kanker ginekologi 1










 kanker ginekologi ok



Kanker serviks adalah kanker wanita tersering nomor 3 dari segi insiden (527.600 

kasus baru) dan mortalitas (265.700 kematian) di seluruh dunia, setelah kanker 

payudara dan kolorektal. Kanker ini menempati urutan ke 2 paling sering dan urutan 

ke 3 sebagai penyebab kematian akibat kanker pada wanita di negara berkembang. 

Hampir 90% kematian karena kanker serviks terjadi pada populasi masyarakat dengan 

ekonomi lemah, dimana akses skrining dan pencegahan kanker serviks sangat 

terbatas.

1

Angka kejadian kanker serviks di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 20.928 

kasus dengan angka kematian sebanyak 9.498. Kebanyakan pasien datang pada 

stadium lanjut yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%.

Human Papilloma Virus (HPV) sangatlah penting pada perkembangan neoplasma 

serviks dan bisa dideteksi pada 99,7% kasus kanker serviks.2 Tipe histologi dari 

kanker serviks terbanyak adalah karsinoma sel skuamous (69% dari kanker serviks) 

dan adenokarsinoma (25%).3

Mayoritas kanker serviks terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium IIB-IIIB), 

dimana keberhasilan terapi sangat tergantung dari ketersediaan radioterapi dan 

kemoterapi. Deteksi dini lesi dan pencegahan lesi pra kanker serviks memiliki peranan 

penting dalam penurunan kejadian kanker serviks ke depan.Penulusuran bukti ilmiah berupa uji klinis, meta-analisis, uji kontrol teracak samar, 

dilakukan secara sistematik menggunakan kata kunci “cervical cancer, diagnosis and 

treatment” secara online pada Pubmed, Medline, dan Cochrane, serta mengacu pada 

panduan penatalaksanaan oleh FIGO (International of Gynecology and Obstetrics), WHO 

(World Health Organization), UICC (Union for International Cancer Control), IGCS 

(International Gynecologic Cancer Society), ASGO (Asian Society of Gynecological 

Oncology), ESGO (European Society of Gynecological Oncology), SGO (Society of 

Gynecologic Oncology), ISSTD (International Society of the Study of Trophoblastic 

Diseases),IARC (International Agency for Research on Cancer), IAP (International 

Academy of Pathology), dan IAHPC (International Association of Hospice and Palliative 

Care) yang berlaku dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

B. Penilaian – Telaah Kritis Pustaka 

Setiap bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh para pakar dalam bidang 

Onkologi Ginekologi, Patologi, Radiologi, Radioterapi, dan Hematologi Onkologi.

C. Peringkat bukti (hierarchy of evidence) 

Peringkat bukti ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Oxford Centre 

for Evidence-based Medicine Levels of Evidence sebagai berikut:

IA Metaanalisis, uji klinis

IB Uji klinis yang besar dengan validitas yang baik

IC All or none

II Uji klinis tidak terandomisasi

III Studi observasional (kohort, kasus kontrol) 

IV Konsensus dan pendapat ahliDerajat saran   

Berdasarkan peringkat bukti, saran   dibuat sebagai berikut:

1) saran   A bila berdasar pada bukti level IA atau IB

2) saran   B bila berdasar pada bukti level IC atau II

3) saran   C bila berdasar pada bukti level III atau IVServiks adalah bagian paling bawah dari rahim, berbentuk silinder dan 

berhubungan dengan vagina. Kanker serviks adalah keganasan pada serviks yang 

disebabkan oleh infeksi HPV grup onkogenik risiko tinggi; terutama HPV 16 dan 18 serta 

filogeniknya. Lebih dari 95% kanker serviks adalah tipe epithelial yang terdiri atas jenis 

karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma.

 Kanker serviks dapat berasal dari mukosa permukaan serviks atau dari dalam 

kanal serviks (endoserviks). Kanker ini dapat tumbuh secara lokal dan kemudian meluas 

ke arah rahim, vagina, jaringan paraserviks dan organ panggul.

 Kanker serviks dapat menyebar ke KGB (Kelenjar Getah Bening) regional dan 

kemudian dapat juga menyebar melalui peredaran darah menuju organ jauh. Studi pada 

Sentinel lymph nodes menunjukkan bahwa serviks mengalami drainase ke KGB tingkat 1 

yaitu: iliaka eksterna (43%), obturator (26%) dan parametrium (21%), dan kemudian 

akan mengalami drainage ke KGB iliaka komunis dan pada akhirnya KGB para aorta. 

Lokasi paling sering dari terjadinya penyebaran jauh meliputi KGB para aorta, KGB 

mediastinal, KGB supraklavikula, paru-paru, liver dan tulang.

B. ETIOLOGI

HPV tipe onkogenik diyakini sangat penting dalam perkembangan neoplasma serviks, 

dan dapat dideteksi pada 99,7% kanker serviks.

Ada 4 langkah utama perkembangan kanker serviks:

- infeksi HPV onkogenik pada epitel metaplasia dari zona transformasi serviks.

- Infeksi HPV persisten

- Perkembangan klon sel epitel dari infeksi virus persisten menuju pra kanker

- Perkembangan menjadi kanker dan invasi melalui membran basalis

Infeksi HPV genital sangatlah umum, tidak menimbulkan gejala dan sering terjadi walau 

kanker serviks yang terjadi akibatnya hanya terjadi pada sebagian kecil wanita. Diperkirakan bahwa 75-80% wanita yang aktif seksual akan pernah mengalami infeksi 

HPV sebelum usia 50 tahun

Diantara 40 jenis tipe HPV genital yang diidentifikasi, ada 15 tipe yang merupakan 

onkogenik. HPV subtipe 16 dan 18 ditemukan berada pada lebih dari 70% kanker serviks.

Kebanyakan infeksi HPV bersifat sementara, keberadaan virus itu sendiri tidak cukup 

untuk menyebabkan terjadinya neoplasia serviks. Ketika infeksi HPV terjadi persisten, 

waktu yang diperlukan dari infeksi pertama untuk berkembang menjadi CIN dan pada 

akhirnya kanker invasif, memakan waktu rata-rata 15 tahun, walaupun ada banyak 

laporan kasus dimana perkembangan yang lebih cepat terjadi.

C. FAKTOR RISIKO

Kebanyakan faktor risiko kanker serviks berhubungan dengan peningkatan risiko 

terjangkitnya HPV atau penurunan respon imun terhadap infeksi HPV, termasuk antara 

lain:

- hubungan seksual dini – wanita yang menjalani hubungan seksual awal < 18 

tahun memiliki risiko 2x lipat, sedangkan usia 18-20 tahun memiliki risiko 1,5x 

lipat dibandingkan dengan wanita yang menjalani hubungan seksual awal > 21 th

- berganti-ganti pasangan – wanita dengan 2 partner seksual akan memiliki risiko 

2x lipat, sedangkan wanita dengan 6 atau lebih partner seksual akan memiliki 

risiko 3x lipat dibandingkan wanita dengan 1 partner seksual

- riwayat penyakit menular seksual

- kondisi immunosupresi (HIV, penggunaan obat immunosupresi)

- sosio ekonomi rendah

- merokok

D. PENAPISAN

Pada tahap/stadium awal (pra kanker) tidak ada gejala yang jelas, namun setelah 

berkembang menjadi kanker timbul gejala-gejala keputihan yang tidak sembuh 

walaupun sudah diobati, keputihan yang keruh dan berbau busuk, perdarahan setelah 

berhubungan seksual, perdarahan di luar siklus haid dan lain-lain. Pada stadium lanjut 

dimana sudah terjadi penyebaran ke organ-organ sekitar mungkin terdapat keluhan 

nyeri daerah panggul, sulit berkemih, buang air besar berdarah dan lain-lain. Pap smear merupakan salah satu pemeriksaan sitologi yang dapat mendeteksi 

adanya perubahan-perubahan sel serviks yang abnormal, yaitu suatu pemeriksaan 

dengan mengambil lendir pada serviks dengan spatula kemudian dilakukan 

pemeriksaan dengan mikroskop. 

Saat ini telah ada teknik thin prep (liquid base cytology), merupakan metoda pap 

smear yang dimodifikasi yaitu sel usapan serviks dikumpulkan dalam cairan dengan 

tujuan untuk menghilangkan kotoran, darah, lendir serta memperbanyak sel serviks 

yang dikumpulkan sehingga akan meningkatkan sensitivitas. Pengambilan sampel 

dilakukan dengan menggunakan semacam sikat (brush) kemudian sikat dimasukkan ke 

dalam cairan dan disentrifuge, sel yang terkumpul diperiksa dengan mikroskop.

Pap smear hanyalah sebatas skrining, bukan diagnosis adanya kanker serviks. 

Jika ditemukan hasil pap smear yang abnormal, maka dilakukan pemeriksaan standar 

berupa kolposkopi. Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan pembesaran (4-10x) 

yang digunakan untuk mengamati secara langsung permukaan serviks dan bagian 

serviks yang abnormal. Dengan kolposkopi akan tampak jelas lesi-lesi pada 

permukaaan servik, kemudian dilakukan biopsi terarah pada lesi-lesi tersebut.

IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) tes merupakan alternatif skrining untuk 

kanker serviks. Tes sangat mudah dan praktis dilaksanakan, sehingga dapat dilakukan 

oleh tenaga kesehatan non dokter ginekologi, bidan praktek dan tenaga kesehatan yang 

terlatih dan berkompeten. Prosedur pemeriksaannya sangat sederhana, permukaan 

serviks diolesi dengan asam asetat 3-5%, sehingga akan tampak bercak-bercak putih

pada permukaan serviks yang abnormal (acetowhite positif). 

Pemeriksaan HPV DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) baik secara Hybrid capture

atau genotyping dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus HPV terutama 

yang high risk. Pemeriksaan HPV memiliki beberapa peran dalam penapisan kanker 

serviks, antara lain: meningkatkan negative predictive value, memberikan hasil 

prediksi lesi pra kanker lebih baik, dan lebih obyektif dibanding pemeriksaan sitologi 

saja (sebagai penapisan kanker serviks).

saran   tentang vaksinasi HPV:

• Vaksin dapat diberikan mulai usia 10-55

• Jadwal pemberian : 0, 1, 6 bulan (Bivalent); 0, 2, 6 bulan (Quadrivalent), 

pemberian ketiga bisa bulan 6-12. Interval minimum antara dosis pertama dan 

kedua adalah 4 minggu, interval minimum antara dosis kedua dan ketiga adalah 

12 minggu.

• Pada usia 9-13 tahun, kedua vaksin dapat diberikan pada 0, 6 bulan (2 kali 

pemberian)

• Kontra indikasi: Hamil, Terkena Lesi Pra kanker atau kanker terkait HPV, 

Demam tinggi, Hipersensitivitas thd vaksin

• Boleh diberikan saat laktasi

• Penyimpanan Vaksin : pada suhu 2-8°C (tidak boleh dibekukan)

• Cara pemberian IM (Deltoid)

• Booster : belum diperlukan

• Vaksin pada pria terbukti menurunkan insiden kanker terkait HPV (10-26 th)

• Vaksin pada wanita yang telah terpapar HPV terbukti menurunkan insiden kanker 

terkait HPV

• Bukan untuk terapi lesi pra kanker atau kanker

• Tidak menggantikan/ mengubah jadwal penapisan



DIAGNOSIS

Diagnosis kanker serviks ditegakkan atas dasar histopatologi spesimen biopsi serviks. 

Pada stadium awal biasanya belum timbul gejala klinis yang spesifik. Sebagian besar 

mengeluh keputihan berulang berbau dan bercampur darah. Selain itu, perdarahan 

sesudah bersenggama yang kemudian berlanjut dalam bentuk perdarahan abnormal. Pada 

stadium lanjut, sel kanker invasif ke parametrium dan jaringan di rongga pelvis. Hal ini 

dapat menimbulkan gejala perdarahan spontan dan nyeri panggul; bahkan menjalar ke 

pinggul dan paha. Beberapa penderita mengeluh nyeri berkemih, kencing berdarah dan 

perdarahan dari dubur. Metastasis ke KGB inguinal dapat menimbulkan edema tungkai 

bawah. Invasi dan metastasis dapat menimbulkan penyumbatan ureter distal yang 

mengakibatkan gejala uremia dan gagal ginjal.

Apabila diagnosis kanker serviks invasif telah ditegakkan melalui pemeriksaan 

histopatologi maka tahap selanjutnya adalah penentuan stadium (clinical staging). 

Tujuan penetapan stadium adalah untuk menentukan jenis pengobatan dan prognosis. 

Penentuan stadium kanker serviks ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis (palpasi, 

inspeksi, kolposkopi, kuret endoserviks, histerokopi, sistoskopi, proktoskopi/ 

sigmodoskopi, urografi intravena serta foto X paru dan tulang). Evaluasi penentuan 

stadium dapat juga dilakukan di bawah pengaruh anestesi (EUA/ Evaluation Under 

Anesthesia). CT scan, MRI dan PET scan sangat bernilai untuk perencanaan terapi, 

dilakukan pada senter tersier agar penatalaksanaan lebih akurat. Jika ada kecurigaan 

metastasis ke kandung kemih dan rektum dapat dilakukan pemeriksaan sistoskopi dan 

rektoskopi (clinical staging), dan dilakukan biopsi untuk membuktikan adanya 

keterlibatan organ tersebut. Bila didapatkan pembesaran KGB inguinal atau 

supraklavikula, dapat dilakukan FNAB. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal dan 

liver juga dilakukan.

Berdasarkan literatur yang ada dan terkini serta level of evidence masing-masing 

pernyataan, disaran  kan penatalaksanaan kanker serviks sebagai berikut :

1. MRI merupakan pencitraan radiologik terbaik untuk tumor primer lebih dari 10 

mm. (saran   B).

2. CT dan/ atau MRI dan/ atau PET dapat memberikan informasi tentang status 

KGB dan penyebaran sistemik. Adanya lesi yang tampak pada pemeriksaan PET 

harus dibuktikan dengan pemeriksaan histologi untuk membuktikan adanya metastasis. (saran   B).

3. Bila dibandingkan dengan evaluasi secara radiologik, maka diseksi kelenjar 

paraaorta lebih akurat dalam menilai adanya keterlibatan KGB para aorta tersebut. 

(saran   B). Evaluasi status KGB para aorta dapat memberikan informasi 

tentang prognosis dan menjadi acuan seberapa luas area radioterapi.

Diagnosis stadium IA1 dan IA2 didasarkan dari pemeriksaan mikroskopis jaringan 

konisasi, atau spesimen histerektomi atau trakelektomi yang mencakup semua lesi. Status

LVSI (Lymph Vascular Space Involvement) tidak mengubah stadium tetapi dicatat secara 

spesifik karena dapat mempengaruhi terapi. Perluasan kanker ke corpus uteri tidak 

mempengaruhi stadium.

Pada kasus dimana tindakan dilakukan tindakan operasi, spesimen patologi dapat menilai 

luas penyakit, tetapi tidak dapat mengubah stadium klinis. Stadium ditentukan saat 

diagnosis primer dan tidak berubah bahkan saat terjadi kekambuhan.

F. KLASIFIKASI

Sistem penetapan stadium FIGO 2009 (Tabel 1) dinilai berdasarkan pemeriksaan klinis.4

Pemeriksaan ginekologi yang menyeluruh sangat penting dalam menentukan stadium 

FIGO, pemakaian anestesi selama pemeriksaan dapat dilakukan bila terjadi keraguan 

dalam penentuan stadium


Diagnosis Banding:

Kanker endometrium (terutama stadium II)

Servisitis kronis

Semua kanker harus diverifikasi secara mikroskopis, kasus kanker diklasifikasikan 

sebagai kanker serviks bila pertumbuhan primernya berasal dari serviks (Pemeriksaan 

imunohistokimia dapat dilakukan untuk memastikan asal kanker).

Klasifikasi Histopatologi

Skuamosa (keratinizing, non-keratinizing; verrucous)

Adenocarcinoma

Adenoskuamosa

Lain-lain

Diferensiasi Histopatologi

Gx – Diferensiasi tidak dapat dinilai;

Gl – Diferensiasi baik;

G2 – Diferensiasi sedang;

G3 – Diferensiasi buruk.




Biopsi tumor dapat dilakukan oleh spesialis obstetri ginekologi, selanjutnya konsultasi 

dengan konsultan ginekologi onkologi.

A. Kanker Serviks mikroinvasif

Stadium IA1

Konisasi adalah pilihan terapi utama pada stadium IA1. Bila pasien tidak 

menghendaki untuk hamil lagi, maka dapat dipertimbangkan histerektomi total (secara 

laparotomi, vaginal maupun laparoskopi).5

Follow up pasca terapi dengan Pap smear dilakukan setiap 3 bulan selama 2 tahun, 

kemudian setiap 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Bila follow up normal selama 5 tahun, 

maka tidak lagi diperlukan tindakan deteksi adanya kekambuhan. (saran   C).

Stadium IA2

Pada stadium ini, angka kejadian metastasis kelenjar getah bening pelvis meningkat 

(3,2%) oleh karena itu harus dilakukan diseksi kelenjar getah bening pelvis. Terapi yang 

disaran  kan adalah histerektomi radikal tipe 2 dengan limfadenektomi kelenjar 

getah bening pelvis.

Bila fungsi reproduksi masih diperlukan, pilihan terapi adalah :

1. Konisasi serviks dengan limfadenektomi pelvik, atau

2. Trakhelektomi radikal (abdominal, vaginal atau laparoskopi) dan limfadenektomi 

pelvik.

6

Follow up pasca terapi sama dengan stadium IA1

B. Kanker Serviks makroskopis

Stadium IB-IIA

Terapi pembedahan untuk stadium IB-IIA adalah modified histerektomi radikal tipe 

2 atau histerektomi radikal tipe 3 (laparotomi atau laparoskopi) dan limfadektomi pelvis. 

(saran   B).



Resiko kekambuhan setelah operasi radikal meningkat dengan adanya KGB positif, 

parametrium positif, atau tepi irisan positif. Pemberian kemoradiasi/ radiasi sebagai terapi 

ajuvan (golongan platinum) akan memperbaiki “overall survival”, “progression-free 

survival” dan rekurensi baik lokal maupun jauh dibandingkan dengan pemberian radiasi 

pelvik saja. (saran   B). 12

Terapi ajuvan dengan radiasi (dengan/ tanpa kemoterapi) dapat memberikan 

keuntungan pada kasus adenokarsinoma atau adenoskuamosa, karena tingginya angka 

kekambuhan. (saran   C). 13

Pasien dengan KGB iliaka komunis atau para aorta yang positif sebaiknya diterapi 

dengan radiasi dengan lapangan radiasi yang lebih luas baik dengan atau tanpa 

kemoterapi. (saran   C). 14

Stadium IIB

Kemoradiasi merupakan terapi standar pada stadium IIB. Kemoradiasi konkuren 

yang standar termasuk radiasi eksternal dan brakiterapi intrakaviter. Pada kondisi dimana 

brachytherapy tidak tersedia, pemberian booster radiasi eksternal merupakan pilihan yang 

dapat diberikan untuk mencapai kontrol lokal. (saran   A). 16

Dosis radiasi eksternal yang disarankan adalah 45-50 Gy pada 180-200 cGy per 

fraksi. Pemberian rangkaian radiasi dengan tepat waktu sangatlah penting untuk hasil 

akhir yang optimal, disaran  kan bahwa pemberian radiasi eksternal dan brakiterapi 

diselesaikan dalam 56 hari. 17

Pemberian kemoradiasi (menggunakan chemosensitizer) memberikan overall 

survival dan disease-free survival yang lebih baik, menurunkan angka rekurensi lokal dan 

jauh dibandingkan dengan pemberian radiasi saja.

Pilihan lain adalah pemberian kemoterapi neoajuvan adalah mengecilkan masa 

tumor sehingga sehingga menjadi operabel. Tujuan lainnya adalah untuk mensterilkan 

kelenjar getah bening dan parametrium, sehingga dapat mengurangi faktor risiko untuk 

penggunaan terapi ajuvan setelah pembedahan. 

Pada daerah dengan fasilitas radioterapi yang kurang memadai, dapat diberikan 

kemoterapi neoajuvan sebelum terapi utama. Regimen kemoterapi yang dapat digunakan 

antara lain kemoterapi kombinasi golongan platinum based, taxan, ifosfamide + 

uromitexane




Stadium IIIA – IVA

Standar terapi adalah radiasi atau kemoradiasi : radiasi eksternal yang disarankan 

adalah 45-50 Gy + brachytherapy 2100 cGy atau modifikasi box system (bila 

brachytherapy tidak tersedia) dengan radiosensitizer

Eksenterasi pelvik primer dapat dipertimbangkan pada stadium IVA yang belum 

mengalami perluasan ke dinding pelvik atau ekstra-pelvik. (saran   C). 9

Stadium IVB

1. Terapi Sistemik

Kemoterapi merupakan terapi suportif terbaik untuk kanker serviks stadium IVB. 

Beberapa bukti menyatakan bahwa kemoradiasi konkuren memberikan respons lebih baik 

daripada kemoterapi sistemik saja. Rencana terapi harus mempertimbangkan fakta bahwa 

median lama ketahanan hidup untuk stadium IVB adalah 7 bulan.

Walaupun dengan respon yang kurang baik, kemoterapi yang menjadi standart 

adalah cisplatin. Cisplatin bisa dikombinasikan dengan golongan taxane, topotecan, 5-

FU, gemcitabine atau vinorelbine. Kombinasi carbolatin-paclitaxel memberikan hasil 

yang baik pada beberapa kasus. 20

Beberapa studi menunjukkan dengan penambahan bevacizumab 15 mg/kgBB pada 

kemoterapi cisplatin-pactlitaxel atau topotecan-paclitaxel, terjadi peningkatan overall 

survival (17 bulan vs 13,3 bulan) dan respon yang lebih baik (48% vs 36%). Pemberian 

bevacizumab juga dapat meningkatkan insidens hipertensi tingkat 2 atau lebih (25% vs 

2%), kejadian tromboemboli tingkat 3 atau lebih (8% vs 1%) dan fistula gastrointestinal 

tingkat 3 atau lebih (3% vs 0%). 21

2. Radiasi paliatif untuk gejala lokal

Radiasi lokal bisa diberikan pada area metastasis yang memberikan gejala, misalnya 

nyeri yang ditimbulkan akibat pembesaran kelenjar getah bening paraaorta atau 

supraklavikuler, metastasis tulang dan gejala yang terkait metastasis otak. Biasanya 

digunakan fraksi tunggal besar, 20 Gy dalam lima fraksi dan 30 Gy dalam 10 fraksi.

3. Penanganan paliatif yang komprehensif

Pasien kanker serviks yang tak terobati biasanya mengalami gangguan terkait nyeri, 

gagal ginjal akibat obstruksi ginjal, perdarahan, keputihan yang berbau menyengat, 

limfedema dan fistula. Penanganan pasien sangat individual tergantung keluhan yang


timbul, demikian pula aspek psikologis dan dukungan pada pasien itu sendiri dan 

keluarganya. Pemberian morfin oral dapat dijadikan sebagai bagian penting dalam 

penanganan paliatif.

C. Kanker serviks dengan kondisi khusus

1. Kanker serviks yang terdiagnosa pasca operasi 

Kanker serviks yang terdiagnosis pasca histerektomi atas indikasi lain maka PET/ CT 

atau CT atau MRI dan foto thoraks sebaiknya dilakukan untuk menilai luas dari 

penyakit. Dapat dilakukan parametrektomi dan limfadenektomi kelenjar getah bening 

pelvis bilateral sebagai terapi kuratif . Bila terdapat KGB yang sangat dicurigai positif 

dan infiltrasi parametrium maka radioterapi atau kemoradiasi merupakan pilihan 

utama. (saran   C). 22

2. Kanker serviks selama kehamilan

Suatu tim multidisiplin melibatkan ahli obstetri, neonatologi, ahli Jiwa dan 

penasehat agama disarankan untuk membuat perencanaan terapi individual. Semua 

rencana harus didiskusikan dengan pasien dan suaminya, dan keinginan pasien harus 

dihormati.

Secara umum, manajemen kanker serviks selama kehamilan mengikuti prinsip 

yang sama dengan wanita tidak hamil. Kasus yang didiagnosa sebelum 16-20 minggu 

harus segera mendapatkan terapi dengan operasi atau kemoradiasi.

Sejak kehamilan trimester kedua dan setelahnya, operasi dan kemoterapi dapat 

diberikan pada kasus tertentu dengan tetap mempertahankan kehamilannya. 

(saran   C).

Jika diagnosa dibuat diatas 20 minggu, penundaan terapi merupakan salah satu 

pilihan pada stadium IA2 dan IB1 tanpa adanya gangguan prognosis dibandingan 

dengan wanita tidak hamil. Saat janin dinyatakan viabel, terapi dengan SC klasik dan 

diikuti radikal histerektomi dapat dilakukan (secara umum < 34 mgg kehamilan). 

(saran   C).

Pada stadium yang lebih lanjut, belum diketahui apakah penundaan terapi akan 

mempengaruhi survival. Jika penundaan terapi direncanakan pada wanita dengan 

locally advanced disease, kemoterapi neoajuvan dapat diberikan untuk mencegah



perkembangan penyakit.

3. Fertility Sparring Management

Pada wanita penderita kanker serviks dengan usia reproduksi yang masih menginginkan 

fungsi fertilitas, dapat dilakukan konisasi atau radikal trakelektomi (abdominal/ vaginal). 

Konisasi dapat dikerjakan pada:

• Kanker serviks IA1 tanpa LVSI 

• Kanker serviks IA2 (dilakukan konisasi dan limfadenektomi pelvis bilateral)

Radikal Trakelektomi dapat dikerjakan dengan syarat:

• Ada keinginan kuat untuk mempertahankan kesuburan

• Usia reproduksi (< 40 th)

• Karsinoma skuamous atau adenokarsinoma; histologi risiko tinggi tidak 

diperbolehkan (contoh neuroendokrin)

• Stadium IA1 dengan LVSI, IA2, atau IB1

• Masa ukuran < dengan penyebaran endoserviks yang terbatas (dinilai dengan 

kolposkopi dan MRI)

• Tidak ada penyebaran metastasis KGB (bisa dilakukan laparoskopi 

limfadenektomi sebelum radikal trakelektomi)

• LVSI adalah faktor risiko untuk kekambuhan KGB, tetaapi bukan merupakan 

kontraindikasi trakelektomi

Rekurensi paska radikal trakelektomi memiliki angka yang serupa dengan paska radikal 

histerektomi dengan ukuran lesi yang serupa.



PROGNOSIS DAN FOLLOW UP

Dari review sistematik 17 percobaan klinis tentang follow up pasien pasca terapi 

kanker serviks didapatkan waktu median kekambuhan setelah terapi bervariasi antara 7-

36 bulan setelah terapi primer. 19

Pada Follow Up dilakukan anamnesa tentang keluhan pasien, pemeriksaan fisik dan 

ginekologi rutin untuk mendeteksi adanya kekambuhan, efek samping terapi dan juga 

morbiditas psikoseksual yang mungkin terjadi. Pemeriksaan biopsi jaringan, foto thorax, 

USG, CT scan, MRI, PET dapat dilakukan apabila didapatkan kecurigaan kekambuhan. 

(saran   D).

Kekambuhan sentral kecil memiliki potensi kesembuhan yang tinggi, oleh 

karenanya follow up selama 2-3 tahun pasca terapi sangat penting. Sitologi vagina atau 

serviks rutin tidak meningkatkan deteksi dini kekambuhan penyakit secara signifikan. 

Pasien bisa kembali kepada jadwal skrining normal setelah bebas penyakit 5 tahun. 19

Kekambuhan kanker serviks dapat terjadi pada pelvik, paraaorta, pada tempat yang 

jauh atau kombinasi. Resiko kekambuhan meningkat dengan besarnya masa tumor baik 

kekambuhan pelvik maupun jauh, mayoritas kekambuhan timbul dalam 3 tahun sejak 

diagnosis ditegakkan, prognosisnya jelek dan pasien meninggal akibat penyakit yang 

tidak dapat dikendalikan. Keputusan jenis intervensi yang akan diberikan sangat 

bergantung pada kondisi pasien, lokasi dan luasnya kekambuhan/ metastasis serta terapi 

yang sudah diberikan sebelumnya.

Pasien dengan tumor lokal yang ekstensif atau metastasis jauh akan diterapi dengan 

tujuan paliatif berupa terapi suportif. Untuk pasien dengan status performa yang bagus, 

percobaan dengan menggunakan terapi sistemik kombinasi platinum dapat dilakukan

Pasien dengan kekambuhan lokal setelah terapi (operasi atau radioterapi) memiliki 

kemungkinan kesembuhan. Faktor prognostik dikatakan baik bila lesi terisolir di panggul 

sentral tanpa perluasan ke dinding panggul, suatu interval bebas penyakit yang lama, dan 

ukuran rekurensi < 3 cm.

Kekambuhan di panggul pasca operasi dapat diterapi dengan kemoradiasi atau 

eksenterasi panggul. Luas dari penyakit dan keterlibatan KGB pelvis adalah faktor 

prognostik utama ketahanan hidup. (saran   C).



Eksenterasi panggul dapat menjadi pilihan terapi yang memungkinkan pada pasien 

yang mengalami kekambuhan pasca radiasi. Kandidat untuk tindakan tersebut adalah 

pasien tanpa adanya penyebaran intra peritoneal maupun di luar panggul, dan mereka 

yang memiliki ruangan bebas tumor di sepanjang dinding panggul. (saran   C). 

Konseling yang bagus diperlukan karena tingginya morbiditas tindakan ini, dan hanya 

dilakukan apabila tindakan tersebut dapat dilakukan dengan potensi kesembuhan yang 

baik.

Setelah panggul, KGB para aorta merupakan lokasi rekurensi kedua yang cukup 

sering terjadi. Kemungkinan kesembuhan jangka lama dapat dicapai dengan radiasi atau 

kemoradiasi pada 30% pasien dengan rekurensi yang terisolir KGB para aorta. Pasien 

yang tidak memiliki gejala dan mengalami kekambuhan > 24 bulan dari terapi utama 

memiliki hasil akhir yang lebih baik. (saran   C).



A. Diagnosis dan pemeriksaan Pre-terapi

Tingkat 

Bukti

saran  

B MRI merupakan pencitraan radiologik terbaik untuk tumor primer lebih dari 

10 mm.

B CT dan/ atau MRI dan/ atau PET dapat memberikan informasi tentang 

status KGB dan penyebaran sistemik. Adanya lesi yang tampak pada 

pemeriksaan PET harus dibuktikan dengan pemeriksaan histologi untuk 

membuktikan adanya metastasis.

B Bila dibandingkan dengan evaluasi secara radiologik, maka diseksi kelenjar 

paraaorta lebih akurat dalam menilai adanya keterlibatan KGB para aorta 

tersebut.

B. Tatalaksana Kanker Serviks

Tingkat 

Bukti

saran  

C Follow up pasca terapi dengan Pap smear dilakukan setiap 3 bulan selama 2 

tahun, kemudian setiap 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Bila follow up

normal selama 5 tahun, maka tidak lagi diperlukan tindakan deteksi adanya 

kekambuhan.

B Terapi pembedahan untuk stadium IB-IIA adalah modified histerektomi 

radikal tipe 2 atau histerektomi radikal tipe 3 (laparotomi atau laparoskopi) 

dan limfadektomi pelvis.

B Resiko kekambuhan setelah operasi radikal meningkat dengan adanya KGB 

positif, parametrium positif, atau tepi irisan positif. Pemberian kemoradiasi/ 

radiasi sebagai terapi ajuvan (golongan platinum) akan memperbaiki 

“overall survival”, “progression-free survival” dan rekurensi baik lokal



maupun jauh dibandingkan dengan pemberian radiasi pelvik saja.

C Terapi ajuvan dengan radiasi (dengan/ tanpa kemoterapi) dapat memberikan 

keuntungan pada kasus adenokarsinoma atau adenoskuamosa, karena 

tingginya angka kekambuhan.

C Pasien dengan KGB iliaka komunis atau para aorta yang positif sebaiknya 

diterapi dengan radiasi dengan lapangan radiasi yang lebih luas baik dengan 

atau tanpa kemoterapi.

A Kemoradiasi merupakan terapi standar pada stadium IIB. Kemoradiasi 

konkuren yang standar termasuk radiasi eksternal dan brakiterapi 

intrakaviter. Pada kondisi dimana brachytherapy tidak tersedia, pemberian 

booster radiasi eksternal merupakan pilihan yang dapat diberikan untuk 

mencapai kontrol lokal.

C Eksenterasi pelvik primer dapat dipertimbangkan pada stadium IVA yang 

belum mengalami perluasan ke dinding pelvik atau ekstra-pelvik.

C. Tatalaksana Kanker Serviks dengan kondisi khusus

Tingkat 

Bukti

saran  

C Kanker serviks yang terdiagnosis pasca histerektomi atas indikasi lain maka 

PET/ CT atau CT atau MRI dan foto thoraks sebaiknya dilakukan untuk 

menilai luas dari penyakit. Dapat dilakukan parametrektomi dan 

limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis bilateral sebagai terapi 

kuratif. Bila terdapat KGB yang sangat dicurigai positif dan infiltrasi 

parametrium maka radioterapi atau kemoradiasi merupakan pilihan utama.

C Sejak kehamilan trimester kedua dan setelahnya, operasi dan kemoterapi 

dapat diberikan pada kasus tertentu dengan tetap mempertahankan 

kehamilannya.

C Jika diagnosa dibuat diatas 20 minggu, penundaan terapi merupakan salah 

satu pilihan pada stadium IA2 dan IB1 tanpa adanya gangguan prognosis


dibandingan dengan wanita tidak hamil. Saat janin dinyatakan viabel, terapi 

dengan SC klasik dan diikuti radikal histerektomi dapat dilakukan (secara 

umum < 34 mgg kehamilan).

D. Follow up dan rekurensi 

Tingkat 

Bukti

saran  

D Pada Follow Up dilakukan anamnesa tentang keluhan pasien, pemeriksaan 

fisik dan ginekologi rutin untuk mendeteksi adanya kekambuhan, efek 

samping terapi dan juga morbiditas psikoseksual yang mungkin terjadi. 

Pemeriksaan biopsi jaringan, foto thorax, USG, CT scan, MRI, PET dapat 

dilakukan apabila didapatkan kecurigaan kekambuhan.

C Kekambuhan di panggul pasca operasi dapat diterapi dengan kemoradiasi 

atau eksenterasi panggul. Luas dari penyakit dan keterlibatan KGB pelvis 

adalah faktor prognostik utama ketahanan hidup.

C Eksenterasi panggul dapat menjadi pilihan terapi yang memungkinkan pada 

pasien yang mengalami kekambuhan pasca radiasi. Kandidat untuk 

tindakan tersebut adalah pasien tanpa adanya penyebaran intra peritoneal 

maupun di luar panggul, dan mereka yang memiliki ruangan bebas tumor di 

sepanjang dinding panggul.

C Setelah panggul, KGB para aorta merupakan lokasi rekurensi kedua yang 

cukup sering terjadi. Kemungkinan kesembuhan jangka lama dapat dicapai 

dengan radiasi atau kemoradiasi pada 30% pasien dengan rekurensi yang 

terisolir KGB para aorta. Pasien yang tidak memiliki gejala dan mengalami 

kekambuhan > 24 bulan dari terapi utama memiliki hasil akhir yang lebih 

baik.WEWANTI (DISCLAIMER)

• Pedoman pelayanan nasional kedokteran untuk kanker Serviks ini hanya berlaku 

untuk rumah sakit yang memiliki fasilitas pelayanan onkologi.

• Variasi pelayanan kanker serviks pada setiap tingkat rumah sakit harus 

disesuaikan dengan kemampuan fasilitas yang ada.

• Sistem rujukan kasus atau pemeriksaan harus dilaksanakan apabila fasilitas di 

rumah sakit tidak dimungkinkan atau tersedia.

• Apabila terdapat keraguan oleh klinisi, agar dapat dilakukan konsultasi dan 

diputuskan oleh kelompok pakar sesuai dengan kondisi kasusnya.





Adult Granulosa Cell Tumor (AGCT)

Hyperplasia Atipikal (AH)

Adenomyoma Polypoid Atipikal (APA)

Cancer Antigen 125 (CA 125)

Carcinoembryogenic (CEA)

Endometroid Endometrial Cancer (EEC)

Neoplasia Endometrium Epithelial (EIN)

Estrogen Receptor (ER)

Human Epididymis Protein 4 (HE-4)

Hereditary Nonpolyposis Colon Cancer (HNCC)

Indeks Massa Tubuh (IMT)

Outpatient Hysteroscopy and Endometrial Sampling (OHES)

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)

Panduan Praktik Klinis (PPK)

Saline Infusion Sonography (SIS)

Sentinel Lymph Node Dissection (SLND)



Kanker endometrium merupakan jenis kanker yang menempati urutan keenam kanker pada 

perempuan dan urutan kedua belas di dunia. Sebanyak 290.000 kasus baru kanker endometrium 

ditemukan pada tahun 2008 atau mencapai sekitar 5% dari total kasus kanker pada perempuan.

Amerika Serikat dan negara-negara Eropa memiliki insidensi kanker endometrium tertinggi.

Pada tahun 2012, insidensi kanker endometrium di Eropa mencapai 13,6 per 100.000 perempuan. 

Risiko terjadinya kanker endometrium meningkat seiring dengan peningkatan usia dan mayoritas 

didiagnosis setelah menopause. Lebih dari 90% kasus kanker endometrium terjadi pada perempuan

berusia lebih dari 50 tahun, dengan median 63 tahun. 

Dari tahun 2011-2015, terdapat 879 kasus kanker endometrium di Indonesia. Sedangkan, di 

RSUPN Cipto Mangunkusumo terdapat 347 (7,7%) kasus kanker endometrium dari 4.463 kasus 

kanker ginekologi. 

Mayoritas kanker endometrium terdiagnosis secara dini, yaitu sekitar 80% ditemukan pada 

stadium I dengan persentase tingkat kelangsungan hidup 5 tahun diatas 95%. Persentase ini ditemukan 

lebih kecil apabila terdapat metastasis regional (68%) dan jauh (17%). Deteksi dini kanker 

endometrium serta pencegahan sekunder kanker endometrium memiliki peranan penting dalam 

penanganan kasus kanker endometrium. 

1.2 Permasalahan

Seperti halnya jenis kanker lainnya, kanker endometrium memerlukan pengananan multimodalitas. 

Namun, saat ini belum terdapat keseragaman secara nasional terkait pendekatan terapi. Selain adanya 

kesenjangan dalam hal fasilitas skrining dan terapi dari berbagai daerah di Indonesia, hal ini juga 

terjadi karena belum adanya panduan terapi kanker endometrium yang aplikatif dan dapat digunakan 

secara merata di Indonesia.


Penelusuran dan Telaah Kritis Kepustakaan

Penelusuran kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data terbaru dari jurnal dan 

menerapkan prinsip-prinsip kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine) dalam penulisan 

PNPK. Penyusunan PNPK ini mengacu pada guideline internasional yang dibuat oleh ESMO-ESGO￾ESTRO Consensus Conference on Endometrial Cancer Diagnosis, Treatment, and Follow-up.

2.2 Peringkat bukti (Level of Evidence)

Level of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Oxford Centre of 

Evidence Based Medicine Level of Evidence yang kemudian dimodifikasi untuk keperluan praktisi, 

Tingkat/Level bukti dalam penelitian adalah sebagai berikut::

IA metaanalisis, uji klinis

IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik

IC all or none

II uji klinis tidak terandomisasi

III studi observasional (kohort, kasus control)

IV konsensus dan pendapat ahli

2.3 Derajat saran  

Derajat saran   berdasarkan peringkat bukti dapat dikategorikan sebagai berikut:

• saran   A jika berdasar pada bukti level IA, IB atau IC 

• saran   B jika berdasar atas bukti level II 

• saran   C jika berdasar atas bukti level III


Kanker endometrium adalah tumor ganas epitel primer pada jaringan endometrium. 

Jenis kanker ini biasanya memiliki diferensiasi glandular dan berpotensi untuk menginvasi 

miometrium hingga metastasis. Yang secara umum ditemukan dengan diferensiasi glandular 

dan berpotensi untuk menginvasi miometrium secara lokal hingga metastasis jauh. Kanker 

endometrium menempati urutan keenam kanker tersering pada perempuan di dunia. Sekitar 

290.000 kasus baru terjadi pada tahun 2008, mendekati 5% dari total kasus baru pada

perempuan. Kejadian kanker endometrium dilaporkan lebih banyak terjadi pada negara￾negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Berdasarkan subtipe/ Klasifikasi Bokhman, kanker endometrium terbagi menjadi tipe 

1 dan tipe 2. Kanker endometrium tipe 1 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (70%), 

terutama pada perempuan yang menderita obesitas. Tipe ini disebabkan oleh 

hiperestrogenisme dan sering dihubungkan dengan kondisi hyperlipidemia/diabetes. Pada tipe 

1, penderita memiliki prognosis yang lebih baik. Sebaliknya, kanker endometrium tipe 2 

sering ditemukan pada perempuan yang tidak obesitas dan memiliki prognosis yang buruk.

Berdasarkan Data Registrasi Kanker Nasional pada tahun 2011-2015, kanker endometrium 

menermpati urutan ketiga kanker ginekologi setelah kanker serviks dan kanker ovarium. Berdasarkan 

data tersebut diketahui pula terdapat 347 (7,7%) kasus kanker endometrium dari 4.463 kasus kanker 

ginekologi di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2011-2015. Mayoritas kanker endometrium 

terdiagnosis dini (80% saat stadium I) dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun di atas 95%.

3.2 Faktor Risiko

a. Indeks Massa Tubuh (IMT) yang tinggi meningkatkan tingkat kejadian/insiden rate 9RR= 

1.59-2.89) dan risiko kematian pada kanker endometrium. Usia menarche kurang dari 12 

tahun (RR = 1.5-2)

b. Usia menopause lebih dari 55 tahun (RR = 2-3) 

c. Nullipara (RR = 3)

d. Infertilitas

e. Penggunaan estrogen jangka panjang (terapi pengganti estrogen: risiko meningkat 2-20 kali 

bergantung pada durasi penggunaan)




f. Penggunaan tamoxifen (agonis estrogen di tulang dan jaringan endometrium) meingkatkan 

risiko 6-8 kali

g. Perempuan dengan Lynch syndrome atau Hereditary Nonpolyposis Colon Cancer (HNCC).

h. Perempuan dengan riwayat kanker endometrium pada keluarga di usia kurang dari 50 tahun, 

riwayat kanker payudara atau ovarium sebelumnya, riwayat radiasi pelvis, dan hyperplasia 

endometrium (risiko meningkat 10 kali lipat).

i. Perempuan dengan Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) meningkatkan risiko 4 kali lipat




Diagnosis

3.4.1 Anamnesis

Faktor predisposisi: overweight atau obesitas, rangsangan estrogen terus menerus, sindrom 

metabolik, gaya hidup sedentari, infertilitas, menarche dini, menopause terlambat (>52 tahun), 

nulipara, siklus anovulasi, pengobatan tamoxifen, dan hiperplasia endometrium. Faktor yang 

melindungi terhadap penyakit ini: pil kontrasepsi, kontrasepsi hormonal. Gejala dan tanda: perdarahan 

uterus abnormal (80-90%) berupa metrorhagia pada periode perimenopause maupun perdarahan pasca 

menopause.




3.4.2 Pemeriksaan Fisik

• Uterus berbentuk dan berukuran normal atau lebih besar dari normal

• Cervix biasanya licin atau mungkin juga terdapat proses

• Parametrium biasanya masih lemas

• Biasanya pada adneksa tidak terdapat massa

3.4.3 Pemeriksaan Penunjang

• Ultrasonografi / SIS (Saline Infusion Sonography)

• Pippele ( Mikrokuret)

• Kuretase bertingkat

• Sitologi Endometrium (Endoram)

• Histeroskopi diagnostik dengan atau tanpa biopsi terarah

• Pemeriksaan Imaging: USG (transvaginal dan/atau transrektal dan abdominal), MRI, dan SIS 

membantu menilai invasi ke miometrium, pembesaran kelenjar getah bening pelvik dan 

paraaortik, invasi ke adneksa maupun ke parametrium

• Pemeriksaan Ca 125 jika terdapat invasi ke adneksa, atau kecurigaan kanker ovarium

3.4.4 Diagnosis Banding

• Kanker serviks

• Kanker ovarium

• Kanker korpus uteri




Surveilans

Perempuan dengan risiko rerata kanker endometrium (populasi umum)

• Tidak ada indikasi deteksi dini kanker endometrium pada populasi umum dan asimptomatik.

• Tidak tersedianya standar operasi atau tes deteksi dini rutin untuk endometrium.

• Deteksi dini pada perempuan asimptomatik hanya disarankan bagi mereka yang memiliki 

Lynch Syndrome.

• Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa skrining menggunakan USG (endovagina atau 

transvaginal) menurunkan mortalitas kanker endometrium. Selain itu, studi kohort 


mengindikasikan bahwa skrining pada perempuan asimptomatik akan menimbulkan tindakan 

biopsi yang harusnya tidak diperlukan (adanya hasil tes positif palsu). Hasil tes positif palsu 

dapat berisiko menimbulkan kecemasan pada pasien.

• Pada saat menopause, perempuan harus disaran  kan untuk melapor apabila terdapat 

perdarahan per vagina, discharge, ataupun spotting kepada dokter untuk memastikan mereka 

mendapat tatalaksana yang tepat.

Perempuan dengan risiko lebih tinggi untuk mengalami kanker endometrium (populasi 

berisiko)

Populasi berisiko dengan:

§ riwayat terapi estrogen / pengganti estrogen,

§ menopause lanjut,

§ terapi tamoxifen,

§ nullipara,

§ infertilitas,

§ obesitas,

§ diabetes, atau

§ hipertensi.

harus mendapatkan informasi mengenai risiko dan gejala kanker endometrium serta diajak 

untuk memeriksakan diri ke dokter apabila terdapat perdarahan atau spotting abnormal 

perdarahan atau spotting yang abnormal kepada dokter.

§ Perempuan asimptomatik yang memiliki faktor risiko kanker endometrium serta hasil yang 

menunjukkan adanya penebalan endometrium atau temuan positif lain dari USG, misalnya

peningkatan vaskularisasi, inhomogenitas endometrium, atau penebalan endometrium lebih dari 

11 mm, harus dapat ditangani satu persatu. 

§ Perempuan premenopause yang diberi terapi tamoxifen tidak memerlukan monitoring tambahan 

selain pemeriksaan ginekologi rutin. 

§ Perempuan postmenopause yang diberi terapi tamoxifen harus mendapatkan informasi mengenai 

gejala hiperplasi atau kanker endometrium.

Perempuan dengan risiko tinggi kanker endometrium 

Populasi yang memiliki risiko tinggi mengalami kanker endometrium, terdiri dari:

• Perempuan karier mutasi gen HNPCC-associated atau yang berpotensi memiliki mutasi 

(misalnya pada keluarga diketahui adanya mutasi gen tersebut), dan


 Perempuan tanpa hasil tes genetik, tetapi dengan riwayat keluarga yang mengalami 

predisposisi autosomal dominan kanker kolon.

• Temuan dari studi kohort observasional prospektif pada perempuan dengan Lynch Syndrome,

tindakan Outpatient Hysteroscopy and Endometrial Sampling (OHES) tahunan diperbolehkan 

dan memiliki akurasi diagnostik tinggi untuk skrining kanker endometrium dan hyperplasia 

endometrium atipik. Namun, hal ini masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut dari studi 

internasional yang lebih besar.

• Perempuan karier mutasi gen HNPCC-associated atau yang berpotensi memiliki mutasi 

(misalnya pada keluarga diketahui adanya mutasi gen tersebut), harus diberikan informasi 

mengenai keuntungan, risiko, dan keterbatasan pemeriksaan untuk kanker endometrium. 

Skrining rutin tahunan disaran  kan untuk dimulai pada usia 35 tahun, mengingat risiko 

kanker endometrium yang semakin tinggi. Pada perempuan dengan Lynch Syndrome, beberapa pilihan 

dapat dilakukan:

• Skrining rutin tahunan dimulai pada usia 35 tahun (saran  )

• Tindakan histeroskopi dan biopsy endometrium atau histerektomi (pilihan)

• Penggunaan progesterone lokal (LNG-IUD)

• Pengobatan prekanker (AEH, EIN)

• Histerektomi dan oophorectomy bilateral

3.8 Pemeriksaan Lanjutan dan Manajemen Fertility Preserving Therapy pada Pasien 

dengan AH/EIN dan EEC Grade 1

Pemeriksaan Lanjutan untuk Fertility Preserving Therapy

Pada dasarnya, kanker endometrium jarang terjadi pada usia muda atau usia reproduksi. 

Hanya sekitar 4% perempuan di bawah 40 tahun yang terdiagnosis kanker endometrium. Prognosis 

kanker endometrium juga lebih baik pada populasi tersebut. Pendekatan standar untuk management 

kanker pada usia reproduksi ialah dengan histerektomi dan salpingo-ophorectomy bilateral dengan 

atau tanpa limfadenektomi. Meskipun tindakan operatif tersebut merupakan pendekatan yang efektif, 

dengan angka kesintasan 5 tahun mencapai 93%, konsekuensinya ialah terjadinya potensi reproduksi 

secara permanen.

Pilihan terapi lain ialah dengan terapi konservatif menggunakan progestin oral. Namun, 

penggunaan terapi ini harus dengan pertimbangan klinis dan karakteristik patologi tumor. Pendekatan 

terapi konservatif dapat dipertimbangkan pada pasien dengan diagnosis histologi grade I karsinoma

endometrium. Metode yang optimal untuk mendapatkan karakteristik histologis ialah dengan dilatasi 

dan kuret.


Diagnosis histologi harus direview oleh ahli patologi untuk meningkatkan akurasi 

pemeriksaan histologis, dimana sebelumnya juga harus dilakukan konfirmasi stadium melalui 

enhanced MRI untuk mengeksklusi adanya invasi myometrium, adnexa, atau keterlibatan KGB pelvis. 

Pasien yang mendapat terapi konservatif perlu diberikan informasi bahwa terapi tersebut 

bukan terapi standar dan harus dapat menerima follow-up rutin selama dan setelah terapi. Pasien juga 

perlu diberikan informasi mengenai adanya kebutuhan histerektomi jika terapi konservatif gagal 

dan/atau setelah kehamilan.

Skema Manajemen untuk Fertility-Preserving Therapy

Terapi konservatif kanker endometrium menggunakan progestin dengan 

medroxyprogesterone acetate (MPA 400-600 mg/hari) atau megestrol acetate (MA; 160-320 mg/hari). 

Beberapa studi juga menunjukkan manfaat penggunaan LNG-IUD, tetapi angka remisi dan 

rekurensinya menunjukkan angka yang sama dengan penggunaan progestin oral. Penilaian respon 

terapi harus dilakukan pada saat 6 bulan dengan melakukan dilatase dan kuret serta pemeriksaan 

radiologi yang baru.

Response rate terapi konservatif kanker endometrium sekitar 75%, tetapi angka rekurensinya 

mencapai 30-40%. Terapi pembedahan standar dengan histerektomi perlu diajukan pada pasien yang 

tidak berespons.

Kehamilan berhubungan dengan penurunan risiko rekurensi kanker endometrium. Sebuah 

studi meta-analisis menyebutkan bahwa angka kelahiran hidup di antara perempuan yang mendapat 

fertility-preserving therapy pada kanker endometrium ialah 28% dan mencapai 39% bila 

menggunakan assisted reproductive technology. Oleh karena itu, pasien yang mendapatkan respons 

penuh terhadap terapi, perlu didorong untuk hamil dan dirujuk ke klinik fertilitas.

Pada pasien yang mengalami rekurensi penyakit setelah respons inisial, histerektomi perlu 

diajukan sebagai pilihan pertama. Terapi standar yaitu histerektomi dan salpingo-oophorectomy juga 

perlu disaran  kan pada pasien yang mengalami rekurensi dan telah melewati usia 

subur/reproduksi. 

3.9 Diangosis Banding dan Penanda Molekuler yang Membedakannya

Lesi uterus jinak dan prekanker endometrium umumnya dapat dibedakan berdasarkan kriteria 

morfologi, tetapi dapat pula didukung dengan penanda imunohistokimia dan perubahan molekuler. 

Saat ini, AH/EIN merupakan terminologi yang lebih sering digunakan sebagai lesi prekursor dari 

kanker endometrium.

• Ekspresi PTEN dan PAX-2

Diagnosis banding AH/EIN mencakup hyperplasia endometrium (tanpa atipik), focal glandular 

crowding, dan metaplasia epitel seperti perubahan hipersekretorik. Dari hasil kuretase, satu-satunya 

penanda imunohistokimia yang telah banyak diteliti ialah hilangnya ekspresi PTEN (40-50% kasus). 

Penyebab hilangnya ekspresi PTEN ini mayoritas karena mutasi dan hilangnya PAX-2 akibat 

mekanisme downregulation (70% kasus AH/EIN). 

• p53

Salah satu prekursor karsinoma serosa, yaitu karsinoma endometrium intraepithelial (SEIC) 

merupakan kanker non-invasive yang diasosiasikan dengan potensi ekstensi ekstrauterin. Mutasi p53 

diketahui sebagai penanda SEIC dan pada pemeriksaan imunohistokimia dapat dijumpai negative 

immunoreactive pattern untk ekspresi p53. Hal ini dijumpai pada semua SEIC dan karsinoma serosa 

invasif.

• Panel Marker

Pada beberapa kasus kanker endometrium, gambaran histopatologi antara kanker endometrium, 

ovarium, dan endoserviks dapat tumpeng tindih. Beberapa penanda imunohistokimia sudah banyak 

diajukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, tetapi penanda tersebut masih memiliki kekurangan 

dalam hal sensitivitas dan spesifisitas bila digunakan sebagai penanda tunggal. Misalnya pada kasus 

jaringan yang diduga berasal dari endoserviks, disaran  kan untuk menggunakan penanda panel 

yang terdiri dari carcinoembryogenic (CEA), vimentin, estrogen receptor (ER), dan p16. Apabila 

ditemukan p16 positf, diperlukan pewarnaan p16, karena p16 dengan pewarnaan difus banyak 

terdapat pada kanker endometrium tipe musin, serosa, dan clear cell. 

Pada kasus adanya sedikit jaringan dengan karsinoma serosa, perlu dipikirkan asal jaringan 

berasal dari ovarium. Penanda yang penting dalam kasus ini ialah Wilms tumour 1 gene (WT-1) yang 

diekspresikan pada 80-100% karsinoma serosa ovarium, dibandingkan dengan 7-20% pada karsinoma 

serosa endometrium. 

• APA dan AH/EIN

Diagnosis banding lain untuk AH/EIN ialah adenomyoma polypoid atypical (APA) yang 

merupakan kasus jarang serta sampai saat ini tidak ada penanda imunohistokimia yang dapat 

digunakan untuk membedakan APA dan AH/EIN.

3.10 Terapi Pembedahan

3.10.1 Kondisi Medis

Pemeriksaan Pre-Operatif Wajib

Pada anamnesis, riwayat keluarga biasanya digali untuk mengidentifikasi faktor risiko yang 

berhubungan dengan Lynch Syndrome mencakup kanker endometrium, kanker kolon, atau jenis 

kanker lain sesuai dengan spectrum Lynch. Penilaian umum, atau pada geriatri misalnya penilaian 

geriatri dibutuhkan pada pasien dengan komorbiditas dan pasien usia lanjut sebagai bahan 

pertimbangan strategi terapi pembedahan. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes, serta obesitas juga 

perlu dinilai. 

Pemeriksaan pelvis dan USG pelcis merupakan komponen wajib untuk penilaian stadium 

klinis kanker endometrium berdasarkan FIGO (sebelum penegakkan stadium definitif). 

Informasi patologi pre-operatif merupakan hal yang krusial untuk membuat rencana operasi. 

Pertama, semua pasien dengan risiko kanker, khususnya pasien dengan perdarahan postmenopause 

dan adanya hyperplasia endometrium pada USG, perlu dilakukan investigasi dengan biopsi 

endometrium atau kuretase.

Pemeriksaan Pre-Operatif Pilihan

Pemeriksaan Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan dipikirkan untuk menunjang klinis. Computed Tomography (CT) 

scan dan/atau Positron Emission Tomography (PET)-CT merupakan pilihan pada kanker 

endometrium stadum lanjut. Pada stadium I kanker endometrium, MRI dapat berguna untuk 

mendapatkan informasi mengenai invasi miometrium.

Penanda Serum Tumor

Penanda tumor seperti Cancer Antigen 125 (CA 125) dan Human Epididymis Protein 4 (HE-

4) diketahui memiliki korelasi signifikan terhadap derajat histologi, stadium, metastasis nodus limfa, 

invasi myometrium, dan keterlibatan serviks. Namun, nilai cut-off untuk penanda tersebut belum ada 

dan bukti manfaat peemriksaan penanda serum ini juga masih kurang.

3.10.2 Manajemen Pembedahan

3.10.2.1 Manajemen Pembedahan Stadium I Kanker Endometrium

Extrafascial total hysterectomy tanpa colpectomy merupakan pilihan manajemen pasien 

kanker endometrium. Pembuangan adnexa dapat dilakukan untuk mencegah kanker ovarium dan 

menyingkirkan metastasis ovarium.


Teknik Minimally Invasive

Histerektomi dan bilateral salpingo-oophorectomy dapat dilakukan seacra terbuka ataupun 

laparoskopi. Laparoskopi berhubungan dengan kejadian sampingan berat saat post-operasi yang lebih 

sedikit (14% vs 21%) dan durasi perawatan rumah sakit kurang dari 2 hari (52% vs 94%) 

dibandingkan laparotomi. Berdasarkan meta-analisis oleh Zullo et al., angka komplikasi intraoperatif

tidak berbeda antara laparoskopi dan laparotomi (RR 1.25; 95% CI 0.99-1.56) tanpa adanya 

heterogenitas yang signifikan. Durasi operasi lebih lama 34-37 menit pada kelompok laparoskopi. 

Diseksi aorta dapat dikerjakan pada pasien obesitas dengan menggunakan pendekatan laparoskopi 

ekstraperitoneal.

Studi mengenai laparotomi (LAP2 trial) mempublikasikan long-term outcome kelompok 

laparoskopi pada tahun 2012. Endpoint utama ialah interval bebas rekurensi. Hazard Ratio (HR) 

kesintasan bebas-rekuerensi laparoskopi vs laparotomy ialah 1.14 (90% CI 0.92-1.46). Rekurensi 3 

tahun diestimasi sebesar 11.4% dengan laparoskopi dan 10.2% dengan laparotomi. Kesintasan 5 tahun 

pada kedua kelompok hampir sama (89.8%).

Pendekatan alternative

Pasien yang tidak cocok dengan pilihan terapi laparoskopi atau laparotomi dapat 

dimanajemen baik secara pembedahan, yaitu dengan vaginal hysterectomy, dan jika memungkinkan, 

dengan bilateral salpingo-oophorectomy, atau dengan terapi radiasi (kombinasi external beam 

radiation therapy dan brakiterapi), atau dengan terapi hormon.

3.10.2.1.2 Limfadenektomi

Surgical Staging 

Sitologi peritoneal merupakan salah satu prosedur yang diperlukan untuk staging, tetapi saat 

ini bukan merupakan hal yang wajib dilakukan.

Limfadenektomi

Limfadenektomi merupakan salah satu bagian dari surgical staging kanker endometrium. 

Namun, peran limfadenektomi pada kanker endometrium stadium awal masih belum jelas dan 

kontroversial. Definisi limfadenektomi adekuat saat ini belum distandardisasi, pendekatan saat ini 

mencakup limfadenektomi pelvis, limfadenektomi para-aorta hingga arteri mesenterika inferior, dan 

para-aorta hingga pembuluh darah renalis.

Pada kanker endometrium, dua review retrospektif menyebutkan bahwa pasien dengan 

minimal pengangkatan 10-12 nodus limfa memiliki kesintasan yang lebih baik.



Indikasi Limfadenektomi

Peran limfadenektomi sebagai bagian dari terapi belum jelas, tetapi limfadenektomi 

merupakan bagian dari comprehensive staging. Kelebihan dari comprehensive staging ialah dapat 

memprediksi prognosis lebih baik dan sebagai acuan untuk terapi ajuvan pada pasien.

3.10.2.2 Terapi pembedahan pada kanker endometrium stadium II-IV

Histerektomi tidak disaran  kan untuk manajemen kanker endometrium stadium II, 

tetapi pada beberapa kasus dengan kecurigaan keterlibatan parametrium, histerektomi radikal dapat 

dipertimbangkan. 

Limfadenektomi disaran  kan untuk kanker endometrium stadium II secara klinis atau 

intraoperatif.

3.10.2.2 Terapi pembedahan pada kanker endometrium stadium III-IV

Terapi multimodal diperlukan, dimulai dari terapi pembedahan sitoreduktif radikal. 

Manajemen pembedahan pada metastasis vagina dapat mengganggu fungsi vagina. Terapi radiasi 

primer dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus.

Terapi pembedahan pada Non-Endometroid Endometrial Cancer (EEC)

Terapi pembedahan standar pada non-EEC tidak berbeda dengan EEC. Histerektomi dan 

bilateral salpingo-oophorectomy merupakan saran   pada stadium I. Histerektomi radikal tidak 

disaran  kan pada stadium II, sedangkan sitoreduktif komplit diperlukan pada stadium lanjut. 

3.11 Terapi Ajuvan


Kanker endometrium risiko rendah

Pada pasien dengan kanker endometrium risiko rendah tidak diperlukan adanya terapi ajuvan.

Kanker endometrium risiko menengah

Pada pasien kanker endometrium risiko menengah, disaran  kan brakiterapi ajuvan

untuk menurukan risiko rekurensi vaginal.

Kanker endometrium risiko menengah-tinggi

Pada pasien kanker endometrium dengan risiko menengah-tinggi yang memiliki hasil nodus 

negiatf pada surgical nodal staging, brakiterapi ajuvan disaran  kan atau dapat pula tidak 

menggunakan terapi ajuvan. 

Kanker endometrium risiko tinggi

Pada pasien kanker endometrium risiko tinggi yang telah diketahui memiliki nodus negatif 

dari pemeriksaan surgical nodal staging, dapat dilakukan EBRT ajuvan dengan bidang terbatas, 

brakiterapi ajuvan, atau terapi sistemik (masih diteliti).

Pasien kanker endometrium stadium II, risiko tinggi, dapat dilakkan brakiterapi vagina bila 

diketahui LVSI negatif, tetapi bila LVSI positif dapat dilakukan EBRT lapang terbatas, boost 

brakiterapi, serta kemoterapi (masih diteliti lebih lanjut).

Pasien kanker endometrium stadium III, risiko tinggi, tanpa penyakit residu, EBRT 

disaran  kan untuk menurunkan rekurensi pelvis, meningkatkan PFS, dan meningkatkan 

kesintasan. Kemoterapi juga disaran  kan untuk meningkatkan PFS dan CSS. 

Pasien kanker non-endometrioid, risiko tinggi, pada tipe serosa dan clear-cell, dapat 

dipertimbangkan melakukan kemoterapi. Apabila stadium IA, LVSI negative dapat dipertimbangkan 

brakiterapi vagina tanpa kemoterapi, dan apabila stadium > IB, dapat dipertimbangkan EBRT sebagai 

tambahan kemoterapi. Pada tipe karsinosarkoma dan tumor tidak berdiferensiasi lainnya lebih 

disaran  kan kemoterapi, tetapi dipertimbangkan pula EBRT.

3.12 Penanganan Kanker Endometrium Lanjut dan Rekuren

Pembedahan Sitoreduksi

Pasien dengan penyakit lanjut (FIGO Stadium IIIA-IV), atau rekuren disarankan menjalani 

tindakan pembedahan hanya jika sitoreduksi optimal tercapai tanpa penyakit residu. Reseksi total dari 

oligometastasis jauh dan relaps nodul limfa retroperitoneal atau pelvis dapat dipertimbangkan apabila 

memungkinkan secara teknik berdasarkan lokalisasi penyakit.

Histologi

Tipe histologi tidak boleh mempengaruhi keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan 

tindakan pembedahan.

Terapi Radiasi

Pada pasien dengan relaps vagina terisolasi pascabedah disarankan untuk menjalani radiasi terapi 

kuratif. Kemoterapi dengan terapi radiasi dapat dipertimbangkan pada rekurensi nodus vagina dan 

pelvis dengan karakterisik pasien risiko tinggi untuk relpas. 

Re-radiasi dapat dipertimbangkan untuk pasien yang sudah diseleksi menggunakan teknik 

tertentu. Terapi radiasi diindikasikan untuk meringankan gejala terkait rekurensi lokal atau penyakit 

sistemik, serta pada tumor primer yang tidak dapat direseksi atau jika tindakan bedah tidak dapat 

dijalankan/dikontraindikasikan atas dasar alasan medis.

Terapi sistemik

Terapi hormone diindikasikan pada EEC tahap lanjut dan rekuren, serta efektif untuk tumor 

endometrioid derajat 1 atau 2. Pasien yang memiliki status PgR dan ER positif lebih efektif 

mendapatkan terapi hormon.



Terapi Target

Jalur PI3K/PTEN/AKT/mTOR, PTEN, RAS-MAPK, angiogenesis (terutama FGFR2 dan 

VEGF/VEGFR), ER/PgR dan HRD/MSI mengalami perubahan pada kanker endometrium, sehingga 

perlu dipelajari sebagai target terapi. 

Obat yang ditargetkan terhadap sinyalisasi jalur PI3K/mTOR dan angiogenesis menunjukkan 

aktivitas sederhana namun belum ada agen yang sudah disetujui untuk penggunaan klinis. Studi lebih 

lanjut yang berfokus pada biomarker dibenarkan.

3.13 Rujukan

Kanker endometrium risiko rendah stadium I, dapat ditatalaksana oleh spesialis obstetri dan 

ginekologi. Apabila lebih tinggi dari risiko rendah, diperlukan rujukan ke dokter subspesialis onkologi 

ginekologi.

3.14 Perawatan

1. Perawatan perioperatif.

2. Perawatan hanya ditujukan untuk perbaikan keadaan umum, baik pra-radiasi atau dalam 

radiasi.

3. Perawatan dilakukan untuk pemberian kemoterapi.

3.14.1 Lama Perawatan

Lama perawatan tergantung beberapa faktor antara lain faktor keadaan umum pasien, faktor 

pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, dan faktor adanya penyulit infeksi.

3.15 Jadwal Radiasi/Kemoradiasi

Sesuai departemen radioterapi.

3.16 Informed Consent

Penjelasan tentang diagnosis dan stadium penyakit, rencana terapi, hasil pengobatan, dan

kemungkinan komplikasi pengobatan.

3.17 Penyulit

Pemulihan tergantung beberapa faktor antara lain faktor keadaan umum pasien, faktor pilihan 

pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, dan faktor efek samping yang 

ditimbulkan.

3.18 Masa Pemulihan

Pemulihan tergantung beberapa faktor antara lain faktor keadaan umum pasien, faktor pilihan 

pengobatan, faktor stadium penyakit, dan faktor adanya penyulit infeksi.Indikator Monitoring/Evaluasi

1. Monitoring efek samping saluran cerna, kadar hemoglobin, kadar neutrofil dan trombosit

2. Penilaian waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pengobatan (overall treatment)

3. Penilaian respon secara klinis (pemeriksaan rektovagina touche dan USG)

3.20 Luaran

Hidup tanpa tumor, hidup dengan tumor, meninggal




saran   PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI KANKER 

ENDOMETRIUM

TINGKAT 

BUKTI

1.1 Tidak ada bukti mengenai efektivitas skrining kanker endometrium pada 

populasi umum.

IIA 

1.2 Terapi estrogen sebaiknya tidak dimulai atau segera dihentikan pada 

perempuan dengan uterus in situ.

IIIA

1.3 Pemeriksaan rutin pada perempuan asimptomatik dengan obesitas, PCOS, 

dibetes melitus, infertilitas, nullipara atau menopause terlambat tidak 

disaran  kan.

IIIB

1.4 Pada perempuan dengan Adult Granulosa Cell Tumor (AGCT), 

pengambilan sampel endometrium disaran  kan bila tidak dilakukan 

histerektomi. Apabila tidak ada bukti adanya lesi prekanker, tidak 

diperlukan skrining kanker endometrium lebih lanjut.

IVB

1.5 Pada pasien dengan kanker ovarium epithelial yang menjalani fertility 

sparing treatment, pengambilan sampel endometrium disaran  kan 

saat diagnosis.

IVB

1.6 Skrining kanker endometrium rutin pada pasien asimptomatik yang 

menggunakan tamoksifen tidak disaran  kan.

IIIB

1.7 Observasi endometrium melalui pemeriksaan ginekologi, ultrasound 

transvaginal, dan biopsi aspirasi mulai usia 35 tahun (setiap tahun sampai 

dilakukan histerektomi) sebaiknya dilakukan pada setiap karier mutasi LS.

IVB 

1.8 Pembedahan profilaksis (histerektomi dan salfingo-ooferektomi bilateral), 

lebih diutamakan menggunakan pendekatan invasi minimal, sebaiknya 

didiskusikan saat usia 40 tahun sebagai pilihan pada karier mutasi LS untuk

pencegahan kanker endometrium dan ovarium. Setiap pro dan kontra 

mengenai operasi profilaksis harus didiskusikan.

4.1.2 Pemeriksaan lanjutan dan skema penatalaksaan untuk fertility preserving therapy pada 

pasien dengan hyperplasia atipikal (AH/ neoplasia endometrium epithelial (EIN) dan kanker 

endometrioid endometrium (EEC) stadium 1

saran   PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI KANKER 

ENDOMETRIUM

TINGKAT 

BUKTI, 

KEKUATAN, 

KONSENSUS

1.1 Pasien dengan AH/EIN atau EEC stadium 1 yang menginginkan fertility 

preserving therapy harus dirujuk ke pusat spesialis.

VA 

1.2 Pada pasien-pasien tersebut, D&C dengan atau tanpa histeroskopi harus 

dilakukan.

IVA 

1.3 Diagnosis AH/EIN atau EEC stadium 1 harus dikonfirmasi oleh 

subspesialis onkologi ginekologi.

IVA 

1.4 MRI Pelvis sebaiknya dilakukan untuk mengeksklusi invasi miometriaum 

dan keterlibatan adneksa. Pemeriksaan ultrasound dapat dipertimbangkan 

sebagai alternatif.

IIIB 

1.5 Pasien harus diinformasikan bahwa fertility sparing treatment bukan 

merupakan terapi standar. Pro dan kontra mengenai hal tersebut harus 

didiskusikan. Pasien harus bersedia menerima follow up rutin dan 

diinformasikan mengenai kebutuhan histerektomi mendatang.

VA 

1.6 Pada pasien yang menjalani fertility preserving therapy, MPA (400-600 

mg/hari) atau MA (160-320 mg/hari) merupakan tatalaksana yang 

disaran  kan. Namun, tatalaksana menggunakan LNG-IUD dengan 

atau tanpa analog GnRH dapat dipertimbangkan.

IVB 

1.7 Guna menilai respon terapi, D&C, histeroskopi, dan pencitraan harus 

dilakukan saat 6 bulan. Apabila setelah 6 bulan respon terapi tidak 

tercapai, maka terapi operasi standar harus dilakukan.1.8 Pada kasus respon lengkap, konsepsi harus dianjurkan dan rujukan ke 

klinik fertilitas merupakan hal yang disaran  kan.

IVB 

1.9 Terapi pemeliharaan dipertimbangkan bagi responden yang menginginkan 

untuk menunda kehamilan.

IVB 

1.10 Pasien yang tidak menjalani histerektomi sebaiknya dilakukan re￾evaulasi klinis setiap 6 bulan.

IVB 

1.11 Setelah selesai melahirkan, histerektomi dan salfingooforektomi 

sebaiknya disaran  kan. Pelestarian ovarium dapat dipertimbangkan 

sesuai dengan usia dan faktor risiko genetik.

IVB 

4.1.3 Penanda (molekuler) yang dapat membantu untuk membedakan lesi prekanker dengan 

lesi jinak yang serupa

saran   PENCEGAHAN DAN SKRINING KANKER 

ENDOMETRIUM

TINGKAT 

BUKTI

1.1 Pada kasus uncertainty low threshold, disaran  kan adanya rujukan 

ke subspesialis onkologi ginekologi.

VA 

1.2 PTEN dan PAX-2 IHC disaran  kan untuk membedakan AH/EIN 

dengan lesi jinak yang serupa. Penanda lain yang dapat digunakan dalam 

konteks ini ialah MLH1 dan ARID1a dengan IHC.

IVB 

1.3 IHC tidak disaran  kan untuk membedakan APA dengan AH/EIN. VB 

1.4 p53 dengan IHC disaran  kan untuk membedakan SEIC dengan lesi 

jinak lain yang menyerupainya.

IVA 

1.5 Panel dari penanda harus digunakan pada kasus suspek kanker 

endoserviks. Panel tesebut berisi setidaknya ER, vimentin, CEA, dan p16 

dengan IHC dan perlu untuk dilakukan penilaian histologi dan klinis. 

Seabagai tambahan, analisis HPV dapat dipertimbangkan.

IVB 

1.6 WT-1 dengan IHC merupakan penanda yang disaran   untuk 

menentukan asal dari kanker serosa1.7 Pemeriksaan morfologi (dan bukan IHC) sebaiknya digunakan untuk 

membedakan AH/EIN dengan EEC.

IVA 

4.2. Terapi Pembedahan

4.2.1 Kondisi medis yang mempengaruhi terapi pembedahan

saran   TERAPI PEMBEDAHAN PADA KANKER 

ENDOMETRIUM

TINGKAT 

BUKTI

4.1. Pemeriksaan lanjutan harus meliputi:

Riwayat keluarga; penilaian dan pengumpulan data komorbiditas; penilaian 

geriatri (disesuaikan); pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan pelvis; USG 

transvaginal atau transrektal; dan pemeriksaan patologi lengkap (histologi dan 

stadium) dari biopsy endometrium atau specimen kuretase.

VA 

4.2. Tingkat pembedahan harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien. VA 

4.3. Pada stadium klinis I, grade 1 dan 2: Minimal satu dari tiga pemeriksaan 

harus digunakan untuk menilai invasi myometrium jika LND dipertimbangkan: 

USG dan/atau MRI dan/atau pemeriksaan patologi intraoperatif.

IVA

1.4. Metode pencitraan lainnya (CT scan, MRI, PET scan, atau USG toraks, 

abdomen, dan pelvis) sebaiknya dipertimbangkan untuk menilai ovarium, 

nodus, peritoneum, atau metastasis.

IVC

4.5.Tidak ada bukti adanya manfaat secara klinis penanda tumor serum, termasuk 

CA 125.

IVB 

1.5. Terapi pembedahan standar ialah histerektomi total dengan salfingo￾oopherektomi bilateral tanpa vaginal cuff.

IVA 

1.6. Pelestarian ovarium (ovarian preservation) dapat dipertimbangkan pada 

pasien di bawah 45 tahun dengan EEC grade 1 dengan invasi 

myometrium <50% dan tidak ada kecurigaan penyakit ovarium atau 

ekstrauterin lainnya.

IVB 

1.7. Dalam hal pelestarian ovarium (ovarian preservation), salfingektomi 

disaran  kan.1.8. Pelestarian ovarium (ovarian preservation) tidak disaran  kan 

untuk pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan kanker, termasuk 

risiko kanker ovarium (misalnya mutase BRCA, LS, dsb). Konseling 

genetik dapat dianjurkan. 

IVB 

1.9. Terapi pembedahan dengan minimal invasive disaran  kan sebagai 

manajemen operatif untuk kanker endometrium risiko rendah-menengah.

IA 

1.10. Terapi pembedahan dengan minimal invasif dapat dipertimbangkan 

sebagai manajemen untuk kanker endometrium risiko tinggi.

IVC 

4.12. Vaginal hysterectomy dengan salfingo-oopherectomy dapat 

dipertimbangkan pada pasien yang tidak cocok dengan pilihan terapi pembedahan 

yang disaran  kan dan pada pasien tertentu dengan kanker endometrium 

risiko rendah.

IVC 

4.13. Pada pasien yang secara medis tidak cocok, RT atau terapi hormon dapat 

dipertimbangkan.

IVC 

4.2.2 Limfadenektomi pada terapi pembedahan kanker endometrium

saran   TERAPI PEMBEDAHAN PADA KANKER 

ENDOMETRIUM

TINGKAT 

BUKTI

5.1. Sitologi peritoneal sudah tidak lagi dipertimbangkan untuk staging. IVA 

5.2. Jika limfadenektomi dilakukan, pengangkatan nodus pelvis dan para aorta secara 

sistematik hingga tingkat vena renalis dapat dipertimbangkan.

IVB 

5.3. Sentinel Lymph Node Dissection (SLND) masih dalam tahap penelitian, tetapi 

studi dalam jumlah besar menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin untuk 

dilakukan. SLND meningkatkan pendeteksian nodus limfa dengan metastasis kecil 

dan sel tumor yang terisolasi; meski demikian, importance dari penemuan ini masih 

belum jelas.

IVD 

5.4. Limfadenektomi merupakan sebuah prosedur staging dan memungkinkan 

perancangan terapi adjuvant.

IIIB 

5.5. Pasien dengan karsinoma endometrioid risiko rendah (grade 1 atau 2 dan invasi 

myometrium superfisial <50%) memiliki risiko rendah terhadap keterlibatan nodus 

limfa dan dua penelitian RCT menyebutkan tidak adanya manfaat pada kesintasan. 

Oleh karena itu, limfadenektomi tidak disaran  kan pada pasien-pasien seperti 5.6. Pada pasien dengan risiko menengah (invasi myometrium dalam >50% atau 

grade 3 dengan invasi myometrium superfisial <50%), tidak ada data mengenai 

manfaat limfadenektomi terhadap kesintasan. Limfadenektomi dapat 

dipertimbangkan untuk staging.

IIC 

5.7. Pada pasien risiko tinggi (grade 3 dengan invasi myometrium dalam >50%), 

limfadenektomi disaran  kan.

IVB 

5.8. Limfadenektomi untuk melengkapi staging dapat dipertimbangkan pada pasien 

risiko tinggi yang sebelumnya melakukan terapi pembedahan guna merancang terapi 

adjuvant.

VC 

4.2.3 Pilihan terapi pembedahan radikal untuk stadium dan subtipe patologi yang berbeda 

pada kanker endometrium

saran   TERAPI PEMBEDAHAN PADA KANKER 

ENDOMETRIUM

TINGKAT 

BUKTI

6.1. Histerektomi radikal tidak disaran  kan untuk manajemen kanker 

endometrium stadium 2.

IVB 

6.2. Radikal histerektomi modifikasi (tipe B) atau tipe A perlu dipertimbangkan 

hanya jika didapatkan adanya free margins.

IVB 

6.3. Limfadenektomi disaran  kan untuk kanker endometrium stadium 2 

(klinis dan intraoperatif).

IVB 

6.4. Complete macroscopic cytoreduction dan staging komprehensif 

disaran  kan pada kanker endometrium stadium lanjut.

IVA 

6.5. Manajemen multimodalitas sebaiknya dipertimbangkan untuk terapi pada 

kanker endometrium stadium lanjut apabila pembedahan merusak fungsi vagina 

secara signifikan.

IVB 

6.6. Pada non-EEC (stadium 1), limfadenektomi disaran  kan. IVB 

6.7. Staging omentectomy bukan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan pada 

clear cell atau undifferentiated endometrial carcinoma dan karsinosarkoma.

IVC 

6.8. Staging omentectomy sebaiknya dipertimbangkan pada karsinoma serosa. IVC


saran   TINGKAT 

BUKTI

KANKER ENDOMETRIUM RISIKO RENDAH

8.1. Pasien dengan kanker endometrium risiko rendah (endometrioid stadium I, 

grade 1Y2, invasi miometrium G50%, LVSI negative), tidak disaran  kan 

pemberian terapi ajuvan.

KANKER ENDOMETRIUM RISIKO SEDANG

IA 

8.2. Pasien dengan kanker endometrium risiko sedang (endometrioid stadium I, 

grade 1Y2, invasi miometrium Q50%, LVSI negatif):

1. Brakiterapi ajuvan disaran  kan untuk menurunkan rekurensi vagina.

2. Pilihan lainnya: tidak diberikan terapi ajuvan (terutama pada pasien berusia 

G60 tahun).



KANKER ENDOMETRIUM RISIKO SEDANG-TINGGI

8.3. Pasien dengan kanker endometrium risiko sedang-tinggi (endometrioid stadium 

I, grade 3, invasi miometrium G50%, terlepas dari status LVSI; atau endometrioid 

stadium I, grade 1Y2, LV