ab lain adalah fibrosis akibat radiasi dan gangguan saraf
otonom.
Table 9. Gambaran klinis obstruksi saluran cerna:
Obstruksi rendah Obstruksi tinggi
Nyeri perut ++ +
Pembengkakan perut ++ +
Frekuensi muntah + ++
Volume muntah ++ +
Bahan muntah Bisa disertai Feses Makanan yang belum
dicerna
Jenis muntah Disertai mual Tiba tiba setelah makan/
minum
mual minimal/-
Kemampuan untuk minum + walaupun pada obstruksi Cepat kenyang/penuh
total +
Gambaran foto abdomen Gambaran gas dan cairan ++ ++
Gambaran laboratorium Gambaran cairan dan
elektrolit +
Tata laksana:
Atasi pemicu dasar:
Obstruksi tunggal pada pasien tanpa asites dan karsinomato-
sis yang luas bisa dipertimbangkan untuk operasi
Medikamentosa :
1. Ditujukan untuk mengurangi mual, muntah dan nyeri
2. Bila terjadi kolik, gunakan obat untuk mengurangi sekresi
dan antispasmodik seperti hyosine butylbromide
3. Obat laksatif yang merangsang peristaltik dan obat prokine-
tik harus dihentikan
4. Laksatif pelunak feses diberikan pada obstruksi parsial
5. 1/3 pasien mengalami perbaikan dengan sendirinya,
tunggu 7 – 10 hari
6. Bila tidak ada perubahan, berikan dexametason 10 mg SK
atau methylprednisolon 40 mg IV dalam 1 jam.
7. Bila hyoscine butylbromide gagal menghentikan muntah,
berikan octreotide untuk mengurangi distensi, muntah dan
nyeri.
8. Ranitidin 300 mg 2x/hari mengurangi sekresi lambung
9. Haloperidol 0,5 – 2,5 mg PO/SC 2x/hari untuk mengurangi
muntah
10. 5HT-receptor antagonis diperlukan karena tekanan intralu-
minar akan menghasilkan 5HT dan merangsang muntah
Non Medikamentosa:
Kurangi cairan parenteral untuk menurunkan sekresi
intralu-miner yang menyebabkan muntah dan distensi.
Cairan oral untuk obstruksi atas 500ml/24 jam, sedang
untuk obstruksi bawah 1000ml/24jam.
GANGGUAN FUNGSI HATI AN ENCEFALOPATI
Gangguan fungsi hati berat yang menuju ke gagal hati dapat
terjadi pada pasien dengan metastase hati atau obstruksi
saluran empedu. Namun dapat juga terjadi karena obat, radia-
si, infeksi virus, sumbatan vena hepatika akibat trombosis.
Keadaan yang dapat memacu encefalopati adalah kenaikan
produksi ammonia, hipovolemia, gangguan metabolism, obat
yang menekan SSP, kelebihan protein, pemberian diuretik,
infeksi, perdarahan, uremia.
Gejala gagal fungsi hati meliputi kenaikan enzim hati, ikterik,
asites, gatal, penurunan albumin, peningkatan INR dan ense-
falopati. Konsentrasi albumin dan INR menggambarkan
kapasi-tas metabolik. Pada gangguan fungsi hati berat
turunkan dosis obat sampai 50%.
Tata laksana: Bila keadan ini terjadi pada stadium terminal,
prinsipnya adalah kenyamanan pasien. Pada encefalopati
hentikan obat-obat yang memacu timbulnya gejala encefalopa-ti,
batasi diet protein dan lactulose 30mg/8 jam untuk menurun-kan
produksi ammonia. Halusinasi dan psikosis obati dengan
haloperidol dan chlorpromazine. Pada pasien terminal penggu-
nan obat yang menekan SSP tidak menjadi kontraindikasi.
ASITES KEGANASAN
Bentuk asites transudatif atau eksudatif dapat terjadi pada
pasien kanker. Penanganan kedua bentuk asites berupa
parasintesis abdomen, bila menyebabkan rasa tidak nyaman
atau mengganggu gerakan diafragma. Parasintesis dilakukan
perlahan-lahan selama beberapa jam untuk menghindari gang-
guan volume pada sirkulasi darah. Pada dasarnya volume cairan
yang dikeluarkan hanya sebatas menghilangkan rasa tidak
nyaman agar tidak terlalubanyak protein yang hilang. Prosedur
ini mungkin perlu dilakukan berulang kali, karena biasanya cepat
terjadi akumulasi lagi. Diuretik dapat mengu-rangi asites,
terutama jika terjadi hipoproteinemia atau gagal jantung stadium
lanjut. Obat yang digunakan adalah:
19. Spironolacton 25 mg – 450 mg PO dalam dosis terbagi
20. Furosemide 40mg - 80 mg PO
Awasi gangguan elektrolit yang bisa muncul karena penggu-
naan diuretik dan koreksi bila perlu
3. GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN
Gangguan pernafasan merupakan salah satu keluhan yang
sangat mengganggu pasien dan keluarganya. Prinsip pena-
nganannya seperti keluhan yang lain, yaitu mengatasi penye-
babnya bila mungkin dan simtomatis untuk memberi
kenyamanan pasien dan mengurangi kecemasan keluarga.
SESAK NAFAS
Sesak nafas merupakan gejala yang menakutkan pasien,
karena dihubungkan dengan waktu kematian yang sudah
dekat. Sesak nafas dapat merupakan gejala kronis seiring
dengan progresifitas penyakit, namun bisa juga merupakan
gejala akut.
Sesak nafas akut merupakan gejala yang biasanya lebih
dapat diatasi dibanding dengan sesak nafas yang terjadi
secara kronis. Menentukan faktor yang bersifat reversible
sangat bermanfaat dalam penanganan sesak nafas.
Penilaian sesak nafas terhadap pasien melalui anamnesa
meliputi:
1) Tingkat beratnya sesak nafas: ringan, sedang, berat
2) Akut atau kronik
3) Frekwensi sesak nafas
4) Kualitas sesak nafas: kesulitan inspirasi/ ekspirasi
5) Faktor yang memperberat atau memperingan
Selain itu, perlu diketahui pengertian pasien terhadap gejala
ini, efek yang timbul akibat sesak nafas nafas dan beratnya
efek tersebut dan dampaknya terhadap fungsi tubuh.
Kelainan yang mendasari mungkin dapat diketahui melalui hal
hal di bawah ini:
1) Riwayat penyakit dahulu dan sekarang (penyakit paru atau
jantung, kelemahan muskuler akibat kaheksia atau
penyakit motor neuron, metastase paru)
2) Pemeriksaan fisik: bronkokonstriksi, efusi plesura, gagal
jantung atau gangguan diafragma
3) Pemeriksaan lain: foto toraks, saturasi oksigen dan analisa
gas darah
4) Respon terhadap pengobatan yang diberikan.
Karena pemicu nya sering multifaktorial, kadang sulit
diatasi. Sesak nafas dapat disebabkan karena beberapa
kondisi berikut :
1) Obstruksi jalan nafas: tumor yang menyebabkan obstruksi
intrinsik atau ekstrinsik, kelumpuhan laring, striktur akibat
radiasi
2) Penurunan volume paru: efusi pleura, pneumotoraks,
tumor, paru yang kolaps, infeksi, asites
3) Kekakuan paru: edema paru, fibrosis, limfangitis karsnoma-
tosis
4) Penurunan pertukaran gas: edema paru, fibrosis, limfangitis
karsinomatosis, emboli, trombus, ganguan sirkualsi paru
5) Nyeri: pleuritik, infiltrasi dinding dada, fraktur costa atau
vertebra
6) Gangguan neuromuskuler: paraplegia, kelumpuhan nervus
frenikus, kaheksia, paraneuroplastik sindrom
7) Gagal jantung kiri
8) Ventilasi yang meningkat: cemas, anemia, masidosis meta-
bolik
Tata laksana:
Atasi pemicu :
a. Kanker: radiasi, kemoterapi
b. Efusi pleura: pungsi, pleurodosis
c. Penyempitan bronkus:stent
d. Anemia: transfusi
e. Penyakit penyerta seperti kelainan jantung atau kelainan
paru
f. Infeksi: antibiotik
Non Medikamentosa:
a. Dukungan psikososial: bahas tentang kecemasan dan
ketakutan dengan mendengarkan secara aktif, pemberian
penjelasan dan yakinkan.
b. Atur posisi nyaman
c. Ajarkan cara menggunakan dan menyimpan energi
d. Fisioterapi: cara bernafas
e. Relaxasi: terapi musik, aromaterapi
f. Aliran udara segar: buka jendela, fan
Medikamentosa:
a. Opioid: morfin menurunkan sensasi sesak nafas tanpa
menyebabkan depresi pernafasan. Untuk pasien yang
belum pernah mendapatkan opioid, berikan IR mofin 2.5 –
5 mg PO atau morfin 1 – 2.5 mg SK. Jika berlanjut SR 10
mg/24 jam secara teratur.
Pada pasien yang telah mendapat morfin sebelumnya,
berikan dosis 1/12 -1/6 dosis dasar. Bila berlanjut, naikkan
dosis dasar 30 – 50%.
b. Oksigen: bila terjadi hipoksia
c. Cemas dan panik: Alprazolam 0,125 PO 2x sehari atau
klonazepam 0,25 PO 2x/hari atau diazepam 2 mg PO, 2x
sehari. Bila tidak berhasil: midazolam 2.5 mg SC
d. Nebulizer: gunakan saline
e. Bronkodilator: salbutamol bila terjadi obstruksi
f. Korticosteroid: pada limfangitis karsinomatosa, obstruksi
bronkus atau pneumonitis radiasi
g. Diuretik: Gagal Jantung Kongestif dan edema paru
h. Antikolinergik: untuk sekresi yang berlebihan.
Tabel 10.
HARAPANHIDUP Beberapa tahun Beberapa Beberapa Beberapa
bulan – 1 th minggu – hari –
1 bulan beberapa
Intervensi minggu
Radiasi/kemoterapi + - -
Obati pemicu Torakosintesis/pleurodesis/pungsi + - -
pleura dengan kateter + - -
Terapi bronkoskopi
Bronkodilator, diuretik, steroid, + - -
antibiotik, transfusi
Simptomatik + + +
O2 bila hipoksia
Benzodiazepin mulai dengan + + +
lorazepam 0,5 mg tiap 4 jam + + +
Opioid (pada opioid naive: 2,5 mg PO + + +
tiap 4 jam)
Non Medikamentosa + + +
Pendidikan, dukungna emosional, Kurangi
psikososial sekresi yang
berlebihan:
Scopolamai
n 0,4 mg
sk/4 jam
Atropin 1%
tetes mata
SL /4 jam
Hindari
ventilator
Batasi
cairan
Berikan
dosis kecil
diuretik
BATUK
pemicu batuk yang terbanyak pada pasien paliatif adalah:
a. Penyakit penyerta: asma Bronkial, infeksi, COPD, CHF
b. Kanker paru atau metastase paru,
c. Efusi pleura
d. Aspirasi, gangguan menelan
e. Limfangitis karsinomatosis
f. Gangguan saraf laring dan Sindrom Vena Cava Superior
Medikamentosa :
Batuk dengan sputum: nebulizer salin, bronkodilator, fisiotera-
pi
Batuk kering: codein atau morfin
Oksigen rendah untuk batuk karena emfisema
Cortikosteroid: untuk batuk karena tumor endobronkial, limfan-
gitis, pneumonitis akibat radiasi
CEKUKAN (HICCUPS)
pemicu antara lain:
a. Distensi gaster
b. Iritasi diafragma
c. Iritasi nervus vagus atau nervus frenikus
d. Gangguan metabolic: uremia, gangguan fungsi hati
Tata laksana:
Atasi Dasar pemicu :
Distensi abdomen: metochlopromide jika tidak ada kontrain-
dikasi
Non Medikamentosa:
Stimulasi faring dengan air dingin
Medikamentosa:
a. Haloperidol 0,5 mg – 5 mg/hari
b. Baclofen 3x 5mg, dosis sesuaikan pada gangguan ginjal
c. kortikosteroid
BATUK DARAH (HAEMOPTYSIS)
pemicu batuk darah pada pasien paliatif adalah:
a. Erosi tumor
b. Infeksi
c. Emboli paru atau ganguan pembekuan darah
Tata laksana:
a. Atasi pemicu bila memungkinkan
b. Perdarahan ringan yang terlihat pada sputum tidak
memerlu-kan tindakan spesifik
c. Bila perdarahan berlanjut: asam transeksamat min 3 x 1gr
– 1.5 g/hari, pertimbangkan radiasi.
d. Pada perdarahan massif, tindakan invasive tidak layak
dilakukan. Berikan midazolam 2,5 mg- 10 mg SK untuk
mengurangi kecemasan dan rasa takut.
e. Gunakan kain/handuk berwarna gelap untuk menampung
darah yang keluar agar pasien/keluarga tidak takut
4. FATIGUE/ KELEMAHAN
Kelemahan umum dan cepat lelah adalah keluhan yang
banyak dijumpai pada pasien paliatif. Hal ini sangat mempe-
ngaruhi kualitas hidup pasien. Bagi keluarga, timbulnya
keluhan ini sering diinterpretasikan bahwa pasien menyerah.
pemicu fatik bermacam macam, seperti gangguan elektrolit,
gangguan tidur, dehidrasi, anemia, malnutrisi, hipoksemia,
infeksi, gangguan metabolism, penggunaan obat dan modali-tas
pengobatan lain seperti kemoterapi atau radiasi, komorbidi-tas,
progresifitas penyakit dan gangguan emosi.
Tata laksana:
a. Koreksi pemicu yang dapat dikoreksi: gangguan tidur,
gangguan elektrolit, dehidrasi, anemia, infeksi
b. Review penggunaan obat
c. Non medikamentosa : Olahraga, fisioterapi dan okupasional
terapi akan menambah kebugaran, meningkatkan kualitas
tidur, memperbaiki emosi dan kualitas hidup.
d. Medikamentosa : dexametason 2 mg pagi hari. Bila dalam
5 hari tidak menunjukkan perbaikan, hentikan.
Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus fatigue yaitu
dengan relaksasi, endurance exercise dan save energy for
ADL
5. GANGGUAN KULIT
PRURITUS
Gatal adalah keluhan yang mengganggu. Tidak semua gatal
berhubungan dengan pelepassan histamin. Gatal akibat
uremia atau kolestasis, serotonin dan prostaglandin mungkin
juga terlibat.
pemicu :
a. Gangguan fungsi hati dan ginjal
b. Alergi obat/makanan
c. Obat: oipioid atau vasodilator
d. Penyakit endokrin
e. Kekuarangan zat besi
f. Limfoma
g. Rangsangan sensori: baju yang kasar
h. Parasit
i. Faktor psikologi
Tata laksana:
a. Atasi pemicu nya
b. Hentikan obat pemicu seperti rifampicin, benzodiazepin
c. Gunakan pelembab kulit
d. Jangan gunakan sabun mandi
e. Jaga kelembaban ruangan
f. Obat: antihistamin klorfeniramin 4 mg, cholesteramin 4 – 8
mg/hari,
KERINGAT BERLEBIHAN (HYPERHYDROSIS)
Keringat berlebihan disebabkan oleh berbagai macam hal
seperti udara yang panas, gangguan emosi (keringat di axial,
telapak tangan atau kaki), lymphoma, metastase hati, dan
karsi-noid (keringat malam), infeksi dan obat obatan.
Penatalaksanaan:
a. Hilangkan pemicu nya.
b. Medikamentosa :
• NSAID: diclofenac bekerja melalui prostaglandin di
hypo-thalamus
• Cimetidin 400mg – 800mg malam hari bekerja melalui
reseptor histamine di kulit
• Deksametason
• Parasetamol untuk keringat malam
DEKUBITUS
Kerusakan kulit banyak dijumpai pada pasien stadium lanjut
akibat iskemia yang disebabkan hal hal seperti : tekanan, ge-
sekan, perawatan yang tidak benar, urin atau feses atau infek-
si. Jaringan yang rapuh disebabkan oleh penurunan berat
badan, ketuaan, malnutrisi, anemia, edema, kortikosteroid,
kemoterapi, radiasi. Imobilitas dan gangguan sensori juga
menyebabkan kerusakan kulit yang lebih mudah.
Tingkatan dekubitus:
Tingkat 1 kulit intak, eritema, pembengkakan/ indurasi
jaringan lunak
Tingkat 2 kulit pecah, ulcerasi dangkal sampai ke lapisan
epidermis/dermis
Tingkat 3 ulcerasi sampai ke jaringan ke subkutan, terdapat
jaringan nekrotik
Tingkat 4 ulserasi sampai ke fasia, otot atau tulang
Pencegahan:
a. Identifikasi pasien dengan resiko tinggi
b. Jaga kebersihan kulit dan kulit harus kering
c. Hindari trauma: bila mengeringkan kulit jangan dengan cara
digosok, hindari memijat dengan keras, menggeser pasien,
pakaian basah, kontaminasi feses atau urin, pakaian atau
alas tidur yang kasar, kelebihan cahaya, sabun yang keras
dan mengosok dengan alkohol
d. Gantikan posisi badan dan gunakan kasur anti dekubitus
e. Perhatikan pemakaian obat: kortikosteroid, sedasif, analgesik
Tata laksana
a. Bersihkan dengan larutan salin
b. Debridement: enzyme, larutan hidrofilik
c. Memacu tumbuhnya jaringan (superficial: membran
semiper meabel, dalam: larutan hydrokoloid impermeabel)
d. Antibiotik sistemik bila ada infeksi
e. Analgetik bila terdapat nyeri
f. Menghilangkan bau: metronidazole.
LUKA KANKER
Luka kanker banyak dijumpai pada kanker payudara, dan
kanker pada kepala –leher
Tata laksana :
a. Antikanker: radioterapi radiasi paliatif sangat bermanfaat
untuk mengurangi gejala yang ada
b. Terapi topikal: Dressing secara teratur dan sering sangat
diperlukan untuk menjaga kebersihan, tetap kering dan
bebas infeksi. Rendam dengan air hangat atau waktu
mandi. Pada luka bersih gunakan saline. Pada jaringan
mati gunakan campuran hidrogen peroksida dan salin atau
larutan enzim. Pada luka infeksi gunakan antiseptik. Henti-
kan perdarahan dengan alginte atau dengan adrenalin
yang diencerkan. Pada luka yang berbau berikan
metronidazole 400 mg/ 8 jam PO.
LIMFEDEMA
Resiko untuk terjadinya limfedema meningkat pada pasien
dengan operasi di daerah aksilla atau inguinal, infeksi paska
operasi, radioterapi dan metastase di kelenjar getah bening di
aksial, inguinal, pelvis dan retroperitoneal.
Gejala klinis limfedema meliputi rasa berat, menekan, seperti
pecah, nyeri karena proses inflamasi, pleksopati dan peregan-
gan. Gangguan fungsi yang ditimbulkan dan perubahan body
image serta pemakaian baju dan sepatu dapat menyebabkan
gangguan psikologis yang perlu diperhatikan.
Tata laksana meliputi:
1. Perawatan kulit:
Kelembaban kulit perlu dijaga agar tidak mudah pecah dan
infeksi. Kulit harus kering, terutama perhatikan bagian
lipatan. Penggunakan lanolin dan krim yang mengandung
parfum harus dihindari untuk mencegah dermatitis kontak.
2. Positioning: letakkan bagian yang mengalami limfedema
pada posisi horisontal dengan memberi bantalan agar
nyaman.
3. Gunakan bandage dengan tekanan ringan
4. Anjurkan untuk melakukan latihan ringan. Bila latihan aktif
tidak memungkinkan, latihan pasif akan bermanfaat.
5. Massage dan penggunaan Kompresi Pneumatik konsultasi-
kan dengan bagian rehabilitasi medik
6. Pengobatan terhadap infeksi dengan antibiotic. Bila ada
infeksi jamur harus diobati secara adekuat
7. Obat untuk mengurangi gejala:
• Analgetika seperti parasetamol, NSAID atau opioid
sesuai penilaian.
• Kortikosteroid: dexametazone 4 – 8 mg o.d selama 1
minggu. Bila bermanfaat, lanjutkan 2 – 4 mg/ hari.
• Diuretik hanya bermanfaat jika ada gangguan jantung
dan vena Mulai dengan furosemid 20 – 40 mg sekali
sehari
Tata laksana rehabilitasi medik pada limfedema sangat
spesifik , sehingga bila ada limfedema lebih baik dirujuk ke
dokter rehabilitasi medik utk penanganan yang benar dan
baik.
6. GANGGUAN SISTEM SALURAN KEMIH
HEMATURIA
Penyebeb hematuria pada pasien dengan kanker adalah :
a. Infeksi : sistitis, prostatitis, uretritis, septikemia
b. Malignansi : tumor primer atau sekunder
c. Iatrogenic : nefrostomi, pemasangan stent, atau kateter,
emboli
d. Gangguan hemostasis
e. Penyakit ginjal
f. Urolitiasis
Penatalaksanaan sesuai pemicu yang ada. Jika perda-
rahan ringan, intervensi khusus sering tidak diperlukan. Pada
perdarahan berat, kateter khusus diperlukan untuk
mengeluar-kan bekuan darah. Pencucian vesika urinaria
dilakukan secara kontinu.
FREKWENSI/URGENCY
pemicu frekuensi adalah poliuri, inflamasi, kapasitas vesika
urinaria yang menurun, hiperaktivitas detrusor dan obstruksi
traktus urinarius bawah. Volume yang berlebihan atau vesika
urinaria yang tidak normal menyebabkan urgensi.
Tata laksana:
a. Antikolinergik: oxybutynin 2.5 – 5 mg oral/ 6-8 jam
b. Hyoscine butylbromide 30 – 180 mg/24 jam infus SC
c. Phenazopyridin (efek anestesi lokal): 100 – 200 mg PO/
8 jam
INKONTINENSIA URIN
Inkontinensia urin banyak terjadi pada pasien stadium lanjut
yang menyebabkan iritasi serius pada kulit dan perineum.
pemicu :
Overflow inkontinensia
Obstruksi Vesika Urinaria akibat infiltrasi sel kanker, hiper-
tropi prostat, faecal impaction, striktura, Gangguan detrusor
efek samping antikolinergik, gangguan saraf spinal, somno-
lence, bingung, demensia, kelemahan umum.
Stress inkontinensia
Gangguan saraf spinal atau sacral, Insufisiensi sphincter
infiltrasi kanker,
Urge inkontinensia
Operasi, menopause, multipara
Poliuria, infeksi, inflamasi, infiltrasi, Hiperaktifitas detrusor
radiasi, kemoterapi
Gangguan SSP atau saraf spinal, dan
Continues inkontinensia
kecemasan
Infiltrasi, operasi, radiasi Fistula
Tata laksana:
a. Atasi pemicu
b. Cara umum :
• Mempermudah akses ke toilet
• Bantu untuk dapat menggunakan fasilitas yang ada
• Buang Air Kecil (BAK) secara teratur
• Hindari cairan yang berlebihan
• Evaluasi obat yang digunakan
• Kateterisasi
• Perawatan kulit
c. Obat penghambat alfa: prazosin 0,5 – 1 mg PO/12 jam
• Kolinergik: bethanecol 5 – 30 mg PO/ 6 jam
• Adrenegik: ephedrine 25 – 50 mg PO/8 jam
• Antidepresant
Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus gangguan buang
air kecil yaitu dengan bladder training.
7. GANGGUAN HEMATOLOGI
ANEMIA
Anemia Penyakit Kronis (Anaemia Chronic Disorder) disebab-
kan oleh supresi produksi eritropuitin dan eritropoisis yang diatur
interleukin-1. Selain itu, produksi transferin yang tergang-gu
menyebabkan kemampuan untuk menyimpan zat besi dan
kemampuan hidup sel darah merah menjadi lebih pendek.
Tabel 11. Perbedaan anemia penyakit kronis dan anemia
defisiensi besi :
Laboratorium Normal Defisiensi besi ACD
Gambaran darah tepi Normositik- Mikrositik hipokromik Normositik
normokromik Meningkat/ normal normokromik/
tinggi hipokromik
TIBC (mcrmol/L) 45 – 75 Rendah/ sangat rendah Rendah/norm
al rendah
Plasma Iron (mcrmol/L) 14 – 31 Rendah Rendah
Plasma feritin (microg/L 17 – 230 Meningkat/nor
mal tinggi
Tata laksana
Obati pasien BUKAN hasil laboratoriumnya. Lemah dan cepat
lelah bisa dikarenakan oleh anemia atau kankernya sendiri.
Transfusi darah dianjurkan pada pasien dengan kelemahan
dan cepat lelah bila terdapat anemia. Sebagai alternatif, guna-
kan epoetin 150-300 IU/kg SC 3x seminggu. Pasien dengan
cadangan bone marrow yang adekuat (neutrofil >1,5 x 10 9
dan platelet > 100.00) akan memberi respon yang baik,
dengan kenaikan >1g/dl dalam 4 minggu.
PERDARAHAN
Perdarahan terjadi pada 20% pasien kanker stadium lanjut
dan menyebabkan kematian pada 5% pasien. Perdarahan
internal lebih sering terjadi. Hematom yang banyak dan
perdarahan pada gusi dan hidung serta perdarahan
gastrointestinal menun-jukkan lebih kepada gangguan platelet
sedang perdarahan pada persendian atau otot lebih mengarah
kepada defisiensi salah satu faktor pembekuan. Pada pasien
kanker, dapat terjadi kenaikan Prothrombin Time dan APTT
akibat ganguan fungsi hati berat, defisiensi vit K dan koagulasi
intravaskular diseminata .
Trombositopenia
Trombosit 10.000 – 20.000 sangat jarang menyebabkan
perda-rahan massif (0.1%/hari). Sedang di bawah 10.000
resikonya meningkat menjadi 2%/hari. Sebagian besar
perdarahan masif terjadi pada trombosit di bawah 5.000.
Sedang resiko untuk terjadi perdarahan intrakaranial adalah
bila trombosit kurang dari 1000.
Trombositopenia juga dapat disebabkan oleh penggunaan
heparin (Heparin Induced Trombositopenia) bisa terjadi kurang
dari 4 hari setelah pemakaian heparin, namun biasanya antara 5
– 8 hari. Dianjurkan untuk menghentikan heparinisasi.
Bila trombosit kurang dari 5000, transfusi trombosit dapat
dilakukan bila keadaan pasien memungkinkan. Konsultasikan
dengan dokter hematologist/internist bila pemberian trombosit
direncanakan.
TROMBOSIS VENA DALAM (Deep Vein Thrombosys - DVT)
Kanker menyebabkan berlebihnya pembentukan tissue factor
(TF) dan menyebabkan hiperkoagulasi. DVT banyak ditemu-
kan pada pasien kanker paru, payudara, gastrointestinal.
teruta-ma pankreas dan SSP.
DVT sering tidak menimbulkan gejala pembengkakan dan
nyeri. Kadang menyerupai limfoedema atau penekanan vena
besar. Pada pasien yang kondisinya memungkinkan, USG
Doppler perlu dilakukan untuk mendiagnosa DVT.
Tata laksana:
a. NSAID
b. Kompresi dengan stocking
c. Pada DVT di tungkai bawah: Posisi tungkai lebih tinggi
d. Antikoagulan:
Pada pasien dengan resiko perdarahan tinggi seperti renal cell
karsinoma dan melanoma, pemberian antikoagulan adalah
kontraindikasi. Konsultasi dengan hematologist/internist diper-
lukan untuk pemberian antikoagulan.
Tata laksana rehabilitasi medik pada DVT diberikan sesuai
kondisi pasien
8. GANGGUAN SISTEM SARAF
KEJANG
Kejang dapat terjadi karena tumor primer atau metastase
otak, perdarahan, obat yang merangsang kejang atau
penghentian benzodiazepine, gangguan metabolism
(hiponatremia, uremia, hiperbilirubinemia) atau infeksi. Kejang
pada pasien stadium terminal dapat juga karena penyakit
yang sudah ada sebelum-nya.
Pada kejang yang bukan karena penyakit lama, gunakan:
Clonazepam 0.5 – 1 mg sublingual atau diazepam 5 – 10 mg
PR atau midazolam 2.5 – 5 mg SC.
Jika belum berhenti, berikan:
Phenobarbital 100 mg SC atau Phenytoin 15 – 20 mg/kg IV
lambat, maksimum 50 mg/menit.
Myoclonus adalah kejang yang tiba tiba, sebentar. Dapat
terjadi secara fokal, regional atau mulitfokal, unilateral atau
bilateral.
Gunakan diazepam 5mg PR lanjutkan 5 – 10 mg PR o.n atau
midazolam 5mg SC kalau perlu.
DISTONIA DAN AKATISIA AKUT
Distonia terjadi secara akut beberapa hari setelah pemakaian
obat. Bila karena metochlpromid, gantikan dengan domperi-
don dan berikan benzatropin 1 – 2mg IV. Ulang setelah 30
menit bila perlu. Dapat juga digunakan diphenhidramin 20 -50
mg IV diikuti 25 – 50 mg 2 – 4x/ hari
Penggunaan neuroleptik seperti haloperidol dan prochlorpera-
zin dapat memberi efek samping akatisia. Hentikan penye-
babnya bila mungkin. Gunakan obat seperti distonia atau
ditam-bah diazepam 5 mg bila memberi respon parsial.
Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus neuropati/defisit
neurologis dan myopati atau muscle spasm adalah dengan
memberi modalitas electrical stimulation (faradisasi atau
galvanisasi), strengthening dan endurance exercise, relaksasi,
muscle massage & stretching, propper body positioning
KOMPRESI SUMSUM TULANG BELAKANG
Adalah merupakan keadaan kegawat darurat yang memerlu-
kan tatalaksana yang adekuat. Terjadi pada 5% pasien kanker
stadium lanjut. pemicu nya antara lain penjalaran sel kanker
dari vertebra ke epidural, intradural metastase atau vertebra
yang kolaps. Terbanyak terjadi pada vertebra torakalis, diikuti
vertebra lumbalis dan servikalis. Nyeri, kelemahan
ekstremitas bawah, gangguan sensori dan kehilangan kontrol
otot sfingter adalah gejala kompresi tulang belakang.
Tata laksana:
a. Dexametasone 16 mg/ hari dalam beberapa hari kemudian
tapering off
b. Radioterapi
c. Dekompresi bila memungkinkan.
Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus metastase ke verte-
bra, dilakukan pemasangan spinal orthose (brace, korset)/ Tata
laksana rehabilitasi medik pada kasus immobilisasi lama
menyangkut semua sistem tubuh yang terganggu akibabat
immobilisasi lama (sindroma immobilisasi), yang merupakan
program kolaborasi dari dokter, fisioterapis, terapis okupasi dan
ortotis (bila diperlukan alat bantu ortosa).
9. GANGGUAN PSIKIATRI
DELIRIUM
Delirium adalah kondisi bingung yang terjadi secara akut dan
perubahan kesadaran yang muncul dengan perilaku yang
fluktuatif. Gangguan kemampuan kognitif mungkin merupakan
gejala awal dari delirium. Delirium sangat mengganggu
keluar-ga karena adanya disorientasi, penurunan perhatian
dan konsentrasi, tingkah laku dan kemampuan berfikir yang
tidak terorganisir, ingatan yang terganggu dan kadang muncul
halusi-nasi. Kadang muncul dalam bentuk hiperaktif atau
hipoaktif dan perubahan motorik seperti mioklonus.
pemicu delirium bermacam macam, seperti:
a. Gangguan biokimia: hiperkalsemia, hiponatremia,
hipoglike-mia, dehidrasi
b. Obat: opioid, kortikosteroid, sedative, antikolinergik,
benzodi-azeepin
c. Infeksi
d. Gangguan fungsi organ: gagal ginjal, gagal hati
e. Anemia, hipoksia
f. Gangguan SSP: tomor, perdarahan
Catatan:
Pada pasien dengan fase terminal, sering agitasi diartikan
sebagai tanda nyeri, sehingga dosis opioid ditingkatkan,
sehing-ga bisa meyebabkan delirium. Dalam hal ini mungkin
cara pemberian opioid perlu dirubah.
Precipitator: nyeri, fatik, retensi urin, konstipasi, perubahan
lingkungan dan stimuli yang berlebihan.
Tata laksana:
a. Koreksi pemicu yang dapat segera diatasi : pemicu
yang mendasari atau pencetusnya
b. Non Medikamentosa :
• Pastikan berada di tempat yang tenang, dan pasien
merasa aman, nyaman dan familier
• Singkirkan barang yang dapat membahayakan.
• Jangan sering mengganti petugas
• Hadirkan keluarga, dan barang barang yang dikenal
• Dukungan emosional
c. Medikamentosa :
• Haloperidol 0,5 mg- 2,5 mg PO/6 jam atau 0,5-1 mg
SK/6 jam, namun bisa diberikan setiap 30-60 menit
dengan dosis maksimal 20 mg/hari.
• Pada pasien yang tidak dapat diberikan haloperidol
karena efek samping
• Risperidone 0.5 mg- 2 mg Oral/hari dalam dosis terbagi
• Olanzepine 2.5 mg – 10 mg Oral/hari dalam dosis terbagi
• Benzodiazepine bila pemicu nya ensepalopati hepatik,
HIV
• Loarazepam 0,5 – 1 mg sublingual, tiap 1 – 3 jam atau
• Midazolam 2,5 – 5 mg SK tiap 1 – 3 jam.
DEPRESI
Harus dibedakan antara depresi dan sedih. Sedih adalah
reaksi normal pada saat seseorang kehilangan sesuatu. Lebih
sulit mendiagnosa depresi. Kadang diekspresikan sebagai
gangguan somatik. Kadang bercampur dengan kecemasan.
Kemampuan bersosialisasi sering menutupi adanya depresi.
Depresi adalah pemicu penderitaan yang reversibel.
Gejala psikologis pada depresi mayor`adalah:
a. Rasa tidak ada harapan/putus asa
b. Anhedonia
c. Rasa bersalah dan malu
d. Rendah diri dan tak berguna
e. Ide untuk bunuh diri yangterus menerus
f. Ambang nyeri menurun
g. Perhatian dan konsentrasi menurun
h. Gangguan memori dan kognitif
i. Pikiran negatif
j. Perasaan yang tidak realistik
Tata laksana :
a. Depresi ringan dan sedang: dukungan, empati, penjelasan,
terapi kognitif, simptomatis
b. Depresi berat:
Terapi suportif
Obat : SSRI selama 4 – 6 minggu. Bila gagal
Psikostimulan :
berikan TCA
methylpenidate 5 – 20 mg pagi hari
KECEMASAN
Cemas dan takut banyak dijumpai pada pasien stadium lanjut.
Cemas dapat muncul sebagai respon normal terhadap
keadaan yang dialami. Mungkin gejala dari kondisi medis,
efek samping obat seperti bronkodilator, steroid atau
metilfenidat atau reaksi fobia dari kejadian yang tidak
menyenangkan seper-ti kemoterapi.
Kecemasan pada pasien terminal biasanya kecemasan
terhadap terpisahnya dari orang yangdicintai, rumah, peker-
jaan, cemas karena ke tidakpastian, menjadi beban keluarga,
kehilangan control terhadap keadaan fisik, gagal menyelesai-
kan tugas, gejala fisik yang tidak tertangani dengan baik,
karena ditinggalkan, tidak tahu bagaimana kematian akan
terjadi, dan hal yang berhubungan dengan spiritual.
Cemas ditandai oleh perasaan takut atau ketakutan yang
sangat dan dapat muncul dengan bentuk gejala fisik seperti
palpitasi, mual, pusing, perasaan sesak nafas, tremor, berke-
ringat atau diare.
Tata laksana:
NonMedikamentosa :
a. Dukungan termasuk mencari dan mengerti kebutuhan dan
apa yang menjadi kecemasannya dengan mendengarkan
dengan seksama dan memberi perhatian pada hal- hal
yang khusus.
b. memberi informasi yang jelas dan meyakinkan bahwa
akan terus memberi dukungan untuk mencapai harapan
yang realistik.
c. Intervensi psikologi: distraksi untuk menghilangkan
kejenuh-an dan pikiran yang terpusat pada diri sendiri
d. Perawatan spiritual
Medikamentosa:
a. Benzodiazepin: diazepam, alprazolam, lorazepam
b. Penghambat Beta untuk mengatasi gejala perifer
C. TATALAKSANA AKHIR KEHIDUPAN
1. PERSIAPAN MENJELANG AKHIR KEHIDUPAN
(ADVANCED DIRECTIVE)
DUKUNGAN SOSIAL
Harapan Hidup Beberapa minggu sampai beberapa Beberapa hari sampai
Intervensi tahun beberapa minggu
1. Membantu 1. Caregiver 1. +
tersedianya 2. lingkungan yang aman 2. +
3. transportasi 3. -
4. pendidikan bagi caregiver 4. + tentang
5. dukungan bagi keluarga proses kematian
a. conseling, support 5. +
group
6. finansial 6. +
7. Respite 7. +
2. Melakukan 8. resiko bereavement 8. pengertian
assessment terhadap proses
9. personal, kultural, spiritual kematian
3. Melakukan diskusi yang berhubungan dengan
dan dukungan prognosis 9. yang
berhubungan
dengan kematian
4. Mempersiapkan
10. Kematian pasien
11. Anticipatory grief
12. Upacara
pemakaman
ADVANCED CARE PLANNING
Harapan Beberapa bulan sampai Beberapa minggu Beberapa hari
hidup beberapa tahun sampai bulan sampai beberapa
Intervensi minggu
Assessment 1. Diskusikan tentang 1. Konfirmasi 1. Pastikan telah
perawatan paliatif tentang menerima
2. Perkenalkan tim paliatif pilihan WASIAT
Harapan Beberapa bulan sampai Beberapa minggu Beberapa hari
hidup beberapa tahun sampai bulan sampai beberapa
Intervensi minggu
3. Kapasitas membuat tempat 2. LAKUKAN
keputusan dan kebutuhan untuk sesuai
4. Gali tentang nilai hidup dan meninggal dengan
keinginan untuk melakukan 2. Konfirmasi WASIAT
perawatan di waktu yad tentang 3. Klarifikasi
5. memberi informasi dokumen persetujuan
tentang WASIAT dan WASIAT keluarga
pilihan untuk tidak termasuk: 4. Tentang
melakukan resusitasi DNR, WASIAT tsb
6. Anjurakan untuk berdiskusi antibiotik,pe 5. Diskusikan
dengan keluarga tentang meriksaan jika keluarga
keinginan dan harapan darah, atau
7. Anjurkan untuk memilih ventilator, 6. Anggota tim
orang yang dipercaya untuk dialisis, tidak setuju
mewakili dirinya bila kondisi artificial 7. Dengan
tidak memungkinkan untuk nutrisi dan WASIAT tsb
mengambil keputusan hidrasi 8. Konfirmasi
8. Bicarakan tentang donasi 3. Pastikan tentang
organ semua keinginan
9. Telusuri tentang ketakutan dokumen 9. Donor organ
atau kecemasan tentang telah
kematian diterima
oleh
petugas
dimana ada
kemungkina
n sebagai
tempat
pasien akan
menghabisk
an waktunya
dan
meninggal
Harapan Beberapa bulan sampai Beberapa minggu Beberapa hari
hidup beberapa tahun sampai bulan sampai beberapa
Intervensi minggu
4. Membantu
memecahka
n massalah
yang timbul
antara
keluarga dan
pasien
5. Telusuri
tentang
ketakutan
dan berikan
dukungan
emosional
6. Diskusikan
tentang
keinginan
donor organ
2. PERAWATAN TERMINAL
Kebutuhan fisik Psikososial Lain lain
1. Pastikan kenyamanan 1. Pastikan keluarga 1. Pastikan adanya end of
pasien mengerti dan life policy dan lakukan
2. Perawatan kulit: jaga menerima WASIAT sesuai dengan policy
kelembaban, 2. Berikan dukun gan tsb
perawatan luka dan kepada keluarga untuk 2. Pastikan WASIAT telah
obat untuk nyeri menghentikan TPN, didokumentasikan
anticipative transfusi, dialisis, 3. Pastikan DNR telah
3. Perawatan mulut hidrasi IV, dan obat didokumentasikan dan
4. Tindakan untuk retensi yang tidak akan keluarga telah
urin dan faeces menambah menyetujuinya
5. Tidak melakukan test kenyamanan pasien 4. Berikan tempat
untuk diagnosa, 3. Siapkan bantuan tersendiri untuk
monitoring gula darah, sosial worker dan menjaga privasi
saturasi oksigen, rohaniawan 5. Fasilitasi untuk keluarga
suctioning 4. Berikan waaktu bagi yang akan berjaga
Kebutuhan fisik Psikososial Lain lain
6. Tidak melakukan keuarga untuk selalu 6. Berikan waktu untuk
pemeriksaan vital sign bersama pasien keluarga tnapa interupsi
7. Lakukan assessment 5. Pastikan KELUARGA 7. Fasilitasi untuk upacara
gejala setiap 4 jam TELAH pemakaman
8. Rubah rute pemberian DIINFORMASIKAN
obat jika per oral tidak TENTANG TANDA
dapat dilakukan TANDA KEMATIAN
9. Naikkan dosis jika dan berikan
diperlukan untuk pendampingan
mencapai kenyamanan 6. Berikan
10. Death ratlle : pendampingan
hypersekresi salifa Anticipatory
yang menimbulkan bereavement
suara: rubah posisi, 7. Dukungan bagi anak 2
kurangi cairan, berikan dan cucu dan beri
atropin 1% tetes mata mereka kesempatan
1 – 2 drop secara SL bersama pasien
11. Bila ada agitasi 8. Dukungan dalam
lakukan sedasi paliatif melakukan ritual
12. Siapkan untuk donor sesuai agama,
organ keyakinan dan adat
yang dianut
PALLIATIVE SEDATION (Dilakukan oleh dokter anestesi atau
dokter paliatif) :
a. Pastikan agitasi dan gelisah bukan karena: cemas, takut,
reten-si urin, fecal impaction, ataupun drug withdrwal.
b. Pastikan bahwa pasien memiliki gejala yang tidak dapat
dikon-trol dengan cara tata laksana sesuai pedoman oleh
tenaga ahli paliatif
c. Pastikan bahwa pasien dalam kondisi menjelang ajal ( prognosis
dibuat oleh sekurang kurangnya 2 dokter yang menyatakan
pasien akan meninggal dalam hitungan jam atau hari)
d. Diskusikan kembali aspek etika pemberian sedasi pada
pasien tsb, bahwa tujuannya bukan menghilangkan
nyawa/mengakhiri kehidupan
e. Dapatkan informed consent tentang sedasi dari pasien atau
keluarga
f. Jelaskan bahwa sedasi adalah memberi obat secara sunti-
kan yang bersifat kontinyu yang akan membawa pasien pada
kondisi tidak sadar
g. Jelaskan bahwa pemberian sedasi dibarengi dengan penghen-
tian life prolonging therapies dan tidak dilakukannya CPR
Obat yang digunakan:
a. Clonazepam 0,5 mg, SC atau IV setiap 12 jam atau 1 – 2
mg/24 jam dalam infus, titrasi
b. Midazolam 1 – 5 mg SK setiap 2 jam atau 30 mg/24 jam
dalam infus, titrasi
c. Diazepam 5 – 10 mg IV atau 10 – 20 mg PR, titrasi
d. Lorazepam 1 – 2,5 mg SL setaip 2-4 jam, titrasi
e. Bila gagal: phenobarbitone 100 – 200mg SK tiap 4 – 8 jam
titrasi dan berikan dalm infus 24 jam
3. PERAWATAN PADA SAAT PASIEN MENINGGAL
Kualitas meninggal:
a. Nyeri dan gejala lain terkontrol dengan baik
b. Ditampat yang diinginkan pasien, berada di tengah keluarga,
sesuai dengan kultur yang dianut dan sempat membuat
WASIAT
c. Hubungan sosial yang baik dan rekonsiliasi, tidak ada
masalah belum selesai.
d. Secara spiritual siap: didoakan, tenang, telah dimaafkan dan
memaafkan, percaya dan siap memasuki kehidupan yang akan
e. Memiliki kesempatan untuk menyampaikan selamat tinggal
f. Keluarga mendapatkan dukungan yang diperlukan
Intervensi:
a. Lepas semua alat medis yang masih terpasang
b. Perlakukan jenazah sesuai agama dan kultur yang dianut
c. Berikan waktu privat untuk keluarga
d. Persiapkan bila ada wasiat untuk donor organ
e. Siapkan Surat kematian dan dokumen lain yang diperlukan
untuk pemakaman
f. Tawarkan panduan untuk proses masa duka cita yang normal
g. Dukungan masa dukacita: menyampaikan dukacita secara
formal melalui lisan atau kartu
h. Siapkan atau menghadiri pertemuan keluarga setelah kema-
tian untuk debriefing
i. Identifikasi anggota keluarga yang memiliki masalah selama
masa bereavement dan berikan dukungan yang diberikan
j. Diskusikan resiko kanker dan pencegahan yang dapat dilakukan
Dukungan untuk petugas kesehatan
a. Diskusi tentang masalah pribadi yang mempengaruhi dalam
memberi perawatan bagi pasien
b. Ciptakan suasana aman dalam mendiskusikan kematian
pasien
c. Beri kesempatan untuk refleksi diri dan mengenang pasien
d. Mereview melalui catatan medis masalah medis yang berhu-
bungan dengan kematian
e. Diskusikan kualitas perawatan
f. Diskusikan respons keluarga terhadap kematian
g. Diskusikan respon petugas terhadap kematian
h. Lakukan ritual masa duka untuk petugas
i. Identifikasi petugas yang memiliki resiko terhadap masa duka
cita bermasalah
4. PERAWATAN SETELAH PASIEN MENINGGAL
RASA KEHILANGAN, BERDUKACITA DAN DUKUNGAN PADA
MASA BERKABUNG.
Berduka adalah sekumpulan emosi yang mengganggu yang
diakibatkan oleh perubahan atau berakhirnya pola perilaku yang
ada. Hal ini biasanya terjadi setelah seseorang kehilangan,
termasuk karena kematian. Rasa kehilangan bisa mulai dialami
pasien, keluarga, kerabat serta teman teman pada saat seseo-
rang mengalami penyakit. Kehilangan dapat berupa kehilangan
kesehatan, fungsi, mobilitas, potensi, harapan, mimpi dan akhir-
nya kehilangan kehidupan yaitu kematian. Dua puluh persen dari
rasa duka yang muncul akibat kematian bersifat patologis, yaitu
berupa gangguan kecemasan atau depresi yang
berkepanjangan atau berlebihan. Rasa berduka dipengaruhi oleh
siapa yang meninggal, kedekatan dengan yang meninggal,
pemicu kema-tian, pribadi dan kondisi sosial.
Tahap berduka meliputi shock, tidak percaya, penyangkalan,
marah, menimbang nimbang, depresi dan penerimaan.
Manifesta-si rasa duka bisa berupa ekspresi perasaan, distorsi
kognitif, gang-guan fisik dan gangguan perilaku.
Rasa duka yang patologis ditandai dengan hilangnya motivasi
dan munculnya tanda tanda depresi lain yang menetap seperti
putus asa, rasa bersalah dan penyesalan yang berlebihan, serta
munculnya keinginan untuk bunuh diri. Keinginan untuk bertemu
yang berlebihan dengan pasien yang telah meninggal dapat
meru-pakan tanda adanya duka patologis. Dalam hal ini,
konsultasi ke psikister diperlukan.
Hubungan dengan pasien yang telah meninggal dapat mem-
pengaruhi kemampuan keluarga untuk beradaptasi terhadap kondisi
yang ada. Hubungan yang baik dan dekat dapat menim-bulkan rasa
kehilangan, kesepian dan tidak berguna. Pada kondisi ini,
pendekatan yang diperlukan adalah membantu agar merasa
memiliki harga diri, percaya diri, rasa aman. Konseling pribadi atau
dukungan dari support group akan bermafaat dalam mengatasi hal
tersebut. Jika hubungan dengan pasien yang telah meninggal tidak
baik, masalah dapat timbul pada masa dukacita, misalnya
munculnya rasa penyesalan, sedih, rasa bersalah dan depresi yang
berkepanjangan. Dukungan pada kondisi seperti ini sangat
diperlukan misalnya dengan mengatakan bahwa mengeta-hui dan
dapat memahami apa yang dirasakan. Dorongan untuk dapat
memaafkan dan kembali bersosialisasi melalui dukungan dari
keluarga yang lain, teman atau support group diperlukan.
Tugas dari pelayanan paliatif adalah memberi dukungan,
agar rasa duka yang timbul tidak menjadi duka yang patologis.
Dukungan pada masa berkabung dilakukan pada saat pasien
meninggal dan pada saat pemakaman. Satu atau dua minggu
setelah pemakaman, follow up kepada keluarga yang
berdukacita perlu dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap
kemampuan mengatasi rasa kehilangan dan kemampuan
beradaptasi terhadap situasi baru, yaitu kehidupan tanpa pasien
yang telah meninggal. Follow up bisa sebaiknya dilakukan
dengan kun-jungan rumah, namun bila tidak memungkinkan bisa
dilakukan melalui tilpon.
Tujuan dukungan masa berkabung adalah:
a. Membantu agar keluarga bisa menerima kenyataan bahwa
pasien telah meninggal dan tidak akan kembali
b. Membantu agar keluarga mampu beradaptasi dengan situasi
dan kondisi baru
c. Membantu merubah lingkungan yang memungkinkan keluarga
dapat melanjutkan hidup tanpa pasien yang meninggal
d. Membantu keluarga agar mendapatkan kembali rasa percaya
diri untuk melanjutkan hidup