paliatif kanker 1



 

PROGRAM PALIATIF PADA  

PASIEN KANKER DEWASA 

 

Integrasi perawatan paliatif ke dalam penatalaksanaan kanker 

terpadu telah lama dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, 

seiring dengan terus meningkatnya jumlah pasien kanker sebagai 

akibat dari meningkatnya usia harapan hidup manusia. Di Indonesia, 

sebagian besar penyakit kanker ditemukan pada stadium lanjut, 

sehing-ga angka kesembuhan dan angka harapan hidup pasien kanker 

belum seperti yang diharapkan meskipun tata laksana kanker telah 

berkem-bang dengan pesat. Pasien dengan kondisi tersebut 

mengalami pende-ritaan yang memerlukan pendekatan terintegrasi 

berbagai disipilin ilmu agar pasien tersebut memiliki kualitas hidup 

yang baik dan pada akhir hayatnya meninggal secara bermartabat. Hal 

ini merupakan kebutuhan penting bagi kemanusiaan terutama untuk 

pasien dengan penyakit yang tidak bias disembuhkan.  

Program paliatif merupakan pendekatan yang efektif bagi pasien 

yang penyakitnya tidak dapat disembuhkan untuk mengurangi pende-

ritaan dan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya. Hai ini 

untuk mengantisipasi masalah yang mungkin timbul dan 

meminimalkan dampak dari progresifitas penyakit sehingga pasien 

dapat berfungsi semaksimal mungkin sesuai dengan kondisinya 

sebelum akhirnya meninggal.  

Pada pelayanan paliatif, pasien memiliki peran yang penting dalam 

membuat keputusan yang akan diambil. Tujuan pelayanan paliatif bagi 

setiap pasien berbeda dan dibuat dengan memperhatikan hal yang ingin 

dicapai oleh pasien bila memungkinkan, hal ini biasanya disampaikan 

dalam bentuk fungsi tubuh misalnya Aku ingin bisa melakukan….atau 

kejadian penting misalnya Aku ingin melihat anakku menikah. Secara 

umum pelayanan paliatif bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan gejala 

lain, meningkatkan kualitas hidup, memberi  dukungan psikososial dan 

spiritual serta memberi  dukungan kepada keluarga selama pasien 

sakit dan selama masa dukacita.  

Implementasi program paliatif di masyarakat dan fasyankes adalah 

 

dengan memperhatikan prinsip mampu laksana, optimal, efektif, efisien 

dan menitikberatkan pada kebutuhan serta kenyamanan pasien pada 

stadium lanjut. Petugas kesehatan harus dapat merubah pola pikir 

dengan mengedepankan pendekatan pelayanan paliatif tanpa menga-

baikan kuratif. 

 

Gambar 1. Program Paliatif 

 

 

Terapi Modifikasi Penyakit  

(Bertujuan Kuratif/Memperpanjang Usia) 

 


 

Diagnosis ditegakkan Sakit Kematian 

 

PROGRAM PALIATIF 

 

Keterangan :  

Modifikasi dari American Association Institute for Medical Ethics (1999). EPEC = 

Education For Physician On End Of Life Care. 

TATALAKSANA PALIATIF PADA  

PASIEN KANKER DEWASA 

 

Pada keganasan, perjalanan penyakit pada stadium awal lambat 

hingga pada stadium lanjut yang dapat berlangsung cepat hingga 

kema-tian. Intervensi atau pendekatan paliatif bersifat holistik meliputi 

empat kelompok masalah, yaitu :  

• Fisik – gejala atau keluhan fisik seperti nyeri, batuk, sesak nafas, 

letih, demam dan lain-lain 

• Psikologis – khawatir, takut, sedih, marah  

• Sosial – kebutuhan keluarga, isu makanan, pekerjaan, tempat 

tinggal dan hubungan interpersonal 

• Spiritual – pertanyaan tentang arti kehidupan dan kematian, kebu-

tuhan untuk damai. 

 

Untuk itu tatalaksana paliatif pasien kanker bertumpu pada 

pendeka-tan biopsikososial dan spiritual. Gejala fisik yang perlu 

ditatalaksana meliputi nyeri, sesak nafas, mual/muntah, diare, 

konstipasi, anoreksia, cemas, depresi,delirium, insomnia, perdarahan, 

luka kanker, dan gejala lain. 

 

a. KOMUNIKASI DAN ASPEK NON MEDIS  

1. KOMUNIKASI DAN PEMBUATAN KEPUTUSAN  

Komunikasi antara dokter dan petugas kesehatan lain dengan 

pasien dan keluarga serta antara pasien dan keluarga merupakan 

hal yang penting dalam perawatan paliatif. Pasien adalah pribadi 

yang harus dihargai haknya untuk mengetahui atau tidak mengata-

hui kondisi penyakitnya. Pasien juga merupakan individu yang 

berhak menentukan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya jika 

pasien masih memilki kompetensi untuk membuat keputusan. Pada 

fase akhir kehidupan banyak pasien yang tidak lagi mampu 

membuat keputusan, sehingga pembicaraan tentang apa yang akan 

atau tidak dilakukan sebaiknya diputuskan pada saat pasien masih 

memiliki kesadaran penuh. Walaupun demikian keluarga 

 

tetap dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam  

menyampaikan BERITA BURUK, hal hal berikut ini harus 

diperhati-kan: Apa, sejauh mana, kapan, dengan siapa dan 

bagaimana cara menyampaikan berita tersebut.  

Dalam hal ini, dokter dan petugas kesehatan lain harus memper-

hatikan kultur yang dianut pasien dan keluarga. 

 

2. KUALITAS HIDUP  

Meningkatnya kualitas hidup pasien kanker merupakan indikator 

keberhasilan pelayanan paliatif. Kualitas hidup pasien kanker 

diukur dengan Modifikasi dari Skala Mc Gill. Terdapat 10 

indikator yang harus dinilai oleh pasien sendiri. 

 

Tabel 1. Indikator penilaian kualitas hidup (Modifikasi Skala Mc Gill). 

 

INDIKATOR   NILAI 1-10  

    

Secara fisik saya merasa ........ Sangat buruk......... sangat baik  

     

Saya tertekan atau cemas Selalu.....................  tidak pernah  

     

Saya sedih Selalu......................  tidak pernah  

    

Dalam melihat masa depan Selalu takut............ tidak takut  

   

Keberadaan saya Tidak berarti tanpa tujuan ......sangat berarti dan 

 bertujuan      

    

Dalam mencapai tujuan hidup Tidak mencapai tujuan ...... mencapai tujuan 

       

Saya ..... Tidak dapat..........................   sangat dapat 

 mengontrol hidup saya    

      

Sebagai pribadi Tidak baik..........................   sangat baik  

     

Hari saya Sebagai beban...................   sebagai anugrah 

     

Saya merasa ..... Tidak mendapat dukunngan..... mendapat 

 dukungan penuh    

       

 

3. ASPEK PSIKOSOSIAL, SPIRITUAL DAN KULTURAL  

Menghadapi kenyataan bahwa memiliki penyakit yang dapat 

mengancam jiwa apalagi bila menyadari telah berada dalam fase 

teminal, tidaklah mudah diterima oleh penderita, keluarga dan 

bahkan juga oleh dokter yang menanganinya. Berbagai respon 

 

psikologik dapat timbul dalam keadan ini, seperti rasa tak 

berdaya, putus asa, sedih, takut, marah dan sebagainya.  

Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosio-kulturo-spiritual, unsur-

unsur badan, jiwa, lingkungan dan spiritual berada dalam suatu 

kesatuan. Pada seorang penderita kanker, seringkali bukan 

kematian yang ditakuti tetapi lebih kepada proses menuju kema-

tian. Perawatan penderita haruslah menyentuh semua demensi 

kehidupan ini, karena masing-masing dimensi akan selalu berinter-

aksi secara timbal-balik. Bayangan mengenai penderitaan dan saat 

akhir kehidupan, dapat mendominasi pikiran penderita dengan 

penyakit terminal. Keluhan fisik dan psikologis yang ada sering 

saling terkait dan menberikan efek negatif terhadap kuali-tas fisik 

serta memiliki peran yang penting terhadap kesejahteraan penderita 

dengan penyakit kanker stadium lanjut.  

Penyakit kanker adalah penyakit yang dikonotasikan akan 

berujung pada kematian. Pada fase awal penderita nampak 

seper-ti orang yang sehat namun umumnya mulai mengalami 

masa-lah-masalah yang berkaitan dengan masalah 

psikososiospiritual. Masalah-masalah ini bisa muncul pada saat :  

a. Melakukan pemeriksaan penunjang  

Ketika ada dugaan menderita kanker, beberapa penderita 

sudah mulai merasakan gangguan psikologis berupa cemas, 

sulit tidur, nafsu makan menurun dan penyangkalan sehingga 

seringkali berujung pada penolakan atau penundaan pemerik-

saan laboratorium. Hal ini terkadang berkaitan dengan masa-

lah-masalah finansial untuk melakukan pemeriksaan terkait 

dengan penyakitnya.  

b. Mengetahui diagnosis penyakit  

Ketika pasien mengetahui bahwa dirinya menderita kanker 

biasanya timbul distress. Timbul rasa marah kepada diri 

sendiri dan orang lain disekitarnya. Pada saat ini sangat 

penting bagi seorang dokter menguasai cara menyampaikan 

berita buruk agar dapat diterima pasien.  

c. Menjalani terapi  

Kebutuhan finansial, dukungan keluarga dan lingkungan 

sangat dibutuhkan selama menjalani terapi, namun kenyataan 

 

yang terjadi justru sebaliknya sehingga timbulberbagai masa-

lah psikososialspiritual. Efek samping dari obat-obatan yang 

dikonsumsi oleh penderita juga bisa mencetuskan gangguan 

psikiatrik.  

d. Penyakitnya mencapai tahap perawatan terminal  

Setiap manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan 

dasar dan dalam kondisi terminal kebutuhan ini akan semakin 

terasa. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain :  

• Bantu penderita mengatasi perasaannya sehingga dapat 

berdamai dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan 

dengan Tuhan.  

• Beri dukungan dengan mengarahkan untuk mengisi sisa 

hidupnya dengan melihat hal-hal yang bermakna bagi 

dirinya. 

 

ASPEK PSIKOSOSIAL  

Manifestasi gangguan psikososial yang timbul dapat 

bermacam-macam seperti gangguan cemas, depresi, perubahan 

perilaku, gangguan penyesuaian dengan berbagai keluhan 

penyerta, sampai kondisi gangguan jiwa berat. Hal tersebut tidak 

selalu mudah dievaluasi terutama pada pasien dengan 

gangguan kesadaran. Gangguan psikososial penderita kanker 

mencakup aspek yang sangat luas, baik yang bersumber pada 

kondisi penyakitnya, kepribadian, latar belakang kehidupan 

penderita, keluarga, budaya, agama dan sebagainya.  

Lakukan penilaian gangguan psikososial secara umum 

dengan menggunakan cara-cara sederhana yang lebih mengan-

dalkan observasi terhadap beberapa hal :  

• Keadaan mental-emosional dan hubungan interpersonal 

(termasuk hubungan dengan anggota keluarga dan orang lain) 

• Kemampuan fungsi sosial dalam kehidupan 

penderita sehari-hari 

• Kemampuan melakukan kegiatan yang bersifat rekreatif, hobbi  

• Penilaian terhadap faktor psikososial lain (finansial dan 

hubung-an antar anggota baik dalam keluarga maupun 

masyarakat, termasuk hubungan intim suami istri) 


Atas dasar hasil penilaian tersebut, rencanakan suatu strategi 

dan dukungan paliatif selanjutnya. Penting untuk dapat menilai 

apakah keluhan atau gejala tersebut masih dalam batas yang 

sesuai dengan stressor yang dialami pasien, ataukah sudah 

mencapai tahap psikopatologi lanjut. Penilaian ini dilakukan pada 

setiap kesempatan sambil berjalannya waktu dan strategi du-

kungannya juga disesuaikan dengan perkembangan selanjutnya. 

 

Tahapan psikologi pasien dalam menghadapi kondisi sakit  

Elisabeth Kubler-Ross mempostulasikan lima tahap yang 

dilalui pasien dalam menghadapi bayangan akan kematian, yang 

dapat bermanfaat untuk membantu memahami kondisi pasien  

dalam berbagai tahap tersebut, yaitu: 

a. Denial (penyangkalan)  

Adalah tahapan awal yang sering dialami oleh penderita 

terutama pada mereka dengan kepribadian mudah cemas. 

Penderita menyangkal tidak sakit ataupun bila mereka 

meneri-ma kondisi sakit tetapi menganggap sakitnya bukanlah 

penya-kit yang serius seperti kanker. Biasanya pikiran yang 

demikian ini akan menentramkan hati sesaat, dan berguna 

untuk menun-da kepanikan.  

Pada pasien yang belum dapat menerima kenyataan 

mengenai penyakitnya, harus dapat dipahami kondisi mental-

nya. Kesabaran dan ketulusan hati dalam mendampingi 

pasien yang sedang cemas akan sangat membantu 

menimbulkan rasa aman yang diperlukan pasien. 

 

b. Anger (marah)  

Tahap ini seringkali ditandai dengan sikap cepat tersing-

gung, banyak menuntut, mengkritik, mengomel, dll. Rasa 

marah ini bisa ditujukan terhadap keluarga, diri sendiri, 

bahkan bisa juga marah terhadap Tuhan dan petugas 

kesehatan. Mengapa dia yang menderita kanker dan bukan 

orang lain. Pada situasi ini diperlukan sikap yang positif 

sehingga dapat meredakan kemarahan pasien. 


c. Bargaining (tawar-menawar).  

Setelah rasa marah teratasi dan pikiran serta perasaannya 

lebih tenang, maka secara perlahan pasiendapat menerima 

kenyataan bahwa ia menderita penyakit kanker yang erat 

kaitannya dengan kematian. Dalam kondisi ini maka akhirnya 

ada keinginan untuk tawar-menawar baik dalam segi kehidup-

annya maupun pengobatan yang diterima (beri saya kesem-

buhan...kalau saya sembuh saya akan.................). Tahap ini 

memberi kesempatan tenggang waktu untuk dapat mengambil 

sikap.  

Dengan memahami kondisi mental pasien yang tidak 

konsisten, para petugas tidak merasa jenuh/kesal tetapi tetap 

dapat melakukan pendekatan dengan baik dan perlahan-

lahan mengajak pasien menghadapi kenyataan. 

 

d. Depresi.  

Pada tahap ini pasien akan menunjukkan tanda-tanda 

kese-dihan dan gejala-gejala depresi lain. Tanda dan gejala 

ini biasanya berlangsung singkat sebagai reaksi terhadap 

situasi yang dihadapinya. Depresi yang berkepanjangan dapat 

menja-di sumber penderitaan dan karenanya perlu dinilai dan 

didetek-si secara dini. Bila depresi ini berlanjut, dianggap 

sebagai gang-guan jiwa dan perlu perawatan psikiatri.  

Faktor risiko yang menyebabkan depresi berkepanjangan 

antara lain :  

• rasa nyeri yang tidak terkontrol dengan baik,  

• gejala fisik yang progresif dan tingkat keparahan penyakit 

yang dideritanya, 

• riwayat depresi,  

• obat-obatan yang dipakai (steroid, benzodiazepine) serta 

depresi yang secara langsung disebabkan oleh 

penyakitnya (kanker pankreas, stroke).  

• masalah sosial dan spiritual yang belum tertangani. 

 

Penilaian adanya depresi pada pasien kanker stadium yang 

sudah lanjut tidak hanya berdasarkan gejala somatiknya (nafsu 

makan/berat badan/libido yang menurun, cepat lelah serta 

gangguan tidur) tetapi juga gejala psikologik dan kognitifnya, 

antara lain disforia yang persisten (suasan hati yang buruk), rasa 

tidak berdaya dan putus asa, rasa tidak berharga dan hilangnya 

self-esteem, rasa bersalah yang berlebihan, kekece-waan yang 

mendalam, pikiran yang berulang tentang kematian serta fikiran 

bunuh diri. Tanda lain seperti rasa nyeri yang tidak responsif 

terhadap pengobatan, perasaan sedih dengan afek yang datar 

serta kecemasan, iritabilitas dan mood yang tidak nyaman juga 

merupakan tanda yang signifikan.  

Penatalaksanaan depresi pada penderita terminal meliputi 

banyak aspek, antara lain pendekatan non farmakologik 

seper-ti psikoterapi suportif, pendekatan kognitif, intervensi 

perilaku (terapi relaksasi, terapi distraksi) dan pendekatan 

farma-kologik. 

 

e. Acceptance (menerima).  

Adalah tahap pasien dapat menerima kenyataan mengenai 

penyakitnya. Pada fase ini pasien sudah mencapai taraf kesa-

daran untuk tidak lagi mempertahankan hidupnya lebih lama 

lagi, merasa sudah siap menghadapi dunianya yang baru dan 

dapat istirahat dengan tenang.  

Pada situasi ini, para petugas harus menciptakan situasi 

lingkunganyang tenang dengan menyediakan dukungan, 

mem-biarkan keluarga mendampingi sekaligus memberi  

dukung-an moral.  

Kelima tahapan ini terjadi tidak selalu berurutan dan 

kadang-kala tidak sampai tahap menerima. Perkembangan 

tahapan ini sangat individual, bila tidak ditangani dengan baik 

atau terlam-bat maka dapat terjadi tetap pada tahap tertentu 

bahkan dapat kembali ke tahap sebelumnya. 

 

ASPEK SPIRITUAL  

• Setiap manusia baik dia religius maupun tidak, mempunyai 

sisi spiritual yang unik bagi dirinya sendiri. Spiritual mengarah 

pada tujuan dan arti keberadaan individu. 

 

• Diskusikan hal-hal berkaitan dengan spiritual yang dialami 

oleh pasien selama perawatan, terutama pada kasus yang 

berat/sta-dium lanjut. Masalahnya mungkin berkaitan dengan 

arti atau nilai-nilai kehidupan mereka, puas ataukah merasa 

bersalah dengan kehidupannya dimasa lalu, rasa marah atau 

merasa tidak adil, dan pertanyaan seputar penderitaan atau 

misteri kematian.  

• Pasien yang menganggap penyakitnya sebagai hukuman atau 

penghianatan memerlukan pendekatan spiritual yang lebih 

intens. 

 

Pendampingan oleh Relawan  

• Perubahan perilaku pasien merupakan beban mental yang 

berat bagi keluarga, sehingga tidak jarang keluarga pasien 

juga ikut menderita baik psikis maupun fisiknya. Kelelahan 

dan rasa jenuh keluarga dalam merawat penderita bisa 

dibantu dengan pendampingan oleh relawan.  

• Beri pemahaman aspek psikososial pada penderita dan 

keluar-ga selama dalam perawatan sebelum melakukan 

pendam-pingan,  

• Asah kemampuan berkomunikasi dengan baik dan benar pada 

relawan dalam mendampingi penderita dan keluarganya. 

• Tunda pendampingan oleh relawan yang sedang memiliki 

masalah dan bantu relawan tersebut untuk melakukan  

”ventilasi” dengan aman.  

• memberi  perawatan dengan empati.  

• Untuk menjaga agar semangat relawan tetap stabil, maka 

secara berkala dianjurkan untuk merefleksikan tujuan semula 

yang mulia untuk menolong sesama agar tidak jenuh dan 

patah semangat. 

 

ASPEK KULTURAL  

• Kultur sangat mempengaruhi sikap pasien terhadap penyakit, 

nyeri, dan kematian. 

• Kurangnya perhatian terhadap latar belakang kultur mempe-

ngaruhi penerimaan pasien terhadap penyakitnya. 

Komunikasi menggunakan bahasa pasien sangat diperlukan. 

 

 

4. ASPEK NUTRISI PADA PERAWATAN PALIATIF KANKER  

a. Terapi nutrisi pada pasien kanker yang sedang menjalani terapi : 

 

1) Kebutuhan kalori  

Perhitungan kalori menggunakan rumus Harris Benedict  

Laki-laki :  REE = 66 + 13.7 BB + 5 TB – 6.8 U 

Wanita :  REE = 655 + 9.6BB + 1.85 TB – 4.7 U 

REE = Resting Energy Expenditure (kcal/hari) 

BB = Berat Badan (kg)
 

TH = Tinggibadan (cm) 
 

U = Umur (tahun) 

Faktor aktifitas fisik : Pasien dengan ventilator = 1,1  

Terapi nutrisi pada pasien kanker yang sedang menjalani  

terapi 

: 1,2 Pasien bedridden 

Pasien ambulatory : 1,3 

 

Berdasarkan berat badan (ADA 2006)  

Hypermetabolism, kurang gizi, peningkatan berat badan : 

30-35 kcal/kg/hari Pasien underweight berat: > 35 kcal/ 

kg/hari  

Normo metabolic, non ambulatory, inaktif : 25-30 kcal.kg/hari 

Bed ridden : 20-25 kcal/kg/hari Stem cell transplant : 30-35 

kcal/kg/hari Pasien Obesitas (bila bertujuan untuk menurun-

kan berat badan) :21-25 kcal/kg/hari 

 

Nutrisi Enteral ( ESPEN 2006)  

Pasien Ambulatory : 30-35 kcal/kgBB/hari 

Pasien Bedridden : 20-25 kcal/kgBB/hari 

Nutrisi Parenteral (ESPEN, 2009) 

Pasien Ambulatory : 25-30 kcal/kgBB/hari 

Pasien Bedridden : 20-25 kcal/kgBB/hari 

  

 

2) Kebutuhan protein  

Tabel 2. Kebutuhan protein berdasarkan kondisi pasien 

 

Pasien kanker non stress 1,0-1,2 g/kgBB 

  

Hipermetabolisme 1,5-2,5 g/kgBB 

  

Transplantasi stem cell 1,5-2 g/kgBB 

  

Penyakit Ginjal  

Acute renal failure 0,5-0,6 g/kgBB (pasien unstres) 

 1,0   g/kgBB   (dgn   stress   dan 

 hemodialysis) 

Predialisis 0,6-0,8 g/kgBB 

Hemodialisis 1,2-1,5 g/kgBB 

Nefrotik syndrome 0,8-1,0 g/kgBB 

  

Penyakit hati  

Payah hati 1,0-1,5 g/kgBB 

Sirosis hati 1,0-1,2 g/kgBB 

Penyakit hati dgn ensephalopati 0,6-0,8 g/kgBB 

  

 

1. Kebutuhan mikro nutrien  

Kebutuhan mikronutrien anti oksidan sebaiknya dilengkapi 

dari bahan makanan sumber (American Cancer Society, 

2005). Tetapi apabila ditemukan kekurangan mikro nutrient 

akibat asupan yang tidak adekwat atau pengeluaran yang 

berlebihan maka pembelian multivitamin dan mineral dapat di 

berikan (Bloch, 1988, ADA 2000, Brown et al, 20013). 

Rekomendasi jumlah mikronutrien dapat diberikan 

berdasarkan rekomendasi asupan nutrisi (NCCFN, 2005). 

 

2. Kebutuhan EPA  

Suplementasi asam lemak omega 3 dapat membantu 

memper-tahankan berat badan pada pasien kanker dengan 

diet oral yang mengalami penurunan berat badan (Grade A).  

Rekomendasi untuk EPA adalah sebesar 2g. Dapat diberikan 

melalui makanan/ makanan komersial yang diperkaya dengan 

EPA, atau suplemen EPA (Grade B, Aspe 2009). 

 

 

 

2g EPA didapat dari :  

• 8-11 kapsul minyak ikan (EPA 180 mg)  

• 300-400 g ikan laut( dari ikan tenggiri atau ikan kembung) 

 

A. Terapi Nutrisi pada pasien kanker terminal  

Enteral nutrition dapat diberikan untuk mengurangi penurunan 

berat badan, selama diinginkan oleh pasien proses kematian 

belum mulai. Bila akhir kehidupan sudah sangat dekat, umumnya 

pasien hanya membutuhkan sedikit makanan dan minuman 

untuk mengurangi lapar dan haus. Berikan minuman untuk 

mencegah dehidrasi. Pemberian cairan intravena juga dapat 

diberikan sebagai jalan untuk pemberian obat. Jika tidak tersedia 

akses intravena, dan pasien memerlukan cairan untuk mence-

gah gejala akibat dehidrasi, cairan dapat diberikan melalui 

subku-tan dengan junlah antara 500 ml -1000 ml, sesuai jumlah 

urine per 24 jam ditambah EWL. Bila diperlukan nutrisi parenteral 

dapat diberikan pada pasien kanker dengan penurunan berat 

badan dan penurunan asupan nutrisi. (ESPEN 2009). Stadium 

terminal yang belum memasuki fase terminal yaitu jika nutrisi 

tidak dapat diberikan nutrisi melalui oral atau enteral. 

 

Berbagai tips untuk mengatasi gejala-gejala yang berhu-

bungan dengan nutrisi : 

-  Mulut kering  

Konsumsi makanan yang dapat meningkatkan air liur. 

Hindari alkohol, kopi, serta obat kumur yang mengandung 

alkohol. Konsumsi makanan dengan tambahan cairan. 

Gunakan pelembab untuk rongga mulut. 

 

-  Mual dan muntah  

Berikan makanan porsi kecil dan sering. Pilih makanan 

dengan sedikit rasa, hindari makanan manis, berlemak, 

berbau menyengat. Makanan favorit akan lebih mengurangi 

rasa mual. Pilih makanan yang lunak. Hindari minum cairan 

pada perut kosong. Telan makanan perlahan-lahan. 

Jangan berbaring dalam waktu kurang dari 1 jam. 

 

 

 

- Tidak nafsu makan  

Makan dengan porsi kecil dan sering makanan padat tinggi 

kalori. Tambahkan protein dan kalori pada makanan yang 

disukai pasien. Nikmati makanan pada saat keadaan 

pasien sedang nyaman. Minumlah minuman yang berkalori 

diantara waktu makan. Lakukan aktifitas fisik ringan untuk 

meningkatkan nafsu makan. 

 

- Cepat kenyang  

Makan dengan porsi kecil dan sering makanan padat kalori. 

Tambahkan protein dan kalori pada makanan yang disukai 

pasien. Minumlah minuman yang berkalori diantara waktu 

makan. Hindari makanan yang digoreng, berminyak, 

bergas.Lakukan aktifitas fisik ringan untuk meningkatkan 

nafsu makan. 

 

- Konstipasi  

Makan secara teratur, tingkatkan cairan 8-10 gelas perhari. 

Hindari kopi, Konsumsi minuman hangat agar dapat 

menstimulasi peristaltic usus. Lakukan aktifitas fisik ringan.  

Biasakan buang air besar secara teratur. 

 

- Diare  

Tambahkan serat larut pada makanan sehari-hari. Hindari 

serat tidak larut. Makan dengan porsi kecil dan sering. 

Hindari makanan berminyak, digoreng, berbumbu, alkohol, 

dan kopi. Makanan dengan produk susu. Hindari makanan 

yang terlalu manis dan jus buah. Tingkatkan konsumsi 

cairan, makanan tinggi kalium seperti pisang dan kentang, 

makanan tinggi natrium seperti oralit. 

 

- Gangguan menelan  

Ikuti teknik menelan yang dianjurkan oleh fisioterapis, 

makanlah makanan lembut, lunak, berbentuk pure. Makan-

lah porsi kecil, sering.Gunakan pengental makanan. 

Hindari mengonsumsi roti, biscuit, krakers. 

  

 

- Mukositis : konsumsi makanan lunak, dengan saus extra. 

Hindari alkohol, jeruk asam, kopi, cuka, makanan kering, 

makanan kasar. Konsumsi makanan dengan suhu ruang. 

 

Gambar 2. Terapi nutrisi 

 

 

Nutrisi 

 

 

Indikasi Terapi Nutrisi 

 

 

 

> 75%    60-75%    < 60%     < 60%  

!     

kebutuhan 

  

kebutuhan 

   

kebutuhan  kebutuhan        

 energy dari   energy dari   energy dari    energy dari 

 makanan   makanan   makanan    makanan dan 

          selama>10 hr    makanan 

                 enteral 

                 selama>10 hr 

          Tidak bias      

          makan>7 hr      

                   

                   

                   

                   

 Konsultasi   Pemberian   Nutrisi enteral    Nutrisi 

 nutrisi   suplementasi          parenteral 

      nutrisi oral            

                   

                   

                   

 Nasogastrik   Gastrostomi    Nutrisi    Nutrisi 

 

Nasoenteral 

  

Jejunostomi 

   parenteral    parenteral 

      perifer    sentral 

                   

 

 


 

a. TATA LAKSANA GEJALA FISIK  

Gejala yangmuncul pada pasien dengan penyakit stadium 

lanjut bervariasi. 

Prinsip tata laksananya adalah sebagai berikut: 

 

1) EVALUASI:  

a) Evaluasi terhadap gejala yang ada:  

• Apa pemicu  gejala tersebut (kanker, anti kanker dan 

pengobatan lain, tirah baring, kelainan yang menyertai) 

• Mekanisme apa yang mendasari gejala yang 

muncul? (misalnya: muntah karena tekanan 

intrakranial yang meningkat berlainan dengan 

muntah karena obstruksi gastrointestinal)  

• Adakah hal yang memperberat gejala yang ada 

(cemas, depresi, insomnia, kelelahan) 

• Apakah dampak yang muncul akibat gejala tersebut? 

(misalnya: tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, tidak 

dapat beraktifitas)  

• Pengobatan atau tindakan apa yang telah diberikan? 

Mana yang tidak bermanfaat? 

• Tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk 

menga-tasi pemicu nya? 

 

b) Evaluasi terhadap pasien:  

• Seberapa jauh progresifitas penyakit ? Apakah gejala 

yang ada merupakan gejala terminal atau sesuatu 

yang bersifat reversible?  

• Apa pendapat pasien terhadap gejala tersebut?  

• Bagaimana respon pasien?  

• Bagaimana fungsi tubuh? (Gunakan KARNOFSKY  

RATING SCALE/ECOG) 

 

2) PENJELASAN:  

Penjelasan terhadap pemicu  keluhan yang muncul 

sangat bermanfaat untuk mengurangi kecemasan pasien. 

Jika dokter tidak menjelaskan, mungkin pasien bertambah 

 

 

 

cemas karena menganggap dokter tidak tahu apa yang 

telah terjadi dalam dirinya. 

 

1. DISKUSI  

Diskusikan dengan pasien pilihan pengobatan yang ada, 

hasil yang dapat dicapai dengan pilihan yang tersedia, 

pemeriksaan yang diperlukan, dan apa yang akan terjadi 

jika tidak dilakukan pengobatan. 

 

2. PENGELOLAAN SECARA INDIVIDU  

Pengobatan bersifat individual, tergantung pada pilihan 

yang tersedia, manfaat dan kerugian pada masing masing 

pasien dan keinginan pasien dan keluarga.  

Pengobatan yang diberikan terdiri dari:  

a) Atasi masalah berdasarkan pemicu  dasar : atasi 

pemicu nya bila memungkinkan (Pasien dengan nyeri 

tulang karena metastase, lakukan radiasi bila memung-

kinkan. Pasien dengan sesak nafas karena spasme 

bronkus, berikan bronkodilator)  

b) Terapi medikamentosa : setiap obat opioid dimulai 

dengan dosis terendah, kemudian lakukan titrasi, untuk 

mendapatkan efek yang optimal dan dapat mencegah 

penderitaan dan penurunan kualitas hidup akibat efek 

samping obat tersebut.  

c) Terapi fisik : selain dengan obat, modalitas lain diperlu-

kan untuk mengatasi gejala misalnya relaksasi, 

pengatur-an posisi, penyesuaian lingkungan dll. 

 

3. PERHATIAN KHUSUS  

Walaupun gejala yang ada tidak dapat diatasi 

pemicu nya, mengatasi keluhan secara simtomatis 

dengan memperhati-kan hal hal kecil sangat bermanfaat 

(misalnya jika operasi, kemoterapi atau radiasi pada kanker 

esofagus tidak dapat lagi diberikan, pengobatan untuk 

jamur di mulut akan berma-faat bagi pasien). 

 

 

6) PENGAWASAN  

Pengawasan terhadap pasien, gejala yang ada dan 

dampak pengobatan yang diberikan sangat diperlukan 

karena pada stadium lanjut,karena keadaan tersebut dapat 

berubah dengan cepat. 

 

1. NYERI  

Nyeri adalah keluhan yang paling banyak dijumpai pada 

pasien kanker stadium lanjut. Nyeri juga merupakan keluhan 

yang paling ditakuti oleh pasien dan keluarga. 95% nyeri 

kanker dapat diatasi dengan kombinasi modalitas yang 

tersedia, termasuk memberi  perhatian terhadap aspek 

psikologi, sosial, dan spiritual.  

Terdapat 2 jenis nyeri pada kanker yaitu nyeri nosiseptif dan 

nyeri neuropatik. 

 

Tabel 3. Jenis nyeri: 

 

 Nosiseptif- Nosiseptif- Nosiseptif- Neuropatik 

 Somatik superfisial Somatik dalam Viseral  

     

Asal Kulit, subkutan, mukosa Tulang, sendi, otot, Organ tubuh, Kerusakan pada 

rangsangan mulut, hidung, sinus, tendon, ligament masa tumor dan saraf nociceptive 

 uretra, anus  kelenjar getah  

   bening yang  

Sifat Panas,tajam,menyengat Tumpul, berdenyut, dalam, Disestesia, alodinia, 

   Tumpul, dalam, phantom, kebas 

 Sangat terlokalisir Terlokalisir kram Sesuai dermatom 

Lokasi     

 Tidak Tidak/ya Sukar ditentukan  

Penjalaran    Ya 

 Tidak Memperburuk Ya  

Efek gerakan    Traksi memperburuk 

 Ya Ya Mungkin Tidak 

Nyeri tekan Tidak  meringankan Tidak stabil: 

Efek otonom  Mungkin Mungkin hangat/dingin, 

   Mual, muntah, berkeringat, 

   berkeringat, sianosis, pucat 

   tekanan darah,  

   nadi  

  

 

Tabel 4. Penilaian nyeri:  

Gunakan formulir untuk penilaian nyeri terlampir. 

 

 Nyeri + Nyeri - Antisipasi Nyeri 

    

1. Ukur skala nyeri 24 jam terahir dan saat ini, Skrining pada  1. Berikan analgesik 

 saat istirahat dan bergerak* kunjungan dosis renjatan 

2. Karakteristik nyeri berikutnya sebelum prosedur 

3. Lokasi nyeri  dilakukan 

4. Penjalaran/ reffered 2. Berikan anxiolitik 

5. Menetap/intermitten  bila diperlukan 

6. Onset dan durasi 3. Anestesi topikal 

7. Faktor yang memperberat/memperingan 4. Lidocain 

8. Dampak terhadap aktivitas, kemampuan  subkutaneus 

 berjalan, pekerjaan, nafsu makan, tidur,   

 mood dan hubungan dengan orang lain    

9. Gejala lain yang menyertai 

 

10. Obat dan dosis dan intervensi yang telah 

dilakukan 

 

11. Respon dan efek samping terhadap obat atau 

intervensi tsb 

12. Riwayat kanker dan pengobatannya 

 

13. Pemeriksaan fisik 

 

14. Laboratorium penunjang 

 

15. Aspek lain: 

 

a. Arti dan akibat nyeri bagi pasien 

dan keluarga 

 

b. Pengetahuan dan kepercayaan 

tentang nyeri 

c. Kultur terhadap nyeri 

 

d. Faktor Spiritual dan 

keyakinan/agama terhadap nyeri 

e. Tujuan dan harapan tata laksana 

nyeri 

f. Kondisi psikologis pasien 

 

g. Dukungan keluarga 

 

h. Gangguan psikiatri 

 

i. Faktor resiko adanya ketidak taatan 

berobat 

16. Tentukan etiologi (kanker, terapi kanker atau 

prosedurnya, non kanker, debilitas) 

17. Patofisiologi 

 

18. Tentukan jenis nyeri (Neuropatik, 

nociceptik) 

  

 

SKALA NYERI:  

(*lihat panduan tata laksana nyeri) 

 

1. NRS (Numeric Rating Scale)  

Tanyakan intensitas nyeri dengan menggunakan angka 0-

10 Catatan : 

0 berarti tidak nyeri  

1 – 3 berarti nyeri sedang  

4 – 10 berarti nyeri berat dan  

10 sangat nyeri  

2. Categorial Scale  

Dibagi atas : nyeri ringan – nyeri sedang – nyeri berat  

3. Behaviour Pain Scale (Payen JF et al. Crit Care Med, 2001) 

Digunakan pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi 

atau menggunakan ventilator 

 

Skala Behavior Pain Scale (BPS) untuk pasien dewasa dengan penurunan kesadaran 

dengan ventilator : 

 

 Ekspresi Wajah   

    

 Tenang 1 

    

 Sebagian Muka menegang (dahi mengerenyit) 2 

    

 Seluruh muka menegang (kelopak mata menutup) 3 

    

 Wajah menyeringai 4 

    

 Pergerakan atau posisi ekstremitas atas   

    

 Tenang 1 

    

 Menekuk sebagian di daerah siku 2 

    

 Menekuk total dengan disertai jari-jari mengepal  3 

 Menekuk total secara terus-menerus 4 

    

 Toleransi terhadap ventilasi mekanik   

    

 Dapat mengikuti pola ventilasi 1 

    

 Batuk tetapi masih dapat mengikuti pola ventilasi 2 

    

 Melawan pola ventilasi 3 

    

 Pola ventilasi tidak ditoleransi 4 

    

Nilai < 5 berarti pasien bebas nyeri 

 

Nilai > 5 berarti pasien mengalami nyeri yang perlu diterapi 

 

  

 

TATA LAKSANA NYERI:  

Sesuai dengan pemicu  yang ada dan prinsip tata laksana 

yang digunakan di perawatan paliatif, modalitas yang dapat 

digunakan adalah sbb:  

a. Medikamentosa :  

Analgetik: NSAID, Non opioid, Opioid; Adjuvant (kortikoste-

roid, antidepresan, anti epilepsi, relaksan otot, antispas 

modik)  

b. Nonmedikamentosa  

• Fisik: kompres hangat, TENS  

• Interupsi terhadap mekanisme nyeri: anestesi, neurolisis 

dan neurosurgery 

• Modifikasi lingkungan dan gaya hidup: hindari aktifitas 

yang memacu atau memperberat nyeri, immobilisasi 

bagian yang sakit dengan alat, gunakan alat bantu untuk 

jalan atau kursi roda  

• Psikologis: penjelasan untuk mengurangi dampak 

psikologis 

• Relaksasi, cognitive-behavioural terapy, psychodynamic 

terapy  

c. Lain-lain  

Modifikasi terhadap proses patologi yang ada:  

diperlukan pada kondisi darurat seperti patah tulang karena 

proses metastase, resiko patah tulang pada tulang 

penyang-ga tubuh, metastase ke otak, leptomeningeal atau 

epidural, obstruksi memerlukan radioterapi dan infeksi 

memerlukan antibiotik. 

 

Penggunaan obat  

Penggunaan analgetik dan obat adjuvant sangat penting. 

Digu-nakan pedoman WHO STEP LADDER sebagai dasar 

pemberi-an obat (WHO Geneva, 1986 disesuaikan dengan 

obat yang tersedia di Indonesia). 

  

 

Tabel 5. Pemberian analgetik berdasarkan WHO Step Ladder.  

     

  Analgetik Obat pilihan Obat lain 

     

STEP 1 Nyeri Non-opioid + NSAID Parasetamol 

Ringan  Adjuvant   

1-3     

     

STEP Nyeri tetap atau Opioid lemah + Codein Tramadol 

Sedang meningkat Non-opioid +   

4-6  Adjuvant   

    

STEP 3  Nyeri tetap atau Opioid kuat + Morfin Fentanil 

Berat meningkat Non-opioid +   

7-10  Adjuvant   

     

 

 

 

a. Digunakan untuk nyeri ringan, terutama untuk jaringan 

lunak dan musculoskeletal serta penurun panas 

b. Sebagai suplemen opioid sehingga memungkinkan dosis 

opioid yang lebih kecil. 

c. Dosis parcetamol adalah 500 mg – 1000 mg per 4-jam. 

Maksimum dosis adalah 4 gram perhari. 

 

NSAID (Non Steroid Anti Inflamatory Drug)  

NSAID sangat efektif untuk menangani nyeri tulang. Selain itu, 

dipakai pada nyeri akibat inflamasi dan kerusakan jaringan, 

nyeri karena metastase tulang, demam neoplastik dan nyeri 

post operasi. 

 

 

NON OPIOID 

PARACETAMOL: 

  

 

Tabel 6. Golongan NSAID, dosis dewasa, interval dan dosis 

maksimum 

 

Obat  Dosis dewasa  Interval Dosis maksimum/hr 

  (mg)  (jam)  

      

Oral      

Celecoxib 100 – 200 12 – 24 400 

Diclofenac 25 - 50 8 – 12 150 

Ibuprofen 200 - 400 6 – 8 2400 

Ketoprofen 50 - 100 6 – 12 200 

Ketorolac (max. 3 hari)      

< 65 th 10  4 – 6 40 

>65 th 10  6 – 8 30 – 40 

Asam Mefenamat 500 8  1500 

Meloxicam 7.5 – 15 24 15 

Piroxicam 10 – 20 24 20 

Parenteral      

Ketorolac      

< 65 tahun 10 – 30 4 – 6 90 

>65 tahun 10 – 15 4 – 6 60 

      

 

OPIOID UNTUK NYERI SEDANG/ NYERI RINGAN YANG  

TIDAK RESPON TERAPI SEBELUMNYA  

CODEIN:  

o Digunakan untuk nyeri sedang, dapat diberikan secara oral.  

• Dosis: 0,5- 1 mg/kg (max 60 mg/dosis)  

• Efek samping: sedasi, konfusi, hipotensi, mual, muntah 

dan konstipasi 

 

 

o Efek samping berupa konstipasi memerlukan laksatif 

secara rutin  

o Hanya digunakan bila obat-obatan lain tidak tersedia. 

 

TRAMADOL:  

o Tramadol memiliki efek samping yang minimal terhadap 

sedasi, depresi pernafasan dan gastrointestinal. Dosis: 2 

mg/kgdosis maksimal (iv) 600 mg/ 24 jam dan dosis maksi-  

mal (po) 8 mg/kg/hari.  

o Efek samping: mual, muntah, gangguan sistem 

kardiovasku-lar dan pernafasan (efek minimal) 

 

OPIOID UNTUK NYERI BERAT/ NYERI SEDANG YANG  

TIDAK RESPON TERHADAP TERAPI SEBELUMNYA 

 

MORFIN ORAL  

a. Morfin adalah jenis obat lini pertama jika ada indikasi 

pembe-rian opioid 

b. Mulai dengan dosis kecil immediate release (IR) PO: 2,5 – 

5 mg tiap 4 jam kemudian lakukan titrasi sampai dosis yang 

diper-lukan  

c. Tetap gunakan IR morfin untuk nyeri renjatan dan nyeri 

insi-den dengan dosis 1/6-1/10 total dosis 24 jam. 

d. Jika nyeri renjatan atau incident terjadi, dosis harian (dosis 

dasar) tetap diberikan sesuai jadwal. 

e. Dosis morfin perlu dinaikkan 30% – 50% jika efek morfin 

hanya sebagian atau durasinya sebentar. 

f. Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50% jika efek samping 

yang muncul persisten. 

g. Dosis harian perlu dinaikkan, bila renjatan nyeri terjadi 3x 

atau lebih dalam sehari, dengan menjumlahkan dosis 

harian dan jumlah dosis renjatan untuk hari berikutnya  

h. Gantikan IR morfin dengan sustained release (SR) morfin 

segera setelah dosis yang diperlukan tercapai: dosis 24 

jam immediate release dibagi 2 untuk diberikan 2x sehari. 

  

 

a. SR morfin mempunyai kelebihan seperti tidak perlu minum 

di tengah malam, efek samping mengantuk dan mual lebih 

ringan, dan rasa yang lebih dapat diterima.  

b. Catatan :  

a. Agar konsentrasi morfin dalam darah dapat dipertahan-

kan, berikan dosis SR pertama bersamaan dengan 

dosis IR terakhir.  

b. Tablet SR jangan digerus, jangan dikunyah, harus ditelan 

utuh agar memiliki efek kerja dan durasi yang diinginkan. 

c. Bila pasien tidak dapat menelan, tablet dapat diberikan 

per rektal dengan dosis yang sama. 

 

MORFIN PARENTERAL  

a. Pemberian morfin secara parenteral diperlukan dalam 

kondisi pasien tidak dapat menelan, mual muntah hebat 

atau ada obstruksi usus, kesadaran yang menurun, kebu-

tuhan dosis yang tinggi, nyeri harus segera diatasi dan 

pada pasien yang tidak patuh untuk minum obat.  

b. Pemberian morfin parenteral sebaiknya diberikan secara 

subkutaneus (SK) atau intravena (IV). Pemberian 

intramuskuler sebaiknya dihindari karena absorbsi yang 

tidak teratur dan nyeri pada saat penyuntikan.  

c. Dosis morfin parenteral adalah 1/3 dosis oral.  

d. Dosis morfin parenteral 24 jam adalah jumlah dosis oral 24 

jam dibagi 3. (dosis dasar + dosis renjatan, tidak termasuk 

dosis untuk nyeri insiden)  

e. Pemberian morfin secara SK atau IV dimulai dengan 1/3 

dosis oral. 

f. Pemberian morfin secara intermiten dengan dosis 1/6 dosis  

24 jam, diberikan tiap 4 jam.  

g. Pemberian secara SK atau IV secara kontinyu dimulai 

dengan pemberian dosis loading 1/6 dosis 24 jam. 

 

FENTANIL  

a. Fentanil tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping 

terhadap susunan saraf pusat lebih sedikit dibanding 

dengan morfin. Efek konstipasi juga lebih ringan. 

 

 

a. Pemberian dapat melalui transdermal atau parenteral. Pem-

berian secara IV atau SK memiliki durasi singkat sehingga 

dapat digunakan untuk nyeri renjatan, insiden atau prosedur.  

b. Kekurangan fentanil adalah tidak memiliki bentuk oral, 

dosis yang besar tidak dapat diberikan melalui SK karena 

memiliki volume yang besar, efek onset yang lama (18-24 

jam), dosis transdermal terbatas (12,5; 25; 50; dan 100 

mikrogram per jam) dan tidak dapat dipotong untuk 

mendapatkan dosis yang lebih kacil. Kekurangan yang lain 

adalah bila pasien berkeringat, bentuk transdermal 

mungkin kurang berman-faat.  

c. Bila menggunakan transdermal, dosis dasar opioid harus 

tetap diberikan pada 12 – 18 jam pertama. 

d. Dosis equivalen untuk 25 mikrogram per jam trandermal 

fentanil adalah 60 – 100 mg oral morfin/24 jam. 

 

Tanda klinis toksik dan overdosis yang perlu diketahui pada 

penggunaan opioid kuat :  

a. Gangguan kesadaran  

b. Delirium  

c. Halusinasi  

d. Mioklonus  

e. Depresi nafas (melambatnya pernafasan) . 

 

Tabel 7. Adjuvan therapy    

    

Golongan obat Manfaat Dosis Keterangan 

     

NMDA-reseptor antagonist Nyeri neuropatik 10 – 25 mg SK/  

Ketamine  50 -100 mg/24 jam  

Antiepileptic Nyeri neuropatik    

Carbamazepine  100 – 400 mg/ 12 jam Kenaikkan dosis/3 hr 

Gabapentin  300 mg per 8 jam Mulai 300 mg 1x/hr 

Antidepressant: TCA Nyeri neuropatik 10 – 150 mg ON Kenaikan dosis/7 hr 

Antiarrhytmic: Clonidin Nyeri neuropatik    

     

 

  

 

Golongan obat Manfaat Dosis Keterangan 

     

Corticosteroid Nyeri akibat SOP   TIK , kompresi tulang 

Dexamethazone  4 – 16 mg PO/SK/hr belakang, distensi 

Prednisolone  25 - 100 mg PO/hr liver, obstruksi 

Biphosphonate Nyeri metastase    

Disodium pamidronate Tulang    

Sodium clodronate     

Zoledronic acid  4 mg IV 15 minutes  

Benzodiazepin Nyeri spasme otot    

Diazepam lurik 2 – 5 mg, 1 –3x/hari  

Baclofen  5 – 25 mg, 3x/hari Hati2 pd gg ginjal 

Anticholinergic agent Nyeri spasme otot 10 mg SK/ 4 jam Mungkin digunakan 

Hyoscine butylbromide Polos 60 - 80 mg/ 24 jam bersama opioid 

 

 

 

Penatalaksanaan nyeri pada fase terminal dari stadium termi-

nal (kematian diperkirakan dalam hari atau minggu), adalah 

sbb :  

a. Jangan kurangi dosis opioid semata mata karena 

penurunan tensi, respirasi atau kesadaran, namun 

pertahankan sampai mencapai kenyamanan  

b. Perhatikan adanya neurotoksisitas karena opioid termasuk 

hyperalgesia 

c. Bila pengurangan dosis diperlukan, kurangi 50% dosis 24 

jam 

d. Gantikan cara pemberian opioid bila diperlukan (oral, sk, iv, 

transdermal) dengan dosis konversi  

e. Bila terdapat refractory pain (nyeri alih), pertimbangkan 

sedasi. 

 

   

CATATAN :  

 Untuk nyeri kepala karena peningkatan TIK / edema otak 

dapat diberikan steroid 

 Nyeri tulang karena hiperkalsemia dapat diberikan bifos-

fonat 

 Bila ditemukan infeksi penyerta / infeksi sekunder diberikan 

antibiotik yang sesuai. 

 Nyeri karena kolik diberikan antispasmodik  

 Nyeri karena spasme otot diberikan muscle relaxan. 

 

 

2. GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN  

XEROSTOMIA  

Xerostomia atau mulut kering mungkin tidak menimbulkan rasa 

haus pada pasien stadium terminal, sehingga perlu diperiksa 

walaupun pasien tidak mengeluh, untuk melihat apakah ada 

tanda dehidrasi, inflamasi, kotor atau tanda infeksi.  

pemicu  mulut kering bisa berupa kerusakan kelenjar liur, 

akibat radiasi, kemoterapi atau infeksi, atau efek samping 

obat seperti Trisiklik, antihistamin, antikolinergik. Dehidrasi 

dan penggunaan oksigen tanpa pelembab dapat juga 

menyebab-kan mulut kering. pemicu  yang sering adalah 

adanya infeksi kandida akibat pemakaian steroid yang lama.  

Tata laksana:  

a. Atasi dasar pemicu  :  

   Review obat obat yang diberikan  

   Berikan obat untuk kandidiasis  

b. Non-Medikamentosa: lakukan perawatan mulut seperti di 

bawah 

c. Medikamentosa: Pilocarpin solution 1mg/1ml, 5 ml kumur 3 

x sehari 

 

STOMATITIS  

Peradangan pada mulut bisa sangat mengganggu pasien. 

Stomatitis dapat menyebabkan perubahan rasa yang dapat 

menyebabkan penurunan nafsu makan. Nyeri yang muncul 

  

 

mengakibatkan pasien tidak dapat makan/minum sehingga 

pemberian obat dapat terganggu.  

Stomatitis dapat disebabkan oleh radiasi, kemoterapi, infeksi 

(jamur, virus, bakteri), pemakaian obat, dan malnutrisi. 

Pengobatan berupa perawatan mulut dan menghilangkan 

pemicu nya 

 

PERAWATAN MULUT  

3. Mencuci mulut setiap 2 jam dengan air biasa atau air yang 

dicampur dengan air jeruk, sodium bikarbonat. 

4. Jaga kelembaban mulut dengan sering minum  

5. Pada xerostomia: Rangsang air liur dengan irisan jeruk yang 

dibekukan, potongan es atau permen karet tanpa gula. 

6. Untuk mencegah agar`bibir tidak pecah pecah, olesi 

dengan krim dengan bahan dasar lanolin 

7. Pada hypersalivasi: teteskan di mulut atropine tetes mata 

1%, 1 – 2 tetes 3 x sehari 

 

PERAWATAN SIMTOMATIS untuk mengurangi nyeri  

d. Parasetamol gargle setiap 4 jam  

e. Lignocain 2% 10 – 15 ml, kumur setiap 4 jam 

 

PENGOBATAN SESUAI pemicu   

e. Kandidiasis:  

Miconazole 2%, 2.5 mg oleskan lalu telan Nystatin 

100.000 unit/ml, 1 ml oleskan lalu telan. 

Untuk kandidiasis berat: Fluconazol 50 – 100 mg PO/ hari 

atau ketoconazole 200 mg PO/ hari 

f. Ulkus Aphtous  

Pasta triamcinolone acetonide 0.1%/ 8 jam  

g. Herpes simplex  

Lesi tunggal: acyclovir 5% oleskan/4 jam.  

Pada kasus berat: acyclovir 400 mgPO/8 jam atau 5mg/kg 

IV/8 jam 

 

Catatan: cara pengunaan obat dan perawatan mulut yang 

baik sangat diperlukan agar mencapai hasil optimal. 


 

KESULITAN MENELAN/DISFAGIA  

Terdapat tiga fase yang diperlukan untuk menelan, yaitu fase 

bukal, faringeal dan esophageal. Disfagia dapat terjadi pada 

ketiga fase tersebut. pemicu  disfagia antara lain adalah 

obstruksi tumor, peradangan yang disebabkan oleh infeksi, 

radiasi atau kemoterapi, xerostomia, gangguan fungsi neuro-

muskuler akibat operasi, fibrosis karena radiasi, ganguan 

saraf kranial dan kelemahan umum. Disfagia dapat disertai 

dengan odinofagia yang mempersulit keadaan pasien.  

Tata laksana pada disfagia orofaringeal:  

• Edukasi cara makan seperti posisi duduk agar bisa 

menelan lebih mudah, dan jenis makanan yang lembut 

dalam porsi kecil.  

• Kortikosteroid sering bermanfaat pada disfagia yang 

disebabkan oleh obstruksi intrinsik, infiltrasi pada saraf dan 

disfungsi saraf kranial.  

• Akumulasi air liur akibat obstruksi dapat dikurangi dengan 

obat antikolinergik untuk mencegah aspirasi dan air liur 

yang mengalir terus menerus yang mengganggu.  

• Nutrisi enteral: Pemberian makanan melalui rute lain 

seperti sonde lambung (Nasogastic tube) atau gastrostomi 

subkuta-nius perlu dipertimbangkan manfaat dan 

kerugiannya dilihat dari kondisi pasien. 

 

Tata laksana pada disfagi esophageal:  

• Kortikosteroid yang diberikan pada waktu singkat: 

dexameta son 8 mg 3 – 5 hari 

• Pemberian obat untuk mengurangi refluks asam lambung : 

omeprazole 1 x 20 mg : atau ranitidine 2x 300mg. 

• Pemasangan stent  

• Radioterapi bila kondisi memungkinkan  

• Pada kasus terminal, tindakan invasif tidak dianjurkan. 

 

 

 

ANOREKSIA/KAHEKSIA    

Tabel 8. Intervensi pada anoreksia/ kakheksia   

    

Harapan hidup   Beberapa tahun Beberapa Beberapa Beberapa hari 

 bulan – 1 th minggu sampai sampai 

  beberapa bulan beberap 

Intervensi   minggu  

Obati pemicu  Cepat kenyang: + + 

anorexia metoclopromid    

 Gejala yang menyebabkan + + 

 anorexia:    

 

 Depresi  

  

 Konstipasi  

  

 Nyeri  

  

 Xerostomia  

  

 Mucositis  

  

 Mual/muntah  

  

 Fatigue   

    + + 

Evaluasi obat yang 

+ - menurunkan nafsu makan   

Evaluasi gangguan   

endokrin:     

   Gangguan thyroid   

   Gangguan    

 metabolit seperti 

+ -  

hiperkalsemia    

Penambah nafsu makan : 

+ - 

Megestrol acetat 

 

 + -     

Program Olahraga 

 

Konsultasi gizi  

Lihat catatan 

dibawah* 

 

  

 

ANOREKSIA  

Anoreksia pada pasien stadium lanjut sering kali bukan 

menja-di keluhan pasien tetapi keluhan keluarga. Hilangnya 

nafsu makan sering dihubungkan dengan rasa penuh dan 

cepat kenyang. Anorexia biasanya merupakan gejala 

Anorexia –Cachexia Sindrom atau kondisi yang lain. 

 

Penjelasan kepada keluarga:  

Anoreksia dapat menimbulkan kecemasan bahkan ketakutan 

pada keluarga. Bila hal ini terjadi, dapat dilakukan :  

• Berikan makanan dalam dosis kecil yang bervariasi dan 

dalam penyajian yang menarik akan menimbulkan 

selera.Tidak bisa makan atau hanya bisa makan sedikit  

pada pasien stadium lanjut adalah normal, dan berikan 

makanan sesuai keinginan pasien.  

• Jangan paksakan pasien untuk makan dan hilangkan 

pikiran bahwa jika pasien tidak makan dia akan meninggal. 

Yang terjadi adalah karena pasien dalam kondisi terminal, 

maka tidak mampu untuk makan. Karena makan adalah 

kebiasaan sosial, mengajak pasien makan di meja makan  

mungkin akan menimbulkan selera  

• Pemberian nutrisi mungkin tidak dapat lagi dimetabolisme 

pada pasien dengan stadium terminalTerdapat resiko  

5. Terdapat resiko yang berhubungan dengan nutrisi artifisial, 

yaitu: kelebihan cairan, infeksi dan menyebabkan kematian  

2) Gejala seperti mulut kering, dapat diatasi dengan 

pemberian cairan sedikit-sedikit dan kebersihan mulut  

3) Menghentikan nutrisi parenteral dan sonde lambung bisa 

mengurangi beberapa gejala seperti ketidaknyamanan atau 

risiko infeksi, aspirasi  

3. Jika Pasien ingin makan namun tidak ada nafsu makan, 

berikan kortikosteroid 2 – 4 mg pagi hari akan bermanfaat 

pada kurang lebih 50% pasien dalam beberapa minggu. 

Obat lain: megestrol 160- 800 mg pagi hari. 

 

 

 

 

MUAL/MUNTAH  

Mual dan muntah adalah salah satu keluhan yang sangat 

menganggu pasien. pemicu nya mual pada pasien paliatif 

biasanya lebih dari satu macam. Mual dapat terjadi terus 

menerus atau intermiten. Muntah sering disertai dengan mual, 

kecuali pada obstruksi gastrointestinal atau peningkatan 

tekanan intracranial. Tata laksana mual dan muntah harus 

disesuaikan dengan pemicu nya. 

 

Gambar 3. Patofisiologi muntah dan cara kerja obat antiemetik: 

 

 

 

   Hiperasiditas menyebabkan mual, rasa pahit dan nyeri 

lambung. Bila sesudah muntah keluhan masih ada, berikan 

proton pump inhibitor seperti omeprazole 20 mg atau raniti-

dine 300 mg PO.  

   Mual akibat iritasi mukosa karena pemberian NSAID: 

omeprazole 20 mg PO 

   Mual akibat kemoterapi atau radiasi: 5-HT3 –reseptor anta-

gonis: ondansetron 4 mg 1-2x/hari dan atau eksametason 4 

mg pagi hari 

 

KONSTIPASI  

Terdapat berbagai pemicu  konstipasi pada pasien dengan 

penyakit stadium lanjut sbb:  

a. Diet rendah serat dan kekurangan cairan  

b. Imobilitas  

c. Tidak segera ke toilet pada saat rasa bab muncul  

d. Obat: opioid, anti-cholinergic, antacid yang mengandung 

alumunium, zat besi,antispasmodic, antipsikotik/anxiolitik 

e. Obstruksi saluran cerna: faeces, tumor, perlengketan  

f. Gangguan metabolism: hiperkalsemia  

g. Ganguan saraf gastrointestinal, neuropati saraf otonom 

 

Tata laksana:  

1. Atasi pemicu  dasar konstipasi  

2. Anjurkan makanan tinggi serat dan tingkatkan jumlah cairan  

3. Anjurkan pasien untuk banyak bergerak bila mungkin  

4. Berikan respon yang cepat bila pasien ingin buang air besar  

5. Hentikan atau kurangi obat yang menyebabkan konstipasi  

6. Koreksi hiperkalsemia  

7. Atasi obstruksi bila mungkin  

8. Gunakan penyangga kaki untuk meningkatkan kekuatan 

otot abdomen 

 

Medikamentosa :  

Obat untuk mencegah konstipasi harus diberikan pada pasien 

yang mendapat opioid. Gunakan laksatif yang mengandung 

pelunak faeces dan perangsang peristaltik. 


 

Bila konstipasi telah terjadi: bisacodyl 10 mg dan glyserin 

supositoria. Jangan berikan laksatif pada obstruksi.  

Gunakan laksatif pelembut feses atau osmotik pada obstruksi 

partial.  

Jika pemberian laksatif gagal, lakukan Rectal Touche :  

a. Jika feses encer, berikan 2 tablet bisacodyl atau microlax  

b. Jika feses keras, berikan 2 gliserin supositoria  

c. Jika rectum kosong, lakukan foto abdomen 

 

Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus konstipasi adalah 

dilakukan bowel training. 

 

DIARE  

pemicu  diare ada beberapa macam. Diantaranya adalah 

adanya infeksi, malabsorbsi, obstruksi partial, karsinoma 

kolorectal, kompresi tulang belakang, penggunaan antibiotik, 

kemoterapi atau radiasi, dan kecemasan.  

Tata laksana diare sesuai dengan pemicu nya.  

Pada malabsorbsi, pemberian enzim pancreas akan berman-

faat.  

Lakukan perawatan kulit sekitar anus dengan zinc oxide. 

 

OBSTRUKSI GASTROINTESTINAL  

Obstruksi gastrointestinal adalah hal yang sulit pada pasien 

paliatif. pemicu nya dapat mekanik atau paralitik. Penyum-

batan bisa terjadi baik intraluminal atau ekstralumunal akibat 

inflamasi atau metastase. Obstruksi dapat terjadi beberapa 

tempat pada pasien dengan keterlibatan bagian peritoneal. 

Obat yang diberikan dapat memperparah konstipasi. Penye-

b