ditegakkan. Berbeda dengan neurofibroma, tumor schwannoma
lebih sering ditemukan pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2.
2. Meningioma
Meningioma spinal biasanya tumbuh di
lateral kanalis spinalis, terutama daerah
dekat radiks dan ganglion radiks dorsalis.
Sekitar 40% tumor ekstramedula merupakan meningioma. Sepanjang vertebra,
tumor ini paling sering terjadi di segmen
torakal (sekitar 80%), kemudian diikuti
segmen servikal, dan lumbosakral. Tumor
ini biasanya tumbuh membentuk konfigurasi seperti bolayangmemiliki perlekatan
dura mater. Oleh sebab sifatnya yang cenderung tidak menginvasi pia mater, maka
tumor ini dapat direseksi dengan aman.
3. Ependimoma Fiium Terminal
Selain tumor selubung saraf dan meningioma, sekitar 15% tumor ekstramedula
dapat berupa ependimoma miksopapilar.
Jenis tumor ini merupakan tumor yang paling sering tumbuh di daerah fiium terminal.
Sesuai dengan namamnya, tumor ini memiiika tampilan susunan papilar dari sel epitel
kubus atau batang dengan kandungan kaya
musin. Walaupun tumor ini berasal dari
fiium terminal, pertumbuhan tumor ini
dapat melibatkan radiks dari kauda ekuina.
Karakteristik lain dari tumor ini yaitu sifatnya yang bisa menyebarkan sel tumor ke
dalam ruang cairan spinal.
4. Tumor Ekstramedula Lainnya
Kondisi patologis lain yang bisa terjadi
di ruang intradural ekstramedula yaitu
kista (epidermoid, dermoid, dan lipoma),
paraganglioma, malformasi vaskular,
dan metastasis. Penelusuran ke arah metastasis leptomeningeal perlu dilakukan
bila ada pasien dengan diagnosa kanker
sebelumnya dan ada massa di ruang
intradural ekstramedula.
Tumor Intramedula
Tumor intramedula merupakan tumor yang
berasal dari medula spinalis (Gambar 2C).
Sekitar 80% tumor intramedula tergolong
dalam tumor glial (astrositoma, ependimoma, ganglioma, dan oligodendroglioma).
Tumor intramedula yang paling sering ditemukan yaitu astrositoma, kemudian diikuti ependimoma, dan hemangioblastoma.
1. Astrositoma
Angka kejadian astrositoma di spinal
tergolong jarang, yaitu sekitar 3% dari
seluruh masalah astrositoma susunan saraf
pusat. Tumor ini dapat terjadi di segala
usia, tetapi paling sering terjadi pada
anak dan usia kurang dari 30 tahun.
Sepanjang tulang vertebra, tumor intramedula ini memiliki predileksi di segmen servikal atau servikotorakal.
2. Ependimoma
Berbeda dengan astrositoma yang merupakan tumor intramedula tersering di
anak, ependimoma yaitu tumor intra-
medula yang sering ditemukan pada
orang dewasa. Hampir semua ependimoma termasuk tumor jinak, dengan
karakteristik berbatas tegas dan tidak
menginfiltrasi area sekitar.
3. Hemangioblastoma
Sekitar 3-8% tumor intramedula merupakan hemangioblastoma. Tumor ini berasal dari pembuluh darah yang berbatas
tegas, tetapi tidak berkapsul. Sebanyak
15-25% masalah berhubungan dengan penyakit von Hippel-Lindau yang diturunkan secara autosom dominan.
4. Tumor Intramedula Lainnya
Selain dari ketiga jenis tumor yang sering
ditemukan di atas, ltelainan patologis
lain yang bisa terjadi yaitu metastasis,
kista, dan malformasi vaskular. Metastasis tumor paru dan payudara yaitu
yang paling sering ditemukan di medula
spinalis, dengan kekerapan kurang dari
5% dari total tumor intramedula.
PATOFISIOLOGI
Tumor Metastasis
Tumor metastasis di spinal sebagian besar
terletak di ekstradural Oleh sebab itu, pembahasan kali ini menjelaskan bagaimana
tumor metastasis spinal ekstradural dapat
memicu keadaan patologis yang bermanifestasi Minis.
Sel tumor primer paling sering menyebar ke
spinal melalui sistem vena. Untuk dapat mencapai spinal, sel tumor sebelumnya melalui
sirkulasi di had dan paru. Pada kondisi normal,
5-10% darah yang berada dalam sistem vena
porta dan vena kava mengalir ke sistem vena
vertebra, yang berhubungan dengan pleksus
vena epidural. Pleksus vena epidural ini berada
di dalam kanalis spinalis dan tidak memiliM
katup. Batson pertama kali mengemukakan
bahwa pleksus vena epidural merupakan jalur
potensial penyebaran metastasis tumor primer
di spinal. Oleh sebab itu, Pleksus ini disebut juga
pleksus Batson. Pleksus vena epidural (Batson)
ini terletak di ruang epidural, di antara kolumna spinalis dan dura mater medula spinalis. Aliran dari pleksus vena ini berhubungan dengan
vena kava superior dan inferior yang kemudian
membawa darah menuju jantung. Oleh sebab
tidak ada katup di pleksus vena epidural, maka
setiap peningkatan tekanan di sistem vena
kava dapat memicu aliran balik ke pleksus vena epidural.
Selain metastasis melalui sistem vena, sel
tumor bisa juga menyebar ke spinal melalui sistem arteri dan limfatik. Penyebaran
melalui arteri dapat terjadi melalui arteriarteri yang memperdarahi korpus vertebra.
Contoh masalah pada tumor di paru yang bisa
menyebar ke spinal melalui arteri-arteri segmental. Berbeda dengan sistem arteri, penyebaran metastasis tumor melalui sistem
limfatik terjadi sebab adanya saluran limfe
di dalam tulang vertebra. Sayangnya, penyebaran tumor melalui sistem ini masih perlu
diteliti lagi kepentingan klinisnya.
Selain cara-cara di atas, penyebaran langsung
tumor primer ke spinal sering juga ditemukan,
terutama untuk masalah tumor prostat. Tumor
yang berada di bagian retroperitoneal atau mediastinum dapat mengerosi korpus vertebra
secara langsung, atau masuk ke kanalis spinalis
melalui foramen neuralis.
Terjadinya metastasis ini tidak lepas dari struktur sumsum tulang yang berada di dalam korpus vertebra. Sumsum tulang memilild sistem
pembuluh darah sinusoid yang biasanya memiliki tekanan rendah, sehingga darah cenderung
mengumpul (pooling) di daerah ini. Kondisi ini,
disertai adanya penumpukan fibrin dan proses
trombosis, sangat mendukung secara biolamia
dan hemodinamik bagi implantasi dan proliferasi sel-sel tumor. Selanjutnya, sel-sel tumor
menjadi mudah untuk keluar dari pembuluh
darah dan menginvasi jaringan tulang trabekular. Selain beberapa kondisi ini , ada
faktor intrinsik dari sel tumor primer yang
mendukung keberhasilan pertumbuhan sel tumor di dalam jaringan tulang, misalnya prostaglandin dan stimulasi faktor aktivasi osteoklas
pada metastasis sel kanker payudara yang menyebabkan lesi litik pada tulang.
Sel-sel tumor metastasis yang telah menginvasi jaringan tulang trabekular kemudian
akan menghasilkan beberapa substansi yang
memicu resorpsi tulang secara langsung ataupun tidak langsung, antara lain hormon paratiroid, faktor aktivasi osteoldas, faktor pertumbuhan, dan prostaglandin, Dengan
adanya sekresi beberapa substansi ini oleh sel
tumor, maka terjadi peningkatan stimulasi osteoklas di jaringan tulang trabekular,
sesudah sel-sel tumor menginvasi jaringan
tulang trabekular, proses selanjutnya yaitu
invasi sel-sel tumor terhadap korteks tulang,
Hal ini bermanifestasi dengan adanya keterlibatan pedikel vertebra pada metastasis tumor
spinal. Adanya keterlibatan pedikel ini biasanya tidak bersifat primer, tetapi merupakan
akibat sekunder dari penyebaran langsung
dari korpus vertebra atau struktur tulang
lainnya (Gambar 5). Walaupun gambaran
awal metastasis pada radiografi foto polos
berupa kerusakan pedikel, sebenarnya korpus vertebra merupakan struktur pertama
yang biasa-nya lebih awal rusak. Hal ini diduloing oleh fakta bahwa sekitar 30-50% korpus
vertebra telah mengalami kerusakan sebelum
kelainan ini dapatterdeteksi melalui radiografi
foto polos.
Proses metastasis tumor spinal berlanjut dengan menginvasi ruang epidural, Invasi ruang
epidural dapat terjadi melalui ligamen longitudinal posterior (Gambar 6), Ligamen ini
yaitu struktur yang paling lemah terhadap
penyebaran sel-sel tumor di tulang vertebra.
Sel-sel tumor metastasis di ruang epidural
menimbulkan efek desak massa yang dapat
mengkompresi medula spinalis beserta struktur pembuluh darahnya. Efek massa desak
pada medula spinalis ini menimbulkan demielinisasi atau degenerasi aksonal. Adapun
komponen vaskular yang turut terkompresi
memicu kongesti vena dan edema vasogenik medula spinalis. Adanya demielinisasi, degenerasi aksonal, dan edema vasogenik
pada medula spinalis inilah yang kemudian
bermanifestasi Minis sebagai defisit neurologis akibat metastasis tumor spinal.
Metastasis tumor juga dapat terjadi pada
daerah leptomeningeal, terutama pada keganasan hematopoietik, seperti limfoma
dan leukemia. Penyebaran ini biasanya terjadi secara hematogen atau infiltrasi langsung ke meningen (Gambar 7), sehingga berada di ruang epidural/subdural (Gambar 6
(3) & (4)) dan menimbulkan gejala seperti
pada tumor intradural ekstramedula.
Tumor Primer
Tidakjauhberbeda dengan tumor metastasis
ekstradural, tumor primer spinal yang terletak intradural ekstramedula dan intramedula
memiliki efek desak massa jaringan sehat di
sekitarnya. Pada medula spinalis, invasi jaringan sehat oleh sel-sel tumor mengakibatkan efek desak massa medula spinalis. Efek
desak massa dari sel-sel tumor ini mengaldbatkan demielinisasi dan degenerasi akson di
medula spinalis. Selain itu, terjadi pula stasis
aliran vena dan arteri di medula spinalis akibat efek desak massa ini. Kondisi ini selanjutnya menjadi edema vasogenik dan infork di
medula spinalis. Adanya edema vasogenik ini
tentunya akan menambah progresivitas efek
desak massa, sehingga kerusakan medula spinalis yang ditimbulkan menjadi semakin luas
dan ekstensif.
Mengingat setiap area di medula spinalis memiliki fungsi aferen dan eferen yang
menghubungkan antara otak dengan saraf
perifer, maka setiap lesi di medula spinalis
akan menimbulkan gangguan fungsi tersebut. Gangguan fungsi aferen dan eferen inilah yang bermanifestasi klinis sebagai defisit neurologis. Misalnya, efek desak massa
oleh sel-sel tumor di daerah jaras kortikospinal lateralis akan menimbulkan manifestasi kelemahan motorik.
GEJALA DAN TANDA K L IN IS
Tumor Ekstradural
Perjalanan penyakit tumor ekstradural
seringkali progresif berkembang cepat. Gejala dan tanda klinis muncul akibat dari
kompresi medula spinalis. sebab letaknya
ekstradural (Gambar 8), maka jaringan tumor akan mengkompresi dura mater dari
arah luar ke dalam. Selain itu, fraktur patolo-gis juga ditemukan pada tumor ekstradural yang membuat gejala awal berupa
nyeri yang disebut sebagai nyeri aksial vertebra. Nyeri ini terasa di sepanjang sumbu vertebra yang bersifat gradual, progresif, terusmenerus, tidak bersifat mekanik, dan sering
terjadi di malam hari. Nyeri biasanya bertambah parah saat pasien berbaring telentang, apalagi dalam durasi beberapa jam, kemudian membaik saat pasien berdiri. Seiring
progresi perkembangan tumor ekstradural,
efek desak massa selanjutnya akan mengenai
struktur radiks dan medula spinalis. Struktur
radiks yang terkena efek massa tumor menimbulkan gejala klinis nyeri radikular.
Selain nyeri, pasien dapat mengalami tandatanda kompresi lainnya, yaitu kelemahan ekstremitas, gangguan sensorik, dan disfungsi
otonom. Kelemahan ekstremitas umumnya
bersifat UMN pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh medula spinalis pada level di
bawah lesi. Gangguan sensasi posisi, rasa
getar, gangguan diskriminasi dua titik dapat
terjadi bila kompresinya berasal dari arah
dorsal. Disfungsi miksi dan defekasi lebih
sering terjadi kemudian sesudah kelemahan
ekstremitas, tetapi bisa juga terjadi secara
bersamaan.
T u m o r In trad u ral E k stram ed u ia
Lokasi tumor ini paling sering di sekitar radiks posterior, kemudian diikuti di sekitar radiks anterior. Oleh sebab lokasinya di sekitar
radiks, maka gejala awal yang sering ditemukan yaitu nyeri radikular. Sesuai namanya,
nyeri ini memiliki karakteristik penjalaran
nyeri sesuai distribusi radiks sensorik. Nyeri
ini bertambah parah dengan batuk, bersin,
atau mengedan. Seiring pertumbuhan tumor
yang membesar, kompresi akan semakin bertambah pada radiks dan medula spinalis.
Bila letak tumor lebih ke arah posterior, maka
proses kompresi akan mengenai kolumna posterior dan jaras piramidalis. Dengan demikian,
gejala berikutnya sesudah nyeri radikular
yaitu gangguan propioseptif dan kelemahan
ekstremitas. Kelemahan ini bersifat asimetris antara lengan dan tungkai (lesi servikal)
dan antara kedua tungkai (lesi torakolumbal).
Gangguan sensorik juga dapat terjadi awalnya
ipsilateral, kemudian bilateral, dan berjalan
dari kaudal ke kranial hingga setinggi lesi.
Bila letak tumor Iebih ke arah anterior, maka
kompresi dapat mengenai radiks anterior
pada satu sisi atau kedua sisi. Hal ini dapat
memicu kelemahan ekstremitas tipe
LMN. Namun, kelemahan tipe UMN bisa saja
dijumpai apabila kompresinya sudah mengenai jaras piramidalis. Biasanya, kelemahan ekstremitas terjadi pada ipsilateral lesi,
kemudian bilateral. Gangguan sensasi raba
kasar dapat muncul bila ada kompresi pada
jaras spinotalamikus anterior. Bila tumornya terletak anterolateral, maka jaras spinotalamikus lateral dapat terkompresi dan
memicu gangguan sensasi nyeri dan
suhu pada kontralateral lesi. Bila tumornya
terletak di filum terminal dan kauda ekuina,
maka gejala yang sering ditimbulkan yaitu
nyeri punggung yang memberat saat posisi telentang, kemudian disertai kelemahan
ekstremitas tungkai dan gangguan otonom
buang air besar dan berkemih. Baik lesi intradural ekstramedula di daerah anterior maupun posterior, disfungsi miksi dan defekasi
biasanya muncul belakangan saat kompresi
medula spinalis sudah lanjut dan progresif.
Tumor Intramedula
Lokasi tumor spinal di intramedula memiliki gambaran yang unik dan berbeda
dengan kedua kategori tumor sebelumnya
(Gambar 9). Tumor intramedula jarang menimbulkan nyeri. Kalaupun ada, nyeri bersifat atipikal dengan lokalisasi difus. Gejala
awal yang sering ditemukan yaitu defisit
sensorik terdisosiasi. Gambaran unik lainnya yaitu pertumbuhan tumor intramedula sering bersifat longitudinal, sedangkan
tumor ekstramedula bersifat transversal.
Hal ini memicu gangguan sensorik
pada tumor intramedula dapat mengalami
perubahan level (batas atas defisit sensorik}, sedangkan level ini pada tumor ekstramedula tetap konstan.
Selain itu, disfungsi miksi dan defekasi
dapat timbul di awal perjalanan penyakit.
Atrofi otot dapat ditemukan sebagai akibat
dari keterlibatan dari kornu anterior substansia grisea medula spinalis. Spastisitas
pada ekstremitas dapat terjadi, walaupun
tidak seberat tumor ekstramedula.
T u m o r Spinal di B e b e ra p a Lokasi K husus
Selain ketiga kategori di atas, ada beberapa lokasi tumor spinal yang memiliki
gejala khusus, yaitu di servikal atas, foramen
magnum, dan lumbal. Tumor spinal servikal
atas dapat memiliki gejala bulbar dan fasikuIasi pada ekstremitas. Tumor spinal setinggi
foramen magnum dapat memiliki hipestesia setinggi dermatom C2 dan paresis N. XI
(nervus aksesorius). Tumor spinal di lumbal
dapat menimbulkan gejala dan tanda seperti
sindrom kauda ekuina atau konus medularis.
Pada tumor spinal, sindrom kauda ekuina
dapat terjadi sebab keterlibatan radiks
nervi lumbalis dan sakralis di bawah konus
medularis. Pasien awalnya mengeluh nyeri
radikular sesuai distribusi nervus iskhiadiItus dan nyeri pada kandung kemih. sesudah
nyeri, manifestasi klinis berikutnya yaitu
defisit semua modalitas sensorik pada tungkai, terutama pada perineum [saddle anaesthesia'). Selain itu, kelemahan tungkai tipe
LMN dengan disertai inkontinensia urin dan
alvi dapat terjadi pada sindrom ini.
Konus medularis yaitu batas bawah dari
medula spinalis dan terletak setinggi kanalis spinalis LI. Lesi konus medularis
terisolasi menimbulkan beberapa defisit
neurologis, antara lain, arefleksia detrusor
dengan retensi urin dan overflow incontinence, inkontinensia alvi, gangguan fungsi
seksual, saddle anaesthesia, dan biasanya
tanpa kelemahan motorik.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
diagnosa tumor spinal secara umum
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang,
sekaligus untuk mendapat tanda dan gejala klinis sesuai letak lesi (Tabel 3). Adapun
pemeriksaan penunjang berguna untuk
lebih memastikan diagnosa dan menyingkirkan diagnosa banding. Adapun diagnosis banding dari tumor spinal, antara
lain spondilitis, mielitis, multipel sklerosis, neuromielitis optik, mielopati akibat
proses autoimun, trauma medula spinalis,
dan proses degeneratif tulang, Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan pada
pasien tumor spinal yaitu pencitraan dan
pemeriksaan laboratorium, termasuk analisis cairan otak tumor primer dan pasien dengan gejala tumor spinal, tetapi belum diketahui tumor
primernya. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini
lebih diutamakan untuk skrining sebab nilai spesifisitas yang rendah. Jika bone scan
menunjukkan area terdispersi yang tersebar di beberapa tulang, maka diagnosa nya
mengarah ke metastasis tumor. Jika bone
scan hanya menunjukkan sedikit tulang
yang terlibat, maka klinisi dapat memastikan kelainan ini dengan pemeriksaan
CT atau MRI.
Pemeriksaan CT scan sangat peka pada
perubahan mineral tulang dan dapat
menunjukkan proses destruksi tulang dengan resolusi lebih tinggi daripada foto polos. Dengan demikian, pemeriksaan ini bisa
lebih dini menemukan kelainan destruksi
tulang akibat tumor. Namun, pemeriksaan
foto polos atau bone scan tetap perlu dilakukan sebelum CT scan untuk meningkatkan nilai diagnostik. Terapat dua peran
yang dimiliki CT scan dalam proses skrining
pasien dengan dugaan tumor spinal, yaitu
untuk menentukan lokasi, perluasan, dan
karakteristik lesi spinal serta menentukan apakah tumor telah menyebar ke paru
atau hati. Adanya lesi desalt ruang di paru
atau parenkim hati, pembesaran kelenjar
getah bening, dan infiltrat atau efusi yang
tidak dapat dijelaskan, menunjukkan ke arah
ada-nya tumor primer yang bermetastasis ke
spinal. Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan gambaran struktur saraf dengan jelas, sehingga
dapat ditentukan lokasi lesi ekstradural,
intradural ekstramedula, dan intradural intramedula. Selain itu, pemeriksaan ini dapat
menunjukkan besarnya kompresi medula
spinalis dan perluasan tumor ke jaringan
lunak di sekitar tulang vertebra. MRI dapat
mendeteksi tumor berukuran kecil di dalam
kanalis spinalis sebab adanya peningkatan
konten cairan intrasel dan ekstrasel akibat
tumor. Dengan pemeriksaan MRI, klinisi
dapat membedakan pemicu fraktur pato-Iogis akibat fraktur osteoporosis atau
proses keganasan. Karakteristik sel tumor
pada MRI yaitu hipointens pada T1 dan
hiperintensi pada T2. Pemberian kontras
gadolinium intravena akan memberi penyangatan yang kemudian akan membedakan jaringan normal dengan tumor. Pada
pemeriksaan MRI, lesi keganasan biasanya
melibatkan struktur pedikel, penyangatan
yang kuat, dan keterlibatan jaringan lunak
paravertebral. Di lain pihak, kompresi vertebra akibat osteoporosis tidak melibatkan
struktur pedikel dan jaringan lunak paravertebral.
Pemeriksaan Serologi dan Analisis Cairan
Otak
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan
pada metastasis tumor spinal antara lain
serum penanda tumor untuk skrining tumor
primer, yaitu PSA (prostat), CEA (kolorektal),
CA 125 (ovarium), CA 15-3 (payudara), dan
CYFRA 21-1 (paru). Pemeriksaan darah
lengkap, albumin, ureum, kreatinin, dan tes
fungsi liver dapat dikerjakan untuk evaluasi
kondisi sistemik pasien. Selain itu, protein
urin Bence-Jones untuk mendeteksi mieloma.
Peme-riksaan analisis cairan otak dapat
dipakai untuk menyingldrkan diagnosa
banding se-perti mielitis dan ensefalomielitis.
Pada masalah limfoma dengan keterlibatan
susunan saraf pusat, pungsi lumbal dilakukan
untuk peme-riksaan analisis rutin dan sitologi
cairan otak
TATA LAKSANA
Penanganan Gawat Darurat Kompresi
Medula Spinalis
Kompresi medula spinalis oleh proses keganasan merupakan keadaan emergensi
yang membutuhkan pertolongan segera
untuk mengatasi nyeri dan mencegah progresivitas defisit neurologis pasien. Tata laksananya meliputi pemberian kortikosteroid,
radioterapi, dan operasi.
Kortikosteroid masih banyak diberikan pada
pasien dengan kompresi medula spinalis
akibat keganasan, walaupun dosis idealnya
masih diperdebatkan. Pada prinsipnya, kortikosteroid dapat mengurangi edema vasogenikyang terjadi akibat kompresi medula
spinalis. Adapun dosis deksametason yang
sering diberikan yaitu 10-16mg IV bolus,
kemudian dilanjutkan 4-6mg tiap 4 jam. Dosis ini kemudian diturunkan selama radioterapi atau secepatnya pascaradioterapi.
Radioterapi diberikan pada masalah ini dengan kombinasi dengan kortikosteroid
seperti alinea di atas. Dosis yang diberikan
sebesar 30Gy dalam 10 fraksi. Radioterapi
dilakukan pada lesi utama dan diperluas
hingga 1 atau 2 korpus vertebra di atas dan
bawah dari lesi utama. Radiasi yang diberikan lebih dari 30Gy tidak menunjukkan luaran yang semakin baik.
Operasi diindikasikan bila ada instabilitas spinal. Faktor-faktor yang mengarah ke
instabilitas spinal antara lain lokasi di persambungan (oksiput-C2, C7-Th2, T h ll-L l,
L5-S1), ada lesi litik, adanya subluksasi/
listesis, kolaps korpus vertebra >50%, dan
destruksi pedikel bilateral. Beberapa hal perlu
dipertimbangkan sebelum menjalani operasi
pada pasien kompresi medula spinalis akibat
keganasan, antara lain kondisi medis lain secara umum dan prognosis secara keseluruhan. Misalnya, pasien dengan tumor metastasis
spinal yang radiopeka , metastasis sudah
menyebar ke beberapa tempat, harapan hidup
yang pendek, dan kondisi medis yang berat,
lebih dianjurkan untuk radioterapi dan pemberian steroid daripada operasi.
Penanganan Nyeri
Nyeri pada tumor spinal merupakan salah
satu jenis nyeri kanker yang ditandai dengan
kombinasi nyeri nosiseptif dan neuropatik.
Nyeri pada tumor spinal berhubungan dengan beberapa hal, yaitu proses sekunder
dari keterlibatan tumor di korpus vertebra,
fraktur kompresi, kompresi medula spinalis, atau infiltrasi radiks. Tata laksana farmakologi nyeri pada tumor spinal ini sama
dengan nyeri kanker pada umumnya, yang
pembahasannya dapat dilihat pada topik
nyeri kanker atau nyeri neuropatik.
Radioterapi
Tumor spinal yang tergolong radiopeka
antara lain, plasmasitoma, mieloma multipel,
dan metastasis tumor spinal dari payudara,
prostat, dan small cell lung cancer. Pada sebagian besar masalah lain, rekomendasinya yaitu
radioterapi eksternal pascaoperasi reseksi tumor. Radioterapi praoperasi dapat dilakukan
bertujuan untuk mengecilkan massa tumor.
Namun, radioterapi praoperasiharus diperhatikan sebab dapat meningkatkan risiko infeksi dan masalah penyembuhan luka.
Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau
sesudah operasi. Pada keterlibatan sarkomatosa di spinal, kemoterapi praoperasi
dapat memfasilitasi tindakan reseksi tumor. Pada sebagian besar masalah lain, kemoterapi kombinasi pascaoperasi diberikan pada tumor ganas spinal.
Rehabilitasi
Selain tata laksana di atas, aspek rehabilitasi juga perlu diperhatikan demi kualitas
hidup pasien yang baik. Salah satu bentuk rehabilitasi yang dapat diberikan pada
pasien kanker yaitu korset spinal Korset
memberikan dukungan eksternal tambahan
pada segmen spinal yang fungsinya terganggu sebab tumor. Tujuan pemakaian korset
spinal antara lain restriksi gerakan, penyejajaran [alignment] spinal, dan dukungan
aksial badan. Namun, pemakaian korset
bukannya tanpa kontroversi. Kegunaan korset dalam mencapai tujuannya dipengaruhi
oleh ketebalan jaringan lunak yang berada
di sekitar vertebra. Semakin tebal jaringan
lunaknya, semakin rendah efektivitas dari
korset itu sen dir i. Selain ketebalan jaringan
lunak, panjang korset juga mempengaruhi
efektivitas. Korset yang panjang memberikan stabilisasi spinal yang lebih baik daripada korset yang pendek.
Selain korset, rehabilitasi yang bisa diberikan pada pasien tumor spinal yaitu terapi
fisilt dan okupasi. Pasien dengan tumor
spinal biasanya memiliki keterbatasan mobilisasi. Kondisi ini selanjuntnya dapat menimbulkan gangguan respitasi, penurunan
fungsi otot, dan gangguan integritas integumen (dekubitus). Terapi fisik meliputi
mobilisasi bertahap, mulai di tempat tidur
hingga berjalan, dan latihan [exercise) penguatan otot abdomen dan ekstensor. Terapi
okupasi meliputi pemberian alat bantu dan
pembelajaran untuk bisa ke kamar mandi
dan mengurus diri sendiri.
C O N TO H masalah
masalah 1
Perempuan 52 tahun datang dengan keluhan nyeri pada punggung sejak 8 bulan lalu.
Nyeri dirasakan di antara kedua tulang belikat. Awalnya, nyeri masih hilang timbul dan
berkurang dengan minum obat penghilang
nyeri dari waning. Sejak 2 bulan lalu, nyeri
punggung bertambah berat dan mengganggu
aktivitas. Selain itu, pasien juga mulai mengeluhkan kelemahan pada kedua tungkai. Sejak
sebulan lalu, pasien mulai mengeluhkan baal
pada kedua tungkai. Keluhan nyeri punggung,
kelemahan tungkai, dan baal pada kedua tungkai dirasakan semakin progresif hingga akhirnya pasien sekarang hanya dapat berbaring di
tempat tidur dan mulai mengompol. Pasien
memiliki riwayat operasi mastektomi mammae kiri 10 tahun lalu. Hasil patologi anatomi
dikatakan karsinoma mammae duktal invasif jenis solid tubular, grade II. Pasien sempat
menjalani kemoterapi 3 tahun lalu.
Pemeriksaan neurologi menunjukkan
paraplegia UMN, hipestesi setinggi dermatom torakal 7 ke bawah, dan retensi uri.
Pemeriksaan MRI vertebra dengan kontras
menunjukkan proses metastasis intrakorpus vertebra Th 8 (Gambar 12).
Pasien didiagnosa tumor spinal metastasis ekstradural dengan primer karsinoma
mammae. Tata laksana pada pasien ini
yaitu pemberian korset, radioterapi paliatif, dan terapi bisfosfonat.
K a s u s 2
Perempuan 60 tahun memiliki keluhan kesemutan pada kedua tungkai sejak 8 bulan lalu.
Kesemutan disertai rasa kencang dari perut
bawah sampai telapak kaki. Keluhan ini dirasakan terus menerus. Sejak 7 bulan lalu, pasien
mengeluhkan kulitnya terasa kering dan jarang
berkeringat dari perut bawah sampai kedua
tungkai. Kedua tungkai mulai terasa berat untuk berjalan. Sejak 3 bulan lalu, kelemahan
kedua tungkai memberat. Pasien juga mengeluh ada rasa terikat di daerah pinggang. Selain
itu, pasien juga mengeluhkan sulit menahan
berkemih dan buang air besar. Pasien memiliki
riwayatpemakaian pil KB selama 5 tahun dan
riwayat kanker payudara pada anak pasien.
Pemeriksaan fisik neurologi menunjukkan
paraparesis UMN (kekuatan 2/5 pada kedua
tungkai), hipestesi setinggi dermatom torakal 12 ke bawah, dan inkontinensia uri et
alvi. Pemeriksaan MRI vertebra torakal dengan kontras menunjukkan tumor intradural, ekstramedula setinggi vertebra torakal
10 yang mendesak dan menekan mielum ke
arah kanan (Gambar 13). Pasien kemudian
dilakukan operasi dan hasil patologi anatomi menunjukkan meningioma campuran
jenis meningothelimatosa, transisional dan
jenis psammomatosa (WHO grade I). Diagnosis pasien ini yaitu tumor spinal intradural ekstramedula, yaitu meningioma.
PRINSIP DASAR NEURORESTORASI
PASCACEDERA SARAF
Amanda Tiksnadi, Siti Airiza Ahmad, Pukovisa Prawiroharjo
PENDAHULUAN
Neurorestorasi berasal dari kata uneuro4og\/}
dan "restore” yang berarti upaya renovasi untuk mengembalikan ke kondisi atau
fungsi semula. Neurorestorasi didefinisikan
sebagai cabang ilmu neurologi yang menerapkan prosedur aktif dalam meningkatkan atau
memperbaiki fungsi sistem saraf yang terganggu, baik secara fungsional maupun patologis.
Pendekatan ini dilakukan melaiui modifikasi
selektif pada struktur dan fungsi saraf yang abnormal berdasar mekanisme penyakit, serta ekskalasi kapasitas fungsional sistim saraf
yangtersisa dan/atau aktivasi sistim saraf yang
sebelumnya masih tersamar (World Congress o f
Neurology Hamburg, 1985).
Ilmu yang mempelajari neurorestorasi disebut neurorestoratologi, yang didefinisikan
sebagai ilmu neurosains yang mempelajari
regenerasi neuron, neural structural repair
o f replacement, neuroplastisitas, dan neuromodulasi. Tujuan utama dari pengembangan
ilmu ini yaitu untuk meningkatkan proses
pemulihan fungsional neuron yang rusak
atau terganggu sebab sebab apapun, termasuk akibat penyakit neurodegeneratif.
Ada 5 dogma yang berperan dalam ilmu
neurorestorasi, yang disebut sebagai 5N's
dogma, yaitu neuroregenerasi, neurorepair,
neuroplastisitas, neuromodulasi, dan neurorehab ilitasi. "Neuroproteksi” sendiri dianggap sudah tercakup dalam definisi neurorestorasi secara umum.
Ada 4 prinsip yang penting untuk dipikirkan
dalam melakukan upaya neurorestorasi,
yaitu:
1. Keterbatasan regenerasi neuron [limited
regeneration)
2. Tidak instan, melainkan melaiui proses
pembelajaran ulang (relearning)
3. Kapasitas reservasi otak/sarafyangkurang
memadai (insufficient reserve); konsep
yang menggambarkan diskrepansi antara
derajat kerusakan saraf secara patologis
dengan derajat manifestasi Minis.
4. Lifelong reinforcement; sama seperti keterampilan yang perlu terus dilatih dan
diasah seumur hidup.
Ada aturan 4 langkah dalam neurorestoratologi yang perlu dilakukan untuk mendapat hasil yang efektif, yaitu:
1. Neurorestorasi struktural neuron
2. Signaling neurorestorasi
3. Neurorestorasi rehabilitatif
4. Neurorestorasi fungsional
Pada bab ini akan dibahas juga aplikasi neurorestorasi pada keadaan khusus yang paling sering terjadi dan membutuhkan prosedur ini , yaitu pascastroke dan afasia. NEUROPLASTISITAS
Di masa yang lampau, para ahli berpendapat
bahwa otak berhenti tumbuh pada masa
kanak-kanak dan tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Mereka )uga percaya bahwa koneksi antar saraf (sinaps) hanya terbentuk pada suatu periode kritis pada
masa kanak-kanak tersebu't dan menetap,
tidak berubah seiring dengan pertambahan
umur. Oleh sebab itu, pada masa ini
jika ada suatu kerusakan area di otak,
akibat yang terjadi akan bersifat permanen,
sebab serabut saraf tidak bisa beregenerasi
maupun membentuk sinaps baru.
Namun studi dan eksperimen baik pada
hewan coba maupun pada manusia menunjukkan sebaliknya. Otak terbukti memiiiki kemampuan untuk beregenerasi dan
melakukan modifikasi bentuk struktural
dan sekaligus' fungsinya secara kontinu
sepanjang hidupnya. Perubahan struktural dan fungsional ini terjadi melalui mekanisme penambahan atau pengurangan
koneksi sinaps. Fenomena ini dikenal dengan istilah neuroplastisitas.
Neuroplastisitas, berasal dari kata "neuro" dan
bahasa Yunani "plastos" yang berarti molded
atau materi yang bisa dibentuk, seperti tanah
liat. Dengan neuroplastisitas inilah neuron di
otak beradaptasi dan menyesuaikan fungsinya
sebagai respons terhadap situasi baru atau
perubahan yang terjadi. Adanya paparan terhadap stimulus pada umumnya akan menyebabkan penambahan dan perubahan sinaps
[Gambar 1), misai saat seseorang mempelajari keterampilan baru, seperti belajar naik
sepeda, belajar menyetir, belajar berjalan, atau
belajar berbicara. Namun penambahan jumlah sinaps juga dapat berakibat merugikan,
seperti yang terjadi pada nyeri neuropatik
Sebaliknya pada kondisi hilangnya paparan
suatu stimulus, misalnya akibat kematian sel
pascastroke, atau adanya suatu keterampilan
yang pernah dipelajari dan tidak dipergunakan kembali, maka fenomena neuroplastisitas
yang terjadi berupa pengurangan sinaps yang
telah terbentuk sebelumnya. Secara kllinis
hal ini bermanifestasi sebagai hilangnya atau
berkurangnya kemampuan seseorang dalam
melakukan keterampilan ini paparan stimulus akan memicu terbentuknya sinaps-sinaps baru: (A) kondisi
sebelum paparan stimulus; (B) kondisi
pascapaparan stimulus; (C) variasi bentuk
dendrit yang berubah pascaterbentuknya
sinaps-sinaps baru
Cedera pada susunan saraf pusat (SSP) akan
mempengaruhi balk neuron pre maupun
pascasinaps melalui beberapa mekanisme,
yaitu perubahan proyeksi aksonal, denervasi, dan eliminasi sebagian neuron. Berikut
akan dibahas proses yang terjadi pada neuron-neuron ini pascacedera SSP.
PERUBAHAN PADA NEURON PRESINAPS
Suatu cedera yang memicu terputusnya
akson (axotomy) akan memicu degenerasi pada bagian distal dari area yang
mengalami cedera, yang disebut degenerasi
Wallerian. Kontak neuron presinaps dengan
neuron pascasinaps akan terputus. Neuron presinaps dari sel-sel yang mengalami
kerusakan akan kehilangan sel target untuk
diinervasi. Akibat proses ini, ada beberapa perubahan pada neuron presinaps,
antara lain:
1. Atrofi dan degenerasi retrograd
Neuron presinaps mengalami atrofi dan
degenerasi (kematian sel) yang dimulai
dari bagian akson terminal, mundur ke
belakang sampai ke bagian badan sel
(Gambar 2).
Ada beberapa faktor yang memengaruhi
derajat atrofi dan degenerasi retrograd,
di antaranya:
a. Lokasi trauma; semakin proksimal lesi,
semakin berat atrofi dan degenerasi.
b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel target; semakin banyak proyeksi kolateral dari akson yang mengalami cedera,
semakin ringan derajat atrofi dan degenerasi retrograd yang terjadi.
2. Synaptic stripping
Pada kerusakan akson, sinaps-sinaps antarneuron diseldtamya juga akan mengalami
gangguan. Sinaps yang mengalami disfimgsi ini akan dieliminasi oleh mikroglia
sebagai mekanisme alamiah tubuh. Sinaps
yang hilang ini dapatterbentuk kembali jika
neuron pascasinaps beregenerasi kembali.
3. Degenerasi berantai (cascading degeneration)
Proses kematian sel neuron dapat terjadi
secara retrograd dan mempengaruhi sekelompok neuron (transneuronal). Degenerasi retrograd dan transneuronal tidak
selalu terbatas pada satu jaringan sinaps
saja, melainkan bisa terjadi pada seluruh
jaringan sinaps di neuron ini . Bila
ada neuron yang mengalami denervasi,
maka neuron sekitar yang menjadi sel
target juga akan dapat mengalami denervasi dan degenerasi. Proses ini dapat terus
berlanjutdan mempengaruhi neuron-neuron berikutnya sehingga memicu
kerusakan yang luas. Fenomena ini dikenal
sebgai fenomena degenerasi berantai.
4. Delayed neuronal death pascaiskemia
berdasar studi, ada sekelompok
neuron yang dapat bertahan pada iskemia akut. Bila iskemia berlanjut, neuronneuron ini akan mengalami kematian
dalam waktu beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kelompok neuron
yang rentan terhadap proses ini ada
di daerah korteks dan hipokampus.
5. Demielinisasi
Salah satu bentuk lain degenerasi sebagai
respons terhadap cedera altson yaitu kematian sel oligodendroglia yang berujung
pada demielinisasi akson. Proses kematian
ini terjadi melalui proses apoptosis yang
terus berlangsung selama beberapa hari
sampai beberapa minggu pascacedera.
PERUBAHAN NEURON PASCASINAPS
Kematian sel neuron presinaps dapat menyebabkan perubahan neuron pascasinaps
akibat hilangnya input sinaps normal. Perubahan ini dapat bervariasi dari ringan
sampai berat, antara lain:
1. Superpeka itas denervasional
Pada fenomena ini, sel pascasinaps menjadi
lebih peka terhadap neurotransmiter.
ada peningkatan jumlah dan distribusi reseptor di membran pascasinaps.
2. Atrofi transneuronal
Denervasi akan memicu ukuran sel
pascasinaps mengecil atau mengalami
kematian sel. Fenomena ini dapat bersifat
reversibel. Sebagai contoh, ukuran neuron yang mengalami atrofi dapat kembali
seperti semula bila terjadi reinervasi.
3. Degenerasi transneuronal
Pada degenerasi transneuronal, denervasi memicu kematian neuron
pascasinaps.
REORGANISASI KONEKSI NEURONAL
PASCACEDERA
Proses regenerasi pascakerusakan akson
merupakan bagian dari proses reorganisasi koneksi neuronal. Saat akson terputus,
bagian distal dari lokasi cedera akan mengalami degenerasi Wallerian, sedangkan
segmen proksimal akan memendek dan
membentuk retraction ball pada bagian
ujungyang terputus [Gambar 3].
Proses regenerasi akson dan reorganisasi
koneksi neuronal selanjutnya tergantung
dari situasi dan kondisi yang ada, akan berbentuk salah satu atau beberapa proses
berikut:
1. Regenerasi bonafide: pemanjangan akson saja tanpa cabang-cabanglcolateral
2. Regenerasi abortif: ditandai dengan terbentuknya konus dystrophic growth dan
tangled arbors (Gambar 4).
3. Regenerasi produktif: terjadi formasi
cabang-cabang kolateral baru pada
ujung situs cedera
a. Regenerasi dan sprouting aksonal
Akson beregenerasi dengan menumbuhkan cabang-cabang akson terminal
baru (Gambar 5}.
b. Regenerasi supernumerary collaterals
Regenerasi akson terjadi dengan menumbuhkan cabang-cabang kolateral
dari badan akson, bukan dari bagian
akson terminal (Gambar 5).
4. Pruning-related sprouting
Pada beberapa masalah , neuron yang kehilangan beberapa sel target akan memperbanyak jumlah koneksi tambahan di area lain yang tidak mengalami kerusakan.
Sebagai contoh, pada sebuah neuron yang
memiliki 2 proyeksi kolateral ke sel-sel target yang berbeda, kematian salah satu sel
target akan meningkatkan jumlah proyeksi
kolateral sel target yang masih utuh (Gambar 6). Fenomena ini dikenal pula dengan
istilah ectopic axonal re-direction.
Sprouting kolateral yang terbentuk akibat kematian salah satu neuron pascasinaps justru memperkuat innervasi
neuron pascasinaps lain, yang tidak
mengalami cedera (normal).
Berbagai mekanisme ini merupakan
tantangan bagi pengemban ilmu penyakit
saraf untuk dapat mempergunakan fenomena
neruoplastisitas dalam pemulihan lesi saraf.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas reinervasi dari neuron yang mengalami denervasi, yaitu:
1. Prinsip proksimitas
Semakin kecil jarak antara lokasi cedera,
semakin besar kemungkinan terjadinya
reinervasi sinaps.
2., Fokalitas denervasi yang terjadi
Prognosis reinervasi pada suatu denervasi yang bersifat difus lebih baik daripada reinervasi pada denervasi yang
bersifat fokal (Gambar 7).
3. Spesifisitas dan kompetisi
Bila dua sistem yang homolog sama-sama
menginervasi suatu area, hilangnya salah
satu sistem akan memicu sprouting
dari sistem yang masih utuh/sehat. Bila
area ini memiliki preferensial terhadap suatu stimulus tertentu, maka sprouting yang terjadi bisa berupa akson yang
memberikan stimulus yang sama (spesifik), tetapi bisa pula berupa stimulus yang
berbeda dari preferensinya (kompetitif).
4. Target availability
Pembentukan sinaps atau sinaptogenesis,
baik akibat regenerasi sprouting, pruningrelated sprouting, maupun axonal redirection tidak akan terjadi tanpa peran
sel target (neuron pascasinaps). Neuron
pascasinaps harus bisa mengirimkan
sinyal-sinyal penting untuk "memanggil"
dan merangsang regenerasi agar dapat
mencapai sel target, dan meminimalkan
proyeksi ektopik (misdirection sprouting).
5. Usia
Regenerasi lebih baik dan lebih cepat
terjadi pada usia muda bila dibandingkan usia lebih tua.
NEURORESTORASI FUNGSIONAL
Proses reorganisasi otak pascastroke
merupakan contoh yang paling baik untuk
memahami proses neurorestorasi fungsional pasca suatu cedera SSP. Dari banyak
studi yang telah dilakukan, terutama yang
mempelajari fisiologi pemulihan fungsi motorik pascastroke, proses reorganisasi ini
terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Reorganisasi lokal
Salah satu proses reorganisasi otak untuk memulihkan fungsi kontrol motorik
yang rusak yaitu melalui reorganisasi
somatotopik, atau fenomena yang disebut vikariasi (vicariation). Fenomena
ini diajukan oleh Donoghue pada tahun
1990. Area di sekeliling infark (penumbra) akan mengambil alih kontrol motorik dengan mengaktifkan jaras-jaras
dengan representasi motorik yang sebelumnya "tertidur”.
2. Pemulihan diaskisis (dictschisis)
Disebut juga lesi imbas, yaitu gangguan
fungsinal pada area yang secara anatomi
terletak jauh dari area yang rusak. Diaskisis merupakan respons alamiah akibat
terganggunya sistem ‘'network" fimgsional
di otak. Lesi ini umumnya terjadi pada
area-area yang bekerja sama dengan erat,
misalnya pusat menelan dan pusat motorik primer untuk ekstremitas. Contohnya,
pada stroke akut yang menunjukkan
iskemia hanya pada area korteks motorik primer (tanpa tanda-tanda iskemia
di daerah batang otak), sering dijumpai
gangguan menelan (disfagia) akut yang
menyertai hemiplegia kontralateral, Disfagia ini terjadi sebagai akibat fenomena
diaskisis ini , terjadi gangguan fungsional tanpa kelainan struktural di area
yang letaknya jauh dari lesi primer. Hal ini
umumnya hanya berlangsung sebentar
dan dapat pulih seperti sediakala.
3. Reorganisasi area sekunder
Pada kerusakan luas yang memicu
kerusakan sel neuron perilesional (di sekeliling lesi) dengan fungsi somatotopik,
reorganisasi akan terjadi pada area somatotopik sekunder yang letak anatominya
berjauhan dengan lesi. Sebagai contoh,
aktivasi jaras di area korteks premotorik dan area motorik suplementer atau
supplementary motor area (SMA) pada
kerusakan korteks motorik primer.
4. Reorganisasi bihemisfer
Berbagai studi pencitraan terhadap
masa pemulihan pascastroke memperlihatkan aktivitas sensorimotor yang meluas hingga ke hemisfer yang sehat atau
hemisfer kontralesi. Pada awalnya diduga bahwa aktivasi hemisfer kontralesi
dapat meningkatkan prognosis pemulihan fungsi motorik. Namun beberapa
studi terbaru cenderung membuktikan
hal sebaliknya, yaitu aktivasi hemisfer
yang sehat cenderung merugikan atau
dihubungkan dengan pemulihan fungsi
motorik yang lebih buruk.
Pasien dengan perbaikan fungsi motorik
minimal menunjukkan peningkatan aktivitas pada hemisfer kontralesi dan aktivasi
minimal pada hemisfer ipsilesi. Adapun
pasien dengan pemulihan fungsi motorik
optimal menunjukkan aktivasi di hemisfer
ipsilesi yang lebih tinggi dibandingkan aktivasi hemisfer kontralesi. Hingga saat ini,
peran area homolog di hemisfer kontralesi
masih menjadi perdebatan, sebagai pemicu buruknya pemulihan fungsi motorik
atau hanya merupakan epifenomena akibat ketidakmampuan hemisfer ipsilesi untuk mengaktifkan area yang dibutuhkan.
NEURORESTORASI PASCASTROKE
Saat ini, hanya kurang dari 10% penderita
stroke iskemik yang bisa mendapat
terapi rTPA yang secara bermakna memperbaiki luaran pasca stroke ini. Sisanya,
stroke survivors harus mengadapi berbagai
masalah disabilitas berat, seperti hemiparesis, disfagia, afasia, dan lain sebagainya.
Kemajuan sains dan teknologi mutakhir telah
membuka jalan bagi perkembangan ilmu neuroscience., neurobiologis, neuroprostetik, robotic;
biomedical engineering untuk program neurorestorasi pasien dengan gangguan neurologis.
Rangkuman berbagai modalitas neurorestorasi pascastroke yang sedang berkembang dapat dilihat pada Tabel 1.
Adapun tata laksana neurorestorasi mempunyai strategi dan tujuan yang berbeda pada
stroke tahap akut, subakut, dan kronik, yaitu:
Tata laksana atau intervensi pada pasien
pascastroke harus mempertimbangkan proses patologik (sumbatan atau perdarahan),
onset, serta mekanisme neuroanatomi dan
neurofisiologi. Penatalaltsanaan multidisiplin
yang terpadu (organized stroke care] di unit
stroke RSUPN Cipto Mangunkusumo yang
sesuai dengan penemuan di kawasan lain di
dunia berhasil menurunkan angka kematian
akibat stroke sampai di bawah 5%,
t. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabilitatif tahap Akut
Intervensi neurorestorasi rehabilitatif
pada tahap akut ditujukan sedini mungkin
untuk meminimalkan gejala sisa dengan
membantu perbaikan perfusi otak dan
mencegah komplikasi imobilisasi, sehingga tercapai pemulihan fungsional
yang optimal.
a. Mobilisasi, posturing, serta kontrol
trunkal
Selain untuk mencegah kontraktur,
dekubitus, dan stasis sirkulasi hemodinamik, mobilisasi-postur/ng-kontrol
trunkal berguna untuk mempertahankan fungsi antigravitasi otot trunkal.
Otot trunkal berperan dalam menjaga
postur tubuh dan merupakan jangkar
dari gerak ekstremitas.
Pada tahap akut, tata laksana pasien
stroke mencakup posisi tirah baring
untuk menjaga MAP dan CBF yang
optimal. Pada posisi tirah baring,
gravitasi menjadi nol, sehingga otototot ekstesor trunkal yang dibutuhkan untuk aktivitas yang melawan
gravitasi (misal untuk duduk, bangun,
berdiri, berjalan, dan seterusnya) sama
sekali tidak bekerja. Jika dibiarkan
berkepanjangan, dapat terjadi fenomena neuroplastisitas negatif, seperti
pruning synapses (lihat penjelasan
bab Neurorestorasi] yang menyebabkan atrofi otot-otot trunkal.
Atrofi ini akan menyulitkan
aktivitas antigravitasi dan juga gangguan pada kontrol ekstremitas yang
akan menambah permasalahan disabilitas dan program terapi fisik
pada tahap kronik. Oleh sebab itu,
pengaturan posisi merupakan hal
paling dini yang harus diterapkan
pada pasien stroke akut sesudah kegawatdaruratan teratasi.
Tindakan elevasi kepala dapat meminimalkan gravitasi untuk meningkatkan aliran balik vena, mencegah aspirasi, menurunkan TIK, meningkatkan
cerebral perfusion pressure (CPP), serta
menurunkan tekanan darah rerata
arteri (imean arterial blood pressure/
MABP].
Mobilisasi duduk dan latihan gerak
yang lebih bersifat aktif, pada umumnya baru dilakukan saat hemodinamik
& kondisi medis stabil, tekanan rerata
arteri (mean arterial pressure/MAP)
pada stroke iskemik <130mmHg, gula
darah >90mg/dL atau <250mg/dL,
dan saturasi oksigen >95% (tanpa
pemberian OJ.
Latihan ruang lingkup sendi dan peregangan juga dapat dilakukan secara
pasif maupun aktif dengan tujuan
mencegah atau mengurangi kekakuan
sendi semata, tidakterlalu bermanfaat
bagi untuk tujuan fungsional.
b. Deteksi dan tata laksana gangguan
menelan
Setengah dari pasien stroke akut
dengan kesadaran penuh juga didiagnosis dengan disfagia. Disfagia yang
tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia aspirasi, dehidrasi, dan malnutrisi. Pneumonia merupakan pemicu
kematian terbanyak pada pasien stroke
akut Oleh sebab itu, penting untuk
melakukan identifikasi disfagia sejak
dini dengan melakukan skrining aspirasi pada pasien stroke untuk segera
dilanjutkan dengan terapinya. Tahap
ini akan dilanjutkan dengan tes kemampuan menelan bila pada skrining
ditemukan adanya disfagia.
Berikut beberapa tahapan dalam melakukan skrining aspirasi:
1) Pasien diposisikan elevasi kepala 60°.
2) Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke
sisi yang sakit.
3) Pasien diberikan minum 1 sendok teh air.
4) Amati tanda batuk atau tersedak, bila
tersedak, maka skrining dihentikan.
Lakukan suction bila perlu.
5} Jika tidak ada batuk atau tersedak,
maka dilanjutkan dengan memberikan pasien minum setengah gelas air
secara perlahan.
sebab skrining aspirasi cukup sederhana dan tidak memerlukan keahlian
khusus, maka dapat dilakukan oleh perawat atau dokter sesegera mungkin
saat pasien admisi di ruangan. Skrining
ini dilanjutkan ke tahap diagnostik dengan memakai metoda yang lebih
peka oleh terapis wicara [dalam waktu <72 jam sesudah admisi] untuk mengkonfirmasi ada atau tidalaiya disfagia.
Bila hasil skrining menyatakan tidak
ada aspirasi, maka proses dapat dilanjutkan dengan tes kemampuan
menelan dengan memakai 4 bahan yang berbeda, yaitu: air, makanan
setengah cair, makanan setengah padat, dan puree. Umumnya tes kemam-
puan menelan ini dilakukan oleh terapis wicara yang terlatih melakukan
tes fungsi menelan.
Tata laksana yang diberikan pada
pasien disesuaikan dengan hasil tes
menelan ini , yaitu:
1) Pasien dapat menelan air tanpa
tersedak; diet normal.
2) Pasien dapat menelan makanan
setengah encer tanpa tersedak: dilakukan pemasangan nasogastric
tube (NGT) no. 12 (hanya air).
3) Pasien dapat menelan makanan
setengah padat tanpa tersedak:
dilakukan pemasangan NGT no.14
(susu/diet cair komersial, obat).
Setengah porsi diberikan secara
peroral [PO) dan setengah porsi
diberikan melalui NGT.
4) Pasien dapat menelan puree tanpa
tersedak: dilakukan pemasangan
NGT no.16. Seluruh porsi diberikan
via NGT atau nothing peroral (NPO)
atau % porsi diberikan secara PO,
3A porsi diberikan melalui NGT.
Secara umum, tata laksana disfagia dapat
dilakukan dengan beberapa tindakan
berikut:
1) Latihan/terapi menelan direk (direct
swallowing therapy).
2) Modifikasi konsistensi/tekstur/volume
makanan.
3) Manuver & pengaturan posisi kepala,
leher, tubuh (maneuver & adjusting
body position).
4) Stimulasi functional training:
• Stimulasi pasif.
® Sensory enhancement techniques [meningkatkan tekanan sendok pada lidah
ketika menyuapkan bolus makanan,
memberikan bolus dengan rasa asam,
bolus dengan temperatur dingin, bolus
yang harus diltunyah, dan sebagainya).
• Thermal tactile oral stimulation.
® Deep pharyngeal neuromuscular stimulation.
® Neuromuscular electric stimulation.
• Transcranial magnetic stimulation.
5) Fisioterapi dada {chestphysiotherapy).
c. Gangguan pengosongan kandung kemih
Sepertiga sampai dua pertiga pasien
stroke akut, khususnya pasien usia lanjut, mengalami gangguan pengosongan
kandung kemih. Hal ini disebabkan beberapa macam pemicu yaitu: infeksi,
overflow, impaksi feses, diabetes melitus, dan instabilitas destrusor. Infeksi
kandung kencing merupakan pemicu
komplikasi infeksi terbanyak pascastroke akut
Tujuan penanganan yaitu menstimulasi pusat mikturisi, jika retensi
urin >100cc akan berisiko infeksi
dan bila perlu dilakukan intermitten
catheterization (IMC). Ada beberapa
teknik penanganan gangguan pengosongan kandung kemih, yaitu dengan
cara pemeriksaan pola buang air kecil,
ada atau tidak masalah prostat, dan
melakukan monitor kapasitas bladder(
sisa urin. Beberapa studi menyarankan untuk memakai urinal terlebih dahulu dan menghindari pemakaian dower kateter.
d. Terapi fisik dada
Pneumonia dan acute respiratory
failure termasuk ke dalam kelompok
komplikasi tersering pada stroke.
Studi Morris dkk menunjukkan bahwa
pasien yang mendapat terapi fisik
dada sejak masa perawatan dini dapat
menurunkan masa perawatan secara
bermakna.
e. Stimulasi sensoris multimodal/stimulasi koma
Teknik memakai paparan sensorik eksternal multimodal pada
penderita koma untuk memancing
arousal dan respons behavior. Walaupun tingkat efektifitasnya sangat diragukan, teknik ini mudah, murah, dan
tidak invasif, sehingga tetap populer
untuk dipraktekkan.
2. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabilitatif tahap Subakut (Bisa Saat Rawat Inap
Maupun Rawat Jalan)
Stroke tahap subakut ditandai oleh kondisi
hemodinamik dan proses neurologis yang
telah stabil. Tata laksana neurorestorasi
pada tahap ini mulai ditambah dengan
program neurorestorasi fungsional termasuk aplikasi berbagai teknik neuromo dulasi.
Gangguan komunikasi seperti afasia, disartria, dan kognisi harus ditangani sedini
mungkin, Jika ada gangguan menelan
(disfagia) maka dilakukan penanganan
gangguan menelan yang lebih intensif,
sehingga pasien terbebas dari NGT. Jika
ada gangguan ambulasi berjalan, seperti
pada pasien yang belum mampu berjalan, maka harus dilatih berjalan dan
atau komponen berjalan sesuai dengan
kemampuan pasien, terus menerus sebanyak dan sesering mungkin.
Adapun preskripsi latihan berupa:
• Teknik latihan untuk ambulasi berjalan terdiri dari latihan dasar persiapan berjalan, ambulasi berjalan,
berjalan secara fungsional, dan endurance berjalan.
® Teknik latihan dasar persiapan berjalan.
® Pemilihan modalitas alatterapi, penggunaan alat bantu berjalan, ortosis
dapat pula diberikan sesuai dengan
preskripsi dokter SpKFR.
Metode neurorestoratif rehabillitatif
fungsional yang dianggap paling bermanfaat untuk memperbaiki kontrol
motorik yaitu dengan teknik neurofasilitasi, yaitu berupa:
a. Bobath
Konsep yang diperkenalkan oleh
Berta dan Karel Bobath ini berfokus
kepada respon kontrol yang timbul
sebagai respons terhadap kerusakan
refleks postural. Prinsip utamanya
yaitu teknik paparan fasilitasi dan
pola gerak normal.
b. Brunnstrom
Salah satu konsep terapi neurorehabilitatif untuk pasien stroke yang populer
dipakai di seluruh dunia.
c. Rood
Banyak menerapkan aktifitas dalam
tahap developmental, stimulasi sensorik
(terutama jenis stimuli kutaneus),
dan klasifikasi kerja otot.
d. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PFN)
Banyak memakai stimulasi proprioseptif perifer seperti peregangan
dan resistensi gerak untuk meningkatkan respon motorik yang ada.
Jika ada gangguan perawatan
diri dan aktivitas sehari-hari, maka
pemakaian teknik latihan yang spesifik diberikan sesuai dengan disabilitas yang ada, Jika ada gangguan
miksi dan defekasi termasuk kontrolnya, dilakukan latihan khusus
dengan atau tanpa pressure feedback.
Pada penurunan kebugaran kardiorespirasi, dilakukan program rehabilitasi berupa exercise training dibawah
pengawasan ketat dokter rehabilitasi
medik dengan memperhatikan hemodinamik, seperti saturasi 0 2 dan
tan da vital). Jika ada gangguan aktivitas sehari-hari akibat masalah visual,
maka setiap pasien stroke sebaiknya
dilakukan penapisan gangguan visual
agar dapat ditangani secara tepat.
. Tata laksana disabilitas lain yang sering
dijumpai sebagai komplikasi pascastroke yaitu :
® Spastisitas/peningkatan tonus otot
sebab pemulihan sinergis pada ekstremitas atas dan bawah; dapat diberikan intervensi berupa pemberian
toksin botulinum A, kombinasi latihan,
terapi manual, hingga dynamic splinting.
© Pemendekan otot, kekakuan sendi,
dan kontraktur; otot harus diposisikan dalam posisi eksentrik, latihan peregangan, lingkup gerak sendi, hingga
casting.
® Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan
shoulder hand syndrome; Perubahan
biomekanik yang berbeda dengan
proses traumatic shoulder problem,
sehingga diperlukan Rontgen hingga
USG muskuloskeletal atas indikasi.
pemakaian alat bantu, stimulasi
otot, latihan hingga modalitas alat
yang sesuai kondisi pasien.
Ulkus dekubitus merupakan salah satu
komplikasi yang sering terjadi. Sebagai
pencegahan, harus dilakukan positioning,
posturing, dan teknik transfer yang tepat
minimal lx/hari. Pencegahan tromboemboli juga hal yang penting untuk diperhatikan dengan cara perubahan posisi dalam
waktu 48 jam terutama pada tungkai
bawah dan memperhatikan antikoagulan
yang telah/sedang diberikan. Pemakaian
stocking anti trombotik juga dapat bermanfaat pada masalah -masalah tertentu. -
3. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabilitatif tahap Kronik (Saat Rawat j a lan)
Pada stroke tahap kronik pada umumnya
sudah terbentuk reorganisasi sistem
saraf yang kuat (established), baik yang
berdampak positif, yang negatif. Pada
tahap ini, tata laksana didasarkan pada
adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang ada.
Manajemen rehabilitasi yang dilakukan
umumnya meliputi:
® Memaksimalkan kemampuan fungsional/melakukan tugas/aktivitas tertentu.
® Kebugaran kardiorespirasi. Pasien
harus mendapat program latihan
penguatan dan aerobik regular yang
disesuaikan dengan komorbiditas dan
keterbatasan fungsi pasien dan telah
melewati exercise testing sebelumnya.
® Persiapan kembali ke tempat kerja. Pekerja pascastroke harus diberi kesempatan untuk mendapat pelatihan
ketrampilan yang diperlukan kembali
serta kesempatan bekerja yang fleksibel.
® Kembali ke masyarakat. Pasien stroke
dengan risiko jatuh di komunitas
harus mendapat intervensi komprehensif, seperti program exercise
spesifik perindividu untuk mencegah
atau mengurangi kejadian dan keparahan akibat jatuh.
NEURORESTORASI PADA AFASIA
Pada tahap akutsampai dengan tahun pertama
pascacedera otak, kelompok keluaran baik
memperlihatkan peningkatan aktivitas pada
area sekeliling lesi di hemisfer dominan
yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan
aktivitas di area homotopik hemisfer nondominan. Adapun pada kelompok keluaran
buruk dijumpai hal yang berlawanan, yaitu
peningkatan aktivitas lebih banyak pada
area homotopik hemisfer non-dominan. Pada
tahap kronik, proses pemulihan berlangsung
lebih lambat dan terjadi secara gradual. Pada
kelompok keluaran baik, terjadi peningkatan
aktivitas kompensasi gradual pada area
homotopikterutamadaerahfrontaldantalamus
di hemisfer nondominan. Pada kelompok
keluaran buruk, terjadi pula peningkatan
aktivitas di hemisfer nondominan, namun
dengan intensitas yang jauh lebih rendah. 01 eh
sebab itu, upaya neurorestorasi afasia perlu
memperhatikan onset (tahap akut/kronik) dan
fungsi area/hemisfer yang perlu diaktifkan
atau dideaktivasi.
Dasar strategi upaya neurorestorasi afasia
dapat memakai alternatif dan gabungan
strategi alternatif sebagai berikut:
a. Mengembalikan fungsi bahasa dan
bicara, dengan fokus pada modalitas
yang terganggu (language impairedbased treatment).
b. Membantu restorasi modalitas bahasa
yang terganggu dengan modalitas
bahasa lain yang masih intak.
c. Mengompensasi gangguan bahasa
yang ada dengan memakai modalitas fungsi luhur/kognitif yang lain.
d. Partisipasi aktif dari caregiver dan
pemakaian aplikasi dan teknologi
stimulasi bahasa khusus.
Dalam menentukan teknis menjalankan
strategi ini meliputi pemilihan program,
penjadwalan, skala prioritas, dan aspek lainnya diperlukan komunikasi, koordinasi, dan
evaluasi yang baik antara dokter, terapis,
caregiver, dan keluarga pasien,
A. Language Impairment-Based Treatment
Yang termasuk ke dalam strategi berbasis fokus pada modalitas bahasa yang
terganggu ini yaitu :
1. Terapi Modalitas Bahasa dari Aspek
Neurokognitif
a. Terapi untuk gangguan membaca
b. Terapi untuk gangguan menulis