Kusta e

 






Kusta atau lepra merupakan salah satu penyakit yang dapat menular dari penderita ke indvidu 

yang lain. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan pada tubuh manusia bila tidak 

ditangani dengan baik dan dapat menjangkiti orang dewasa maupun anak-anak. Penularan 

kusta penting untuk dimengerti karena dapat dilakukan pencegahan. Dusun Sumberglagah 

merupakan dusun yang dihuni para mantan penderita dan juga penderita kusta, sehingga 

disebut “kampung kusta”. Pada masa kini kasus kusta di Dusun Sumberglagah mengalami 

penurunan, namun masih ditemukan kasus kusta baru pada anak yang tinggal di dusun ini. 

Penelitian dilakukan terhadap warga Dusun Sumberglagah dan juga satu keluarga yang 

memiliki anak mantan penderita kusta di Sumberglagah berkaitan dengan penularan kusta 

pada anak. Data diambil di Sumberglagah melalui observasi yang dilakukan. Subyek 

penelitian yaitu   keluarga dengan anak mantan penderita kusta dan warga Sumberglagah. 

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga yang diteliti memiliki pengetahun 

mengenai penyakit kusta dan penularannya cenderung rendah. Pengetahuan mempengaruhi 

cara pencegahan dan penyembuhan sebuah keluarga terhadap penyakit kusta, khususnya bagi 

mereka yang hidup berdampingan dengan penderita dan mantan penderita kustaPenyakit kusta merupakan salah 

satu penyakit yang dapat menular. 

Myctobacterium leprae yaitu   bakteri 

yang menyebabkan penyakit ini. Penyakit 

ini dapat ditularkan dengan kontak secara 

langsung maupun tidak langsung terhadap 

penderita aktif seperti melakukan kontak 

fisik dan berada dalam lingkungan yang 

dekat dengan penderita. Namun, tidak 

setiap individu yang memiliki riwayat 

kontak dengan bakteri ini dapat menderita 

kusta di kemudian hari. Sebesar 90-95 % 

populasi manusia mempunyai kekebalan 

terhadap bakteri ini 

Penyakit kusta banyak ditemui di 

negara tropis. Hal ini  dapat dilihat 

dari peringkat tiga besar negara dengan 

kasus kusta terbesar yaitu India, Brazi dan 

Indonesia. Penyakit ini pada umumnya 

terjadi pada warga  golongan 

mengeah kebawah. warga  golongan 

bawah menjadi rentan terhadap penyakit 

ini karena kebanyakan masih belum sadar 

akan pentingnya menjaga kebersihan 

lingkungan dan sanitasi di pemukiman 

mereka. Buruknya sanitasi memperbesar 

kemungkinan penularan penyakit kusta 

dari satu individu ke individu yang lain. 

Masih banyaknya warga  yang hidup 

di bawah garis kemiskinan, membuat

mereka bermukim di tempat yang 

sebenarnya kurang layak untuk dijadikan 

tempat tinggal, misalnya di bantaran kali. 

Masih banyaknya permukiman kumuh 

ini  juga bisa dibilang menjadikan 

lingkungan ini  tidak sehat termasuk 

penyebaran virus Mycobacterium leprae

untuk hidup dan menjangkiti 

warga 

Menurut data Kementrian 

Kesehatan Republik Indonesia, sepanjang 

tahun 2018 ada  14.397 kasus baru 

kusta yang terdata. Provinsi Jawa Timur 

memiliki jumlah terbesar dari 34 provinsi 

dengan 2.701 kasus dengan tingkat deteksi 

kasus yang terbilang kecil yaitu 6,84 per 

100.000 penduduk dibanding dengan 

Provinsi Papua Barat, Maluku Utara dan 

Papua yang masing-masing memiliki 

tingkat penemuan kasus 68,27, 51,11, dan 

44,12 per 100.000 penduduk. Dalam kasus 

kusta yang terjadi pada anak dibawah 14 

tahun Provinsi Jawa Timur menempati 

peringkat 3 terbesar di indonesia dengan 

190 kasus dibawah Provinsi Papua dengan 

348 kasus dan Provinsi Papua Barat 

sebesar 194 kasus. Angka ini  

menunjukkan bahwa di Indonesia 

khususnya Provinsi Jawa Timur memiliki 

kasus kusta pada anak cukup besar

Dusun Sumberglagah yang terletak 

di Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto

merupakan perkampungan yang banyak 

dihuni mantan penderita maupun penderita 

kusta karena awal berdirinya dusun 

ini  dikarenakan para pasien kusta 

yang berobat di Rumah Sakit Kusta 

Sumberglagah tidak kembali ke keluarga 

mereka dan akhirnya menetap di sekitaran 

Rumah Sakit yang kini mayoritas dihuni 

para penderita maupun mantan penderita 

sekarang ini. Hal ini yang menjadikan 

Sumberglagah beresiko sebagai tempat 

penyebaran penyakit kusta khususnya pada 

anak-anak atau keturunan para warga yang 

merupakan mantan maupun penderita 

kusta. Di Sumberglagah sekarang ini 

sudah mengalami penurunan kasus kusta 

baru dan mayoritas mereka yang masih 

menderita kusta yaitu   orang tua yang 

telah lama mengidap kusta. Namun masih 

ditemukan kasus anak–anak khususnya 

usia 0 – 14 tahun yang menderita maupun 

pernah terjangkit penyakit ini.

Kusta pada umumnya dapat 

ditemukan di tempat atau negara 

berkembang yang tingkat kebersihannya di 

bawah standar dan juga dengan 

pendapatan warga  yang terbilang 

rendah. Seperti pada penelitian yang 

dilakukan Salma Oktaria dengan judul 

“Dietary diversity and poverty as risk 

factors for leprosy in Indonesia: A case￾control study” dikatakan bahwa 

berpenghasilan tidak tetap dan bisa 

dibilang kurang dari standar hidup di 

daerah ini  yang menyebabkan suatu 

individu memiliki keterbatasan akses 

terhadap makanan yang mempunyai nutrisi 

yang baik menjadi hal yang menambah 

resiko seseorang terjangkit penyakit 

khususnya kusta

Selain asupan gizi atau nutrisi, 

pengetahuan dan perilaku pencegahan 

terhadap penyakit kusta menjadi salah satu 

faktor yang berpengaruh terhadap 

kemungkinan tertular penyakit kusta. 

Khususnya bagi mereka yang bertempat 

tinggal atau dekat dengan penderita kusta 

aktif seperti Dusun Sumberglagah. 

Penelitian ini dilakukan untuk 

melihat perilaku keluarga terkait dengan 

penularan dan penyembuhan penyakit 

kusta yang terjadi pada anak.


Penelitian ini menggunakan 

metode kualitatif untuk mendeskripsikan 

pengetahuan dan perilaku keluarga terkait 

dengan penularan dan penyembuhan 

penyakit kusta anak. Pemilihan informan 

menggunakan non random purposif 

dengan memerhatikan kebutuhan peneliti 

terkait topik yang diambil. Dipilih 3 informan sebagai subyek utama keluarga 

dan 7 informan lain dipilih berdasarkan 

pengalaman dan keterkaitan dengan 

subyek utama. Data didapatkan dari proses 

wawancara dan observasi. Analisis 

dilakukan terkait dengan perilaku keluarga 

dengan penularan dan penyembuhan 

penyakit kusta.


Latar Belakang Informan

Pada keluarga informan memiliki 2 

anggota keluarga yang memiliki riwayat 

penyakit kusta yaitu informan 1/bapak dan 

informan 3/anak. Informan 1 mengaku 

menderita kusta sejak masih remaja yang 

membuat informan harus menjalani proses 

pengobatan di Ngaget, Madiun selama 5 

tahun hingga akhirnya pindah ke Dusun 

Sumberglagah sekitar tahun 1980 an. 

Informan 1 sudah dinyatakan tidak 

mengkonsumsi obat kusta lagi sejak 

selesai melakukan pengobatan di Madiun.

Pada informan 3 dinyatakan kusta 

pada tanggal 18 maret 2017 yang pada saat 

itu berumur 12 tahun berdasarkan data 

yang didapat dari Rumah Sakit 

Sumberglagah. Informan 2 menderita 

kusta multibasiler. Pengobatan dengan 

konsumsi MDT selama 1 tahun, dan pada 

awal maret 2018 informan 3 dinyatakan 

sembuh atau tidak mengkonsumsi MDT 

lagi. Saat penelitian dilakukan, informan 3 

masih berstatus Release From Treatment

(RFT) yang artinya penderita sudah tidak 

mengkonsumsi MDT, namun masih 

dilakukan pemantauan pasien oleh petugas 

kesehatan yang menangani. Karena 

informan 3 menderita kusta multibasiler 

atau kusta basah, maka pemantauan 

terhadap keadaan informan sebagai pasien 

kusta masih dilakukan dalam kurun waktu 

5 tahun setelah dinyatakan RFT, dibanding 

penderita kusta pausibasiler yang hanya 

berlangsung 2 tahun. Bila dalam kurun 

waktu 5 tahun setelah RFT, informan atau 

pasien kusta sudah tidak dilakukan 

pemantauan lagi dan akan berstatus 

Release From Control (RFC). Karena 

informan 3 dinyatakan RFT pada maret 

2018, maka informan masih dalam 

pantauan petugas poli kusta Rumah Sakit 

Sumberglagah dan wajib melaporkan 

keluhan kesehatan yang terjadi selama 5 

tahun atau belum berstatus RFC. 

Informan 1 dan informan 2 sebagai 

orang tua memiliki latar belakang 

pendidikan terakhir di Sekolah Dasar. 

Sementara informan 3 pada saat dilakukan 

penelitian sedang menjalani pendidikan di 

SMA. Dari sisi ekonomi keluarga 

informan dapat dikatakan baik dengan 

terpenuhinya kebutuhan pokok dan 

kepemilikan barang yang termasuk 

kebutuhan sekunder seperti sepeda motor 

dan perhiasan emas. Penghasilan ini  didapat dari lahan pertanian yang mereka 

miliki dan pekerjaan sebagai pengemis 

yang dilakukan informan 1.

Perilaku Keluarga Terhadap Penyakit 

Kusta

Sebelum informan 3 dinyatakan 

menderita kusta, keluarga informan 

memiliki pengetahuan terkait kusta 

tergolong kurang. Informan 1 sebagai 

orang tua dan mantan penderita kusta tidak 

membagi ilmu atau pengalamannya 

menghadapi penyakit ini kepada anggota 

keluarga lain. Karena kurangnya 

pengetahuan terkait penyakit kusta 

berpengaruh terhadap perilaku keluarga 

informan terkait perilaku pencegahan yang 

bisa dilakukan. Keluarga informan tidak 

mempunyai strategi ataupun cara-cara 

khusus untuk mencegah penularan 

penyakit kusta pada anggota keluarga 

mereka. Informan 1 merasa tidak perlu 

untuk menghindari atau menjauhi sesama 

warga Sumberglagah karena mempunyai 

latar belakang yang sama terkait kusta. 

Informan 3 sebagai anak tidak pernah 

mendapatkan pengetahuan dan juga 

himbauan dalam berinteraksi dengan 

warga  Sumberglagah walaupun 

belum diketahui status kusta pada individu 

lain.

Karena tidak mendapat 

pengetahuan maupun himbauan dari orang 

tua terkait pencegahan kusta di lingkungan 

mantan dan penderita, informan 3 tidak 

menghindari atau mencegah untuk 

berinteraksi dengan warga Sumberglagah 

lain tanpa terkecuali. Seperti contoh 

informan tidak melakukan langkah 

pencegahan terhadap warga lain yang 

sudah diketahui sebagai penderita kusta 

aktif.

Dalam hal perilaku kesehatan atau 

perilaku ketika muncul gejala suatu 

penyakit dan pada saat penyembuhan yang 

dilakukan keluarga tergolong baik dalam 

mengurangi tingkat kecacatan akibat kusta. 

Hal ini  tidak terlepas dari beberapa 

faktor yaitu:

1. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial berpengaruh 

terhadap perilaku atau pengambilan 

keputusan keluarga terkait penyakit kusta 

pada anak. Lingkungan sosial 

Sumberglagah khususnya tetangga 

keluarga informan, memiliki kesadaran 

terhadap pengawasan kesehatan satu sama 

lain. Dari wawancara yang dilakukan 

terhadap Kepala RT (Rukun Tetangga) 

setempat yaitu informan 4, informan 4 

juga menjadi saksi saat gejala-gejala pada 

kulit wajah timbul pada informan 3.

Sebagai mantan penderita kusta, informan 

4 menganjurkan untuk informan 3 

melakukan pemeriksaan kesehatan terkait gejala-gejala yang muncul di kulit.

Dukungan sosial dibagi menjadi 3 

menurut bentuk dukungan yang diberikan 

yaitu Instrumental Support, Emotional

Support, dan Informational Support. 

Instrumental Support yaitu   jenis 

dukungan yang nyata atau berbentuk 

seperti dukungan secara finansial. 

Emotional Support merupakan bentuk 

dukungan yang lebih abstrak atau tidak 

nyata, bisa berupa kepedulian atau 

dukungan secara moril terhadap orang 

lain. Sedangkan Informational Support

yaitu   jenis dukungan yang berupa 

anjuran atau pemberian informasi terhadap 

orang lain (Hernandez & Blazer, 2006). 

Informan 4 memberikan Informational 

Support terhadap keluarga informan 

dengan memberi anjuran dan pengetahuan 

terkait gejala-gejala penyakit kusta yang 

muncul.

2. Jarak Fasilitas Kesehatan

Jarak tempat tinggal informan 

terhadap fasilitas kesehatan juga 

mempengaruhi perilaku kesehatan yang 

dilakukan keluarga. Dalam kasus ini 

keluarga informan menggunakan Rumah 

Sakit Sumberglagah untuk melakukan 

pemeriksaan hingga penyembuhan. Jarak 

yang tergolong dekat antara tempat tinggal 

informan dengan Rumah Sakit yang masih 

berlokasi di wilayah Dusun Sumberglagah 

memudahkan informan untuk mengakses 

fasilitas kesehatan ketika terjadi masalah 

kesehatan yang dialami. Bila ditempuh 

berjalan kaki dari tempat tinggal informan 

hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 

menit. Pemilihan Rumah Sakit 

Sumberglagah dibanding Puskesmas 

Kecamatan Pacet yaitu   jarak terhadap 

Puskesmas yang berada di luar desa lebih 

jauh. Jarak menjadi salah satu hal yang 

dipertimbangkan ketika melakukan 

pemeriksaan kesehatan. Semakin mudah 

atau dekat akses terhadap fasilitas 

kesehatan terdekat, akan semakin 

memudahkan individu untuk melakukan 

pemeriksaan kesehatan. Sebaliknya, bila 

akses atau jarak terhadap fasilitas 

kesehatan semakin susah atau jauh akan 

menjadi hambatan individu untuk 

menggunakan fasilitas kesehatan (Allen, 

Muhwezi, Henriksson, & Mbonye, 2017). 

Karena keluarga informan memiliki akses 

yang mudah dan dekat terhadap fasilitas 

kesehatan, maka akan memudahkan 

pengambilan keputusan untuk melakukan 

pemeriksaan kesehatan dan mempermudah 

pengobatan rutin setiap bulan.

3. Biaya Kesehatan

Bagi warga  menengah 

kebawah biaya kesehatan menjadi salah 

satu faktor yang sangat berpengaruh dalam 

perilaku kesehatan mereka. Biaya 

kesehatan yang cenderung mahal dapat 

menghambat seseorang untuk menggunakan fasilitas kesehatan 

khususnya bagi kalangan menengah ke 

bawah. Hal ini juga bisa berkaitan dengan 

jarak akses menuju fasilitas kesehatan, bila 

akses menuju fasilitas kesehatan jauh atau 

susah juga akan menambah biaya. Dalam 

kasus ini keluarga informan tidak 

menghadapi permasalahan mengenai biaya 

kesehatan. Karena fasilitas kesehatan yang 

digunakan informan untuk memeriksakan 

kesehatannya tidak dipungut biaya atau 

gratis. Dari awal pemeriksaan sampai 

selesainya masa pengobatan penyakit 

kusta informan tidak mengeluarkan biaya. 

Informan tidak terhambat atau terganggu

dalam hal biaya fasilitas kesehatan 

Informan 2 mnuturkan bahwa 

ketika melakukan pemeriksaan hingga 

proses pengobatan selesai, Rumah Sakit 

tidak meminta bayaran atau gratis terkait 

penyakit kusta yang diderita informan 3. 

Namun hal ini  hanya pada kasus 

penyakit kusta. Bila warga melakukan 

pengobatan dengan keluhan penyakit 

selain kusta akan dikenai biaya.

Proses Penyembuhan 

Penyembuhan terhadap penyakit 

kusta dibagi menurut jenis kusta yang 

diderita, multibasiler atau pausibasiler. 

Pada awal diketahui bahwa gejala-gejala 

yang muncul pada kulit yaitu   kusta, 

selanjutnya akan dilakukan tes untuk 

melihat hasil bakteriologis pada flek-flek 

putih atau lesi pada kulit informan (Skin 

Smear). 

Hasil tes bakteriologis menentukan 

jenis kusta yang diderita, jika hasil 

bakteriologis positif maka jenis kusta yang 

diderita yaitu   multibasiler atau kusta 

basah. Sementara jika hasil bakteriologis 

negatif, maka jenis kusta yang diderita 

yaitu   pusibasiler atau kusta kering. Pada 

informan 3, setelah dilakukan tes memiliki 

hasil bakteriologis positif 1. Informan 3 

menderita kusta jenis multibasiler. Sebagai 

penderita kusta multibasiler, informan 3 

harus mengkonsumsi Multi Drug Therapy 

selama 1 tahun dan melakukan 

pemeriksaan rutin setiap bulan hingga 

dinyatakan RFT atau Release From 

Treatment. Setelah dinyatakan RFT 

informan 3 sudah tidak mengkonsumsi 

MDT, namun diwajibkan untuk melakukan 

pemeriksaan rutin setiap tahun dan 

melaporkan segala gejala yang terjadi pada 

tubuh informan selama 5 tahun setelah 

dinyatakan RFT. Bila dalam masa 

pemantauan 5 tahun setelah RFT tidak 

ditemui gejala kusta yang kembali muncul, 

penderita akan dinyatakan Release From 

Control (RFC). Pada saat penelitian 

dilakukan informan 3 masih berstatus RFT 

karena masih dalam masa pemantauan 

selama sekitar 1 tahun. Perilaku keluarga informan yang 

tidak melakukan strategi pencegahan 

terhadap penyakit kusta di tengah 

lingkungan yang dihuni para mantan dan 

penderita kusta semakin memperbesar 

kemungkinan penularan penyakit kusta 

pada anak mereka. Lingkungan 

Sumberglagah menjadi kemungkinan 

terbesar terkait asal penularan yang terjadi 

pada informan 3. Dibanding dengan 

kemungkinan penularan berasal dari 

informan 1 yang sudah dinyatakan sembuh 

mempunyai selisih waktu yang cukup lama 

dengan kelahiran informan 3, 

kemungkinan penularan oleh informan 1 

sangat kecil. Di Dusun Sumberglagah 

masih ada  warga yang mempunyai 

penyakit kusta aktif dan dapat menjangkiti 

warga Sumberglagah lain yang secara 

sengaja atau tidak disengaja melakukan 

kontak. Tidak adanya cara khusus terkait 

pencegahan kusta diperburuk dengan 

perilaku makan informan 3 yang 

cenderung kurang dari segi kuantitas dan 

kurangnya asupan sayuran, buah-buahan, 

dan susu yang dapat mempengaruhi sistem 

imun tubuh. Sistem imun tubuh sangat 

penting dalam pencegahan tubuh terhadap 

bakteri yang menyerang, seperti bakteri 

penyebab kusta 

Perilaku kesehatan yang dilakukan 

keluarga informan cukup penting dalam 

pendeteksian dini dan mengurangi tingkat 

kecacatan akibat kusta. lingkungan sosial, 

jarak, dan biaya kesehatan memberi 

pengaruh positif terhadap penangan kusta 

informan 3 seperti pemeriksaan dini dan 

pemeriksaan rutin ketika menjalani proses 

penyembuhan. Ketiga faktor ini  

mendukung kelancaran proses 

penyembuhan sampai selesai selain 

kualitas fasilitas kesehatan yang baik 

menghadapi penyakit kusta.


kusta25




Penyakit kusta sudah ada sejak peradaban manusia.

Namun beberapa aspek dari penyakit ini masih menyimpan 

berbagai misteri terutama sebelum akhir abad kesembilan belas 

(. Penyakit kusta (Lepra, Morbus Hansen) yaitu  

penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh bakteri dari 

organisme intraseluler obligat Mycobacterium leprae (M. leprae), 

yang primer. Penyakit ini menyerang syaraf tepi, kulit, mukosa 

(mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo 

endotelia, mata, otot, tulang, dan testis.

Penyakit ini yaitu  tipe penyakit granulosa pada saraf tepi 

dan mukosa dari saluran pernapasan atas, dan lesi pada kulit 

yaitu  tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, 

kusta dapat sangat progresif dan menyebabkan kerusakan pada 

kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata (Andareto, 2015). 

Jika setelah ditangani pun, penderita tidak meminum obat 

secara teratur, maka kuman kusta dalam tubuh akan tumbuh 

dan berkembang lebih banyak sehingga merusak saraf 

penderita yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecacatan 

( Selain itu, penyakit ini dapat menimbulkan masalah psikososial akibat adanya stigma atau predikat buruk 

dari penyakit dalam pandangan masyarakat 

Dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota 

tubuh penderita tidak dapat berfungsi dengan normal (kulit, 

mukosa traktus respiratorius atas, tulang jari-jari dan wajah) 

(DJP3L, 2008).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) 

tahun 2011, ada sebanyak 213.899 kasus baru yang terdeteksi 

dan kasus terdaftar sebanyak 175.554 penderita. Indonesia 

menempati urutan ketiga sebagai negara dengan jumlah kasus 

tertinggi setelah Brazil dan India 

Upaya pengendalian kusta dunia menetapkan tahun 2000 

merupakan tonggak pencapaian eliminasi kusta. Indonesia 

berhasil mencapai target ini   pada tahun yang sama. Akan 

tetapi situasi kusta di Indonesia menunjukkan kondisi yang 

relatif statis. 

Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia 

yang terlapor di WHO pada awal tahun 2012 yaitu jumlah 

kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 sekitar 219.075. 

Dari jumlah ini   paling banyak terdapat di regional Asia 

Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional 

Afrika (12.673), dan sisanya berada di Regional lain di dunia.

Angka insiden kusta di Indonesia pada tahun 2013 

sebesar 6.79 per 100.000 penduduk dan angka prevalensinya 

berkisar 7.9 sampai dengan 9.6 per 100.000 penduduk. Tahun 2014 jumlah kasus baru kusta di Indonesia sebesar 16.131 

kasus dengan 10.088 penderita laki-laki dan 6.043 penderita 

perempuan serta kusta anak yang mencapai 1.755 kasus. 

Penyebaran penyakit kusta di indonesia hampir merata di 

seluruh provinsi. Provinsi dengan jumlah kasus kusta tertinggi 

yaitu  Provinsi Jawa Timur (Kemenkes-RI, 2014). 

Di Provinsi Gorontalo sendiri, penyakit kusta berada 

pada peringkat ke 7 dengan presentase 9.56 per 100.000 

penduduk, dan pada tahun 2016 jumlah kasus baru kusta di 

Gorontalo sebanyak 110 kasus (Depkes-RI, 2016). 

B. Ciri dan Cara Kerja Bakteri Mycobacterium leprae (M. 

leprae) Secara Umum

Infeksi hanya terjadi ketika kontak erat yang berlangsung 

lama, khususnya pada anak-anak penderita lepra. Bakteri masuk 

ke dalam tubuh melalui kulit atau hidung. Bila seluruh tubuh 

terkena, kulit dan saraf biasanya sasaran yang paling disukai. 

Pada kulit, tanda pertama berupa noda berwarna terang 

yang anastetik (dadanya merasa sakit), kemudian daerah yang 

menebal (nodul) dapat timbul, terutama pada muka. Saraf yang 

paling sering terkena yaitu  di lengan bawah, muka, dan 

belakang telinga. Daerah ini   dapat teraba lebih tebal dari 

biasanya. 

Gambaran lanjut dari lepra berupa tukak dan hilangnya 

jari-jari dan kuku jarang dicapai pada anak-anak, karena untuk mencapai bentuk ini memerlukan waktu bertahun-tahun 

Penyakit kusta terdiri dari dua 

tipe yaitu Paucibasillary (PB) atau 

disebut juga kusta kering dan 

Multibacillary (MB) disebut juga kusta 

basah. Sumber penularan penyakit 

kusta yaitu  penderita kusta tipe MB. 

Penyakit kusta ditularkan melalui 

kontak langsung, melalui kulit dan saluran pernapasan secara 

berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama 

C. Cara Penyebaran Penyakit Lepra/Kusta (Epidemiologi)

Sumber penularan berasal dari kuman kusta utuh (solid) 

yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang 

belum diobati atau tidak teratur berobat. Sebenarnya, Bila 

seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan 

sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% 

indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 

70% sembuh 


Sebab dan Asal Penyakit (Etiologi) 

Berdasarkan informasi yang disampaikan Kementerian 

Kesehatan tahun 2015, penyakit kusta disebabkan oleh 

Mycobacterium Leprae. Bakteri ini untuk pertama kalinya

ditemukan oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 

1873 di Norwegia. 

Bakteri Mycobacterium Leprae yaitu  kuman aerob, tidak 

membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran 

sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.

Ukurannya yaitu  panjang 1-8 mikro dan lebar 0,2-0,5 mikro.

Biasanya hidup berkelompok dan ada juga yang tersebar satu￾satu, hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram 

positif. Bakteri ini tidak mudah diwarnai. Kalaupun diwarnai,

akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol 

sehingga dinamakan sebagai basil ‘tahan asam’. Mycobacterium 

Leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. 

Bakteri ini menular pada manusia melalui kontak 

langsung dengan penderita. Penularan disebabkan antara 

penderita dengan yang tertular memiliki lesi (luka), baik 

mikroskopis (kecil) maupun makroskopis (besar). Selain itu, 

penularan disebabkan karena adanya kontak yang lama dan 

berulang-ulang. Penularan juga dapat terjadi melalui 

pernapasan.


Bakteri ini mengalami proses perkembangbiakan dalam 

waktu 2-3 minggu. Pertahanan bakteri ini dalam tubuh 

manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia 

kemudian membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa 

inkubasi rata-rata 2-5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu 

lebih dari 5 tahun. Setelah 5 tahun, tanda-tanda seseorang 

menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain kulit 

mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian 

anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

E. Pengklasifikasian Penyakit Kusta

Dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta, misalnya 

klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India, 

dan klasifikasi WHO. Penentuan klasifikasi ini didasarkan pada 

tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman.

Berikut ini diuraikan beragam pengklasifikasian penyakit 

kusta.

1. Pengklasifikasian Ridley dan Jopling 

Ridley dan Jopling mengelompokkan penyakit kusta menjadi 

5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, 

histopatologis, dan imunologis.

a. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi (luka) ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi 

kulit bisa satu atau lebih, dapat berupa makula atau 

plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. 

Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang 

meninggi, bahkan dapat meninggi menyerupai gambaran 

psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan 

saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan 

sedikit rasa gatal. 

b. Bordeline Tuberculoid (BT)

Lesi (luka) pada tipe ini menyerupai tipe tuberculoid (TT), 

yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi 

satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau lebih, tetapi 

gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama 

tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf 

tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. 

Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer 

yang menebal.

c. Mid Bordeline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe 

dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai 

bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi 

dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat 

berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang 

melebihi tipe borderline tuberculoid (BT) dan cenderung 

simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, 

bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi 

punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.d. Bordeline Lepromatous (BL) 

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya 

dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke 

seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi 

bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih 

tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan 

beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. 

Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir 

dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir 

luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punced-out. 

Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, 

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya 

rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe 

lepramatosa (LL). Penebalan saraf dapat teraba pada 

tempat predileksi.

e. Tipe Lepramatosa (LL) 

Jumlah lesi (luka) sangat banyak, simetris, permukaan 

halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas 

dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan 

anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai 

dahi pelipis, dagu, cuping telinga: sedang di badan dan di

wajah mengenai bagian badan yang dingin, lengan, 

punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai 

bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang 

progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi 

kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat 

disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi 

dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai 

pembesaran kelenjar limfe orkitis yang selanjutnya dapat 

menjadi atrofi testis. 

Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala 

stocking & glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi 

progressif, muncul makula dan papula baru, sedangkan 

lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut 

serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin 

atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan 

otot tangan dan kaki.

2. Pengklasifikasian WHO

Sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi 

penyakit kusta untuk memudahkan pengobatan di lapangan. 

Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi 

dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillary (PB) dan tipe 

Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi ini yaitu  

gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui 

pemeriksaan kerokan jaringan kulit (Kemenkes-RI, 2012).

3. Pengklasifikasian Kemenkes

Departemen Kesehatan berkiblat pada WHO untuk 

mengklasifikasikan penyakit kusta. Standarpengklasifikasiannya yaitu dibagi menjadi tipe paucibacillary

(PB) dan multibacillary (MB).

a. Tipe PB atau Tipe Kering

1) Bercak atau makula dengan warna keputihan.

2) Ukurannya kecil dan besar, batas tegas, dan terdapat 

di satu atau beberapa tempat di badan (pipi, punggung, 

dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau 

pada punggung kaki).

3) Permukaan bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini 

jarang menular tetapi apabila tidak segera diobati 

menyebabkan kecacatan.

b. Tipe MB atau Tipe Basah

1) Berwarna kemerahan.

2) Tersebar merata di seluruh badan, kulit tidak terlalu 

kasar, batas makula tidak begitu jelas.

3) Terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan, 

dan tanda awal terdapat pada cuping telinga dan 

wajah.

F. Cara Penularan Kusta 

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe 

Multi Basiller (MB) kepada orang lain dengan cara penularan 

langsung (Depkes, 2012). Cara penularannya yang pasti, belum 

diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa 

penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan 

kulit. 

Timbulnya kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak 

perlu ditakuti, tergantung dari beberapa faktor berikut ini.

1. Sumber Penularan

Penderita kusta tipe MB tidak akan menularkan kusta, 

apabila berobat teratur.

2. Kuman Kusta

Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9 

hari tergantung pada suhu atau cuaca. Tidak semua kuman 

menular, hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang 

dapat menimbulkan penularan. 

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 

tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan 

terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari 

tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain.

Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara 

kontak yang lama dengan pasien. Pasien yang sudah minum 

obat MDT tidak menjadi sumber penularan kepada orang 

lainG.Proses Berjangkitnya Penyakit (Patogenesis)

Meskipun cara masuk Mycobakterium Leprae ke dalam 

tubuh masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa 

penelitian telah memperlihatkan yang sering tertular ialah 

melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin 

dan melalui mukosa nasal. 

Pengaruh Mycobakterium Leprae terhadap kulit bergantung

pada faktor imunitas seseorang. Kemampuan hidup 

Mycobakterium Leprae yaitu pada suhu tubuh yang rendah, 

waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen 

dan nontoksis.

Mycobakterium Leprae merupakan parasit obligat 

intraselular terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar 

pembuluh darah superficial pada dermis atau sel Schwann di 

jaringan saraf. Bila kuman Mycobakterium Leprae masuk ke

dalam tubuh, maka tubuh akan beraksi mengeluarkan makrofag

(sel-sel yang berfungsi mematikan) untuk memfagositnya .

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas 

selular. Dengan demikian makrofag tidak mampu 

menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi 

dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas 

selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan 

kuman. Sayangnya setelah kuman di fagositosis, makrofag akan 

berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Dantia Langhans. Bila 

infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan 

dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan 

jaringan sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan 

Mycobakterium Leprae. Di samping itu sel schwann berfungsi 

sebagai demielinisasi dan hanya sedikit berfungsi sebagai 

fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel 

Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya 

aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf 

yang progresif (Emmy, 2003).

H. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Kusta

Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan 

gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut. Diagnosis 

cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita 

kusta yaitu  seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta 

dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis dan memerlukan 

suatu pengobatan.

Gambaran umumnya yaitu  bagian tubuh yang dingin 

seperti saluran napas, testis, bilik mata depan dan kulit 

terutama cuping telinga dan jari merupakan daerah yang biasa 

terkena. Bagian tubuh yang dingin tidak hanya karena 

pertumbuhan optimal Mycobakterium Leprae pada suhu rendah tetapi mungkin juga karena kurangnya respon imunologi akibat 

rendahnya suhu pada daerah ini   (Amiruddin, 2005).

Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada hal-hal 

berikut ini.

a. Multiplikasi dan diseminata kuman M. Leprae.

b. Respon imun penderita terhadap kuman M. Leprae.

c. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

Ada 3 tanda kranial yang kalau salah satunya ada, sudah 

cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta. Ketiga 

tanda ini   dijelaskan berikut ini.

1. Lesi Kulit yang Anestesi

Macula atau plakat atau lebih jarang pada papul atau nodul 

dengan hilangnya rasa raba, rasa sakit dan suhu yang jelas. 

Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan 

warna dan tekstur kulit serta kelainan pertumuhan rambut.

2. Penebalan Saraf Perifer

Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali 

pada penyakit kusta. Pada daerah endemik kusta penemuan 

adanya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk 

menegakkan diagnosis. Untuk mengevaluasi ini diperlukan 

latihan yang terus menerus, cara meraba saraf dan pada saat 

pemeriksaan perlu membandingkan dengan saraf.

3. Ditemukannya M. Leprae

Mycobakterium Leprae dimasukkan dalam family

Mycobacteriaceace, ordo Actinomycetales, kelas Schyzomycetes. Berbentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya 

berbentuk paralel dengan kedua ujungnya bulat, ukuran 

panjang 1-8 mm dan lebar 0,3-0,5 mm. Basil ini menyerupai 

kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak 

dan tidak berspora. 

Masa inkubasi Mycobakterium Leprae dapat 

berlangsung selama 2-5 tahun. Bakteri ini terutama terdapat 

pada kulit, mukosa hidung dan saraf perifer yang superficial 

dan dapat ditunjukkan dengan apusan sayatan kulit atau 

kerokan mukosa hidung. Secara klinis telah dibuktikan 

bahwa basil ini biasanya tumbuh pada daerah dengan

temperature kurang dari 37oC (Amiruddin, 2005).

I. Pengobatan pada Penderita Penyakit Kusta

Kemoterapi kusta di Indonesia dimulai tahun 1949 

dengan DDS sebagai obat tunggal (monoterapi DDS)

(Kementerian Kesehatan RI, 2012). DDS harus diminum selama 

3-5 tahun PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan 

seumur hidup. 

Kekurangan monoterapi DDS yaitu  terjadinya 

resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien 

defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. 

Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan 

pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk 

tipe PB maupun MB.Multi Drug Therapy (MDT) yaitu  kombinasi dua atau 

lebih obat antikusta. Salah satunya rifampisin sebagai anti kusta 

yang bersifat bakterisidal kuat, sedangkan obat anti kusta lain 

bersifat bakteriostatik.

Berikut ini merupakan kelompok orang yag 

membutuhkan MDT.

1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah 

mendapat MDT. 

2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di 

bawah ini.

(1)Relaps 

(2)Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB) 

(3)Pindahan (pindah masuk) 

(4)Ganti klasifikasi/tipe

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan 

yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen ini   yaitu  

sebagai berikut.

1. Pasien Pausibasiler (PB) untuk Dewasa

Pengobatan Bulanan

Hari pertama (obat minum di depan petugas) 

a. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 

b. 1 tablet dapson/DDS 100 mg 

Pengobatan Harian : hari ke-2 s.d. ke-28 

1 tablet dapson/DDS 100 mg Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang 

diminum selama 6-9 bulan.

2. Pasien Multibasiler (MB) untuk Dewasa

Pengobatan Bulanan

Hari pertama (obat diminum di depan petugas) 

a. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 

b. 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg) 

c. 1 tablet dapson/DDS 100 mg 

Pengobatan Harian: Hari Ke-2 s.d ke-28 

a. 1 tablet lampren 50 mg 

b. 1 tablet dapson/DDS 100 mg 

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang 

diminum selama 12-18 bulan 16.

3. Dosis MDT PB untuk Anak (Umur 10-15 Tahun) 

Pengobatan Bulanan

hari pertama (obat diminum di depan petugas) 

a. 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

b. 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan Harian: Hari ke-2 s.d. ke-28 

Tablet dapson/DDS 50 mg 

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang 

diminum selama 6-9 bulan.

4. Dosis MDT MB untuk Anak (Umur 10-15 Tahun) 

Pengobatan Bulanan

hari pertama (obat diminum di depan petugas) a. 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg 

b. 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

c. 1 tablet dapson/DDS 50 mg 

Pengobatan Harian: Hari ke-2 s.d. ke-28 

a. 1 tablet lampren 50 mg selang sehari 

b. 1 tablet dapson/DDS 50 mg 

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang 

diminum selama 12-18 bulan. Bagi dewasa dan anak usia 

10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. 

Dosis anak disesuaikan dengan berat badan anak.

a. Rifampison: 10-15 mg/kgBB

b. Dapson: 1-2 mg/kgBB 

c. Lampren: 1 mg/kgBB

J. Pencegahan Penyakit Kusta

Pencegahan secara umum yaitu  mengambil tindakan 

terlebih dahulu sebelum kejadian. Dalam mengambil langkah￾langkah untuk pencegahan, haruslah didasarkan pada 

data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis 

epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologis. 

Ada tiga tingkatan pencegahan penyakit menular seperti 

kusta secara umum, yakni sebagai berikut.

1. Pencegahan Tingkat Pertama

Sasaran ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan serta 

faktor pejamu.a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab kusta 

yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau 

menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin 

dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi, 

sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan 

mikroorganisme penyebab penyakit, menghilangkan 

sumber penularan maupun memutuskan rantai 

penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga 

dalam rangka memutus rantai penularan, serta 

mengurangi atau menghindari perilaku yang dapat 

meningkatkan risiko perorangan dan masyarakat

b. Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan 

lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi 

lingkungan, dan perumahan serta bentuk pemukiman 

lainnya.

c. Meningkatkan daya tahan pejamu melalui perbaikan 

status gizi, status kesehatan umum, dan kualitas hidup 

penduduk, serta berbagai bentuk pencegahan khusus 

lainnya serta usaha menghindari pengaruh faktor 

keturunan dan peningkatan ketahanan fisik melalui 

olah raga dan kesehatan.

2. Pencegahan Tingkat Kedua

Sasaran pencegahan ditujukan pada mereka yang menderita 

atau yang dianggap menderita (suspek) atau yang terancam 

akan menderita (masatunas). Adapun tujuan tingkat kedua ini meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar 

dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah 

timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses 

penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi.

3. Pencegahan Tingkat Ketiga

Sasaran pencegahan yaitu  pada penderita kusta dengan 

tujuan mencegah jangan sampai mengalami kecacatan. Pada 

tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi. Rehabilitasi 

yaitu  usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis, dan 

sosial penderita kusta seoptimal mungkin.

K. Penanganan Pencegahan Kecacatan pada Pasien Kusta

Pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD) 

yaitu  suatu usaha untuk memberikan tindakan pencegahan 

terhadap penderita agar terhindar dari risiko cacat selama 

perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta.

Cara terbaik untuk pencegahan cacat atau prevention of 

disabillity (POD) yaitu  dengan melaksanakan diagnosis dini 

kusta. Pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. 

Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta 

yang disertai gangguan saraf harus mulai melakukan 

pengobatan dengan kartikosteroid sesegera mungkin. Hal ini 

disebabkan terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan 

oleh kerusakan fungsi saraf tepi oleh kuman maupun karena 

terjadinya peradangan saraf (neuritis) sewaktu terjadi reaksi kusta (Kandun, 2007). Sehingga harus dicegah dengan 

penanganan ini  .

Dalam International Classification of Function Disability and 

Health (ICF), dipaparkan bahwa kecacatan yaitu  istilah yang 

dipakai untuk mencakup 3 aspek, yaitu kerusakan struktur dan 

fungsi (impairment), keterbatasan aktivitas (activity limitation) 

dan masalah partisipasi (participation problem). Ketiga aspek ini 

sangat dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lingkungan. 

Yang dimaksud dengan faktor individu, misalnya usia, jenis 

kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Sedangkan faktor 

lingkungan yaitu  kebijakan pemerintah, masyarakat sekitar, 

stigma serta kondisi lingkungan (Kemenkes-RI, 2012).

Tujuan pencegahan kecacatan pada penderita kusta

yaitu  untuk mengjindari terjadinya kecacatan yang timbul 

atau bertambah setelah penderita terdaftar dalam pengobatan 

dan pengawasan. Oleh karena itu dibutuhkan data menegenai 

perkembangan fungsi saraf penderita. Untuk memonitor fungsi 

saraf penderita dapat digunakan hasil pemeriksaan POD. Hasil 

pemeriksaan ini merupakan indikator pengelolaan penderita 

untuk mengatasi komplikasi pengobatan, mengurangi proporsi 

kecacatan baru untuk penambahan kecacatan baik saat dalam 

pengobatan maupun setelah RFT 

Kecacatan pada penderita kusta memiliki tingkatan yang 

dapat ditentukan. Berikut ini yaitu  tabel indikator penentuan 

tingkat kecacatan.

Berikut ini yaitu  tanda-tanda kelainan pada penderita 

kusta.

1. Kelainan pada Mata

Mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang 

dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya mengalami 

kebutaan.

2. Kerusakan Fungsi Motorik 

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi 

lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atrofi) 

karena tidak digunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi 

bengkak (claw hand/claw toes) dan akhirnya dapat terjadi

kekakuan pada sendinya. Bila terjadi kelemahan/kekakuan 

pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan 

(lagoptalmus).

3. Kerusakan Fungsi Otonom 

Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar 

minyak, dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit 

menjadi kering, menebal, mengeras, dan akhirnya menjadi

pecah-pecah. Pada umumnya apabila akibat kerusakan 

fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan cepat maka 

akan terjadi ke tingkat yang lebih berat. 

L. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan 

1. Jenis Kelamin 

Penderita kusta sebagian besar berjenis kelamin laki￾laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini berkaitan 

dengan pekerjaan yang sangat mendukung untuk lebih 

tertular kusta. Menurut  laki-laki berisiko 2 kali lebih besar daripada 

perempuan terhadap penyakit kusta.

Perilaku lelaki meliputi jenis pekerjaan dan 

mobilisasinya yang sangat mendukung untuk lebih tertular 

kusta. Lelaki yang bekerja di jalan atau menjadi pekerja 

kasar cenderung akan mengalami kontak dengan orang lain 

dengan intensitas yang lebih. Mobilisasi laki-laki dalam 

pekerjaannya mendorong lebih bersentuhan dengan banyak orang. Apalagi jika tidak diimbangi dengan gizi yang baik, 

akan menurunkan imunitas dan mudah tertular oleh 

penyakit. Berdasarkan sebuah penelitian bahwa rata-rata 

responden bekerja sebagai pembuat tungku, pemulung, 

petani, dan buruh bangunan. 

Kusta lebih sering terjadi pada pria dibandingkan 

wanita dengan perbandingan masing-masing hampir 2:1. 

Penularan pada pria berkaitan dengan aktivitas yang 

dilakukan sehari-hari. Salah satu faktor penularan kusta, 

laki-laki cenderung lebih banyak yang bekerja dibandingkan 

dengan perempuan ini sangat berkaitan erat dengan adat 

istiadat, dimana lelaki sebagai kepala keluarga dituntut 

untuk bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya 

Salah satu faktor risiko tetrularnya penyakit kusta 

yaitu  jenis pekerjaan. Pekerjaan sebagai petani dan buruh 

berisiko 3,5 kali terhadap kejadian penyakit kusta dibanding 

dengan orang yang pekerjaannya bukan petani atau buruh. 

Oleh karena itu, pekerjaan bermakna secara statistik 

terhadap tertularnya penyakit kusta. 

Kejadian pada penderita kusta diduga lebih banyak 

terjadi pada pekerja kasar yang banyak mengeluarkan 

tenaga dan mengalami kelelahan fisik. Dampaknya yaitu 

pada penurunan stamina sehingga penderita kusta dapat 

mengalami stres fisik dan terjadi perubahan respon imun

yang dapat memicu terjadinya ENL (Erythema Nodosum 

Leprosum). Kelelahan fisik dan stres akibat bekerja pada 

penderita kusta menyebabkan gangguan umum yang dapat 

memicu meningkatnya respon imun seluler dan dapat terjadi 

reaksi kusta 

Jenis kelamin laki-laki lebih banyak beraktivitas di

lingkungan yang berpopulasi dan berkontaminasi dengan 

berbagai penyakit terutama penderita kusta maupun dengan 

mantan penderita kusta. Laki-laki juga mempunyai aktivitas 

di luar rumah yang lebih sering dibandingkan dengan 

perempuan, sehingga laki-laki lebih rentan untuk tertular 

penyakit kusta. Berbeda dengan perempuan yang biasanya 

menutup tubuhnya dengan rapat sehingga mempunyai 

kemungkinan lebih kecil untuk terjadinya kontak kulit 

dengan penderita kusta. 

Perilaku laki-laki dalam perawatan kesehatan cenderung 

lebih buruk dibandingkan dengan perempuan. Kesadaran 

akan memeriksakan kondisi sakitnya sejak dini yang rendah 

sehingga pada saat kondisi yang lebih lanjut (muncul 

kecacatan baru melakukan pemeriksaan). Jenis pekerjaan 

laki-laki yang menggunakan aktivitas fisik juga mendorong 

adanya perlukaan dan inflamasi pada daerah persendian 

yang akhirnya mendorong kecacatan pada anggota gerak 



Umur 

Manyullei (2012) menyebutkan umur seseorang sangat 

mempengaruhi risiko terjadinya kusta. Umur di atas 15 

tahun saat didiagnosa kusta berisiko terjadinya reaksi kusta.

Berbeda dengan umur kurang dari 15 tahun, cenderung 

lebih sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan 

karena dalam sistem imun anak, TH2 diduga kuat mampu 

mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta 

lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa 

ketersediaan sel T memori lebih banyak dan menyebabkan 

frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi. 

Reaksi kusta yaitu saat terjadi proses inflamasi akut 

yang menyebabkan kerusakan saraf. Besarnya resiko 

terjadinya kecacatan pada penderita kusta dengan reaksi 

kusta 9 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak 

pernah mengalami reaksi. Hal ini disebabkan karena pada 

reaksi reversal terjadi peningkatan respon imun seluler yang 

hebat secara tiba-tiba. Mengakibatkan kerusakan dan 

kecacatan yang timbulnya dalam hitungan hari jika tidak 

ditangani denga adekuat. Hal ini menjadi salah satu faktor 

terjadinya kecacatan tingkat 2 lebih sering terjadi pada umur 

dewasa awal (18-40) 

Rambey (2012) menyebutkan kecacatan penderita kusta 

lebih sering terjadi pada penderita dewasa atau tua 

dibandingkan penderita anak-anak atau dewasa muda. Kecacatan pada usia tua cenderung ireversibel. Kondisi fisik 

dan penurunan fungsi organ tubuh pada orang tua menjadi 

faktor risiko terjadinya cacat yang progresif dan irreversibel


Pada dasarnya kusta dapat menyerang pada semua umur 

(WHO, 2005). Untuk beberapa penyakit, umur memegang 

peranan penting dalam kaitannya dengan kejadian dan 

penyebaran suatu penyakit. Karena umur dapat 

mempengaruhi tingkat imunitas atau kekebalan seseorang. 

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Hal ini 

disebabkan oleh masa inkubasi penyakit kusta yang lama dan 

lambat 

 umur pada penderita kusta 

berkembang dengan karakteristik yang beragam mulai dari 

anak-anak sampai dengan lanjut usia. Faktor usia yang 

sangat berisiko untuk tertular pada populasi kusta yaitu  

kelompok usia anak-anak dan dewasa. 

Di India Selatan kebanyakan penderita kusta berumur 

10-14 tahun. Namun, menurun pada kelompok umur 

berikutnya dan akan meningkat kembali pada umur 20-60 

tahun. Umur merupakan faktor protektif kejadian pada 

penyakit kusta. Artinya, responden yang berumur 0-14 

tahun dapat tercegah dari penyakit kusta. Hal ini dapat 

disebabkan oleh masa inkubasi penyakit kusta yang lama dan 

lambat

Pendidikan 

Pendidikan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi 

dan mendewasakan perilaku seseorang. Oleh karena itu, 

dengan pendidikan seseorang dapat memilih dan membuat 

keputusan lebih cepat. Jika pendidikan seseorang semakin 

tinggi dan menjadi penderita kusta, dapat memilih apa yang 

terbaik untuk dirinya, seperti dengan menyempatkan 

melakukan perawatan diri setiap hari (Notoatmodjo, 2012).

Tingkat pendidikan dianggap sebagai bentuk pengalaman 

yang menghasilkan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu 

pengetahuan maupun kehidupan sosial. 

Status pendidikan seseorang yang menderita kusta 

berkaitan dengan tindakan mereka untuk mencari

pengobatan untuk dirinya. Penderita dengan tingkat 

pendidikan yang rendah cenderung lambat dalam pencarian 

pengobatan dan diagnosis penyakit. Hal ini dapat 

mengakibatkan kecacatan pada pada penderita kusta 

semakin parah 

Menurut susanto pendidikan yang rendah merupakan 

salah satu faktor kurangnya tindakan pencarian pengobatan 

bagi penderita kusta. Sehingga, pengobatan dilakukan jika 

penyakit yang diderita sudah parah. Pendidikan yang rendah 

mengakibatkan kurangnya pengetahuan terhadap penyakit 

kusta. Keluarga penderita kusta yang pendidikan rendah

tidak memahami akibat buruk yang ditimbulkan dari 

penyakit kusta 

Status pendidikan mempengaruhi kesempatan 

memperoleh informasi mengenai penatalaksanaan penyakit. 

Kondisi ini mempengaruhi pola respon 

Perbedaan tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat 

pengetahuan seseorang dan kemampuan dalam menerima 

informasi baru 

4. Pengetahuan 

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi 

setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek 

tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia 

yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan 

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui 

mata dan telinga  tedapat 6

tingkat pengetahuan, yaitu sebagai berikut.

a. Tahu (Know) 

Tahu yaitu  mengingat kembali memori yang telah ada 

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. 

b. Memahami (Comprehension) 

Memahami yaitu  suatu kemampuan untuk menjelaskan 

tentang suatu objek yang diketahui dan 

diinterpretasikan secara benar.c. Aplikasi (Aplication) 

Aplikasi yaitu  suatu kemampuan untuk 

mempraktikkan materi yang sudah dipelajari pada 

kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis) 

Analisis yaitu  kemampuan menjabarkan atau 

menjelaskan suatu objek atau materi tetapi masih di 

dalam struktur organisasi ini   dan masih ada 

kaitannya satu dengan yang lainnya. 

e. Sintesis (Synthesis) 

Sintesis yaitu  suatu kemampuan menghubungkan 

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang 

baru. 

f. Evaluasi (Evaluation) 

Evaluasi yaitu  pengetahuan untuk melakukan 

penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Menurut pengamatan  salah satu 

faktor penyebab kurangnya pengetahuan keluarga yaitu  

masih banyak responden yang berpendidikan rendah dan 

penerimaan hasil penyuluhan dari petugas puskesmas yang 

kurang baik oleh masyarakat dan masih menganggap kusta 

merupakan penyakit yang memalukan. Oleh sebab itu masih 

perlu disampaikan informasi lebih dalam dan merata kepada 

semua masyarakat mengenai penyakit kusta dan komplikasinya yang berupa kecacatan apabila tidak diobati 

segera. 

Pemahaman atau pengetahuan yang kurang dari 

anggota keluarga terhadap penderita kusta karena ketakutan 

akan kemungkinan penularan penyakit ini   akan 

mempengaruhi partisipasi anggota keluarga dalam hal 

perawatan kesehatan anggota keluarga yang menderita 

kusta sehingga keluarga yang menderita kusta memberikan 

dukungan kepada penderita. Apabila pengetahuan individu 

terhadap suatu penyakit tidak atau belum diketahui, maka 

sikap dan tindakan dalam upaya pencegahan penyakit pun 

terkadang terabaikan. 

Faktor yang bisa menambahkan pengetahuan terhadap 

penderita kusta yaitu melalui informasi. Sarana untuk 

mengakses informasi dengan adanya pemberi informasi 

seperti tenaga kesehatan. Jika hanya ada tempat mengakses 

informasi tetapi tidak ada yang menyampaikan informasi 

maka transfer informasi tidak akan berjalan baik