SI positif secara pasti, terlepas dari kedalaman invasi):
1. Dilakukan staging nodus secara bedah, nodus negatif:
A. Brakiterapi ajuvan disaran kan untuk mengurangi rekurensi
vagina.
B. Pilihan lainnya: tidak diberikan terapi ajuvan.
2. Tanpa staging nodus secara bedah:
A. EBRT ajuvan disaran kan untuk pasien dengan LVSI positif
secara pasti untuk menurunkan rekurensi pelvis.
B. Pemberian brakiterapi ajuvan saja disaran kan untuk grade 3 dan
LVSI negatif untuk menurunkan rekurensi vagina.
3. Terapi sistemik menghasilkan manfaat yang masih dipertanyakan,
dibutuhkan studi klinis lebih lanjut.
IIIB
IIIC
IIIB
IIIB
IIIC
4.3.3 Pilihan terapi adjuvant untuk kanker endometrium risiko tinggi
saran TINGKAT
BUKTI
9.1. Pasien dengan kanker endometrium risiko tinggi (endometrioid stadium I,
grade 3, invasi miometrium Q50%, terlepas dari status LVSI):
1. Dilakukan staging nodus secara bedah, nodus negatif:
A. EBRT ajuban dengan bidang terbatas perlu dipertimbangkan untuk
menurunkan rekurensi lokoregional.
B. Brakiterapi ajuvan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk
menurunkan rekurensi vagina.
C. Terapi sistemik ajuvan masih diteliti.
IB
IIIB
IIC
2. Tanpa staging nodus secara bedah:
A. EBRT ajuvan secara umum disaran kan untuk kontrol pelvis dan
penyintasan bebas kekambuhan (relapse-free survival).
B. Kemoterapi ajuvan sekuensial dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan
PFS dan penyintasan spesifik kanker (cancer specific survival atau CSS).
C. Terdapat bukti lebih yang mendukung pemberian kombinasi kemoterapi dan
EBRT dibandingkan dengan pemberian masing-masing modalitas terapi saja.
Kanker Endometrium Stadium II, Risiko Tinggi
9.2. Pasien dengan kanker endometrium stadium II, risiko tinggi:
1. Histerektomi biasa, dilakukan staging nodus secara bedah, nodus negatif:
A. Grade 1-2, LVSI negatif: brakiterapi vagina disaran kan untuk
meningkatkan kontrol lokal.
B. Grade 3 atau LVSI positif secara pasti:
i. EBRT lapang terbatas disarankan
ii. Boost brakiterapi dipertimbangkan
iii. Kemoterapi masih diteliti lebih lanjut
2. Histerektomi biasa, tanpa staging nodus secara bedah:
A. EBRT disaran kan
B. Boost brakiterapi dipertimbangkan
C. Grade 3 atau LVSI positif secara pasti: kemoterapi ajuvan sekuensial perlu
dipertimbangkan
Kanker Endometrium Stadium III, Risiko Tinggi
9.3. Pasien dengan kanker endometrium stadium III risiko tinggi tanpa penyakit
residu:
1. EBRT disaran kan untuk:
A. Menurunkan rekurensi pelvis
B. Meningkatkan PFS
C. Meningkatkan penyintasan
2. Kemoterapi disaran kan untuk meningkatkan PFS dan CSS.
3. Terdapat bukti untuk pemberian kombinasi kemoterapi dan EBRT
dibandingkan dengan pemberian masing-masing terapi saja di penyakit
stadium III:
A. IIIA: Kemoterapi DAN EBRT dipertimbangkan
B. IIIB: Kemoterapi DAN EBRT dipertimbangkan
C. IIIC1: Kemoterapi DAN EBRT dipertimbangkan
D. IIIC2: Kemoterapi DAN extended field EBRT dipertimbangkan
Kanker Non Endometrioid, Risiko Tinggi
9.4. Pasien dengan kanker nonendometrioid, risiko tinggi:
1. Sel serosa dan jernih setelah staging secara komprehensif
A. Pertimbangkan kemoterapi, mendorong diadakannya uji klinis
B. Stage IA, LVSI negatif: pertimbangkan hanya brakiterapi vagina tanpa
kemoterapi
C. Stage > IB: EBRT dapat dipertimbangkan sebagai tambahan
kemoterapi, terutama pada kondisi nodus positif
2. Karsinosarkoma dan tumor tidak berdiferensiasi lainnya:
A. Kemoterapi disaran kan
B. Pertimbangkan EBRT, mendorong diadakannya uji klinis
IVC
IIIC
IIB
IIIC
4.4. Terapi Pada Tahap Lanjut dan Penyakit Rekuren
4.4.1 Peran tindakan bedah atau radioterapi
saran TINGKAT
BUKTI
10.1 Pasien dengan penyakit tahap lanjut atau rekuren disaran kan menjalani
tindakan bedah hanya jika sitoreduksi optimal (tanpa penyakit residu) tercapai. Pada
beberapa kasus, terapi bedah paliatif disaran kan untuk meringankan
beberapa gejala spesifik.
IVC
10.2 Eksenterasi dapat dipertimbangkan pada beberapa pasien dengan tumor
advanced lokal dan pasien dengan relaps lokal sentral terisolasi pascaradiasi,
apabila diharapkan terdapat clear margins.
IVC
10.3 Reseksi total dari oligometastasis jauh dan relaps nodul limfa retroperitoneal
atau pelvis dapat dipertimbangkan apabila memungkinkan secara teknik
berdasarkan lokalisasi penyakit.
VC
10.4 Tipe histologis tidak boleh mempengaruhi keputusan untuk melanjutkan atau
menghentikan tindakan bedah.
IVB
10.5 RT dengan tujuan kuratif diindikasikan pada pasien dengan relaps vagina
terisolasi pascabedah.
IIIA
10.6 Pada rekurensi nodus vagina dan pelvis, kemoterapi dengan RT dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan karakteristik risiko tinggi untuk relaps
sistemtik.
10.7 Penggunaan terapi sistemik atau terapi bedah sebelum RT untuk rekurensi
nodus vagina atau pelvis dapat dipertimbangkan di beberapa pasien tertentu.
IVC
VC
10.8 Re-iradiasi dapat dipertimbangkan di pasien yang sudah diseleksi
menggunakan teknik tertentu.RT diindikasikan untuk meringankan gejala terkait rekurensi lokal atau
penyakit sistemik.
IVA
10.10 RT dapat diindikasikan untuk tumor primer yang tidak dapat direseksi, atau
jika tindakan bedah tidak dapat dijalankan ata dikontraindikasikan atas dasar alasan
medis.
IVB
4.4.2 Terapi sistemik
saran TINGKAT
BUKTI
11.1. Terapi hormone diindikasikan pada EEC tahap lanjut atau rekuren. IIA
11.2. Terapi hormon lebih mungkin efektif untuk tumor endometrioid grade 1 atau
2.
IVB
11.3 Status reseptor hormone harus ditentukan sebelum terapi hormon dijalankan.
Kemungkinan efektif pada pasien dengan status PgR dan ER lebih efektif.
IIIB
11.4 Biopsi dari penyakit rekuren dapat dipertimbangkan karena mungkin ada
banyak perbedaan di status reseptor hormon pada tumor primer dan metastasis.
IIIC
11.5 Terapi hormon merupakan terapi sistemik utama terpilih untuk pasien dengan
reseptor hormon tumor Y positif grade 1 atau 2 dan tanpa penyakit progresif
secara cepat (rapidly progressive disease).
11.6 Progestogen (misalnya MPA 200 mg atau MA 160 mg) secara umum
disaran kan.
VA
IIIA
11.7 Terpi hormonal lainnya dipertimbangkan setelah penggunaan progestin,
meliputi tamoksifen, fulvestran, dan inhibitor aromatase.
IIIC
11.8 Pelayanan standar adalah 6 siklus carboplatin dan paclitaxel yang diberikan
tiap 3 minggu. Hal ini didasarkan pada komunikasi pendahuluan dari sebuah uji
klinis terandomisasi yang menunjukkan efikasi serupa dan toksisitas yang lebih
rendah dibandingkan dengan cisplatin/doxorubin/paclitaxel.
IA
11.9 Tidak ada pelayanan standar untuk kemoterapi lini kedua.
Targeted agents yang paling menjanjikan dan desain studi yang perlu digunakan
untuk mengevaluasi manfaat klinisnya
saran TINGKAT
BUKTI
12.1 Jalur PI3K/PTEN/AKT/mTOR, PTEN, RAS-MAPK, angiogenesis (terutama
FGFR2 dan VEGF/VEGFR), ER/PgR dan HRD/MSI diubah di kanker
endometrium dan relevasi mereka perlu dipelajari di uji klinis dengan targeted
agents.
IIIB
12.2 Obat yang ditargetkan terhadap sinyalisasi jalur PI3K/mTOR dan angiogenesis
menunjukkan aktivitas sederhana namun belum ada agen yang sudah disetujui
untuk penggunaan klinis. Studi lebih lanjut yang berfokus pada biomarker
dibenarkan.
IIIA
12.3 Desain uji klinis terhadap terapi baru dan tertarget:
1. Studi basket dengan kohort multiple terkait dengan subtipe histologis
dan/atau perubahan molekular dipertimbangkan sebagai prioritas.
2. Uji klinis yang berfokus pada biomarker dengan biopsi saat masuk dan
biopsi sekuensial dalam uji coba dengan hasil akhir molekular
disaran kan.
3. PFS atau PFS pada suatu waktu tertentu merupakan hasil akhir primer yang
terpilih untuk uji coba fase dini.
4. OS adalah hasil akhir primer terpilih pada uji coba fase III, kecuali
crossover direncanakan atau diharapkan.
Pedoman pelayanan nasional kedokteran untuk kanker endometrium ini hanya berlaku
untuk rumah sakit yang memiliki fasilitas pelayanan onkologi.
• Variasi pelayanan kanker endometrium pada setiap tingkat rumah sakit harus
disesuaikan dengan kemampuan fasilitas yang ada.
• Sistem rujukan kasus atau pemeriksaan harus dilaksanakan apabila fasilitas di rumah
sakit tidak dimungkinkan atau tersedia.
• Apabila terdapat keraguan oleh klinisi, agar dapat dilakukan konsultasi dan
diputuskan oleh kelompok pakar sesuai dengan kondisi kasusnya.
DAFTAR SINGKATAN
ACOG : American College of Ostetricians and Gynecologists
ASGO : Asian Society of Gynecological Oncology
DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
ESGO : European Society of Gynecological Oncology
EUA : Evaluation Under Anesthesia
FIGO : International of Gynecology and Obstetrics
HPV : Human Papilloma Virus
IAHPC : International Association of Hospice and Palliative Care
IAP : International Academy of Pathology
IARC : International Agency for Research on Cancer
IVA : Inspeksi Visual Asetat
IGCS : International Gynecologic Cancer Society
ISSTD : International Society of the Study of Trophoblastic Diseases
KGB : Kelenjar Getah Bening
LVSI : Lymph Vascular Space Involvement
PNPK : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
PPK : Panduan Praktik Klinis
SGO : Society of Gynecologic Oncology
UICC : Union for International Cancer Control
WHO : World Health Organization
Kanker ovarium merupakan jenis kanker yang menempati urutan ketujuh kanker
tersering pada wanita di dunia (dari total 18 kanker tersering). Sebanyak 239.000 kasus
baru kanker ovarium terdiagnosis pada tahun 2012.
Insiden kanker ovarium tertinggi terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika
Selatan, sedangkan insiden terendah terjadi di Afrika dan Asia. Sekitar 58% kasus
kanker ovarium terjadi pada negara berkembang.
Menurut data Indonesian Society of Gynecologic Oncology, kanker ovarium
menduduki urutan kedua terbanyak setelah kanker serviks. Pada tahun 2016-2017
tercatat 919 kasus kanker ovarium dimana 36% tidak diketahui stadiumnya dan 21%
diantaranya didiagnosis stadium IIIB. Angka kematian akibat kanker ovarium di
Departemen Obstetri dan Ginekologi RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada
tahun 1989-1992 sebesar 22,6% dari 327 kematian kanker ginekologi. Penderita
biasanya datang sudah dalam stadium II-IV (42,5%) sehingga keberhasilan pengobatan
sangat rendah.
Kanker ovarium stadium awal sering tidak menunjukkan gejala, sehingga penyakit
ini umumnya terdiagnosa pada stadium lanjut. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun
(pada wanita dengan kanker ovarium dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita kanker) mencapai 30-50%. Deteksi dini kanker ovarium serta pencegahan
sekunder kanker ovarium memiliki peranan penting dalam penanganan kasus kanker
ovarium.
1.2. Permasalahan
Kanker ovarium memerlukan pengananan multimodalitas, hal yang tidak jauh
berbeda dengan berbagai kanker lainnya. Namun, saat ini belum terdapat keseragaman
secara nasional mengenai pendekatan terapi. Selain adanya kesenjangan dalam hal
fasilitas skrining dan terapi dari berbagai daerah di Indonesia, hal ini juga terjadi karena belum adanya panduan terapi kanker ovarium yang aplikatif dan dapat
digunakan secara merata di Indonesia.
Penelusuran kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data terbaru dari
jurnal dan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran berbasis bukti (evidence-based
medicine) dalam menulis PNPK. Penyusunan PNPK ini mengacu pada guideline
internasional yang dibuat oleh ESGO Ovarian Cancer Surgery Guidelines dan
National Comprehensive Cancer Network.
2.2. Penilaian – Telaah Kritis Pustaka
Setiap bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh sembilan pakar dalam
bidang Ilmu Obstetri dan Ginekologi.
2.3. Peringkat Bukti (Hierachy of Evidence)
Hierarchy of evidence berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for
Evidence-based Medicine Levels of Evidence yang dimodifikasi untuk keperluan
praktis, sehingga peringkat bukti adalah sebagai berikut :
IA : metaanalisis, uji klinis
IB : uji klinis yang besar dengan validitas yang baik
IC : all or none
II : uji klinis tidak terandomisasi
III : studi observasional (kohort, kasus kontrol)
IV : konsensus dan pendapat ahli
2.4 Derajat saran
Berdasarkan peringkat bukti, saran /simpulan dibuat sebagai berikut :
1). saran A bila berdasar pada bukti level IA atau IB
2). saran B bila berdasar atas bukti level IC atau II3). saran C bila berdasar atas bukti level III
4). saran D bila berdasar atas bukti level IV Proses keganasan primer yang terjadi pada organ ovarium. Keganasan ovarium dapat
terjadi pada seluruh usia kehidupan wanita. Faktor herediter pada kanker ovarium sebanyak
5-10% berkaitan dengan kanker payudara dan kanker usus.
Kanker ovarium merupakan urutan ketiga terbanyak pada kanker ginekologi Kanker
ovarium dikelompokkan menjadi :
1. Kanker Ovarium Epitel
Mayoritas 90% kanker ovarium adalah jenis epitelial yang berasal dari epitel
ovarium. Pada usia yang lebih tua tumor jenis sel epitelial sering didapatkan.
2. Kanker Ovarium Non Epitel
Kelompok lainnya adalah non epitelial yang termasuk diantaranya tumor sel
germinal, tumor sel granulosa dan tumor sex cord stromal. Pada wanita umur
kurang dari 20 tahun 70% tumor ovarium berasal dari germ sel. Dibandingkan
kanker ovarium epitelial, tumor ovarium nonepitelial lebih jarang dijumpai.
Keganasan ovarium nonepitelial berkisar 10% dari semua kanker ovarium yang
meliputi keganasan yang berasal dari sel germinal, sex-cord stromal cell,
metastasis karsinoma ke ovarium, dan berbagai kanker ovarium yang sangat
jarang, misalnya sarcoma dan tumor sel lipoid.
Tumor sel germinal biasanya terdiagnosis pada usia dua puluh tahun pertama
kehidupan, sementara tumor sex-cord stroma lebih sering dijumpai pada wanita
dewasa (tumorselgranulosa tipe dewasa rata-rata didiagnosis pada usia 50 tahun,
90% tipe juvenil terjadi pada anak-anak perempuan pre-pubertas dan SertoliLeydig sering terjadi pada perempuan kurang dari 40 tahun). Insidensi per tahun
adalah 3,7/1.000.000 untuk tumor sel germinal dan 2,1/1.000.000 perempuan
untuk tumor sex-cord stroma.
Faktor Risiko kanker ovarium adalah sebagai berikut :
a. Usia
Kanker ovarium jarang pada wanita usia kurang dari 40 tahun. Sebagian besar
terjadi pasca menopause. Sebagian terjadi pada wanita usia 63 tahun ke atas.
b. Obesitas
Wanita dengan indeks massa tubuh lebih dari 30 berisiko lebih sering mengalami
kanker ovarium
c. Riwayat reproduksi
Wanita yang hamil sebelum usia 26 tahun berisiko lebih rendah mengalami kanker
ovarium. Wanita yang hamil di atas usia 35 tahun atau yang tidak pernah hamil
berisiko lebih tinggi mengalami kanker ovarium
d. Kontrasepsi
Penggunaan pil kontrasepsi oral menurunkan risiko kanker ovarium. Penggunaan
lebih dari 5 tahun menurunkan risiko 50% lebih rendah. Penggunaan injeksi DMPA
juga menurunkan risiko kanker ovarium. Risikonya lebih rendah pada penggunaan
3tahun atau lebih.
e. Pembedahan ginekologi
Ligasi tuba mengurangi angka kejadian kanker ovarium sampai 70%. Histerektomi
(tanpa pengangkatan ovarium) juga mengurangi angka kejadian kanker ovarium
sebesar 30%.
f. Terapi fertilitas
Pemakaian klomifen sitrat lebih dari 1 tahun meningkatkan risiko kanker ovarium.
g. Androgen
Pemakaian danazol yang meningkatkan level androgen berhubungan dengan
peningkatan risiko kanker ovarium.
h. Terapi estrogen dan terapi hormonal
i. Riwayat keluarga kanker ovarium, kanker payudara, atau kanker kolorektal
j. Sindroma herediter kanker payudara dan kanker ovarium (BRCA1 dan BRCA2)
k. PTEN tumor hamartoma syndrome
l. Hereditary nonpolyposis colon cancer
m. Peutz-Jeghers syndrome
n. MUYTH-associated polyposis
o. Riwayat personal kanker payudara
p. Bedak talk
q. Diet
r. Analgetik
s. Merokok dan minum alcohol
3.2 KLASIFIKASI
1. Kanker Ovarium Epitel
Menurut WHO, pembagian tumor ovarium epitel yaitu serous adenocarcinoma,
mucinous adenocarcinoma, endometrioid adenocarcinoma, clear cell adenocarcinoma,
undifferentiated carcinoma, mixed-epithelial tumor, malignant Brenner tumor,
transitional cell carcinoma (non-Brenner type), epithelial-stromal (adenosarcoma,
carcinosarcoma (formerly mixed Mullerian tumors).
2. Kanker Ovarium Non Epitel
a. Klasifikasi tumor sel germinal
• Tumor sel germinal primitif—Disgerminoma, tumor sinus endoderma (yolk sac
tumor)/ EST, koriokarsinoma, karsinoma embrional, campuran tumor sel
germinal, dan lain-lain.
• Teratoma matur dan imatur
• Teratoma monodermal dan tumor tipe somatic yang berhubungan dengan
teratoma
b. Klasifikasi sex-cord stromal tumor (SCST) dan tumor sel steroid
• Tumor stroma ovarium dengan elemen sex-cord :
Adult granulosa cell tumor, juvenile granulosa cell tumor, sertoli-leydig cell
tumors, gynandroblastoma, sex cord tumor with annular tubules, lain-lain.
• Tumor stroma murni (pure stromal tumors) :
Fibroma and thecoma, typical, cellular and mitotically active; Malignant
tumors (fibrosarcoma)
• Tumor stroma ovarium yang lain :
Ovarian stromal tumor with minor sex cord elements; Sclerosing stromal
tumor; Signet-ring stromal tumor; Microcystic stromal tumor; Ovarian
myxoma;Stromal-Leydig cell tumor
• Tumor sel steroid :
Stromal luteoma; Leydig cell tumor; Steroid cell tumor, not otherwise
specified
• Tumor mesenkim
3.3 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Kanker ovarium stadium awal pada umumnya tidak memberi tanda dan gejala yang
khas. Keluhan yang sering dijumpai berupa gangguan gastrointestinal seperti :
dispepsia, gangguan defekasi, meteorismus. Bila massa telah membesar akan teraba
benjolan dengan gejala akibat penekanan massa pada organ rongga pelvis/abdomen
yang ditandai dengan nyeri perut, sulit makan atau perasaan begah atau gejala urinarius
(urgensi atau frekuensi). Dengan berlanjutnya penyakit penderita datang dengan gejala
umum kanker antara lain: berat badan menurun, malaise, fatigue, dispneu dan nyeri
dada.
2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik secara umum termasuk tanda vital, ECOG ataupun Karnofsky score.
Dari pemeriksaan fisik dideskripsikan ukuran massa, permukaan tumor, hubungannya
dengan organ sekitar. ditemukan massa di abdomen/ pelvik, dengan/tanpa asites.
Pemeriksaan dalam dan rektal (vaginal dan rectal toucher), pemeriksaan payudara, area
selangkangan, aksila, dan supraklavikula, serta auskultasi paru-paru.
3. Pemeriksaan Laboratorium:
• Pemeriksaan Darah Lengkap, Kimia Darah dengan Tes Fungsi Liver, Fungsi ginjal,
elektrolit, albumin, globulin, Kadar gula darah, screening penyakit menular (HIV
dan HBsAg, TPHA), fungsi haemostatis.
• Petanda tumor :
o Kanker ovarium epitel : CA-125, CEA, HE4, CA 19-9
4. Pemeriksaan Pencitraan :
• USG abdominal dan vagina dengan color Doppler.
• USG Vaskuler bila ada indikasi
• Evaluasi gastrointestinal bila ada indikasi
• CT scan, MRI whole abdomen dan/atau PET-CT scan
• Rontgen Thoraks (AP dan LL)
• Penapisan kanker ovarium mempergunakan indeks risiko keganasan (IRK)/Risk
Malignancy Index (RMI), ROMA, IOTA, atau yang lainnya, bila nilai di atas
normal maka pembedahan harus dilakukan oleh Konsultan Onkologi Ginekologi.
5. Pemeriksaan Patologi Anatomi
• Sitologi
• Potong beku
• Histopatologi
• IHK (Imunohistokimia)
Diagnosis pasti berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis. Penentuan stadium
dilakukan melalui pembedahan (surgical staging) berdasarkan stadium FIGO 2014.
PEMBEDAHAN
1) Prosedur:
• Laparotomi baik insisi mediana ataupun vertikal seharusnya digunakan pada
pasien yang dicurigai keganasan pada ovarium ataupun tuba falopii/ neoplasma
pada peritoneum yang sudah direncanakan akan dilakukan prosedur surgical
staging, prosedur primary debulking, prosedur interval debulking, atau
secondary cytoreduction.
• Untuk pasien tertentu, pendekatan dengan pembedahan minimal invasif dapat
dipilih oleh pembedah yang berpengalaman untuk mencapai prinsip-prinsip
surgical staging dan debulking
• Pasien-pasien yang tidak dapat dilakukan optimal debulking dengan
menggunakan teknik minimal invasif (Laparoskopi) harus dirubah menjadi
prosedur terbuka (Laparotomi)
• Pendekatan dengan pembedahan minimal invasif dapat berguna ketika
mengevaluasi sitoreduksi maksimal pada pasien yang baru terdiagnosis atau
kanker ovarium residif. Jika penilaian klinis tidak dapat mencapai sitoreduksi
maksimal, kemoterapi neoajuvan harus menjadi pertimbangan.
• Pada pra pembedahan dapat dipertimbangkan persiapan colon dengan tujuan
agar bisa dilakukan repair bila terjadi cedera dan atau dilakukan anastomosis
bila dilakukan reseksi.
• Potong beku dilakukan jika ada indikasi dan tersedia. Apabila tidak tersedia
fasilitas potong beku atau hasil potong beku tidak konklusif, dapat dilakukan
prosedur operasi kedua untuk dilakukan complete surgical staging (re-open).
• Dari hasil potong beku ada beberapa kemungkinan hasil:
o Tumor ovarium jinak (benign)
o Tumor ovarium borderline Tumor ovarium ganas (maligna)
o Keganasan ovarium belum dapat dipastikan untuk kepastian diagnosis
menunggu hasil pemeriksaan parafin.
• Jika hasil potong beku borderline dilakukan pengangkatan ovarium dan jaringan
lain yang secara makroskopis dicurigai tumor implant atau keganasan. Dengan
mempertimbangkan fungsi reproduksi dan fertilitas, dapat dilakukan
pembedahan konservatif dengan salpingoooforektomi unilateral. Bila fungsi
reproduksi tidak diperlukan dapat dilakukan tindakan histerektomi total
salpingoooforektomi bilateral.
• Jika hasil potong beku tumor ovarium ganas, maka tindakan selanjutnya:
o Complete surgical staging dilakukan pada kanker ovarium stadium awal
o Atau Debulking dilakukan pada stadium lanjut
Ø Optimal debulking, bila tidak dijumpai sisa massa tumor (complete
resection) atau bila massa tumor < 1cm (incomplete resection).
Ø Suboptimal debulking, bila sisa massa tumor ≥ 1 cm.
o Conservative surgical staging dapat dilakukan pada pasien yang masih
membutuhkan fungsi reproduksi dengan indikasi tertentu.
2) Penentuan Stadium
Prosedur pembedahan penentuan stadium (complete surgical staging)
• Insisi midline
• Pembilasan peritoneum atau aspirasi cairan asites
• Inspeksi dan perabaan secara cermat seluruh permukaan peritoneum
• Histerektomi total dan salpingo-ooforektomi bilateral
• Omentektomi infrakolika
• Biopsi setiap lesi yang dicurigai metastasis tumor
• Biopsi atau reseksi setiap perlekatan di dekat tumor primer
• Bila secara makroskopis tidak dijumpai massa tumor dilakukan biopsi secara
acak pada peritoneum buli-buli dan cul de sac, cekungan parakolik kiri dan kanan, biopsi atau hapusan hemidiafragma kanan, biopsi pada peritoneum
dinding samping panggul pada sisi tumor primer.
• Limfadenektomi pelvik bilateral dan paraaorta
Laporan operasi
• Pembedah harus mendeskripsikan dalam laporan operasi:
o Progesivitas atau penyakit awal sebelum debulking pelvis, mid abdomen,
atau upper abdomen (Cut offs: Pelvic brim to lower ribs)
o Jumlah dari residu penyakit pada area setelah debulking
o Reseksi komplit atau tidak komplit; Jika tidak komplit, laporkan lesi
utama dan total jumlah lesi. Laporkan lesi kecil.
3) Keadaan Khusus
• Operasi mempertahankan fungsi reproduksi: salfingo-ooforektomi unilateral
mempertahankan uterus dan ovarium kontralateral (operasi mempertahankan
kesuburan) dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan penyakit stadium awal
yang jelas dan / atau tumor dengan risiko yang baik (stadium awal tumor epitel
invasif, lesi LMP, tumor sel germinal yang ganas, atau tumor seks cord-stroma
yang ganas) yang ingin mempertahankan kesuburan. Staging bedah
komprehensif yang luas tetap harus dilakukan untuk menyingkirkan stadium
penyakit tidak terdeteksi yang lebih berat, tetapi dapat disingkirkan pada pasien
remaja / anak dengan stadium awal tumor sel germ yang ganas dengan klinis
yang jelas berdasarkan literatur bedah pediatrik.
• Tumor Musinus: Tumor musinus invasif ovarium primer jarang terjadi. Dengan
demikian, saluran pencernaan atas dan bawah harus dievaluasi secara detail
untuk menyingkirkan primer GI yang tidak terdeteksi dengan metastasis
ovarium, dan appendiktomi harus dilakukan pada operasi primer pada pasien
dengan dicurigai atau dikonfirmasi neoplasma ovarium musinus.Tumor Low Malignant Potential: Meskipun data menunjukkan upstaging
dengan limfadenektomi, data lain menunjukkan bahwa limfadenektomi tidak
mempengaruhi kelangsungan hidup secara keseluruhan. Namun, omentektomi
dan beberapa biopsi dari peritoneum (tempat yang paling umum dari implan
peritoneal) mungkin meningkatkan risiko pada pasien di sekitar 30% kasus dan
dapat mempengaruhi prognosis.
• Sitoreduksi sekunder: Sebuah prosedur sitoreduksi sekunder dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan kanker ovarium berulang yang kambuh
lebih dari 6-12 bulan sejak selesainya kemoterapi awal, memiliki fokus yang
terisolasi (atau fokus tertentu) penyakit dapat direseksi, dan tidak memiliki
ascites. Pasien diajak untuk berpartisipasi dalam percobaan evaluasi manfaat
dari sitoreduksi sekunder.
4) Tatalaksana Pembedahan pada Kanker Ovarium Stadium I-II
• Laparotomi insisi mediana disaran kan untuk pembedahan kanker
ovarium stadium I-II. Pembedahan pada stadium I dapat dilakukan per
laparoskopi oleh ginekolog-onkolog dengan kemampuan khusus untuk
melakukan surgical staging per laparoskopi yang adekuat. Pecahnya tumor
primer yang semula intak dengan tercecernya sel tumor pada saat diseksi dan
ekstraksi spesimen harus dihindari.
• Pecahnya massa adneksa intraoperatif yang semula intak sebaiknya dihindari.
• Tersedianya potong beku (frozen section) bila memungkinkan dapat
memberikan penilaian pembedahan yang dibutuhkan dilakukan komplit saat
pembedahan inisial. Walaupun dapat dipahami bahwa hasil potong beku
mungkin tidak konklusif dan pemeriksaan patologi definitif adalah standar
emas dalam penentuan diagnosis.
• Bila fasilitas potong beku tidak tersedia atau hasil potong beku tidak konklusif,
dapat dilakukan prosedur operasi kedua untuk dilakukan complete surgical
staging.• Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral (HT-SOB) adalah standar
tatalaksana.
• Pembedahan dengan mempertahankan fertiltias (salfingo-ooforektomi
unilateral) dapat dilakukan pada pasien premenopause yang masih
menginginkan fungsi reproduksi.
• Restaging per laparoskopi merupakan pilihan yang dapat diterima jika
dilakukan oleh ginekolog-onkolog dengan ekspertise yang adekuat untuk
melakukan penilaian komprehensif.
• Disaran kan untu melakukan penilaian visual terhadap seluruh kavitas
peritoneal.
• Disaran kan untuk melakukan sitologi atau bilasan peritoneum sebelum
tindakan manipulatif terhadap tumor.
• Bila tidak ditemukan implan mencurigakan pada pelvis, area parakolika, dan
subdiafragmatika, maka disaran kam melakukan biopsi buta
peritoneum.
• Disaran kan melakukan, setidaknya, omentektomi infrakolika.
• Disaran kan diseksi KGB pelvis bilateral dan para-aorta hingga setinggi
vena renalis sinistra (dengan pengecualian pada stadium I ekspansil
adenokarsinoma musinosa)
• Ketika karsinoma stadium awal ditemukan secara insidental saat operasi pada
massa yang diduga jinak, prosedur operasi kedua dibutuhkan bila pasien tidak
dilakukan staging secara komprehensif.
• Penilaian ulang dengan tujuan hanya untuk melakukan appendektomi tidak
wajib bahkan pada kasus histologi musinosa bila appendiks telah diperiksa dan
dinyatakan normal.
5) Tatalaksana Pembedahan pada Kanker Ovarium Stadium III-IV
• Laparotomi insisi mediana dibutuhkan untuk pembedahan kanker ovarium stadium
III-IV.• Tindakan pembedahan dilakukan dengan prinsip debulking
• Pada umumnya, segala usaha harus diupayakan untuk mencapai sitoreduksi
maksimal pada abdominal, pelvis, dan penyakit retroperitoneal. Sisa residu <1 cm
menyatakan sitoreduksi optimal; bagaimanapun, harus dilakukan usaha maksimal
untuk membuang semua makroskopis penyakit untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik
• Aspirasi cairan asites harus dilakukan pada pemeriksaan sitologi. Semua termasuk
omentum harus dibuang.
• Kelenjar getah bening yang membesar atau dicurigai harus direseksi jika
memungkinkan.
• Semua pasien dengan nodul tumor ≤ 2cm (Stadium IIIB) harus dilakukan diseksi
pelvis bilateral dan kelenjar getah bening para-aorta.
• Prosedur yang dilakukan dalam sitoreduksi optimal termasuk reseksi usus dan/atau
appendektomi, gastrektomi, kolesistektomi, dan/atau pankreatektomi bila
diperlukan dan memungkinkan.
• Pasien-pasien dengan sisa residu yang milier setelah operasi sitoreduksi dari kanker
ovarium epitelial invasif atau kanker peritoneum merupakan calon kandidat
potensial untuk terapi intraperitoneal. Pertimbangan pada pasien ini dilakukan
pemasangan kateter intraperitoneal pada pembedahan awal
• Reseksi komplit pada semua lesi yang terlihat adalah tujuan dari tatalaksana
pembedahan.
• Kondisi dimana debulking abdomen tidak dianjurkan:
o Infiltrasi difusa yang dalam pada pangkal mesenterium usus halus
o Karsinomatosis difusa pada usus halus yang telah mengenai sebagian besar
bagian usus halus dimana reseksi dapat menyebabkan sindrom usus pendek atau
short bowel syndrome (panjang usus yang tertinggal < 1.5 m)
o Penyebaban difusa/infiltrasi yang dalam pada
§ Gaster/duodenum (batasi insisi sebisa mungkin), dan
§ Caput atau bagian tengah pankreas (tail/ujung pankreas dapat direseksi) Adanya keterlibatan trunkus koeliakus, arteri hepatika, arteri gastrika sinistra
(nodus koeliakus dapat direseksi)
• Area metastase (stadium IV B) masih bisa direseksi. Namun metastase sentral atau
multisegmental pada hati, metastase parenkim paru multiple (yang telah dibuktikan
secara histologi), metastase KGB yang tidak bisa direseksi, dan metastase otak
multipel tidak bisa direseksi.
• Pembedahan primer disaran kan pada pasien yang dapat dilakukan debulking
dengan menyisakan sesedikit bahkan tidak sama sekali residu tumor dengan tingkat
komplikasi yang dapat diatasi.
• Rasio risiko-keuntungan menjadi pertimbangan pada pembedahan primer ketika:
o Terdapat tumor luas yang tidak dapat direseksi
o Debulking komplit hingga tidak tersisa residu tumor bisa dilakukan dengan
morbiditas yang dapat diatasi, serta berdasarkan status pasien. Keputusan harus
berdasarkan masing-masing individu dan diambil dengan pertimbangan berbagai
parameter. Contoh massa ekstra-abdominal yang mungkin dapat direseksi: KGB
aksila atau inguinal, nodus retrokrural atau parakardiak, keterlibatan fokal pleura
parietal, metastase parenkim paru yang terisolasi. Contoh metastase parenkim
intra-abdomen yang dapat direseksi: metastase limpa, metastase kapsul hepar,
metastase tunggal hepar bagian dalam (tergantung lokasi)
o Pasien menerima adanya kemungkinan pemberian transfusi darah atau stoma.
• Pembedahan debulking interval sebaiknya dianjurkan pada pasien yang siap secara
fisik untuk menghadapi pembedahan dengan respon atau stable disease yang bisa
dilakukan reseksi komplit.Prosedur pembedahan debulking yang melibatkan organ
selain ginekologi dapat dilakukan kerja sama multidisiplin, bila diperlukan.
• Pasien dengan massa tumor yang tidak bisa dioperasi (inoperable) yang mengalami
progresifitas selama kemoterapi neoadjuvan sebaiknya tidak dioperasi kecuali untuk
alasan paliatif yang tidak bisa ditatalaksana secara konservatif. Tinjauan ulang
terhadap patologi adenokarsinoma serosa (kemungkinan low grade) dan
pemeriksaan tambahan pada adenokarsinoma musinosa (kemungkinan sekunder
dari traktus GI) disaran kan bila memungkinkan pada kondisi ini.6) Sitoreduksi interval dilakukan setelah kemoterapi neoajuvan. Sejalan dengan
prosedur sitoreduksi primer, segala upaya harus dilakukan untuk mencapai
sitoreduksi maksimal selama prosedur sitoreduksi interval. Usaha maksimal
dilakukan untuk membuang semua penyakit yang tampak pada abdomen, pelvis,
dan retroperitoneum.
Bila pasien tidak memiliki kesempatan untuk pembedahan setelah 3 siklus, maka
delayed debulking setelah lebih dari 3 siklus kemoterapi neoadjuvan dapat
dipertimbangkan berdasarkan masing-masing individu.
7) Prosedur Tambahan Bedah Paliatif
Prosedur ini dapat dilakukan pada pasien tertentu:
• Parasentesis / kateter peritoneal
• Thorakosintesis / pleurodesis / thorakoskopi dibantu dengan video / kateter
pleura
• Stent ureter / nefrostomi
• Gastrostomy tube / stent usus / tindakan bedah pada obstruksi usus
B. KEMOTERAPI
• Kemoterapi diberikan sesuai dengan persyaratan dan fasilitas yang tersedia.
Pemberian kemoterapi dapat melalui kemoterapi intravena (IV), kombinasi
intraperitoneal (IP) dan kemoterapi IV, kemoterapi intratekal, atau kemoterapi
intraarterial.
Diagnosis dan Pemeriksaan Pre-operatif
Tingkat
Bukti
saran
C Pemeriksaan klinis, termasuk abdomen, vagina dan dubur; pemeriksaan area
dada, selangkangan, aksila, supraklavikula; dan auskultasi paru-paru harus
dilakukan
B Pemeriksaan ultrasonografi pelvis rutin (transvaginal dan transabdominal)
harus dijadikan alat pemeriksaan primer pada setiap massa adneksa.
B Pencitraan tambahan khusus pelvis, abdomen, dan toraks harus dilakukan
pada kecurigaan kasus karsinoma ovarium, atau massa mencurigakan atau
tidak dapat ditentukan asalnya pada pemeriksaan ultrasonografi rutin
D Penilaian marker tumor harus dilakukan, setidaknya kadar CA 125. HE4 juga
disarankan. Marker tambahan, termasuk AFP, hCG, LDH, CEA, CA 19-9,
inhibin B atau AMH, estradiol, testosterone akan berguna pada kondisi
spesifik seperti usia muda, atau pencitraan menggambarkan tumor musinus,
atau non epitel, atau tumor berasal dari luar adneksa.
4.2 Pengambilan Keputusan Spesialisasi Multidisiplin
Tingkat
Bukti
saran
C Wanita dengan presentasi klinis tanpa kedaruratan dan curiga keganasan
adneksa/peritoneum harus dirujuk ke spesialis onkologi ginekologi
D Pembedahan pada senter dengan kualitas rendah tidak disarankan. Eksitensi
suatu fasilitas kesehatan intermediate dan akses terhadap tatalaksana unit
rawat intensif (ICU) dibutuhkan. Partisipasi pada uji klinis merupakan
inidkator kualitas.
C Pengobatan harus direncanakan preoperative pada pertemuan tim
multidisiplin, setelah pemeriksaan yang bertujuan untuk menyingkirkan (1)
metastasis yang tidak dapat direseksi dan (2) metastasis sekunder ovarium
dan peritoneum dari keganasan primer lainnya ketika riwayat keluarga,
gejala, gambaran radiologis, atau rasio CA 125/CEA yang sugestif.
Persetujuan tindakan dari keluarga harus didapatkan.
D Semua pasien harus ditinjau ulang setelah operasi pada pertemuan onkologi
ginekologi multidisiplin.
4.3 Tatalaksana Pembedahan Kanker Ovarium Stadium I-II
Tingkat
Bukti
saran
B Laparotomi mediana disaran kan untuk mengatasi kanker ovarium
stadium awal. Stadium I dapat ditatalaksana secara laparoskopik oleh
onkologi ginekologi dengan ekspertise memadai untuk melakukan surgical
staging yang baik secara laparoskopik. Pecahnya tumor intak primer dengam
spill sel tumor ketika diseksi dan ekstraksi spesimen harus dihindari.
B Pecahnya massa adneksa yang belum pecah saat intraoperatif harus dihindari.
B Ketersediaan potong beku dapat memberikan penilaian pembedahan lengkap
yang dibutuhkan pada saat pembedahan inisial. Dapat dipahami bahwa
potong beku mungkin tidak konklusif dan bahwa patologi definitif tetap
merupakan baku emas diagnosis.
D Ketiadaan potong beku atau pada kasus potong beku inkonklusif, “prosedur
dua langkah” lebih diutamakan.
D Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral merupakan standar.
C Pembedahan yang mempertahankan fertilitas (salfingo-ooforektomi
unilateral) harus disarankan pada pasien premenopausal tertentu yang masih
menginginkan fungsi fertilitas.B Restaging laparoskopi merupakan pendekatan yang dapat diterima bila
dilakukan oleh onkolog ginekologi dengan ekspertise memadai untuk
melakukan penilaian komprehensif.
D Penilaian visual terhadap seluruh kavitas peritoneum disaran kan.
C Bilasan peritoneum atau sitologi, yang diambil sebelum tindakan manipulasi
tumor disaran kan.
C Ketika tidak ditemukan implant mencurigakan di pelvis, area parakolika, dan
area subdiafragmatika; biopsi buta peritoneum disaran kan.
C Sedikitnya, omentektomi infrakolika disaran kan.
B Diseksi limfonodus para-aorta dan pelvis bilateral hingga setinggi vena
renalis kiri (dengan pengecualian adenokarsinoma tipe musinus ekspansil
stadium I) disaran kan.
D Ketika karsinoma stadium awal ditemukan secara incidental ketika
pembedahan pada kondisi yang curiga jinak, prosedur pembedahan kedua
akan dibutuhkan bila pasien belum ditentukan stadiumnya secara
komprehensif.
D Reasesmen dengan tujuan hanya untuk melakukan apendektomi tidak
mandatory bahkan pada kasus dengan histology musinus jika apendiks telah
diperiksa dan dinyatakan normal.
4.4 Tatalaksana Pembedahan Kanker Ovarium Stadium III-IV
Tingkat
Bukti
saran
D Laparotomi mediana dibutuhkan dalam tatalaksana kanker ovarium stadium
III-IV.
A Reseksi komplit terhadap semua penyakit yang terlihat merupakan tujuan
tatalaksana pembedahan. Pemilihan pembedahan inkomplit (awal ataupun
interval) harus dihindari.
D Kriteria yang tidak mendukung debulking abdomen adalah:Infiltrasi difusa yang dalam pada mesenterium usus halus;
• Karsinomatosis difusa pada usus halus yang luas sehingga reseksi dapat
menyebabkan sindrom usus pendek/short bowel syndrome (usus yang
tersisa < 1.5 m),
• Infiltrasi difusa pada:
- Gaster/duodenum (eksisi terbatas masih memungkinkan), dan
- Kepala atau bagian tengah pancreas (ujung/ekor pancreas dapat
direseksi)
• Keterlibatan trunkus koeliakus, arteri hepatica, arteri gastrika kiri (nodus
koeliak dapat direseksi)
D Jaringan metastasis (stadium IVB) mungkin dapat direseksi. Metastasis
parenkim hepar sentral atau multisegmental, metastasis parenkim paru
multipel (diutamakan telah terbukti secara histologis), metastasis limfonodus
yang tidak bisa direseksi, dan metastasis otak multipel merupakan metastasis
yang tidak dapat direseksi.
A Pembedahan primer disaran kan pada pasien yang dapat dilakukan
debulking awal dimana dapat dicapai kondisi tidak ada residu tumor tersisa
dengan angka komplikasi yang masuk akal.
D Rasio risiko-keuntungan diutamakan pada pembedahan primer dimana:
• Tidak ditemukan perluasan tumor yang tidak dapat direseksi
• Debulking komplit sampai kondisi tidak ada residu tumor dianggap
memungkinkan dengan morbiditas yang masuk akal, sebaiknya
dipertimbangkan dalam menentukan status pasien. Keputusan dibuat per
individual dan berdasarkan parameter multipel.
• Pasien menerima kemungkinan diberikan sarana pendukung seperti
transfusi darah dan stoma.
A Pembedahan debulking interval dianjurkan pada pasien dengan kondisi yang
baik untuk pembedahan dengan respon dan kondisi penyakit stabil yang dapat
dilakukan reseksi komplit.D Bila pasien tidak memiliki kesempatan untuk pembedahan setelah 3 siklus,
maka tunda debulking setelah lebih dari 3 siklus kemoterapi neoadjuvan dapat
dipertimbangkan berdasarkan kondisi per individu.
D Pasien dengan tumor yang tidak dapat dioperasi yang mengalami progresi
ketika kemoterapi neoadjuvan sebaiknya tidak dioperasi kecuali dengan
alasan paliatif dimana penyakit tidak dapat ditatalaksana secara konservatif.
Review patologi seksama terhadap adeokarsinoma serosa (kemungkinan
derajat rendah) dan pemeriksaan tambahan pada adenokarsinoma musinus
(mungkin sekunder dari traktus GI) disaran kan bila dapat
diaplikasikan pada kondisi ini.
Contoh penyakit ekstra-abdominal yang mungkin dapat direseksi:
• Limfonodus inguinal atau aksila
• Limfonodus retrokrural atau parakardiak
• Keterlibatan fokal pleura parietal
• Metastase parenkim paru terisolasi
Contoh metastase parenkim intra abdominal yang dapat direseksi:
• Metastase limpa
• Metastase kapsul hepar
• Metastase profnda hepar tunggal, tergantung lokasi
4.5 Informasi Minimal yang Dibutuhkan
Tingkat
Bukti
saran
D Semua informasi yang dibutuhkan mengenai area dan ukuran tumor, pola
diseminasi tumor, reseksi yang dilakukan, dan residu tumor harus
dicantumkan pada protokol operasi.
D Protokol opersi harus sistematis. Pola diseminasi tumor dengan area dan
ukuran lesi tumor harus dideskripsikan pada awal protocol operasi.
D Semua area pada kavum abdomen dan pelvis harus dievaluasi dan
dideskripsikan.D Semua prosedur pembedahan yang telah dilakukan harus disebutkan.
D Bila ada, ukuran dan lokasi residu tumor harus dideskripsikan pada akhir
protocol operasi. Alasan tidak maksimalnya sitoreduksi harus dijelaskan.
D Paling tidak, informasi yang berisi laporan operasi ESGO harus ada.
D Laporan patologi harus mencantumkan semua informasi yang dibutuhkan.
D Morbiditas dan mortalitas pembedahan harus dinilai dan dicatat, dan kasus
terpilih harus didiskusikan pada konferensi morbiditas dan mortalitas.
Pedoman pelayanan nasional kedokteran untuk kanker ovarium ini hanya berlaku
untuk rumah sakit yang memiliki fasilitas pelayanan onkologi.
• Variasi pelayanan kanker ovarium pada setiap tingkat rumah sakit harus disesuaikan
dengan kemampuan fasilitas yang ada.
• Sistem rujukan kasus atau pemeriksaan harus dilaksanakan apabila fasilitas di
rumah sakit tidak dimungkinkan atau tersedia.
• Apabila terdapat keraguan oleh klinisi, agar dapat dilakukan konsultasi dan
diputuskan oleh kelompok pakar sesuai dengan kondisi kasusnya.
Tumor Trofoblastik Gestasional (TTG)/Penyakit Trofoblas Maligna (PTM)/Gestational Trophoblastic
Neoplasia (GTN) merupakan jenis keganasan ginekologi yang paling mungkin untuk disembuhkan.
TTG/PTM seringkali dapat diobati dengan tuntas oleh karena dapat dideteksi secara dini, diterapi
menggunakan regimen kemoterapi, dan di-follow up secara akurat dengan mengukur kadar hormon
human chorionic gonadotropin (beta hCG). Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi memiliki
tanggung jawab untuk menegakkan diagnosis dan melakukan manajemen pada TTG, serta merujuk
pasien TTG kepada Konsultan Onkologi Ginekologi tepat waktu sehingga diperlukan pendekatan
diagnosis dan juga manajemen yang terstruktur untuk menangani penyakit ini agar dapat tercapai
kesembuhan pasien tanpa mempengaruhi fertilitas pasien (McGee & Covens, 2012).
Hampir 98% pasien dengan TTG memiliki keluaran yang sangat baik, namun sejumlah kecil pasien
meninggal akibat deteksi yang terlambat ataupun karena resistensi terhadap regimen obat (Seckl et al,
2010). Berdasarkan data dari RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, terdapat sekitar 1172 kasus Penyakit
Trofoblas Gestational (PTG) yang terdiagnosis dalam periode 2012 hingga 2016, dengan proporsi usia
<35 tahun sebanyak 48,8 %. Tujuan pedoman ini adalah untuk meningkatkan standar pelayanan medis
sehingga para wanita muda yang menderita TTG dapat didiagnosis secara dini dan dapat memperoleh
penanganan yang terbaik.
B. Permasalahan
Dasar pemikiran pembuatan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) adalah
mesaran kan agar tim multidisipliner nasional berkumpul bersama dan menyusun sejumlah
pedoman klinis mengenai penanganan kanker berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini. Dasar pemikiran pembuatan PNPK ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang diterima
oleh pasien:
a. Meningkatkan kualitas keputusan klinis (quality of clinical decisions),
b. Meningkatkan keluaran pasien (patient outcomes)
c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan kualitas hidup
d. Mempromosikan pengaplikasian intervensi-intervensi yang telah terbukti bermanfaat dan
mencegah penggunaan intervensi yang tidak efektif
e. Meningkatkan konsistensi dan juga standar pelayanan medis
Pada keadaan darurat di rumah sakit, untuk menegakkan diagnosis TTG, klasifikasi stadium, dan
penanganan pasien, diperlukan perawatan secara multidisiplin. Sebagian besar pasien akan menjalani
sejumlah tes diagnostik (seperti radiologi, patologi) dan juga pembedahan serta kemoterapi (tergantung
dari rencana penatalaksanaan).
C. Tujuan
Tujuan pedoman klinis nasional yang berjudul “Diagnosis, Klasifikasi Stadium, dan Terapi pada
Tumor Trofoblas Gestational (TTG)” adalah:
a. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
b. Mencegah banyaknya variasi dalam praktik pelayanan
c. Mengedepankan perawatan klinis berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini
d. Mengedepankan bukti penelitian terbaik yang dikombinasikan dengan ekspertise klinis
e. Mengembangkan pedoman berbasis bukti ilmiah terkini (evidence-based) dengan metodologi
yang diakui secara internasional
D. Sasaran
PNPK ini disusun untuk meningkatkan standar dan konsistensi pelayanan klinis sesuai dengan bukti
ilmiah terbaik dan terbaru. PNPK terfokus kepada diagnosis, klasifikasi stadium, dan juga terapi bagi pasien TTG, tetapi tidak memiliki saran mengenai setiap aspek pada diagnosis, klasifikasi
klinis, dan terapi. PNPK ini terfokus pada ruang lingkup praktik klinis yang bersifat sebagai berikut:
a. Ruang lingkup yang kontroversial atau kurang jelas
b. Ruang lingkup di mana banyak dijumpai berbagai variasi praktik klinis
c. Ruang lingkup di mana terdapat bukti ilmiah terbaru
d. Ruang lingkup di mana pedoman ini memiliki potensi untuk memberikan dampak yang
maksimal
PNPK ini hanya terfokus pada manajemen klinis pada pasien TTG, sehingga tujuan PNPK ini untuk
membantu pasien TTG mencapai derajat kesehatan yang baik dengan cara mempromosikan kualitas
hidup yang baik serta meningkatkan kesintasan (survival) pasien dengan keganasan. Hal ini dicapai
dengan cara memberikan informasi, panduan, serta dukungan kepada pasien, keluarga pasien, serta ahli
kesehatan mengenai gaya hidup sehat, pencegahan penyakit, dan kontrol penyakit.
Target populasi pada pedoman ini adalah wanita yang pernah mengalami keguguran, wanita yang
pernah mengalami kehamilan mola, wanita yang mengalami peningkatan kadar beta hCG tanpa sebab
yang jelas, wanita yang datang dengan keluhan adanya metastasis dari sumber yang tidak diketahui
namun memiliki peningkatan kadar beta hCG, dan wanita dengan atypical placental site nodules.
PNPK ini ditujukan untuk seluruh tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses diagnosis, klasifikasi
stadium dan terapi pada pasien TTG, misalnya Konsultan Onkologi Ginekologi, Spesialis Radiologi,
Patologi Anatomi, Patologi Klinik, Radioterapi, Hematoonkologi. Manajemen Rumah Sakit memiliki
tanggung jawab dalam mengimplementasikan saran dalam PNPK ini, sementara masing-masing
anggota dari tim multidisipliner memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan saran
pedoman masing-masing yang sesuai dengan bidangnya.
PNPK ini juga dapat digunakan untuk Dinas Kesehatan di Indonesia (baik di fasilitas pelayanan
kesehatan primer maupun sekunder) untuk memastikan bahwa terdapat pengaturan yang jelas untuk
memberikan penanganan yang sesuai bagi target populasi dinas kesehatan tersebut.
Proses penyusunan pedoman ini disusun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia yang diketuai oleh Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI). Anggota yang
terlibat yaitu wakil-wakil dari semua disiplin ilmu yang relevan dan Dinas Kesehatan. HOGI bertanggung jawab dalam penyusunan dan pemaparan dari PNPK. Anggota Tim penyusunan
PNKP meliputi perwakilan dari grup medis yang relevan (Konsultan Onkologi Ginekologi, Spesialis
Radiologi, Patologi Anatomi, Patologi Klinik, Radioterapi, Hematoonkologi) yang memiliki
kemampuan dalam melakukan diagnosis, klasifikasi stadium, dan terapi pada pasien TTG.
Penelusuran bukti sekunder berupa uji klinis, meta-analisis, Randomised Controlled Trial (RCT),
telaah sistematik, ataupun guidelines berbasis bukti sistematik dilakukan dengan memakai kata kunci
“Gestational Trophoblast Disease” dan “Gestational Trophoblastic Neoplasia” pada judul artikel pada
situs Cochrane Systematic Database Review, ESGO, ESMO, ISSTD, FIGO
Penelusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari Pubmed, Medline, dan trip data base.
Pencarian mempergunakan kata kunci seperti yang tertera di atas yang terdapat pada judul artikel,
dengan batasan publikasi bahasa Inggris dan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Setelah
penelaahan lebih lanjut, hasil tersebut digunakan untuk menyusun PNPK ini.
B. Penilaian–TelaahKritisPustaka
Setiap evidence yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh empat belas pakar dalam bidang Ilmu
Obstetri Ginekologi.
C. Peringkatbukti (hierarchyofevidence)
Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for
Evidence-based Medicine Levels of Evidence yang dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga
peringkat bukti adalah sebagaiberikut:
Tabel 1. Tingkat Bukti Ilmiah untuk penelitian diagnostik (Oxford CEBM, 2009)
1a Ulasan sistematis (dengan homogenisitas) berbagai penelitian Level 1; clinical
decision rule (CDR”) dengan penelitian 1B dari pusat penelitian berbeda.
1b Penelitian kohort tervalidasi** dengan standar referensi baik “ “ “; atau CDR yang
diuji pada satu pusat penelitian.
1c SpPins absolut (spesifisitas) dan SnNouts (sensitivitas) “ ”.
2a Ulasan sistematis (dengan homogenisitas*) berbagai penelitian diagnostik level >2
2b Penelitian kohort eksplorasi** dengan standar referensi baik; CDR setelah deviasi,
atau database tervalidasi.
3a Ulasan sistematis (dengan homogenisitas*) dari penelitian 3b atau penelitian lebih
baik lainnya.
3b Penelitian non-konsekutif; atau tanpa standar referensi yang secara konsisten
diterapkan.
4 Penelitian kasus kontrol, standar referensi yang non independen atau buruk.
5 Pendapat ahli tanpa penilaian kritis eksplisit, atau berdasarkan fisiologi
*Dengan homogenisitas adalah ulasan sistematis yang tanpa disertai kekhawatiran adanya variasi
(heterogenisitas) hasil penelitian masing-masing. Tidak semua ulasan sistematis dengan heterogenisitas
yang signifikan perlu dikhawatirkan. Tidak semua ulasan sistematis dengan kekhawatiran
heterogenisitas harus signifikan secara statistik. Seperti yang tertulis diatas, berbagai penelitian dengan
kekhawatiran heterogenisitas harus diberikan tanda “-“ pada akhir derajat bukti ilmiah
“ Clinical Decision Rule (algoritma atau sistem skoring untuk estimasi prognosis atau kategori
diagnotik).
** Berbagai penelitian yang menilai kualitas uji diagnostik spesifik berdasarkan bukti ilmiah
sebelumnya. Penelitian eksplorasi mengumpulkan informasi dan mencari (misalnya menggunakan
analisis regresi) untuk menentukan faktor yang ‘signifikan’
“ ” ” Standar referensi baik penelitian yang independen, diberikan kepada semua pasien.
“ “ Sebuah “Absolut SpPin” adalah temuan diagnostik dengan spesifisitas yang sangat tinggi sehingga
hasil positif masuk ke dalam diagnosis. Sebuah “Absolute SnNout” adalah temuan diagnostik dengan
sesnitivitas sangat tinggi sehingga hasil negatif akan keluar dari diagnosis.
D. Derajatsaran
Berdasarkan peringkat bukti, saran /simpulan dibuat sebagai berikut:
Tabel 2 Derajat saran Penelitian Diagnostik (Oxford CEBM, 2009)
A Konsisten penelitian tingkat 1
B Konsisten penelitian tingkat 2 atau 3; atau
Eksplorasi dari penelitian tingkat 1
C Penelitian tingkat 4; atau
Eksplorasi dari penelitian tingkat 2 atau 3
D Penelitian tingkat 5; atau
Penelitian dengan berbagai tingkat yang tidak konsisten atau inkonklusif
Tabel 3 Derajat Bukti Ilmiah Penelitian Intervensi (Sistem Klasifikasi SIGN 1999-2012)
1++ Meta-analisis kualitas tinggi, ulasan sistematis uji klinis terkontrol, atau uji klinis
terkendali dengan risiko bias sangat rendah.
1+ Meta-analisis atau ulasan sistematis kualitas baik, atau uji klinis terkontrol dengan
risiko bias rendah.
1- Meta-analisis, ulasan sistematis, atau uji klinis terkendali dengan risiko bias tinggi
2++ Ulasan sistematis kualitas tinggi dari penelitian kasus kontrol atau kohort.
Penelitian kasus kontrol atau kohort kualitas tinggi dengan risiko perancu atau
bias rendah dan kemungkinan sedang hubungannya bersifat sebab-akibat.
2- Penelitian kasus kontrol atau kohort dengan risiko tinggi perancu atau bias dan
risiko tinggi hubungannya bukan bersifat sebab-akibat.
3 Penelitian non-analitik (contoh laporan kasus, serial kasus).
4 Pendapat ahli.
Penyakit Trofoblas Gestasional (PTG)/Gestational Trophoblastic Diseases (GTD) merupakan
kelompok beberapa penyakit yang tumbuh di dalam rahim seorang wanita pada masa kehamilan
ataupun setelah masa kehamilan dan masing-masing penyakit memiliki kecenderungan yang berbedabeda terkait terjadinya invasi lokal serta metastasis.
PTG didefinisikan sebagai sekumpulan proses neoplastik yang berasal dari sel-sel trofoblas yang
berperan dalam perkembangan plasenta pada masa kehamilan (Goldstein et al, 2014). World Health
Organization (WHO) telah mengklasifikasikan PTG menjadi dua kondisi praganas (mola hidatidosa
komplit (MHK) dan mola hidatidosa parsial (MHP), dan tiga kondisi ganas (Mola Invasif,
Koriokarsinoma, dan Placental Site Trophoblastic Tumor (PSTT)/Epitheloid Trophoblastic Tumor
(ETT). Ketiga kondisi ganas tersebut tergabung dalam satu istilah yaitu Tumor Trofoblas Gestasional
(TTG)/Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) (Kumar & Kumar, 2011). Sehingga penyakit yang
tergabung dalam TTG adalah: mola invasif (MI), koriokarsinoma (Kr), placental site trophoblastic
tumor (PSTT), dan epitheloid trophoblastic tumor (ETT).
Apabila pemeriksaan histopatologi tidak dapat dilaksanakan akibat tidak tersedianya jaringan untuk
pemeriksaan, maka diagnosis TTG dapat ditegakkan ketika kadar beta hCG tetap mengalami
peningkatan yang persisten meskipun kehamilan mola sudah dievakuasi. (Berkowitz et al, 2015)
Mola Hidatidiform Komplit, Mola komplit bersifat diploid dan berasal dari androgenik tanpa adanya
jaringan fetus. Mola komplit biasanya (75-80%) diakibatkan karena duplikasi satu sperma pasca
fertilisasi dengan blighted ovum. (RCOG, 2010)
Mola Hidatiform Parsial, Mola parsial biasanya (90%) bersifat triploid, dengan dua gen haploid
paternal dan satu gen haploidn maternal. Mola parsial terjadi hampir pada semua kasus setelah
fertilisasi disperma pada sebuah ovum. 10% mola parsial merepresentasikan tetraploid atau konsepsi
mosaik. Pada sebuah mola parsial, biasanya terdapat jaringan fetus atau sel darah merah fetus.
(RCOG, 2010)
Mola Invasif, Tumor jinak yang berasal dari invasi miometrium sebuah mola hidatiform baik melalui
penyebaran langsung maupun melalui vena. (Lurain, 2010)
Koriokarsinoma, Keganasan yang ditandai dengan hiperplasia dan anaplasia trofoblas abnormal, tidak
disertai vili korionik, dengan perdarahan dan nekrosis dan invasi ke miometrium dan pembuluh darah
sehingga dapat menyebabkan metastasis. (Lurain, 2010)
Tumor Trofoblas Epitelioid, Tumor trofoblas epitelioid merupakan varian langka dari PSTT. Tumor ini
berasal dari transformasi neoplastik trofoblas ekstra villi tipe korionik. Tumor trofoblas epitelioid
biasanya diskrit, berdarah, padat, dan lesi kistik yang terletak baik pada fundus, segmen bawah
uterus, atau endoserviks. Seperti halnya PSTT, tumor ini membentuk nodul tumor di miometrium
(Berkowitz dkk, 2015)
Placental Site Trophoblastic Tumor, PSTT merupakan keganasan yang berasal dari trofoblas ekstravili.
Biasanya bersifat diploid dan monomorfik. Secara mikroskopis, tumor ini tidak menunjukkan adanya
vili korionik dan ditandai dengan proliferasi sel trobolas mononuklear dengan nukleus oval dan
sitoplasma eosinofilik yang banyak. (Berkowitz dkk, 2015)
B. Diagnosis
Tanggung Jawab terkait Implementasi saran
Kementerian Kesehatan, Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) dan Direktur
Rumah Sakit memiliki tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan saran
yang tercantum pada PNPK, sementara setiap anggota dari tim multidisiplin bertanggung
jawab terhadap implementasi dari masing-masing saran pedoman yang relevan dengan
bidang mereka.
Pertanyaan klinis 3.1.1.1
Haruskah semua wanita yang menjalani penanganan medis pada kasus abortus menjalani
pemeriksaan histopatologi pada produk konsepsi untuk dapat mengeksklusi penyakit trofoblas?
Bukti ilmiah
Bukti ilmiah untuk menjawab pertanyaan ini berasal dari 2 pedoman yang menyatakan bahwa produk
konsepsi harus diperiksa secara histopatologi pada semua kasus abortus, baik kasus abortus spontan
maupun kasus abortus yang ditangani secara medis maupun pembedahan (RCOG, 2006; RCOG 2010).
Pasien yang mengalami abortus di rumah dan dirawat di rumah sakit harus diberi anjuran untuk
membawa serta jaringan apa pun yang keluar dari tubuh pasien agar dapat dilakukan pemeriksaan
secara histopatologi. Praktisi yang menangani pasien harus mengatur agar dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium yang sesuai (RCOG, 2006).
Pemeriksaan histopatologi dari hasil konsepsi akan membantu tegaknya diagnosis penyakit trofoblas
secara dini dan akurat.
saran 3.1.1.1 Tingkat
Disaran kan untuk melakukan pemeriksaan secara histopatologi
terhadap jaringan yang diperoleh (melalui penanganan medis ataupun
pembedahan) pada semua kasus kegagalan kehamilan dengan tujuan untuk
mengeksklusi tumor trofoblas.
D
Pertanyaan klinis 3.1.2.1
Pada wanita yang dicurigai mengalami kehamilan mola, tes diagnostik apakah yang harus
dilaksanakan untuk dapat mendiagnosis kehamilan mola parsial atau kehamilan mola komplit
secara akurat?
Bukti Ilmiah
Terdapat konsensus internasional yang menyatakan bahwa wanita yang dicurigai mengalami kehamilan
mola harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut, dengan pemeriksaan baku emas berupa pemeriksaan
histopatologi
Pada penelitian dengan jumlah kasus lebih dari 1000 pasien yang terdiagnosis kehamilan mola,
ditemukan bahwa pemeriksaan ultrasonografi memiliki sensitivitas sebesar 44%, spesifisitas sebesar
74%, nilai prediksi positif sebesar 88% dan nilai prediksi negatif sebesar 23%
melaporkan bahwa ultrasonografi hanya dapat mendeteksi kehamilan mola secara
akurat pada 34% pasien dari total 155 kehamilan mola yang terbukti secara patologi. Namun, 84%
kasus yang dicurigai sebagai kehamilan mola berdasarkan hasil pemeriksaan ultrasonografi ternyata
memang terbukti betul-betul suatu kehamilan mola (53 dari 63 pasien) berdasarkan hasil pemeriksaan
histopatologi dan hal ini menunjukkan bahwa pemeriksaan ultrasonografi memiliki nilai prediksi
positif yang tinggi.
Diagnosis mola hidatidosa ditegakkan berdasarkan:
• Anamnesis
• Pemeriksaan klinis
• Pemeriksaan ultrasonografi
• Kadar serum beta hCG (human chorionic gonadotropin)
• Pemeriksaan histopatologi
• Pemeriksaan sitogenetik dan biologi molekular (jika terdapat indikasi) (Sasaki, 2003)
Hingga saat ini, studi genetik tetap menjadi pemeriksaan tambahan yang berguna untuk membantu
menyokong diagnosis histopatologi, namun hanya pada kasus-kasus tertentu (tidak rutin digunakan)
(Sebire, 2010).
Klinisi harus bekerja sama dengan petugas laboratorium lokal untuk mengoptimalkan diagnosis.
saran 3.1.2.1 Tingkat
Pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu menegakkan diagnosis
kehamilan mola parsial ataupun komplit pada saat preevakuasi. Akan
tetapi, diagnosis definitif ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
histopatologi pada produk konsepsi.
C
Poin Penting
Diagnosis PTG dapat ditegakkan berdasarkan kecurigaan dari aspek klinis, USG ataupun
biokimia (adanya peningkatan kadar beta hCG) meskipun tidak disertai dengan bukti
histopatologi. Pada kasus seperti ini, disaran kan untuk dilakukan rujukan secara dini.
Pertanyaan klinis 3.1.3.1
Pada wanita yang dicurigai mengalami kehamilan mola (baik parsial maupun komplit) dan
sudah menjalani evakuasi, dalam jangka waktu berapa lamakah hasil pemeriksaan patologi
(post-evakuasi) harus dapat diakses oleh klinisi?
Bukti ilmiah
Bukti ilmiah untuk menjawab pertanyaan ini didasarkan pada fakta bahwa kebanyakan wanita
mengalami PTG persisten dalam jangka waktu 12 minggu sesudah evakuasi (Soto-Wright et al, 1995)
Soto-Wright et al. (1955) menemukan bahwa ketika diagnosis mola hidatidosa komplit ditegakkan
lebih dini yaitu pada saat kehamilan, maka median usia kehamilan mola hidatidosa komplit pada saat
evakuasi menjadi menurun, yaitu dari 16 minggu (1965-1975) menjadi 12 minggu (1988-1993).
Penegakan diagnosis yang lebih dini ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pemeriksaan
ultrasonografi pada awal kehamilan.
Beberapa wanita datang dengan keadaan umum yang tidak baik dan memerlukan kemoterapi dalam
waktu kurang dari 2 minggu pasca evakuasi. Pada kasus-kasus yang dicurigai sebagai PTG,
pemeriksaan laboratorium harus lebih diprioritaskan oleh Departemen Patologi Anatomi yang terdapat
di rumah sakit.
saran 3.1.3.1 Tingkat
Pada seluruh kasus yang dicurigai sebagai kehamilan mola, idealnya
laporan histopatologi dapat diakses oleh klinisi dalam waktu 14 hari.
D
Poin Penting
Pada kasus-kasus akut tertentu, laporan sebaiknya dapat diakses dalam waktu yang lebih
singkat.
Pertanyaan klinis 3.1.4.1
Pada wanita yang mengalami Tumor Trofoblas Gestasional (TTG), apakah manajemennya
harus tersentralisasi ke suatu pusat onkologi ginekologi untuk mengusahakan keluaran yang
lebih optimal?
Bukti Ilmiah
Survei terbaru dari seluruh dunia menunjukkan bahwa angka mortalitas pada pasien TTG yang sejak
awal diterapi di Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas hanyalah sebesar 2.1% (59 dari 2859 pasien),
sementara angka mortalitas pada pasien yang diberi terapi primer dahulu kemudian dirujuk setelah
terapi gagal adalah sebesar 8% (149 dari 1854 pasien) (P < 0.001 by χ
2
) (Kohorn, 2014).
Diperlukan adanya suatu register yang tersentralisasi untuk pencatatan seluruh kasus PTG dan juga
untuk memantau kadar beta hCG. Penanganan kasus pun dapat lebih optimal jika manajemen bersifat
tersentralisasi. Tim penyusun pedoman ini mesaran kan bahwa sebaiknya dibentuk Pusat
Pengelolaan Penyakit Trofoblas. Seluruh pasien yang mengalami mola hidatidosa harus teregistrasi dan
harus ditangani oleh SpOG yang kemudian dilaporkan atau diregistrasi secara nasional untuk
memantau kadar beta hCG agar dapat dihasilkan data epidemiologi yang akurat, pengawasan yang
konsisten, serta manajemen yang bersifat efisien. Registrasi pasien ke pusat PTG nasional bersifat
sukarela, namun setiap klinisi yang mendapatkan kasus PTG baru dianjurkan untuk
mendaftarkan/meregistrasi secara online pasien mereka ke Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas
tersebut agar dapat dilakukan pengawasan kadar beta hCG follow-up secara tersentralisasi.
saran 3.1.4.1 Tingkat
Sebaiknya dibentuk suatu pusat register dan pengawasan nasional khusus
untuk menangani kasus-kasus PTG.
D
saran 3.1.4.2 Tingkat
Manajemen pada kasus yang rumit harus didiskusikan dengan Tim klinis di
pusat register nasional.
D
Pertanyaan klinis 3.1.5.1
Pada wanita dengan kehamilan mola parsial dan kehamilan mola komplit, seperti apa protokol
pemantauan klinis dan pemantauan kadar beta hCG yang harus dilaksanakan untuk
memastikan bahwa pasien telah dipantau secara baik dan tidak lagi memerlukan terapi ataupun
pemantauan lebih lanjut?
Bukti Ilmiah
Terdapat sejumlah protokol pemantauan kadar beta hCG yang berbeda-beda (Charing Cross, Bagshawe
et al, 1986, Alazzam et al, 2011). Jika kadar beta hCG kembali normal dalam 56 hari setelah evakuasi,
maka risiko terjadinya penyakit yang persisten di kemudian hari sangatlah kecil. (Seckl et al, 2010).
Pada kehamilan mola komplit, kadar serum beta hCG dipantau setiap 2 minggu sekali selama 12
minggu hingga kadar normal kembali. Jika hal ini tercapai dalam waktu 8 minggu, maka pemantauan
beta hCG dilanjutkan dengan frekuensi setiap 1 bulan selama 6 bulan sejak kadar beta hCG kembali
normal (Gambar 2). Protokol ini sesuai dengan international best practice terkini.
Pada mola hidatidosa parsial, penghentian pemantauan kadar beta hCG setelah kadar normal tercapai
tidak menyebabkan lengahnya penegakan diagnosis TTG pada lebih dari 500 pasien. Pada suatu kohort
prospektif yang terdiri dari 1.980 pasien PTG, risiko munculnya TTG (239 pasien) pada pasien yang
telah mencapai kadar beta hCG normal adalah sebesar 0.36% dari pasien mola hidatidosa komplit
(4/1122)
dan sebesar 0% dari pasien mola hidatidosa parsial (0/593). Meskipun data-data ini tidak dapat
mengeksklusi kemungkinan terjadinya TTG secara mutlak, data-data ini tetap menunjukkan bahwa
risiko terjadinya TTG pada pasien mola hidatidosa parsial yang telah mencapai normalisasi kadar beta
hCG sangatlah rendah sehingga tidak dapat menjustifikasi pemeriksaan follow-up kadar beta hCG
lanjutan sesudah normalisasi tercapai
Menurut FIGO tahun 2000, pemantauan beta hCG pasca evakuasi mola yang dicurigai sebagai TTG
adalah sebagai berikut:
a. Adanya plateau kadar beta hCG lebih dari 4 minggu (hari ke 1, 7, 14, dan 21)
b. Dalam 3 kali pemeriksaan menunjukkan kenaikan kadar beta hCG (hari ke 1, 7, dan 14)
c. Terjadi peningkatan atau tetap diatas batas normal kadar beta hCG dalam 6 bulan atau
lebih
d. Adanya bukti histopatologi koriokarsinoma
Meskipun masih menunggu penelitian selanjutnya, saran saat ini menyatakan bahwa
pemantauan kadar beta hCG pada pasien mola hidatidosa parsial (MHP) dapat dihentikan ketika kadar
beta hCG kembali normal.
Berdasarkan masukan hasil diskusi dari tim penyusun pedoman, disepakai bahwa pasien mola
hidatidosa parsial harus menjalani pemantauan kadar beta hCG setiap 2 minggu sekali hingga kadar
beta hCG kembali normal, kemudian dilanjutkan dengan 1 kali pemeriksaan kadar beta hCG tambahan
untuk konfirmasi yang dilakukan pada 4 minggu kemudian. Jika kadar beta hCG pada pemeriksaan
tambahan tersebut normal, maka pemantauan dianggap tuntas/komplit.
saran 3.1.5.1 Tingkat
Pada kasus mola hidatidosa komplit, pemantauan kadar human chorionic
gonadotropin (beta hCG) dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 12
minggu hingga tercapai kadar beta hCG normal.
• Jika hal ini tercapai dalam jangka waktu 8 minggu, maka lakukan
pemantauan setiap 1 bulan selama 6 bulan sejak evakuasi.
• Jika normalisasi tercapai dalam jangka waktu > 8 minggu sejak
evakuasi, maka lakukan pengawasan setiap 1 bulan selama 6 bulan
sejak kadar beta hCG kembali normal
• Jika terjadi peningkatan kadar beta hCG pada pemantauan tersebut
maka dapat dicurigai TTG
C
saran 3.1.5.2 Tingkat
Pada kasus mola hidatidosa komplit, pemantauan kadar human chorionic
gonadotropin (beta hCG) (berdasarkan kurva Mochizuki) dilakukan
pemeriksaan kadar beta hCG ≤1000 mIU/4 minggu, ≤100 mIU/6 minggu,
≤20-30 mIU/8 minggu, ≤5 mIU/12 minggu (atau dibawah batas normal)
• Jika hal ini tercapai dalam jangka waktu 12 minggu, maka lakukan
pemantauan setiap 1 bulan selama 6 bulan sejak evakuasi.
• Jika terjadi peningkatan kadar beta hCG pada pemantauan tersebut
maka dapat dicurigai TTG
C
saran 3.1.5.3 Tingkat
Menurut FIGO tahun 2000, pemantauan beta hCG pasca evakuasi mola
yang dicurigai sebagai TTG adalah sebagai berikut:
a. Adanya plateau kadar beta hCG lebih dari 4 minggu (hari ke 1, 7, 14,
dan 21)
b. Dalam 3 kali pemeriksaan menunjukkan kenaikan kadar beta hCG
(hari ke 1, 7, dan 14)
c. Terjadi peningkatan atau tetap diatas batas normal kadar beta hCG
dalam 6 bulan atau lebih
d. Adanya bukti histopatologi koriokarsinoma
saran 3.1.5.4 Tingkat
Pada kasus mola hidatidosa parsial, pemantauan kadar beta hCG dilakukan
setiap 2 minggu sekali hingga kadar beta hCG kembali normal, kemudian
dilanjutkan dengan 1 kali pemeriksaan kadar beta hCG tambahan untuk
konfirmasi yang dilakukan pada 4 minggu kemudian. Jika kadar beta hCG
pada pemeriksaan tambahan tersebut normal, maka pemantauan dianggap
tuntas/komplit.
D
Poin Penting
Pada wanita yang sebelumnya pernah terdiagnosis PTG, perlu dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi janin sejak dini untuk memastikan bahwa kehamilan yang tengah dijalani
merupakan kehamilan intrauterin yang normal dan juga untuk mengeksklusi kemungkinan
terjadinya rekurensi kehamilan mola.
Poin Penting
Jika hasil pemeriksaan mengkonfirmasi bahwa kehamilan yang tengah dijalani merupakan
kehamilan intrauterin normal, maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada saat
kehamilan berlangsung dan kehamilan dapat berjalan normal seperti kehamilan normal pada
umumnya.
Poin Penting
Pada wanita yang sebelumnya pernah terdiagnosis PTG, kehamilan-kehamilan selanjutnya
harus diikuti dengan pemeriksaan kadar serum beta hCG pada 6 minggu dan 10 minggu
sesudah kelahiran, tanpa memedulikan luaran kehamilan.
Poin Penting
Kadar beta hCG normal adalah sebesar 0-5 IU/l, tergantung daripada platform beta hCG yang
digunakan.
C. Klasifikasi Stadium
Tanggung Jawab terkait Implementasi saran
Kementerian Kesehatan, Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), dan Direktur
Rumah Sakit memiliki tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan saran
yang tercantum pada PNPK, sementara setiap anggota dari tim multidisiplin bertanggung
jawab terhadap implementasi dari masing-masing saran pedoman yang relevan dengan
bidang mereka.
Pertanyaan klinis 3.2.1.1
Pada wanita dengan TTG, pemeriksaan apa saja yang harus dilakukan untuk dapat mene