Kelainan genetika 1

















Daftar Singkatan

 Daftar Singkatan

1-RM  : one-repetition maximum

ABI  : ankle brachial index

ABPM  : ambulatory blood pressure monitoring

ACC  : American College of  Cardiology

ACEi  : angiotensin-converting enzyme inhibitor

ACR  : albumin-creatinine ratio

ACSM  : American College of  Sports Medicine

ADA  : American Diabetes Association

ADL  : activities of  daily living

AHA  : American Heart Association

AKG  : angka kecukupan gizi

AMT  : Abbreviated Mental Test

apo-B  : apolipoprotein-B

ARB  : angiotensin receptor blocker

BB  : berat badan

BBI  : berat badan ideal

CAC  : coronary artery calcium

CAD  : coronary artery disease

CCB  : calcium channel blockers

CCS  : Canadian Cardiovascular Society

CCS  : chronic coronary syndrome

CCTA  : contrast computed tomography coronary angiography

CDA  : Canadian Diabetes Association

CHEP  : Canadian Hypertension Education Program

CHRNA : cholinergic receptor nicotinic alpha

CKD  : chronic kidney disease

CMR  : cardiac magnetic resonance

CONUT : Controlling Nutritional Status

CPG  : clinical practice guidelines

CRP  : C-reactive protein

CT  : computed tomography

CTA  : computed tomography angiography

CVD  : cardiovascular disease

DASH  : dietary approaches to stop hypertension

DASS  : Depression Anxiety Stress Scale

DBP  : diastolic blood pressure

DHA  : docosahexaenoic acid

DM  : diabetes melitus

DPP-4  : dipeptidyl peptidase-4

EASD  : European Association for the Study of  Diabetes

eGFR  : estimated glomerulus filtration rate

EKG  : elektrokardiografi

eLFP  : estimasi laju filtrasi glomerulus

ENHANCED : Ezetimibe and Simvastatin in 

Hypercholesterolemia Enhances Atherosclerosis 

Regression

EPA  : eicosapentaenoic acid

ESC  : European Society of  Cardiology

EuroQoL (EQ-5D) : Euro-Quality of  Life Questionnaire

FMD  : flow-mediated dilatation

FPG  : fasting plasma glucose

GBD  : Global Burden of  Diseases

GDPT  : glukosa darah puasa terganggu

GDS  : Geriatric Depression Scale

GFR  : glomerulus filtration rate

GLIM  : Global Leadership Initiative on Malnutrition

GLP-1  : glucagon like peptide-1

GNRI  : Geriatric Nutritional Risk Index

GT  : glutamyl transferase

GYTS  : Global Youth Tobacco Survey

HADS  : Hospital Anxiety and Depression Scale

HbA1c  : hemoglobin A1c

HCl  : hydrochloric acid

HDL  : high-density lipoprotein

HDL-C : high-density lipoprotein cholesterol

HFrEF  : heart failure with reduced ejection fraction

HIIT  : high intensity interval training

HMG  : 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A

HMOD : hypertension-mediated organ damage

Heart QoL : Heart Quality of  Life

HR max : heart rate maximum

HRQoL : health-related quality of  life

HRR  : heart rate reserve

HRV  : heart rate variability

hsCRP  : high-sensitivity C-reactive protein

IDF  : International Diabetes Federation

IFNγ  : interferon gamma

IL  : interleukin

IMT  : indeks massa tubuh

ISH  : International Society of  Hypertension

IVUS  : intravascular ultrasound

J-EDIT  : Japanese Elderly Diabetes Intervention Trial

KCCQ-12 : Cardiomyopathy Questioner (Kansas City)

kgBB  : kilogram berat badan

KH  : karbohidrat

KT  : kolesterol total

LDL  : low-density lipoprotein

LDL-C  : low-density lipoprotein cholesterol

LP  : lingkar pinggang

Lp(a)  : lipoprotein(a)

LVH  : left ventricle hypertrophy

MacNew  : MacNew Heart Disease Health-Related Quality of  

Life Questionnaire

MDA-LDL : maliondialdehyde-modified low-density lipoprotein

METs  : metabolic equivalent of  task

MICT  : moderate intensity continuous training

MLHF  : Minnesota Living with Heart Failure

MMSE  : Mini Mental Status Examination

x

Daftar Singkatan

SNRI  : serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors

SSRI  : selective serotonin reuptake inhibitors

TBI  : toe-brachial index

TDD  : tekanan darah diastolik

TDS  : tekanan darah sistolik

TG  : trigliserida

TGT  : toleransi glukosa terganggu

TIA  : transient ischemic attack

TMA  : trimethylamine

TMAO  : trimethylamine N-oxide

TNF-α  : tumor necrosis factor alpha

TTGO  : tes toleransi glukosa oral

UHH  : umur harapan hidup

USG  : ultrasonografi

VLDL  : very low-density lipoprotein

VO2 max : volume O2 maximum

VO2R  : volume O2 reserve

WHO  : World Health Organization

WHOQOL : World Health Organization Quality of  Life 

Assessment Instrument

MNA  : Mini Nutritional Assessment

MODY  : maturity onset diabetes of  the young

MRA  : magnetic resonance angiography

MRI  : magnetic resonance imaging

MSCT  : multislice computed tomography

MTI  : moderate intensity training

MUFA  : monounsaturated fatty acid

NCEP ATP : National Cholesterol Education Programme Adult 

Treatment Panel 

NHANES : National Health and Nutrition Examination Survey

NHP  : Nottingham Health Profile

NICE  : National Institute for Health and Care Excellence

OCT  : optical coherence tomography

PAD  : peripheral artery disease

PAI-1  : plasminogen activator inhibitor-1

PAP  : penyakit arteri perifer

PCI  : percutaneous coronary intervention

PCOS  : polycystic ovarian syndrome

PCSK9  : proprotein convertase subtilisin/kexin type 9

PDGKI : Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia

PERHI  : Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia

PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

PGD  : penyakit ginjal diabetik

PGK  : penyakit ginjal kronik

PJK  : penyakit jantung koroner

PKV  : penyakit kardiovaskular

PKVA  : penyakit kardiovaskular aterosklerosis

PNF  : proprioceptive neuromuscular fasilitation

PP PERKI : Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis 

Kardiovaskular Indonesia

PREDIMED : prevención con dieta mediterránea/prevention with 

mediterranean diet

PTM  : penyakit tidak menular

PUFA  : polyunsaturated fatty acid

RAAS  : renin-angiotensin-aldosteron

RLPP  : rasio lingkar pinggang-panggul

ROM  : range of  motion

ROS  : reactive oxygen species

RPE  : rating of  perceive exertion 

SAFA  : saturated fatty acid

SAQ  : Seattle Angina Questionnaire

SBP  : systolic blood pressure

SCORE-2 : Systemic Coronary Risk Estimation-2

SCOT-HEART : Scottish Computed Tomography of  the Heart

SET  : supervised exercise therapy

SF-36  : Medical Outcomes Study 3-item Short-Form Health 

Survey

SGLT-2 : sodium-glucose co-transporter-2

SGOT  : serum glutamic oxaloacetic transaminase

SGPT  : serum glutamic pyruvic transaminase

SKK  : sindrom koroner kronis

SMT  : stress management training

SNP  : single-nucleotide polymorphism





Penyakit kardiovaskular—termasuk penyakit jantung koroner, serebrovaskular, pembuluh darah perifer, jantung kongenital, jantung 

reumatik, serta trombosis vena dalam dan emboli 

paru-paru—telah menjadi penyebab kematian 

utama di dunia, yakni mencapai 32%. Dari 

seluruh kematian sebab  penyakit tersebut, 85% 

disebabkan oleh serangan jantung dan strok.1

Di Indonesia, kematian akibat penyakit 

infeksi masih cukup tinggi. Selain itu, penyakit 

tidak menular turut meningkatkan kematian. Data 

2014 menunjukkan bahwa angka kematian akibat 

penyakit tidak menular mencapai 71%. Penyebab 

kematian tertinggi pada penduduk berusia 30—

70 tahun ialah penyakit serebrovaskular (20,7%), 

penyakit jantung iskemik (14,9%), dan diabetes 

melitus (9,6%).2

Prevalensi penyakit tidak menular juga 

meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan 

Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit 

jantung—termasuk jantung bawaan yang 

didiagnosis dokter—mencapai 1,5%, sedikit lebih 

tinggi pada mereka yang tinggal di perkotaan 

(1,6%) dibanding yang tinggal di pedesaan (1,3%). 

Di sisi lain, prevalensi strok  berdasarkan diagnosis 

dokter pada penduduk berusia 15 tahun ke atas 

mencapai 1,09% (di perkotaan 1,26% dan di 

pedesaan 0,88%).3 Studi menunjukkan angka 

disparitas prevalensi penyakit serta faktor risiko 

berdasarkan sosioekonomi dan tempat tinggal 

lebih tinggi di daerah urban.4 

Penyakit tidak menular, terutama 

serebrovaskular dan jantung koroner, pada 

umumnya dianggap sebagai penyakit yang 

disebabkan aterosklerosis dan dikaitkan dengan 

proses degeneratif. Ciri dari penyakit ini ialah 

peningkatan prevalensi pada populasi yang 

mempunyai faktor risiko dan yang berusia lanjut. 

Saat ini faktor risiko konvensional untuk penyakit 

kardiovaskular berbasis aterosklerosis itu sudah 

dapat diidentifikasi, antara lain, hipertensi, 

diabetes melitus, hiperkolesterol, merokok, pola 

hidup sedenter, dan obesitas.5

Data faktor risiko penyakit kardiovaskular 

dari Riskesdas menunjukkan bahwa 12% 

penduduk mempunyai kadar kolesterol LDL yang 

termasuk tinggi dan sangat tinggi. Di samping itu, 

prevalensi diabetes melitus mencapai 10,9% dan 

prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran 

pada penduduk berusia >18 tahun mencapai 

34,11%. Sementara itu, kebiasaan buruk, seperti 

merokok, pada penduduk berusia ≥10 tahun 

mencapai 28,9%. Hal-hal tersebut diperparah 

dengan prevalensi makan buah atau sayur minimal 

lima porsi sehari yang hanya mencapai 4,6% pada 

penduduk berusia di atas 15 tahun. Di sisi lain, 

aktivitas fisik yang dianggap kurang pada penduduk 

berusia ≥10 tahun, yakni sebanyak 33,5%, harus 

dipertimbangkan sebab  berhubungan dengan 

peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskular.3



Seiring peningkatan prevalensi penyakit, 

beban ekonomi akan bertambah, baik secara 

langsung maupun tidak, sebab  terdapat 

peningkatan beban biaya pelayanan kesehatan 

untuk menangani penyakit ini serta komplikasi 

sesudah  nya. Selain biaya tersebut, terdapat biaya 

akibat penurunan produktivitas sebab  sakit atau 

komplikasinya.6

Biaya besar untuk penanganan penyakit 

kardiovaskular tentu tidak dapat berkurang 

dengan hanya berfokus pada peningkatan 

kapasitas pelayanan kesehatan, sarana dan 

peralatan, atau kemampuan personel dalam tata 

laksana penyakit. Untuk menekan biaya, prevensi 

agar penyakit tersebut tidak muncul pada populasi 

yang masih sehat (prevensi primer) juga penting 

untuk dilakukan. Begitu pula dengan prevensi 

serangan ulangan, perburukan, atau perawatan 

berulang untuk yang pernah mengalami penyakit 

kardiovaskular (prevensi sekunder). 

Penyakit kardiovaskular merupakan 

penyakit yang sangat ideal untuk dicegah 

mengingat beberapa hal berikut.

1. Faktor risiko penyakit telah banyak diketahui 

dan dipelajari.

2. Terdapat onset yang panjang antara 

keberadaan faktor risiko dan kejadian 

penyakit.

3. Kejadian penyakit dapat mendadak dan 

berakibat fatal, lalu menyisakan masalah besar 

sepanjang hidup.

4. Biaya penanganan penyakit sangat tinggi.

5. Secara umum, prevensi dapat dilakukan 

melalui perbaikan gaya hidup.

Sehubungan dengan hal tersebut, 

implementasi upaya prevensi penyakit 

kardiovaskular sangatlah penting. Hal itu terlihat 

pada efektivitas yang telah dibuktikan dalam 

menurunkan angka kematian. Kondisi demikian 

terjadi jika panduan yang berdasarkan bukti ilmiah 

diimplementasikan dengan baik.7

Dalam prevensi dan pengendalian faktor 

risiko penyakit tidak menular, terdapat empat 

strategi nasional, yaitu 2

1. advokasi, kerja sama, kepemimpinan, dan tata 

laksana penyakit tidak menular;

2. upaya promotif, preventif, dan penurunan 

faktor risiko penyakit melalui pemberdayaan 

masyarakat;

3. penguatan kapasitas pelayanan kesehatan 

melalui kolaborasi sektor swasta dan 

profesional; serta

4. penguatan surveilans dan penelitian dalam 

bidang penyakit tidak menular.

Dalam upaya mendukung prevensi terhadap 

penyakit kardiovaskular itulah, penyusunan buku 

panduan prevensi ini dianggap perlu. Buku ini 

dapat dipergunakan oleh dokter-dokter spesialis 

penyakit jantung di seluruh Indonesia serta 

pemberi pelayanan kesehatan lainnya, termasuk 

pihak pengambil keputusan, sehingga upaya ini 

dapat berjalan sinergis antara profesional pemberi 

pelayanan kesehatan, pembuat kebijakan, dan 

masyarakat.

2. Tujuan

Panduan prevensi penyakit kardiovaskular akibat 

aterosklerosis ini disusun dengan tujuan sebagai 

berikut:

1. Menjadi panduan efektif  dan efisien dalam 

kegiatan pelayanan klinis untuk para dokter 

spesialis penyakit jantung dan pembuluh 

darah anggota Perhimpunan Dokter Spesialis 

Kardiovaskular Indonesia (PERKI) serta 

dokter spesialis lain dan dokter yang bekerja 

di fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam 

upaya prevensi penyakit kardiovaskular di 

tingkat individu atau populasi, baik di klinik 

atau di populasi

2. Menjadi bahan masukan untuk pemerintah 

pusat atau daerah dan pembuat kebijakan 

lain dalam penyusunan dan implementasi 

program prevensi penyakit kardiovaskular



3. Mengarusutamakan program prevensi 

penyakit kardiovaskular sebagai upaya 

penurunan angka prevalensi, kematian, dan 

kesakitan, serta menurunkan biaya langsung 

dan tidak langsung akibat penyakit tersebut

3. Ruang Lingkup

Buku panduan ini dikhususkan untuk prevensi 

penyakit kardiovaskular berbasis aterosklerosis. 

Panduan ini dapat digunakan

1. dalam upaya pelayanan kesehatan, baik 

terhadap individu maupun populasi;

2. oleh tenaga kesehatan dalam pelayanan; serta

3. oleh pembuat kebijakan dalam menyusun dan 

mengimplementasikan program prevensi.

Dalam buku panduan ini, akan dibahas 

dan ditetapkan  Saran  mengenai

1. pendahuluan panduan prevensi penyakit 

kardiovaskular aterosklerosis di Indonesia;

2. faktor risiko penyakit kardiovaskular 

aterosklerosis dan skor prediksi kejadian 

penyakit kardiovaskular;

3. panduan cek up  fisik dan cek up  

penunjang faktor risiko penyakit 

kardiovaskular aterosklerosis;

4. panduan modifikasi gaya hidup, terutama 

latihan fisik, diet dan nutrisi, obesitas, dan 

penghentian merokok;

5. PERAWATAN INTENSIF   hipertensi, diabetes melitus, 

dislipidemia, dan sindrom kardiometabolik;

6. pengendalian stres, faktor psikososial, 

kualitas hidup, dan penyakit kardiovaskular 

aterosklerosis; serta

7. prevensi penyakit kardiovaskular aterosklerosis 

pada populasi lansia.

4. Definisi Operasional

Definisi operasional pada panduan ini, antara lain, 

• prevensi primer: upaya terpadu dalam 

mengurangi risiko pada individu yang 

belum mempunyai atau menderita penyakit 

kardiovaskular, namun   sudah diketahui 

mempunyai faktor risiko;

• prevensi sekunder: upaya terpadu dalam 

mengurangi akibat atau komplikasi penyakit 

kardiovaskular yang sudah diderita;

• faktor risiko: kondisi tertentu yang 

meningkatkan kemungkinan kemunculan 

penyakit kardiovaskular pada masa 

mendatang; dan

• penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVA): 

penyakit jantung koroner, arteri perifer, dan 

serebrovaskular.

5. Penyusunan Buku Panduan Ini

Setiap  Saran  dalam buku panduan ini 

ditetapkan dengan cara

1. menelaah literatur publikasi ilmiah, dokumen 

pedoman, terbitan, atau buku ilmiah lain;

2. mengadopsi panduan sejenis dari European 

Society of  Cardiology (ESC), American 

College of  Cardiology/American Heart 

Association (ACC/AHA), World Health 

Organization (WHO), dan organisasi lain di 

luar dan dalam negeri;

3. menyesuaikan dengan kesepakatan atau 

opini para ahli (dokter spesialis jantung 

dan pembuluh darah dari Kelompok 

Kerja [Pokja] Prevensi dan Rehabilitasi 

Kardiovaskular PP PERKI yang ditunjuk) 

jika ada adopsi  Saran  yang dianggap 

tidak sesuai dengan konsep/nilai-nilai yang 

dianut masyarakat Indonesia atau jika ada 

kemungkinan kesulitan dalam penerapannya;



4. melibatkan beberapa dokter spesialis lain, 

seperti spesialis penyakit dalam, spesialis gizi 

klinik, dan spesialis kedokteran jiwa;

5. menyesuaikan dengan kesepakatan atau opini 

para ahli jika belum ada  Saran  yang 

dapat dijadikan rujukan; serta

  TABEL :  1.1 Klasifikasi Kelas  Saran  Panduan Prevensi PKVA*

Kelas 

 Saran  I

Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan bahwa suatu pengobatan/

tindakan bermanfaat dan efektif  sehingga disarankan  atau diindikasikan.

Kelas 

 Saran  II

Bukti dan/atau kesepakatan bersama lebih mengarahkan keberadaan efektivitas 

atau manfaat suatu pengobatan/tindakan sehingga beralasan untuk dilakukan. 

Dengan demikian, hal tersebut sebaiknya/seharusnya dipertimbangkan (kelas 

 Saran  IIa) atau dianjurkan (kelas  Saran  IIb).

Kelas 

 Saran  III

Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan bahwa suatu pengobatan/

tindakan tidak bermanfaat, bahkan berkemungkinan membahayakan pada 

beberapa kasus, sehingga tidak disarankan  atau dikontraindikasikan.

  TABEL :  1.2 Klasifikasi Tingkat Bukti Panduan Prevensi PKVA*

Tingkat Bukti A Data berasal dari beberapa penelitian klinis acak berganda atau metaanalisis 

terkait PKVA.

Tingkat Bukti B Data berasal dari satu penelitian acak berganda/beberapa penelitian tidak acak 

terkait PKVA.

Tingkat Bukti C Data berasal dari konsensus para pakar dan/atau penelitian kecil, studi 

retrospektif, atau register terkait PKVA.

  TABEL :  1.3 Klasifikasi Tingkat  Saran  Pernyataan Kesepakatan atau Opini Para Ahli

Kelas I Kesepakatan bersama para ahli (>80%) yang menyatakan bahwa suatu 

pengobatan/tindakan bermanfaat dan efektif  sehingga disarankan 

Kelas II Kesepakatan bersama para ahli  (>80%) yang menyatakan bahwa suatu 

pengobatan/tindakan mungkin bermanfaat dan tidak membahayakan sehingga 

harus atau perlu dipertimbangkan

Kelas III Kesepakatan bersama para ahli  (>80%) yang menyatakan bahwa suatu 

pengobatan/tindakan tidak bermanfaat, bahkan berkemungkinan 

membahayakan, sehingga tidak disarankan 

*Adopsi dari pedoman European Society of  Cardiolgy, American College of  Cardiology/

American Heart Association, World Health Organization, atau organisasi lain

6. mencantumkan pernyataan kesepakatan (PK) 

para ahli dalam tingkatan sesuai persentase 

persetujuan para ahli (>80% persetujuan) 

yang meliputi (1) disarankan  (tingkat 

 Saran  kelas I), (2) dipertimbangkan 

(tingkat  Saran  kelas II), atau (3) tidak 

disarankan  (tingkat  Saran  kelas 

III).  






Penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVA) saat ini masih menjadi pembunuh nomor satu di dunia, termasuk di 

Indonesia.  Timbulnya penyakit ini pada 

seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko 

kardiovaskular, mulai dari faktor risiko tradisional 

hingga faktor risiko lain yang dapat memperberat 

risiko PKVA. Paparan yang terus-menerus 

dari kombinasi faktor-faktor ini akan memicu 

progresivitas aterosklerosis yang kemudian 

bermanifestasi menjadi PKVA. Kejadian PKVA 

mencakup angina pektoris, infark miokard, gagal 

jantung, dan penyakit serebrovaskular.

Sebagai bagian dari upaya prevensi primer, 

stratifikasi risiko dan landasan untuk PERAWATAN INTENSIF   

sangat penting dibuat dengan tujuan untuk 

mendeteksi dini faktor risiko setiap individu. Oleh 

sebab  itu, dibutuhkan suatu panduan dalam 

menghitung skor untuk mengestimasi risiko 

penyakit kardiovaskular pada masa yang akan 

datang.

2. Faktor Risiko Tradisional 

Penyebab utama dan faktor risiko tradisional PKVA 

yang dapat dimodifikasi antara lain kolesterol 

LDL (LDL-C atau low-density lipoprotein cholesterol), 

tekanan darah tinggi/hipertensi, merokok, dan 

diabetes melitus (DM). Faktor risiko penting 

lainnya yaitu   adipositas (kelebihan timbunan 

lemak pada tubuh) yang akan meningkatkan risiko 

penyakit kardiovaskular melalui peran faktor risiko 

tradisional utama dan mekanisme lainnya.1

2.1 Kolesterol

Dalam patofisiologi terjadinya PKVA, peran 

kolesterol LDL, dan lipoprotein lain yang 

mengandung apolipoprotein-B (apo-B) sebagai 

penyebab PKVA telah terbukti dalam penelitian 

genetik, observasional, dan interventif. Alasan 

kolesterol LDL merupakan faktor risiko PKVA 

ialah sebagai berikut.2

• Berdasarkan banyak penelitian  dan hasil 

uji acak dengan kontrol, rendahnya kadar 

kolesterol LDL  untuk waktu yang panjang 

dikaitkan dengan risiko PKVA yang lebih 

rendah. Selain itu, penurunan kolesterol LDL 

juga terbukti aman dalam menurunkan risiko 

PKVA, bahkan pada tingkat kolesterol LDL 

yang sangat rendah (misalnya <55 mg/dL).

• Penurunan risiko relatif  PKVA sebanding 

dengan penurunan absolut dari kadar 

kolesterol LDL, terlepas dari obat apa yang 

digunakan untuk mencapai perubahan 

tersebut.

• Manfaat absolut dari penurunan kolesterol 

LDL dipengaruhi oleh risiko absolut PKVA 

dan penurunan absolut kadar kolesterol LDL.

• Kolesterol non-high-density lipoprotein (kolesterol 

non-HDL) mencakup semua lipoprotein 

aterogenik (mengandung apo-B). Kolesterol 

non-HDL didapatkan dari penghitungan 

kolesterol total dikurangi dengan kolesterol 

HDL. Hubungan antara kolesterol non-

HDL dengan risiko kardiovaskular sama kuat 

jika dibandingkan dengan kolesterol LDL. 


8


Kadar kolesterol non-HDL pada dasarnya 

mengandung informasi yang sama dengan 

pengukuran konsentrasi plasma apo-B. 

2.2 Tekanan Darah 

Studi longitudinal, studi epidemiologi genetik, 

dan uji acak dengan kontrol telah menunjukkan 

bahwa peningkatan tekanan darah merupakan 

faktor risiko PKVA dan PKV nonaterosklerosis 

(terutama gagal jantung). Peningkatan tekanan 

darah tersebut memicu   9,4 juta kematian 

dan 7% kecacatan.

Peningkatan tekanan darah merupakan 

faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK), gagal 

jantung, serebrovaskular, arteri ekstremitas bawah 

(lower extremity arterial disease), gagal ginjal kronis, 

dan fibrilasi atrium. Risiko kematian meningkat 

secara linier jika tekanan darah sistolik lebih dari 

90 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari  

75 mmHg, baik pada kasus PJK maupun strok.1

Manfaat absolut dari penurunan tekanan 

darah sistolik (TDS) dipengaruhi oleh risiko 

absolut dan  penurunan TDS absolut.1

2.3 Merokok

Lima puluh persen penyebab kematian PKV 

yaitu   merokok. Setengahnya disebabkan 

oleh PKVA. Di seluruh dunia, merokok yaitu   

faktor risiko yang menonjol sesudah   hipertensi. 

Seseorang yang merokok seumur hidup memiliki 

kemungkinan 50% meninggal akibat kebiasaan 

merokok tersebut dengan rata-rata penurunan 

usia hidup hingga 10 tahun. Perokok dengan usia 

di bawah 50 tahun memiliki risiko PKVA lima kali 

lebih tinggi jika dibandingkan dengan mereka yang 

tidak merokok. Sementara itu, aktivitas merokok 

pasif  dan pemakaian   jenis rokok tembakau tanpa 

asap juga dikaitkan dengan peningkatan risiko 

PKVA.1

 Merokok, baik aktif  maupun pasif, 

merupakan prediktor independen yang kuat 

terhadap PJK. Di sisi lain, banyak penelitian yang 

melaporkan manfaat berhenti merokok terhadap 

perbaikan risiko terjadinya PJK dan risiko 

perburukan PJK. Salah satu manfaat tersebut 

ialah penurunan mortalitas pada pasien dengan 

infark miokard sebesar 36%.2

2.4 Diabetes Melitus 

Diabetes melitus (DM) tipe I, DM tipe II, dan 

prediabetes merupakan faktor risiko independen 

untuk PKVA. Ketiganya meningkatkan risiko 

PKVA sekitar dua kali lipat tergantung dari 

populasi dan kontrol terapeutik. Dari segi jenis 

kelamin, perempuan dengan DM tipe II memiliki 

risiko strok yang lebih tinggi. Sementara itu, pasien 

dengan DM tipe II cenderung memiliki beberapa 

faktor risiko PKVA, termasuk dislipidemia dan 

hipertensi. Kedua faktor tersebut berkaitan dengan 

peningkatan risiko PKVA dan non-PKVA.1

2.5 Adipositas dan Obesitas

Selama beberapa dekade terakhir, pemakaian   

parameter indeks massa tubuh (IMT)—yang 

dihitung dari pembagian antara berat badan 

(dalam kg) dan kuadrat tinggi badan (dalam m2)—

telah meningkat secara substansial pada anak-

anak, remaja, dan orang dewasa di seluruh dunia. 

Hubungan antara IMT dengan kematian pada 

populasi nonperokok menunjukkan pola hubungan 

linier, sedangkan hubungan antara IMT dengan 

kematian pada populasi perokok menunjukkan 

pola berbentuk kurva J (J curve). Pada populasi 

orang sehat, risiko kematian terendah terjadi pada 

mereka yang memiliki IMT 20–25 kg/m2 dengan 

hubungan kurva berbentuk J atau U. 

Sementara itu, obesitas (sentral)—yang 

ditandai dengan lebar lingkar pinggang—

berhubungan dengan PKV dan diabetes, terutama 

pada usia muda. Walaupun ditemukan bukti 

ilmiah tentang hubungan obesitas pada pasien 

gagal jantung bertentangan, studi metaanalisis 

menyimpulkan bahwa IMT dan lingkar pinggang 

memiliki hubungan yang kuat dengan PKVA dan 

DM tipe II.1,2

9


  

2.6 Jenis Kelamin dan Gender 

Pertimbangan pengintegrasian jenis kelamin, 

gender, dan identitas gender ke dalam penilaian 

risiko serta manajemen klinis individu dan populasi 

merupakan hal yang penting pada pedoman 

prevensi yang ada saat ini. Hubungan jenis kelamin 

dan kejadian PKVA sendiri cukup kompleks.

Sebelumnya, harus dipahami bahwa 

definisi gender mengacu pada karakteristik, norma, 

perilaku, dan peran yang dikonstruksi secara sosial 

pada perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan 

anak laki-laki. Sebagai konstruksi sosial, gender 

bervariasi pada tiap masyarakat. Gender juga 

dapat berubah dari waktu ke waktu. 

 Definisi gender dalam bidang kesehatan 

global lebih lanjut menyatakan bahwa gender 

mengacu pada norma-norma yang dibangun 

secara sosial. Norma tersebut memaksakan dan 

menentukan peran, hubungan, dan kekuatan 

posisional untuk semua orang sepanjang hidup 

mereka. Pada akhirnya, gender berpengaruh 

terhadap pengalaman individu dan akses individu 

tersebut ke suatu layanan kesehatan. 

Efek epigenetik konstruksi sosial  juga 

menunjukkan adanya efek jenis kelamin biologis 

terhadap patofisiologi penyakit. Lebih jauh, 

konstruksi sosial juga dapat menjadi penentu 

akses kesehatan, pemanfaatan layanan kesehatan, 

persepsi penyakit, pengambilan keputusan, dan 

mungkin respons terapeutik, termasuk di bidang 

prevensi PKV dan PKVA

3. Faktor Risk Modifier yang 

Potensial

Selain faktor risiko PKVA konvensional, 

terdapat beberapa faktor risiko lain yang dapat 

memengaruhi luaran prediksi risiko. Faktor risiko 

demikian dikenal sebagai risk modifier. Menurut 

ESC,3 syarat risk modifier dapat dipertimbangkan 

apabila

• memperbaiki ukuran prediksi risiko, seperti 

mempunyai nilai diskriminasi atau reklasifikasi 

(misalnya dengan perhitungan net reclassification 

index);

• memiliki dampak yang jelas pada kesehatan 

masyarakat (misalnya manfaatnya pada 

skrining PKVA);

• mempunyai kemungkinan untuk dapat 

dikerjakan (feasible) dalam praktik sehari-hari;

• mengandung informasi mengenai perubahan 

luaran risiko yang dipengaruhi keberadaan 

risk modifier; dan

• memiliki literatur tentang risk modifier yang 

tidak terdistorsi oleh bias publikasi.

Berdasarkan syarat-syarat di atas, berikut 

beberapa risk modifier yang perlu dipertimbangkan 

dalam prediksi risiko kardiovaskular.

3.1 Faktor Stres Psikososial

Stres psikososial dikaitkan dengan perkembangan 

dan progresi PKVA, terlepas dari faktor risiko 

konvensional dan jenis kelamin. Stres psikososial 

mencakup gejala stres (gangguan mental) serta 

stresor, seperti kesepian dan peristiwa kehidupan 

yang berat. Sebaliknya, indikator kesehatan 

mental, seperti optimisme dan tujuan yang kuat, 

dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah terhadap 

progresi PKVA. Stres psikososial memiliki efek 

biologis langsung serta sangat berkorelasi dengan 

faktor risiko sosial ekonomi dan perilaku (misalnya 

merokok dan kepatuhan yang buruk).2 

sebab  faktor aspek psikologis pada 

pasien PKVA merupakan hal yang penting, 

beberapa pedoman me Saran kan skrining 

stres psikologis pada pasien PKVA.4–6 Penelitian 

kohort prospektif  dengan median follow up 8,4 

tahun  menunjukkan pentingnya  skrining depresi 

terhadap kejadian PKVA.7 




3.2 Etnisitas

Etnisitas berpengaruh terhadap sebuah prediksi 

risiko kardiovaskular. Sebagai contoh, di Eropa 

terdapat banyak warga yang berlatar belakang 

etnis dari negara-negara lain, seperti India, Cina, 

Afrika Utara, dan Pakistan. Dengan variabilitas 

faktor risiko PKVA yang cukup besar di antara 

kelompok etnis, tidak terdapat skor tunggal terkait 

risiko penyakit kardiovaskular tunggal yang dapat 

diterapkan di semua kelompok etnis. Sebaliknya, 

pemakaian   faktor pengali akan membantu untuk 

memperhitungkan risiko PKVA pada kelompok 

etnis tertentu, terlepas dari faktor risiko lain dalam 

skor risiko yang ada. Imigran dari Asia Selatan 

(terutama India dan Pakistan) menunjukkan 

tingkat PKVA yang lebih tinggi. Alasan perbedaan 

risiko di antara kelompok etnis tersebut masih 

belum dapat dijelaskan sepenuhnya.3

Pada populasi Indonesia, Jakarta 

Cardiovascular Score (JAKVAS Score) merupakan 

salah satu model prediksi risiko yang diteliti pada 

populasi lokal.11 Model prediksi lain yang melibatkan 

populasi Indonesia ialah grafik prediksi risiko 

(risk prediction charts) World Health Organization/

International Society of  Hypertension (WHO/

ISH) pada 2019 yang menempatkan Indonesia di 

regional Asia Tenggara dari empat belas wilayah 

penelitian.8

3.3 Pencitraan

Terdapat beberapa modalitas pencitraan yang 

dapat menjadi risk modifier dari prediksi risiko 

kardiovaskular yang sudah ada.3

1. Coronary Artery Calcium 

Skor coronary artery calcium (CAC) dapat 

mereklasifikasi risiko PKVA menjadi lebih 

meningkat atau menurun. pemakaian  nya 

dapat dipertimbangkan pada populasi 

laki-laki ataupun perempuan yang berada 

pada nilai ambang dengan model prediksi 

risiko. Ketersediaan dan efisiensi biaya 

dari pemakaian   skor CAC tentu harus 

dipertimbangkan berdasarkan daerah masing-

masing. Di Indonesia, beberapa rumah 

sakit tipe B dan A telah memiliki sarana 

multislice computed tomography (MSCT) untuk 

menilai skor CAC sehingga pemakaian  nya 

dalam mereklasifikasi risiko PKVA dapat 

dipertimbangkan.

2. Contrast Computed Tomography 

Coronary Angiography

Contrast computed tomography coronary angiography 

(CCTA) dapat mendeteksi stenosis koroner dan 

memprediksi kejadian kardiovaskular. Dalam 

studi Scottish Computed Tomography of  the 

Heart (SCOT-HEART), tingkat kematian 

koroner atau infark miokard selama 5 tahun 

berkurang ketika CCTA digunakan pada 

pasien angina pektoris stabil. Penurunan relatif  

pada infark miokard ditemukan pula pada 

pasien dengan nyeri dada nonkardiak (non 

cardiac chest pain) ketika dilakukan cek up  

CCTA. Sementara itu, peningkatkan klasifikasi 

risiko atau penambahan nilai prognostik atas 

skor CAC oleh CCTA masih belum diketahui.

3. Ultrasonografi Karotis

pemakaian   parameter ketebalan media intima 

(intima-media thickness) untuk meningkatkan 

penilaian risiko tidak dianjurkan sebab  

kurangnya standardisasi metodologi dan 

ketiadaan nilai tambah ketebalan tersebut 

dalam memprediksi kejadian PKVA di 

kemudian hari, termasuk pada kelompok risiko 

menengah.9 

Meskipun bukti ilmiah ultrasonografi 

karotis tidak sebanyak bukti ilmiah skor CAC, 

penilaian plak arteri karotis menggunakan 

ultrasonografi untuk mereklasifikasi risiko 

PKVA masih dapat dilakukan. Penilaian 

tersebut juga dapat dianggap sebagai risk modifier 

pada pasien dengan risiko menengah ketika 

skor CAC tidak mungkin untuk dilakukan.

4. Arterial Stiffness

Arterial stiffness atau kekakuan arteri 

biasanya diukur dengan menggunakan 

11


  

kecepatan gelombang nadi aorta atau indeks 

augmentasi arteri. Penelitian-penelitian yang 

ada  menunjukkan bahwa kekakuan arteri 

memprediksi risiko CVD di kemudian hari 

dan meningkatkan klasifikasi risiko. Namun, 

kesulitan pengukuran dan bias publikasi yang 

substansial membuat parameter ini tidak 

digunakan secara luas.

5. Ankle Brachial Index 

Diperkirakan bahwa 12%—27% individu 

paruh baya memiliki ankle brachial indeks (ABI) 

<0,9. Sekitar 50%—89% di antaranya tidak 

memiliki klaudikasio tipikal.10 Metaanalisis data 

pasien individu menyimpulkan bahwa potensi 

reklasifikasi berdasarkan  ABI terbatas.11

3.4 Frailty

Frailty tidak sama dengan penuaan. Frailty dapat 

meningkat sesuai dengan usia, namun   orang dengan 

usia yang sama belum tentu memiliki kesamaan 

tingkat frailty. Hal tersebut tergantung status 

kesehatan dan kebugaran seseorang.

Skrining untuk frailty diindikasikan untuk 

setiap pasien lanjut usia, namun    skrining tersebut 

juga dapat dilakukan pada orang-orang dengan 

risiko percepatan penuaan. Selain itu, penilaian 

frailty penting pada setiap tahap PKVA. Namun,  

apabila peristiwa PKVA itu akut, penilaian menjadi 

lebih sulit dan bergantung pada anamnesis. Pilihan 

lainnya ialah penundaan penilaian sampai pasien 

kembali ke kondisi stabil.3 Beberapa penilaian frailty 

yang umum digunakan, antara lain, Edmonton 

Frail Scale dan Frailty Index 40 Items.

3.5 Riwayat Keluarga 

Riwayat keluarga merupakan indikator yang 

sederhana dari risiko PJK. Riwayat keluarga 

mencerminkan interaksi genetik dan lingkungan. 

Beberapa studi yang menilai efek dari riwayat 

keluarga dan genetik menyimpulkan bahwa 

riwayat keluarga tetap terkait secara signifikan 

dengan PKVA, termasuk sesudah   penyesuaian 

penskoran genetik.12,13 Namun, riwayat keluarga 

hanya sedikit meningkatkan prediksi risiko PKVA 

di luar faktor risiko konvensional.14,15 Hal ini dapat 

dijelaskan sebab  variasi definisi yang digunakan.

3.6 Sosial Ekonomi

Pada laki-laki maupun perempuan, status sosial 

ekonomi yang rendah dan stres di lingkungan kerja 

secara independen berkaitan dengan timbulnya 

PKVA dan prognosis PKVA.Terdapat hubungan 

yang kuat dengan risiko hampir dua kali lipat 

antara pendapatan rendah dan mortalitas PKVA.16

3.7 Paparan Lingkungan

Paparan lingkungan yang berpotensi memodifikasi 

risiko PKVA meliputi polusi udara dan tanah 

serta tingkat kebisingan di atas ambang batas. 

Polusi udara yang dimaksud dapat berupa polutan 

gas (misalnya ozon, nitrogen dioksida, senyawa 

organik yang mudah menguap, karbon monoksida, 

dan sulfur dioksida). Polutan tersebut dihasilkan 

terutama oleh pembakaran bahan bakar fosil. 

Selain itu, polusi tanah dan air juga merupakan 

pengubah risiko PJK. Peningkatan paparan timbal, 

arsenik, dan kadmium dikaitkan dengan beberapa 

luaran PJK, termasuk hipertensi, penyakit jantung 

kronis, strok, dan mortalitas.3

3.8 Biomarker dalam Darah atau Urin

Banyak biomarker yang telah diteliti untuk 

memperbaiki stratifikasi risiko. Beberapa mungkin 

penyebab PKVA secara langsung (misalnya 

lipoprotein [a] yang mencerminkan komponen 

lipid patogen), sedangkan biomarker yang 

lain mungkin berperan pada sebagian proses 

patofisiologi yang mendasari terjadinya PKVA 

(misalnya C-reactive protein yang mencerminkan 

peradangan) atau kerusakan jantung tahap awal 

(misalnya peptida natriuretik atau high sensitive 

cardiac troponin).


12


Dalam pedoman ESC 2016, pengecekan 

rutin biomarker sebenarnya tidak disarankan  

sebab  sebagian besar biomarker tidak banyak 

meningkatkan prediksi risiko. Potensi bias publikasi 

juga dapat mendistorsi bukti. Namun, beberapa 

penelitian terbaru makin memperlihatkan 

kegunaan biomarker dalam reklasifikasi prediksi 

kardiovaskular, seperti cek up  biomarker 

CRP dan Lp(a).17,18 Beberapa biomarker jantung 

memang terlihat menjanjikan, namun   tetap 

diperlukan penelitian lanjutan dalam skala besar 

untuk menentukan pemakaian  nya.

4. Menghitung Skor Risiko PKVA

Selain dapat digunakan untuk memprediksi angka 

mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular 

di kemudian hari pada tingkat individu atau 

populasi tertentu, estimasi risiko penyakit 

kardiovaskular berguna untuk memberi informasi 

kepada pembuat kebijakan dan otoritas kesehatan 

yang berwenang untuk mengendalikan risiko ini. 

Selain itu, estimasi risiko dapat menginspirasi 

individu untuk mengubah gaya hidup dan perilaku 

kesehatannya.19

 Pada 2021, European Society of  

Cardiology (ESC) mengeluarkan suatu algoritma 

untuk menghitung skor prediksi risiko 10 tahun 

kejadian PKVA yang bernama Systemic Coronary 

Risk Estimation-2 (SCORE-2).2 Algoritma skor 

prediksi ini termaktub dalam “ESC Guidelines 

on CVD Prevention” 2021 dan merupakan 

modifikasi dari algoritma Systemic Coronary Risk 

Estimation (SCORE) yang dikeluarkan dalam 

panduan sebelumnya, “ESC Guidelines on CVD 

Prevention” 2016.20

 Algoritma SCORE digunakan untuk 

memperkirakan risiko kematian akibat penyakit 

kardiovaskular dalam 10 tahun. Namun ternyata, 

morbiditas kardiovaskular (infark miokard nonfatal 

dan strok nonfatal) yang dikombinasikan dengan 

mortalitas kardiovaskular memberikan gambaran 

yang lebih baik tentang risiko PKVA dibandingkan 

jika hanya memperhitungkan mortalitas saja. Oleh 

sebab  itu, algoritma SCORE-2 yang dikeluarkan 

ESC pada 2021 memperhitungkan keduanya, baik 

mortalitas maupun morbiditas nonfatal. Meskipun 

demikian, SCORE-2 memiliki kekurangan, yaitu 

penerapan yang belum tentu sesuai di Indonesia 

sebab  data-data yang dipergunakan merupakan 

data kohort dari penduduk Eropa dan tidak 

mewakili penduduk Asia, khususnya Indonesia.

 Perbedaan lainnya antara SCORE 

dan SCORE-2 pada algoritma terbaru ialah 

perhitungan tersendiri yang dilakukan apabila 

individu sudah di atas 70 tahun. Algoritma 

SCORE-2 dipergunakan pada individu di bawah 

70 tahun, sedangkan untuk usia di atas 70 tahun, 

ESC me Saran kan pemakaian   algoritma 

skor SCORE2-OP. 

 Terdapat dua pertimbangan khusus yang 

berlaku untuk estimasi risiko 10 tahun PKVA pada 

lansia. Pertama, gradien hubungan antara faktor 

risiko klasik (seperti lipid dan tekanan darah) dan 

risiko kardiovaskular akan melemah sejalan dengan 

penambahan usia. Kedua, kontribusi CVD free 

survival akan semakin berkurang pada overall survival 

dengan pertambahan usia sebab  risiko mortalitas 

non-CVD (competing risk) yang semakin bertambah, 

seperti kanker.3

 Pada tahun 2019, WHO CVD Risk 

Chart Working Group menerbitkan  hasil 

penelitian berupa algoritma skor prediksi 10 tahun 

PKVA. Penelitian ini bersifat global sebab  skor 

mencakup 21 kawasan negara berdasarkan studi 

Global Burden of  Diseases (GBD).4 Salah satu 

kawasan yang ditetapkan ialah Asia Tenggara, 

termasuk Indonesia. Oleh sebab  itu, skor ini 

dapat diterapkan di Indonesia. Studi tersebut 

mengikutsertakan 376.177 data peserta dari 85 

studi kohort dan 19.333 insiden kardiovaskular 

dalam 10 tahun masa follow up.19

 WHO membagi chart estimasi risiko setiap 

kawasan menjadi dua bagian, yaitu estimasi risiko 

yang berdasarkan hasil laboratorium (laboratory 

based) dan yang tidak berdasarkan laboratorium 

(nonlaboratory based). Perhitungan yang tidak 

13


  

berdasarkan laboratorium dimaksudkan untuk 

daerah–daerah yang memiliki keterbatasan 

fasilitas laboratorium. Oleh sebab  itu, daerah–

daerah terpencil di Indonesia yang sulit memiliki 

akses laboratorium dapat memakai skor ini.

Para ahli Pokja Prevensi dan Rehabilitasi 

PERKI sepakat menyetarakan skor risiko WHO 

secara kualitatif  dengan estimasi risiko dari 

sumber lain, seperti SCORE-2. Estimasi risiko 

WHO dibagi menjadi lima secara kualitatif, yaitu 

risiko rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi, dan 

sangat sangat tinggi. Perlu diketahui bahwa angka 

skor estimasi risiko 10 tahun ini bersifat arbitrer 

sebab  persentase skor dapat berbeda antara skor 

risiko WHO dan lainnya (skor risiko dari ESC, 

ACC/AHA, dll.). Sementara itu, nilai kualitatif  

skor dapat disetarakan jika diperlukan untuk 

kepentingan  Saran  PERAWATAN INTENSIF  .

Kategori risiko tidak serta-merta 

dipakai menjadi dasar untuk memulai terapi 

medikamentosa. Pada semua kelompok usia, 

pertimbangan risk modifiers, lifetime CVD risk, manfaat 

pengobatan, komorbiditas, frailty, dan preferensi 

pasien ikut memengaruhi pilihan pengobatan. 

Selain itu, harus diingat bahwa risiko beberapa 

pasien dapat turun ke kategori yang lebih rendah 

tanpa pengobatan dan dapat terjadi hanya dengan 

berhenti merokok.3

  TABEL :  2.1 Pernyataan Kesepakatan Ahli tentang Skor Prediksi Risiko Kardiovaskular

Pernyataan Kesepakatan Ahli

Kelas 

 Saran 

Perhitungan skor prediksi risiko kardiovaskular berdasarkan 

WHO CVD Risk Chart Working Group disarankan  untuk 

digunakan pada perhitungan skor risiko kardiovaskular pada 

populasi Indonesia sebagai upaya prevensi PKVA.

I

Berikut cara menggunakan   TABEL :  

estimasi risiko kardiovaskular yang berdasarkan 

laboratorium (Gambar 2.1 dan Gambar 2.2).8

1. Pilih   TABEL :  yang relevan (pasien dengan/

tanpa diabetes).

2. Pilih   TABEL :  laki-laki atau perempuan.

3. Pilih kolom perokok atau bukan perokok.

4. Pilih grup usia yang relevan.

5. Pilih kotak yang menampilkan irisan 

tekanan darah sistolik dan hasil kolesterol 

total dari pasien.

6. Perhatikan warna kotak berikut yang 

mengindikasikan risiko 10 tahun PKVA, 

baik fatal maupun nonfatal.

Warna Persentase Risiko Stratifikasi Risiko

Hijau <5% Risiko rendah

Kuning 5% s.d. <10% Risiko sedang

Oranye 10% s.d. <20% Risiko tinggi

Merah 20% s.d. <30% Risiko sangat tinggi

Merah gelap ≥30% Risiko sangat sangat tinggi

7. Susun rencana prevensi dan PERAWATAN INTENSIF   serta diskusikan hasilnya dengan pasien.



Sementara itu, berikut cara menggunakan 

  TABEL :  estimasi risiko kardiovaskular 

nonlaboratorium (Gambar 2.3).8

1. Pilih   TABEL :  laki-laki atau perempuan.

2. Pilih kolom perokok atau bukan perokok.

3. Pilih grup usia yang relevan.

Warna Persentase Risiko Stratifikasi Risiko

Hijau <5% Risiko rendah

Kuning 5% s.d. <10% Risiko sedang

Oranye 10% s.d. <20% Risiko tinggi

Merah 20% s.d. <30% Risiko sangat tinggi

Merah gelap ≥30% Risiko sangat sangat tinggi

6. Susun rencana prevensi dan PERAWATAN INTENSIF   serta diskusikan hasilnya dengan pasien.

4. Pilih kotak yang menampilkan irisan 

tekanan darah sistolik dan indeks massa 

tubuh (IMT).

5. Perhatikan warna kotak berikut yang 

mengindikasikan 10 tahun PKVA, baik 

fatal maupun nonfatal.

1



Secara klinis, kondisi tanpa gejala dapat muncul pada pasien yang rentan terhadap PKVA.  Gejala baru timbul jika terjadi 

iskemia pada organ tersebut.1

 Manifestasi klinis aterosklerosis biasanya 

baru muncul pada orang dewasa usia pertengahan 

atau lanjut usia. Namun, yang perlu mendapat 

perhatian ialah aterosklerosis berupa fatty streak 

yang sudah mulai timbul sejak usia dini atau masa 

kanak-kanak.2

 Dalam rangka prevensi primer, penting 

bagi klinisi untuk mengetahui dan menilai 

aterosklerosis tersebut secara klinis sejak ketiadaan 

hingga kemunculan gejala, baik yang ringan 

maupun berat.1 

 Penilaian klinis penyakit aterosklerosis 

dapat dilakukan melalui anamnesis serta 

cek up  fisik dan penunjang. Waktu yang 

dianjurkan untuk mulai melakukan penapisan 

PKVA, anamnesis untuk menggali informasi 

tentang riwayat penyakit, cek up  fisik organ 

terkait, dan cek up  penunjang yang spesifik 

untuk PKVA akan dipaparkan dalam bab ini.

2. Penentuan Waktu Penilaian Klinis 

untuk Penapisan PKVA

Penghitungan faktor risiko PKVA dapat dilakukan 

sesudah   usia 20 tahun dan dapat diulang setiap 4—6 

tahun.3 Penilaian risiko PKVA yang sistematis atau 

nonsistematis (oportunistis) pada populasi umum 

tanpa faktor risiko PKVA dapat mulai dilakukan 

pada laki-laki berusia >40 tahun dan perempuan 

>50 tahun atau pascamenopause.4 

  TABEL :  3.1  Saran  Penilaian Risiko PKVA

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Penilaian risiko PKVA yang sistematis atau nonsistematis 

pada populasi umum tanpa faktor risiko PKVA dapat mulai 

dilakukan pada laki-laki berusia >40 tahun dan perempuan 

>50 tahun atau pascamenopause. Individu yang dinilai faktor 

risikonya dapat dipertimbangkan untuk mengulang penapisan 

sesudah   5 tahun atau bisa lebih cepat lagi jika ditemukan risiko 

PKVA yang sudah memerlukan pemberian terapi.

II C

22

Penilaian Klinis PKVA


3. Anamnesis

Risiko individu untuk timbulnya PKVA dalam 

10 tahun ke depan dapat ditentukan berdasarkan 

usia, jenis kelamin, dan faktor risiko tradisional 

sehingga perlu dilakukan pengambilan data diri 

pasien serta anamnesis tentang riwayat penyakit 

pasien dan riwayat keluarganya (  TABEL :  3.2).

  TABEL :  3.2 Data Pasien dan Anamnesis untuk Penilaian Klinis PKVA

Variabel Keterangan

Jenis kelamin Studi epidemiologi menunjukkan bahwa PKVA yang timbul pada 

perempuan pramenopause lebih lambat rata-rata 10 tahun jika 

dibandingkan pada laki-laki dan infark miokard terjadi 20 tahun 

kemudian.6

Usia Laki-laki berusia ≥45 tahun dan perempuan ≥55 tahun 7 sudah 

dicatat sebagai risiko PKVA.

Keluhan saat ini Rasa tidak nyaman di dada saat berolahraga, sesak napas, pusing, 

nyeri kepala, mudah pingsan/blackouts, kaki bengkak, dan dada 

berdebar tanpa alasan 

Menopause PKVA meningkat sepuluh kali lipat pada perempuan 

pascamenopause. Sementara itu, peningkatan PKVA pada laki-laki 

sebesar 4,6 kali lipat pada kelompok usia yang sama.6

Merokok Masih/sudah berhenti merokok dalam waktu 6 bulan atau 

terpapar asap rokok/tembakau di lingkungan pasien7

Gaya hidup sedenter Tidak berolahraga setidaknya 30 menit dengan intensitas sedang 

(40%–60% VO

2

R*), yakni 3 hari dalam seminggu selama 

setidaknya 3 bulan7

Riwayat penyakit 

dan pengobatan 

sebelumnya

1. Pertanyaan mengenai pengalaman didiagnosis dokter atas 

hipertensi; DM; dislipidemia; penyakit gagal ginjal kronis; 

infark serebral; masalah kehamilan (hipertensi pada kehamilan, 

preeklamsia/eklamsia, diabetes gestasional, dan persalinan 

prematur); menopause dini (usia <40 tahun); penyakit polikistik 

ovarium; penyakit autoimun; sedang/pernah terapi kanker 

payudara; atau depresi3,7—9

2. Pengalaman serangan jantung, pembedahan jantung, prosedur 

kateterisasi jantung (pemasangan stent atau angioplasti koroner), 

pemasangan pacu jantung atau alat lainnya, aritmia, penyakit 

katup jantung, gagal jantung, transplantasi jantung, serta 

penyakit jantung bawaan dan pengobatannya7,8

Riwayat keluarga 

mengalami PKVA 

prematur

Riwayat infark miokard, revaskularisasi koroner, atau kematian 

mendadak pada ayah atau saudara laki-laki kandung sebelum usia 

55 tahun dan/atau pada ibu atau saudara perempuan kandung 

yang terjadi sebelum usia 65 tahun3,7

*VO

2

R yaitu   pengambilan oksigen reserve, yaitu VO

maksimal – VO

2

 istirahat. 

23

Penilaian Klinis PKVA

  

4. cek up  Fisik

cek up  fisik umum yang lengkap sebaiknya 

selalu dilakukan pada setiap individu dengan 

dugaan PKVA. Berikut ialah cek up  fisik 

spesifik yang dianjurkan untuk menilai risiko 

PKVA.

1. Indeks Massa Tubuh, Lingkar Pinggang, 

dan Rasio Lingkar Pinggang-Panggul

Ukurlah tinggi badan, berat badan, lingkar 

pinggang, dan rasio pinggang-panggul pasien. 

Indeks massa tubuh (IMT) disesuaikan dengan 

klasifikasi yang berlaku. Untuk orang Asia, 

disebut obesitas jika >25 kg/m2.10 Lingkar 

pinggang normal untuk laki-laki ialah <90 

cm, sedangkan untuk perempuan <80 cm.11 

Seseorang tergolong dalam obesitas sentral 

apabila memiliki nilai rasio lingkar pinggang-

panggul (RLPP) >0,80 pada perempuan dan 

>0,95 pada laki-laki.12

2. Tekanan Darah

Lakukan cek up  tekanan darah, baik di 

fasilitas layanan kesehatan maupun di rumah, 

dengan peralatan dan teknik yang benar. 

Diagnosis hipertensi ditegakkan jika TDS 

≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik 

(TDD) ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik 

atau fasilitas layanan kesehatan.4

3. Inspeksi 

a. Pseudoxanthoma elasticum (kulit yang 

kasar, terutama di daerah lipatan kulit, 

sebab  akumulasi deposit kalsium dan 

mineral lain akibat dari kelainan genetik) 

menggambarkan aterosklerosis prematur.13

b. Xanthelasma palpebrarum (infiltrat patologis 

dari sel busa kaya kolesterol berupa plak 

kekuningan [xantoma] yang timbul simetris 

di dekat canthus bagian dalam palpebra) 

menggambarkan kadar kolesterol LDL 

aterogenik yang tinggi dan secara signifikan 

merupakan tanda risiko tinggi PKVA.14

4. Palpasi Pulsasi Arteri di Kaki

Pulsasi arteri yang tidak normal di kaki 

merupakan diagnosis klinis penyakit 

aterosklerosis dengan sensitivitas 63%—95% 

dan spesifisitas 73%—99%.1 

  TABEL :  3.3  Saran  cek up  Pulsasi Arteri Ekstremitas

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

cek up  fisik disarankan  untuk dilakukan bersama 

anamnesis, yaitu inspeksi (palpasi yang membandingkan antara 

kedua ekstremitas dan auskultasi pada arteri kedua ekstremitas).

I B15

Penilaian kondisi kulit, integritas, turgor, perspirasi, warna kulit, 

atrofi otot, deformitas, dan temperatur juga disarankan .

I C15

5. Auskultasi Bruit Vaskular

Murmur atau bruit vaskular merupakan tanda 

adanya stenosis arteri. Lakukan auskultasi 

dengan teliti pada arteri karotis, renalis, 

dan femoralis. Sensitivitas cek up  bruit 

arteri femoralis cukup rendah sebab  aliran 

darah pada arteri tersebut pelan, terutama 

saat istirahat. Sensitivitas dapat ditingkatkan 

dengan cara memeriksa pasien sambil 

bergerak, misalnya pasien diminta berdiri 

sambil melakukan repetitive toe stands.   TABEL :  

3.4 menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas 

cek up  fisik vaskular.

24

Penilaian Klinis PKVA


  TABEL :  3.4 Sensitivitas dan Spesifisitas cek up  Fisik Vaskular1

Vascular Bed Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)

Arteri karotis

• Pasien asimtomatik

• Simtomatik

58—90

62—71

86—88

61—79

Arteri renalis 39—63 90—99

Arteri femoralis 20—29 95—96 

5. cek up  Penunjang

cek up  penunjang berikut dianjurkan untuk 

dilakukan sebagai bagian dari penilaian klinis 

PKVA. 

1. cek up  Dasar untuk Pasien 

dengan Kecurigaan PKVA 

cek up  laboratorium kimia dasar (darah 

lengkap, serum kreatinin, dan profil lipid), 

elektrokardiografi (EKG) istirahat, pemantauan 

EKG ambulatori, ekokardiografi istirahat, serta 

foto rontgen toraks pada pasien tertentu16

2. cek up  Laboratorium Kimia 

Darah/Urin untuk Identifikasi Risiko 

PKVA

Jumlah penanda faktor risiko PKVA dari 

cek up  laboratorium (spesimen darah 

atau urin) yang potensial bertambah dari 

tahun ke tahun. Namun, hanya sedikit yang 

terbukti memiliki manfaat klinis yang signifikan 

sesuai bukti ilmiah.17   TABEL :  3.5 menunjukkan 

cek up  laboratorium darah/urin dan 

penilaiannya berbasis bukti.

  TABEL :  3.5 cek up  Laboratorium Darah/Urin dan Tingkat Bukti PKVA

Penapisan Dislipidemia

Jenis cek up  Keterangan

Kolesterol total (KT), kolesterol 

LDL (LDL-C), kolesterol HDL 

(HDL-C), trigliserida, dan kolesterol 

non-HDL3,4,7,9

a. Peningkatan kolesterol total merupakan prediktor insidensi dan 

mortalitas PKVA pada masa depan (tingkat bukti A).9 

b. Peningkatan kolesterol LDL, kolesterol non-HDL, dan 

trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL merupakan 

prediktor insidensi dan mortalitas PJK pada masa depan (tingkat 

bukti B).9

Penapisan Diabetes Melitus

Jenis cek up  Keterangan

Gula darah puasa, gula darah 

dua jam postprandial, dan HbA1c 

(hemoglobin A1c)3,4,7,9

DM merupakan faktor risiko kuat terhadap PKVA (tingkat bukti A).9

Penapisan Gagal Ginjal Kronis

Jenis cek up  Keterangan

Urin: proteinuria (albuminuria) dan 

GFR (glomerolus filtration rate)4,9

Darah: eGFR (estimated glomerolus 

filtration rate) dan serum kreatinin4,9

Gagal ginjal kronis merupakan risiko tinggi untuk PKVA (tingkat 

bukti A).9

cek up  Lain yang Dapat Dipertimbangkan

Jenis cek up  Keterangan

Asam urat9 Hiperurisemia dapat dianggap sebagai faktor risiko PKVA (tingkat 

bukti C).9

25

Penilaian Klinis PKVA

  

Lipoprotein (a)9 Hiper-Lp(a)-lipoproteinemia merupakan faktor risiko PKVA (tingkat 

bukti A).9

MDA-LDL (malondialdehyde-modified 

low-density lipoprotein)

MDA-LDL dapat digunakan untuk prediksi prognostik insiden PJK 

pasien DM yang memiliki riwayat PJK (tingkat bukti B).9

Remnant lipoprotein Hiper-remnant-lipoproteinemia merupakan faktor risiko PKVA 

(tingkat bukti B).9

Small dense LDL Kadar small dense LDL yang tinggi merupakan faktor risiko PKVA 

(tingkat bukti A).9

Apolipoprotein-B (apo-B) Kadar apo-B yang tinggi merupakan faktor risiko PKVA (tingkat 

bukti A).9

Rasio KT/HDL, rasio kolesterol 

non-HDL/HDL, rasio kolesterol 

LDL/HDL, dan rasio apo-B/A-I

Rasio KT/HDL, rasio kolesterol non-HDL/HDL, rasio kolesterol 

LDL/HDL, dan rasio apo-B/A-I merupakan penanda untuk PKVA 

(tingkat bukti A).9

Fibrinogen dan PAI-1 (plasminogen 

activator inhibitor)

Kadar fibrinogen dan PAI-1 yang tinggi merupakan penanda untuk 

PKVA (tingkat bukti A).9

3. cek up  Radiologi/Pencitraan 

untuk Identifikasi Aterosklerosis

Jika ditinjau dari perspektif  prevensi 

PKVA, identifikasi arteriosklerosis dan lesi 

aterosklerosis penting untuk dilakukan agar 

tingkat keparahan PKVA dapat diketahui 

sebelum gejala klinis muncul. Metode 

diagnostik radiologi/pencitraan noninvasif  

terutama digunakan sebagai prevensi primer, 

sedangkan metode invasif, seperti angiografi, 

digunakan sebagai prevensi sekunder pada 

PKVA (  TABEL :  3.6 dan   TABEL :  3.7).9

  TABEL :  3.6 cek up  Morfologi untuk Mengidentifikasi PKVA dan  Saran nya

cek up  Morfologi

Jenis cek up  Keterangan

Ultrasonografi karotis4,9 Metode standar menggunakan alat ultrasonografi untuk menilai ketebalan media 

intima, plak, stenosis, dan derajat arteriosklerosis, terutama di arteri karotis.9 Plak 

didefinisikan sebagai penebalan dinding fokal sebesar >50% dari dinding pembuluh 

darah di sekitarnya. Plak juga dapat disebut sebagai daerah dengan ketebalan media 

intima >1,5 mm yang menonjol ke dalam lumen pembuluh darah.4

 Saran , kelas 

 Saran , dan 

tingkat bukti

Deteksi plak aterosklerosis menggunakan ultrasonografi arteri karotis dapat 

dianggap sebagai pengubah risiko (risk modifier) dalam penilaian risiko kardiovaskular 

pada pasien asimtomatik (kelas IIa; tingkat bukti B).18

Computed tomography 

angiography koroner 

(CTA koroner)9,18

CTA yaitu   metode cek up  untuk mendiagnosis arteriosklerosis arteri 

koroner dengan cepat yang dapat mengestimasi derajat kalsifikasi, lemak, dan serat 

jaringan.9

cek up  CTA dapat menghitung skor kalsium koroner dengan cara kuantifikasi 

kalsium menggunakan skor Agatston: 0 = sangat tidak mungkin mengalami 

aterosklerosis, 1—400 = kemungkinan aterosklerosis, dan >400 = aterosklerosis 

parah. 

Kalsifikasi koroner yaitu   penanda pengganti untuk plak aterosklerosis yang jarang 

terjadi dalam konteks lain, kecuali pada gagal ginjal.17

CTA juga merupakan modalitas pencitraan yang memungkinkan visualisasi lumen 

dan dinding arteri koroner menggunakan kontras intravena. CTA mempunyai 

kemampuan diagnosis untuk mendeteksi anatomi yang signifikan (>50% stenosis) 

dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 82%.18

26

Penilaian Klinis PKVA


 Saran , kelas 

 Saran , dan 

tingkat bukti

CTA koroner disarankan  sebagai cek up  awal untuk mendiagnosis 

PJK pada pasien bergejala sebab  PJK obstruktif  tidak dapat disingkirkan dengan 

penilaian klinis saja (kelas I; tingkat bukti B).18

Stress cardiac magnetic 

resonance (stress CMR)18

dan magnetic resonance 

angiography (MRA)9

Stress CMR mampu mendeteksi anatomi yang signifikan (>50% stenosis) dengan 

sensitivitas 90% dan spesifisitas 80%.18

MRA dapat menunjukkan visualisasi lesi stenosis dan obstruktif  di arteri intrakranial, 

arteri karotis, aorta, arteri renalis, dan pembuluh darah lainnya. Plak arteri juga dapat 

dinilai menggunakan MRI.9

 Saran , kelas 

 Saran , dan 

tingkat bukti

cek up  menggunakan stress CMR dapat dipertimbangkan pada pasien dengan 

dugaan PJK ketika hasil cek up  ekokardiogram belum meyakinkan (kelas IIb; 

tingkat bukti C).16,18

Angiografi koroner Angiografi koroner menggunakan kateter merupakan metode diagnosis untuk stenosis 

arteri koroner.9

Intravascular ultrasound (IVUS), optical coherence tomography (OCT), dan endoskopi vaskular 

merupakan metode yang digunakan untuk menilai volume dan properti plak.9

 Saran , kelas 

 Saran , dan 

tingkat bukti

Angiografi koroner untuk tujuan stratifikasi risiko hanya diperlukan pada pasien 

dengan suspek PJK yang pada uji noninvasif  tidak/belum meyakinkan (kelas IIa; 

tingkat bukti B).16

  TABEL :  3.7 cek up  Fungsi Vaskular untuk Mengidentifikasi PKVA

cek up  Fungsi Vaskular

Jenis cek up  Keterangan

Ankle-brachial index 

(ABI)1,9

cek up  ABI dapat menilai langsung kesehatan arteri. Caranya sederhana, 

prosedurnya relatif  tidak mahal, dan pengerjaannya bisa dilakukan oleh dokter 

umum dan perawat. cek up  ini berprinsip bahwa jika terdapat plak 

aterosklerosis di arteri iliaka, femoralis, dan poplitea, aliran darah arteri ke tungkai 

bagian bawah akan berkurang sehingga akan terdeteksi perbedaan tekanan darah 

antara lengan dan tungkai.1

Terdapat konsensus bahwa rerata nilai TDS dari kedua lengan harus diambil sebagai 

penyebut, kecuali terdapat perbedaan TDS melebihi 10 mmHg antara kedua 

lengan. Dalam hal ini, nilai TDS tertinggi yang harus diambil sebagai penyebut dan 

diagnosis stenosis arteri subklavia harus disingkirkan.15

Berikut interpretasi hasil penilaian ABI.15

Nilai ABI Derajat Keparahan Penyakit Arteri Perifer 

(PAP) atau Peripheral Artery Disease (PAD)

>1,3

≥0,9

0,75—0,9

0,5—0,75

<0,5

Nilai tinggi yang mungkin salah (suspek sklerosis/

kalsifikasi tunika media)

Normal

PAD ringan

PAD sedang

PAD berat

Klasifikasi ini hanya valid untuk kondisi tanpa mediasklerosis. Jika ada dugaan 

mediasklerosis, sangat disarankan  untuk melakukan cek up  toe-brachial 

index (TBI).4,15

 Saran , kelas 

 Saran , dan 

tingkat bukti

Cara menilai ABI ialah dengan membagi nilai tertinggi TDS arteri dorsalis pedis 

atau tibialis posterior dari kedua tungkai dengan nilai tertinggi TDS arteri brakialis 

dari lengan kanan dan lengan kiri (kelas I; tingkat bukti C).

 Saran , kelas 

 Saran , dan 

tingkat bukti

Nilai ABI ≤0,9 merupakan bukti bahwa terdapat PAD yang signifikan (kelas I; 

tingkat bukti B).15

27

Penilaian Klinis PKVA

  

Toe-brachial index (TBI)9,15; 

kelas  Saran ; 

tingkat bukti

TBI yaitu   rasio tekanan darah di arteri brakialis terhadap tekanan darah di kaki. 

TBI yang ≤0,7 dianggap patologis. Jika TBI ≤0,6, diduga terdapat lesi obstruktif  

pada arteri ekstremitas bawah (kaki) (kelas I; tingkat bukti B).9,15

Stiffness parameter β9,19 Stiffness parameter β yaitu   indeks yang menggambarkan kekakuan lokal dinding 

pembuluh darah (indeks elastisitas arterial).  Indeks tersebut dihitung menggunakan 

formula19 

ln (Ps/Pd)/[(Ds-Dd)/Dd]

ln (Ps/Pd/[∆D/Dd]

Ps = tekanan darah sistolik

Pd = tekanan darah diastolik

Ds = diameter arteri maksimum selama periode sistolik

Dd = diameter arteri minimum selama periode diastolik 

∆D = perubahan diameter arteri selama siklus kardiak

cek up  dilakukan menggunakan alat ultrasound dengan sistem echo-tracking 

pada arteri karotis dan femoralis. cek up  ini berkorelasi dengan aterosklerosis 

karotis.9,19

Flow-mediated dilatation 

(FMD)9

FMD yaitu   cek up  untuk menilai perubahan diameter (dilatasi) arteri 

brakialis yang diukur menggunakan alat ultrasonografi. Dilatasi arteri brakialis 

timbul sebab  hiperemia reaktif  sesudah   lengan mengalami iskemia selama 5 menit. 

Berikut formula untuk menghitung FMD (%)9: (diameter arteri yang paling dilatasi 

– diameter arteri saat istirahat)/diameter arteri saat istirahat x 100%.

Nilai FMD normal ialah ≥6—7%. Nilai FMD mulai turun sejak awal stadium 

aterosklerosis dan hal tersebut penting untuk penilaian dini PKVA.9

---

Latihan Fisik sebagai 

Prevensi PKVA

Muhammad Ridwan

1. Definisi Aktivitas dan Latihan

Fisik 

Aktivitas fisik terbukti sangat bermanfaat dalam meningkatkan dan memperbaiki kondisi kesehatan seseorang. Aktivitas 

fisik berhubungan erat dengan kebugaran dan 

kesehatan. Terdapat korelasi negatif  antara 

aktivitas fisik dengan morbiditas dan mortalitas 

yang disebabkan penyakit kardiovaskular maupun 

penyakit lainnya.1

Gambar 4.1 Komponen-Komponen Kebugaran Fisik 

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan 

tubuh oleh otot skeletal  yang menghasilkan 

energi. Sementara itu, latihan yaitu   aktivitas fisik 

yang terstruktur dan repetitif. Tujuan latihan dan 

aktivitas fisik yaitu   untuk meningkatkan atau 

memelihara kebugaran fisik.

Berdasarkan pedoman ESC,2 terdapat 

lima komponen penilaian kebugaran fisik, yaitu 

komponen kardiorespirasi, morfologi tubuh, otot, 

metabolisme, dan fungsi motorik.2 

30


Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA

1.1 Inaktivitas Fisik sebagai Faktor

Risiko Morbiditas dan Mortalitas

Gaya hidup yang tidak banyak melakukan aktivitas 

fisik dapat menurunkan tingkat kebugaran sehingga 

memicu   gangguan kesehatan, seperti 

timbulnya penyakit kronis serta kematian. Banyak 

penelitian yang menunjukkan bahwa gaya hidup 

sedenter atau kurang aktif  memicu   obesitas 

yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya 

penyakit metabolik, vaskular, dan muskuloskeletal. 

Selain itu, terdapat peningkatan risiko penyakit 

DM tipe 2 sebanyak 50%—80% pada individu 

yang aktivitas fisiknya kurang.2

Sebaliknya, aktivitas fisik terbukti 

menurunkan risiko kematian akibat kardiovaskular 

sebanyak 16%—67% pada populasi hipertensi. 

Namun demikian, pada populasi yang tidak aktif, 

terdapat peningkatan risiko kematian hingga dua 

kali lipat.3 Di sisi lain, aktivitas ringan selama 15 

menit pada orang dewasa juga memiliki dampak 

yang baik.1 

1.2 Efek Fisiologis Latihan Fisik 

terhadap Kardiovaskular

Latihan fisik dapat menimbulkan perbaikan fungsi 

fisiologis tubuh secara akut sesudah   jangka waktu 

tertentu. Efek akut latihan fisik terhadap perbaikan 

fungsi fisiologis tubuh berupa perubahan 

hemodinamik, yaitu peningkatan denyut jantung, 

volume sekuncup, curah jantung, tekanan darah, 

dan aliran darah ke seluruh tubuh. Hal tersebut 

berfungsi untuk mencukupi aliran darah ke otot 

yang bekerja sehingga transpor oksigen menjadi 

lebih baik.

Latihan fisik juga meningkatkan volume 

darah, kontraktilitas miokard, dan komplians 

ventrikel, serta mencegah kalsifikasi katup aorta 

dan angiogenesis. Saat latihan fisik, volume 

sekuncup dapat meningkat hingga 50% dan denyut 

jantung dapat meningkat hingga 270%. Selain itu, 

latihan daya tahan yang dilakukan secara teratur  

berdasarkan jenis, intensitas, dan durasi yang 

disarankan  akan meningkatkan kolesterol 

HDL yang bersirkulasi dan menurunkan kadar 

trigliserida sehingga hal ini dapat menurunkan 

risiko penyakit arteri koroner. Di samping itu, 

peningkatan aktivitas fisik teratur pada individu 

dengan penyakit jantung koroner (PJK) terbukti 

dapat meningkatkan VO

2  

max.4 

2. Latihan Fisik sebagai Prevensi

Primer 

2.1 Skrining sebelum Olahraga

Panduan skrining sebelum olahraga pada orang-

orang dengan faktor risiko ialah sebagai berikut.2

Tidak terdapat batasan olahraga 

kompetitif  pada individu yang memiliki risiko 

rendah atau sedang dan memiliki gaya hidup 

aktif. Pada individu dengan gaya hidup sedenter 

dan memiliki risiko tinggi atau sangat tinggi, 

latihan intensitas rendah tanpa evaluasi lanjutan 

disarankan. cek up  fisik, elektrokardiografi 

(EKG) dua belas sadapan, dan tes stres olahraga 

harus dilakukan pada individu dengan gaya hidup 

sedenter dan/atau yang memiliki risiko tinggi atau 

sangat tinggi. cek up  tersebut dilakukan 

sebelum individu berolahraga dengan intensitas 

sedang dan tinggi untuk menilai prognostik CAD 

dan aritmia yang diinduksi olahraga. 

31

  

Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA

Gambar 4.2 Penilaian/Skrining Kardiovaskular tanpa Gejala untuk Usia >35 Tahun dengan Faktor 

Risiko Penyakit Kardiovaskular dan Kemungkinan Sindrom Koroner Kronis sebelum Olahraga2  

Catatan: Risiko CVD dapat memakai skor risiko WHO (lihat Bab 2). 

2.2 Prevensi Primer pada Populasi

Dewasa

Aktivitas fisik sebagai prevensi primer harus dimulai 

sejak usia sekolah hingga seumur hidup. Olahraga 

yang dapat dilakukan sejak dini antara lain berlari, 

menari, berenang, dan beberapa latihan resistansi 

tertentu. Pada orang dewasa, contoh latihan yang 

dapat dilakukan antara lain latihan aerobik, seperti 

bersepeda, joging, dan berenang. Selain olahraga, 

prevensi primer juga harus didukung dengan 

gaya hidup yang aktif. Intensitas, durasi, dan 

frekuensi semua jenis latihan sebaiknya diukur dan 

direncanakan sesuai kebutuhan individu sebab  

hal ini akan dilakukan oleh individu tersebut untuk 

jangka panjang.2 

Aktivitas fisik yang dilakukan sebaiknya 

sesuai dengan  Saran  dalam hal frekuensi, 

intensitas, durasi, jenis, dan perkembangan. 

Beberapa  Saran  latihan fisik pada orang 

dewasa dapat dilihat pada   TABEL :  4.1. 

32


Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA

  TABEL :  4.1  Saran  Aktivitas Fisik pada Orang Dewasa Sehat

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Latihan aerobik dilakukan selama 150—300 menit/minggu 

dengan level intensitas sedang, selama 75—150 menit/minggu 

dengan intensitas tinggi, atau kombinasi antara intensitas 

sedang dan tinggi dalam minggu yang sama.2 

I A

Jika tidak mampu latihan 150 menit/minggu, individu harus 

tetap aktif  dan menghindari gaya hidup sedenter.2 

I A

Sebagai tambahan, latihan resistansi juga disarankan  

≥2 kali/minggu.1 

I A

Ukuran intensitas aktivitas fisik dapat 

dinilai secara absolut dan relatif. Intensitas absolut 

dinilai dari jumlah oksigen per unit waktu (L/min) 

dan metabolic equivalent of  task (METs), sedangkan 

intensitas relatif  dapat dinilai menggunakan 

persentase kebugaran kardiorespirasi (VO

max), 

cadangan laju jantung (heart rate reserve /HRR), atau 

laju jantung maksimum (HR max). Intensitas relatif  

juga dapat dinilai dengan skala Borg. Latihan daya 

tahan pun berhubungan dengan penurunan total 

kejadian penyakit kardiovaskular dan penyakit lain  

dengan risiko kematian yang tinggi.1

  TABEL :  4.2 Definisi dan Contoh Intensitas Latihan Fisik5

Intensitas METs Contoh

Sedenter 1—1,5 Duduk, berbaring, dan menonton televisi

Rendah 1,6—2,9 Berjalan santai, memasak, dan mengerjakan 

tugas-rumah ringan

Sedang 3,0—5,9 Berjalan cepat (3,84—6,4 km/jam), 

bersepeda (8—14,4 km/jam), menari, yoga, 

dan berenang rekreasional

Tinggi ≥6 Joging/berlari, bersepeda (≥16 km/jam), 

bermain tenis tunggal, dan melakukan 

beberapa putaran renang

Keterangan: METs yaitu   metabolisme ekuivalen; 1 METs setara dengan pemakaian   

oksigen oleh tubuh sebanyak 3,5 ml/kgBB/menit.

2.3 Latihan Fisik pada Populasi 

Diabetes Melitus (DM)

Latihan fisik merupakan terapi lini pertama 

pada DM, selain diet dan terapi medikamentosa. 

Penyerapan glukosa di otot rangka ini dapat 

bertahan hingga 48 jam sesudah   latihan. Oleh 

sebab  itu, harus ada pertimbangan saat melakukan 

latihan intensif  atau olahraga kompetitif  pada 

individu yang mengidap DM untuk menghindari 

hipoglikemia.2 

33

  

Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA

  TABEL :  4.3  Saran  Aktivitas Fisik pada Individu dengan DM2

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Latihan aerobik dengan intensitas sedang atau tinggi dapat 

dilakukan 5—7 hari/minggu minimal selama 30 menit dan 

ditambah latihan resistansi minimal selama 15 menit. Latihan 

tersebut dilakukan minimal tiga kali/minggu.2 

I A

  TABEL :  4.4  Saran  Aktivitas Fisik pada Individu dengan DM6

Aerobik Resistansi Fleksibilitas

Frekuensi 3—7 hari/minggu Minimal 2—3 

hari/minggu (tidak 

berurutan)

≥2—3 hari/minggu

Intensitas Sedang (40%—59% HRR; 

64%—76% HR max; skala 

Borg 12—13) hingga tinggi 

(60%—89% HRR; 77%—

95% HR max)

Sedang (50%—69% 

1-RM) hingga tinggi 

(70%—85%1-RM)

Peregangan sampai titik 

terasa tegang atau merasa 

sedikit tidak nyaman

Durasi DM tipe 1: intensitas sedang 

selama 150 menit/minggu, 

intensitas tinggi, atau 

kombinasi keduanya selama 

75 menit/minggu

DM tipe 2: intensitas sedang—

tinggi selama 150 menit/

minggu

Minimal 8—10 latihan 

dengan 1—3 set dan 

10—15 repetisi per set

Progres ditingkatkan 

dengan beban yang 

lebih berat dengan 

1—3 set dan 8—10 

repetisi.

Menahan peregangan statis 

selama 10—30 detik dengan 

2—4 repetisi pada setiap 

latihan

Tipe Aktivitas ritmis 

berkepanjangan menggunakan 

otot besar (misalnya berjalan, 

bersepeda, dan berenang)

Mesin resistansi dan 

beban bebas

Peregangan statis, dinamis, 

dan/atau proprioceptive 

neuromuscular facilitation (PNF)

Keterangan:  

1. 1-RM yaitu   beban maksimal yang hanya 

mampu dilakukan satu repetisi.

2. HR max merupakan prediksi laju jantung 

maksimum seseorang yang didapatkan 

dari rumus 220 - usia (dalam tahun).

3. HRR merupakan laju jantung cadangan 

seseorang yang didapatkan dari selisih 

antara HR max dan HR rest (laju jantung 

istirahat).

4. Static stretching (peregangan statis) yaitu   

peregangan yang dilakukan secara 

perlahan pada sekelompok otot. 

Peregangan dilanjutkan dengan menahan 

posisi maksimal untuk periode tertentu 

(misalnya 10—30 detik). Hal tersebut 

dapat dilakukan sendiri (aktif) atau oleh 

orang lain (pasif).

5. Dynamic stretching (peregangan dinamis) 

melibatkan transisi gradual dari satu 

posisi tubuh ke posisi lain sambil perlahan 

meningkatkan jangkauan dan range of  

motion sendi ketika gerakan diulang 

beberapa kali.

6. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) 

stretching merupakan metode peregangan 

yang melibatkan kontraksi isometrik 

kelompok otot tertentu yang diikuti 

peregangan statis kelompok otot yang 

sama (melibatkan kontraksi-relaksasi).

34


Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA

2.4 Indikasi dan Kontraindikasi 

Olahraga pada DM

Pada pasien dengan DM, faktor risiko hipoglikemia, 

status glikemik, riwayat hipoglikemik, neuropati 

otonom, dan riwayat pengobatan harus dievaluasi. 

Pada individu dengan diabetes tanpa gejala dan 

fungsi kardiovaskular yang baik, latihan maksimal 

dari semua jenis olahraga dapat dilakukan. Namun 

demikian, harus diperhatikan supaya tidak terjadi 

asupan kalori yang kurang sebab  hal tersebut 

dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia 

iatrogenik.2

Beberapa keadaan yang memicu   

aktivitas fisik harus ditunda pada penderita DM, 

antara lain, hipoglikemia dalam 24 jam terakhir dan 

glukosa darah <70 mg/dl. Latihan harus ditunda 

jika hiperglikemia terjadi dan keton ditemukan, 

terutama pada DM tipe 1 dengan glukosa darah 

≥250 mg/dl. Dalam hal ini, cek up  keton 

urin sebelum latihan harus dilakukan.6

Namun demikian, penderita DM yang 

tidak mengalami keluhan dengan status hidrasi 

yang cukup tidak perlu menunda latihan fisik. 

Individu dengan DM yang menggunakan obat 

penurun gula darah sekretagog atau insulin 

disarankan  untuk minum suplemen 15 gram 

karbohidrat jika kadar gula darahnya <100 mg/

dl saat penilaian sebelum berolahraga. Individu 

yang menggunakan insulin dan obat sulfonilurea 

harus memantau glukosa darah sebelum, selama, 

dan sesudah   berolahraga agar tetap dalam kondisi 

euglikemia. 

2.5 Latihan Fisik pada Populasi 

Hipertensi

Terapi lini pertama pada hipertensi dan 

dislipidemia ialah modifikasi gaya hidup yang 

mencakup aktivitas fisik, perubahan pola makan, 

penurunan berat badan jika berat badan di atas 

IMT normal, serta penghentian merokok dan 

konsumsi alkohol.7  Aktivitas atau latihan fisik 

sendiri sangat bermanfaat bagi individu dengan 

hipertensi (tekanan darah sistolik ≥140 mmHg 

dan/atau diastolik ≥90 mmHg) dan prehipertensi 

(tekanan darah sistolik 130—139 mmHg dan/

atau diastolik 80—89 mmHg). Latihan tersebut 

dapat menurunkan risiko penyakit arteri koroner, 

infark miokard, obesitas, hiperglikemia, dan strok.3 

Pada hipertensi tahap awal, perbaikan pola 

hidup dilakukan dengan cara berhenti merokok, 

membatasi konsumsi garam dan alkohol, serta 

menurunkan berat badan. Perbaikan pola hidup 

ini disertai dengan latihan fisik yang dianjurkan 

seperti di atas.2 Meskipun demikian, latihan fisik 

intensitas sedang harus ditunda jika hasil skrining 

menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik saat 

istirahat >160 mmHg.

  TABEL :  4.5  Saran  Latihan pada Orang Dewasa dengan Hipertensi2

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Penderita hipertensi terkontrol disarankan  untuk 

melakukan latihan resistansi ≥3 kali/minggu dan latihan 

aerobik intensitas sedang atau tinggi minimal 30 menit selama 

5—7 hari/minggu.

I A

Latihan resistansi intensitas tinggi tidak dianjurkan bagi 

individu dengan tekanan darah terkontrol yang berisiko tinggi 

pada kerusakan organ.

III C

Penderita hipertensi yang tidak terkontrol tidak dianjurkan 

melakukan latihan intensitas tinggi. 

III C

35

  

Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA

  TABEL :  4.6  Saran  Latihan pada Orang Dewasa dengan Hipertensi6

Aerobik Resistansi Fleksibilitas

Frekuensi 5—7 hari/minggu 2—3 hari/minggu ≥2—3 hari/minggu

Intensitas Sedang (40%—59% 

HRR; 64%—76% HR 

max)

60%—70% 1-RM 

dapat ditingkatkan 

menjadi 80% dari 

1-RM.

Untuk individu yang 

lebih tua dan pemula, 

intensitas dimulai dari 

40%—50% 1-RM.

Peregangan sampai 

titik terasa tegang atau 

sedikit tidak nyaman

Durasi ≥30 menit/hari untuk 

latihan kontinu atau 

akumulasi

Untuk latihan 

intermiten, waktu yang 

diperlukan minimal 10 

menit.

2—4 set dengan 8—12 

repetisi untuk setiap 

kelompok otot besar

Menahan peregangan 

statis selama 10—30 

detik dengan 2—4 

repetisi pada setiap 

latihan

Tipe Aktivitas ritmis 

berkepanjangan 

menggunakan otot 

besar (misalnya 

berjalan, bersepeda, 

dan berenang)

Mesin resistansi dan 

beban bebas

Statis, dinamis, dan/

atau peregangan PNF

2.6 Latihan Fisik pada Populasi 

Dislipidemia

Latihan fisik pada individu dengan dislipidemia 

sangat disarankan. Latihan tersebut merupakan 

terapi lini pertama sebab  terbukti memperbaiki 

profil lipid sehingga menurunkan risiko penyakit 

kardiovaskular serta meningkatkan kebugaran 

fisik.2 

 Populasi dislipidemia harus melakukan 

skrining terlebih dahulu sebelum mengikuti latihan 

intensitas tinggi. Latihan fisik intensitas tinggi 

selama 30—60 menit atau 3,5—7 jam per minggu 

dapat meningkatkan kolesterol HDL 5%—10%, 

menurunkan kolesterol LDL, dan menurunkan 

serum trigliserida hingga 50%.2 Dalam hal ini, 

pemakaian   terapi farmakologis, misalnya statin, 

sangat bermanfaat dalam mengurangi kolesterol 

LDL dan meningkatkan prognosis. Akan namun  , hal 

tersebut  tidak berpengaruh pada kebugaran fisik 

dan penurunan risiko penyakit kardiovaskular.2 

 Latihan aerobik secara konsisten berkaitan 

dengan penurunan kolesterol LDL 3—6 mg/

dl, namun   tidak berefek konsisten terhadap kadar 

kolesterol HDL dan trigliserida. Sementara itu, 

latihan beban dapat menurunkan kadar kolesterol 

LDL  dan trigliserida, namun   hasilnya tidak lebih 

baik dari latihan aerobik.6 

  TABEL :  4.7  Saran  Latihan pada Orang Dewasa Dislipidemia8

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Latihan fisik intensitas tinggi dilakukan dengan durasi 30—60 menit 

setiap hari atau 3,5—7 jam/minggu. 

I

36


Latihan Fisik sebagai Prevensi PKVA

  TABEL :  4.8  Saran  Latihan pada Orang Dewasa Dislipidemia6

Aerobik Resistansi Fleksibilitas

Frekuensi ≥5 hari/minggu 2—3 hari/minggu ≥2—3 hari/minggu

Intensitas 40%—75% HRR Sedang (50%—60% 1-RM) 

hingga tinggi (70%—85% 

1-RM); <50% 1-RM untuk 

meningkatkan ketahanan otot.

Peregangan sampai 

titik terasa tegang atau 

sedikit tidak nyaman

Durasi 30—60 menit/hari untuk 

mempertahankan penurunan tinggi 

badan (dengan  Saran  50—60 

menit/hari atau lebih) 

2—4 set dengan 8—12 

repetisi untuk kekuatan; ≤2 set 

dengan 12—20 repetisi untuk 

kekuatan otot

Menahan peregangan 

statis selama 10—30 

detik dengan 2—4 

repetisi di setiap latihan

Tipe Aktivitas ritmis berkepanjangan 

menggunakan otot besar (misalnya 

berjalan, bersepeda, dan berenang)

Mesin resistansi dan beban 

bebas

Peregangan statis, 

dinamis, dan/atau PNF

2.7 Latihan Fisik pada Populasi 

Obesitas

Menurut WHO, seseorang disebut memiliki 

obesitas jika indeks massa tubuhnya ≥30 kg/m2. 

Sementara itu, menurut klasifikasi Asia Pasifik, 

identifikasi obesitas berlaku jika indeks massa 

tubuh ≥25 kg/m2.

 Pada populasi obesitas, latihan fisik—

terutama dengan tingkat pengeluaran energi yang 

tinggi—berguna untuk menurunkan berat badan, 

lemak intraabdominal, profil lipid, dan tekanan 

darah. Latihan  tersebut juga dapat meningkatkan 

massa otot, tulang, dan toleransi glukosa. Dengan 

disertai pembatasan diet, program latihan fisik 

dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.

 Sebelum mengikuti latihan, skrining 

penting untuk dilakukan pada populasi ini sebab  

dislipidemia, penyakit kardiovaskular—termasuk 

hipertensi, dan penyakit pernapasan ju