Daftar Singkatan
Daftar Singkatan
1-RM : one-repetition maximum
ABI : ankle brachial index
ABPM : ambulatory blood pressure monitoring
ACC : American College of Cardiology
ACEi : angiotensin-converting enzyme inhibitor
ACR : albumin-creatinine ratio
ACSM : American College of Sports Medicine
ADA : American Diabetes Association
ADL : activities of daily living
AHA : American Heart Association
AKG : angka kecukupan gizi
AMT : Abbreviated Mental Test
apo-B : apolipoprotein-B
ARB : angiotensin receptor blocker
BB : berat badan
BBI : berat badan ideal
CAC : coronary artery calcium
CAD : coronary artery disease
CCB : calcium channel blockers
CCS : Canadian Cardiovascular Society
CCS : chronic coronary syndrome
CCTA : contrast computed tomography coronary angiography
CDA : Canadian Diabetes Association
CHEP : Canadian Hypertension Education Program
CHRNA : cholinergic receptor nicotinic alpha
CKD : chronic kidney disease
CMR : cardiac magnetic resonance
CONUT : Controlling Nutritional Status
CPG : clinical practice guidelines
CRP : C-reactive protein
CT : computed tomography
CTA : computed tomography angiography
CVD : cardiovascular disease
DASH : dietary approaches to stop hypertension
DASS : Depression Anxiety Stress Scale
DBP : diastolic blood pressure
DHA : docosahexaenoic acid
DM : diabetes melitus
DPP-4 : dipeptidyl peptidase-4
EASD : European Association for the Study of Diabetes
eGFR : estimated glomerulus filtration rate
EKG : elektrokardiografi
eLFP : estimasi laju filtrasi glomerulus
ENHANCED : Ezetimibe and Simvastatin in
Hypercholesterolemia Enhances Atherosclerosis
Regression
EPA : eicosapentaenoic acid
ESC : European Society of Cardiology
EuroQoL (EQ-5D) : Euro-Quality of Life Questionnaire
FMD : flow-mediated dilatation
FPG : fasting plasma glucose
GBD : Global Burden of Diseases
GDPT : glukosa darah puasa terganggu
GDS : Geriatric Depression Scale
GFR : glomerulus filtration rate
GLIM : Global Leadership Initiative on Malnutrition
GLP-1 : glucagon like peptide-1
GNRI : Geriatric Nutritional Risk Index
GT : glutamyl transferase
GYTS : Global Youth Tobacco Survey
HADS : Hospital Anxiety and Depression Scale
HbA1c : hemoglobin A1c
HCl : hydrochloric acid
HDL : high-density lipoprotein
HDL-C : high-density lipoprotein cholesterol
HFrEF : heart failure with reduced ejection fraction
HIIT : high intensity interval training
HMG : 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A
HMOD : hypertension-mediated organ damage
Heart QoL : Heart Quality of Life
HR max : heart rate maximum
HRQoL : health-related quality of life
HRR : heart rate reserve
HRV : heart rate variability
hsCRP : high-sensitivity C-reactive protein
IDF : International Diabetes Federation
IFNγ : interferon gamma
IL : interleukin
IMT : indeks massa tubuh
ISH : International Society of Hypertension
IVUS : intravascular ultrasound
J-EDIT : Japanese Elderly Diabetes Intervention Trial
KCCQ-12 : Cardiomyopathy Questioner (Kansas City)
kgBB : kilogram berat badan
KH : karbohidrat
KT : kolesterol total
LDL : low-density lipoprotein
LDL-C : low-density lipoprotein cholesterol
LP : lingkar pinggang
Lp(a) : lipoprotein(a)
LVH : left ventricle hypertrophy
MacNew : MacNew Heart Disease Health-Related Quality of
Life Questionnaire
MDA-LDL : maliondialdehyde-modified low-density lipoprotein
METs : metabolic equivalent of task
MICT : moderate intensity continuous training
MLHF : Minnesota Living with Heart Failure
MMSE : Mini Mental Status Examination
x
Daftar Singkatan
SNRI : serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors
SSRI : selective serotonin reuptake inhibitors
TBI : toe-brachial index
TDD : tekanan darah diastolik
TDS : tekanan darah sistolik
TG : trigliserida
TGT : toleransi glukosa terganggu
TIA : transient ischemic attack
TMA : trimethylamine
TMAO : trimethylamine N-oxide
TNF-α : tumor necrosis factor alpha
TTGO : tes toleransi glukosa oral
UHH : umur harapan hidup
USG : ultrasonografi
VLDL : very low-density lipoprotein
VO2 max : volume O2 maximum
VO2R : volume O2 reserve
WHO : World Health Organization
WHOQOL : World Health Organization Quality of Life
Assessment Instrument
MNA : Mini Nutritional Assessment
MODY : maturity onset diabetes of the young
MRA : magnetic resonance angiography
MRI : magnetic resonance imaging
MSCT : multislice computed tomography
MTI : moderate intensity training
MUFA : monounsaturated fatty acid
NCEP ATP : National Cholesterol Education Programme Adult
Treatment Panel
NHANES : National Health and Nutrition Examination Survey
NHP : Nottingham Health Profile
NICE : National Institute for Health and Care Excellence
OCT : optical coherence tomography
PAD : peripheral artery disease
PAI-1 : plasminogen activator inhibitor-1
PAP : penyakit arteri perifer
PCI : percutaneous coronary intervention
PCOS : polycystic ovarian syndrome
PCSK9 : proprotein convertase subtilisin/kexin type 9
PDGKI : Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia
PERHI : Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia
PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PGD : penyakit ginjal diabetik
PGK : penyakit ginjal kronik
PJK : penyakit jantung koroner
PKV : penyakit kardiovaskular
PKVA : penyakit kardiovaskular aterosklerosis
PNF : proprioceptive neuromuscular fasilitation
PP PERKI : Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia
PREDIMED : prevención con dieta mediterránea/prevention with
mediterranean diet
PTM : penyakit tidak menular
PUFA : polyunsaturated fatty acid
RAAS : renin-angiotensin-aldosteron
RLPP : rasio lingkar pinggang-panggul
ROM : range of motion
ROS : reactive oxygen species
RPE : rating of perceive exertion
SAFA : saturated fatty acid
SAQ : Seattle Angina Questionnaire
SBP : systolic blood pressure
SCORE-2 : Systemic Coronary Risk Estimation-2
SCOT-HEART : Scottish Computed Tomography of the Heart
SET : supervised exercise therapy
SF-36 : Medical Outcomes Study 3-item Short-Form Health
Survey
SGLT-2 : sodium-glucose co-transporter-2
SGOT : serum glutamic oxaloacetic transaminase
SGPT : serum glutamic pyruvic transaminase
SKK : sindrom koroner kronis
SMT : stress management training
SNP : single-nucleotide polymorphism
Penyakit kardiovaskular—termasuk penyakit jantung koroner, serebrovaskular, pembuluh darah perifer, jantung kongenital, jantung
reumatik, serta trombosis vena dalam dan emboli
paru-paru—telah menjadi penyebab kematian
utama di dunia, yakni mencapai 32%. Dari
seluruh kematian sebab penyakit tersebut, 85%
disebabkan oleh serangan jantung dan strok.1
Di Indonesia, kematian akibat penyakit
infeksi masih cukup tinggi. Selain itu, penyakit
tidak menular turut meningkatkan kematian. Data
2014 menunjukkan bahwa angka kematian akibat
penyakit tidak menular mencapai 71%. Penyebab
kematian tertinggi pada penduduk berusia 30—
70 tahun ialah penyakit serebrovaskular (20,7%),
penyakit jantung iskemik (14,9%), dan diabetes
melitus (9,6%).2
Prevalensi penyakit tidak menular juga
meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit
jantung—termasuk jantung bawaan yang
didiagnosis dokter—mencapai 1,5%, sedikit lebih
tinggi pada mereka yang tinggal di perkotaan
(1,6%) dibanding yang tinggal di pedesaan (1,3%).
Di sisi lain, prevalensi strok berdasarkan diagnosis
dokter pada penduduk berusia 15 tahun ke atas
mencapai 1,09% (di perkotaan 1,26% dan di
pedesaan 0,88%).3 Studi menunjukkan angka
disparitas prevalensi penyakit serta faktor risiko
berdasarkan sosioekonomi dan tempat tinggal
lebih tinggi di daerah urban.4
Penyakit tidak menular, terutama
serebrovaskular dan jantung koroner, pada
umumnya dianggap sebagai penyakit yang
disebabkan aterosklerosis dan dikaitkan dengan
proses degeneratif. Ciri dari penyakit ini ialah
peningkatan prevalensi pada populasi yang
mempunyai faktor risiko dan yang berusia lanjut.
Saat ini faktor risiko konvensional untuk penyakit
kardiovaskular berbasis aterosklerosis itu sudah
dapat diidentifikasi, antara lain, hipertensi,
diabetes melitus, hiperkolesterol, merokok, pola
hidup sedenter, dan obesitas.5
Data faktor risiko penyakit kardiovaskular
dari Riskesdas menunjukkan bahwa 12%
penduduk mempunyai kadar kolesterol LDL yang
termasuk tinggi dan sangat tinggi. Di samping itu,
prevalensi diabetes melitus mencapai 10,9% dan
prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran
pada penduduk berusia >18 tahun mencapai
34,11%. Sementara itu, kebiasaan buruk, seperti
merokok, pada penduduk berusia ≥10 tahun
mencapai 28,9%. Hal-hal tersebut diperparah
dengan prevalensi makan buah atau sayur minimal
lima porsi sehari yang hanya mencapai 4,6% pada
penduduk berusia di atas 15 tahun. Di sisi lain,
aktivitas fisik yang dianggap kurang pada penduduk
berusia ≥10 tahun, yakni sebanyak 33,5%, harus
dipertimbangkan sebab berhubungan dengan
peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskular.3
Seiring peningkatan prevalensi penyakit,
beban ekonomi akan bertambah, baik secara
langsung maupun tidak, sebab terdapat
peningkatan beban biaya pelayanan kesehatan
untuk menangani penyakit ini serta komplikasi
sesudah nya. Selain biaya tersebut, terdapat biaya
akibat penurunan produktivitas sebab sakit atau
komplikasinya.6
Biaya besar untuk penanganan penyakit
kardiovaskular tentu tidak dapat berkurang
dengan hanya berfokus pada peningkatan
kapasitas pelayanan kesehatan, sarana dan
peralatan, atau kemampuan personel dalam tata
laksana penyakit. Untuk menekan biaya, prevensi
agar penyakit tersebut tidak muncul pada populasi
yang masih sehat (prevensi primer) juga penting
untuk dilakukan. Begitu pula dengan prevensi
serangan ulangan, perburukan, atau perawatan
berulang untuk yang pernah mengalami penyakit
kardiovaskular (prevensi sekunder).
Penyakit kardiovaskular merupakan
penyakit yang sangat ideal untuk dicegah
mengingat beberapa hal berikut.
1. Faktor risiko penyakit telah banyak diketahui
dan dipelajari.
2. Terdapat onset yang panjang antara
keberadaan faktor risiko dan kejadian
penyakit.
3. Kejadian penyakit dapat mendadak dan
berakibat fatal, lalu menyisakan masalah besar
sepanjang hidup.
4. Biaya penanganan penyakit sangat tinggi.
5. Secara umum, prevensi dapat dilakukan
melalui perbaikan gaya hidup.
Sehubungan dengan hal tersebut,
implementasi upaya prevensi penyakit
kardiovaskular sangatlah penting. Hal itu terlihat
pada efektivitas yang telah dibuktikan dalam
menurunkan angka kematian. Kondisi demikian
terjadi jika panduan yang berdasarkan bukti ilmiah
diimplementasikan dengan baik.7
Dalam prevensi dan pengendalian faktor
risiko penyakit tidak menular, terdapat empat
strategi nasional, yaitu 2
1. advokasi, kerja sama, kepemimpinan, dan tata
laksana penyakit tidak menular;
2. upaya promotif, preventif, dan penurunan
faktor risiko penyakit melalui pemberdayaan
masyarakat;
3. penguatan kapasitas pelayanan kesehatan
melalui kolaborasi sektor swasta dan
profesional; serta
4. penguatan surveilans dan penelitian dalam
bidang penyakit tidak menular.
Dalam upaya mendukung prevensi terhadap
penyakit kardiovaskular itulah, penyusunan buku
panduan prevensi ini dianggap perlu. Buku ini
dapat dipergunakan oleh dokter-dokter spesialis
penyakit jantung di seluruh Indonesia serta
pemberi pelayanan kesehatan lainnya, termasuk
pihak pengambil keputusan, sehingga upaya ini
dapat berjalan sinergis antara profesional pemberi
pelayanan kesehatan, pembuat kebijakan, dan
masyarakat.
2. Tujuan
Panduan prevensi penyakit kardiovaskular akibat
aterosklerosis ini disusun dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Menjadi panduan efektif dan efisien dalam
kegiatan pelayanan klinis untuk para dokter
spesialis penyakit jantung dan pembuluh
darah anggota Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI) serta
dokter spesialis lain dan dokter yang bekerja
di fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam
upaya prevensi penyakit kardiovaskular di
tingkat individu atau populasi, baik di klinik
atau di populasi
2. Menjadi bahan masukan untuk pemerintah
pusat atau daerah dan pembuat kebijakan
lain dalam penyusunan dan implementasi
program prevensi penyakit kardiovaskular
3. Mengarusutamakan program prevensi
penyakit kardiovaskular sebagai upaya
penurunan angka prevalensi, kematian, dan
kesakitan, serta menurunkan biaya langsung
dan tidak langsung akibat penyakit tersebut
3. Ruang Lingkup
Buku panduan ini dikhususkan untuk prevensi
penyakit kardiovaskular berbasis aterosklerosis.
Panduan ini dapat digunakan
1. dalam upaya pelayanan kesehatan, baik
terhadap individu maupun populasi;
2. oleh tenaga kesehatan dalam pelayanan; serta
3. oleh pembuat kebijakan dalam menyusun dan
mengimplementasikan program prevensi.
Dalam buku panduan ini, akan dibahas
dan ditetapkan Saran mengenai
1. pendahuluan panduan prevensi penyakit
kardiovaskular aterosklerosis di Indonesia;
2. faktor risiko penyakit kardiovaskular
aterosklerosis dan skor prediksi kejadian
penyakit kardiovaskular;
3. panduan cek up fisik dan cek up
penunjang faktor risiko penyakit
kardiovaskular aterosklerosis;
4. panduan modifikasi gaya hidup, terutama
latihan fisik, diet dan nutrisi, obesitas, dan
penghentian merokok;
5. PERAWATAN INTENSIF hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, dan sindrom kardiometabolik;
6. pengendalian stres, faktor psikososial,
kualitas hidup, dan penyakit kardiovaskular
aterosklerosis; serta
7. prevensi penyakit kardiovaskular aterosklerosis
pada populasi lansia.
4. Definisi Operasional
Definisi operasional pada panduan ini, antara lain,
• prevensi primer: upaya terpadu dalam
mengurangi risiko pada individu yang
belum mempunyai atau menderita penyakit
kardiovaskular, namun sudah diketahui
mempunyai faktor risiko;
• prevensi sekunder: upaya terpadu dalam
mengurangi akibat atau komplikasi penyakit
kardiovaskular yang sudah diderita;
• faktor risiko: kondisi tertentu yang
meningkatkan kemungkinan kemunculan
penyakit kardiovaskular pada masa
mendatang; dan
• penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVA):
penyakit jantung koroner, arteri perifer, dan
serebrovaskular.
5. Penyusunan Buku Panduan Ini
Setiap Saran dalam buku panduan ini
ditetapkan dengan cara
1. menelaah literatur publikasi ilmiah, dokumen
pedoman, terbitan, atau buku ilmiah lain;
2. mengadopsi panduan sejenis dari European
Society of Cardiology (ESC), American
College of Cardiology/American Heart
Association (ACC/AHA), World Health
Organization (WHO), dan organisasi lain di
luar dan dalam negeri;
3. menyesuaikan dengan kesepakatan atau
opini para ahli (dokter spesialis jantung
dan pembuluh darah dari Kelompok
Kerja [Pokja] Prevensi dan Rehabilitasi
Kardiovaskular PP PERKI yang ditunjuk)
jika ada adopsi Saran yang dianggap
tidak sesuai dengan konsep/nilai-nilai yang
dianut masyarakat Indonesia atau jika ada
kemungkinan kesulitan dalam penerapannya;
4. melibatkan beberapa dokter spesialis lain,
seperti spesialis penyakit dalam, spesialis gizi
klinik, dan spesialis kedokteran jiwa;
5. menyesuaikan dengan kesepakatan atau opini
para ahli jika belum ada Saran yang
dapat dijadikan rujukan; serta
TABEL : 1.1 Klasifikasi Kelas Saran Panduan Prevensi PKVA*
Kelas
Saran I
Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan bahwa suatu pengobatan/
tindakan bermanfaat dan efektif sehingga disarankan atau diindikasikan.
Kelas
Saran II
Bukti dan/atau kesepakatan bersama lebih mengarahkan keberadaan efektivitas
atau manfaat suatu pengobatan/tindakan sehingga beralasan untuk dilakukan.
Dengan demikian, hal tersebut sebaiknya/seharusnya dipertimbangkan (kelas
Saran IIa) atau dianjurkan (kelas Saran IIb).
Kelas
Saran III
Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan bahwa suatu pengobatan/
tindakan tidak bermanfaat, bahkan berkemungkinan membahayakan pada
beberapa kasus, sehingga tidak disarankan atau dikontraindikasikan.
TABEL : 1.2 Klasifikasi Tingkat Bukti Panduan Prevensi PKVA*
Tingkat Bukti A Data berasal dari beberapa penelitian klinis acak berganda atau metaanalisis
terkait PKVA.
Tingkat Bukti B Data berasal dari satu penelitian acak berganda/beberapa penelitian tidak acak
terkait PKVA.
Tingkat Bukti C Data berasal dari konsensus para pakar dan/atau penelitian kecil, studi
retrospektif, atau register terkait PKVA.
TABEL : 1.3 Klasifikasi Tingkat Saran Pernyataan Kesepakatan atau Opini Para Ahli
Kelas I Kesepakatan bersama para ahli (>80%) yang menyatakan bahwa suatu
pengobatan/tindakan bermanfaat dan efektif sehingga disarankan
Kelas II Kesepakatan bersama para ahli (>80%) yang menyatakan bahwa suatu
pengobatan/tindakan mungkin bermanfaat dan tidak membahayakan sehingga
harus atau perlu dipertimbangkan
Kelas III Kesepakatan bersama para ahli (>80%) yang menyatakan bahwa suatu
pengobatan/tindakan tidak bermanfaat, bahkan berkemungkinan
membahayakan, sehingga tidak disarankan
*Adopsi dari pedoman European Society of Cardiolgy, American College of Cardiology/
American Heart Association, World Health Organization, atau organisasi lain
6. mencantumkan pernyataan kesepakatan (PK)
para ahli dalam tingkatan sesuai persentase
persetujuan para ahli (>80% persetujuan)
yang meliputi (1) disarankan (tingkat
Saran kelas I), (2) dipertimbangkan
(tingkat Saran kelas II), atau (3) tidak
disarankan (tingkat Saran kelas
III).
Penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVA) saat ini masih menjadi pembunuh nomor satu di dunia, termasuk di
Indonesia. Timbulnya penyakit ini pada
seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko
kardiovaskular, mulai dari faktor risiko tradisional
hingga faktor risiko lain yang dapat memperberat
risiko PKVA. Paparan yang terus-menerus
dari kombinasi faktor-faktor ini akan memicu
progresivitas aterosklerosis yang kemudian
bermanifestasi menjadi PKVA. Kejadian PKVA
mencakup angina pektoris, infark miokard, gagal
jantung, dan penyakit serebrovaskular.
Sebagai bagian dari upaya prevensi primer,
stratifikasi risiko dan landasan untuk PERAWATAN INTENSIF
sangat penting dibuat dengan tujuan untuk
mendeteksi dini faktor risiko setiap individu. Oleh
sebab itu, dibutuhkan suatu panduan dalam
menghitung skor untuk mengestimasi risiko
penyakit kardiovaskular pada masa yang akan
datang.
2. Faktor Risiko Tradisional
Penyebab utama dan faktor risiko tradisional PKVA
yang dapat dimodifikasi antara lain kolesterol
LDL (LDL-C atau low-density lipoprotein cholesterol),
tekanan darah tinggi/hipertensi, merokok, dan
diabetes melitus (DM). Faktor risiko penting
lainnya yaitu adipositas (kelebihan timbunan
lemak pada tubuh) yang akan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular melalui peran faktor risiko
tradisional utama dan mekanisme lainnya.1
2.1 Kolesterol
Dalam patofisiologi terjadinya PKVA, peran
kolesterol LDL, dan lipoprotein lain yang
mengandung apolipoprotein-B (apo-B) sebagai
penyebab PKVA telah terbukti dalam penelitian
genetik, observasional, dan interventif. Alasan
kolesterol LDL merupakan faktor risiko PKVA
ialah sebagai berikut.2
• Berdasarkan banyak penelitian dan hasil
uji acak dengan kontrol, rendahnya kadar
kolesterol LDL untuk waktu yang panjang
dikaitkan dengan risiko PKVA yang lebih
rendah. Selain itu, penurunan kolesterol LDL
juga terbukti aman dalam menurunkan risiko
PKVA, bahkan pada tingkat kolesterol LDL
yang sangat rendah (misalnya <55 mg/dL).
• Penurunan risiko relatif PKVA sebanding
dengan penurunan absolut dari kadar
kolesterol LDL, terlepas dari obat apa yang
digunakan untuk mencapai perubahan
tersebut.
• Manfaat absolut dari penurunan kolesterol
LDL dipengaruhi oleh risiko absolut PKVA
dan penurunan absolut kadar kolesterol LDL.
• Kolesterol non-high-density lipoprotein (kolesterol
non-HDL) mencakup semua lipoprotein
aterogenik (mengandung apo-B). Kolesterol
non-HDL didapatkan dari penghitungan
kolesterol total dikurangi dengan kolesterol
HDL. Hubungan antara kolesterol non-
HDL dengan risiko kardiovaskular sama kuat
jika dibandingkan dengan kolesterol LDL.
8
Kadar kolesterol non-HDL pada dasarnya
mengandung informasi yang sama dengan
pengukuran konsentrasi plasma apo-B.
2.2 Tekanan Darah
Studi longitudinal, studi epidemiologi genetik,
dan uji acak dengan kontrol telah menunjukkan
bahwa peningkatan tekanan darah merupakan
faktor risiko PKVA dan PKV nonaterosklerosis
(terutama gagal jantung). Peningkatan tekanan
darah tersebut memicu 9,4 juta kematian
dan 7% kecacatan.
Peningkatan tekanan darah merupakan
faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung, serebrovaskular, arteri ekstremitas bawah
(lower extremity arterial disease), gagal ginjal kronis,
dan fibrilasi atrium. Risiko kematian meningkat
secara linier jika tekanan darah sistolik lebih dari
90 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari
75 mmHg, baik pada kasus PJK maupun strok.1
Manfaat absolut dari penurunan tekanan
darah sistolik (TDS) dipengaruhi oleh risiko
absolut dan penurunan TDS absolut.1
2.3 Merokok
Lima puluh persen penyebab kematian PKV
yaitu merokok. Setengahnya disebabkan
oleh PKVA. Di seluruh dunia, merokok yaitu
faktor risiko yang menonjol sesudah hipertensi.
Seseorang yang merokok seumur hidup memiliki
kemungkinan 50% meninggal akibat kebiasaan
merokok tersebut dengan rata-rata penurunan
usia hidup hingga 10 tahun. Perokok dengan usia
di bawah 50 tahun memiliki risiko PKVA lima kali
lebih tinggi jika dibandingkan dengan mereka yang
tidak merokok. Sementara itu, aktivitas merokok
pasif dan pemakaian jenis rokok tembakau tanpa
asap juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
PKVA.1
Merokok, baik aktif maupun pasif,
merupakan prediktor independen yang kuat
terhadap PJK. Di sisi lain, banyak penelitian yang
melaporkan manfaat berhenti merokok terhadap
perbaikan risiko terjadinya PJK dan risiko
perburukan PJK. Salah satu manfaat tersebut
ialah penurunan mortalitas pada pasien dengan
infark miokard sebesar 36%.2
2.4 Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) tipe I, DM tipe II, dan
prediabetes merupakan faktor risiko independen
untuk PKVA. Ketiganya meningkatkan risiko
PKVA sekitar dua kali lipat tergantung dari
populasi dan kontrol terapeutik. Dari segi jenis
kelamin, perempuan dengan DM tipe II memiliki
risiko strok yang lebih tinggi. Sementara itu, pasien
dengan DM tipe II cenderung memiliki beberapa
faktor risiko PKVA, termasuk dislipidemia dan
hipertensi. Kedua faktor tersebut berkaitan dengan
peningkatan risiko PKVA dan non-PKVA.1
2.5 Adipositas dan Obesitas
Selama beberapa dekade terakhir, pemakaian
parameter indeks massa tubuh (IMT)—yang
dihitung dari pembagian antara berat badan
(dalam kg) dan kuadrat tinggi badan (dalam m2)—
telah meningkat secara substansial pada anak-
anak, remaja, dan orang dewasa di seluruh dunia.
Hubungan antara IMT dengan kematian pada
populasi nonperokok menunjukkan pola hubungan
linier, sedangkan hubungan antara IMT dengan
kematian pada populasi perokok menunjukkan
pola berbentuk kurva J (J curve). Pada populasi
orang sehat, risiko kematian terendah terjadi pada
mereka yang memiliki IMT 20–25 kg/m2 dengan
hubungan kurva berbentuk J atau U.
Sementara itu, obesitas (sentral)—yang
ditandai dengan lebar lingkar pinggang—
berhubungan dengan PKV dan diabetes, terutama
pada usia muda. Walaupun ditemukan bukti
ilmiah tentang hubungan obesitas pada pasien
gagal jantung bertentangan, studi metaanalisis
menyimpulkan bahwa IMT dan lingkar pinggang
memiliki hubungan yang kuat dengan PKVA dan
DM tipe II.1,2
9
2.6 Jenis Kelamin dan Gender
Pertimbangan pengintegrasian jenis kelamin,
gender, dan identitas gender ke dalam penilaian
risiko serta manajemen klinis individu dan populasi
merupakan hal yang penting pada pedoman
prevensi yang ada saat ini. Hubungan jenis kelamin
dan kejadian PKVA sendiri cukup kompleks.
Sebelumnya, harus dipahami bahwa
definisi gender mengacu pada karakteristik, norma,
perilaku, dan peran yang dikonstruksi secara sosial
pada perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan
anak laki-laki. Sebagai konstruksi sosial, gender
bervariasi pada tiap masyarakat. Gender juga
dapat berubah dari waktu ke waktu.
Definisi gender dalam bidang kesehatan
global lebih lanjut menyatakan bahwa gender
mengacu pada norma-norma yang dibangun
secara sosial. Norma tersebut memaksakan dan
menentukan peran, hubungan, dan kekuatan
posisional untuk semua orang sepanjang hidup
mereka. Pada akhirnya, gender berpengaruh
terhadap pengalaman individu dan akses individu
tersebut ke suatu layanan kesehatan.
Efek epigenetik konstruksi sosial juga
menunjukkan adanya efek jenis kelamin biologis
terhadap patofisiologi penyakit. Lebih jauh,
konstruksi sosial juga dapat menjadi penentu
akses kesehatan, pemanfaatan layanan kesehatan,
persepsi penyakit, pengambilan keputusan, dan
mungkin respons terapeutik, termasuk di bidang
prevensi PKV dan PKVA
3. Faktor Risk Modifier yang
Potensial
Selain faktor risiko PKVA konvensional,
terdapat beberapa faktor risiko lain yang dapat
memengaruhi luaran prediksi risiko. Faktor risiko
demikian dikenal sebagai risk modifier. Menurut
ESC,3 syarat risk modifier dapat dipertimbangkan
apabila
• memperbaiki ukuran prediksi risiko, seperti
mempunyai nilai diskriminasi atau reklasifikasi
(misalnya dengan perhitungan net reclassification
index);
• memiliki dampak yang jelas pada kesehatan
masyarakat (misalnya manfaatnya pada
skrining PKVA);
• mempunyai kemungkinan untuk dapat
dikerjakan (feasible) dalam praktik sehari-hari;
• mengandung informasi mengenai perubahan
luaran risiko yang dipengaruhi keberadaan
risk modifier; dan
• memiliki literatur tentang risk modifier yang
tidak terdistorsi oleh bias publikasi.
Berdasarkan syarat-syarat di atas, berikut
beberapa risk modifier yang perlu dipertimbangkan
dalam prediksi risiko kardiovaskular.
3.1 Faktor Stres Psikososial
Stres psikososial dikaitkan dengan perkembangan
dan progresi PKVA, terlepas dari faktor risiko
konvensional dan jenis kelamin. Stres psikososial
mencakup gejala stres (gangguan mental) serta
stresor, seperti kesepian dan peristiwa kehidupan
yang berat. Sebaliknya, indikator kesehatan
mental, seperti optimisme dan tujuan yang kuat,
dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah terhadap
progresi PKVA. Stres psikososial memiliki efek
biologis langsung serta sangat berkorelasi dengan
faktor risiko sosial ekonomi dan perilaku (misalnya
merokok dan kepatuhan yang buruk).2
sebab faktor aspek psikologis pada
pasien PKVA merupakan hal yang penting,
beberapa pedoman me Saran kan skrining
stres psikologis pada pasien PKVA.4–6 Penelitian
kohort prospektif dengan median follow up 8,4
tahun menunjukkan pentingnya skrining depresi
terhadap kejadian PKVA.7
3.2 Etnisitas
Etnisitas berpengaruh terhadap sebuah prediksi
risiko kardiovaskular. Sebagai contoh, di Eropa
terdapat banyak warga yang berlatar belakang
etnis dari negara-negara lain, seperti India, Cina,
Afrika Utara, dan Pakistan. Dengan variabilitas
faktor risiko PKVA yang cukup besar di antara
kelompok etnis, tidak terdapat skor tunggal terkait
risiko penyakit kardiovaskular tunggal yang dapat
diterapkan di semua kelompok etnis. Sebaliknya,
pemakaian faktor pengali akan membantu untuk
memperhitungkan risiko PKVA pada kelompok
etnis tertentu, terlepas dari faktor risiko lain dalam
skor risiko yang ada. Imigran dari Asia Selatan
(terutama India dan Pakistan) menunjukkan
tingkat PKVA yang lebih tinggi. Alasan perbedaan
risiko di antara kelompok etnis tersebut masih
belum dapat dijelaskan sepenuhnya.3
Pada populasi Indonesia, Jakarta
Cardiovascular Score (JAKVAS Score) merupakan
salah satu model prediksi risiko yang diteliti pada
populasi lokal.11 Model prediksi lain yang melibatkan
populasi Indonesia ialah grafik prediksi risiko
(risk prediction charts) World Health Organization/
International Society of Hypertension (WHO/
ISH) pada 2019 yang menempatkan Indonesia di
regional Asia Tenggara dari empat belas wilayah
penelitian.8
3.3 Pencitraan
Terdapat beberapa modalitas pencitraan yang
dapat menjadi risk modifier dari prediksi risiko
kardiovaskular yang sudah ada.3
1. Coronary Artery Calcium
Skor coronary artery calcium (CAC) dapat
mereklasifikasi risiko PKVA menjadi lebih
meningkat atau menurun. pemakaian nya
dapat dipertimbangkan pada populasi
laki-laki ataupun perempuan yang berada
pada nilai ambang dengan model prediksi
risiko. Ketersediaan dan efisiensi biaya
dari pemakaian skor CAC tentu harus
dipertimbangkan berdasarkan daerah masing-
masing. Di Indonesia, beberapa rumah
sakit tipe B dan A telah memiliki sarana
multislice computed tomography (MSCT) untuk
menilai skor CAC sehingga pemakaian nya
dalam mereklasifikasi risiko PKVA dapat
dipertimbangkan.
2. Contrast Computed Tomography
Coronary Angiography
Contrast computed tomography coronary angiography
(CCTA) dapat mendeteksi stenosis koroner dan
memprediksi kejadian kardiovaskular. Dalam
studi Scottish Computed Tomography of the
Heart (SCOT-HEART), tingkat kematian
koroner atau infark miokard selama 5 tahun
berkurang ketika CCTA digunakan pada
pasien angina pektoris stabil. Penurunan relatif
pada infark miokard ditemukan pula pada
pasien dengan nyeri dada nonkardiak (non
cardiac chest pain) ketika dilakukan cek up
CCTA. Sementara itu, peningkatkan klasifikasi
risiko atau penambahan nilai prognostik atas
skor CAC oleh CCTA masih belum diketahui.
3. Ultrasonografi Karotis
pemakaian parameter ketebalan media intima
(intima-media thickness) untuk meningkatkan
penilaian risiko tidak dianjurkan sebab
kurangnya standardisasi metodologi dan
ketiadaan nilai tambah ketebalan tersebut
dalam memprediksi kejadian PKVA di
kemudian hari, termasuk pada kelompok risiko
menengah.9
Meskipun bukti ilmiah ultrasonografi
karotis tidak sebanyak bukti ilmiah skor CAC,
penilaian plak arteri karotis menggunakan
ultrasonografi untuk mereklasifikasi risiko
PKVA masih dapat dilakukan. Penilaian
tersebut juga dapat dianggap sebagai risk modifier
pada pasien dengan risiko menengah ketika
skor CAC tidak mungkin untuk dilakukan.
4. Arterial Stiffness
Arterial stiffness atau kekakuan arteri
biasanya diukur dengan menggunakan
11
kecepatan gelombang nadi aorta atau indeks
augmentasi arteri. Penelitian-penelitian yang
ada menunjukkan bahwa kekakuan arteri
memprediksi risiko CVD di kemudian hari
dan meningkatkan klasifikasi risiko. Namun,
kesulitan pengukuran dan bias publikasi yang
substansial membuat parameter ini tidak
digunakan secara luas.
5. Ankle Brachial Index
Diperkirakan bahwa 12%—27% individu
paruh baya memiliki ankle brachial indeks (ABI)
<0,9. Sekitar 50%—89% di antaranya tidak
memiliki klaudikasio tipikal.10 Metaanalisis data
pasien individu menyimpulkan bahwa potensi
reklasifikasi berdasarkan ABI terbatas.11
3.4 Frailty
Frailty tidak sama dengan penuaan. Frailty dapat
meningkat sesuai dengan usia, namun orang dengan
usia yang sama belum tentu memiliki kesamaan
tingkat frailty. Hal tersebut tergantung status
kesehatan dan kebugaran seseorang.
Skrining untuk frailty diindikasikan untuk
setiap pasien lanjut usia, namun skrining tersebut
juga dapat dilakukan pada orang-orang dengan
risiko percepatan penuaan. Selain itu, penilaian
frailty penting pada setiap tahap PKVA. Namun,
apabila peristiwa PKVA itu akut, penilaian menjadi
lebih sulit dan bergantung pada anamnesis. Pilihan
lainnya ialah penundaan penilaian sampai pasien
kembali ke kondisi stabil.3 Beberapa penilaian frailty
yang umum digunakan, antara lain, Edmonton
Frail Scale dan Frailty Index 40 Items.
3.5 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga merupakan indikator yang
sederhana dari risiko PJK. Riwayat keluarga
mencerminkan interaksi genetik dan lingkungan.
Beberapa studi yang menilai efek dari riwayat
keluarga dan genetik menyimpulkan bahwa
riwayat keluarga tetap terkait secara signifikan
dengan PKVA, termasuk sesudah penyesuaian
penskoran genetik.12,13 Namun, riwayat keluarga
hanya sedikit meningkatkan prediksi risiko PKVA
di luar faktor risiko konvensional.14,15 Hal ini dapat
dijelaskan sebab variasi definisi yang digunakan.
3.6 Sosial Ekonomi
Pada laki-laki maupun perempuan, status sosial
ekonomi yang rendah dan stres di lingkungan kerja
secara independen berkaitan dengan timbulnya
PKVA dan prognosis PKVA.Terdapat hubungan
yang kuat dengan risiko hampir dua kali lipat
antara pendapatan rendah dan mortalitas PKVA.16
3.7 Paparan Lingkungan
Paparan lingkungan yang berpotensi memodifikasi
risiko PKVA meliputi polusi udara dan tanah
serta tingkat kebisingan di atas ambang batas.
Polusi udara yang dimaksud dapat berupa polutan
gas (misalnya ozon, nitrogen dioksida, senyawa
organik yang mudah menguap, karbon monoksida,
dan sulfur dioksida). Polutan tersebut dihasilkan
terutama oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Selain itu, polusi tanah dan air juga merupakan
pengubah risiko PJK. Peningkatan paparan timbal,
arsenik, dan kadmium dikaitkan dengan beberapa
luaran PJK, termasuk hipertensi, penyakit jantung
kronis, strok, dan mortalitas.3
3.8 Biomarker dalam Darah atau Urin
Banyak biomarker yang telah diteliti untuk
memperbaiki stratifikasi risiko. Beberapa mungkin
penyebab PKVA secara langsung (misalnya
lipoprotein [a] yang mencerminkan komponen
lipid patogen), sedangkan biomarker yang
lain mungkin berperan pada sebagian proses
patofisiologi yang mendasari terjadinya PKVA
(misalnya C-reactive protein yang mencerminkan
peradangan) atau kerusakan jantung tahap awal
(misalnya peptida natriuretik atau high sensitive
cardiac troponin).
12
Dalam pedoman ESC 2016, pengecekan
rutin biomarker sebenarnya tidak disarankan
sebab sebagian besar biomarker tidak banyak
meningkatkan prediksi risiko. Potensi bias publikasi
juga dapat mendistorsi bukti. Namun, beberapa
penelitian terbaru makin memperlihatkan
kegunaan biomarker dalam reklasifikasi prediksi
kardiovaskular, seperti cek up biomarker
CRP dan Lp(a).17,18 Beberapa biomarker jantung
memang terlihat menjanjikan, namun tetap
diperlukan penelitian lanjutan dalam skala besar
untuk menentukan pemakaian nya.
4. Menghitung Skor Risiko PKVA
Selain dapat digunakan untuk memprediksi angka
mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular
di kemudian hari pada tingkat individu atau
populasi tertentu, estimasi risiko penyakit
kardiovaskular berguna untuk memberi informasi
kepada pembuat kebijakan dan otoritas kesehatan
yang berwenang untuk mengendalikan risiko ini.
Selain itu, estimasi risiko dapat menginspirasi
individu untuk mengubah gaya hidup dan perilaku
kesehatannya.19
Pada 2021, European Society of
Cardiology (ESC) mengeluarkan suatu algoritma
untuk menghitung skor prediksi risiko 10 tahun
kejadian PKVA yang bernama Systemic Coronary
Risk Estimation-2 (SCORE-2).2 Algoritma skor
prediksi ini termaktub dalam “ESC Guidelines
on CVD Prevention” 2021 dan merupakan
modifikasi dari algoritma Systemic Coronary Risk
Estimation (SCORE) yang dikeluarkan dalam
panduan sebelumnya, “ESC Guidelines on CVD
Prevention” 2016.20
Algoritma SCORE digunakan untuk
memperkirakan risiko kematian akibat penyakit
kardiovaskular dalam 10 tahun. Namun ternyata,
morbiditas kardiovaskular (infark miokard nonfatal
dan strok nonfatal) yang dikombinasikan dengan
mortalitas kardiovaskular memberikan gambaran
yang lebih baik tentang risiko PKVA dibandingkan
jika hanya memperhitungkan mortalitas saja. Oleh
sebab itu, algoritma SCORE-2 yang dikeluarkan
ESC pada 2021 memperhitungkan keduanya, baik
mortalitas maupun morbiditas nonfatal. Meskipun
demikian, SCORE-2 memiliki kekurangan, yaitu
penerapan yang belum tentu sesuai di Indonesia
sebab data-data yang dipergunakan merupakan
data kohort dari penduduk Eropa dan tidak
mewakili penduduk Asia, khususnya Indonesia.
Perbedaan lainnya antara SCORE
dan SCORE-2 pada algoritma terbaru ialah
perhitungan tersendiri yang dilakukan apabila
individu sudah di atas 70 tahun. Algoritma
SCORE-2 dipergunakan pada individu di bawah
70 tahun, sedangkan untuk usia di atas 70 tahun,
ESC me Saran kan pemakaian algoritma
skor SCORE2-OP.
Terdapat dua pertimbangan khusus yang
berlaku untuk estimasi risiko 10 tahun PKVA pada
lansia. Pertama, gradien hubungan antara faktor
risiko klasik (seperti lipid dan tekanan darah) dan
risiko kardiovaskular akan melemah sejalan dengan
penambahan usia. Kedua, kontribusi CVD free
survival akan semakin berkurang pada overall survival
dengan pertambahan usia sebab risiko mortalitas
non-CVD (competing risk) yang semakin bertambah,
seperti kanker.3
Pada tahun 2019, WHO CVD Risk
Chart Working Group menerbitkan hasil
penelitian berupa algoritma skor prediksi 10 tahun
PKVA. Penelitian ini bersifat global sebab skor
mencakup 21 kawasan negara berdasarkan studi
Global Burden of Diseases (GBD).4 Salah satu
kawasan yang ditetapkan ialah Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Oleh sebab itu, skor ini
dapat diterapkan di Indonesia. Studi tersebut
mengikutsertakan 376.177 data peserta dari 85
studi kohort dan 19.333 insiden kardiovaskular
dalam 10 tahun masa follow up.19
WHO membagi chart estimasi risiko setiap
kawasan menjadi dua bagian, yaitu estimasi risiko
yang berdasarkan hasil laboratorium (laboratory
based) dan yang tidak berdasarkan laboratorium
(nonlaboratory based). Perhitungan yang tidak
13
berdasarkan laboratorium dimaksudkan untuk
daerah–daerah yang memiliki keterbatasan
fasilitas laboratorium. Oleh sebab itu, daerah–
daerah terpencil di Indonesia yang sulit memiliki
akses laboratorium dapat memakai skor ini.
Para ahli Pokja Prevensi dan Rehabilitasi
PERKI sepakat menyetarakan skor risiko WHO
secara kualitatif dengan estimasi risiko dari
sumber lain, seperti SCORE-2. Estimasi risiko
WHO dibagi menjadi lima secara kualitatif, yaitu
risiko rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi, dan
sangat sangat tinggi. Perlu diketahui bahwa angka
skor estimasi risiko 10 tahun ini bersifat arbitrer
sebab persentase skor dapat berbeda antara skor
risiko WHO dan lainnya (skor risiko dari ESC,
ACC/AHA, dll.). Sementara itu, nilai kualitatif
skor dapat disetarakan jika diperlukan untuk
kepentingan Saran PERAWATAN INTENSIF .
Kategori risiko tidak serta-merta
dipakai menjadi dasar untuk memulai terapi
medikamentosa. Pada semua kelompok usia,
pertimbangan risk modifiers, lifetime CVD risk, manfaat
pengobatan, komorbiditas, frailty, dan preferensi
pasien ikut memengaruhi pilihan pengobatan.
Selain itu, harus diingat bahwa risiko beberapa
pasien dapat turun ke kategori yang lebih rendah
tanpa pengobatan dan dapat terjadi hanya dengan
berhenti merokok.3
TABEL : 2.1 Pernyataan Kesepakatan Ahli tentang Skor Prediksi Risiko Kardiovaskular
Pernyataan Kesepakatan Ahli
Kelas
Saran
Perhitungan skor prediksi risiko kardiovaskular berdasarkan
WHO CVD Risk Chart Working Group disarankan untuk
digunakan pada perhitungan skor risiko kardiovaskular pada
populasi Indonesia sebagai upaya prevensi PKVA.
I
Berikut cara menggunakan TABEL :
estimasi risiko kardiovaskular yang berdasarkan
laboratorium (Gambar 2.1 dan Gambar 2.2).8
1. Pilih TABEL : yang relevan (pasien dengan/
tanpa diabetes).
2. Pilih TABEL : laki-laki atau perempuan.
3. Pilih kolom perokok atau bukan perokok.
4. Pilih grup usia yang relevan.
5. Pilih kotak yang menampilkan irisan
tekanan darah sistolik dan hasil kolesterol
total dari pasien.
6. Perhatikan warna kotak berikut yang
mengindikasikan risiko 10 tahun PKVA,
baik fatal maupun nonfatal.
Warna Persentase Risiko Stratifikasi Risiko
Hijau <5% Risiko rendah
Kuning 5% s.d. <10% Risiko sedang
Oranye 10% s.d. <20% Risiko tinggi
Merah 20% s.d. <30% Risiko sangat tinggi
Merah gelap ≥30% Risiko sangat sangat tinggi
7. Susun rencana prevensi dan PERAWATAN INTENSIF serta diskusikan hasilnya dengan pasien.
Sementara itu, berikut cara menggunakan
TABEL : estimasi risiko kardiovaskular
nonlaboratorium (Gambar 2.3).8
1. Pilih TABEL : laki-laki atau perempuan.
2. Pilih kolom perokok atau bukan perokok.
3. Pilih grup usia yang relevan.
Warna Persentase Risiko Stratifikasi Risiko
Hijau <5% Risiko rendah
Kuning 5% s.d. <10% Risiko sedang
Oranye 10% s.d. <20% Risiko tinggi
Merah 20% s.d. <30% Risiko sangat tinggi
Merah gelap ≥30% Risiko sangat sangat tinggi
6. Susun rencana prevensi dan PERAWATAN INTENSIF serta diskusikan hasilnya dengan pasien.
4. Pilih kotak yang menampilkan irisan
tekanan darah sistolik dan indeks massa
tubuh (IMT).
5. Perhatikan warna kotak berikut yang
mengindikasikan 10 tahun PKVA, baik
fatal maupun nonfatal.
1
Secara klinis, kondisi tanpa gejala dapat muncul pada pasien yang rentan terhadap PKVA. Gejala baru timbul jika terjadi
iskemia pada organ tersebut.1
Manifestasi klinis aterosklerosis biasanya
baru muncul pada orang dewasa usia pertengahan
atau lanjut usia. Namun, yang perlu mendapat
perhatian ialah aterosklerosis berupa fatty streak
yang sudah mulai timbul sejak usia dini atau masa
kanak-kanak.2
Dalam rangka prevensi primer, penting
bagi klinisi untuk mengetahui dan menilai
aterosklerosis tersebut secara klinis sejak ketiadaan
hingga kemunculan gejala, baik yang ringan
maupun berat.1
Penilaian klinis penyakit aterosklerosis
dapat dilakukan melalui anamnesis serta
cek up fisik dan penunjang. Waktu yang
dianjurkan untuk mulai melakukan penapisan
PKVA, anamnesis untuk menggali informasi
tentang riwayat penyakit, cek up fisik organ
terkait, dan cek up penunjang yang spesifik
untuk PKVA akan dipaparkan dalam bab ini.
2. Penentuan Waktu Penilaian Klinis
untuk Penapisan PKVA
Penghitungan faktor risiko PKVA dapat dilakukan
sesudah usia 20 tahun dan dapat diulang setiap 4—6
tahun.3 Penilaian risiko PKVA yang sistematis atau
nonsistematis (oportunistis) pada populasi umum
tanpa faktor risiko PKVA dapat mulai dilakukan
pada laki-laki berusia >40 tahun dan perempuan
>50 tahun atau pascamenopause.4
TABEL : 3.1 Saran Penilaian Risiko PKVA
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Penilaian risiko PKVA yang sistematis atau nonsistematis
pada populasi umum tanpa faktor risiko PKVA dapat mulai
dilakukan pada laki-laki berusia >40 tahun dan perempuan
>50 tahun atau pascamenopause. Individu yang dinilai faktor
risikonya dapat dipertimbangkan untuk mengulang penapisan
sesudah 5 tahun atau bisa lebih cepat lagi jika ditemukan risiko
PKVA yang sudah memerlukan pemberian terapi.
II C
22
Penilaian Klinis PKVA
3. Anamnesis
Risiko individu untuk timbulnya PKVA dalam
10 tahun ke depan dapat ditentukan berdasarkan
usia, jenis kelamin, dan faktor risiko tradisional
sehingga perlu dilakukan pengambilan data diri
pasien serta anamnesis tentang riwayat penyakit
pasien dan riwayat keluarganya ( TABEL : 3.2).
TABEL : 3.2 Data Pasien dan Anamnesis untuk Penilaian Klinis PKVA
Variabel Keterangan
Jenis kelamin Studi epidemiologi menunjukkan bahwa PKVA yang timbul pada
perempuan pramenopause lebih lambat rata-rata 10 tahun jika
dibandingkan pada laki-laki dan infark miokard terjadi 20 tahun
kemudian.6
Usia Laki-laki berusia ≥45 tahun dan perempuan ≥55 tahun 7 sudah
dicatat sebagai risiko PKVA.
Keluhan saat ini Rasa tidak nyaman di dada saat berolahraga, sesak napas, pusing,
nyeri kepala, mudah pingsan/blackouts, kaki bengkak, dan dada
berdebar tanpa alasan
Menopause PKVA meningkat sepuluh kali lipat pada perempuan
pascamenopause. Sementara itu, peningkatan PKVA pada laki-laki
sebesar 4,6 kali lipat pada kelompok usia yang sama.6
Merokok Masih/sudah berhenti merokok dalam waktu 6 bulan atau
terpapar asap rokok/tembakau di lingkungan pasien7
Gaya hidup sedenter Tidak berolahraga setidaknya 30 menit dengan intensitas sedang
(40%–60% VO
2
R*), yakni 3 hari dalam seminggu selama
setidaknya 3 bulan7
Riwayat penyakit
dan pengobatan
sebelumnya
1. Pertanyaan mengenai pengalaman didiagnosis dokter atas
hipertensi; DM; dislipidemia; penyakit gagal ginjal kronis;
infark serebral; masalah kehamilan (hipertensi pada kehamilan,
preeklamsia/eklamsia, diabetes gestasional, dan persalinan
prematur); menopause dini (usia <40 tahun); penyakit polikistik
ovarium; penyakit autoimun; sedang/pernah terapi kanker
payudara; atau depresi3,7—9
2. Pengalaman serangan jantung, pembedahan jantung, prosedur
kateterisasi jantung (pemasangan stent atau angioplasti koroner),
pemasangan pacu jantung atau alat lainnya, aritmia, penyakit
katup jantung, gagal jantung, transplantasi jantung, serta
penyakit jantung bawaan dan pengobatannya7,8
Riwayat keluarga
mengalami PKVA
prematur
Riwayat infark miokard, revaskularisasi koroner, atau kematian
mendadak pada ayah atau saudara laki-laki kandung sebelum usia
55 tahun dan/atau pada ibu atau saudara perempuan kandung
yang terjadi sebelum usia 65 tahun3,7
*VO
2
R yaitu pengambilan oksigen reserve, yaitu VO
2
maksimal – VO
2
istirahat.
23
Penilaian Klinis PKVA
4. cek up Fisik
cek up fisik umum yang lengkap sebaiknya
selalu dilakukan pada setiap individu dengan
dugaan PKVA. Berikut ialah cek up fisik
spesifik yang dianjurkan untuk menilai risiko
PKVA.
1. Indeks Massa Tubuh, Lingkar Pinggang,
dan Rasio Lingkar Pinggang-Panggul
Ukurlah tinggi badan, berat badan, lingkar
pinggang, dan rasio pinggang-panggul pasien.
Indeks massa tubuh (IMT) disesuaikan dengan
klasifikasi yang berlaku. Untuk orang Asia,
disebut obesitas jika >25 kg/m2.10 Lingkar
pinggang normal untuk laki-laki ialah <90
cm, sedangkan untuk perempuan <80 cm.11
Seseorang tergolong dalam obesitas sentral
apabila memiliki nilai rasio lingkar pinggang-
panggul (RLPP) >0,80 pada perempuan dan
>0,95 pada laki-laki.12
2. Tekanan Darah
Lakukan cek up tekanan darah, baik di
fasilitas layanan kesehatan maupun di rumah,
dengan peralatan dan teknik yang benar.
Diagnosis hipertensi ditegakkan jika TDS
≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik
(TDD) ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik
atau fasilitas layanan kesehatan.4
3. Inspeksi
a. Pseudoxanthoma elasticum (kulit yang
kasar, terutama di daerah lipatan kulit,
sebab akumulasi deposit kalsium dan
mineral lain akibat dari kelainan genetik)
menggambarkan aterosklerosis prematur.13
b. Xanthelasma palpebrarum (infiltrat patologis
dari sel busa kaya kolesterol berupa plak
kekuningan [xantoma] yang timbul simetris
di dekat canthus bagian dalam palpebra)
menggambarkan kadar kolesterol LDL
aterogenik yang tinggi dan secara signifikan
merupakan tanda risiko tinggi PKVA.14
4. Palpasi Pulsasi Arteri di Kaki
Pulsasi arteri yang tidak normal di kaki
merupakan diagnosis klinis penyakit
aterosklerosis dengan sensitivitas 63%—95%
dan spesifisitas 73%—99%.1
TABEL : 3.3 Saran cek up Pulsasi Arteri Ekstremitas
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
cek up fisik disarankan untuk dilakukan bersama
anamnesis, yaitu inspeksi (palpasi yang membandingkan antara
kedua ekstremitas dan auskultasi pada arteri kedua ekstremitas).
I B15
Penilaian kondisi kulit, integritas, turgor, perspirasi, warna kulit,
atrofi otot, deformitas, dan temperatur juga disarankan .
I C15
5. Auskultasi Bruit Vaskular
Murmur atau bruit vaskular merupakan tanda
adanya stenosis arteri. Lakukan auskultasi
dengan teliti pada arteri karotis, renalis,
dan femoralis. Sensitivitas cek up bruit
arteri femoralis cukup rendah sebab aliran
darah pada arteri tersebut pelan, terutama
saat istirahat. Sensitivitas dapat ditingkatkan
dengan cara memeriksa pasien sambil
bergerak, misalnya pasien diminta berdiri
sambil melakukan repetitive toe stands. TABEL :
3.4 menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
cek up fisik vaskular.
24
Penilaian Klinis PKVA
TABEL : 3.4 Sensitivitas dan Spesifisitas cek up Fisik Vaskular1
Vascular Bed Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Arteri karotis
• Pasien asimtomatik
• Simtomatik
58—90
62—71
86—88
61—79
Arteri renalis 39—63 90—99
Arteri femoralis 20—29 95—96
5. cek up Penunjang
cek up penunjang berikut dianjurkan untuk
dilakukan sebagai bagian dari penilaian klinis
PKVA.
1. cek up Dasar untuk Pasien
dengan Kecurigaan PKVA
cek up laboratorium kimia dasar (darah
lengkap, serum kreatinin, dan profil lipid),
elektrokardiografi (EKG) istirahat, pemantauan
EKG ambulatori, ekokardiografi istirahat, serta
foto rontgen toraks pada pasien tertentu16
2. cek up Laboratorium Kimia
Darah/Urin untuk Identifikasi Risiko
PKVA
Jumlah penanda faktor risiko PKVA dari
cek up laboratorium (spesimen darah
atau urin) yang potensial bertambah dari
tahun ke tahun. Namun, hanya sedikit yang
terbukti memiliki manfaat klinis yang signifikan
sesuai bukti ilmiah.17 TABEL : 3.5 menunjukkan
cek up laboratorium darah/urin dan
penilaiannya berbasis bukti.
TABEL : 3.5 cek up Laboratorium Darah/Urin dan Tingkat Bukti PKVA
Penapisan Dislipidemia
Jenis cek up Keterangan
Kolesterol total (KT), kolesterol
LDL (LDL-C), kolesterol HDL
(HDL-C), trigliserida, dan kolesterol
non-HDL3,4,7,9
a. Peningkatan kolesterol total merupakan prediktor insidensi dan
mortalitas PKVA pada masa depan (tingkat bukti A).9
b. Peningkatan kolesterol LDL, kolesterol non-HDL, dan
trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL merupakan
prediktor insidensi dan mortalitas PJK pada masa depan (tingkat
bukti B).9
Penapisan Diabetes Melitus
Jenis cek up Keterangan
Gula darah puasa, gula darah
dua jam postprandial, dan HbA1c
(hemoglobin A1c)3,4,7,9
DM merupakan faktor risiko kuat terhadap PKVA (tingkat bukti A).9
Penapisan Gagal Ginjal Kronis
Jenis cek up Keterangan
Urin: proteinuria (albuminuria) dan
GFR (glomerolus filtration rate)4,9
Darah: eGFR (estimated glomerolus
filtration rate) dan serum kreatinin4,9
Gagal ginjal kronis merupakan risiko tinggi untuk PKVA (tingkat
bukti A).9
cek up Lain yang Dapat Dipertimbangkan
Jenis cek up Keterangan
Asam urat9 Hiperurisemia dapat dianggap sebagai faktor risiko PKVA (tingkat
bukti C).9
25
Penilaian Klinis PKVA
Lipoprotein (a)9 Hiper-Lp(a)-lipoproteinemia merupakan faktor risiko PKVA (tingkat
bukti A).9
MDA-LDL (malondialdehyde-modified
low-density lipoprotein)
MDA-LDL dapat digunakan untuk prediksi prognostik insiden PJK
pasien DM yang memiliki riwayat PJK (tingkat bukti B).9
Remnant lipoprotein Hiper-remnant-lipoproteinemia merupakan faktor risiko PKVA
(tingkat bukti B).9
Small dense LDL Kadar small dense LDL yang tinggi merupakan faktor risiko PKVA
(tingkat bukti A).9
Apolipoprotein-B (apo-B) Kadar apo-B yang tinggi merupakan faktor risiko PKVA (tingkat
bukti A).9
Rasio KT/HDL, rasio kolesterol
non-HDL/HDL, rasio kolesterol
LDL/HDL, dan rasio apo-B/A-I
Rasio KT/HDL, rasio kolesterol non-HDL/HDL, rasio kolesterol
LDL/HDL, dan rasio apo-B/A-I merupakan penanda untuk PKVA
(tingkat bukti A).9
Fibrinogen dan PAI-1 (plasminogen
activator inhibitor)
Kadar fibrinogen dan PAI-1 yang tinggi merupakan penanda untuk
PKVA (tingkat bukti A).9
3. cek up Radiologi/Pencitraan
untuk Identifikasi Aterosklerosis
Jika ditinjau dari perspektif prevensi
PKVA, identifikasi arteriosklerosis dan lesi
aterosklerosis penting untuk dilakukan agar
tingkat keparahan PKVA dapat diketahui
sebelum gejala klinis muncul. Metode
diagnostik radiologi/pencitraan noninvasif
terutama digunakan sebagai prevensi primer,
sedangkan metode invasif, seperti angiografi,
digunakan sebagai prevensi sekunder pada
PKVA ( TABEL : 3.6 dan TABEL : 3.7).9
TABEL : 3.6 cek up Morfologi untuk Mengidentifikasi PKVA dan Saran nya
cek up Morfologi
Jenis cek up Keterangan
Ultrasonografi karotis4,9 Metode standar menggunakan alat ultrasonografi untuk menilai ketebalan media
intima, plak, stenosis, dan derajat arteriosklerosis, terutama di arteri karotis.9 Plak
didefinisikan sebagai penebalan dinding fokal sebesar >50% dari dinding pembuluh
darah di sekitarnya. Plak juga dapat disebut sebagai daerah dengan ketebalan media
intima >1,5 mm yang menonjol ke dalam lumen pembuluh darah.4
Saran , kelas
Saran , dan
tingkat bukti
Deteksi plak aterosklerosis menggunakan ultrasonografi arteri karotis dapat
dianggap sebagai pengubah risiko (risk modifier) dalam penilaian risiko kardiovaskular
pada pasien asimtomatik (kelas IIa; tingkat bukti B).18
Computed tomography
angiography koroner
(CTA koroner)9,18
CTA yaitu metode cek up untuk mendiagnosis arteriosklerosis arteri
koroner dengan cepat yang dapat mengestimasi derajat kalsifikasi, lemak, dan serat
jaringan.9
cek up CTA dapat menghitung skor kalsium koroner dengan cara kuantifikasi
kalsium menggunakan skor Agatston: 0 = sangat tidak mungkin mengalami
aterosklerosis, 1—400 = kemungkinan aterosklerosis, dan >400 = aterosklerosis
parah.
Kalsifikasi koroner yaitu penanda pengganti untuk plak aterosklerosis yang jarang
terjadi dalam konteks lain, kecuali pada gagal ginjal.17
CTA juga merupakan modalitas pencitraan yang memungkinkan visualisasi lumen
dan dinding arteri koroner menggunakan kontras intravena. CTA mempunyai
kemampuan diagnosis untuk mendeteksi anatomi yang signifikan (>50% stenosis)
dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 82%.18
26
Penilaian Klinis PKVA
Saran , kelas
Saran , dan
tingkat bukti
CTA koroner disarankan sebagai cek up awal untuk mendiagnosis
PJK pada pasien bergejala sebab PJK obstruktif tidak dapat disingkirkan dengan
penilaian klinis saja (kelas I; tingkat bukti B).18
Stress cardiac magnetic
resonance (stress CMR)18
dan magnetic resonance
angiography (MRA)9
Stress CMR mampu mendeteksi anatomi yang signifikan (>50% stenosis) dengan
sensitivitas 90% dan spesifisitas 80%.18
MRA dapat menunjukkan visualisasi lesi stenosis dan obstruktif di arteri intrakranial,
arteri karotis, aorta, arteri renalis, dan pembuluh darah lainnya. Plak arteri juga dapat
dinilai menggunakan MRI.9
Saran , kelas
Saran , dan
tingkat bukti
cek up menggunakan stress CMR dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
dugaan PJK ketika hasil cek up ekokardiogram belum meyakinkan (kelas IIb;
tingkat bukti C).16,18
Angiografi koroner Angiografi koroner menggunakan kateter merupakan metode diagnosis untuk stenosis
arteri koroner.9
Intravascular ultrasound (IVUS), optical coherence tomography (OCT), dan endoskopi vaskular
merupakan metode yang digunakan untuk menilai volume dan properti plak.9
Saran , kelas
Saran , dan
tingkat bukti
Angiografi koroner untuk tujuan stratifikasi risiko hanya diperlukan pada pasien
dengan suspek PJK yang pada uji noninvasif tidak/belum meyakinkan (kelas IIa;
tingkat bukti B).16
TABEL : 3.7 cek up Fungsi Vaskular untuk Mengidentifikasi PKVA
cek up Fungsi Vaskular
Jenis cek up Keterangan
Ankle-brachial index
(ABI)1,9
cek up ABI dapat menilai langsung kesehatan arteri. Caranya sederhana,
prosedurnya relatif tidak mahal, dan pengerjaannya bisa dilakukan oleh dokter
umum dan perawat. cek up ini berprinsip bahwa jika terdapat plak
aterosklerosis di arteri iliaka, femoralis, dan poplitea, aliran darah arteri ke tungkai
bagian bawah akan berkurang sehingga akan terdeteksi perbedaan tekanan darah
antara lengan dan tungkai.1
Terdapat konsensus bahwa rerata nilai TDS dari kedua lengan harus diambil sebagai
penyebut, kecuali terdapat perbedaan TDS melebihi 10 mmHg antara kedua
lengan. Dalam hal ini, nilai TDS tertinggi yang harus diambil sebagai penyebut dan
diagnosis stenosis arteri subklavia harus disingkirkan.15
Berikut interpretasi hasil penilaian ABI.15
Nilai ABI Derajat Keparahan Penyakit Arteri Perifer
(PAP) atau Peripheral Artery Disease (PAD)
>1,3
≥0,9
0,75—0,9
0,5—0,75
<0,5
Nilai tinggi yang mungkin salah (suspek sklerosis/
kalsifikasi tunika media)
Normal
PAD ringan
PAD sedang
PAD berat
Klasifikasi ini hanya valid untuk kondisi tanpa mediasklerosis. Jika ada dugaan
mediasklerosis, sangat disarankan untuk melakukan cek up toe-brachial
index (TBI).4,15
Saran , kelas
Saran , dan
tingkat bukti
Cara menilai ABI ialah dengan membagi nilai tertinggi TDS arteri dorsalis pedis
atau tibialis posterior dari kedua tungkai dengan nilai tertinggi TDS arteri brakialis
dari lengan kanan dan lengan kiri (kelas I; tingkat bukti C).
Saran , kelas
Saran , dan
tingkat bukti
Nilai ABI ≤0,9 merupakan bukti bahwa terdapat PAD yang signifikan (kelas I;
tingkat bukti B).15
27
Penilaian Klinis PKVA
Toe-brachial index (TBI)9,15;
kelas Saran ;
tingkat bukti
TBI yaitu rasio tekanan darah di arteri brakialis terhadap tekanan darah di kaki.
TBI yang ≤0,7 dianggap patologis. Jika TBI ≤0,6, diduga terdapat lesi obstruktif
pada arteri ekstremitas bawah (kaki) (kelas I; tingkat bukti B).9,15
Stiffness parameter β9,19 Stiffness parameter β yaitu indeks yang menggambarkan kekakuan lokal dinding
pembuluh darah (indeks elastisitas arterial). Indeks tersebut dihitung menggunakan
formula19
ln (Ps/Pd)/[(Ds-Dd)/Dd]
ln (Ps/Pd/[∆D/Dd]
Ps = tekanan darah sistolik
Pd = tekanan darah diastolik
Ds = diameter arteri maksimum selama periode sistolik
Dd = diameter arteri minimum selama periode diastolik
∆D = perubahan diameter arteri selama siklus kardiak
cek up dilakukan menggunakan alat ultrasound dengan sistem echo-tracking
pada arteri karotis dan femoralis. cek up ini berkorelasi dengan aterosklerosis
karotis.9,19
Flow-mediated dilatation
(FMD)9
FMD yaitu cek up untuk menilai perubahan diameter (dilatasi) arteri
brakialis yang diukur menggunakan alat ultrasonografi. Dilatasi arteri brakialis
timbul sebab hiperemia reaktif sesudah lengan mengalami iskemia selama 5 menit.
Berikut formula untuk menghitung FMD (%)9: (diameter arteri yang paling dilatasi
– diameter arteri saat istirahat)/diameter arteri saat istirahat x 100%.
Nilai FMD normal ialah ≥6—7%. Nilai FMD mulai turun sejak awal stadium
aterosklerosis dan hal tersebut penting untuk penilaian dini PKVA.9
---
Latihan Fisik sebagai
Prevensi PKVA
Muhammad Ridwan
1. Definisi Aktivitas dan Latihan
Fisik
Aktivitas fisik terbukti sangat bermanfaat dalam meningkatkan dan memperbaiki kondisi kesehatan seseorang. Aktivitas
fisik berhubungan erat dengan kebugaran dan
kesehatan. Terdapat korelasi negatif antara
aktivitas fisik dengan morbiditas dan mortalitas
yang disebabkan penyakit kardiovaskular maupun
penyakit lainnya.1
Gambar 4.1 Komponen-Komponen Kebugaran Fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan
tubuh oleh otot skeletal yang menghasilkan
energi. Sementara itu, latihan yaitu aktivitas fisik
yang terstruktur dan repetitif. Tujuan latihan dan
aktivitas fisik yaitu untuk meningkatkan atau
memelihara kebugaran fisik.
Berdasarkan pedoman ESC,2 terdapat
lima komponen penilaian kebugaran fisik, yaitu
komponen kardiorespirasi, morfologi tubuh, otot,
metabolisme, dan fungsi motorik.2
30
Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA
1.1 Inaktivitas Fisik sebagai Faktor
Risiko Morbiditas dan Mortalitas
Gaya hidup yang tidak banyak melakukan aktivitas
fisik dapat menurunkan tingkat kebugaran sehingga
memicu gangguan kesehatan, seperti
timbulnya penyakit kronis serta kematian. Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa gaya hidup
sedenter atau kurang aktif memicu obesitas
yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya
penyakit metabolik, vaskular, dan muskuloskeletal.
Selain itu, terdapat peningkatan risiko penyakit
DM tipe 2 sebanyak 50%—80% pada individu
yang aktivitas fisiknya kurang.2
Sebaliknya, aktivitas fisik terbukti
menurunkan risiko kematian akibat kardiovaskular
sebanyak 16%—67% pada populasi hipertensi.
Namun demikian, pada populasi yang tidak aktif,
terdapat peningkatan risiko kematian hingga dua
kali lipat.3 Di sisi lain, aktivitas ringan selama 15
menit pada orang dewasa juga memiliki dampak
yang baik.1
1.2 Efek Fisiologis Latihan Fisik
terhadap Kardiovaskular
Latihan fisik dapat menimbulkan perbaikan fungsi
fisiologis tubuh secara akut sesudah jangka waktu
tertentu. Efek akut latihan fisik terhadap perbaikan
fungsi fisiologis tubuh berupa perubahan
hemodinamik, yaitu peningkatan denyut jantung,
volume sekuncup, curah jantung, tekanan darah,
dan aliran darah ke seluruh tubuh. Hal tersebut
berfungsi untuk mencukupi aliran darah ke otot
yang bekerja sehingga transpor oksigen menjadi
lebih baik.
Latihan fisik juga meningkatkan volume
darah, kontraktilitas miokard, dan komplians
ventrikel, serta mencegah kalsifikasi katup aorta
dan angiogenesis. Saat latihan fisik, volume
sekuncup dapat meningkat hingga 50% dan denyut
jantung dapat meningkat hingga 270%. Selain itu,
latihan daya tahan yang dilakukan secara teratur
berdasarkan jenis, intensitas, dan durasi yang
disarankan akan meningkatkan kolesterol
HDL yang bersirkulasi dan menurunkan kadar
trigliserida sehingga hal ini dapat menurunkan
risiko penyakit arteri koroner. Di samping itu,
peningkatan aktivitas fisik teratur pada individu
dengan penyakit jantung koroner (PJK) terbukti
dapat meningkatkan VO
2
max.4
2. Latihan Fisik sebagai Prevensi
Primer
2.1 Skrining sebelum Olahraga
Panduan skrining sebelum olahraga pada orang-
orang dengan faktor risiko ialah sebagai berikut.2
Tidak terdapat batasan olahraga
kompetitif pada individu yang memiliki risiko
rendah atau sedang dan memiliki gaya hidup
aktif. Pada individu dengan gaya hidup sedenter
dan memiliki risiko tinggi atau sangat tinggi,
latihan intensitas rendah tanpa evaluasi lanjutan
disarankan. cek up fisik, elektrokardiografi
(EKG) dua belas sadapan, dan tes stres olahraga
harus dilakukan pada individu dengan gaya hidup
sedenter dan/atau yang memiliki risiko tinggi atau
sangat tinggi. cek up tersebut dilakukan
sebelum individu berolahraga dengan intensitas
sedang dan tinggi untuk menilai prognostik CAD
dan aritmia yang diinduksi olahraga.
31
Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA
Gambar 4.2 Penilaian/Skrining Kardiovaskular tanpa Gejala untuk Usia >35 Tahun dengan Faktor
Risiko Penyakit Kardiovaskular dan Kemungkinan Sindrom Koroner Kronis sebelum Olahraga2
Catatan: Risiko CVD dapat memakai skor risiko WHO (lihat Bab 2).
2.2 Prevensi Primer pada Populasi
Dewasa
Aktivitas fisik sebagai prevensi primer harus dimulai
sejak usia sekolah hingga seumur hidup. Olahraga
yang dapat dilakukan sejak dini antara lain berlari,
menari, berenang, dan beberapa latihan resistansi
tertentu. Pada orang dewasa, contoh latihan yang
dapat dilakukan antara lain latihan aerobik, seperti
bersepeda, joging, dan berenang. Selain olahraga,
prevensi primer juga harus didukung dengan
gaya hidup yang aktif. Intensitas, durasi, dan
frekuensi semua jenis latihan sebaiknya diukur dan
direncanakan sesuai kebutuhan individu sebab
hal ini akan dilakukan oleh individu tersebut untuk
jangka panjang.2
Aktivitas fisik yang dilakukan sebaiknya
sesuai dengan Saran dalam hal frekuensi,
intensitas, durasi, jenis, dan perkembangan.
Beberapa Saran latihan fisik pada orang
dewasa dapat dilihat pada TABEL : 4.1.
32
Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA
TABEL : 4.1 Saran Aktivitas Fisik pada Orang Dewasa Sehat
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Latihan aerobik dilakukan selama 150—300 menit/minggu
dengan level intensitas sedang, selama 75—150 menit/minggu
dengan intensitas tinggi, atau kombinasi antara intensitas
sedang dan tinggi dalam minggu yang sama.2
I A
Jika tidak mampu latihan 150 menit/minggu, individu harus
tetap aktif dan menghindari gaya hidup sedenter.2
I A
Sebagai tambahan, latihan resistansi juga disarankan
≥2 kali/minggu.1
I A
Ukuran intensitas aktivitas fisik dapat
dinilai secara absolut dan relatif. Intensitas absolut
dinilai dari jumlah oksigen per unit waktu (L/min)
dan metabolic equivalent of task (METs), sedangkan
intensitas relatif dapat dinilai menggunakan
persentase kebugaran kardiorespirasi (VO
2
max),
cadangan laju jantung (heart rate reserve /HRR), atau
laju jantung maksimum (HR max). Intensitas relatif
juga dapat dinilai dengan skala Borg. Latihan daya
tahan pun berhubungan dengan penurunan total
kejadian penyakit kardiovaskular dan penyakit lain
dengan risiko kematian yang tinggi.1
TABEL : 4.2 Definisi dan Contoh Intensitas Latihan Fisik5
Intensitas METs Contoh
Sedenter 1—1,5 Duduk, berbaring, dan menonton televisi
Rendah 1,6—2,9 Berjalan santai, memasak, dan mengerjakan
tugas-rumah ringan
Sedang 3,0—5,9 Berjalan cepat (3,84—6,4 km/jam),
bersepeda (8—14,4 km/jam), menari, yoga,
dan berenang rekreasional
Tinggi ≥6 Joging/berlari, bersepeda (≥16 km/jam),
bermain tenis tunggal, dan melakukan
beberapa putaran renang
Keterangan: METs yaitu metabolisme ekuivalen; 1 METs setara dengan pemakaian
oksigen oleh tubuh sebanyak 3,5 ml/kgBB/menit.
2.3 Latihan Fisik pada Populasi
Diabetes Melitus (DM)
Latihan fisik merupakan terapi lini pertama
pada DM, selain diet dan terapi medikamentosa.
Penyerapan glukosa di otot rangka ini dapat
bertahan hingga 48 jam sesudah latihan. Oleh
sebab itu, harus ada pertimbangan saat melakukan
latihan intensif atau olahraga kompetitif pada
individu yang mengidap DM untuk menghindari
hipoglikemia.2
33
Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA
TABEL : 4.3 Saran Aktivitas Fisik pada Individu dengan DM2
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Latihan aerobik dengan intensitas sedang atau tinggi dapat
dilakukan 5—7 hari/minggu minimal selama 30 menit dan
ditambah latihan resistansi minimal selama 15 menit. Latihan
tersebut dilakukan minimal tiga kali/minggu.2
I A
TABEL : 4.4 Saran Aktivitas Fisik pada Individu dengan DM6
Aerobik Resistansi Fleksibilitas
Frekuensi 3—7 hari/minggu Minimal 2—3
hari/minggu (tidak
berurutan)
≥2—3 hari/minggu
Intensitas Sedang (40%—59% HRR;
64%—76% HR max; skala
Borg 12—13) hingga tinggi
(60%—89% HRR; 77%—
95% HR max)
Sedang (50%—69%
1-RM) hingga tinggi
(70%—85%1-RM)
Peregangan sampai titik
terasa tegang atau merasa
sedikit tidak nyaman
Durasi DM tipe 1: intensitas sedang
selama 150 menit/minggu,
intensitas tinggi, atau
kombinasi keduanya selama
75 menit/minggu
DM tipe 2: intensitas sedang—
tinggi selama 150 menit/
minggu
Minimal 8—10 latihan
dengan 1—3 set dan
10—15 repetisi per set
Progres ditingkatkan
dengan beban yang
lebih berat dengan
1—3 set dan 8—10
repetisi.
Menahan peregangan statis
selama 10—30 detik dengan
2—4 repetisi pada setiap
latihan
Tipe Aktivitas ritmis
berkepanjangan menggunakan
otot besar (misalnya berjalan,
bersepeda, dan berenang)
Mesin resistansi dan
beban bebas
Peregangan statis, dinamis,
dan/atau proprioceptive
neuromuscular facilitation (PNF)
Keterangan:
1. 1-RM yaitu beban maksimal yang hanya
mampu dilakukan satu repetisi.
2. HR max merupakan prediksi laju jantung
maksimum seseorang yang didapatkan
dari rumus 220 - usia (dalam tahun).
3. HRR merupakan laju jantung cadangan
seseorang yang didapatkan dari selisih
antara HR max dan HR rest (laju jantung
istirahat).
4. Static stretching (peregangan statis) yaitu
peregangan yang dilakukan secara
perlahan pada sekelompok otot.
Peregangan dilanjutkan dengan menahan
posisi maksimal untuk periode tertentu
(misalnya 10—30 detik). Hal tersebut
dapat dilakukan sendiri (aktif) atau oleh
orang lain (pasif).
5. Dynamic stretching (peregangan dinamis)
melibatkan transisi gradual dari satu
posisi tubuh ke posisi lain sambil perlahan
meningkatkan jangkauan dan range of
motion sendi ketika gerakan diulang
beberapa kali.
6. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF)
stretching merupakan metode peregangan
yang melibatkan kontraksi isometrik
kelompok otot tertentu yang diikuti
peregangan statis kelompok otot yang
sama (melibatkan kontraksi-relaksasi).
34
Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA
2.4 Indikasi dan Kontraindikasi
Olahraga pada DM
Pada pasien dengan DM, faktor risiko hipoglikemia,
status glikemik, riwayat hipoglikemik, neuropati
otonom, dan riwayat pengobatan harus dievaluasi.
Pada individu dengan diabetes tanpa gejala dan
fungsi kardiovaskular yang baik, latihan maksimal
dari semua jenis olahraga dapat dilakukan. Namun
demikian, harus diperhatikan supaya tidak terjadi
asupan kalori yang kurang sebab hal tersebut
dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia
iatrogenik.2
Beberapa keadaan yang memicu
aktivitas fisik harus ditunda pada penderita DM,
antara lain, hipoglikemia dalam 24 jam terakhir dan
glukosa darah <70 mg/dl. Latihan harus ditunda
jika hiperglikemia terjadi dan keton ditemukan,
terutama pada DM tipe 1 dengan glukosa darah
≥250 mg/dl. Dalam hal ini, cek up keton
urin sebelum latihan harus dilakukan.6
Namun demikian, penderita DM yang
tidak mengalami keluhan dengan status hidrasi
yang cukup tidak perlu menunda latihan fisik.
Individu dengan DM yang menggunakan obat
penurun gula darah sekretagog atau insulin
disarankan untuk minum suplemen 15 gram
karbohidrat jika kadar gula darahnya <100 mg/
dl saat penilaian sebelum berolahraga. Individu
yang menggunakan insulin dan obat sulfonilurea
harus memantau glukosa darah sebelum, selama,
dan sesudah berolahraga agar tetap dalam kondisi
euglikemia.
2.5 Latihan Fisik pada Populasi
Hipertensi
Terapi lini pertama pada hipertensi dan
dislipidemia ialah modifikasi gaya hidup yang
mencakup aktivitas fisik, perubahan pola makan,
penurunan berat badan jika berat badan di atas
IMT normal, serta penghentian merokok dan
konsumsi alkohol.7 Aktivitas atau latihan fisik
sendiri sangat bermanfaat bagi individu dengan
hipertensi (tekanan darah sistolik ≥140 mmHg
dan/atau diastolik ≥90 mmHg) dan prehipertensi
(tekanan darah sistolik 130—139 mmHg dan/
atau diastolik 80—89 mmHg). Latihan tersebut
dapat menurunkan risiko penyakit arteri koroner,
infark miokard, obesitas, hiperglikemia, dan strok.3
Pada hipertensi tahap awal, perbaikan pola
hidup dilakukan dengan cara berhenti merokok,
membatasi konsumsi garam dan alkohol, serta
menurunkan berat badan. Perbaikan pola hidup
ini disertai dengan latihan fisik yang dianjurkan
seperti di atas.2 Meskipun demikian, latihan fisik
intensitas sedang harus ditunda jika hasil skrining
menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik saat
istirahat >160 mmHg.
TABEL : 4.5 Saran Latihan pada Orang Dewasa dengan Hipertensi2
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Penderita hipertensi terkontrol disarankan untuk
melakukan latihan resistansi ≥3 kali/minggu dan latihan
aerobik intensitas sedang atau tinggi minimal 30 menit selama
5—7 hari/minggu.
I A
Latihan resistansi intensitas tinggi tidak dianjurkan bagi
individu dengan tekanan darah terkontrol yang berisiko tinggi
pada kerusakan organ.
III C
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol tidak dianjurkan
melakukan latihan intensitas tinggi.
III C
35
Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA
TABEL : 4.6 Saran Latihan pada Orang Dewasa dengan Hipertensi6
Aerobik Resistansi Fleksibilitas
Frekuensi 5—7 hari/minggu 2—3 hari/minggu ≥2—3 hari/minggu
Intensitas Sedang (40%—59%
HRR; 64%—76% HR
max)
60%—70% 1-RM
dapat ditingkatkan
menjadi 80% dari
1-RM.
Untuk individu yang
lebih tua dan pemula,
intensitas dimulai dari
40%—50% 1-RM.
Peregangan sampai
titik terasa tegang atau
sedikit tidak nyaman
Durasi ≥30 menit/hari untuk
latihan kontinu atau
akumulasi
Untuk latihan
intermiten, waktu yang
diperlukan minimal 10
menit.
2—4 set dengan 8—12
repetisi untuk setiap
kelompok otot besar
Menahan peregangan
statis selama 10—30
detik dengan 2—4
repetisi pada setiap
latihan
Tipe Aktivitas ritmis
berkepanjangan
menggunakan otot
besar (misalnya
berjalan, bersepeda,
dan berenang)
Mesin resistansi dan
beban bebas
Statis, dinamis, dan/
atau peregangan PNF
2.6 Latihan Fisik pada Populasi
Dislipidemia
Latihan fisik pada individu dengan dislipidemia
sangat disarankan. Latihan tersebut merupakan
terapi lini pertama sebab terbukti memperbaiki
profil lipid sehingga menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular serta meningkatkan kebugaran
fisik.2
Populasi dislipidemia harus melakukan
skrining terlebih dahulu sebelum mengikuti latihan
intensitas tinggi. Latihan fisik intensitas tinggi
selama 30—60 menit atau 3,5—7 jam per minggu
dapat meningkatkan kolesterol HDL 5%—10%,
menurunkan kolesterol LDL, dan menurunkan
serum trigliserida hingga 50%.2 Dalam hal ini,
pemakaian terapi farmakologis, misalnya statin,
sangat bermanfaat dalam mengurangi kolesterol
LDL dan meningkatkan prognosis. Akan namun , hal
tersebut tidak berpengaruh pada kebugaran fisik
dan penurunan risiko penyakit kardiovaskular.2
Latihan aerobik secara konsisten berkaitan
dengan penurunan kolesterol LDL 3—6 mg/
dl, namun tidak berefek konsisten terhadap kadar
kolesterol HDL dan trigliserida. Sementara itu,
latihan beban dapat menurunkan kadar kolesterol
LDL dan trigliserida, namun hasilnya tidak lebih
baik dari latihan aerobik.6
TABEL : 4.7 Saran Latihan pada Orang Dewasa Dislipidemia8
Saran
Kelas
Saran
Latihan fisik intensitas tinggi dilakukan dengan durasi 30—60 menit
setiap hari atau 3,5—7 jam/minggu.
I
36
Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA
TABEL : 4.8 Saran Latihan pada Orang Dewasa Dislipidemia6
Aerobik Resistansi Fleksibilitas
Frekuensi ≥5 hari/minggu 2—3 hari/minggu ≥2—3 hari/minggu
Intensitas 40%—75% HRR Sedang (50%—60% 1-RM)
hingga tinggi (70%—85%
1-RM); <50% 1-RM untuk
meningkatkan ketahanan otot.
Peregangan sampai
titik terasa tegang atau
sedikit tidak nyaman
Durasi 30—60 menit/hari untuk
mempertahankan penurunan tinggi
badan (dengan Saran 50—60
menit/hari atau lebih)
2—4 set dengan 8—12
repetisi untuk kekuatan; ≤2 set
dengan 12—20 repetisi untuk
kekuatan otot
Menahan peregangan
statis selama 10—30
detik dengan 2—4
repetisi di setiap latihan
Tipe Aktivitas ritmis berkepanjangan
menggunakan otot besar (misalnya
berjalan, bersepeda, dan berenang)
Mesin resistansi dan beban
bebas
Peregangan statis,
dinamis, dan/atau PNF
2.7 Latihan Fisik pada Populasi
Obesitas
Menurut WHO, seseorang disebut memiliki
obesitas jika indeks massa tubuhnya ≥30 kg/m2.
Sementara itu, menurut klasifikasi Asia Pasifik,
identifikasi obesitas berlaku jika indeks massa
tubuh ≥25 kg/m2.
Pada populasi obesitas, latihan fisik—
terutama dengan tingkat pengeluaran energi yang
tinggi—berguna untuk menurunkan berat badan,
lemak intraabdominal, profil lipid, dan tekanan
darah. Latihan tersebut juga dapat meningkatkan
massa otot, tulang, dan toleransi glukosa. Dengan
disertai pembatasan diet, program latihan fisik
dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Sebelum mengikuti latihan, skrining
penting untuk dilakukan pada populasi ini sebab
dislipidemia, penyakit kardiovaskular—termasuk
hipertensi, dan penyakit pernapasan ju