Kusta atau lepra merupakan salah satu penyakit yang dapat menular dari penderita ke indvidu
yang lain. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan pada tubuh manusia bila tidak
ditangani dengan baik dan dapat menjangkiti orang dewasa maupun anak-anak. Penularan
kusta penting untuk dimengerti karena dapat dilakukan pencegahan. Dusun Sumberglagah
merupakan dusun yang dihuni para mantan penderita dan juga penderita kusta, sehingga
disebut “kampung kusta”. Pada masa kini kasus kusta di Dusun Sumberglagah mengalami
penurunan, namun masih ditemukan kasus kusta baru pada anak yang tinggal di dusun ini.
Penelitian dilakukan terhadap warga Dusun Sumberglagah dan juga satu keluarga yang
memiliki anak mantan penderita kusta di Sumberglagah berkaitan dengan penularan kusta
pada anak. Data diambil di Sumberglagah melalui observasi yang dilakukan. Subyek
penelitian yaitu keluarga dengan anak mantan penderita kusta dan warga Sumberglagah.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga yang diteliti memiliki pengetahun
mengenai penyakit kusta dan penularannya cenderung rendah. Pengetahuan mempengaruhi
cara pencegahan dan penyembuhan sebuah keluarga terhadap penyakit kusta, khususnya bagi
mereka yang hidup berdampingan dengan penderita dan mantan penderita kustaPenyakit kusta merupakan salah
satu penyakit yang dapat menular.
Myctobacterium leprae yaitu bakteri
yang menyebabkan penyakit ini. Penyakit
ini dapat ditularkan dengan kontak secara
langsung maupun tidak langsung terhadap
penderita aktif seperti melakukan kontak
fisik dan berada dalam lingkungan yang
dekat dengan penderita. Namun, tidak
setiap individu yang memiliki riwayat
kontak dengan bakteri ini dapat menderita
kusta di kemudian hari. Sebesar 90-95 %
populasi manusia mempunyai kekebalan
terhadap bakteri ini
Penyakit kusta banyak ditemui di
negara tropis. Hal ini dapat dilihat
dari peringkat tiga besar negara dengan
kasus kusta terbesar yaitu India, Brazi dan
Indonesia. Penyakit ini pada umumnya
terjadi pada warga golongan
mengeah kebawah. warga golongan
bawah menjadi rentan terhadap penyakit
ini karena kebanyakan masih belum sadar
akan pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan dan sanitasi di pemukiman
mereka. Buruknya sanitasi memperbesar
kemungkinan penularan penyakit kusta
dari satu individu ke individu yang lain.
Masih banyaknya warga yang hidup
di bawah garis kemiskinan, membuat
mereka bermukim di tempat yang
sebenarnya kurang layak untuk dijadikan
tempat tinggal, misalnya di bantaran kali.
Masih banyaknya permukiman kumuh
ini juga bisa dibilang menjadikan
lingkungan ini tidak sehat termasuk
penyebaran virus Mycobacterium leprae
untuk hidup dan menjangkiti
warga
Menurut data Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, sepanjang
tahun 2018 ada 14.397 kasus baru
kusta yang terdata. Provinsi Jawa Timur
memiliki jumlah terbesar dari 34 provinsi
dengan 2.701 kasus dengan tingkat deteksi
kasus yang terbilang kecil yaitu 6,84 per
100.000 penduduk dibanding dengan
Provinsi Papua Barat, Maluku Utara dan
Papua yang masing-masing memiliki
tingkat penemuan kasus 68,27, 51,11, dan
44,12 per 100.000 penduduk. Dalam kasus
kusta yang terjadi pada anak dibawah 14
tahun Provinsi Jawa Timur menempati
peringkat 3 terbesar di indonesia dengan
190 kasus dibawah Provinsi Papua dengan
348 kasus dan Provinsi Papua Barat
sebesar 194 kasus. Angka ini
menunjukkan bahwa di Indonesia
khususnya Provinsi Jawa Timur memiliki
kasus kusta pada anak cukup besar
Dusun Sumberglagah yang terletak
di Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto
merupakan perkampungan yang banyak
dihuni mantan penderita maupun penderita
kusta karena awal berdirinya dusun
ini dikarenakan para pasien kusta
yang berobat di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah tidak kembali ke keluarga
mereka dan akhirnya menetap di sekitaran
Rumah Sakit yang kini mayoritas dihuni
para penderita maupun mantan penderita
sekarang ini. Hal ini yang menjadikan
Sumberglagah beresiko sebagai tempat
penyebaran penyakit kusta khususnya pada
anak-anak atau keturunan para warga yang
merupakan mantan maupun penderita
kusta. Di Sumberglagah sekarang ini
sudah mengalami penurunan kasus kusta
baru dan mayoritas mereka yang masih
menderita kusta yaitu orang tua yang
telah lama mengidap kusta. Namun masih
ditemukan kasus anak–anak khususnya
usia 0 – 14 tahun yang menderita maupun
pernah terjangkit penyakit ini.
Kusta pada umumnya dapat
ditemukan di tempat atau negara
berkembang yang tingkat kebersihannya di
bawah standar dan juga dengan
pendapatan warga yang terbilang
rendah. Seperti pada penelitian yang
dilakukan Salma Oktaria dengan judul
“Dietary diversity and poverty as risk
factors for leprosy in Indonesia: A casecontrol study” dikatakan bahwa
berpenghasilan tidak tetap dan bisa
dibilang kurang dari standar hidup di
daerah ini yang menyebabkan suatu
individu memiliki keterbatasan akses
terhadap makanan yang mempunyai nutrisi
yang baik menjadi hal yang menambah
resiko seseorang terjangkit penyakit
khususnya kusta
Selain asupan gizi atau nutrisi,
pengetahuan dan perilaku pencegahan
terhadap penyakit kusta menjadi salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap
kemungkinan tertular penyakit kusta.
Khususnya bagi mereka yang bertempat
tinggal atau dekat dengan penderita kusta
aktif seperti Dusun Sumberglagah.
Penelitian ini dilakukan untuk
melihat perilaku keluarga terkait dengan
penularan dan penyembuhan penyakit
kusta yang terjadi pada anak.
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif untuk mendeskripsikan
pengetahuan dan perilaku keluarga terkait
dengan penularan dan penyembuhan
penyakit kusta anak. Pemilihan informan
menggunakan non random purposif
dengan memerhatikan kebutuhan peneliti
terkait topik yang diambil. Dipilih 3 informan sebagai subyek utama keluarga
dan 7 informan lain dipilih berdasarkan
pengalaman dan keterkaitan dengan
subyek utama. Data didapatkan dari proses
wawancara dan observasi. Analisis
dilakukan terkait dengan perilaku keluarga
dengan penularan dan penyembuhan
penyakit kusta.
Latar Belakang Informan
Pada keluarga informan memiliki 2
anggota keluarga yang memiliki riwayat
penyakit kusta yaitu informan 1/bapak dan
informan 3/anak. Informan 1 mengaku
menderita kusta sejak masih remaja yang
membuat informan harus menjalani proses
pengobatan di Ngaget, Madiun selama 5
tahun hingga akhirnya pindah ke Dusun
Sumberglagah sekitar tahun 1980 an.
Informan 1 sudah dinyatakan tidak
mengkonsumsi obat kusta lagi sejak
selesai melakukan pengobatan di Madiun.
Pada informan 3 dinyatakan kusta
pada tanggal 18 maret 2017 yang pada saat
itu berumur 12 tahun berdasarkan data
yang didapat dari Rumah Sakit
Sumberglagah. Informan 2 menderita
kusta multibasiler. Pengobatan dengan
konsumsi MDT selama 1 tahun, dan pada
awal maret 2018 informan 3 dinyatakan
sembuh atau tidak mengkonsumsi MDT
lagi. Saat penelitian dilakukan, informan 3
masih berstatus Release From Treatment
(RFT) yang artinya penderita sudah tidak
mengkonsumsi MDT, namun masih
dilakukan pemantauan pasien oleh petugas
kesehatan yang menangani. Karena
informan 3 menderita kusta multibasiler
atau kusta basah, maka pemantauan
terhadap keadaan informan sebagai pasien
kusta masih dilakukan dalam kurun waktu
5 tahun setelah dinyatakan RFT, dibanding
penderita kusta pausibasiler yang hanya
berlangsung 2 tahun. Bila dalam kurun
waktu 5 tahun setelah RFT, informan atau
pasien kusta sudah tidak dilakukan
pemantauan lagi dan akan berstatus
Release From Control (RFC). Karena
informan 3 dinyatakan RFT pada maret
2018, maka informan masih dalam
pantauan petugas poli kusta Rumah Sakit
Sumberglagah dan wajib melaporkan
keluhan kesehatan yang terjadi selama 5
tahun atau belum berstatus RFC.
Informan 1 dan informan 2 sebagai
orang tua memiliki latar belakang
pendidikan terakhir di Sekolah Dasar.
Sementara informan 3 pada saat dilakukan
penelitian sedang menjalani pendidikan di
SMA. Dari sisi ekonomi keluarga
informan dapat dikatakan baik dengan
terpenuhinya kebutuhan pokok dan
kepemilikan barang yang termasuk
kebutuhan sekunder seperti sepeda motor
dan perhiasan emas. Penghasilan ini didapat dari lahan pertanian yang mereka
miliki dan pekerjaan sebagai pengemis
yang dilakukan informan 1.
Perilaku Keluarga Terhadap Penyakit
Kusta
Sebelum informan 3 dinyatakan
menderita kusta, keluarga informan
memiliki pengetahuan terkait kusta
tergolong kurang. Informan 1 sebagai
orang tua dan mantan penderita kusta tidak
membagi ilmu atau pengalamannya
menghadapi penyakit ini kepada anggota
keluarga lain. Karena kurangnya
pengetahuan terkait penyakit kusta
berpengaruh terhadap perilaku keluarga
informan terkait perilaku pencegahan yang
bisa dilakukan. Keluarga informan tidak
mempunyai strategi ataupun cara-cara
khusus untuk mencegah penularan
penyakit kusta pada anggota keluarga
mereka. Informan 1 merasa tidak perlu
untuk menghindari atau menjauhi sesama
warga Sumberglagah karena mempunyai
latar belakang yang sama terkait kusta.
Informan 3 sebagai anak tidak pernah
mendapatkan pengetahuan dan juga
himbauan dalam berinteraksi dengan
warga Sumberglagah walaupun
belum diketahui status kusta pada individu
lain.
Karena tidak mendapat
pengetahuan maupun himbauan dari orang
tua terkait pencegahan kusta di lingkungan
mantan dan penderita, informan 3 tidak
menghindari atau mencegah untuk
berinteraksi dengan warga Sumberglagah
lain tanpa terkecuali. Seperti contoh
informan tidak melakukan langkah
pencegahan terhadap warga lain yang
sudah diketahui sebagai penderita kusta
aktif.
Dalam hal perilaku kesehatan atau
perilaku ketika muncul gejala suatu
penyakit dan pada saat penyembuhan yang
dilakukan keluarga tergolong baik dalam
mengurangi tingkat kecacatan akibat kusta.
Hal ini tidak terlepas dari beberapa
faktor yaitu:
1. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial berpengaruh
terhadap perilaku atau pengambilan
keputusan keluarga terkait penyakit kusta
pada anak. Lingkungan sosial
Sumberglagah khususnya tetangga
keluarga informan, memiliki kesadaran
terhadap pengawasan kesehatan satu sama
lain. Dari wawancara yang dilakukan
terhadap Kepala RT (Rukun Tetangga)
setempat yaitu informan 4, informan 4
juga menjadi saksi saat gejala-gejala pada
kulit wajah timbul pada informan 3.
Sebagai mantan penderita kusta, informan
4 menganjurkan untuk informan 3
melakukan pemeriksaan kesehatan terkait gejala-gejala yang muncul di kulit.
Dukungan sosial dibagi menjadi 3
menurut bentuk dukungan yang diberikan
yaitu Instrumental Support, Emotional
Support, dan Informational Support.
Instrumental Support yaitu jenis
dukungan yang nyata atau berbentuk
seperti dukungan secara finansial.
Emotional Support merupakan bentuk
dukungan yang lebih abstrak atau tidak
nyata, bisa berupa kepedulian atau
dukungan secara moril terhadap orang
lain. Sedangkan Informational Support
yaitu jenis dukungan yang berupa
anjuran atau pemberian informasi terhadap
orang lain (Hernandez & Blazer, 2006).
Informan 4 memberikan Informational
Support terhadap keluarga informan
dengan memberi anjuran dan pengetahuan
terkait gejala-gejala penyakit kusta yang
muncul.
2. Jarak Fasilitas Kesehatan
Jarak tempat tinggal informan
terhadap fasilitas kesehatan juga
mempengaruhi perilaku kesehatan yang
dilakukan keluarga. Dalam kasus ini
keluarga informan menggunakan Rumah
Sakit Sumberglagah untuk melakukan
pemeriksaan hingga penyembuhan. Jarak
yang tergolong dekat antara tempat tinggal
informan dengan Rumah Sakit yang masih
berlokasi di wilayah Dusun Sumberglagah
memudahkan informan untuk mengakses
fasilitas kesehatan ketika terjadi masalah
kesehatan yang dialami. Bila ditempuh
berjalan kaki dari tempat tinggal informan
hanya membutuhkan waktu kurang dari 10
menit. Pemilihan Rumah Sakit
Sumberglagah dibanding Puskesmas
Kecamatan Pacet yaitu jarak terhadap
Puskesmas yang berada di luar desa lebih
jauh. Jarak menjadi salah satu hal yang
dipertimbangkan ketika melakukan
pemeriksaan kesehatan. Semakin mudah
atau dekat akses terhadap fasilitas
kesehatan terdekat, akan semakin
memudahkan individu untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan. Sebaliknya, bila
akses atau jarak terhadap fasilitas
kesehatan semakin susah atau jauh akan
menjadi hambatan individu untuk
menggunakan fasilitas kesehatan (Allen,
Muhwezi, Henriksson, & Mbonye, 2017).
Karena keluarga informan memiliki akses
yang mudah dan dekat terhadap fasilitas
kesehatan, maka akan memudahkan
pengambilan keputusan untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan dan mempermudah
pengobatan rutin setiap bulan.
3. Biaya Kesehatan
Bagi warga menengah
kebawah biaya kesehatan menjadi salah
satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
perilaku kesehatan mereka. Biaya
kesehatan yang cenderung mahal dapat
menghambat seseorang untuk menggunakan fasilitas kesehatan
khususnya bagi kalangan menengah ke
bawah. Hal ini juga bisa berkaitan dengan
jarak akses menuju fasilitas kesehatan, bila
akses menuju fasilitas kesehatan jauh atau
susah juga akan menambah biaya. Dalam
kasus ini keluarga informan tidak
menghadapi permasalahan mengenai biaya
kesehatan. Karena fasilitas kesehatan yang
digunakan informan untuk memeriksakan
kesehatannya tidak dipungut biaya atau
gratis. Dari awal pemeriksaan sampai
selesainya masa pengobatan penyakit
kusta informan tidak mengeluarkan biaya.
Informan tidak terhambat atau terganggu
dalam hal biaya fasilitas kesehatan
Informan 2 mnuturkan bahwa
ketika melakukan pemeriksaan hingga
proses pengobatan selesai, Rumah Sakit
tidak meminta bayaran atau gratis terkait
penyakit kusta yang diderita informan 3.
Namun hal ini hanya pada kasus
penyakit kusta. Bila warga melakukan
pengobatan dengan keluhan penyakit
selain kusta akan dikenai biaya.
Proses Penyembuhan
Penyembuhan terhadap penyakit
kusta dibagi menurut jenis kusta yang
diderita, multibasiler atau pausibasiler.
Pada awal diketahui bahwa gejala-gejala
yang muncul pada kulit yaitu kusta,
selanjutnya akan dilakukan tes untuk
melihat hasil bakteriologis pada flek-flek
putih atau lesi pada kulit informan (Skin
Smear).
Hasil tes bakteriologis menentukan
jenis kusta yang diderita, jika hasil
bakteriologis positif maka jenis kusta yang
diderita yaitu multibasiler atau kusta
basah. Sementara jika hasil bakteriologis
negatif, maka jenis kusta yang diderita
yaitu pusibasiler atau kusta kering. Pada
informan 3, setelah dilakukan tes memiliki
hasil bakteriologis positif 1. Informan 3
menderita kusta jenis multibasiler. Sebagai
penderita kusta multibasiler, informan 3
harus mengkonsumsi Multi Drug Therapy
selama 1 tahun dan melakukan
pemeriksaan rutin setiap bulan hingga
dinyatakan RFT atau Release From
Treatment. Setelah dinyatakan RFT
informan 3 sudah tidak mengkonsumsi
MDT, namun diwajibkan untuk melakukan
pemeriksaan rutin setiap tahun dan
melaporkan segala gejala yang terjadi pada
tubuh informan selama 5 tahun setelah
dinyatakan RFT. Bila dalam masa
pemantauan 5 tahun setelah RFT tidak
ditemui gejala kusta yang kembali muncul,
penderita akan dinyatakan Release From
Control (RFC). Pada saat penelitian
dilakukan informan 3 masih berstatus RFT
karena masih dalam masa pemantauan
selama sekitar 1 tahun. Perilaku keluarga informan yang
tidak melakukan strategi pencegahan
terhadap penyakit kusta di tengah
lingkungan yang dihuni para mantan dan
penderita kusta semakin memperbesar
kemungkinan penularan penyakit kusta
pada anak mereka. Lingkungan
Sumberglagah menjadi kemungkinan
terbesar terkait asal penularan yang terjadi
pada informan 3. Dibanding dengan
kemungkinan penularan berasal dari
informan 1 yang sudah dinyatakan sembuh
mempunyai selisih waktu yang cukup lama
dengan kelahiran informan 3,
kemungkinan penularan oleh informan 1
sangat kecil. Di Dusun Sumberglagah
masih ada warga yang mempunyai
penyakit kusta aktif dan dapat menjangkiti
warga Sumberglagah lain yang secara
sengaja atau tidak disengaja melakukan
kontak. Tidak adanya cara khusus terkait
pencegahan kusta diperburuk dengan
perilaku makan informan 3 yang
cenderung kurang dari segi kuantitas dan
kurangnya asupan sayuran, buah-buahan,
dan susu yang dapat mempengaruhi sistem
imun tubuh. Sistem imun tubuh sangat
penting dalam pencegahan tubuh terhadap
bakteri yang menyerang, seperti bakteri
penyebab kusta
Perilaku kesehatan yang dilakukan
keluarga informan cukup penting dalam
pendeteksian dini dan mengurangi tingkat
kecacatan akibat kusta. lingkungan sosial,
jarak, dan biaya kesehatan memberi
pengaruh positif terhadap penangan kusta
informan 3 seperti pemeriksaan dini dan
pemeriksaan rutin ketika menjalani proses
penyembuhan. Ketiga faktor ini
mendukung kelancaran proses
penyembuhan sampai selesai selain
kualitas fasilitas kesehatan yang baik
menghadapi penyakit kusta.
kusta25
Penyakit kusta sudah ada sejak peradaban manusia.
Namun beberapa aspek dari penyakit ini masih menyimpan
berbagai misteri terutama sebelum akhir abad kesembilan belas
(. Penyakit kusta (Lepra, Morbus Hansen) yaitu
penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh bakteri dari
organisme intraseluler obligat Mycobacterium leprae (M. leprae),
yang primer. Penyakit ini menyerang syaraf tepi, kulit, mukosa
(mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo
endotelia, mata, otot, tulang, dan testis.
Penyakit ini yaitu tipe penyakit granulosa pada saraf tepi
dan mukosa dari saluran pernapasan atas, dan lesi pada kulit
yaitu tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif dan menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata (Andareto, 2015).
Jika setelah ditangani pun, penderita tidak meminum obat
secara teratur, maka kuman kusta dalam tubuh akan tumbuh
dan berkembang lebih banyak sehingga merusak saraf
penderita yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecacatan
( Selain itu, penyakit ini dapat menimbulkan masalah psikososial akibat adanya stigma atau predikat buruk
dari penyakit dalam pandangan masyarakat
Dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota
tubuh penderita tidak dapat berfungsi dengan normal (kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang jari-jari dan wajah)
(DJP3L, 2008).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO)
tahun 2011, ada sebanyak 213.899 kasus baru yang terdeteksi
dan kasus terdaftar sebanyak 175.554 penderita. Indonesia
menempati urutan ketiga sebagai negara dengan jumlah kasus
tertinggi setelah Brazil dan India
Upaya pengendalian kusta dunia menetapkan tahun 2000
merupakan tonggak pencapaian eliminasi kusta. Indonesia
berhasil mencapai target ini pada tahun yang sama. Akan
tetapi situasi kusta di Indonesia menunjukkan kondisi yang
relatif statis.
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia
yang terlapor di WHO pada awal tahun 2012 yaitu jumlah
kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 sekitar 219.075.
Dari jumlah ini paling banyak terdapat di regional Asia
Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional
Afrika (12.673), dan sisanya berada di Regional lain di dunia.
Angka insiden kusta di Indonesia pada tahun 2013
sebesar 6.79 per 100.000 penduduk dan angka prevalensinya
berkisar 7.9 sampai dengan 9.6 per 100.000 penduduk. Tahun 2014 jumlah kasus baru kusta di Indonesia sebesar 16.131
kasus dengan 10.088 penderita laki-laki dan 6.043 penderita
perempuan serta kusta anak yang mencapai 1.755 kasus.
Penyebaran penyakit kusta di indonesia hampir merata di
seluruh provinsi. Provinsi dengan jumlah kasus kusta tertinggi
yaitu Provinsi Jawa Timur (Kemenkes-RI, 2014).
Di Provinsi Gorontalo sendiri, penyakit kusta berada
pada peringkat ke 7 dengan presentase 9.56 per 100.000
penduduk, dan pada tahun 2016 jumlah kasus baru kusta di
Gorontalo sebanyak 110 kasus (Depkes-RI, 2016).
B. Ciri dan Cara Kerja Bakteri Mycobacterium leprae (M.
leprae) Secara Umum
Infeksi hanya terjadi ketika kontak erat yang berlangsung
lama, khususnya pada anak-anak penderita lepra. Bakteri masuk
ke dalam tubuh melalui kulit atau hidung. Bila seluruh tubuh
terkena, kulit dan saraf biasanya sasaran yang paling disukai.
Pada kulit, tanda pertama berupa noda berwarna terang
yang anastetik (dadanya merasa sakit), kemudian daerah yang
menebal (nodul) dapat timbul, terutama pada muka. Saraf yang
paling sering terkena yaitu di lengan bawah, muka, dan
belakang telinga. Daerah ini dapat teraba lebih tebal dari
biasanya.
Gambaran lanjut dari lepra berupa tukak dan hilangnya
jari-jari dan kuku jarang dicapai pada anak-anak, karena untuk mencapai bentuk ini memerlukan waktu bertahun-tahun
Penyakit kusta terdiri dari dua
tipe yaitu Paucibasillary (PB) atau
disebut juga kusta kering dan
Multibacillary (MB) disebut juga kusta
basah. Sumber penularan penyakit
kusta yaitu penderita kusta tipe MB.
Penyakit kusta ditularkan melalui
kontak langsung, melalui kulit dan saluran pernapasan secara
berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama
C. Cara Penyebaran Penyakit Lepra/Kusta (Epidemiologi)
Sumber penularan berasal dari kuman kusta utuh (solid)
yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang
belum diobati atau tidak teratur berobat. Sebenarnya, Bila
seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan
sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5%
indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan
70% sembuh
Sebab dan Asal Penyakit (Etiologi)
Berdasarkan informasi yang disampaikan Kementerian
Kesehatan tahun 2015, penyakit kusta disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae. Bakteri ini untuk pertama kalinya
ditemukan oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun
1873 di Norwegia.
Bakteri Mycobacterium Leprae yaitu kuman aerob, tidak
membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran
sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.
Ukurannya yaitu panjang 1-8 mikro dan lebar 0,2-0,5 mikro.
Biasanya hidup berkelompok dan ada juga yang tersebar satusatu, hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram
positif. Bakteri ini tidak mudah diwarnai. Kalaupun diwarnai,
akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga dinamakan sebagai basil ‘tahan asam’. Mycobacterium
Leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.
Bakteri ini menular pada manusia melalui kontak
langsung dengan penderita. Penularan disebabkan antara
penderita dengan yang tertular memiliki lesi (luka), baik
mikroskopis (kecil) maupun makroskopis (besar). Selain itu,
penularan disebabkan karena adanya kontak yang lama dan
berulang-ulang. Penularan juga dapat terjadi melalui
pernapasan.
Bakteri ini mengalami proses perkembangbiakan dalam
waktu 2-3 minggu. Pertahanan bakteri ini dalam tubuh
manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia
kemudian membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata 2-5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu
lebih dari 5 tahun. Setelah 5 tahun, tanda-tanda seseorang
menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian
anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
E. Pengklasifikasian Penyakit Kusta
Dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta, misalnya
klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India,
dan klasifikasi WHO. Penentuan klasifikasi ini didasarkan pada
tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman.
Berikut ini diuraikan beragam pengklasifikasian penyakit
kusta.
1. Pengklasifikasian Ridley dan Jopling
Ridley dan Jopling mengelompokkan penyakit kusta menjadi
5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis, dan imunologis.
a. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi (luka) ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi
kulit bisa satu atau lebih, dapat berupa makula atau
plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi, bahkan dapat meninggi menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan
sedikit rasa gatal.
b. Bordeline Tuberculoid (BT)
Lesi (luka) pada tipe ini menyerupai tipe tuberculoid (TT),
yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi
satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau lebih, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama
tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf
tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris.
Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.
c. Mid Bordeline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe
dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai
bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi
dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat
berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang
melebihi tipe borderline tuberculoid (BT) dan cenderung
simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran,
bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.d. Bordeline Lepromatous (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya
dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke
seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih
tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah.
Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir
luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punced-out.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya
rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe
lepramatosa (LL). Penebalan saraf dapat teraba pada
tempat predileksi.
e. Tipe Lepramatosa (LL)
Jumlah lesi (luka) sangat banyak, simetris, permukaan
halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas
dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai
dahi pelipis, dagu, cuping telinga: sedang di badan dan di
wajah mengenai bagian badan yang dingin, lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai
bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi
kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat
disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi
dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai
pembesaran kelenjar limfe orkitis yang selanjutnya dapat
menjadi atrofi testis.
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking & glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi
progressif, muncul makula dan papula baru, sedangkan
lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin
atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.
2. Pengklasifikasian WHO
Sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi
penyakit kusta untuk memudahkan pengobatan di lapangan.
Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi
dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillary (PB) dan tipe
Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi ini yaitu
gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui
pemeriksaan kerokan jaringan kulit (Kemenkes-RI, 2012).
3. Pengklasifikasian Kemenkes
Departemen Kesehatan berkiblat pada WHO untuk
mengklasifikasikan penyakit kusta. Standarpengklasifikasiannya yaitu dibagi menjadi tipe paucibacillary
(PB) dan multibacillary (MB).
a. Tipe PB atau Tipe Kering
1) Bercak atau makula dengan warna keputihan.
2) Ukurannya kecil dan besar, batas tegas, dan terdapat
di satu atau beberapa tempat di badan (pipi, punggung,
dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau
pada punggung kaki).
3) Permukaan bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini
jarang menular tetapi apabila tidak segera diobati
menyebabkan kecacatan.
b. Tipe MB atau Tipe Basah
1) Berwarna kemerahan.
2) Tersebar merata di seluruh badan, kulit tidak terlalu
kasar, batas makula tidak begitu jelas.
3) Terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan,
dan tanda awal terdapat pada cuping telinga dan
wajah.
F. Cara Penularan Kusta
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe
Multi Basiller (MB) kepada orang lain dengan cara penularan
langsung (Depkes, 2012). Cara penularannya yang pasti, belum
diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan
kulit.
Timbulnya kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak
perlu ditakuti, tergantung dari beberapa faktor berikut ini.
1. Sumber Penularan
Penderita kusta tipe MB tidak akan menularkan kusta,
apabila berobat teratur.
2. Kuman Kusta
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9
hari tergantung pada suhu atau cuaca. Tidak semua kuman
menular, hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang
dapat menimbulkan penularan.
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5
tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan
terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari
tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara
kontak yang lama dengan pasien. Pasien yang sudah minum
obat MDT tidak menjadi sumber penularan kepada orang
lainG.Proses Berjangkitnya Penyakit (Patogenesis)
Meskipun cara masuk Mycobakterium Leprae ke dalam
tubuh masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa
penelitian telah memperlihatkan yang sering tertular ialah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin
dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh Mycobakterium Leprae terhadap kulit bergantung
pada faktor imunitas seseorang. Kemampuan hidup
Mycobakterium Leprae yaitu pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen
dan nontoksis.
Mycobakterium Leprae merupakan parasit obligat
intraselular terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar
pembuluh darah superficial pada dermis atau sel Schwann di
jaringan saraf. Bila kuman Mycobakterium Leprae masuk ke
dalam tubuh, maka tubuh akan beraksi mengeluarkan makrofag
(sel-sel yang berfungsi mematikan) untuk memfagositnya .
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas
selular. Dengan demikian makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi
dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas
selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan
kuman. Sayangnya setelah kuman di fagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Dantia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan
dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan
Mycobakterium Leprae. Di samping itu sel schwann berfungsi
sebagai demielinisasi dan hanya sedikit berfungsi sebagai
fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya
aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf
yang progresif (Emmy, 2003).
H. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Kusta
Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan
gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut. Diagnosis
cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita
kusta yaitu seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta
dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis dan memerlukan
suatu pengobatan.
Gambaran umumnya yaitu bagian tubuh yang dingin
seperti saluran napas, testis, bilik mata depan dan kulit
terutama cuping telinga dan jari merupakan daerah yang biasa
terkena. Bagian tubuh yang dingin tidak hanya karena
pertumbuhan optimal Mycobakterium Leprae pada suhu rendah tetapi mungkin juga karena kurangnya respon imunologi akibat
rendahnya suhu pada daerah ini (Amiruddin, 2005).
Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada hal-hal
berikut ini.
a. Multiplikasi dan diseminata kuman M. Leprae.
b. Respon imun penderita terhadap kuman M. Leprae.
c. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Ada 3 tanda kranial yang kalau salah satunya ada, sudah
cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta. Ketiga
tanda ini dijelaskan berikut ini.
1. Lesi Kulit yang Anestesi
Macula atau plakat atau lebih jarang pada papul atau nodul
dengan hilangnya rasa raba, rasa sakit dan suhu yang jelas.
Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan
warna dan tekstur kulit serta kelainan pertumuhan rambut.
2. Penebalan Saraf Perifer
Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali
pada penyakit kusta. Pada daerah endemik kusta penemuan
adanya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis. Untuk mengevaluasi ini diperlukan
latihan yang terus menerus, cara meraba saraf dan pada saat
pemeriksaan perlu membandingkan dengan saraf.
3. Ditemukannya M. Leprae
Mycobakterium Leprae dimasukkan dalam family
Mycobacteriaceace, ordo Actinomycetales, kelas Schyzomycetes. Berbentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya
berbentuk paralel dengan kedua ujungnya bulat, ukuran
panjang 1-8 mm dan lebar 0,3-0,5 mm. Basil ini menyerupai
kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak
dan tidak berspora.
Masa inkubasi Mycobakterium Leprae dapat
berlangsung selama 2-5 tahun. Bakteri ini terutama terdapat
pada kulit, mukosa hidung dan saraf perifer yang superficial
dan dapat ditunjukkan dengan apusan sayatan kulit atau
kerokan mukosa hidung. Secara klinis telah dibuktikan
bahwa basil ini biasanya tumbuh pada daerah dengan
temperature kurang dari 37oC (Amiruddin, 2005).
I. Pengobatan pada Penderita Penyakit Kusta
Kemoterapi kusta di Indonesia dimulai tahun 1949
dengan DDS sebagai obat tunggal (monoterapi DDS)
(Kementerian Kesehatan RI, 2012). DDS harus diminum selama
3-5 tahun PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan
seumur hidup.
Kekurangan monoterapi DDS yaitu terjadinya
resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien
defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS.
Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan
pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk
tipe PB maupun MB.Multi Drug Therapy (MDT) yaitu kombinasi dua atau
lebih obat antikusta. Salah satunya rifampisin sebagai anti kusta
yang bersifat bakterisidal kuat, sedangkan obat anti kusta lain
bersifat bakteriostatik.
Berikut ini merupakan kelompok orang yag
membutuhkan MDT.
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah
mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di
bawah ini.
(1)Relaps
(2)Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
(3)Pindahan (pindah masuk)
(4)Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan
yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen ini yaitu
sebagai berikut.
1. Pasien Pausibasiler (PB) untuk Dewasa
Pengobatan Bulanan
Hari pertama (obat minum di depan petugas)
a. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
b. 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan Harian : hari ke-2 s.d. ke-28
1 tablet dapson/DDS 100 mg Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan.
2. Pasien Multibasiler (MB) untuk Dewasa
Pengobatan Bulanan
Hari pertama (obat diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
b. 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
c. 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan Harian: Hari Ke-2 s.d ke-28
a. 1 tablet lampren 50 mg
b. 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang
diminum selama 12-18 bulan 16.
3. Dosis MDT PB untuk Anak (Umur 10-15 Tahun)
Pengobatan Bulanan
hari pertama (obat diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
b. 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan Harian: Hari ke-2 s.d. ke-28
Tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan.
4. Dosis MDT MB untuk Anak (Umur 10-15 Tahun)
Pengobatan Bulanan
hari pertama (obat diminum di depan petugas) a. 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
b. 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
c. 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan Harian: Hari ke-2 s.d. ke-28
a. 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
b. 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang
diminum selama 12-18 bulan. Bagi dewasa dan anak usia
10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan anak.
a. Rifampison: 10-15 mg/kgBB
b. Dapson: 1-2 mg/kgBB
c. Lampren: 1 mg/kgBB
J. Pencegahan Penyakit Kusta
Pencegahan secara umum yaitu mengambil tindakan
terlebih dahulu sebelum kejadian. Dalam mengambil langkahlangkah untuk pencegahan, haruslah didasarkan pada
data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis
epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologis.
Ada tiga tingkatan pencegahan penyakit menular seperti
kusta secara umum, yakni sebagai berikut.
1. Pencegahan Tingkat Pertama
Sasaran ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan serta
faktor pejamu.a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab kusta
yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau
menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin
dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi,
sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme penyebab penyakit, menghilangkan
sumber penularan maupun memutuskan rantai
penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga
dalam rangka memutus rantai penularan, serta
mengurangi atau menghindari perilaku yang dapat
meningkatkan risiko perorangan dan masyarakat
b. Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan
lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi
lingkungan, dan perumahan serta bentuk pemukiman
lainnya.
c. Meningkatkan daya tahan pejamu melalui perbaikan
status gizi, status kesehatan umum, dan kualitas hidup
penduduk, serta berbagai bentuk pencegahan khusus
lainnya serta usaha menghindari pengaruh faktor
keturunan dan peningkatan ketahanan fisik melalui
olah raga dan kesehatan.
2. Pencegahan Tingkat Kedua
Sasaran pencegahan ditujukan pada mereka yang menderita
atau yang dianggap menderita (suspek) atau yang terancam
akan menderita (masatunas). Adapun tujuan tingkat kedua ini meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar
dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah
timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses
penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi.
3. Pencegahan Tingkat Ketiga
Sasaran pencegahan yaitu pada penderita kusta dengan
tujuan mencegah jangan sampai mengalami kecacatan. Pada
tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi. Rehabilitasi
yaitu usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis, dan
sosial penderita kusta seoptimal mungkin.
K. Penanganan Pencegahan Kecacatan pada Pasien Kusta
Pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD)
yaitu suatu usaha untuk memberikan tindakan pencegahan
terhadap penderita agar terhindar dari risiko cacat selama
perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta.
Cara terbaik untuk pencegahan cacat atau prevention of
disabillity (POD) yaitu dengan melaksanakan diagnosis dini
kusta. Pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.
Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta
yang disertai gangguan saraf harus mulai melakukan
pengobatan dengan kartikosteroid sesegera mungkin. Hal ini
disebabkan terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan
oleh kerusakan fungsi saraf tepi oleh kuman maupun karena
terjadinya peradangan saraf (neuritis) sewaktu terjadi reaksi kusta (Kandun, 2007). Sehingga harus dicegah dengan
penanganan ini .
Dalam International Classification of Function Disability and
Health (ICF), dipaparkan bahwa kecacatan yaitu istilah yang
dipakai untuk mencakup 3 aspek, yaitu kerusakan struktur dan
fungsi (impairment), keterbatasan aktivitas (activity limitation)
dan masalah partisipasi (participation problem). Ketiga aspek ini
sangat dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lingkungan.
Yang dimaksud dengan faktor individu, misalnya usia, jenis
kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Sedangkan faktor
lingkungan yaitu kebijakan pemerintah, masyarakat sekitar,
stigma serta kondisi lingkungan (Kemenkes-RI, 2012).
Tujuan pencegahan kecacatan pada penderita kusta
yaitu untuk mengjindari terjadinya kecacatan yang timbul
atau bertambah setelah penderita terdaftar dalam pengobatan
dan pengawasan. Oleh karena itu dibutuhkan data menegenai
perkembangan fungsi saraf penderita. Untuk memonitor fungsi
saraf penderita dapat digunakan hasil pemeriksaan POD. Hasil
pemeriksaan ini merupakan indikator pengelolaan penderita
untuk mengatasi komplikasi pengobatan, mengurangi proporsi
kecacatan baru untuk penambahan kecacatan baik saat dalam
pengobatan maupun setelah RFT
Kecacatan pada penderita kusta memiliki tingkatan yang
dapat ditentukan. Berikut ini yaitu tabel indikator penentuan
tingkat kecacatan.
Berikut ini yaitu tanda-tanda kelainan pada penderita
kusta.
1. Kelainan pada Mata
Mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang
dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya mengalami
kebutaan.
2. Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atrofi)
karena tidak digunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkak (claw hand/claw toes) dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendinya. Bila terjadi kelemahan/kekakuan
pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan
(lagoptalmus).
3. Kerusakan Fungsi Otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar
minyak, dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
menjadi kering, menebal, mengeras, dan akhirnya menjadi
pecah-pecah. Pada umumnya apabila akibat kerusakan
fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan cepat maka
akan terjadi ke tingkat yang lebih berat.
L. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan
1. Jenis Kelamin
Penderita kusta sebagian besar berjenis kelamin lakilaki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini berkaitan
dengan pekerjaan yang sangat mendukung untuk lebih
tertular kusta. Menurut laki-laki berisiko 2 kali lebih besar daripada
perempuan terhadap penyakit kusta.
Perilaku lelaki meliputi jenis pekerjaan dan
mobilisasinya yang sangat mendukung untuk lebih tertular
kusta. Lelaki yang bekerja di jalan atau menjadi pekerja
kasar cenderung akan mengalami kontak dengan orang lain
dengan intensitas yang lebih. Mobilisasi laki-laki dalam
pekerjaannya mendorong lebih bersentuhan dengan banyak orang. Apalagi jika tidak diimbangi dengan gizi yang baik,
akan menurunkan imunitas dan mudah tertular oleh
penyakit. Berdasarkan sebuah penelitian bahwa rata-rata
responden bekerja sebagai pembuat tungku, pemulung,
petani, dan buruh bangunan.
Kusta lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
wanita dengan perbandingan masing-masing hampir 2:1.
Penularan pada pria berkaitan dengan aktivitas yang
dilakukan sehari-hari. Salah satu faktor penularan kusta,
laki-laki cenderung lebih banyak yang bekerja dibandingkan
dengan perempuan ini sangat berkaitan erat dengan adat
istiadat, dimana lelaki sebagai kepala keluarga dituntut
untuk bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya
Salah satu faktor risiko tetrularnya penyakit kusta
yaitu jenis pekerjaan. Pekerjaan sebagai petani dan buruh
berisiko 3,5 kali terhadap kejadian penyakit kusta dibanding
dengan orang yang pekerjaannya bukan petani atau buruh.
Oleh karena itu, pekerjaan bermakna secara statistik
terhadap tertularnya penyakit kusta.
Kejadian pada penderita kusta diduga lebih banyak
terjadi pada pekerja kasar yang banyak mengeluarkan
tenaga dan mengalami kelelahan fisik. Dampaknya yaitu
pada penurunan stamina sehingga penderita kusta dapat
mengalami stres fisik dan terjadi perubahan respon imun
yang dapat memicu terjadinya ENL (Erythema Nodosum
Leprosum). Kelelahan fisik dan stres akibat bekerja pada
penderita kusta menyebabkan gangguan umum yang dapat
memicu meningkatnya respon imun seluler dan dapat terjadi
reaksi kusta
Jenis kelamin laki-laki lebih banyak beraktivitas di
lingkungan yang berpopulasi dan berkontaminasi dengan
berbagai penyakit terutama penderita kusta maupun dengan
mantan penderita kusta. Laki-laki juga mempunyai aktivitas
di luar rumah yang lebih sering dibandingkan dengan
perempuan, sehingga laki-laki lebih rentan untuk tertular
penyakit kusta. Berbeda dengan perempuan yang biasanya
menutup tubuhnya dengan rapat sehingga mempunyai
kemungkinan lebih kecil untuk terjadinya kontak kulit
dengan penderita kusta.
Perilaku laki-laki dalam perawatan kesehatan cenderung
lebih buruk dibandingkan dengan perempuan. Kesadaran
akan memeriksakan kondisi sakitnya sejak dini yang rendah
sehingga pada saat kondisi yang lebih lanjut (muncul
kecacatan baru melakukan pemeriksaan). Jenis pekerjaan
laki-laki yang menggunakan aktivitas fisik juga mendorong
adanya perlukaan dan inflamasi pada daerah persendian
yang akhirnya mendorong kecacatan pada anggota gerak
Umur
Manyullei (2012) menyebutkan umur seseorang sangat
mempengaruhi risiko terjadinya kusta. Umur di atas 15
tahun saat didiagnosa kusta berisiko terjadinya reaksi kusta.
Berbeda dengan umur kurang dari 15 tahun, cenderung
lebih sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan
karena dalam sistem imun anak, TH2 diduga kuat mampu
mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta
lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa
ketersediaan sel T memori lebih banyak dan menyebabkan
frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi.
Reaksi kusta yaitu saat terjadi proses inflamasi akut
yang menyebabkan kerusakan saraf. Besarnya resiko
terjadinya kecacatan pada penderita kusta dengan reaksi
kusta 9 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak
pernah mengalami reaksi. Hal ini disebabkan karena pada
reaksi reversal terjadi peningkatan respon imun seluler yang
hebat secara tiba-tiba. Mengakibatkan kerusakan dan
kecacatan yang timbulnya dalam hitungan hari jika tidak
ditangani denga adekuat. Hal ini menjadi salah satu faktor
terjadinya kecacatan tingkat 2 lebih sering terjadi pada umur
dewasa awal (18-40)
Rambey (2012) menyebutkan kecacatan penderita kusta
lebih sering terjadi pada penderita dewasa atau tua
dibandingkan penderita anak-anak atau dewasa muda. Kecacatan pada usia tua cenderung ireversibel. Kondisi fisik
dan penurunan fungsi organ tubuh pada orang tua menjadi
faktor risiko terjadinya cacat yang progresif dan irreversibel
Pada dasarnya kusta dapat menyerang pada semua umur
(WHO, 2005). Untuk beberapa penyakit, umur memegang
peranan penting dalam kaitannya dengan kejadian dan
penyebaran suatu penyakit. Karena umur dapat
mempengaruhi tingkat imunitas atau kekebalan seseorang.
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Hal ini
disebabkan oleh masa inkubasi penyakit kusta yang lama dan
lambat
umur pada penderita kusta
berkembang dengan karakteristik yang beragam mulai dari
anak-anak sampai dengan lanjut usia. Faktor usia yang
sangat berisiko untuk tertular pada populasi kusta yaitu
kelompok usia anak-anak dan dewasa.
Di India Selatan kebanyakan penderita kusta berumur
10-14 tahun. Namun, menurun pada kelompok umur
berikutnya dan akan meningkat kembali pada umur 20-60
tahun. Umur merupakan faktor protektif kejadian pada
penyakit kusta. Artinya, responden yang berumur 0-14
tahun dapat tercegah dari penyakit kusta. Hal ini dapat
disebabkan oleh masa inkubasi penyakit kusta yang lama dan
lambat
Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi
dan mendewasakan perilaku seseorang. Oleh karena itu,
dengan pendidikan seseorang dapat memilih dan membuat
keputusan lebih cepat. Jika pendidikan seseorang semakin
tinggi dan menjadi penderita kusta, dapat memilih apa yang
terbaik untuk dirinya, seperti dengan menyempatkan
melakukan perawatan diri setiap hari (Notoatmodjo, 2012).
Tingkat pendidikan dianggap sebagai bentuk pengalaman
yang menghasilkan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu
pengetahuan maupun kehidupan sosial.
Status pendidikan seseorang yang menderita kusta
berkaitan dengan tindakan mereka untuk mencari
pengobatan untuk dirinya. Penderita dengan tingkat
pendidikan yang rendah cenderung lambat dalam pencarian
pengobatan dan diagnosis penyakit. Hal ini dapat
mengakibatkan kecacatan pada pada penderita kusta
semakin parah
Menurut susanto pendidikan yang rendah merupakan
salah satu faktor kurangnya tindakan pencarian pengobatan
bagi penderita kusta. Sehingga, pengobatan dilakukan jika
penyakit yang diderita sudah parah. Pendidikan yang rendah
mengakibatkan kurangnya pengetahuan terhadap penyakit
kusta. Keluarga penderita kusta yang pendidikan rendah
tidak memahami akibat buruk yang ditimbulkan dari
penyakit kusta
Status pendidikan mempengaruhi kesempatan
memperoleh informasi mengenai penatalaksanaan penyakit.
Kondisi ini mempengaruhi pola respon
Perbedaan tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang dan kemampuan dalam menerima
informasi baru
4. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek
tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia
yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga tedapat 6
tingkat pengetahuan, yaitu sebagai berikut.
a. Tahu (Know)
Tahu yaitu mengingat kembali memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan
tentang suatu objek yang diketahui dan
diinterpretasikan secara benar.c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi yaitu suatu kemampuan untuk
mempraktikkan materi yang sudah dipelajari pada
kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
Analisis yaitu kemampuan menjabarkan atau
menjelaskan suatu objek atau materi tetapi masih di
dalam struktur organisasi ini dan masih ada
kaitannya satu dengan yang lainnya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis yaitu suatu kemampuan menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi yaitu pengetahuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Menurut pengamatan salah satu
faktor penyebab kurangnya pengetahuan keluarga yaitu
masih banyak responden yang berpendidikan rendah dan
penerimaan hasil penyuluhan dari petugas puskesmas yang
kurang baik oleh masyarakat dan masih menganggap kusta
merupakan penyakit yang memalukan. Oleh sebab itu masih
perlu disampaikan informasi lebih dalam dan merata kepada
semua masyarakat mengenai penyakit kusta dan komplikasinya yang berupa kecacatan apabila tidak diobati
segera.
Pemahaman atau pengetahuan yang kurang dari
anggota keluarga terhadap penderita kusta karena ketakutan
akan kemungkinan penularan penyakit ini akan
mempengaruhi partisipasi anggota keluarga dalam hal
perawatan kesehatan anggota keluarga yang menderita
kusta sehingga keluarga yang menderita kusta memberikan
dukungan kepada penderita. Apabila pengetahuan individu
terhadap suatu penyakit tidak atau belum diketahui, maka
sikap dan tindakan dalam upaya pencegahan penyakit pun
terkadang terabaikan.
Faktor yang bisa menambahkan pengetahuan terhadap
penderita kusta yaitu melalui informasi. Sarana untuk
mengakses informasi dengan adanya pemberi informasi
seperti tenaga kesehatan. Jika hanya ada tempat mengakses
informasi tetapi tidak ada yang menyampaikan informasi
maka transfer informasi tidak akan berjalan baik