yaitu lebih dari 105 organisme per gram
makanan) untuk dapat menimbulkan gejala klinis.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 6-24 jam, biasanya 10-12 jam.
7. Masa Penularan: Tidak ada.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Hampir semua orang rentan terhadap penyakit ini. Dari studi yang dilakukan pada para
sukarelawan, tidak ditemkan adanya kekebalan setelah berulangkali terpajan.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada penjamah makanan tentang risiko terjadinya
keracunan pada proses penyiapan dan penyediaan makanan berskala besar,
khususnya makanan berbahan baku daging. Bila memungkinkan, sajikan makanan
ini selagi masih panas setelah dimasak.
2) Sajikan daging selagi masih panas segera setelah dimasak, atau masukkan segera
kedalam pendingin yang dirancang secara tepat atau disimpan didalam lemari es
sampai dengan waktu penyajian, bila perlu panaskan kembali makanan ini
secara sempurna (dengan suhu minimal 70°C/158°F, dianjurkan lebih baik pada
suhu 75°/167°F atau lebih). Jangan memasak daging dan daging ayam setengah
matang kemudian dipanaskan kembali pada hari berikutnya, kecuali daging
ini telah disimpan pada temperatur yang aman. Potongan daging dengan
ukuran besar hendaknya langsung dimasak; untuk proses pendinginan secara cepat
makanan yang telah masak, pisahkan kaldu dan hidangan sejenis pada tempat yang
leter (dangkal) dan masukan segera kedalam alat pendingin cepat.
B, C dan D. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar,
Penanggulangan Wabah dan Dampak Bencana: Lihat Intoksikasi makanan akibat
Staphylococcus (lihat bagian I, 9 B, 9C dan 9D di atas.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
218
III. INTOKSIKASI MAKANAN OLEH BACILLUS CEREUS
ICD-9 005.8; ICD-10 A05.4
1. Identifikasi
Intoksikasi oleh bakteri ini ditandai dengan adanya serangan mendadak berupa mual,
muntah-muntah, ada juga disertai dengan kolik dan diare. Lamanya sakit umumnya tidak
lebih dari 24 jam dan jarang sekali menimbulkan kematian. Pada saat terjadi KLB,
diagnosa ditegakkan dengan melakukan pembiakan kuantitatif dengan kultur media
selektif untuk memperkirakan jumlah kuman pada makanan yang dicurigai (biasanya
lebih dari 105 kuman per gram makanan yang tercemar). Diagnosa juga ditegakkan
dengan melakukan isolasi kuman dari tinja yang berasal dari 2 orang penderita atau lebih
dan bukan dari tinja kontrol. Pemeriksaan enterotoksin sangat bermanfaat untuk
penegakan diagnosa namun tidak mungkin dilakukan secara luas.
2. Toksin Pemicu (Toxic agent)
Organisme Pemicu yaitu Bacillus cereus, kuman anaerob pembentuk spora. Ada 2
jenis enterotoksin yang dikenal, pertama yaitu enterotoksin tahan panas (heat stable) yang
memicu muntah-muntah, dan jenis lainnya yaitu enterotoksin yang tidak tahan
panas (heat labile) yang memicu diare.
3. Distribusi Penyakit
Bacillus cereas sangat dikenal sebagai Pemicu penyakit akibat makanan di seluruh
dunia, namun di Amerika Serikat jarang sekali dilaporkan.
4. Reservoir
Organisme ini ada dimana-mana didalam tanah dan di lingkungan sekitar kita, biasanya
ditemukan pada bahan makanan mentah, makanan kering dan makanan olahan.
5. Cara-cara Penularan
Cara penularan yaitu sebab mengkonsumsi makanan yang disimpan pada suhu kamar
setelah dimasak, yang memungkinkan kuman berkembang-biak. KLB yang disertai
dengan muntah-muntah sering terjadi setelah memakan nasi yang disimpan pada suhu
kamar sebelum dipanaskan kembali. Berbagai penyimpangan car-cara pengolahan
makanan mengakibatkan terjadinya berbagai KLB dengan diare.
6. Masa Inkubasi
Pada kejadian dimana gejala yang menonjol yaitu muntah-muntah, masa inkubasi
berkisar antara 1 sampai dengan 6 jam. sedang pada Distribusi Penyakit dimana gejala
yang menonjol yaitu diare masa inkubasi berkisar 6 sampai dengan 24 jam.
7. Masa Penularan : Tidak menular dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan Kekebalan: Belum diketahui.
219
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
Makanan seharusnya tidak disimpan pada suhu kamar setelah dimasak, sebab spora
B. cereus berada di mana-mana dan tahan pada suhu mendidih, dan kemudian tumbuh
dan berkembang biak secara cepat pada suhu kamar. Segera dinginkan sisa makanan
yang ada dengan cara yang tepat; panaskan kembali secepatnya untuk mencegah
berkembang biaknya mikroorganime.
B, C, dan D. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar; Upaya
Penanggulangan Wabah dan Implikasi bencana: Lihat intoksikasi makanan sebab
Staphylococcus (pada bagian I, 9B, 9C dan 9D, di atas).
IV. KERACUNAN IKAN SCOMBROID ICD-9 988.0; ICD-10 T61.1
(Keracunan histamin – Histamine poisoning)
Suatu sindroma gejala ditandai dengan gatal dan rasa panas di sekitar mulut, kemerahan
pada wajah dan berkeringat, mual dan muntah, sakit kepala, jantung berdebar, pusing,
ruam pada kulit yang muncul beberapa jam setelah makan ikan yang mengandung
histamin bebas dengan kadar tinggi (lebih dari 20 mg/100 gram ikan). Hal ini terjadi
apabila ikan mengalami dekomposisi oleh bakteri setelah ditangkap. Gejala ini dapat
hilang segera dalam waktu 12 jam dan tidak ada gejala/sisa dalam jangka panjang.
Keracunan ini dapat terjadi di seluruh dunia. Gejala ini dikaitkan dengan ikan yang
termasuk dalam famili Scromboidea dan Scomberesocidae (ikan tuna, mackerel, skipjack
dan bonito) yang banyak mengandung histidine dalam kadar tinggi yang dapat
mengalami decarboksilasi membentuk histamin yang dilakukan bakteri dalam tubuh ikan.
Namun demikian, keracunan dapat terjadi jika mengkonsumsi ikan-ikan yang bukan
termasuk dalam famili Scromboid, seperti: mahi-mahi (ikan lumba-lumba), ikan biru
(bluefish) dan salmon. Risiko terbesar dapat terjadi untuk jenis ikan yang diimpor dari
daerah tropis atau subtropis dan ikan yang ditangkap oleh para pemancing yang sedang
melakukan rekreasi, dimana mereka tidak memiliki sarana penyimpanan yang memadai
untuk ikan ukuran besar. Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya histamin pada ikan
yang secara epidemiologis diduga sebagai Pemicu terjadinya keracunan.
Proses pendinginan yang memadai maupun penyinaran radiasi yang dilakukan pada ikan
yag ditangkap dapat mencegah pembusukan. Gejala-gejal ini biasanya akan segera
hilang. Pada kasus yang berat, antihistamin mungkin cukup efektif untuk menghilangkan
gejala-gejala yang ada.
Ketika sebagian besar kejadian kercunan dikaitkan dengan ikan, beberapa jenis makanan
(seperti keju) yang mengandung asam amino tertentu dalam jumlah yang cukup dan
terkontaminasi oleh bakteri tertentu dan kemudian bakterinya berkembangbiak, dapat
menimbulkan keracunan scromboid apabila mengkonsumsi makanan ini .
220
V. KERACUNAN IKAN CIGUATERA ICD-9 988.0; ICD-10 T61.0
Kumpulan gejala yang ditandai dengan gangguan saluran pencernaan dan gangguan saraf
yang terjadi setelah 1 jam mengkonsumsi ikan karang tropis. Gejala gangguan saluran
pencernaan (diare, muntah-muntah, nyeri abdominal) muncul lebih awal, biasanya dalam
24 jam dari mengkonsumsi ikan yang tercemar. Pada kasus yang berat, penderita mungkin
mengalami hipotensi dengan paradoxical bradycardia. Gejala gangguan sistem saraf
dapat terjadi bersamaan waktu dengan gejala akut atau setelah 1-2 hari kemudian, gejala
ini meliputi nyeri dan lemah pada bagian bagian tubuh bagian bawah (suatu gejala yang
sangat khas di Karibia), ganggguan paresthesias circumoral dan peripheral, dan gejala ini
bisa menetap untuk beberapa minggu atau bulan.
Gejala lainnya yang khas dan sering dilaporkan seperti temperature reversal (es krim
terasa panas, kopi panas terasa dingin) dan aching teeth. Pada kasus yang sangat berat
(khususnya di Pasifik Selatan), gejala neurologis dapat berkembang menjadi koma dan
respiratory arrest dalam 24 jam pertama kesakitan. Hampir semua penderita dapat
sembuh total dalam beberapa minggu, namun gejala dapat kambuh dalam beberapa bulan
sampai tahunan.
Di daerah tropis, gejala ini disebabkan adanya toksin dalam ikan yang dihasilkan
oleh dinoflagellata Gambierdiscus toxicus dan ganggang jenis lain yang hidup di karang
di dasar laut. Ikan yang memakan ganggang menjadi beracun dan efeknya akan menjadi
lebih berat pada rantai makanan dimana ikan predator akan lebih toksik.
Ciguatera merupakan Pemicu utama timbulnya kejadian kesakitan di wilayah yang pada
umumnya mengkonsumsi ikan-ikan karang, di Karibia, Florida Selatan, Hawai, Pasifik
Selatan dan Australia. Insidens di Pasifik Selatan diperkirakan 500 kasus/100.000
warga /tahun dengan angka insidensi 50 kali lebih besar terjadi di beberapa gugus
kepulauan tertentu. Di Pulau Virgin, Amerika Serikat, telah dilaporkan insidence rate
sebesar 730 kasus/100.000 warga /tahun. Lebih dari 400 spesies ikan berpotensi
menjadi toksik. Di seluruh dunia, 50.000 kasus keracunan ciguatera terjadi setiap
tahunnya. Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya ciguatoksin pada ikan yang secara
epidemiologis diduga tercemar dan diduga sebagai Pemicu keracunan.
Mengkonsumsi ikan predator besar sebaiknya dihindari khususnya di daerah karang. Di
wilayah dimana terdapat fasilitas pengujian toksin pada ikan (misalnya di Hawai), risiko
terjadi keracunan sebab toksin dapat dikurangi dengan cara menyeleksi ikan ukuran besar
yang berisiko tinggi sebelum dimakan. Kejadian ikan beracun bersifat sporadis dan tidak
semua ikan yang termasuk dalam spesies ini atau yang berasal dari daerah ini
akan menjadi beracun.
Pemberian infus (cairan) mannitol secara intravena (1 g/kg BB dalam 20% larutan,
diberikan dalam waktu 45 menit) akan memberikan efek perbaikan yang dramatis pada
penderita dengan gejala akut sebab keracunan ikan ciguatera, khususnya pada penderita
keracunan berat. Perbaikan yang paling jelas dapat dilihat setelah pemberian mannitol -
yaitu perbaikan terhadap gejala gangguan neurologis. Tindakan penyelamatan jiwa
diperlukan untuk penderita yang mengalami koma.
221
VI. KELUMPUHAN sebab KERACUNAN KERANG-KERANGAN
ICD-9 988.0; ICD-10 T61.2
(Paralytic Shellfish Poisoning – PSP)
Kelumpuhan sebab keracunan kerang (PSP) yang klasik ditandai dengan kumpulan
gejala yang khas (lebih banyak pada sistem saraf) yang muncul dalam beberapa menit
sampai dengan beberapa jam setelah mengkonsumsi kerang (bivalve mollusca). Gejalanya
ditandai dengan paresthesia pada mulut dan anggota gerak, seringkali disertai dengan
gejala gangguan saluran pencernaan. Gejala biasanya hilang dalam beberapa hari. Pada
kasus yang berat, muncul gejala ataksia, dysphonia, dysphagia dan paralysis otot total
dengan berhentinya pernafasan dan dapat berakhir dengan kematian. Pada review secara
retrospektif yang dilakukan terhadap KLB PSP yang terjadi di Alaska antara tahun 1973
dan 1992, 29 orang (25% dari 117 penderita) memerlukan rujukan kedaruratan udara ke
rumah sakit, 4 kasus (3%) memerlukan intubasi dan seorang meninggal dunia.
Kesembuhan yang ditandai dengan hilangnya gejala dapat terjadi dalam beberapa jam
sampai dengan beberapa hari setelah mengkonsumsi kerang-kerangan.
Gejala yang timbul pada keracunan kerang ini disebabkan oleh adanya saxitoxins pada
kerang yang dihasilkan oleh spesies Alexandrium dan dinoflagellata yang lain.
Konsentrasi toksin ini pada tubuh kerang dapat terjadi yaitu pada saat ganggang
diperairan itu tumbuh dengan pesat yang dikenal sebagai “gelombang pasang merah – red
tide”, namun dapat juga terjadi tanpa adanya pertumbuhan ganggang ini . PSP
biasanya terjadi pada kerang-kerangan yang dipanen dari daerah perairan yang lebih
dingin di atas 30° Lintang Utara dan dibawah 30° Lintang Selatan, namun mungkin juga
dapat terjadi di perairan tropis. Di Amerika Serikat, PSP merupakan masalah utama di
negara bagian New England, Alaska, California dan Washington. Musim berkembangnya
spesies Alexandrium dengan pesat terjadi beberapa kali dalam setiap tahunnya, dimulai
pada bulan April sampai dengan bulan Oktober. Kerang menjadi beracun dan toksin
menetap dalam tubuh kerang sampai beberapa minggu setelah musim berkembang
pesatnya Alexandrium telah lewat. Ada juga beberapa spesies kerang yang tetap beracun .
Sebagian besar kasus terjadi pada individu dan kelompok kecil yang mengumpulkan
kerang-kerangan untuk konsumsi sendiri. Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukan
toksin pada makanan yang terkontaminasi. Dalam suatu percobaan (eksperimen) saxitoxin
dapat ditemukan didalam serum selama fase akut dan didalam urin setelah sembuh dari
gejala akut.
Neurotoksin PSP bersifat tahan panas. Survailans pada daerah risiko tinggi penghasil
kerang-kerangan di Amerika Serikat secara berkala dilakukan oleh Departemen Kesehatan
Negara Bagian dengan memakai standar bioassay pada tikus. Daerah ini akan
ditutup dan dilarang mengambil kerang apabila kadar toksin pada kerang melebihi 80
µg/100 g. Pada saat kadar toksin melebihi nila ini , peringatan akan bahaya diberikan
kepada warga didaerah produksi kerang, peringatan ini ditempel di pantai dan
disebar luaskan melalui media.
222
VII. KERACUNAN NEUROTOKSIK AKIBAT KERANG
ICD-9 988.0; ICD-10 T61.2
(Neurotoxic Shellfish Poisoning)
Keracunan neurotoksik akibat mengkonsumsi kerang dalam hal ini dikaitkan dengan
pesatnya pertumbuhan Gymnodinium breve yang menghasikan brevetoksin. Gelombang
merah (red tides) yang diakibatkan oleh G. breve terjadi di sepanjang pantai Florida
selama berabad-abad yang memicu kematian ikan, burung laut dan mamalia laut.
Gejala yang timbul setelah mengkonsumsi kerang yang beracun berupa nyeri di sekitar
mulut (circumoral paresthesias), paresthesia anggota gerak, ataksia dan pusing
(dizziness), nyeri otot (muscle aches) dan gangguan saluran pencernaan. Gejala
cenderung ringan dan dapat pulih secara cepat. Pada kasus KLB yang terjadi di Carolina
Utara, nilai tengah (median) lamanya sakit yaitu 17 jam (berkisar antara 1-72 jam).
Pernah juga dilaporkan terjadinya iritasi pada saluran pernafasan dan iritasi pada mata
akibat ledakan pertumbuhan G. breve yang diduga sebab aerosolisasi toksin oleh gerakan
angin dan ombak.
VIII. DIARE sebab KERACUNAN KERANG ICD-9 988.0; ICD-10 T61.2
(Diarrhetic Shellfish Poisoning)
Penyakit yang muncul sebagai akibat mengkonsumsi sejenis remis/repah (mussels,
scallop atau clam) yang telah memakan Dinophysis fortii atau Dinophysis acuminata.
Gejala-gejalanya meliputi diare, mual, muntah-muntah dan nyeri perut. Laporan kejadian
khususnya berasal dari Jepang, walaupun, diare akibat keracunan kerang ini juga terjadi di
Perancis dan bagian lain Eropa, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Selatan. Selama ini
belum ada konfirmasi kasus terjadi di Amerika Serikat meskipun organisme Pemicu
dapat ditemukan di seluruh perairan pantai Amerika Serikat.
IX. AMNESIA AKIBAT KERACUNAN KERANG ICD-9 988.0; ICD-10 T61.2
(Amnesic Shellfish Poisoning)
Amnesia sebab keracunan kerang disebabkan sebab mengkonsumsi kerang-kerangan
yang mengandung asam domoik (domoic acid) yang dihasilkan oleh diatom
Pseudonitzschia pungens. Kasus-kasus yang disebabkan oleh toksin ini telah dilaporkan
terjadi di Propinsi Atlantik, Kanada, pada tahun 1987. Gejala-gejalanya meliputi: muntah-
muntah, kejang perut, diare, pusing kepala dan kehilangan ingatan dalam waktu singkat.
Pada tes neuropsycological yang dilakukan beberapa bulan setelah intoksikasi akut, pada
penderita ditemukan kemunduran ingatan (antegrade memory deficit) yang berat dengan
kelemahan relatif fungsi kognitif lainnya, dan penderita juga mengalami gejala klinis dan
gejala elektromiografi lemahnya saraf motorik atau neurophaty serta axonopathy saraf
sensorimotor. Studi neuropatologis yang dilakukan pada 4 pasien yang meninggal
223
menunjukkan adanya kerusakan dan hilangnya jaringan saraf terutama pada hippocampus
dan amygdala. Pemerintah Kanada saat ini melakukan analisis terhadap sejenis kerang
(mussle dan clam) untuk melihat kadar asam domoik dan akan menutup tempat-tempat
penangkaran kerang apabila kadarnya melebihi 20 µg/gram.
Pada tahun 1991, asam domoik ditemukan pada razor clam dan Dungeness crabs di pantai
Oregon dan Washington dan juga ditemukan pada sajian makanan laut di sepanjang pantai
Texas. Tidak ada batas yang tegas terjadinya amnesia shellfish poisoning diketahui terjadi
pada manusia diluar daerah KLB yang pertama kali terjadi di Kanada. Oleh sebab itu
dampak yang bermakna sebagai akibat masuknya asam domoik kedalam tubuh manusia
sebab mengkonsumsi kerang kerangan dan ikan kecil dari daerah dimana ditemukan
spesies Pseudonitzschia, belum dikaitkan dengan jelas.
X. KERACUNAN IKAN PUFFER ICD-9 988.0; ICD-10 T61.2
(Tetrodoksin)
Keracunan ikan puffer ditandai dengan paresthesias, pening, gangguan saluran
pencernaan dan ataxia, yang sering berkembang dengan cepat menjadi paralysis dan
kematian dalam beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan ini . Case Fatality Rate
mencapai 60%. Toksin Pemicu yaitu tetrodoksin, tahan panas, neurotoksin nonprotein
yang terdapat pada kulit dan bagian dalam ikan puffer, ikan porcupine, ocean sunfish,
serta spesies newt dan salamander. Lebih dari 6.000 kasus telah dilaporkan, terbanyak
terjadi di Jepang. Keracunan dapat dihindari dengan tidak mengkonsumsi spesies ikan
atau binatang amfibia yang menghasilkan tetrodoksin.
GASTRITIS YANG DISEBABKAN OLEH HELICOBACTER PYLORI
ICD-9 535; ICD-10 K29
1. Identifikasi
yaitu infeksi bakteri yang memicu gastritis kronis, terutama pada bagian antrum
dari lambung dan memicu terjadinya ulous pada usus dua belas jari. Pengobatan
untuk menghilangkan patogen Pemicu dapat menyembuhkan gastritis dan ulcus
duodenum. Terjadinya adenocarcinoma dan ulcus pada lambung secara epidemiologis
dikaitkan juga dengan infeksi H. pylori.
Diagnosa dibuat dengan spesimen biopsi lambung dengan kultur, pemeriksaan histologis
atau dengan pemeriksaan urease dari H. pylori, memakai peralatan yang tersedia di
pasaran. Organisme membutuhkan media makanan untuk tumbuh, seperti pada media
Brain-Heart Infusion Agar dengan penambahan darah kuda. Media selektif dikembangkan
untuk mencegah tumbuhnya kontaminan pada saat membiakkan spesimen biopsi
lambung. Biakan harus dipanaskan pada suhu 37°C (98.7°F) pada kondisi mikroaerofilik
selama 3 sampai dengan 5 hari. Pemeriksaan spesifik 13C atau 14C urea based breath tests
224
juga bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis dan prosedur pemeriksaan ini
didasarkan pada aktivitas urease yang tinggi dari organisme ini . Pengukuran titer
antibodi spesifik juga dapat dilakukan, biasanya dengan ELISA.
2. Pemicu Penyakit
Helicobacter pylori yaitu kuman Gram negatif, basil yang berbentuk kurva dan batang.
Berbagai spesies yang berbeda dari Helicobacter telah ditemukan pada binatang lain; H.
cinaedi dan H. fennelliae dikaitkan dengan terjadinya diare pada laki-laki homoseksual.
3. Distribusi Penyakit
H. pylori ditemukan tersebar di seluruh dunia. Hanya sebagian kecil saja orang yang
terinfeksi bakteri ini akan menderita ulcus doudenum. Walaupun sebagian besar orang-
orang yang terinfeksi organisme ini memiliki bukti histologis gastritis di lambung,
namun sebagian besar penderita asimtomatis. Penelitian serologis yang dilakukan secara
cross-sectional memperlihatkan bertambahnya prevalensi penyakit ini sesuai dengan
pertambahan usia. Kelompok dengan tingkat sosial ekonomi lemah terutama anak-anak
sering terserang infeksi ini. Di negara-negara berkembang, lebih dari 75% orang dewasa
terinfeksi, dan infeksi sering terjadi terutama pada anak-anak. Sekitar 20-50% orang
dewasa di negara-negara maju terinfeksi H. pylori.
4. Reservoir
Hanya manusia yang menjadi reservoir H. pylori. Kebanyakan orang yang terinfeksi tidak
menampakkan gejala dan apabila tidak diberi pengobatan penyakit ini akan bertahan
seumur hidup. Isolasi dari H. pylori dari daerah selain lambung seperti dari ludah dan tinja
pernah dilaporkan, namun jarang.
5. Cara-cara Penularan
Cara-cara penularan belum diketahui dengan jelas, namun dapat dipastikan infeksi terjadi
sebagai akibat menelan organisme Pemicu penyakit ini . Penularan diasumsikan
terjadi melalui oral-oral (mulut ke mulut) dan atau fekal-oral (anus-mulut). H. pylori
ditularkan melalui alat-alat gastroskopi dan elektroda pH yang tidak didekontaminasi
dengan sempurna.
6. Masa Inkubasi
Data yang dikumpulkan dari 2 orang sukarelawan yang menelan 106 – 109 organisme
menunjukkan bahwa gejala gastritis terjadi dalam waktu 5-10 hari. Tidak ada informasi
lain tentang ukuran inoculum yang dapat memicu sakit atau lamanya masa inkubasi.
7. Masa Penularan
Tidak diketahui. sebab infeksi bisa terjadi dalam waktu yang lama, maka orang yang
terinfeksi secara potensial dapat menularkan penyakit ini seumur hidupnya. Tidak
diketahui apakah pasien yang terinfeksi akut akan lebih infeksius dibandingkan dengan
orang yang terinfeksi dalam jangka waktu lama. Ada beberapa bukti yang menunjukkan
bahwa penderita dengan kadar asam lambung rendah mungkin akan lebih infeksius.
225
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang diperkirakan rentan terinfeksi. Walaupun bertambahnya usia dan tingkat
sosial-ekonomi yang lemah merupakan dua faktor risiko terpenting untuk terkena infeksi,
ada sedikit data yang tidak bisa diabaikan begitu saja tentang kerentanan atau kekebalan
seseorang. Diperkirakan bahwa ada berbagai faktor pendukung (cofactor) penting untuk
dapat terjadinya penyakit ini . Tidak timbul imunitas sesudah infeksi.
9. Cara-cara Pemberantasan
A Upaya Pencegahan
1) Orang yang tinggal di lingkungan yang tidak padat warga dan lingkungan yang
bersih akan memiliki risiko lebih kecil untuk terkena H. pylori
2) Lakukan disinfeksi lengkap terhada alat-alat gastroskopi, elektroda pH dan alat-
alat medis lain yang pengoperasiannya dimasukkan kedalam perut.
B Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan resmi tidak diperlukan,
Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular)
2) Isolasi: Tidak diperlukan.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan pada alat-alat medis yang dimasukkan
kedalam lambung.
4) Karantina: Penderita yang terinfeksi H. pylori tidak perlu ditempatkan pada ruang
karantina yang terpisah.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada vaksin yang tersedia pada saat ini.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak produktif.
7) Pengobatan spesifik: Pengobatan bagi penderita asimtomatis tetap menjadi
kontroversi. Ada berbagai cara pengobatan yang tersedia saat ini untuk
menghilangkan infeksi pada orang-orang yang menunjukkan gejala yang
diperkirakan disebabkan oleh H. pylori. Pengobatan yang paling berhasil yaitu
penderita diberi kombinasi antimikroba selama 2 hingga 4 minggu. Tujuan dari
pengobatan ini yaitu untuk memusnahkan dan menghilangkan infeksi bukan
untuk menghilangkan secara sementara. Contoh dari kombinasi obat-obatan ini
yaitu : a) Metronidazole dan Amoxycillin atau Tetracycline dengan senyawa
bismuth seperti Pepto-Bismol®, atau b) Metronidazole dan Amoxycillin dengan
inhibitor pemompa proton seperti omeprazole (Prilosec®). Angka eradikasi
mencapai hingga 90% telah dilaporkan dengan memakai kombinasi ini .
Jika infeksi tidak hilang, dengan pengobatan ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan
isolat untuk tes resistensi terhadap antibiotika. Ulcus dapat terjadi lagi pada
penderita yang sebelumnya telah diobati namun bakteri Pemicu nya belum
musnah. Di negara-negara berkembang, infeksi ulang sesudah dilakukan eradikasi
terhadap organisme Pemicu jarang terjadi. Tidak ada data mengenai angka
infeksi ulang di negara berkembang.
C. Penanggulangan Wabah: Tidak ada.
D. Implikasi Bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
226
PENYAKIT VIRUS AKUT, GASTROENTERITIS ICD-9 008.6; ICD-10 A08
Gastroenteritis sebab virus muncul sebagai penyakit endemis atau wabah pada bayi, anak-
anak dan orang dewasa. Beberapa jenis virus (rotavirus, adenovirus enterik, astrovirus dan
kalisivirus termasuk virus yang menyerupai virus Norwalk) menginfeksi anak-anak usia
dibawah satu tahun dan memicu diare cukup parah yang dapat memicu dehidrasi
sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Sebagai jenis virus misalnya virus Norwalk menjadi
Pemicu yang paling sering terjadinya KLB gastroenteritis pada anak-anak dan orang
dewasa. Melihat gambaran epidemiologis, riwayat alamiah perjalanan penyakit dan gejala
klinis dari infeksi berbagai jenis virus enterik maka diketahui dengan jelas bahwa rotavirus
tipe A yaitu Pemicu diare pada bayi dan virus Norwalk sebagai Pemicu diare pada orang
dewasa.
ENTERITIS sebab ROTAVIRUS ICD-9 008.61; ICD-10 A08.0
(Gastroenteritis sporadis akibat virus, Gastroenteritis berat akibat virus pada bayi dan anak-
anak)
1. Identifikasi
Penyakit ini muncul secara sporadis, musiman, kadang-kadang disertai dengan
gastroenteritis berat pada bayi dan anak kecil, ditandai dengan muntah, demam dan diare
cair. Enteritis rotavirus kadang-kadang memicu dehidrasi berat dan kematian pada
anak-anak usia muda. Kasus klinis sekunder pada orang dewasa diantara anggota keluarga
dapat terjadi, walaupun biasanya infeksi lebih sering bersifat subklinis. Infeksi rotavirus
kadang-kadang menyerang penderita yang dirawat dibangsal anak dengan berbagai variasi
gambaran klinis, namun infeksi virus ini diduga terjadi secara koinsidens dan sebagai
Pemicu utama. Rotavirus yaitu Pemicu utama diare nosokomial pada bayi dan
neonatus. Walaupun diare yang disebabkan oleh rotavirus biasanya lebih parah daripada
diare akut sebab Pemicu lain, namun penyakit yang disebabkan oleh rotavirus sulit
dapat dibedakan dari penyakit yang disebabkan oleh virus enterik lain.
Rotavirus dapat ditemukan pada spesimen tinja atau apus dubur dengan mikroskop
electron (EM), ELISA dan LA serta dengan teknik pemeriksaan imunologi lain yang
kitnya tersedia di pasaran. Bukti adanya infeksi rotavirus dapat dilihat dengan teknik
serologis, namun diagnosa biasanya didasarkan pada adanya antigen rotavirus pada tinja.
Reaksi false positive pada pemeriksaan ELISA sering terjadi pada bayi baru lahir; reaksi
positif membutuhkan konfirmasi dengan teknik pemeriksaan lain.
2. Pemicu Penyakit
Gastro enteritis akut ini disebakan oleh rotavirus berukuran 70 nm termasuk dalam familia
Reoviridae. Grup A sering menyerang bayi dan grup B jarang menyerang bayi di China,
sedang grup C jarang menyerang manusia. Grup A, B, C, D, E dan F dapat menyerang
binatang. Ada 4 serotipe major dan paling sedikit 10 serotipe minor dari rotavirus grup A
pada manusia. Pembagian serotipe ini didasarkan pada perbedaan antigen pada protein
virus 7 (VP7), yaitu protein permukaan pada capsid bagian luar.
227
Antigen ini merupakan neutralizing antigen yang utama. Protein lain pada capsid bagian
luar yang disebut dengan VP4 berperan dalam tingkat virulensi dari virus dan juga
berperan dalam netralisasi virus.
3. Distribusi Penyakit
Baik di negara berkembang maupun di negara maju, rotavirus sebagai Pemicu sekitar
1/3 kasus rawat inap diare pada bayi dan anak-anak di bawah usia 5 tahun. Infeksi
rotavirus sering terjadi pada neonatal pada situasi tertentu, namun biasanya tanpa gejala.
Anak-anak biasanya terinfeksi rotavirus pada usia 2-3 tahun pertama, dengan puncak
insidensi klinis pada kelompok umur 6-24 bulan. KLB terjadi pada anak-anak di tempat
penitipan anak-anak. Rotavirus lebih sering dikaitkan dengan diare berat daripada yang
disebabkan oleh patogen enterik lainnya; di negara-negara berkembang, Rotavirus sebagai
Pemicu kematian sekitar 600.000 – 870.000 orang setiap tahun sebab diare.
Didaerah iklim sedang, diare yang disebabkan oleh rotavirus mencapai puncak selama
musim dingin; sedang di daerah tropis kasus ditemukan sepanjang tahun, kadang-
kadang dengan sedikit kenaikan pada musim kering yang lebih dingin. Infeksi pada orang
dewasa biasanya subklinis, namun KLB dengan gejala klinis terjadi di ruang perawatan
manula (geriatric).
Rotavirus kadang-kadang menyerang para wisatawan dewasa traveler’s diarrhea dan
menyerang orang-orang dengan daya tahan tubuh yang lemah (seperti pada penderita
AIDS), orang tua dengan anak-anak yang menderita diare sebab rotavirus dan manula.
4. Reservoir
Kemungkinan manusia berperan sebagai reservoir. Virus pada binatang tidak
memicu penyakit pada manusia. Rotavirus kelompok B dan C yang ditemukan pada
manusia berbeda dengan yang ditemukan pada binatang.
5. Cara-cara Penularan
Cara penularan kemungkinan melaui rute fekal-oral atau kemungkinan penyebaran
melalui pernafasan. Walaupun rotavirus tidak berkembang biak dengan baik pada saluran
pernafasan, virus ini kemungkinan tertangkan didalam sekret saluran pernafasan.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa rotavirus mungkin juga terdapat pada air
yang tercemar.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi rata-rata sekitar 24 jam sampai dengan 72 jam.
7. Masa Penularan
Penularan dapat terjadi selama fase akut dan selanjutnya penularan terus dapat
berlangsung selama didalam tubuh orang itu masih ditemukan ada virus. Rotavirus
biasanya tidak ditemukan sesudah hari ke-8 sejak infeksi, walaupun virus masih
ditemukan selama 30 hari atau lebih pada penderita dengan gangguan sistem kekebalan
(immunocompromised). Gejala klinis akan hilang rata-rata setelah 4 – 6 hari.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Usia 6-12 bulan paling rentan terhadap infeksi. Pada saat mencapai usia 3 tahun,
228
kebanyakan orang telah memiliki antibodi terhadap rotavirus. Orang-orang dengan
sistem kekebalan rendah memiliki risiko secara terus menerus mengeluarkan antigen
rotavirus dalam jangka waktu yang lama dan memiliki risiko menderita diare akibat
intermiten. Diare jarang terjadi apabila infeksi rotavirus terjadi pada bayi yang berusia
kurang dari 3 bulan.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
1) Pada bulan Agustus 1998, vaksin rotavirus hidup, oral, tetravalent – Rhesus based
rotavirus vaccine (RRV-TV) telah diijinkan digunakan untuk bayi di Amerika
Serikat. Vaksin ini sebaiknya diberikan kepada bayi pada usia 6 minggu – 1 tahun.
Jadwal yang disarankan yaitu 3 dosis yang diberikan secara berurutan pada usia
2, 4 dan 6 bulan. Dosis pertama bisa diberikan pada usia 6 minggu – 6 bulan dosis
berikutnya diberikan dengan interval waktu 3 minggu. Dosis pertama sebaiknya
tidak diberikan kepada anak usia 7 tahun keatas sebab akan meningkatkan
kemungkinan terjadi reaksi demam. Dosis kedua dan ketiga sebaiknya diberikan
sebelum ulang tahun yang pertama. Pemberian imunisasi rutin dengan vaksin
ini akan menurunkan jumlah pasien gastroenteritis yang dirawat akibat
rotavirus secara bermakna, yaitu dapat mencegah paling sedikit 2/3 dari anak-anak
yang dirawat di rumah sakit dan yang meninggal sebab rotavirus.
Intussuscepsi (gangguan pada usus yang memicu salah satu bagian usus
masuk kebagian lain) ditemukan pada satu trial sebelum vaksin RRV-TV diizinkan
beredar sebagai satu masalah yang potensial yang dapat terjadi pada pemberian
RRV-TV. Oleh sebab laporan tentang terjadinya intussescepsi ini terus menerus
datang, maka CDC pada bulan Juli 1999, menunda beberapa penelitian yang akan
dilakukan dan merekomendasikan agar menunda pemberian RRV-TV pada anak-
anak yang telah dijadwalkan untuk mendapatkan imunisasi sebelum bulan
Nopember 1999. Rekomendasi ini termasuk ditujukan kepada mereka yang sudah
mulai mendapat dosis awal RRV-TV. Semua kasus intussuscepsi yang terjadi
setelah pemberian RRV-TV sebaiknya dilaporkan kepada Sistem Pelaporan
Kejadian (Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)) (Vaccine Adverse Events Reporting
System, VAERS, 800-822-7967); www.fda.gov/cber/vaers/report htm). Sebagian
besar vaksin yang direkomendasikan untuk boleh dipakai saat ini akan diumumkan
di website Divisi Imunisasi CDC (http://www.cdc.gov/nip). Dan juga pada website
CCDM (http://www.ccdm.org).
2) Efektifitas upaya-upaya pencegahan lain tidak diketahui dengan jelas. Perilaku
hidup bersih dan sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui jalan fekal-oral
mungkin tidak efektif dalam mencegah penularan virus in, oleh sebab virus dapat
hidup untuk jangka waktu lama pada permukaan yang keras, pada air yang
terkontaminasi dan di tangan. Rotavirus relatif kebal terhadap disinfektan yang
umum digunakan namun dapat diinaktifvasi dengan Chlorin.
3) Di tempat-tempat penitipan anak, mengenakan baju yang dapat menutup seluruh
bagian tubuh bayi termasuk menutupi popok bayi, diketahui dapat menurunkan
angka penularan infeksi.
4) Cegah terjadinya pemajanan dari bayi dan anak kecil dengan orang yang menderita
gastroenteritis akut di dalam lingkungan keluarga dan institusi (seperti di tempat-
tempat penitipan anak/orang tua dan rumah sakit).
229
Pencegahan dilakukan dengan standar sanitasi yang baik, sedang melarang
anak-anak untuk dititipkan tempat penitipan anak tidak diperlukan.
5) Pemberian Imunisasi pasif dengan IG per oral terbukti memberikan perlindungan
kepada BBLR dan anak dengan daya tahan tubuh rendah. Menyusui tidak
menurunkan angka penularan, namun dapat mengurangi keparahan gastroenteritis.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Laporan wajib diberikan bila
terjadi wabah; tidak ada laporan individu, Kelas 4 (lihat Pelaporan tentang
Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tindakan pencegahan enterik dengan mewajibkan untuk melakukan cuci
tangan berulang kali bagi mereka yang sedang merawat bayi.
3) Disinfeksi serentak: pembuangan popok bayi harus dilakukan dengan cara yang
saniter, pakaikan baju yang dapat menutup seluruh badan bayi untuk mencegah
terjadinya rembesan dari popok.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi kontak: Tidak perlu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Sumber infeksi sebaiknya dicari betul pada
populasi risiko tinggi dan pada cohorted antigen excretter (sekelompok orang
yang secara terus menerus mengeluarkan virus).
7) Pengobatan spesifik: Tidak dilakukan. Terapi rehidrasi oral dengan oralit saja
sudah cukup memadai diberikan kepada kebanyakan kasus. Cairan parenteral
diperlukan pada penderita dehidrasi berat (kolaps vaskuler) atau pada penderita
dengan muntah yang berat (lihat Kolera, 9B7). Antibiotika dan obat antimotilitas
merupakan kontraindikasi.
C. Cara-cara Penanggulangan wabah: Cari sumber penularan dan cara-cara penularan
dengan melakukan penelitian epidemiologis.
D. Implikasi bencana: sangat potensial terjadi penularan pada hunian yang padat
ditempat-tempat penampungan pengungsian.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerjasama WHO.
II. EPIDEMIC VIRAL GASTROENTEROPATHY
ICD-9 008.6, 008.8; ICD-10 A08.1
(Penyakit akibat virus Norwalk, Penyakit sebab virus seperti Norwalk, Gastroenteritis
sebab virus pada orang dewasa, gastroenteritis epidemika sebab virus, Gastroenteritis
akut akibat infeksi nonbakteri, Diare sebab virus, diare epidemik disertai muntah-muntah,
Penyakit muntah-muntah musim dingin, Epidemi mual dan muntah)
230
1. Identifikasi
Biasanya penyakit ini akan sembuh dengan sendirinya, gejala penyakit ringan sampai
sedang dan sering kali terjadi KLB dengan gejala klinis seperti mual, muntah, diare, nyeri
perut, mialgia, sakit kepala, malaise, demam ringan atau kombinasi dari gejal-gejala
ini . Gejala gastrointestinal yang khas akan berlangsung selama 24-48 jam. Virus
dapat ditemukan pada tinja dengan pemeriksaan immune EM atau secara langsung dan
untuk virus Norwalk dengan RIA atau dengan reverse transcription polymerase chain
reaction (RT-PCR). Bukti serologis adanya infeksi bisa diperlihatkan dengan IEM atau
untuk virus Norwalk dengan RIA. Untuk menegakkan diagnosa memerlukan jumlah tinja
yang cukup banyak dengan penyimpanan sampel yang baik pada suhu 4°C (39°F) untuk
EM dan pada suhu -20°C (-4°F) untuk pemeriksaan antigen. Pengambilan serum akut dan
konvalesen (dengan interval waktu antara 3-4 minggu) penting untuk dilakukan agar dapat
melakukan analisa kaitan antara partikel yang diamati dengan EM dengan etiologi
penyakit ini . RT-PCR nampaknya lebih sensitif dari IEM dan dapat digunakan untuk
menguji kaitan antara munculnya cluster penyakit yang menyebar luas.
2. Pemicu Penyakit
Virus seperti virus Norwalk (Norwalk –like viruses) yaitu mikroorganisme kecil
berukuran 27-32 nm, virus RNA ini diklasifikasikan sebagai calicivirus, sebagai Pemicu
paling umum terjadinya KLB gastroenteritis nonbakteri. Beberapa jenis virus memiliki
bentuk yang mirip namun berbeda struktur antigen virusnya diketahui memicu
terjadinya KLB gastroenteritis; yaitu Hawaii, Taunton, Ditching atau W. Cokle,
Parramatta, Oklahoma dan Snow Mountain agents.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia, sering menimbulkan KLB ataupun muncul sporadis. Semua
golongan umur rentan terhadap infeksi. KLB yang terjadi di Amerika Serikat dikaitkan
dengan kebiasaan makan kerang-kerangan mentah. Pada suatu penelitian
seroepidemiologis di AS, diketahui bahwa terbentuknya antibodi terhadap virus Norwalk
sangat lambat, pada usia lima puluhan, lebih dari 60% warga telah memiliki antibodi.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan diberbagai negara berkembang menunjukkan
bahwa antibodi terbentuk lebih awal. Respons serologis terhadap virus Norwalk sudah ada
pada bayi dan anak-anak usia muda di Bangladesh dan Finlandia.
4. Reservoir
Manusia diketahui sebagai satu-satunya reservoir.
5. Cara-cara Penularan
Penularan mungkin melalui rute fekal-oral, walaupun kontak ataupun penularan melalui
udara dan melalui pakaian dan peralatan dapat menjelaskan terjadinya penularan secara
cepat di rumah sakit. Beberapa KLB yang terjadi baru-baru ini cara penularan
diperkirakan melalui makanan pesta (foodborne), penularan melalui air (water borne) dan
penularan sebab mengkonsumsi kerang-kerangan diikuti dengan terjadinya penularan
sekunder kepada anggota keluarga.
231
6. Masa Inkubasi
Biasanya 24-28 jam, penelitian yang dilakukan pada sukarelawan yang ditulari dengan
virus Norwalk, masa inkubasi berkisar antara 10-50 jam.
7. Masa Penularan
Penularan terjadi selama fase akut, hingga 48 jam sesudah diare sebab virus Norwalk
berhenti.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi virus ini. Kekebalan yang bertahan sampai 14
minggu ditemukan pada sukarelawan yang secara sengaja diberi virus Norwalk.
Kekebalan yang bertahan agak lama bervariasi dari orang ke oaring. Beberapa orang yang
pernah sakit dapat sakit lagi pada waktu terjadinya reinfeksi 27-42 bulan setelah sembuh
dari sakit. Titer antibody yang ada sebelumnya tidak ada hubungannya dengan tingkat
kerentanan dan kekebalan seseorang.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan sama dengan upaya untuk mencegah penularan penyakit melalui
rute fekal-oral (lihat Demam Tifus, 9A). Secara khusus yang harus dilakukan yaitu
masaklah kerang-kerangan dengan benar sebelum dikonsumsi dan lakukan surveilans
pada tempat-tempat pengembangbiakan kerang-kerangan agar dapat dicegah
terjadinya infeksi dari sumber ini .
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan wajib dilakukan bila terjadi
KLB; tidak ada laporan harus individu, Kelas 4 (lihat pelaporan tentang penyakit
menular).
2) Isolasi: Lakukan tindakan kewaspadaan enterik.
3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi Kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Dalam situasi KLB, cari sumber terjadinya
penularan.
7) Pengobatan spesifik: Beri cairan dan elektrolit pengganti pada kasus berat (lihat
Cholera, 9B7).
C. Upaya Penanggulangan wabah: Cari sumber dan perantara penularan. Lakukan
investigasi untuk mendapatkan gambaran epidemiologis yang jelas tentang KLB ini.
D. Implikasi bencana: Dapat menjadi masalah yang potensial terjadinya penularan
ditempat-tempat pengungsian dan didaerah bencana.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
232
GIARDIASIS ICD-9 007.1; ICD-10 A07.1
(Enteritis sebab Giardia)
1. Identifikasi
Infeksi protozoa, terutama menginfeksi usus halus bagian atas, sering tanpa gejala. Infeksi
kadang-kadang diikuti dengan berbagai gejala intestinal seperti diare kronis, steatorrhea,
kejang perut, gembung, buang air besar berkali-kali, tinja pucat berlemak, lelah dan
penurunan berat badan. Dapat terjadi gangguan absorpsi lemak ataupun vitamin yang larut
dalam lemak. Biasanya tidak terjadi invasi ekstraintestinal, namun terjadi reaksi radang
sendi dan pada giardiasis yang berat, mungkin dapat terjadi gangguan pada usus dua belas
jari dan kerusakan sel mukosa jejunum.
Diagnosa sederhana dapat ditegakkan dengan pemeriksaan tinja, apabila itemukan kita
atau trofozoit didalam tinja berati positif mederita giardiasis. Untuk mengenyampingkan
diagnosa giardiasis, diperlukan sedikitnya tiga kali pemeriksaan tinja dengan hasil
berturut-turut tetap negatif.
Diagnosa giardiasis juga dapat ditegakkan dengan ditemukannya trofozoit pada cairan
derodenum (dengan aspirasi atau tes string) dilakukan dengan biopsi. Cara pemeriksaan
cairan dan mukosa duodenum lbih dapat dipercaya apabila hasil pemeriksaan tinja
meragukan. Namun cara ini jarang dilakukan. Oleh sebab infeksi oleh giardian biasanya
tanpa gejala maka ditemkannnya G. lamblia baik didalam tinja maupun di duodenum
tidak berarti G. lamblia sebagai Pemicu penyakit. Pemeriksaan dengan teknik EIA dan
dengan teknik direce fluorescent antibody untuk mendeteksi adanya antigen didalam tinja
lebih sesitif jika dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung. Kit teknik
pemeriksaan ini tersedia luas dipasaran.
2. Pemicu Infeksi
Giardia lamblia (G. intestinalis, G. duodenalis), satu jenis protozoa flagellata.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Infeksi lebih sering terjadi pada anak-anak daripada
orang dewasa. Prevalensi lebih tinggi terjadi di daerah dengan sanitasi yang buruk dan di
institusi dimana kebiasaan anak-anak untuk buang besar tidak benar, misalnya pada
tempat penitipan anak. Prevalensi tinja positif mengandung kuman di beberapa daerah
berkisar antara 1% dan 30%, tergantung pada golongan warga dan golongan umur
yang disurvei. Infeksi endemik di Amerika Serikat, Inggris, Meksiko, biasanya terjadi
pada bulan Juli – Oktober biasanya menyerang anak-anak berusia kurang dari 5 tahun dan
orang dewasa umur 25-39 tahun. Infeksi ini terjadi sebab memakai sumber air
permukaan yang tidak disaring atau memakai air dari sumur yang dangkal, berenang
di badan air yang tercemar dan memiliki anak yang dititipkan di tempat penitipan anak.
KLB yang luas pernah terjadi di warga dimana sumber penularannya berasal dari
sumber air minum yang tidak difiltrasi. Beberapa KLB yang lebih kecil dilaporkan terjadi
sehabis mengkonsumsi makanan yang tercemar, sebab penularan dari orang ke orang
yang terjadi di tempat penitipan anak dan penularan melalui air di tempat rekreasi yang
tercemar misalnya di kolam renang dan mata air.
233
4. Reservoir
Yang berperan sebagai reservoir yaitu manusia, kadang-kadang juga berang-berang,
binatang buas lainnya dan binatang peliharaan.
5. Cara-cara Penularan
Penularan dapat terjadi dari orang ke orang melalui tangan yang mengandung kista dari
tinja orang yang terinfeksi ke mulut orang lain, penularan terjadi terutama di asrama dan
tempat penitipan anak. Cara-cara penularan seperti ini yaitu yang paling utama.
Hubungan seksual melalui anus juga mempermudah penularan. KLB terbatas dapat terjadi
sebab menelan kista dari air minum yang terkontaminasi tinja penderita, dan tempat
rekreasi air yang tercemar dan jarag sekali penularan terjadi sebab makanan yang
terkontaminasi tinja. Kadar chlorine yang digunakan secara rutin untuk pengolahan air
bersih tidak dapat membunuh kista Giardia, khususnya pada saat air dalam keadaan
dingin; air kotor yang tidak disaring dan air danau yang terbuka terhadap kontaminasi oleh
tinja manusia dan hewan merupakan sumber infeksi.
6. Masa Inkubasi
Biasanya 3-25 hari atau lebih, nilai tengah (median) inkubasi berkisar antara 7-10 hari.
7. Masa Penularan : Lamanya penularan oleh penderita seringkali berlangsung berbulan-
bulan.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Angka carrier asimtomatik sangat tinggi, infeksi umumnya sembuh dengan sendirinya.
Penelitian klinis dapat digunakan untuk mengetahui patogenitas Giardia lamblia pada
manusia. Orang dengan AIDS akan mengalami infeksi lebih parah dan infeksinya dapat
berlangsung lebih lama.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada keluarga, perorangan dan penghuni asrama khususnya
kepada orang dewasa di tempat penitipan anak, tentang pentingnya menjaga
kebersihan perorangan dan membudayakan kebiasaan cuci tangan sebelum
menjamah makanan, sebelum makan dan setelah memakai kamar kecil
(toilet).
2) Lakukan filtrasi air pada instalasi air minum yang terpajan tinja manusia atau
tercemar tinja binatang.
3) Lindungi instalasi air minum dari kemungkinan kontaminasi tinja manusia dan
hewan.
4) Buang tinja pada jamban yang saniter.
5) Masaklah air yang akan diminum sampai matang. Bila dimungkinkan air yang
akan diminum diberi hipoklorit dan iodine; gunakan 0,1 sampai 0,2 ml (2-4 tetes)
bahan pemutih yang bisa dipakai di dalam rumah tangga atau 0,5 ml tincture
iodine 2% per liter selama 20 menit (lebih lama pada air dingin dan keruh).
234
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan yang berwenang: Laporan kasus diwajibkan untuk
daerah tertentu, Kelas 3B (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Lakukan kewaspadaan enterik.
3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap alat-alat dan tanah yang
tercemar tinja. Di warga dengan sistem pembuangan limbah yang modern
dan memadai, tinja dapat langsung dibuang kedalam system pembuangan tanpa
dilakukan disinfeksi terlebih dahulu. Lakukan pembersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: lakukan pemeriksaan mikroskopis
terhadap tinja setiap anggota keluarga dan tersangka kontak yang lain khususnya
yang tidak menunjukkan gejala.
7) Pengobatan spesifik: Metronidazole (Flagyl®) atau tinidazole (tidak beredar di
Amerika Serikat) yaitu obat pilihan. Quinacrine dan Albendazole sebagai obat
alternatif. Furazolidone tersedia dalam bentuk suspensi pediatrik untuk anak-anak
dan bayi, paromomycin dapat diberikan selama kehamilan. Resistensi dan kambuh
kembali dapat terjadi pada penggunaan obat apa saja.
C. Upaya Penanggulangan wabah:
Lakukan penyelidikan epidemiologi apabila ditemukan kasus secara klaster di suatu
daerah atau asrama untuk mencari sumber infeksi dan untuk mengetahui cara-cara
penularan. Perlu diperhatikan hal-hal berikut yang umum sebagai perantara penularan
yaitu : air, makanan, tempat penitipan anak atau tempat rekreasi dan asrama. Lakukan
upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan. Untuk mencegah terjadinya penularan
dari orang ke orang lakukan penekanan khusus pada membudayakan kebersihan
perorangan dan kebersihan lingkungan serta pembuangan tinja yang saniter.
D. Implikasi bencana : Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
INFEKSI sebab GONOCOCCUS ICD-9 098; ICD-10 A54
Uretritis, epididimitis, proktitis, cervicitis, Bartholinitis, inflamasi panggul (salpingitis dan
atau endometritis) dan faringitis pada orang dewasa, vulvovaginitis pada anak-anak;
conjunctivitis pada bayi baru lahir dan dewasa semua yang disebutkan diatas yaitu inflamasi
yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Bakteriemia gonokokal mengakibatkan
sindroma arthritis-dermatitis, kadang-kadang dapat memicu endocarditis dan meningitis.
Komplikasi lain dapat terjadi seperti perihepatitis dan sindroma infeksi amniotic pada
neonatus. Secara klinis infeksi gonococcus mirip dengan infeksi pada alat genital yang
disebabkan oleh Chlamidya trachomatis dan infeksi oleh Pemicu lainnya. Infeksi simultan
dengan organisme lain tidak jarang terjadi.
235
INFEKSI sebab GONOCOCCUS ICD-9 098.0-098.3; ICD-10 A54.0-A54.2
(Gonorrhea, urethritis sebab gonococcus, vulvovaginitis sebab gonococcus, cervicitis sebab
gonococcus, Bratholinitis sebab gonococcus, clap, strain, Gleet, Dose, GC)
1. Identifikasi
Suatu penyakit menular seksual terbatas pada epitel columnair dan epitel transitional yang
perjalanan penyakitnya berbeda antara pria dan wanita, berbeda pada derajat beratnya
penyakit dan berbeda pada kemudahan mengenai gejala klinis penyakitnya. Pada pria
infeksi gonococcus ditandai dengan keluarnya discharge purulen akut dari urethra
anterior disertai dengan disuria dalam 2-7 hari setelah terpajan. Uretritis dapat diketahui
dengan: a) adanya discharge mukopurulen atau purulen; dan b) Gram terhadap discharge
uretra ditemukan adanya 5 atau lebih lekosit per lapangan pandang dengan memakai
minyak emersi. Pengecatan dengan Gram memiliki tingkat sensivitas yang tinggi dan
spesifik untuk mengetahui terjadinya uretritis dan infeksi gonococcus simptomatis pada
pria. Hanya sebagian kecil saja infeksi gonococcus pada pria yaitu asimtomatis. Di
Indonesia penyakit ini disebut juga dengan GO.
Pada wanita infeksi diikuti dengan terjadinya servisitis mukopurulen (MPC) yang
seringkali asimptomatis, namun ada beberapa wanita mengeluarkan discharge abnormal
dari vagina dan disertai dengan perdarahan vagina setelah bersenggama. Sekitar 20% dari
mereka mengalami invasi uterin, sering terjadi pada menstruasi pertama, kedua atau pada
saat menstruasi berikutnya. Invasi uterin ini ditandai dengan gejala endometritis,
salpingitis atau peritonitis, didaerah pelvis, dan disertai dengan risiko infertilitas dan
terjadinya kehamilan ektopik. Anak perempuan usia pubertas mungkin dapat mengidap
vulvovaginitis sebab gonococcus melalui kontak langsung dengan eksudat dari orang
yang terinfeksi sebab pelecehan seksual.
Pada wanita dan pria homoseksual, infeksi pharyngeal dan anorectal sering terjadi dan
biasanya asimtomatis namun dapat timbul pruritus, tenesmus dan discharge. Konjungtivitis
dapat terjadi pada bayi baru lahir dan jarang terjadi pada orang dewasa, dan dapat
memicu kebutaan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Septikemia dapat
terjadi pada 0,5%-1% dari semua infeksi gonokokal, selain itu infeksi gonokokus dapat
memicu arthritis, lesi kulit dan jarang sekali endokarditis dan meningitis. Arthritis
memicu kerusakan sendi yang menetap jika pengobatan dengan antibiotika yang
tepat terlambat diberikan. Kematian jarang sekali terjadi kecuali pada endokarditis.
Nongonococcal urethritis (NGU) dan nongonococcal MPC disebabkan oleh organisme
Pemicu penyakit menular seksual lain dan mengacaukan diagnosis klinis gonorrhea.
Kira-kira sekitar 30-40% dari NGU di Amerika Serikat dan Inggris disebabkan oleh
Chlamydia trachomatis (lihat infeksi Chlamydia).
Diagnosa infeksi gonococcus dibuat dengan pemeriksaan mikroskopis yaitu dengan
pengecatan Gram terhadap discharge. Diagnosa dapat juga ditegakkan dengan kultur
memakai media selektif (yaitu media dengan modifikasi Thayer Martin Agar), atau
dengan tes yang dapat mendeteksi adanya asam nukleat dari gonococcus. Ditemukannya
diplococcus intraseluler gram negative yang sangat khas pada preparat apus yang diambil
dari discharge uretra pria, dianggap sebagai diagnosa pasti infeksi gonococcus pada pria.
sedang jika ditemukan pada preparat apus cervix wanita juga dianggap sebagai kriteria
diagnosa pada wanita (dengan spesifitas 90-97%).
236
Kultur dengan memakai media selektif diikuti dengan identifikasi presumptive, baik
secara mikroskopis maupun secara mikroskopis dan tes biokemis, cukup sensitif dan
spesifik. Begitu juga tes asam nukleat juga cukup sensitif dan cukup spesifik. Pada kasus-
kasus pidana, spesimen harus dikultur dan isolat harus diberikan dengan dua metode yang
berbeda untuk memastikan N. Gonorrhaeae.
2. Pemicu Penyakit
Neisseria gonorrhoeae, suatu gonococcus.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia. Penyakit ini menyerang kedua jenis kelamin, terutama pada
masa usia seksual aktif yaitu para remaja dan dewasa muda. Prevalensi tertinggi terjadi
pada warga dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Di beberapa negara maju,
insidensi GC menurun selama dua dekade yang lalu. Di Amerika Serikat, insidensi kasus
yang dilaporkan telah menurun dari puncak 468/10.000 pada tahun 1975 menjadi
122,5/100.000 pada tahun 1987. Di Kanada insidensi penyakit ini menurun tajam dari
216,6/100.000 menjadi 18,6/100.000 pada tahun 1995. Akan namun prevalensi yang
resisten terhadap penicillin dan tetracycline meluas, resistensi terhadap fluoroquinolon
jarang sekali terjadi di Amerika Serikat (umum terjadi di banyak negara di timurjauh) dan
resistensi terhadap cephalosporin tidak pernah dilaporkan.
4. Reservoir: Penyakit ini hanya menyerang manusia.
5. Cara-cara Penularan
Melalui kontak dengan eksudat dari membrana mukosa orang yang terinfeksi, hampir
selalu infeksi terjadi sebagai akibat aktivitas seksual. Apabila infeksi terjadi pada anak-
anak usia lebih dari satu tahun, hal ini dapat dipakai sebagai indikator adanya pelecehan
seksual.
6. Masa Inkubasi
Biasanya 2-7 hari, kadang-kadang lebih lama baru timbul gejala.
7. Masa Penularan
Masa penularan dapat memanjang sampai berbulan-bulan pada orang yang tidak diobati.
Pengobatan yang efektif mengakhiri penularan dalam beberapa jam.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Telah ditemukan terjadinya pembentukan antibodi
humoral maupun antibodi sekretori pada infeksi gonokokus. Namun strain gonokokus,
antigennya bersifat heterogen sehingga dapat terjadi reinfeksi. Wanita yang memakai
IUD memiliki risiko terkena Solpingitis lebih tinggi, tiga bulan setelah pemasangan
IUD.
Orang-orang dengan defisiensi komponen komplemen lebih rentan terjadi bakteriemi.
Oleh sebab gonokokus hanya menyerang epitel columnair dan epitel transitional, maka
epitel vagina padawanita dewasa resisten terhadap infeksi gonokokus (oleh sebab epitel
vagina pada wanita dewasa berbentuk stratified squamous).
237
sedang epitel vagina wanita usia pubertas berbentuk Columnair dan Aransitional
sehingga rentan terhadap infeksi gonokokus.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
1) Sama dengan sifilis (lihat Sifilis, 9 A), kecuali untuk upaya-upaya yang spesifik
untuk gonorrhoeae, misalnya penggunaan obat profilaksis pada mata bayi baru
lahir (lihat bagian II, 9A2, dibawah) dan perhatian khusus (presumtif atau
epitreatment) kepada mereka yang kontak dengan penderita (lihat 9B6 di bawah).
2) Upaya pencegahan terutama didasarkan kepada perilaku seksual yang aman,
misalnya monogami dengan satu pasangan yang tidak terinfeksi, menghindari
berganti-ganti pasangan seksual atau dengan pasangan yang tidak dikenal, dan
tetap memakai kondom dengan cara yang tepat pada semua pasangan yang
tidak diketahui apakah bebas dari infeksi.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus dibutuhkan pada
semua negara bagian dan di banyak negara, Kelas 2B (lihat Pelaporan tentang
penyakit menular).
2) Isolasi: Isolasi kontak dilakukan untuk bayi baru lahir dan anak prepubertas
dengan infeksi gonococcus sampai dengan pengobatan antimikroba parenteral
yang efektif telah dilaksanakan untuk 24 jam. Pemberian antibiotika yang efektif
dalam dosis yang adekuat dengna cepat memicu discharge yanga keluar
menjadi non infeksion. Penderita harus menghenetikan melakukan hubungan
seksual sampai dengan pengobatan antimikroba lengkap dan untuk menghindari
reinfeksi, jangan melakukan hubungan seksual dengan pasangan seks sebelumnya
sampai mereka mendapatkan pengobatan.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari lesi dan barang-
barang yang terpajan.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: wawancarai penderita dan catat siapa
pasangan seksualnya. Pewawancara yang terlatih akan memperoleh hasil yang
terbaik dari penderita yang tidak kooperatif, dan dokter dapat memotivasi
penderita itu untuk membantu pengobatan pada pasangan mereka. Kontak seksual
dengan penderita harus diperiksa, dites dan diobati jika kontak seksual terakhir
mereka dengan penderita dalam waktu 60 hari sebelum muncul gejala atau
sebelum diagnosa ditegakkan. Pasangan seksual terakhir walaupun diluar batas
waktu tersebeut harus diperiksa, dites dan diobati. Semua bayi yang lahir dari ibu
yang terinfeksi harus diberikan pengobatan pencegahan.
7) Pengobatan spesifik: Dengan pertimbangan klinis, laboratoris maupun
epidemiologis (kontak dari kasus yang terdiagnosa), harus diberikan pengobatan
yang tepat. Yaitu : untuk infeksi gocococcus tanpa komplikasi servik, rectum atau
urethra pada orang dewasa, pengobatan yang dianjurkan yaitu cefixime 400 mg
oral dalam dosis tunggal, ceftriaxone 125 mg IM dalam dosis tunggal,
ciprofloxacin 500 mg oral dalam dosis tunggal atau ofloxacin 400 mg dosis
tunggal.
238
Penderita yang dapat menerima cephalosporins dan quinolone boleh diobati dengan
spectinomycin 2 gm IM dalam dosis tunggal. Oleh sebab tingginya kemungkinan
bahwa penderita yang terinfeksi dengan N. gonorrhoeae juga mendapat infeksi genital
dengan Chlamydia trachomatis, dianjurkan juga untuk diberikan azithromycin 1 g PO
dalam dosis tunggal atau doxycycline 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari sebagai
tambahan rutin untuk pengobatan gonorrhoeae tanpa komplikasi.
Harus ditekankan bahwa penderita yang sedang mendapat pengobatan untuk
gonorrhoeae harus juga diberi pengobatan yang efektif terhadap Pemicu infeksi
Chlamydia genital secara rutin, oleh sebab infeksi Chlamydia sering terjadi pada
pasien yang didiagnosa menderita gonorrhoeae. Pengobatan ini sekaligus juga akan
mengobati sifilis dan dapat mencegah timbulnya gonococcus yang resisten terhadap
antimikroba. Infeksi gonococcus pada faring lebih sulit diberantas daripada infeksi
pada urethra, servik atau rectum. Beberapa jenis rejimen dapat mengobati infeksi
faring dengan angka kesembuhan lebih dari 90%. Rejimen yang dianjurkan untuk
infeksi ini yaitu cefriaxone 125 mg IM dalam dosis tunggal atau ciprofloxacin 500
mg oral dalam dosis tunggal.
Timbulnya resitensi gonococcus terhadap antimikroba yang umum dipakai disebabkan
penyebaran luas dari plasmid yang membawa gen untuk resisten. Oleh sebab itu,
banyak strain gonococcus resisten terhadap penicillin (PPNG), tetracycline (TRNG)
dan fluoroquinolon (QRNG). Resistensi terhadap antimikroba generasi ketiga dan
terhadap cephalosporin (cefriaxone dan cefimixe) tidak pernah dilaporkan, dan
resistensi terhadap spectinomycine jarang terjadi. Yang terpenting untuk diperhatikan
yaitu resistensi terhadap fluoroquinolon (yaitu ciprofloxacin dan ofloxacin) yang
menjadi luas di Asia dan dilaporkan sporadis di banyak tempat di dunia, termasuk
Amerika Utara. Pada tahun 1997, resistensi terhadap fluoroquinolones ditemukan kira-
kira 0,1% dari isolat di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, rejimen fluoroquinolones
tetap dapat digunakan untuk infeksi yang didapat di Amerika Serikat. Dengan
demikian surveilans yang terus-menerus untuk mengamati terjadinya resistensi
terhadap antimikroba sangat penting untuk dilakukan.
Kegagalan pengobatan dengan rejimen antimikroba seperti yang disebutkan diatas
jarang terjadi sehingga kultur rutin untuk tes keberhasilan pengobatan tidak
diperlukan. Jika gejala menetap, kemungkinan terjadi reinfeksi oleh sebab itu
spesimen harus diambil untuk kultur mikrobiologi dan tes resistensi. Pemeriksaan
ulang terhadap pasien risiko tinggi setiap 1-2 bulan perlu dilakukan untuk menemukan
reinfeksi asimtomatis. Penderita dengan infeksi gonococcus memiliki risiko
terinfeksi HIV dan terhadap mereka harus ditawari untuk dilakukan konseling dan
pemeriksan yang bersifat rahasia (confidential).
C. Upaya Penanggulangan Wabah
Intensifkan semua prosedur rutin, terutama pengobatan kontak atas dasar informasi
epidemiologis.
D. Implikasi Bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Lihat Sifilis, 9 E.
239
II. GONOCOCCAL CONJUCTIVITIS (NEONATORUM)
ICD-9 098.40; ICD-10 A54.3
(Gonorrheal ophthalmia neonatorum)
1. Identifikasi
Kemerahan akut dan bengkak pada konjungtiva pada satu atau kedua mata, dengan
discharge yang mukopurulen atau purulen dimana gonococcus dapat ditemukan dengan
mikroskop dan metode kultur. Ulcus cornea, perforasi dan kebutaan dapat terjadi jika
pengobatan spesifik tidak diberikan dengan cepat.
Ophthalmia gonococcal neonatorum yaitu salah satu dari sekian banyak jenis
peradangan akut pada mata dan konjungtiva terjadi dalam waktu 3 minggu pertama
setelah lahir, secara umum disebut dengan opthalmia neonatorum. Ophthalmia yang
disebabkan oleh Gonococcus yaitu yang paling serius, namun bukan sebagai Pemicu
infeksi yang paling serius. Infeksi yang paling sering disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis yang memicu inclusion conjunctivitis dan cenderung kurang begitu akut
dibandingkan gonococcal conjunctivitis dan biasanya nampak 5-14 hari sesudah lahir
(lihat Conjunctivitis, Chlamydia). Setiap Conjunctivitis neonatal purulen harus dianggap
disebabkan oleh infeksi gonococcus sampai terbukti bukan.
2. Pemicu Penyakit - Neisseria gonorrhoeae, gonococcus.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar luas diseluruh dunia. Bervariasi sesuai dengan tingkat prevalensi infeksi
maternal dan tersedianya upaya untuk mencegah infeksi mata pada bayi baru lahir pada
saat persalinan; ophthalmia neonatorum yang disebabkan oleh gonococcus jarang terjadi
apabila mata bayi yang baru lahir diprofilaksis dengan adekuat. Penyakit ini sampai
sekarang tetap menjadi Pemicu penting terjadinya kebutaan di dunia.
4. Reservoir: Infeksi dari servik dari ibunya.
5. Cara-cara Penularan
Kontak dengan jalan lahir selama persalinan.
6. Masa Inkubasi - Biasanya 1-5 hari.
7. Masa Penularan
Masa penularan berlangsung selama discharge masih ada yaitu jika tidak diobati, masinh
tetap menular sampai dengan 24 jam setelah dimulai pengobatan spesifik.
8. Kerentanan dan Kekebalan – semua orang rentan terhadap infeksi.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Lakukan upaya pencegahan infeksi maternal (lihat bagian I, 9A di atas dan lihat
Sifilis, 9 A). Tegakkan diagnosa gonorrhoeae pada wanita hamil dan segera beri
pengobatan kepada wanita ini dan pasangan seksualnya.
240
Kultur rutin dari servik dan rektum terhadap gonococci harus dipertimbangkan
untuk dilakukan selama masa sebelum kelahiran, terutama pada trimester III
dimana pada saat itu infeksi gonococcus cukup prevalens.
2) Berikan obat mata yang efektif yang sudah biasa digunakan untuk perlindungan
mata pada bayi segera setelah lahir; penetesan obat mata berupa larutan perak
nitrat 1% dalam air yang disimpan dalam kapsul lilin sampai saat ini masih
digunakan secara luas. Erythromycin ophthalmic ointment (0,5%), dan salep mata
tetrasiklin 1% juga cukup efektif. Satu penelitian yang dilakukan di Kenya
menemukan bahwa bayi baru lahir yang diberi obat tetes mata berupa larutan
providone-iodine 2,5%, insidensi ophthalmia neonatorum jauh lebih rendah secara
bermakna jika dibandingkan dengan bayi yang diberi larutan perak nitrat 1% atau
salep mata eritromisin 0,5%.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan: Laporan kasus diharuskan di semua negara
bagian dan dibanyak negara didunia, Kelas 2B (lihat pelaporan tentang penyakit
menular).
2) Isolasi: Isolasi kontak dilakukan selama 24 jam pertama sesudah mendapat
pengobatan yang efektif. Penderita harus tetap tinggal di rumah sakit bila
mungkin. Untuk menilai hasil pengobatan harus ditegakkan dengan kultur.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge konjungtiva dan
semua benda dan peralatan yang terkontaminasi.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukaan. Pengobatan segera diberikan
apabila diagnosa sudah ditegakkan atau secara klinis dicurigai terinfeksi.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: lakukan pemeriksaan dan pengobatan
terhadap ibu dan pasangan seksual mereka.
7) Pengobatan spesifik: Untuk infeksi gonococcus dimana sensitivitas terhadap
antibiotika yang sensitive tidak diketahui, atau untuk organisme yang resisten
terhadap penicillin, berikan dosis tunggal ceftriaxone 25-50 mg/kg BB (tidak boleh
melebihi l25 mg) IV atau IM. Kepada ibu dan bayi juga diberi pengobatan untuk
infeksi Chlamydia.
C. Penanggulangan Wabah: Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
GRANULOMA INGUINALE ICD-9 099.2; ICD-10 A.58
(Donovanosis)
241
1. Identifikasi
Granuloma inguinale yaitu penyakit menular yang disebabkan oleh bakte\ri, menyerang
kulit dan selaput lendir genitalia externa, daerah inguinal dan anal. Penyakit ini
berlangsung kronis, progresif dan destruktif, penularannya sangat lambat. Penyakit
ditandai dengan munculnya nodula, papula menyebar secara pelaha-lahan, tidak lunak,
exuberant, granulomatous, ulcerative dan terjadi pembentukan jaringan parut.
Lesi berbentuk khas berupa granuloma berwarna merah seperti daging sapi, meluas
kepinggir dengan ciri khas pada ujungnya menggulung dan akhirnya membentuk jaringan
ikat. Lesi tidak mudah remuk (nontriable). Lesi biasanya muncul pada bagian-bagian
tubuh yang hangat dan lembab, misalnya didaerah lipat paha, daerah perianal, serotum,
vulca dn vagina. Hampir 90% daerah yang terkena yaitu daerah genitalia, daerah
inguinal sekitar 10%, daerah anal sekitar 1-5%.
Apabila tidak diobati penyakit ini sangat destruktif dan dapat merusk struktur alat kelamin
dan menyebar denan cara auto inokulasi kebagian lain dari tubuh. Diagnosa ditegakkan
dengan pemeriksaan laboratorium yaitu dengan ditemukannya Donovan bodies yaitu
organisme berbentuk batang didalam sitoplasma. Donovan bodies dapat dilihat pad
preparat jaringn granulasi yag diwarnai dengan pengecatan Wright atau Giemsa.
Pemeriksaan histologis juga dapat dilakukan terhadap jaringan biopsi. Tanda
phatoguonomis dan penyakit ini yaitu pada pemeriksaan mikroskopis sel-sel
mononuklear yang terinfeksi dipenuhi dengan Donovan bodies.Tidak dilakukan kultur,
oleh sebab sangat sulit dilakukan. Pemeriksaan serologis dan pemeriksaan PCR hanya
dilakukan untuk tujuan penelitian. Untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi disebabkan
oleh Haemophilus ducrey dapat dilakukan dengan kultur memakai media selektif.
2. Pemicu Penyakit
Calymmatobacterium granulomatis (Donovania granulomatis), basil gram negatif, diduga
sebagai Pemicu , namun belum pasti.
3. Distribusi Penyakit
Jarang ditemukan di negara maju (jarang ditemukan di Amerika Serikat, KLB kadang-
kadang juga terjadi). Penyakit ini endemis di wilayah tropis dan subtropis seperti: India
Selatan, Papua Nugini, Australia tengah dan utara, kadang-kadang Amerika Latin,
Kepulauan Karibia, Afrika bagian tengah dan timur selatan. Lebih sering ditemukan pada
pria daripada wanita dan pada orang dengan status sosial ekonomi rendah; dapat terjadi
pada anak berumur 1-4 tahun, namun paling dominan pada usia 20-40 tahun.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara Penularan
Diduga melalui kontak langsung dengan lesi selama melakukan hubungan seksual namun
dalam berbagai studi hanya 20-65% pasangan seksual yang terinfeksi, ada beberapa kasus
penularan bukan melalui hubungan seksual.
242
6. Masa Inkubasi: Tidak diketahui, mungkin antara 1 sampai 16 minggu.
7. Masa Penularan
Tidak diketahui, penularan mungkin tetap berlangsun selama masih ada lesi terbuka pada
kulit atau membrana mukosa.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Kerentanan sangat bervariasi, tidak terbentuk setelah mendapatkan infeksi.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
Kecuali cara-cara yang dapat diterapkan hanya untuk sifilis, maka cara-cara
penanggulangan untuk sifilis, seperti yang diuraikan pada 9A berlaku juga untuk
pencegahan granuloma inguinalae. Program penyuluhan kesehatan warga pada
daerah endemis ditekankan mengenai pentingnya diagnosa dini dan pengobatan dini.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Penyakit ini wajib dilaporkan di
semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara lain didunia, Kelas 3B (lihat
pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak ada, hindari kontak yang erat dengan penderita sampai lesi sembuh.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari lesi dan
terhadap barang-barang yanga tercemar.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi Kontak: Tidak dilkakukan, berikan pengobatan dengan segera apabila
secara klinis dicurigai telah terjadi infeksi.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan pemeriksaan terhadap kontak
seksual.
7) Pengobatan spesifik