PROGRAM PALIATIF PADA
PASIEN KANKER DEWASA
Integrasi perawatan paliatif ke dalam penatalaksanaan kanker
terpadu telah lama dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO,
seiring dengan terus meningkatnya jumlah pasien kanker sebagai
akibat dari meningkatnya usia harapan hidup manusia. Di Indonesia,
sebagian besar penyakit kanker ditemukan pada stadium lanjut,
sehing-ga angka kesembuhan dan angka harapan hidup pasien kanker
belum seperti yang diharapkan meskipun tata laksana kanker telah
berkem-bang dengan pesat. Pasien dengan kondisi tersebut
mengalami pende-ritaan yang memerlukan pendekatan terintegrasi
berbagai disipilin ilmu agar pasien tersebut memiliki kualitas hidup
yang baik dan pada akhir hayatnya meninggal secara bermartabat. Hal
ini merupakan kebutuhan penting bagi kemanusiaan terutama untuk
pasien dengan penyakit yang tidak bias disembuhkan.
Program paliatif merupakan pendekatan yang efektif bagi pasien
yang penyakitnya tidak dapat disembuhkan untuk mengurangi pende-
ritaan dan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya. Hai ini
untuk mengantisipasi masalah yang mungkin timbul dan
meminimalkan dampak dari progresifitas penyakit sehingga pasien
dapat berfungsi semaksimal mungkin sesuai dengan kondisinya
sebelum akhirnya meninggal.
Pada pelayanan paliatif, pasien memiliki peran yang penting dalam
membuat keputusan yang akan diambil. Tujuan pelayanan paliatif bagi
setiap pasien berbeda dan dibuat dengan memperhatikan hal yang ingin
dicapai oleh pasien bila memungkinkan, hal ini biasanya disampaikan
dalam bentuk fungsi tubuh misalnya Aku ingin bisa melakukan….atau
kejadian penting misalnya Aku ingin melihat anakku menikah. Secara
umum pelayanan paliatif bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan gejala
lain, meningkatkan kualitas hidup, memberi dukungan psikososial dan
spiritual serta memberi dukungan kepada keluarga selama pasien
sakit dan selama masa dukacita.
Implementasi program paliatif di masyarakat dan fasyankes adalah
dengan memperhatikan prinsip mampu laksana, optimal, efektif, efisien
dan menitikberatkan pada kebutuhan serta kenyamanan pasien pada
stadium lanjut. Petugas kesehatan harus dapat merubah pola pikir
dengan mengedepankan pendekatan pelayanan paliatif tanpa menga-
baikan kuratif.
Gambar 1. Program Paliatif
Terapi Modifikasi Penyakit
(Bertujuan Kuratif/Memperpanjang Usia)
Diagnosis ditegakkan Sakit Kematian
PROGRAM PALIATIF
Keterangan :
Modifikasi dari American Association Institute for Medical Ethics (1999). EPEC =
Education For Physician On End Of Life Care.
TATALAKSANA PALIATIF PADA
PASIEN KANKER DEWASA
Pada keganasan, perjalanan penyakit pada stadium awal lambat
hingga pada stadium lanjut yang dapat berlangsung cepat hingga
kema-tian. Intervensi atau pendekatan paliatif bersifat holistik meliputi
empat kelompok masalah, yaitu :
• Fisik – gejala atau keluhan fisik seperti nyeri, batuk, sesak nafas,
letih, demam dan lain-lain
• Psikologis – khawatir, takut, sedih, marah
• Sosial – kebutuhan keluarga, isu makanan, pekerjaan, tempat
tinggal dan hubungan interpersonal
• Spiritual – pertanyaan tentang arti kehidupan dan kematian, kebu-
tuhan untuk damai.
Untuk itu tatalaksana paliatif pasien kanker bertumpu pada
pendeka-tan biopsikososial dan spiritual. Gejala fisik yang perlu
ditatalaksana meliputi nyeri, sesak nafas, mual/muntah, diare,
konstipasi, anoreksia, cemas, depresi,delirium, insomnia, perdarahan,
luka kanker, dan gejala lain.
a. KOMUNIKASI DAN ASPEK NON MEDIS
1. KOMUNIKASI DAN PEMBUATAN KEPUTUSAN
Komunikasi antara dokter dan petugas kesehatan lain dengan
pasien dan keluarga serta antara pasien dan keluarga merupakan
hal yang penting dalam perawatan paliatif. Pasien adalah pribadi
yang harus dihargai haknya untuk mengetahui atau tidak mengata-
hui kondisi penyakitnya. Pasien juga merupakan individu yang
berhak menentukan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya jika
pasien masih memilki kompetensi untuk membuat keputusan. Pada
fase akhir kehidupan banyak pasien yang tidak lagi mampu
membuat keputusan, sehingga pembicaraan tentang apa yang akan
atau tidak dilakukan sebaiknya diputuskan pada saat pasien masih
memiliki kesadaran penuh. Walaupun demikian keluarga
tetap dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam
menyampaikan BERITA BURUK, hal hal berikut ini harus
diperhati-kan: Apa, sejauh mana, kapan, dengan siapa dan
bagaimana cara menyampaikan berita tersebut.
Dalam hal ini, dokter dan petugas kesehatan lain harus memper-
hatikan kultur yang dianut pasien dan keluarga.
2. KUALITAS HIDUP
Meningkatnya kualitas hidup pasien kanker merupakan indikator
keberhasilan pelayanan paliatif. Kualitas hidup pasien kanker
diukur dengan Modifikasi dari Skala Mc Gill. Terdapat 10
indikator yang harus dinilai oleh pasien sendiri.
Tabel 1. Indikator penilaian kualitas hidup (Modifikasi Skala Mc Gill).
INDIKATOR NILAI 1-10
Secara fisik saya merasa ........ Sangat buruk......... sangat baik
Saya tertekan atau cemas Selalu..................... tidak pernah
Saya sedih Selalu...................... tidak pernah
Dalam melihat masa depan Selalu takut............ tidak takut
Keberadaan saya Tidak berarti tanpa tujuan ......sangat berarti dan
bertujuan
Dalam mencapai tujuan hidup Tidak mencapai tujuan ...... mencapai tujuan
Saya ..... Tidak dapat.......................... sangat dapat
mengontrol hidup saya
Sebagai pribadi Tidak baik.......................... sangat baik
Hari saya Sebagai beban................... sebagai anugrah
Saya merasa ..... Tidak mendapat dukunngan..... mendapat
dukungan penuh
3. ASPEK PSIKOSOSIAL, SPIRITUAL DAN KULTURAL
Menghadapi kenyataan bahwa memiliki penyakit yang dapat
mengancam jiwa apalagi bila menyadari telah berada dalam fase
teminal, tidaklah mudah diterima oleh penderita, keluarga dan
bahkan juga oleh dokter yang menanganinya. Berbagai respon
psikologik dapat timbul dalam keadan ini, seperti rasa tak
berdaya, putus asa, sedih, takut, marah dan sebagainya.
Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosio-kulturo-spiritual, unsur-
unsur badan, jiwa, lingkungan dan spiritual berada dalam suatu
kesatuan. Pada seorang penderita kanker, seringkali bukan
kematian yang ditakuti tetapi lebih kepada proses menuju kema-
tian. Perawatan penderita haruslah menyentuh semua demensi
kehidupan ini, karena masing-masing dimensi akan selalu berinter-
aksi secara timbal-balik. Bayangan mengenai penderitaan dan saat
akhir kehidupan, dapat mendominasi pikiran penderita dengan
penyakit terminal. Keluhan fisik dan psikologis yang ada sering
saling terkait dan menberikan efek negatif terhadap kuali-tas fisik
serta memiliki peran yang penting terhadap kesejahteraan penderita
dengan penyakit kanker stadium lanjut.
Penyakit kanker adalah penyakit yang dikonotasikan akan
berujung pada kematian. Pada fase awal penderita nampak
seper-ti orang yang sehat namun umumnya mulai mengalami
masa-lah-masalah yang berkaitan dengan masalah
psikososiospiritual. Masalah-masalah ini bisa muncul pada saat :
a. Melakukan pemeriksaan penunjang
Ketika ada dugaan menderita kanker, beberapa penderita
sudah mulai merasakan gangguan psikologis berupa cemas,
sulit tidur, nafsu makan menurun dan penyangkalan sehingga
seringkali berujung pada penolakan atau penundaan pemerik-
saan laboratorium. Hal ini terkadang berkaitan dengan masa-
lah-masalah finansial untuk melakukan pemeriksaan terkait
dengan penyakitnya.
b. Mengetahui diagnosis penyakit
Ketika pasien mengetahui bahwa dirinya menderita kanker
biasanya timbul distress. Timbul rasa marah kepada diri
sendiri dan orang lain disekitarnya. Pada saat ini sangat
penting bagi seorang dokter menguasai cara menyampaikan
berita buruk agar dapat diterima pasien.
c. Menjalani terapi
Kebutuhan finansial, dukungan keluarga dan lingkungan
sangat dibutuhkan selama menjalani terapi, namun kenyataan
yang terjadi justru sebaliknya sehingga timbulberbagai masa-
lah psikososialspiritual. Efek samping dari obat-obatan yang
dikonsumsi oleh penderita juga bisa mencetuskan gangguan
psikiatrik.
d. Penyakitnya mencapai tahap perawatan terminal
Setiap manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan
dasar dan dalam kondisi terminal kebutuhan ini akan semakin
terasa. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain :
• Bantu penderita mengatasi perasaannya sehingga dapat
berdamai dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan
dengan Tuhan.
• Beri dukungan dengan mengarahkan untuk mengisi sisa
hidupnya dengan melihat hal-hal yang bermakna bagi
dirinya.
ASPEK PSIKOSOSIAL
Manifestasi gangguan psikososial yang timbul dapat
bermacam-macam seperti gangguan cemas, depresi, perubahan
perilaku, gangguan penyesuaian dengan berbagai keluhan
penyerta, sampai kondisi gangguan jiwa berat. Hal tersebut tidak
selalu mudah dievaluasi terutama pada pasien dengan
gangguan kesadaran. Gangguan psikososial penderita kanker
mencakup aspek yang sangat luas, baik yang bersumber pada
kondisi penyakitnya, kepribadian, latar belakang kehidupan
penderita, keluarga, budaya, agama dan sebagainya.
Lakukan penilaian gangguan psikososial secara umum
dengan menggunakan cara-cara sederhana yang lebih mengan-
dalkan observasi terhadap beberapa hal :
• Keadaan mental-emosional dan hubungan interpersonal
(termasuk hubungan dengan anggota keluarga dan orang lain)
• Kemampuan fungsi sosial dalam kehidupan
penderita sehari-hari
• Kemampuan melakukan kegiatan yang bersifat rekreatif, hobbi
• Penilaian terhadap faktor psikososial lain (finansial dan
hubung-an antar anggota baik dalam keluarga maupun
masyarakat, termasuk hubungan intim suami istri)
Atas dasar hasil penilaian tersebut, rencanakan suatu strategi
dan dukungan paliatif selanjutnya. Penting untuk dapat menilai
apakah keluhan atau gejala tersebut masih dalam batas yang
sesuai dengan stressor yang dialami pasien, ataukah sudah
mencapai tahap psikopatologi lanjut. Penilaian ini dilakukan pada
setiap kesempatan sambil berjalannya waktu dan strategi du-
kungannya juga disesuaikan dengan perkembangan selanjutnya.
Tahapan psikologi pasien dalam menghadapi kondisi sakit
Elisabeth Kubler-Ross mempostulasikan lima tahap yang
dilalui pasien dalam menghadapi bayangan akan kematian, yang
dapat bermanfaat untuk membantu memahami kondisi pasien
dalam berbagai tahap tersebut, yaitu:
a. Denial (penyangkalan)
Adalah tahapan awal yang sering dialami oleh penderita
terutama pada mereka dengan kepribadian mudah cemas.
Penderita menyangkal tidak sakit ataupun bila mereka
meneri-ma kondisi sakit tetapi menganggap sakitnya bukanlah
penya-kit yang serius seperti kanker. Biasanya pikiran yang
demikian ini akan menentramkan hati sesaat, dan berguna
untuk menun-da kepanikan.
Pada pasien yang belum dapat menerima kenyataan
mengenai penyakitnya, harus dapat dipahami kondisi mental-
nya. Kesabaran dan ketulusan hati dalam mendampingi
pasien yang sedang cemas akan sangat membantu
menimbulkan rasa aman yang diperlukan pasien.
b. Anger (marah)
Tahap ini seringkali ditandai dengan sikap cepat tersing-
gung, banyak menuntut, mengkritik, mengomel, dll. Rasa
marah ini bisa ditujukan terhadap keluarga, diri sendiri,
bahkan bisa juga marah terhadap Tuhan dan petugas
kesehatan. Mengapa dia yang menderita kanker dan bukan
orang lain. Pada situasi ini diperlukan sikap yang positif
sehingga dapat meredakan kemarahan pasien.
c. Bargaining (tawar-menawar).
Setelah rasa marah teratasi dan pikiran serta perasaannya
lebih tenang, maka secara perlahan pasiendapat menerima
kenyataan bahwa ia menderita penyakit kanker yang erat
kaitannya dengan kematian. Dalam kondisi ini maka akhirnya
ada keinginan untuk tawar-menawar baik dalam segi kehidup-
annya maupun pengobatan yang diterima (beri saya kesem-
buhan...kalau saya sembuh saya akan.................). Tahap ini
memberi kesempatan tenggang waktu untuk dapat mengambil
sikap.
Dengan memahami kondisi mental pasien yang tidak
konsisten, para petugas tidak merasa jenuh/kesal tetapi tetap
dapat melakukan pendekatan dengan baik dan perlahan-
lahan mengajak pasien menghadapi kenyataan.
d. Depresi.
Pada tahap ini pasien akan menunjukkan tanda-tanda
kese-dihan dan gejala-gejala depresi lain. Tanda dan gejala
ini biasanya berlangsung singkat sebagai reaksi terhadap
situasi yang dihadapinya. Depresi yang berkepanjangan dapat
menja-di sumber penderitaan dan karenanya perlu dinilai dan
didetek-si secara dini. Bila depresi ini berlanjut, dianggap
sebagai gang-guan jiwa dan perlu perawatan psikiatri.
Faktor risiko yang menyebabkan depresi berkepanjangan
antara lain :
• rasa nyeri yang tidak terkontrol dengan baik,
• gejala fisik yang progresif dan tingkat keparahan penyakit
yang dideritanya,
• riwayat depresi,
• obat-obatan yang dipakai (steroid, benzodiazepine) serta
depresi yang secara langsung disebabkan oleh
penyakitnya (kanker pankreas, stroke).
• masalah sosial dan spiritual yang belum tertangani.
Penilaian adanya depresi pada pasien kanker stadium yang
sudah lanjut tidak hanya berdasarkan gejala somatiknya (nafsu
makan/berat badan/libido yang menurun, cepat lelah serta
gangguan tidur) tetapi juga gejala psikologik dan kognitifnya,
antara lain disforia yang persisten (suasan hati yang buruk), rasa
tidak berdaya dan putus asa, rasa tidak berharga dan hilangnya
self-esteem, rasa bersalah yang berlebihan, kekece-waan yang
mendalam, pikiran yang berulang tentang kematian serta fikiran
bunuh diri. Tanda lain seperti rasa nyeri yang tidak responsif
terhadap pengobatan, perasaan sedih dengan afek yang datar
serta kecemasan, iritabilitas dan mood yang tidak nyaman juga
merupakan tanda yang signifikan.
Penatalaksanaan depresi pada penderita terminal meliputi
banyak aspek, antara lain pendekatan non farmakologik
seper-ti psikoterapi suportif, pendekatan kognitif, intervensi
perilaku (terapi relaksasi, terapi distraksi) dan pendekatan
farma-kologik.
e. Acceptance (menerima).
Adalah tahap pasien dapat menerima kenyataan mengenai
penyakitnya. Pada fase ini pasien sudah mencapai taraf kesa-
daran untuk tidak lagi mempertahankan hidupnya lebih lama
lagi, merasa sudah siap menghadapi dunianya yang baru dan
dapat istirahat dengan tenang.
Pada situasi ini, para petugas harus menciptakan situasi
lingkunganyang tenang dengan menyediakan dukungan,
mem-biarkan keluarga mendampingi sekaligus memberi
dukung-an moral.
Kelima tahapan ini terjadi tidak selalu berurutan dan
kadang-kala tidak sampai tahap menerima. Perkembangan
tahapan ini sangat individual, bila tidak ditangani dengan baik
atau terlam-bat maka dapat terjadi tetap pada tahap tertentu
bahkan dapat kembali ke tahap sebelumnya.
ASPEK SPIRITUAL
• Setiap manusia baik dia religius maupun tidak, mempunyai
sisi spiritual yang unik bagi dirinya sendiri. Spiritual mengarah
pada tujuan dan arti keberadaan individu.
• Diskusikan hal-hal berkaitan dengan spiritual yang dialami
oleh pasien selama perawatan, terutama pada kasus yang
berat/sta-dium lanjut. Masalahnya mungkin berkaitan dengan
arti atau nilai-nilai kehidupan mereka, puas ataukah merasa
bersalah dengan kehidupannya dimasa lalu, rasa marah atau
merasa tidak adil, dan pertanyaan seputar penderitaan atau
misteri kematian.
• Pasien yang menganggap penyakitnya sebagai hukuman atau
penghianatan memerlukan pendekatan spiritual yang lebih
intens.
Pendampingan oleh Relawan
• Perubahan perilaku pasien merupakan beban mental yang
berat bagi keluarga, sehingga tidak jarang keluarga pasien
juga ikut menderita baik psikis maupun fisiknya. Kelelahan
dan rasa jenuh keluarga dalam merawat penderita bisa
dibantu dengan pendampingan oleh relawan.
• Beri pemahaman aspek psikososial pada penderita dan
keluar-ga selama dalam perawatan sebelum melakukan
pendam-pingan,
• Asah kemampuan berkomunikasi dengan baik dan benar pada
relawan dalam mendampingi penderita dan keluarganya.
• Tunda pendampingan oleh relawan yang sedang memiliki
masalah dan bantu relawan tersebut untuk melakukan
”ventilasi” dengan aman.
• memberi perawatan dengan empati.
• Untuk menjaga agar semangat relawan tetap stabil, maka
secara berkala dianjurkan untuk merefleksikan tujuan semula
yang mulia untuk menolong sesama agar tidak jenuh dan
patah semangat.
ASPEK KULTURAL
• Kultur sangat mempengaruhi sikap pasien terhadap penyakit,
nyeri, dan kematian.
• Kurangnya perhatian terhadap latar belakang kultur mempe-
ngaruhi penerimaan pasien terhadap penyakitnya.
Komunikasi menggunakan bahasa pasien sangat diperlukan.
4. ASPEK NUTRISI PADA PERAWATAN PALIATIF KANKER
a. Terapi nutrisi pada pasien kanker yang sedang menjalani terapi :
1) Kebutuhan kalori
Perhitungan kalori menggunakan rumus Harris Benedict
Laki-laki : REE = 66 + 13.7 BB + 5 TB – 6.8 U
Wanita : REE = 655 + 9.6BB + 1.85 TB – 4.7 U
REE = Resting Energy Expenditure (kcal/hari)
BB = Berat Badan (kg)
TH = Tinggibadan (cm)
U = Umur (tahun)
Faktor aktifitas fisik : Pasien dengan ventilator = 1,1
Terapi nutrisi pada pasien kanker yang sedang menjalani
terapi
: 1,2 Pasien bedridden
Pasien ambulatory : 1,3
Berdasarkan berat badan (ADA 2006)
Hypermetabolism, kurang gizi, peningkatan berat badan :
30-35 kcal/kg/hari Pasien underweight berat: > 35 kcal/
kg/hari
Normo metabolic, non ambulatory, inaktif : 25-30 kcal.kg/hari
Bed ridden : 20-25 kcal/kg/hari Stem cell transplant : 30-35
kcal/kg/hari Pasien Obesitas (bila bertujuan untuk menurun-
kan berat badan) :21-25 kcal/kg/hari
Nutrisi Enteral ( ESPEN 2006)
Pasien Ambulatory : 30-35 kcal/kgBB/hari
Pasien Bedridden : 20-25 kcal/kgBB/hari
Nutrisi Parenteral (ESPEN, 2009)
Pasien Ambulatory : 25-30 kcal/kgBB/hari
Pasien Bedridden : 20-25 kcal/kgBB/hari
2) Kebutuhan protein
Tabel 2. Kebutuhan protein berdasarkan kondisi pasien
Pasien kanker non stress 1,0-1,2 g/kgBB
Hipermetabolisme 1,5-2,5 g/kgBB
Transplantasi stem cell 1,5-2 g/kgBB
Penyakit Ginjal
Acute renal failure 0,5-0,6 g/kgBB (pasien unstres)
1,0 g/kgBB (dgn stress dan
hemodialysis)
Predialisis 0,6-0,8 g/kgBB
Hemodialisis 1,2-1,5 g/kgBB
Nefrotik syndrome 0,8-1,0 g/kgBB
Penyakit hati
Payah hati 1,0-1,5 g/kgBB
Sirosis hati 1,0-1,2 g/kgBB
Penyakit hati dgn ensephalopati 0,6-0,8 g/kgBB
1. Kebutuhan mikro nutrien
Kebutuhan mikronutrien anti oksidan sebaiknya dilengkapi
dari bahan makanan sumber (American Cancer Society,
2005). Tetapi apabila ditemukan kekurangan mikro nutrient
akibat asupan yang tidak adekwat atau pengeluaran yang
berlebihan maka pembelian multivitamin dan mineral dapat di
berikan (Bloch, 1988, ADA 2000, Brown et al, 20013).
Rekomendasi jumlah mikronutrien dapat diberikan
berdasarkan rekomendasi asupan nutrisi (NCCFN, 2005).
2. Kebutuhan EPA
Suplementasi asam lemak omega 3 dapat membantu
memper-tahankan berat badan pada pasien kanker dengan
diet oral yang mengalami penurunan berat badan (Grade A).
Rekomendasi untuk EPA adalah sebesar 2g. Dapat diberikan
melalui makanan/ makanan komersial yang diperkaya dengan
EPA, atau suplemen EPA (Grade B, Aspe 2009).
2g EPA didapat dari :
• 8-11 kapsul minyak ikan (EPA 180 mg)
• 300-400 g ikan laut( dari ikan tenggiri atau ikan kembung)
A. Terapi Nutrisi pada pasien kanker terminal
Enteral nutrition dapat diberikan untuk mengurangi penurunan
berat badan, selama diinginkan oleh pasien proses kematian
belum mulai. Bila akhir kehidupan sudah sangat dekat, umumnya
pasien hanya membutuhkan sedikit makanan dan minuman
untuk mengurangi lapar dan haus. Berikan minuman untuk
mencegah dehidrasi. Pemberian cairan intravena juga dapat
diberikan sebagai jalan untuk pemberian obat. Jika tidak tersedia
akses intravena, dan pasien memerlukan cairan untuk mence-
gah gejala akibat dehidrasi, cairan dapat diberikan melalui
subku-tan dengan junlah antara 500 ml -1000 ml, sesuai jumlah
urine per 24 jam ditambah EWL. Bila diperlukan nutrisi parenteral
dapat diberikan pada pasien kanker dengan penurunan berat
badan dan penurunan asupan nutrisi. (ESPEN 2009). Stadium
terminal yang belum memasuki fase terminal yaitu jika nutrisi
tidak dapat diberikan nutrisi melalui oral atau enteral.
Berbagai tips untuk mengatasi gejala-gejala yang berhu-
bungan dengan nutrisi :
- Mulut kering
Konsumsi makanan yang dapat meningkatkan air liur.
Hindari alkohol, kopi, serta obat kumur yang mengandung
alkohol. Konsumsi makanan dengan tambahan cairan.
Gunakan pelembab untuk rongga mulut.
- Mual dan muntah
Berikan makanan porsi kecil dan sering. Pilih makanan
dengan sedikit rasa, hindari makanan manis, berlemak,
berbau menyengat. Makanan favorit akan lebih mengurangi
rasa mual. Pilih makanan yang lunak. Hindari minum cairan
pada perut kosong. Telan makanan perlahan-lahan.
Jangan berbaring dalam waktu kurang dari 1 jam.
- Tidak nafsu makan
Makan dengan porsi kecil dan sering makanan padat tinggi
kalori. Tambahkan protein dan kalori pada makanan yang
disukai pasien. Nikmati makanan pada saat keadaan
pasien sedang nyaman. Minumlah minuman yang berkalori
diantara waktu makan. Lakukan aktifitas fisik ringan untuk
meningkatkan nafsu makan.
- Cepat kenyang
Makan dengan porsi kecil dan sering makanan padat kalori.
Tambahkan protein dan kalori pada makanan yang disukai
pasien. Minumlah minuman yang berkalori diantara waktu
makan. Hindari makanan yang digoreng, berminyak,
bergas.Lakukan aktifitas fisik ringan untuk meningkatkan
nafsu makan.
- Konstipasi
Makan secara teratur, tingkatkan cairan 8-10 gelas perhari.
Hindari kopi, Konsumsi minuman hangat agar dapat
menstimulasi peristaltic usus. Lakukan aktifitas fisik ringan.
Biasakan buang air besar secara teratur.
- Diare
Tambahkan serat larut pada makanan sehari-hari. Hindari
serat tidak larut. Makan dengan porsi kecil dan sering.
Hindari makanan berminyak, digoreng, berbumbu, alkohol,
dan kopi. Makanan dengan produk susu. Hindari makanan
yang terlalu manis dan jus buah. Tingkatkan konsumsi
cairan, makanan tinggi kalium seperti pisang dan kentang,
makanan tinggi natrium seperti oralit.
- Gangguan menelan
Ikuti teknik menelan yang dianjurkan oleh fisioterapis,
makanlah makanan lembut, lunak, berbentuk pure. Makan-
lah porsi kecil, sering.Gunakan pengental makanan.
Hindari mengonsumsi roti, biscuit, krakers.
- Mukositis : konsumsi makanan lunak, dengan saus extra.
Hindari alkohol, jeruk asam, kopi, cuka, makanan kering,
makanan kasar. Konsumsi makanan dengan suhu ruang.
Gambar 2. Terapi nutrisi
Nutrisi
Indikasi Terapi Nutrisi
> 75% 60-75% < 60% < 60%
!
kebutuhan
kebutuhan
kebutuhan kebutuhan
energy dari energy dari energy dari energy dari
makanan makanan makanan makanan dan
selama>10 hr makanan
enteral
selama>10 hr
Tidak bias
makan>7 hr
Konsultasi Pemberian Nutrisi enteral Nutrisi
nutrisi suplementasi parenteral
nutrisi oral
Nasogastrik Gastrostomi Nutrisi Nutrisi
Nasoenteral
Jejunostomi
parenteral parenteral
perifer sentral
a. TATA LAKSANA GEJALA FISIK
Gejala yangmuncul pada pasien dengan penyakit stadium
lanjut bervariasi.
Prinsip tata laksananya adalah sebagai berikut:
1) EVALUASI:
a) Evaluasi terhadap gejala yang ada:
• Apa pemicu gejala tersebut (kanker, anti kanker dan
pengobatan lain, tirah baring, kelainan yang menyertai)
• Mekanisme apa yang mendasari gejala yang
muncul? (misalnya: muntah karena tekanan
intrakranial yang meningkat berlainan dengan
muntah karena obstruksi gastrointestinal)
• Adakah hal yang memperberat gejala yang ada
(cemas, depresi, insomnia, kelelahan)
• Apakah dampak yang muncul akibat gejala tersebut?
(misalnya: tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, tidak
dapat beraktifitas)
• Pengobatan atau tindakan apa yang telah diberikan?
Mana yang tidak bermanfaat?
• Tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk
menga-tasi pemicu nya?
b) Evaluasi terhadap pasien:
• Seberapa jauh progresifitas penyakit ? Apakah gejala
yang ada merupakan gejala terminal atau sesuatu
yang bersifat reversible?
• Apa pendapat pasien terhadap gejala tersebut?
• Bagaimana respon pasien?
• Bagaimana fungsi tubuh? (Gunakan KARNOFSKY
RATING SCALE/ECOG)
2) PENJELASAN:
Penjelasan terhadap pemicu keluhan yang muncul
sangat bermanfaat untuk mengurangi kecemasan pasien.
Jika dokter tidak menjelaskan, mungkin pasien bertambah
cemas karena menganggap dokter tidak tahu apa yang
telah terjadi dalam dirinya.
1. DISKUSI
Diskusikan dengan pasien pilihan pengobatan yang ada,
hasil yang dapat dicapai dengan pilihan yang tersedia,
pemeriksaan yang diperlukan, dan apa yang akan terjadi
jika tidak dilakukan pengobatan.
2. PENGELOLAAN SECARA INDIVIDU
Pengobatan bersifat individual, tergantung pada pilihan
yang tersedia, manfaat dan kerugian pada masing masing
pasien dan keinginan pasien dan keluarga.
Pengobatan yang diberikan terdiri dari:
a) Atasi masalah berdasarkan pemicu dasar : atasi
pemicu nya bila memungkinkan (Pasien dengan nyeri
tulang karena metastase, lakukan radiasi bila memung-
kinkan. Pasien dengan sesak nafas karena spasme
bronkus, berikan bronkodilator)
b) Terapi medikamentosa : setiap obat opioid dimulai
dengan dosis terendah, kemudian lakukan titrasi, untuk
mendapatkan efek yang optimal dan dapat mencegah
penderitaan dan penurunan kualitas hidup akibat efek
samping obat tersebut.
c) Terapi fisik : selain dengan obat, modalitas lain diperlu-
kan untuk mengatasi gejala misalnya relaksasi,
pengatur-an posisi, penyesuaian lingkungan dll.
3. PERHATIAN KHUSUS
Walaupun gejala yang ada tidak dapat diatasi
pemicu nya, mengatasi keluhan secara simtomatis
dengan memperhati-kan hal hal kecil sangat bermanfaat
(misalnya jika operasi, kemoterapi atau radiasi pada kanker
esofagus tidak dapat lagi diberikan, pengobatan untuk
jamur di mulut akan berma-faat bagi pasien).
6) PENGAWASAN
Pengawasan terhadap pasien, gejala yang ada dan
dampak pengobatan yang diberikan sangat diperlukan
karena pada stadium lanjut,karena keadaan tersebut dapat
berubah dengan cepat.
1. NYERI
Nyeri adalah keluhan yang paling banyak dijumpai pada
pasien kanker stadium lanjut. Nyeri juga merupakan keluhan
yang paling ditakuti oleh pasien dan keluarga. 95% nyeri
kanker dapat diatasi dengan kombinasi modalitas yang
tersedia, termasuk memberi perhatian terhadap aspek
psikologi, sosial, dan spiritual.
Terdapat 2 jenis nyeri pada kanker yaitu nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik.
Tabel 3. Jenis nyeri:
Nosiseptif- Nosiseptif- Nosiseptif- Neuropatik
Somatik superfisial Somatik dalam Viseral
Asal Kulit, subkutan, mukosa Tulang, sendi, otot, Organ tubuh, Kerusakan pada
rangsangan mulut, hidung, sinus, tendon, ligament masa tumor dan saraf nociceptive
uretra, anus kelenjar getah
bening yang
Sifat Panas,tajam,menyengat Tumpul, berdenyut, dalam, Disestesia, alodinia,
Tumpul, dalam, phantom, kebas
Sangat terlokalisir Terlokalisir kram Sesuai dermatom
Lokasi
Tidak Tidak/ya Sukar ditentukan
Penjalaran Ya
Tidak Memperburuk Ya
Efek gerakan Traksi memperburuk
Ya Ya Mungkin Tidak
Nyeri tekan Tidak meringankan Tidak stabil:
Efek otonom Mungkin Mungkin hangat/dingin,
Mual, muntah, berkeringat,
berkeringat, sianosis, pucat
tekanan darah,
nadi
Tabel 4. Penilaian nyeri:
Gunakan formulir untuk penilaian nyeri terlampir.
Nyeri + Nyeri - Antisipasi Nyeri
1. Ukur skala nyeri 24 jam terahir dan saat ini, Skrining pada 1. Berikan analgesik
saat istirahat dan bergerak* kunjungan dosis renjatan
2. Karakteristik nyeri berikutnya sebelum prosedur
3. Lokasi nyeri dilakukan
4. Penjalaran/ reffered 2. Berikan anxiolitik
5. Menetap/intermitten bila diperlukan
6. Onset dan durasi 3. Anestesi topikal
7. Faktor yang memperberat/memperingan 4. Lidocain
8. Dampak terhadap aktivitas, kemampuan subkutaneus
berjalan, pekerjaan, nafsu makan, tidur,
mood dan hubungan dengan orang lain
9. Gejala lain yang menyertai
10. Obat dan dosis dan intervensi yang telah
dilakukan
11. Respon dan efek samping terhadap obat atau
intervensi tsb
12. Riwayat kanker dan pengobatannya
13. Pemeriksaan fisik
14. Laboratorium penunjang
15. Aspek lain:
a. Arti dan akibat nyeri bagi pasien
dan keluarga
b. Pengetahuan dan kepercayaan
tentang nyeri
c. Kultur terhadap nyeri
d. Faktor Spiritual dan
keyakinan/agama terhadap nyeri
e. Tujuan dan harapan tata laksana
nyeri
f. Kondisi psikologis pasien
g. Dukungan keluarga
h. Gangguan psikiatri
i. Faktor resiko adanya ketidak taatan
berobat
16. Tentukan etiologi (kanker, terapi kanker atau
prosedurnya, non kanker, debilitas)
17. Patofisiologi
18. Tentukan jenis nyeri (Neuropatik,
nociceptik)
SKALA NYERI:
(*lihat panduan tata laksana nyeri)
1. NRS (Numeric Rating Scale)
Tanyakan intensitas nyeri dengan menggunakan angka 0-
10 Catatan :
0 berarti tidak nyeri
1 – 3 berarti nyeri sedang
4 – 10 berarti nyeri berat dan
10 sangat nyeri
2. Categorial Scale
Dibagi atas : nyeri ringan – nyeri sedang – nyeri berat
3. Behaviour Pain Scale (Payen JF et al. Crit Care Med, 2001)
Digunakan pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi
atau menggunakan ventilator
Skala Behavior Pain Scale (BPS) untuk pasien dewasa dengan penurunan kesadaran
dengan ventilator :
Ekspresi Wajah
Tenang 1
Sebagian Muka menegang (dahi mengerenyit) 2
Seluruh muka menegang (kelopak mata menutup) 3
Wajah menyeringai 4
Pergerakan atau posisi ekstremitas atas
Tenang 1
Menekuk sebagian di daerah siku 2
Menekuk total dengan disertai jari-jari mengepal 3
Menekuk total secara terus-menerus 4
Toleransi terhadap ventilasi mekanik
Dapat mengikuti pola ventilasi 1
Batuk tetapi masih dapat mengikuti pola ventilasi 2
Melawan pola ventilasi 3
Pola ventilasi tidak ditoleransi 4
Nilai < 5 berarti pasien bebas nyeri
Nilai > 5 berarti pasien mengalami nyeri yang perlu diterapi
TATA LAKSANA NYERI:
Sesuai dengan pemicu yang ada dan prinsip tata laksana
yang digunakan di perawatan paliatif, modalitas yang dapat
digunakan adalah sbb:
a. Medikamentosa :
Analgetik: NSAID, Non opioid, Opioid; Adjuvant (kortikoste-
roid, antidepresan, anti epilepsi, relaksan otot, antispas
modik)
b. Nonmedikamentosa
• Fisik: kompres hangat, TENS
• Interupsi terhadap mekanisme nyeri: anestesi, neurolisis
dan neurosurgery
• Modifikasi lingkungan dan gaya hidup: hindari aktifitas
yang memacu atau memperberat nyeri, immobilisasi
bagian yang sakit dengan alat, gunakan alat bantu untuk
jalan atau kursi roda
• Psikologis: penjelasan untuk mengurangi dampak
psikologis
• Relaksasi, cognitive-behavioural terapy, psychodynamic
terapy
c. Lain-lain
Modifikasi terhadap proses patologi yang ada:
diperlukan pada kondisi darurat seperti patah tulang karena
proses metastase, resiko patah tulang pada tulang
penyang-ga tubuh, metastase ke otak, leptomeningeal atau
epidural, obstruksi memerlukan radioterapi dan infeksi
memerlukan antibiotik.
Penggunaan obat
Penggunaan analgetik dan obat adjuvant sangat penting.
Digu-nakan pedoman WHO STEP LADDER sebagai dasar
pemberi-an obat (WHO Geneva, 1986 disesuaikan dengan
obat yang tersedia di Indonesia).
Tabel 5. Pemberian analgetik berdasarkan WHO Step Ladder.
Analgetik Obat pilihan Obat lain
STEP 1 Nyeri Non-opioid + NSAID Parasetamol
Ringan Adjuvant
1-3
STEP Nyeri tetap atau Opioid lemah + Codein Tramadol
Sedang meningkat Non-opioid +
4-6 Adjuvant
STEP 3 Nyeri tetap atau Opioid kuat + Morfin Fentanil
Berat meningkat Non-opioid +
7-10 Adjuvant
a. Digunakan untuk nyeri ringan, terutama untuk jaringan
lunak dan musculoskeletal serta penurun panas
b. Sebagai suplemen opioid sehingga memungkinkan dosis
opioid yang lebih kecil.
c. Dosis parcetamol adalah 500 mg – 1000 mg per 4-jam.
Maksimum dosis adalah 4 gram perhari.
NSAID (Non Steroid Anti Inflamatory Drug)
NSAID sangat efektif untuk menangani nyeri tulang. Selain itu,
dipakai pada nyeri akibat inflamasi dan kerusakan jaringan,
nyeri karena metastase tulang, demam neoplastik dan nyeri
post operasi.
NON OPIOID
PARACETAMOL:
Tabel 6. Golongan NSAID, dosis dewasa, interval dan dosis
maksimum
Obat Dosis dewasa Interval Dosis maksimum/hr
(mg) (jam)
Oral
Celecoxib 100 – 200 12 – 24 400
Diclofenac 25 - 50 8 – 12 150
Ibuprofen 200 - 400 6 – 8 2400
Ketoprofen 50 - 100 6 – 12 200
Ketorolac (max. 3 hari)
< 65 th 10 4 – 6 40
>65 th 10 6 – 8 30 – 40
Asam Mefenamat 500 8 1500
Meloxicam 7.5 – 15 24 15
Piroxicam 10 – 20 24 20
Parenteral
Ketorolac
< 65 tahun 10 – 30 4 – 6 90
>65 tahun 10 – 15 4 – 6 60
OPIOID UNTUK NYERI SEDANG/ NYERI RINGAN YANG
TIDAK RESPON TERAPI SEBELUMNYA
CODEIN:
o Digunakan untuk nyeri sedang, dapat diberikan secara oral.
• Dosis: 0,5- 1 mg/kg (max 60 mg/dosis)
• Efek samping: sedasi, konfusi, hipotensi, mual, muntah
dan konstipasi
o Efek samping berupa konstipasi memerlukan laksatif
secara rutin
o Hanya digunakan bila obat-obatan lain tidak tersedia.
TRAMADOL:
o Tramadol memiliki efek samping yang minimal terhadap
sedasi, depresi pernafasan dan gastrointestinal. Dosis: 2
mg/kgdosis maksimal (iv) 600 mg/ 24 jam dan dosis maksi-
mal (po) 8 mg/kg/hari.
o Efek samping: mual, muntah, gangguan sistem
kardiovasku-lar dan pernafasan (efek minimal)
OPIOID UNTUK NYERI BERAT/ NYERI SEDANG YANG
TIDAK RESPON TERHADAP TERAPI SEBELUMNYA
MORFIN ORAL
a. Morfin adalah jenis obat lini pertama jika ada indikasi
pembe-rian opioid
b. Mulai dengan dosis kecil immediate release (IR) PO: 2,5 –
5 mg tiap 4 jam kemudian lakukan titrasi sampai dosis yang
diper-lukan
c. Tetap gunakan IR morfin untuk nyeri renjatan dan nyeri
insi-den dengan dosis 1/6-1/10 total dosis 24 jam.
d. Jika nyeri renjatan atau incident terjadi, dosis harian (dosis
dasar) tetap diberikan sesuai jadwal.
e. Dosis morfin perlu dinaikkan 30% – 50% jika efek morfin
hanya sebagian atau durasinya sebentar.
f. Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50% jika efek samping
yang muncul persisten.
g. Dosis harian perlu dinaikkan, bila renjatan nyeri terjadi 3x
atau lebih dalam sehari, dengan menjumlahkan dosis
harian dan jumlah dosis renjatan untuk hari berikutnya
h. Gantikan IR morfin dengan sustained release (SR) morfin
segera setelah dosis yang diperlukan tercapai: dosis 24
jam immediate release dibagi 2 untuk diberikan 2x sehari.
a. SR morfin mempunyai kelebihan seperti tidak perlu minum
di tengah malam, efek samping mengantuk dan mual lebih
ringan, dan rasa yang lebih dapat diterima.
b. Catatan :
a. Agar konsentrasi morfin dalam darah dapat dipertahan-
kan, berikan dosis SR pertama bersamaan dengan
dosis IR terakhir.
b. Tablet SR jangan digerus, jangan dikunyah, harus ditelan
utuh agar memiliki efek kerja dan durasi yang diinginkan.
c. Bila pasien tidak dapat menelan, tablet dapat diberikan
per rektal dengan dosis yang sama.
MORFIN PARENTERAL
a. Pemberian morfin secara parenteral diperlukan dalam
kondisi pasien tidak dapat menelan, mual muntah hebat
atau ada obstruksi usus, kesadaran yang menurun, kebu-
tuhan dosis yang tinggi, nyeri harus segera diatasi dan
pada pasien yang tidak patuh untuk minum obat.
b. Pemberian morfin parenteral sebaiknya diberikan secara
subkutaneus (SK) atau intravena (IV). Pemberian
intramuskuler sebaiknya dihindari karena absorbsi yang
tidak teratur dan nyeri pada saat penyuntikan.
c. Dosis morfin parenteral adalah 1/3 dosis oral.
d. Dosis morfin parenteral 24 jam adalah jumlah dosis oral 24
jam dibagi 3. (dosis dasar + dosis renjatan, tidak termasuk
dosis untuk nyeri insiden)
e. Pemberian morfin secara SK atau IV dimulai dengan 1/3
dosis oral.
f. Pemberian morfin secara intermiten dengan dosis 1/6 dosis
24 jam, diberikan tiap 4 jam.
g. Pemberian secara SK atau IV secara kontinyu dimulai
dengan pemberian dosis loading 1/6 dosis 24 jam.
FENTANIL
a. Fentanil tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping
terhadap susunan saraf pusat lebih sedikit dibanding
dengan morfin. Efek konstipasi juga lebih ringan.
a. Pemberian dapat melalui transdermal atau parenteral. Pem-
berian secara IV atau SK memiliki durasi singkat sehingga
dapat digunakan untuk nyeri renjatan, insiden atau prosedur.
b. Kekurangan fentanil adalah tidak memiliki bentuk oral,
dosis yang besar tidak dapat diberikan melalui SK karena
memiliki volume yang besar, efek onset yang lama (18-24
jam), dosis transdermal terbatas (12,5; 25; 50; dan 100
mikrogram per jam) dan tidak dapat dipotong untuk
mendapatkan dosis yang lebih kacil. Kekurangan yang lain
adalah bila pasien berkeringat, bentuk transdermal
mungkin kurang berman-faat.
c. Bila menggunakan transdermal, dosis dasar opioid harus
tetap diberikan pada 12 – 18 jam pertama.
d. Dosis equivalen untuk 25 mikrogram per jam trandermal
fentanil adalah 60 – 100 mg oral morfin/24 jam.
Tanda klinis toksik dan overdosis yang perlu diketahui pada
penggunaan opioid kuat :
a. Gangguan kesadaran
b. Delirium
c. Halusinasi
d. Mioklonus
e. Depresi nafas (melambatnya pernafasan) .
Tabel 7. Adjuvan therapy
Golongan obat Manfaat Dosis Keterangan
NMDA-reseptor antagonist Nyeri neuropatik 10 – 25 mg SK/
Ketamine 50 -100 mg/24 jam
Antiepileptic Nyeri neuropatik
Carbamazepine 100 – 400 mg/ 12 jam Kenaikkan dosis/3 hr
Gabapentin 300 mg per 8 jam Mulai 300 mg 1x/hr
Antidepressant: TCA Nyeri neuropatik 10 – 150 mg ON Kenaikan dosis/7 hr
Antiarrhytmic: Clonidin Nyeri neuropatik
Golongan obat Manfaat Dosis Keterangan
Corticosteroid Nyeri akibat SOP TIK , kompresi tulang
Dexamethazone 4 – 16 mg PO/SK/hr belakang, distensi
Prednisolone 25 - 100 mg PO/hr liver, obstruksi
Biphosphonate Nyeri metastase
Disodium pamidronate Tulang
Sodium clodronate
Zoledronic acid 4 mg IV 15 minutes
Benzodiazepin Nyeri spasme otot
Diazepam lurik 2 – 5 mg, 1 –3x/hari
Baclofen 5 – 25 mg, 3x/hari Hati2 pd gg ginjal
Anticholinergic agent Nyeri spasme otot 10 mg SK/ 4 jam Mungkin digunakan
Hyoscine butylbromide Polos 60 - 80 mg/ 24 jam bersama opioid
Penatalaksanaan nyeri pada fase terminal dari stadium termi-
nal (kematian diperkirakan dalam hari atau minggu), adalah
sbb :
a. Jangan kurangi dosis opioid semata mata karena
penurunan tensi, respirasi atau kesadaran, namun
pertahankan sampai mencapai kenyamanan
b. Perhatikan adanya neurotoksisitas karena opioid termasuk
hyperalgesia
c. Bila pengurangan dosis diperlukan, kurangi 50% dosis 24
jam
d. Gantikan cara pemberian opioid bila diperlukan (oral, sk, iv,
transdermal) dengan dosis konversi
e. Bila terdapat refractory pain (nyeri alih), pertimbangkan
sedasi.
CATATAN :
Untuk nyeri kepala karena peningkatan TIK / edema otak
dapat diberikan steroid
Nyeri tulang karena hiperkalsemia dapat diberikan bifos-
fonat
Bila ditemukan infeksi penyerta / infeksi sekunder diberikan
antibiotik yang sesuai.
Nyeri karena kolik diberikan antispasmodik
Nyeri karena spasme otot diberikan muscle relaxan.
2. GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN
XEROSTOMIA
Xerostomia atau mulut kering mungkin tidak menimbulkan rasa
haus pada pasien stadium terminal, sehingga perlu diperiksa
walaupun pasien tidak mengeluh, untuk melihat apakah ada
tanda dehidrasi, inflamasi, kotor atau tanda infeksi.
pemicu mulut kering bisa berupa kerusakan kelenjar liur,
akibat radiasi, kemoterapi atau infeksi, atau efek samping
obat seperti Trisiklik, antihistamin, antikolinergik. Dehidrasi
dan penggunaan oksigen tanpa pelembab dapat juga
menyebab-kan mulut kering. pemicu yang sering adalah
adanya infeksi kandida akibat pemakaian steroid yang lama.
Tata laksana:
a. Atasi dasar pemicu :
Review obat obat yang diberikan
Berikan obat untuk kandidiasis
b. Non-Medikamentosa: lakukan perawatan mulut seperti di
bawah
c. Medikamentosa: Pilocarpin solution 1mg/1ml, 5 ml kumur 3
x sehari
STOMATITIS
Peradangan pada mulut bisa sangat mengganggu pasien.
Stomatitis dapat menyebabkan perubahan rasa yang dapat
menyebabkan penurunan nafsu makan. Nyeri yang muncul
mengakibatkan pasien tidak dapat makan/minum sehingga
pemberian obat dapat terganggu.
Stomatitis dapat disebabkan oleh radiasi, kemoterapi, infeksi
(jamur, virus, bakteri), pemakaian obat, dan malnutrisi.
Pengobatan berupa perawatan mulut dan menghilangkan
pemicu nya
PERAWATAN MULUT
3. Mencuci mulut setiap 2 jam dengan air biasa atau air yang
dicampur dengan air jeruk, sodium bikarbonat.
4. Jaga kelembaban mulut dengan sering minum
5. Pada xerostomia: Rangsang air liur dengan irisan jeruk yang
dibekukan, potongan es atau permen karet tanpa gula.
6. Untuk mencegah agar`bibir tidak pecah pecah, olesi
dengan krim dengan bahan dasar lanolin
7. Pada hypersalivasi: teteskan di mulut atropine tetes mata
1%, 1 – 2 tetes 3 x sehari
PERAWATAN SIMTOMATIS untuk mengurangi nyeri
d. Parasetamol gargle setiap 4 jam
e. Lignocain 2% 10 – 15 ml, kumur setiap 4 jam
PENGOBATAN SESUAI pemicu
e. Kandidiasis:
Miconazole 2%, 2.5 mg oleskan lalu telan Nystatin
100.000 unit/ml, 1 ml oleskan lalu telan.
Untuk kandidiasis berat: Fluconazol 50 – 100 mg PO/ hari
atau ketoconazole 200 mg PO/ hari
f. Ulkus Aphtous
Pasta triamcinolone acetonide 0.1%/ 8 jam
g. Herpes simplex
Lesi tunggal: acyclovir 5% oleskan/4 jam.
Pada kasus berat: acyclovir 400 mgPO/8 jam atau 5mg/kg
IV/8 jam
Catatan: cara pengunaan obat dan perawatan mulut yang
baik sangat diperlukan agar mencapai hasil optimal.
KESULITAN MENELAN/DISFAGIA
Terdapat tiga fase yang diperlukan untuk menelan, yaitu fase
bukal, faringeal dan esophageal. Disfagia dapat terjadi pada
ketiga fase tersebut. pemicu disfagia antara lain adalah
obstruksi tumor, peradangan yang disebabkan oleh infeksi,
radiasi atau kemoterapi, xerostomia, gangguan fungsi neuro-
muskuler akibat operasi, fibrosis karena radiasi, ganguan
saraf kranial dan kelemahan umum. Disfagia dapat disertai
dengan odinofagia yang mempersulit keadaan pasien.
Tata laksana pada disfagia orofaringeal:
• Edukasi cara makan seperti posisi duduk agar bisa
menelan lebih mudah, dan jenis makanan yang lembut
dalam porsi kecil.
• Kortikosteroid sering bermanfaat pada disfagia yang
disebabkan oleh obstruksi intrinsik, infiltrasi pada saraf dan
disfungsi saraf kranial.
• Akumulasi air liur akibat obstruksi dapat dikurangi dengan
obat antikolinergik untuk mencegah aspirasi dan air liur
yang mengalir terus menerus yang mengganggu.
• Nutrisi enteral: Pemberian makanan melalui rute lain
seperti sonde lambung (Nasogastic tube) atau gastrostomi
subkuta-nius perlu dipertimbangkan manfaat dan
kerugiannya dilihat dari kondisi pasien.
Tata laksana pada disfagi esophageal:
• Kortikosteroid yang diberikan pada waktu singkat:
dexameta son 8 mg 3 – 5 hari
• Pemberian obat untuk mengurangi refluks asam lambung :
omeprazole 1 x 20 mg : atau ranitidine 2x 300mg.
• Pemasangan stent
• Radioterapi bila kondisi memungkinkan
• Pada kasus terminal, tindakan invasif tidak dianjurkan.
ANOREKSIA/KAHEKSIA
Tabel 8. Intervensi pada anoreksia/ kakheksia
Harapan hidup Beberapa tahun Beberapa Beberapa Beberapa hari
bulan – 1 th minggu sampai sampai
beberapa bulan beberap
Intervensi minggu
Obati pemicu Cepat kenyang: + +
anorexia metoclopromid
Gejala yang menyebabkan + +
anorexia:
Depresi
Konstipasi
Nyeri
Xerostomia
Mucositis
Mual/muntah
Fatigue
+ +
Evaluasi obat yang
+ - menurunkan nafsu makan
Evaluasi gangguan
endokrin:
Gangguan thyroid
Gangguan
metabolit seperti
+ -
hiperkalsemia
Penambah nafsu makan :
+ -
Megestrol acetat
+ -
Program Olahraga
Konsultasi gizi
Lihat catatan
dibawah*
ANOREKSIA
Anoreksia pada pasien stadium lanjut sering kali bukan
menja-di keluhan pasien tetapi keluhan keluarga. Hilangnya
nafsu makan sering dihubungkan dengan rasa penuh dan
cepat kenyang. Anorexia biasanya merupakan gejala
Anorexia –Cachexia Sindrom atau kondisi yang lain.
Penjelasan kepada keluarga:
Anoreksia dapat menimbulkan kecemasan bahkan ketakutan
pada keluarga. Bila hal ini terjadi, dapat dilakukan :
• Berikan makanan dalam dosis kecil yang bervariasi dan
dalam penyajian yang menarik akan menimbulkan
selera.Tidak bisa makan atau hanya bisa makan sedikit
pada pasien stadium lanjut adalah normal, dan berikan
makanan sesuai keinginan pasien.
• Jangan paksakan pasien untuk makan dan hilangkan
pikiran bahwa jika pasien tidak makan dia akan meninggal.
Yang terjadi adalah karena pasien dalam kondisi terminal,
maka tidak mampu untuk makan. Karena makan adalah
kebiasaan sosial, mengajak pasien makan di meja makan
mungkin akan menimbulkan selera
• Pemberian nutrisi mungkin tidak dapat lagi dimetabolisme
pada pasien dengan stadium terminalTerdapat resiko
5. Terdapat resiko yang berhubungan dengan nutrisi artifisial,
yaitu: kelebihan cairan, infeksi dan menyebabkan kematian
2) Gejala seperti mulut kering, dapat diatasi dengan
pemberian cairan sedikit-sedikit dan kebersihan mulut
3) Menghentikan nutrisi parenteral dan sonde lambung bisa
mengurangi beberapa gejala seperti ketidaknyamanan atau
risiko infeksi, aspirasi
3. Jika Pasien ingin makan namun tidak ada nafsu makan,
berikan kortikosteroid 2 – 4 mg pagi hari akan bermanfaat
pada kurang lebih 50% pasien dalam beberapa minggu.
Obat lain: megestrol 160- 800 mg pagi hari.
MUAL/MUNTAH
Mual dan muntah adalah salah satu keluhan yang sangat
menganggu pasien. pemicu nya mual pada pasien paliatif
biasanya lebih dari satu macam. Mual dapat terjadi terus
menerus atau intermiten. Muntah sering disertai dengan mual,
kecuali pada obstruksi gastrointestinal atau peningkatan
tekanan intracranial. Tata laksana mual dan muntah harus
disesuaikan dengan pemicu nya.
Gambar 3. Patofisiologi muntah dan cara kerja obat antiemetik:
Hiperasiditas menyebabkan mual, rasa pahit dan nyeri
lambung. Bila sesudah muntah keluhan masih ada, berikan
proton pump inhibitor seperti omeprazole 20 mg atau raniti-
dine 300 mg PO.
Mual akibat iritasi mukosa karena pemberian NSAID:
omeprazole 20 mg PO
Mual akibat kemoterapi atau radiasi: 5-HT3 –reseptor anta-
gonis: ondansetron 4 mg 1-2x/hari dan atau eksametason 4
mg pagi hari
KONSTIPASI
Terdapat berbagai pemicu konstipasi pada pasien dengan
penyakit stadium lanjut sbb:
a. Diet rendah serat dan kekurangan cairan
b. Imobilitas
c. Tidak segera ke toilet pada saat rasa bab muncul
d. Obat: opioid, anti-cholinergic, antacid yang mengandung
alumunium, zat besi,antispasmodic, antipsikotik/anxiolitik
e. Obstruksi saluran cerna: faeces, tumor, perlengketan
f. Gangguan metabolism: hiperkalsemia
g. Ganguan saraf gastrointestinal, neuropati saraf otonom
Tata laksana:
1. Atasi pemicu dasar konstipasi
2. Anjurkan makanan tinggi serat dan tingkatkan jumlah cairan
3. Anjurkan pasien untuk banyak bergerak bila mungkin
4. Berikan respon yang cepat bila pasien ingin buang air besar
5. Hentikan atau kurangi obat yang menyebabkan konstipasi
6. Koreksi hiperkalsemia
7. Atasi obstruksi bila mungkin
8. Gunakan penyangga kaki untuk meningkatkan kekuatan
otot abdomen
Medikamentosa :
Obat untuk mencegah konstipasi harus diberikan pada pasien
yang mendapat opioid. Gunakan laksatif yang mengandung
pelunak faeces dan perangsang peristaltik.
Bila konstipasi telah terjadi: bisacodyl 10 mg dan glyserin
supositoria. Jangan berikan laksatif pada obstruksi.
Gunakan laksatif pelembut feses atau osmotik pada obstruksi
partial.
Jika pemberian laksatif gagal, lakukan Rectal Touche :
a. Jika feses encer, berikan 2 tablet bisacodyl atau microlax
b. Jika feses keras, berikan 2 gliserin supositoria
c. Jika rectum kosong, lakukan foto abdomen
Tata laksana rehabilitasi medik pada kasus konstipasi adalah
dilakukan bowel training.
DIARE
pemicu diare ada beberapa macam. Diantaranya adalah
adanya infeksi, malabsorbsi, obstruksi partial, karsinoma
kolorectal, kompresi tulang belakang, penggunaan antibiotik,
kemoterapi atau radiasi, dan kecemasan.
Tata laksana diare sesuai dengan pemicu nya.
Pada malabsorbsi, pemberian enzim pancreas akan berman-
faat.
Lakukan perawatan kulit sekitar anus dengan zinc oxide.
OBSTRUKSI GASTROINTESTINAL
Obstruksi gastrointestinal adalah hal yang sulit pada pasien
paliatif. pemicu nya dapat mekanik atau paralitik. Penyum-
batan bisa terjadi baik intraluminal atau ekstralumunal akibat
inflamasi atau metastase. Obstruksi dapat terjadi beberapa
tempat pada pasien dengan keterlibatan bagian peritoneal.
Obat yang diberikan dapat memperparah konstipasi. Penye-
b