat


dipakai  untuk menyingldrkan diagnosa  


banding se-perti mielitis dan ensefalomielitis. 


Pada masalah  limfoma dengan keterlibatan 


susunan saraf pusat, pungsi lumbal dilakukan 


untuk peme-riksaan analisis rutin dan sitologi 


cairan otak


TATA LAKSANA


Penanganan Gawat Darurat Kompresi


Medula Spinalis


Kompresi medula spinalis oleh proses keganasan merupakan keadaan emergensi 


yang membutuhkan pertolongan segera 


untuk mengatasi nyeri dan mencegah progresivitas defisit neurologis pasien. Tata laksananya meliputi pemberian kortikosteroid, 


radioterapi, dan operasi.


Kortikosteroid masih banyak diberikan pada 


pasien dengan kompresi medula spinalis 


akibat keganasan, walaupun dosis idealnya 


masih diperdebatkan. Pada prinsipnya, kortikosteroid dapat mengurangi edema vasogenikyang terjadi akibat kompresi medula 


spinalis. Adapun dosis deksametason yang 


sering diberikan yaitu  10-16mg IV bolus, 


kemudian dilanjutkan 4-6mg tiap 4 jam. Dosis ini kemudian diturunkan selama radioterapi atau secepatnya pascaradioterapi.


Radioterapi diberikan pada masalah  ini dengan kombinasi dengan kortikosteroid 


seperti alinea di atas. Dosis yang diberikan 


sebesar 30Gy dalam 10 fraksi. Radioterapi 


dilakukan pada lesi utama dan diperluas 


hingga 1 atau 2 korpus vertebra di atas dan 


bawah dari lesi utama. Radiasi yang diberikan lebih dari 30Gy tidak menunjukkan luaran yang semakin baik.


Operasi diindikasikan bila ada  instabilitas spinal. Faktor-faktor yang mengarah ke

 instabilitas spinal antara lain lokasi di persambungan (oksiput-C2, C7-Th2, T h ll-L l, 


L5-S1), ada  lesi litik, adanya subluksasi/ 


listesis, kolaps korpus vertebra >50%, dan 


destruksi pedikel bilateral. Beberapa hal perlu 


dipertimbangkan sebelum menjalani operasi 


pada pasien kompresi medula spinalis akibat 


keganasan, antara lain kondisi medis lain secara umum dan prognosis secara keseluruhan. Misalnya, pasien dengan tumor metastasis 


spinal yang radiopeka , metastasis sudah 


menyebar ke beberapa tempat, harapan hidup 


yang pendek, dan kondisi medis yang berat, 


lebih dianjurkan untuk radioterapi dan pemberian steroid daripada operasi.


Penanganan Nyeri


Nyeri pada tumor spinal merupakan salah 


satu jenis nyeri kanker yang ditandai dengan 


kombinasi nyeri nosiseptif dan neuropatik. 


Nyeri pada tumor spinal berhubungan dengan beberapa hal, yaitu proses sekunder 


dari keterlibatan tumor di korpus vertebra, 


fraktur kompresi, kompresi medula spinalis, atau infiltrasi radiks. Tata laksana farmakologi nyeri pada tumor spinal ini sama 


dengan nyeri kanker pada umumnya, yang 


pembahasannya dapat dilihat pada topik 


nyeri kanker atau nyeri neuropatik.


Radioterapi


Tumor spinal yang tergolong radiopeka  


antara lain, plasmasitoma, mieloma multipel, 


dan metastasis tumor spinal dari payudara, 


prostat, dan small cell lung cancer. Pada sebagian besar masalah  lain, rekomendasinya yaitu  


radioterapi eksternal pascaoperasi reseksi tumor. Radioterapi praoperasi dapat dilakukan 


bertujuan untuk mengecilkan massa tumor. 


Namun, radioterapi praoperasiharus diperhatikan sebab  dapat meningkatkan risiko infeksi dan masalah penyembuhan luka.


Kemoterapi


Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau 


sesudah  operasi. Pada keterlibatan sarkomatosa di spinal, kemoterapi praoperasi 


dapat memfasilitasi tindakan reseksi tumor. Pada sebagian besar masalah  lain, kemoterapi kombinasi pascaoperasi diberikan pada tumor ganas spinal.


Rehabilitasi


Selain tata laksana di atas, aspek rehabilitasi juga perlu diperhatikan demi kualitas 


hidup pasien yang baik. Salah satu bentuk rehabilitasi yang dapat diberikan pada 


pasien kanker yaitu  korset spinal Korset 


memberikan dukungan eksternal tambahan 


pada segmen spinal yang fungsinya terganggu sebab  tumor. Tujuan pemakaian korset 


spinal antara lain restriksi gerakan, penyejajaran [alignment] spinal, dan dukungan 


aksial badan. Namun, pemakaian korset 


bukannya tanpa kontroversi. Kegunaan korset dalam mencapai tujuannya dipengaruhi 


oleh ketebalan jaringan lunak yang berada 


di sekitar vertebra. Semakin tebal jaringan 


lunaknya, semakin rendah efektivitas dari 


korset itu sen dir i. Selain ketebalan jaringan 


lunak, panjang korset juga mempengaruhi 


efektivitas. Korset yang panjang memberikan stabilisasi spinal yang lebih baik daripada korset yang pendek.


Selain korset, rehabilitasi yang bisa diberikan pada pasien tumor spinal yaitu  terapi 


fisilt dan okupasi. Pasien dengan tumor 


spinal biasanya memiliki keterbatasan mobilisasi. Kondisi ini selanjuntnya dapat menimbulkan gangguan respitasi, penurunan 


fungsi otot, dan gangguan integritas integumen (dekubitus). Terapi fisik meliputi 


mobilisasi bertahap, mulai di tempat tidur 

hingga berjalan, dan latihan [exercise) penguatan otot abdomen dan ekstensor. Terapi 


okupasi meliputi pemberian alat bantu dan 


pembelajaran untuk bisa ke kamar mandi 


dan mengurus diri sendiri.


C O N TO H masalah 


masalah  1


Perempuan 52 tahun datang dengan keluhan nyeri pada punggung sejak 8 bulan lalu. 


Nyeri dirasakan di antara kedua tulang belikat. Awalnya, nyeri masih hilang timbul dan 


berkurang dengan minum obat penghilang 


nyeri dari waning. Sejak 2 bulan lalu, nyeri 


punggung bertambah berat dan mengganggu 


aktivitas. Selain itu, pasien juga mulai mengeluhkan kelemahan pada kedua tungkai. Sejak 


sebulan lalu, pasien mulai mengeluhkan baal 


pada kedua tungkai. Keluhan nyeri punggung, 


kelemahan tungkai, dan baal pada kedua tungkai dirasakan semakin progresif hingga akhirnya pasien sekarang hanya dapat berbaring di 


tempat tidur dan mulai mengompol. Pasien 


memiliki riwayat operasi mastektomi mammae kiri 10 tahun lalu. Hasil patologi anatomi 


dikatakan karsinoma mammae duktal invasif jenis solid tubular, grade II. Pasien sempat 


menjalani kemoterapi 3 tahun lalu.


Pemeriksaan neurologi menunjukkan 


paraplegia UMN, hipestesi setinggi dermatom torakal 7 ke bawah, dan retensi uri. 


Pemeriksaan MRI vertebra dengan kontras 


menunjukkan proses metastasis intrakorpus vertebra Th 8 (Gambar 12).


Pasien didiagnosa  tumor spinal metastasis ekstradural dengan primer karsinoma 


mammae. Tata laksana pada pasien ini 


yaitu  pemberian korset, radioterapi paliatif, dan terapi bisfosfonat.

K a s u s 2


Perempuan 60 tahun memiliki keluhan kesemutan pada kedua tungkai sejak 8 bulan lalu. 


Kesemutan disertai rasa kencang dari perut 


bawah sampai telapak kaki. Keluhan ini dirasakan terus menerus. Sejak 7 bulan lalu, pasien 


mengeluhkan kulitnya terasa kering dan jarang 


berkeringat dari perut bawah sampai kedua 


tungkai. Kedua tungkai mulai terasa berat untuk berjalan. Sejak 3 bulan lalu, kelemahan 


kedua tungkai memberat. Pasien juga mengeluh ada rasa terikat di daerah pinggang. Selain 


itu, pasien juga mengeluhkan sulit menahan 


berkemih dan buang air besar. Pasien memiliki 


riwayatpemakaian  pil KB selama 5 tahun dan 


riwayat kanker payudara pada anak pasien.


Pemeriksaan fisik neurologi menunjukkan 


paraparesis UMN (kekuatan 2/5 pada kedua 


tungkai), hipestesi setinggi dermatom torakal 12 ke bawah, dan inkontinensia uri et 


alvi. Pemeriksaan MRI vertebra torakal dengan kontras menunjukkan tumor intradural, ekstramedula setinggi vertebra torakal 


10 yang mendesak dan menekan mielum ke 


arah kanan (Gambar 13). Pasien kemudian 


dilakukan operasi dan hasil patologi anatomi menunjukkan meningioma campuran 


jenis meningothelimatosa, transisional dan 


jenis psammomatosa (WHO grade I). Diagnosis pasien ini yaitu  tumor spinal intradural ekstramedula, yaitu meningioma. 





PRINSIP DASAR NEURORESTORASI 


PASCACEDERA SARAF


Amanda Tiksnadi, Siti Airiza Ahmad, Pukovisa Prawiroharjo


PENDAHULUAN


Neurorestorasi berasal dari kata uneuro4og\/}


dan "restore” yang berarti upaya renovasi untuk mengembalikan ke kondisi atau 


fungsi semula. Neurorestorasi didefinisikan 


sebagai cabang ilmu neurologi yang menerapkan prosedur aktif dalam meningkatkan atau 


memperbaiki fungsi sistem saraf yang terganggu, baik secara fungsional maupun patologis. 


Pendekatan ini dilakukan melaiui modifikasi 


selektif pada struktur dan fungsi saraf yang abnormal berdasar  mekanisme penyakit, serta ekskalasi kapasitas fungsional sistim saraf 


yangtersisa dan/atau aktivasi sistim saraf yang 


sebelumnya masih tersamar (World Congress o f


Neurology Hamburg, 1985).


Ilmu yang mempelajari neurorestorasi disebut neurorestoratologi, yang didefinisikan 


sebagai ilmu neurosains yang mempelajari 


regenerasi neuron, neural structural repair


o f replacement, neuroplastisitas, dan neuromodulasi. Tujuan utama dari pengembangan 


ilmu ini yaitu  untuk meningkatkan proses 


pemulihan fungsional neuron yang rusak 


atau terganggu sebab  sebab apapun, termasuk akibat penyakit neurodegeneratif.


Ada 5 dogma yang berperan dalam ilmu 


neurorestorasi, yang disebut sebagai 5N's


dogma, yaitu neuroregenerasi, neurorepair,


neuroplastisitas, neuromodulasi, dan neurorehab ilitasi. "Neuroproteksi” sendiri dianggap sudah tercakup dalam definisi neurorestorasi secara umum.


Ada 4 prinsip yang penting untuk dipikirkan 


dalam melakukan upaya neurorestorasi, 


yaitu:


1. Keterbatasan regenerasi neuron [limited


regeneration)


2. Tidak instan, melainkan melaiui proses 


pembelajaran ulang (relearning)


3. Kapasitas reservasi otak/sarafyangkurang 


memadai (insufficient reserve); konsep 


yang menggambarkan diskrepansi antara 


derajat kerusakan saraf secara patologis 


dengan derajat manifestasi Minis.


4. Lifelong reinforcement; sama seperti keterampilan yang perlu terus dilatih dan 


diasah seumur hidup.


Ada aturan 4 langkah dalam neurorestoratologi yang perlu dilakukan untuk mendapat  hasil yang efektif, yaitu:


1. Neurorestorasi struktural neuron


2. Signaling neurorestorasi


3. Neurorestorasi rehabilitatif


4. Neurorestorasi fungsional


Pada bab ini akan dibahas juga aplikasi neurorestorasi pada keadaan khusus yang paling sering terjadi dan membutuhkan prosedur ini , yaitu pascastroke dan afasia. NEUROPLASTISITAS


Di masa yang lampau, para ahli berpendapat 


bahwa otak berhenti tumbuh pada masa 


kanak-kanak dan tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Mereka )uga percaya bahwa koneksi antar saraf (sinaps) hanya terbentuk pada suatu periode kritis pada 


masa kanak-kanak tersebu't dan menetap, 


tidak berubah seiring dengan pertambahan 


umur. Oleh sebab  itu, pada masa ini  


jika ada  suatu kerusakan area di otak, 


akibat yang terjadi akan bersifat permanen, 


sebab  serabut saraf tidak bisa beregenerasi 


maupun membentuk sinaps baru.


Namun studi dan eksperimen baik pada 


hewan coba maupun pada manusia menunjukkan sebaliknya. Otak terbukti memiiiki kemampuan untuk beregenerasi dan 


melakukan modifikasi bentuk struktural 


dan sekaligus' fungsinya secara kontinu 


sepanjang hidupnya. Perubahan struktural dan fungsional ini terjadi melalui mekanisme penambahan atau pengurangan 


koneksi sinaps. Fenomena ini dikenal dengan istilah neuroplastisitas.


Neuroplastisitas, berasal dari kata "neuro" dan 


bahasa Yunani "plastos" yang berarti molded


atau materi yang bisa dibentuk, seperti tanah 


liat. Dengan neuroplastisitas inilah neuron di 


otak beradaptasi dan menyesuaikan fungsinya 


sebagai respons terhadap situasi baru atau 


perubahan yang terjadi. Adanya paparan terhadap stimulus pada umumnya akan menyebabkan penambahan dan perubahan sinaps 


[Gambar 1), misai saat seseorang mempelajari keterampilan baru, seperti belajar naik 


sepeda, belajar menyetir, belajar berjalan, atau 


belajar berbicara. Namun penambahan jumlah sinaps juga dapat berakibat merugikan, 


seperti yang terjadi pada nyeri neuropatik


Sebaliknya pada kondisi hilangnya paparan 


suatu stimulus, misalnya akibat kematian sel 


pascastroke, atau adanya suatu keterampilan 


yang pernah dipelajari dan tidak dipergunakan kembali, maka fenomena neuroplastisitas 


yang terjadi berupa pengurangan sinaps yang 


telah terbentuk sebelumnya. Secara kllinis 


hal ini bermanifestasi sebagai hilangnya atau 


berkurangnya kemampuan seseorang dalam 


melakukan keterampilan ini  paparan stimulus akan memicu terbentuknya sinaps-sinaps baru: (A) kondisi 


sebelum paparan stimulus; (B) kondisi 


pascapaparan stimulus; (C) variasi bentuk 


dendrit yang berubah pascaterbentuknya 


sinaps-sinaps baru


Cedera pada susunan saraf pusat (SSP) akan 


mempengaruhi balk neuron pre maupun 


pascasinaps melalui beberapa mekanisme, 


yaitu perubahan proyeksi aksonal, denervasi, dan eliminasi sebagian neuron. Berikut 


akan dibahas proses yang terjadi pada neuron-neuron ini  pascacedera SSP.


PERUBAHAN PADA NEURON PRESINAPS


Suatu cedera yang memicu terputusnya 


akson (axotomy) akan memicu degenerasi pada bagian distal dari area yang 


mengalami cedera, yang disebut degenerasi 


Wallerian. Kontak neuron presinaps dengan 


neuron pascasinaps akan terputus. Neuron presinaps dari sel-sel yang mengalami


kerusakan akan kehilangan sel target untuk 


diinervasi. Akibat proses ini, ada  beberapa perubahan pada neuron presinaps, 


antara lain:


1. Atrofi dan degenerasi retrograd


Neuron presinaps mengalami atrofi dan 


degenerasi (kematian sel) yang dimulai 


dari bagian akson terminal, mundur ke 


belakang sampai ke bagian badan sel 


(Gambar 2).


Ada beberapa faktor yang memengaruhi 


derajat atrofi dan degenerasi retrograd, 


di antaranya:


a. Lokasi trauma; semakin proksimal lesi, 


semakin berat atrofi dan degenerasi.


b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel target; semakin banyak proyeksi kolateral dari akson yang mengalami cedera, 


semakin ringan derajat atrofi dan degenerasi retrograd yang terjadi.

 

2. Synaptic stripping


Pada kerusakan akson, sinaps-sinaps antarneuron diseldtamya juga akan mengalami 


gangguan. Sinaps yang mengalami disfimgsi ini  akan dieliminasi oleh mikroglia 


sebagai mekanisme alamiah tubuh. Sinaps 


yang hilang ini dapatterbentuk kembali jika 


neuron pascasinaps beregenerasi kembali.


3. Degenerasi berantai (cascading degeneration)


Proses kematian sel neuron dapat terjadi 


secara retrograd dan mempengaruhi sekelompok neuron (transneuronal). Degenerasi retrograd dan transneuronal tidak 


selalu terbatas pada satu jaringan sinaps 


saja, melainkan bisa terjadi pada seluruh 


jaringan sinaps di neuron ini . Bila 


ada neuron yang mengalami denervasi, 


maka neuron sekitar yang menjadi sel 


target juga akan dapat mengalami denervasi dan degenerasi. Proses ini dapat terus 


berlanjutdan mempengaruhi neuron-neuron berikutnya sehingga memicu  


kerusakan yang luas. Fenomena ini dikenal 


sebgai fenomena degenerasi berantai.


4. Delayed neuronal death pascaiskemia 


berdasar  studi, ada  sekelompok 


neuron yang dapat bertahan pada iskemia akut. Bila iskemia berlanjut, neuronneuron ini akan mengalami kematian 


dalam waktu beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kelompok neuron 


yang rentan terhadap proses ini ada  


di daerah korteks dan hipokampus.


5. Demielinisasi


Salah satu bentuk lain degenerasi sebagai 


respons terhadap cedera altson yaitu  kematian sel oligodendroglia yang berujung


pada demielinisasi akson. Proses kematian 


ini terjadi melalui proses apoptosis yang 


terus berlangsung selama beberapa hari 


sampai beberapa minggu pascacedera.


PERUBAHAN NEURON PASCASINAPS


Kematian sel neuron presinaps dapat menyebabkan perubahan neuron pascasinaps 


akibat hilangnya input sinaps normal. Perubahan ini  dapat bervariasi dari ringan 


sampai berat, antara lain:


1. Superpeka itas denervasional


Pada fenomena ini, sel pascasinaps menjadi 


lebih peka  terhadap neurotransmiter. 


ada  peningkatan jumlah dan distribusi reseptor di membran pascasinaps.


2. Atrofi transneuronal


Denervasi akan memicu ukuran sel 


pascasinaps mengecil atau mengalami 


kematian sel. Fenomena ini dapat bersifat 


reversibel. Sebagai contoh, ukuran neuron yang mengalami atrofi dapat kembali 


seperti semula bila terjadi reinervasi.


3. Degenerasi transneuronal


Pada degenerasi transneuronal, denervasi memicu kematian neuron 


pascasinaps.


REORGANISASI KONEKSI NEURONAL


PASCACEDERA


Proses regenerasi pascakerusakan akson 


merupakan bagian dari proses reorganisasi koneksi neuronal. Saat akson terputus, 


bagian distal dari lokasi cedera akan mengalami degenerasi Wallerian, sedangkan 


segmen proksimal akan memendek dan 


membentuk retraction ball pada bagian 


ujungyang terputus [Gambar 3].

 Proses regenerasi akson dan reorganisasi 


koneksi neuronal selanjutnya tergantung 


dari situasi dan kondisi yang ada, akan berbentuk salah satu atau beberapa proses 


berikut:


1. Regenerasi bonafide: pemanjangan akson saja tanpa cabang-cabanglcolateral


2. Regenerasi abortif: ditandai dengan terbentuknya konus dystrophic growth dan 


tangled arbors (Gambar 4).


3. Regenerasi produktif: terjadi formasi 


cabang-cabang kolateral baru pada 


ujung situs cedera


a. Regenerasi dan sprouting aksonal


Akson beregenerasi dengan menumbuhkan cabang-cabang akson terminal 


baru (Gambar 5}.


b. Regenerasi supernumerary collaterals


Regenerasi akson terjadi dengan menumbuhkan cabang-cabang kolateral 


dari badan akson, bukan dari bagian 


akson terminal (Gambar 5).


4. Pruning-related sprouting


Pada beberapa masalah , neuron yang kehilangan beberapa sel target akan memperbanyak jumlah koneksi tambahan di area lain yang tidak mengalami kerusakan. 


Sebagai contoh, pada sebuah neuron yang 


memiliki 2 proyeksi kolateral ke sel-sel target yang berbeda, kematian salah satu sel 


target akan meningkatkan jumlah proyeksi 


kolateral sel target yang masih utuh (Gambar 6). Fenomena ini dikenal pula dengan 


istilah ectopic axonal re-direction.


Sprouting kolateral yang terbentuk akibat kematian salah satu neuron pascasinaps justru memperkuat innervasi 


neuron pascasinaps lain, yang tidak 


mengalami cedera (normal).


Berbagai mekanisme ini  merupakan 


tantangan bagi pengemban ilmu penyakit 


saraf untuk dapat mempergunakan fenomena 


neruoplastisitas dalam pemulihan lesi saraf.


Ada beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas reinervasi dari neuron yang mengalami denervasi, yaitu:


1. Prinsip proksimitas


Semakin kecil jarak antara lokasi cedera, 


semakin besar kemungkinan terjadinya 


reinervasi sinaps.


2., Fokalitas denervasi yang terjadi


Prognosis reinervasi pada suatu denervasi yang bersifat difus lebih baik daripada reinervasi pada denervasi yang 


bersifat fokal (Gambar 7).


3. Spesifisitas dan kompetisi


Bila dua sistem yang homolog sama-sama 


menginervasi suatu area, hilangnya salah 


satu sistem akan memicu  sprouting


dari sistem yang masih utuh/sehat. Bila 


area ini  memiliki preferensial terhadap suatu stimulus tertentu, maka sprouting yang terjadi bisa berupa akson yang 


memberikan stimulus yang sama (spesifik), tetapi bisa pula berupa stimulus yang 


berbeda dari preferensinya (kompetitif).


4. Target availability


Pembentukan sinaps atau sinaptogenesis, 


baik akibat regenerasi sprouting, pruningrelated sprouting, maupun axonal redirection tidak akan terjadi tanpa peran 


sel target (neuron pascasinaps). Neuron 


pascasinaps harus bisa mengirimkan 


sinyal-sinyal penting untuk "memanggil" 


dan merangsang regenerasi agar dapat 


mencapai sel target, dan meminimalkan 


proyeksi ektopik (misdirection sprouting).


5. Usia


Regenerasi lebih baik dan lebih cepat 


terjadi pada usia muda bila dibandingkan usia lebih tua.


NEURORESTORASI FUNGSIONAL


Proses reorganisasi otak pascastroke 


merupakan contoh yang paling baik untuk 


memahami proses neurorestorasi fungsional pasca suatu cedera SSP. Dari banyak 


studi yang telah dilakukan, terutama yang 


mempelajari fisiologi pemulihan fungsi motorik pascastroke, proses reorganisasi ini 


terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:


1. Reorganisasi lokal


Salah satu proses reorganisasi otak untuk memulihkan fungsi kontrol motorik 


yang rusak yaitu  melalui reorganisasi 


somatotopik, atau fenomena yang disebut vikariasi (vicariation). Fenomena 


ini diajukan oleh Donoghue pada tahun 


1990. Area di sekeliling infark (penumbra) akan mengambil alih kontrol motorik dengan mengaktifkan jaras-jaras 


dengan representasi motorik yang sebelumnya "tertidur”.

 2. Pemulihan diaskisis (dictschisis)


Disebut juga lesi imbas, yaitu gangguan 


fungsinal pada area yang secara anatomi 


terletak jauh dari area yang rusak. Diaskisis merupakan respons alamiah akibat 


terganggunya sistem ‘'network" fimgsional 


di otak. Lesi ini umumnya terjadi pada 


area-area yang bekerja sama dengan erat, 


misalnya pusat menelan dan pusat motorik primer untuk ekstremitas. Contohnya, 


pada stroke akut yang menunjukkan 


iskemia hanya pada area korteks motorik primer (tanpa tanda-tanda iskemia 


di daerah batang otak), sering dijumpai 


gangguan menelan (disfagia) akut yang 


menyertai hemiplegia kontralateral, Disfagia ini terjadi sebagai akibat fenomena 


diaskisis ini , terjadi gangguan fungsional tanpa kelainan struktural di area 


yang letaknya jauh dari lesi primer. Hal ini 


umumnya hanya berlangsung sebentar 


dan dapat pulih seperti sediakala.


3. Reorganisasi area sekunder


Pada kerusakan luas yang memicu 


kerusakan sel neuron perilesional (di sekeliling lesi) dengan fungsi somatotopik, 


reorganisasi akan terjadi pada area somatotopik sekunder yang letak anatominya 


berjauhan dengan lesi. Sebagai contoh, 


aktivasi jaras di area korteks premotorik dan area motorik suplementer atau 


supplementary motor area (SMA) pada 


kerusakan korteks motorik primer.


4. Reorganisasi bihemisfer


Berbagai studi pencitraan terhadap 


masa pemulihan pascastroke memperlihatkan aktivitas sensorimotor yang meluas hingga ke hemisfer yang sehat atau 


hemisfer kontralesi. Pada awalnya diduga bahwa aktivasi hemisfer kontralesi 


dapat meningkatkan prognosis pemulihan fungsi motorik. Namun beberapa 


studi terbaru cenderung membuktikan 


hal sebaliknya, yaitu aktivasi hemisfer 


yang sehat cenderung merugikan atau 


dihubungkan dengan pemulihan fungsi 


motorik yang lebih buruk.


Pasien dengan perbaikan fungsi motorik 


minimal menunjukkan peningkatan aktivitas pada hemisfer kontralesi dan aktivasi 


minimal pada hemisfer ipsilesi. Adapun 


pasien dengan pemulihan fungsi motorik 


optimal menunjukkan aktivasi di hemisfer 


ipsilesi yang lebih tinggi dibandingkan aktivasi hemisfer kontralesi. Hingga saat ini, 


peran area homolog di hemisfer kontralesi 


masih menjadi perdebatan, sebagai pemicu  buruknya pemulihan fungsi motorik 


atau hanya merupakan epifenomena akibat ketidakmampuan hemisfer ipsilesi untuk mengaktifkan area yang dibutuhkan.


NEURORESTORASI PASCASTROKE


Saat ini, hanya kurang dari 10% penderita 


stroke iskemik yang bisa mendapat  


terapi rTPA yang secara bermakna memperbaiki luaran pasca stroke ini. Sisanya, 


stroke survivors harus mengadapi berbagai 


masalah disabilitas berat, seperti hemiparesis, disfagia, afasia, dan lain sebagainya.


Kemajuan sains dan teknologi mutakhir telah 


membuka jalan bagi perkembangan ilmu neuroscience., neurobiologis, neuroprostetik, robotic; 


biomedical engineering untuk program neurorestorasi pasien dengan gangguan neurologis. 


Rangkuman berbagai modalitas neurorestorasi pascastroke yang sedang berkembang dapat dilihat pada Tabel 1.

 Adapun tata laksana neurorestorasi mempunyai strategi dan tujuan yang berbeda pada 


stroke tahap  akut, subakut, dan kronik, yaitu:


Tata laksana atau intervensi pada pasien 


pascastroke harus mempertimbangkan proses patologik (sumbatan atau perdarahan), 


onset, serta mekanisme neuroanatomi dan 


neurofisiologi. Penatalaltsanaan multidisiplin 


yang terpadu (organized stroke care] di unit 


stroke RSUPN Cipto Mangunkusumo yang 


sesuai dengan penemuan di kawasan lain di 


dunia berhasil menurunkan angka kematian 


akibat stroke sampai di bawah 5%,


t. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabilitatif tahap  Akut


Intervensi neurorestorasi rehabilitatif 


pada tahap  akut ditujukan sedini mungkin 


untuk meminimalkan gejala sisa dengan 


membantu perbaikan perfusi otak dan 


mencegah komplikasi imobilisasi, sehingga tercapai pemulihan fungsional 


yang optimal.


a. Mobilisasi, posturing, serta kontrol 


trunkal


Selain untuk mencegah kontraktur,


dekubitus, dan stasis sirkulasi hemodinamik, mobilisasi-postur/ng-kontrol 


trunkal berguna untuk mempertahankan fungsi antigravitasi otot trunkal. 


Otot trunkal berperan dalam menjaga 


postur tubuh dan merupakan jangkar 


dari gerak ekstremitas.


Pada tahap  akut, tata laksana pasien 


stroke mencakup posisi tirah baring 


untuk menjaga MAP dan CBF yang 


optimal. Pada posisi tirah baring, 


gravitasi menjadi nol, sehingga otototot ekstesor trunkal yang dibutuhkan untuk aktivitas yang melawan 


gravitasi (misal untuk duduk, bangun, 


berdiri, berjalan, dan seterusnya) sama 


sekali tidak bekerja. Jika dibiarkan 


berkepanjangan, dapat terjadi fenomena neuroplastisitas negatif, seperti 


pruning synapses (lihat penjelasan 


bab Neurorestorasi] yang menyebabkan atrofi otot-otot trunkal.


Atrofi ini  akan menyulitkan 


aktivitas antigravitasi dan juga gangguan pada kontrol ekstremitas yang 


akan menambah permasalahan disabilitas dan program terapi fisik 


pada tahap  kronik. Oleh sebab  itu, 


pengaturan posisi merupakan hal 


paling dini yang harus diterapkan 


pada pasien stroke akut sesudah kegawatdaruratan teratasi.


Tindakan elevasi kepala dapat meminimalkan gravitasi untuk meningkatkan aliran balik vena, mencegah aspirasi, menurunkan TIK, meningkatkan 


cerebral perfusion pressure (CPP), serta 


menurunkan tekanan darah rerata 


arteri (imean arterial blood pressure/ 


MABP].


Mobilisasi duduk dan latihan gerak 


yang lebih bersifat aktif, pada umumnya baru dilakukan saat hemodinamik 


& kondisi medis stabil, tekanan rerata 


arteri (mean arterial pressure/MAP)


pada stroke iskemik <130mmHg, gula 


darah >90mg/dL atau <250mg/dL, 


dan saturasi oksigen >95% (tanpa 


pemberian OJ.


Latihan ruang lingkup sendi dan peregangan juga dapat dilakukan secara 


pasif maupun aktif dengan tujuan 


mencegah atau mengurangi kekakuan 


sendi semata, tidakterlalu bermanfaat 


bagi untuk tujuan fungsional.


b. Deteksi dan tata laksana gangguan 


menelan


Setengah dari pasien stroke akut 


dengan kesadaran penuh juga didiagnosis dengan disfagia. Disfagia yang 


tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia aspirasi, dehidrasi, dan malnutrisi. Pneumonia merupakan pemicu  


kematian terbanyak pada pasien stroke


akut Oleh sebab  itu, penting untuk 


melakukan identifikasi disfagia sejak 


dini dengan melakukan skrining aspirasi pada pasien stroke untuk segera 


dilanjutkan dengan terapinya. Tahap 


ini akan dilanjutkan dengan tes kemampuan menelan bila pada skrining 


ditemukan adanya disfagia.


Berikut beberapa tahapan dalam melakukan skrining aspirasi:


1) Pasien diposisikan elevasi kepala 60°.


2) Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke 


sisi yang sakit.


3) Pasien diberikan minum 1 sendok teh air.


4) Amati tanda batuk atau tersedak, bila 


tersedak, maka skrining dihentikan. 


Lakukan suction bila perlu.


5} Jika tidak ada batuk atau tersedak, 


maka dilanjutkan dengan memberikan pasien minum setengah gelas air 


secara perlahan.


sebab  skrining aspirasi cukup sederhana dan tidak memerlukan keahlian 


khusus, maka dapat dilakukan oleh perawat atau dokter sesegera mungkin 


saat pasien admisi di ruangan. Skrining 


ini dilanjutkan ke tahap diagnostik dengan memakai  metoda yang lebih 


peka  oleh terapis wicara [dalam waktu <72 jam sesudah  admisi] untuk mengkonfirmasi ada atau tidalaiya disfagia.


Bila hasil skrining menyatakan tidak 


ada aspirasi, maka proses dapat dilanjutkan dengan tes kemampuan 


menelan dengan memakai  4 bahan yang berbeda, yaitu: air, makanan 


setengah cair, makanan setengah padat, dan puree. Umumnya tes kemam-

 puan menelan ini dilakukan oleh terapis wicara yang terlatih melakukan 


tes fungsi menelan.


Tata laksana yang diberikan pada 


pasien disesuaikan dengan hasil tes 


menelan ini , yaitu:


1) Pasien dapat menelan air tanpa 


tersedak; diet normal.


2) Pasien dapat menelan makanan 


setengah encer tanpa tersedak: dilakukan pemasangan nasogastric


tube (NGT) no. 12 (hanya air).


3) Pasien dapat menelan makanan 


setengah padat tanpa tersedak: 


dilakukan pemasangan NGT no.14 


(susu/diet cair komersial, obat). 


Setengah porsi diberikan secara 


peroral [PO) dan setengah porsi 


diberikan melalui NGT.


4) Pasien dapat menelan puree tanpa 


tersedak: dilakukan pemasangan 


NGT no.16. Seluruh porsi diberikan 


via NGT atau nothing peroral (NPO) 


atau % porsi diberikan secara PO, 


3A porsi diberikan melalui NGT.


Secara umum, tata laksana disfagia dapat 


dilakukan dengan beberapa tindakan 


berikut:


1) Latihan/terapi menelan direk (direct


swallowing therapy).


2) Modifikasi konsistensi/tekstur/volume 


makanan.


3) Manuver & pengaturan posisi kepala, 


leher, tubuh (maneuver & adjusting


body position).


4) Stimulasi functional training:


• Stimulasi pasif.


® Sensory enhancement techniques [meningkatkan tekanan sendok pada lidah 


ketika menyuapkan bolus makanan, 


memberikan bolus dengan rasa asam, 


bolus dengan temperatur dingin, bolus 


yang harus diltunyah, dan sebagainya).


• Thermal tactile oral stimulation.


® Deep pharyngeal neuromuscular stimulation.


® Neuromuscular electric stimulation.


• Transcranial magnetic stimulation.


5) Fisioterapi dada {chestphysiotherapy).


c. Gangguan pengosongan kandung kemih 


Sepertiga sampai dua pertiga pasien 


stroke akut, khususnya pasien usia lanjut, mengalami gangguan pengosongan 


kandung kemih. Hal ini disebabkan beberapa macam pemicu  yaitu: infeksi, 


overflow, impaksi feses, diabetes melitus, dan instabilitas destrusor. Infeksi 


kandung kencing merupakan pemicu  


komplikasi infeksi terbanyak pascastroke akut


Tujuan penanganan yaitu  menstimulasi pusat mikturisi, jika retensi 


urin >100cc akan berisiko infeksi 


dan bila perlu dilakukan intermitten


catheterization (IMC). Ada beberapa 


teknik penanganan gangguan pengosongan kandung kemih, yaitu dengan 


cara pemeriksaan pola buang air kecil, 


ada atau tidak masalah prostat, dan 


melakukan monitor kapasitas bladder(


sisa urin. Beberapa studi menyarankan untuk memakai  urinal terlebih dahulu dan menghindari pemakaian dower kateter.

 d. Terapi fisik dada


Pneumonia dan acute respiratory


failure termasuk ke dalam kelompok 


komplikasi tersering pada stroke. 


Studi Morris dkk menunjukkan bahwa 


pasien yang mendapat  terapi fisik 


dada sejak masa perawatan dini dapat 


menurunkan masa perawatan secara 


bermakna.


e. Stimulasi sensoris multimodal/stimulasi koma


Teknik memakai  paparan sensorik eksternal multimodal pada 


penderita koma untuk memancing 


arousal dan respons behavior. Walaupun tingkat efektifitasnya sangat diragukan, teknik ini mudah, murah, dan 


tidak invasif, sehingga tetap populer 


untuk dipraktekkan.


2. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabilitatif tahap  Subakut (Bisa Saat Rawat Inap


Maupun Rawat Jalan)


Stroke tahap  subakut ditandai oleh kondisi 


hemodinamik dan proses neurologis yang 


telah stabil. Tata laksana neurorestorasi 


pada tahap  ini mulai ditambah dengan 


program neurorestorasi fungsional termasuk aplikasi berbagai teknik neuromo dulasi.


Gangguan komunikasi seperti afasia, disartria, dan kognisi harus ditangani sedini 


mungkin, Jika ada gangguan menelan 


(disfagia) maka dilakukan penanganan 


gangguan menelan yang lebih intensif, 


sehingga pasien terbebas dari NGT. Jika 


ada gangguan ambulasi berjalan, seperti 


pada pasien yang belum mampu berjalan, maka harus dilatih berjalan dan


atau komponen berjalan sesuai dengan 


kemampuan pasien, terus menerus sebanyak dan sesering mungkin.


Adapun preskripsi latihan berupa:


• Teknik latihan untuk ambulasi berjalan terdiri dari latihan dasar persiapan berjalan, ambulasi berjalan, 


berjalan secara fungsional, dan endurance berjalan.


® Teknik latihan dasar persiapan berjalan. 


® Pemilihan modalitas alatterapi, penggunaan alat bantu berjalan, ortosis 


dapat pula diberikan sesuai dengan 


preskripsi dokter SpKFR.


Metode neurorestoratif rehabillitatif 


fungsional yang dianggap paling bermanfaat untuk memperbaiki kontrol 


motorik yaitu  dengan teknik neurofasilitasi, yaitu berupa:


a. Bobath


Konsep yang diperkenalkan oleh 


Berta dan Karel Bobath ini berfokus 


kepada respon kontrol yang timbul 


sebagai respons terhadap kerusakan 


refleks postural. Prinsip utamanya 


yaitu  teknik paparan fasilitasi dan 


pola gerak normal.


b. Brunnstrom


Salah satu konsep terapi neurorehabilitatif untuk pasien stroke yang populer 


dipakai  di seluruh dunia.


c. Rood


Banyak menerapkan aktifitas dalam 


tahap  developmental, stimulasi sensorik 


(terutama jenis stimuli kutaneus), 


dan klasifikasi kerja otot.

 d. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PFN)


Banyak memakai  stimulasi proprioseptif perifer seperti peregangan 


dan resistensi gerak untuk meningkatkan respon motorik yang ada.


Jika ada  gangguan perawatan 


diri dan aktivitas sehari-hari, maka 


pemakaian  teknik latihan yang spesifik diberikan sesuai dengan disabilitas yang ada, Jika ada gangguan 


miksi dan defekasi termasuk kontrolnya, dilakukan latihan khusus 


dengan atau tanpa pressure feedback.


Pada penurunan kebugaran kardiorespirasi, dilakukan program rehabilitasi berupa exercise training dibawah 


pengawasan ketat dokter rehabilitasi 


medik dengan memperhatikan hemodinamik, seperti saturasi 0 2 dan 


tan da vital). Jika ada gangguan aktivitas sehari-hari akibat masalah visual, 


maka setiap pasien stroke sebaiknya 


dilakukan penapisan gangguan visual 


agar dapat ditangani secara tepat.


. Tata laksana disabilitas lain yang sering 


dijumpai sebagai komplikasi pascastroke yaitu :


® Spastisitas/peningkatan tonus otot 


sebab  pemulihan sinergis pada ekstremitas atas dan bawah; dapat diberikan intervensi berupa pemberian 


toksin botulinum A, kombinasi latihan, 


terapi manual, hingga dynamic splinting.


© Pemendekan otot, kekakuan sendi, 


dan kontraktur; otot harus diposisikan dalam posisi eksentrik, latihan peregangan, lingkup gerak sendi, hingga 


casting.


® Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan 


shoulder hand syndrome; Perubahan 


biomekanik yang berbeda dengan 


proses traumatic shoulder problem,


sehingga diperlukan Rontgen hingga 


USG muskuloskeletal atas indikasi. 


pemakaian  alat bantu, stimulasi 


otot, latihan hingga modalitas alat 


yang sesuai kondisi pasien.


Ulkus dekubitus merupakan salah satu 


komplikasi yang sering terjadi. Sebagai 


pencegahan, harus dilakukan positioning,


posturing, dan teknik transfer yang tepat 


minimal lx/hari. Pencegahan tromboemboli juga hal yang penting untuk diperhatikan dengan cara perubahan posisi dalam 


waktu 48 jam terutama pada tungkai 


bawah dan memperhatikan antikoagulan 


yang telah/sedang diberikan. Pemakaian 


stocking anti trombotik juga dapat bermanfaat pada masalah -masalah  tertentu. -


3. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabilitatif tahap  Kronik (Saat Rawat j a lan)


Pada stroke tahap  kronik pada umumnya 


sudah terbentuk reorganisasi sistem 


saraf yang kuat (established), baik yang 


berdampak positif, yang negatif. Pada 


tahap  ini, tata laksana didasarkan pada 


adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang ada.


Manajemen rehabilitasi yang dilakukan 


umumnya meliputi:


® Memaksimalkan kemampuan fungsional/melakukan tugas/aktivitas tertentu.


® Kebugaran kardiorespirasi. Pasien 


harus mendapat  program latihan 


penguatan dan aerobik regular yang 

disesuaikan dengan komorbiditas dan 


keterbatasan fungsi pasien dan telah 


melewati exercise testing sebelumnya.


® Persiapan kembali ke tempat kerja. Pekerja pascastroke harus diberi kesempatan untuk mendapat  pelatihan 


ketrampilan yang diperlukan kembali 


serta kesempatan bekerja yang fleksibel.


® Kembali ke masyarakat. Pasien stroke 


dengan risiko jatuh di komunitas 


harus mendapat  intervensi komprehensif, seperti program exercise


spesifik perindividu untuk mencegah 


atau mengurangi kejadian dan keparahan akibat jatuh.


NEURORESTORASI PADA AFASIA


Pada tahap  akutsampai dengan tahun pertama 


pascacedera otak, kelompok keluaran baik 


memperlihatkan peningkatan aktivitas pada 


area sekeliling lesi di hemisfer dominan 


yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan 


aktivitas di area homotopik hemisfer nondominan. Adapun pada kelompok keluaran 


buruk dijumpai hal yang berlawanan, yaitu 


peningkatan aktivitas lebih banyak pada 


area homotopik hemisfer non-dominan. Pada 


tahap  kronik, proses pemulihan berlangsung 


lebih lambat dan terjadi secara gradual. Pada 


kelompok keluaran baik, terjadi peningkatan 


aktivitas kompensasi gradual pada area 


homotopikterutamadaerahfrontaldantalamus 


di hemisfer nondominan. Pada kelompok 


keluaran buruk, terjadi pula peningkatan 


aktivitas di hemisfer nondominan, namun 


dengan intensitas yang jauh lebih rendah. 01 eh 


sebab  itu, upaya neurorestorasi afasia perlu 


memperhatikan onset (tahap  akut/kronik) dan 


fungsi area/hemisfer yang perlu diaktifkan 


atau dideaktivasi.


Dasar strategi upaya neurorestorasi afasia 


dapat memakai alternatif dan gabungan 


strategi alternatif sebagai berikut:


a. Mengembalikan fungsi bahasa dan 


bicara, dengan fokus pada modalitas 


yang terganggu (language impairedbased treatment).


b. Membantu restorasi modalitas bahasa 


yang terganggu dengan modalitas 


bahasa lain yang masih intak.


c. Mengompensasi gangguan bahasa 


yang ada dengan memakai  modalitas fungsi luhur/kognitif yang lain.


d. Partisipasi aktif dari caregiver dan 


pemakaian  aplikasi dan teknologi 


stimulasi bahasa khusus.


Dalam menentukan teknis menjalankan 


strategi ini meliputi pemilihan program, 


penjadwalan, skala prioritas, dan aspek lainnya diperlukan komunikasi, koordinasi, dan 


evaluasi yang baik antara dokter, terapis, 


caregiver, dan keluarga pasien,


A. Language Impairment-Based Treatment


Yang termasuk ke dalam strategi berbasis fokus pada modalitas bahasa yang


terganggu ini yaitu :


1. Terapi Modalitas Bahasa dari Aspek


Neurokognitif


a. Terapi untuk gangguan membaca


b. Terapi untuk gangguan menulis