berdasar analisis situasi program pencegahan dan penanggulan penyakit
kusta di Jawa Timur, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur sudah mencapai
status eliminasi kusta. Namun, pada tahun 2023 masih ada 6 kabupaten/kota
yang memiliki angka prevalensi kusta >1/100.000 warga , keenam
kabupaten/kota ini yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, dan
Kabupaten Tuban. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2022,
dimana pada tahun ini hanya ada 5 kabupaten/kota yang belum
eliminasi kusta yaitu Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten
Pamekasan, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Tuban. Adapun tren
penemuan kasus baru kusta di Provinsi Jawa Timur dalam kurun tahun 2019
hingga 2023 cenderung bersifat fluktuatif.
Analisis pola penyakit kusta berdasar orang menunjukkan bahwa
penderita kusta terbanyak berada pada usia dewasa (>14 tahun), memiliki kusta
tipe MB, dan tingkat kecacatan 0. Sedangkan untuk pola penyakit kusta
berdasar tempat, masih ada beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur
yang belum mencapai status eliminasi kusta. Dari kelima indikator yang
digunakan untuk mengevaluasi capaian program pencegahan dan
penanggulangan kusta di Jawa Timur pada tahun 2023, ada 3 indikator yang
belum mencapai target. Ketiga indikator ini yaitu proporsi penderita kusta
baru dengan cacat tingkat 2, proporsi penderita kusta baru pada anak, dan
jumlah penderita kusta baru pada anak dengan cacat tingkat 2.
ada 7 masalah yang diidentifikasi dalam program pencegahan dan
penanggulangan kusta di Jawa Timur pada tahun 2023 yaitu ada 5
kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi kusta, angka penemuan kasus baru kusta (new case detection rate) masih tinggi, proporsi kasus kusta
pada anak (usia 0-14 tahun) masih tinggi, cakupan pemeriksaan kontak erat
belum optimal, belum semua kabupaten/kota melakukan POPM (Pemberian
Obat Pencegahan secara Massal), distribusi logistik (obat) terlambat, dan
ketepatan dan validitas pengisian laporan yang masih kurang. Dari analisis yang
telah dilakukan ditetapkan prioritas masalah utama yaitu ada 5
kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi kusta.
Magang yaitu kegiatan mandiri mahasiswa yang dilaksanakan di luar
lingkungan kampus khususnya di lembaga institusi untuk mendapatkan
pengalaman kerja praktis yang sesuai dengan bidang peminatannya melalui metode
observasi dan partisipasi. Kegiatan magang dilaksanakan sesuai dengan formasi
struktural dan fungsional pada instansi tempat magang baik pada lembaga
pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya warga / lembaga non
pemerintah (FKM UNAIR, 2019). Pada tahun 2023, Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Timur dipilih sebagai salah satu tempat magang bagi mahasiswa peminatan
epidemiologi sebab sebagai instansi pemegang otoritas kesehatan di Tingkat
Provinsi Jawa Timur, instansi ini memiliki bearagam variasi data mengenai
gambaran masalah kesehatan warga dan capaian program kesehatan di
Provinsi Jawa Timur. Data ini digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan
kesehatan di Provinsi Jawa Tkmur dalam hal promotif, preventif, dan kuratif. Salah
satu data yang tersedia di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu data
mengenai penyakit kusta.
Penyakit kusta (Morbus Hansen) yaitu penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan cenderung menyerang saraf tepi dan
kulit Bakteri pemicu kusta menyerang susunan saraf tepi,
kulit, mukosa, saluran nafas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis
( Kusta dapat menyebabkan kecacatan permanen sebab sumber
penularannya yang aktif dan penundaan pengobatan akibat keterlambatan deteksi
dini pasien . Keterlambatan penemuan dini kusta disebabkan oleh
gejala awal penyakit ini yang ditandai dengan adanya bercak putih pada kulit,
sehingga sering diabaikan oleh penderita atau warga sebab dianggap seperti
penyakit kulit biasa.Kusta termasuk ke dalam salah satu Neglected Tropical Diseases (NTDs) yang
masih terjadi di lebih dari 120 negara, dilaporkan dengan 200.000 kasus baru setiap
tahunnya (WHO, 2023). Dalam usaha untuk memberantas kusta, World Health
Organization telah mencanangkan program Global Leprosy Strategy pada tahun
2021–2030 dengan slogan “Towards zero leprosy”. Secara global, pada tahun 2020
dilaporkan sebanyak 127.396 kasus kusta baru, dengan tingkat deteksi kasus
sebesar 16,4 per satu juta warga . Beberapa negara
diketahui masih memiliki jumlah kasus kusta yang tinggi, yaitu Brasil, India, dan
Indonesia yang masing-masing melaporkan lebih dari 10.000 kasus baru kusta
Kusta pada umumnya terjadi di negara-negara tropis, salah satunya yaitu
Indonesia. Tercatat sebanyak 10.976 kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2021
(Sejak tahun 2000, Indonesia dinyatakan telah
mencapai status eliminasi kusta dengan angka prevalensi kusta tingkat nasional
sebesar 0,9 per 10.000 warga . Meskipun secara nasional Indonesia telah
mencapai status eliminasi kusta, tetapi masih ada enam provinsi di Indonesia
yang belum mencapai status eliminasi kusta, keenam provinsi ini yaitu
Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua (Profil
Kesehatan RI, 2021)
Diantara 28 provinsi di Indonesia yang telah mencapai status eliminasi kusta
pada tahun 2021, Jawa Timur masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan angka
penemuan kasus baru kusta tertinggi per 100.000 warga dengan nilai New Case
Detection Rate (NCDR) sebesar 4,22 . Prevalensi kusta
di Jawa Timur pada tahun 2022 sebesar 0,5 per 10.000 warga dengan angka
penemuan kasus baru atau new case detection rate sebesar 5,3 per 100.000
warga Sedangkan per bulan September
tahun 2023, nilai NCDR kusta Provinsi Jawa Timur turun menjadi 3,81 per 100.000
warga dengan angka prevalensi yang naik menjadi sebesar 0,68 per 10.000
warga .
Mengingat hingga tahun 2022, masih ada 5 kabupaten/kota di Jawa Timur
yang belum mencapai status eliminasi kusta dan masih tingginya jumlah kasus baru
kusta di Provinsi Jawa Timur maka diperlukan usaha lebih intens dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit ini. berdasar latar belakang ini ,
maka dalam kegiatan magang ini, penulis ingin mengenai mengenai tren, pola, serta
program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Provinsi Jawa Timur.
Definisi Penyakit Menular
Definisi penyakit Menular menurut Permenkes RI No. 82 Tahun
2014 yaitu penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan
oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit. Sampai
saat ini penyakit menular masih menjadi masalah besar kesehatan
warga yang dapat menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan
yang tinggi sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan
melalui usaha pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang
efektif dan efisien.
2.1.2 Rantai Infeksi
Riwayat alamiah penyakit merupakan proses perkembangan suatu
penyakit tanpa adanya intervensi yang dilakukan oleh manusia dengan
sengaja dan terencana Manfaat riwayat alamiah
penyakit yaitu untuk kepentingan diagnostik yang merupakan masa
inkubasi penyakit dan masa penentuan jenis penyakit, untuk Pencegahan,
mengetahui perjalanan penyakit mulai dari awal hingga terjangkitnya
sehingga bisa mendapatkan solusi yang tepat untuk menghentikan
penyebarannya dan untuk ekpentingan terapi, dengan mengetahui setiap
fase dengan baik maka terapi yang diberikan akan berjalan dengan baik
pula . Rantai infeksi terjadi sebagai akibat dari interaksi
agent, proses transmisi dan host. Efeknya bervariasi dari infeksi yang
tidak tampak sampai penyakit parah serta kematian.
Klasifikasi Penyakit Menular
Menurut Permenkes RI No. 82 tahun 2014 berdasar cara
penularannya, penyakit menular terbagi menjadi:
1. Penyakit menular langsung, seperti: difteri, pertusis, polio, hepatitis,
penyakit akibat Human Papiloma Virus (HPV), Infeksi HIV, kusta,
frambusia, dan lain-lain.
2. Penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit, seperti:
malaria, demam berdarah, filariasis, rabies, leptospirosis, flu burung,
antraks, dan lain-lain.
Program yang ada di Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu
tuberkulosis (TBC), human immunodeficiency virus (HIV), kusta dan
frambusia, diare, pneumonia, hepatitis, demam berdarah dengue (DBD),
malaria, filariasis, leptospirosis, serta antraks.
2.2 Program Penanggulangan Penyakit Menular
2.2.1 Definisi Program Penanggulangan Penyakit Menular
berdasar Permenkes RI No. 82 tahun 2014, penanggulangan
penyakit menular yaitu usaha kesehatan yang mengutamakan aspek
promotif dan preventif yang ditujukan untuk menurunkan dan
menghilangkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian, membatasi
penularan, serta penyebaran penyakit agar tidak meluas antardaerah
maupun antarnegara serta berpotensi menimbulkan kejadian luar
biasa/wabah. Beberapa penyakit tropis terabaikan masih menjadi
masalah di Indonesia, yaitu filariasis, kusta, frambusia dan
schistosomiasis. Penyakit-penyakit ini menjadi target yang harus
diselesaikan.
2.2.2 Target Program Penanggulangan Penyakit Menular
berdasar prevalensi/kejadian kesakitan dan karakteristik
penyakit menular, target program penanggulangan penyakit menular
meliputi:
1. Reduksi
Reduksi merupakan usaha pengurangan angka kesakitan
dan/atau kematian terhadap Penyakit Menular tertentu agar
secara bertahap penyakit ini menurun sesuai dengan
sasaran atau target operasionalnya.
2. Eliminasi
Eliminasi merupakan usaha pengurangan terhadap penyakit
secara berkesinambungan di wilayah tertentu sehingga angka
kesakitan penyakit ini dapat ditekan serendah mungkin
agar tidak menjadi masalah kesehatan di wilayah yang
bersangkutan.
3. Eradikasi
Eradikasi merupakan usaha pembasmian yang dilakukan
secara berkelanjutan melalui pemberantasan dan eliminasi
untuk menghilangkan jenis penyakit tertentu secara permanen
sehingga tidak menjadi masalah kesehatan warga secara
nasional.
Definisi Kusta
Penyakit kusta yaitu sebuah penyakit infeksi kronis yang di
sebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dengan menyerang kulit
dan saraf tepi. Nama lain dari penyakit ini yaitu Morbus Hansen atau
Hansen Disease. Penyakit kusta dapat menyerang berbagai macam usia
dan bukan penyakit keturunan. Diagnosis kusta ditegakkan berdasar
pemeriksaan kulit dan neurologis pasien
Diagnosis dini penyakit kusta sangat penting dilakukan untuk mencegah
penularan dan kecacatan.
Kusta atau lepra disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
leprae. Bakteri ini dapat menular dari satu orang ke orang lainnya melalui
percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yaitu ludah atau dahak,
yang keluar saat batuk atau bersin.
Seseorang dapat tertular kusta jika terkena percikan droplet dari
penderitanya secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Dengan kata
lain, bakteri pemicu lepra tidak dapat menular kepada orang lain
dengan mudah. Selain itu, bakteri ini juga membutuhkan waktu lama
untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita.
2.3.2 Etiologi Kusta
pemicu dari penyakit kusta yaitu kuman Mycobacterium leprae
yang ditemukan oleh Armauer Hansen pada tahun 1874. Bakteri
Mycobacterium leprae bersifat tahan asam (BTA) dan aerob, yang tidak
terbentuk spora serta berbentuk basil. Ukuran bakteri ini sepanjang
1-8 micro dan lebarnya 0,2 sampai 0,5 micro, hidup berkelompok dan
menyebar.
Bakteri pemicu kusta masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka
pada permukaan kulit atau melalui droplet yang dihembuskan dari
saluran pernafasan. Penularan kusta dapat disebabkan oleh percikan basil
bakteri melalui hidung dan mulut yang umumnya terjadi saat terjadi
kontak langsung antara host yang rentan dengan pasien kusta dalam
jangka waktu yang lama. Penularan kusta melalui kontak langsung
dengan penderita memiliki risiko 5-10 kali lebih tinggi jika salah satu
anggota keluarga pernah menderita kusta sebelumnya
2.3.3 Tanda dan Gejala Kusta
Dalam beberapa kasus, gejala kusta baru akan muncul setelah bakteri
berkembang biak dalam tubuh pengidapnya selama bertahun-tahun.
Adapun gejala dini kusta yaitu :
1. Adanya bercak putih atau merah yang hipoestesia
2. Adanya penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi
3. Nilai BTA positif
Adapun gejala dari fase lanjut kusta yaitu sebagai berikut:
1. Muncul bercak putih seperti panu, biasanya bagian ini
mati rasa.
2. Ada tonjolan di kulit, kulit menebal, kaku dan kering.
3. Muncul bisul yang tidak sakit di telapak kaki.
4. Ada benjolan atau pembengkakan yang tidak sakit di wajah
atau daun telinga.
5. Bulu mata dan alis rontok cukup banyak.
6. Tangan dan kaki yang terdampak lemas atau mengalami
kelumpuhan otot.
7. Saraf di sekitar siku, lutut, samping leher, atau dada
membengkak.
8. Gangguan penglihatan jika penyakit menyerang saraf wajah.
9. Hidung tersumbat
10. Gampang mimisan
2.3.4 Klasifikasi Kusta
World Health Organization membagi kusta menjadi 2 tipe yaitu
multi basiler (MB) dan pausi basiler (PB) yang dibedakan berdasar
lesi kulit dan kerusakan saraf.
Tingkat Kecacatan Kusta
Kecacatan kusta yaitu keadaan dimana terjadi keabnormalan dari
segi fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya beberapa struktur/bagian serta
fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta. Terjadinya cacat pada
kusta tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Kecacatan
akibat penyakit kusta diduga dapat terjadi melalui 2 proses yaitu
1. Infiltrasi langsung M. Leprae ke susunan saraf tepi dan organ
(misalnya: mata)
2. Melalui reaksi kusta
Tingkat cacat digunakan untuk menilai kualitas penanganan
pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Fungsi lain
dari tingkat cacat yaitu untuk menilai kualitas penemuan kasus kusta
dengan melihat proporsi cacat tingkat 2 diantara penderita baru
2.3.6 Pengobatan Kusta
Kusta yaitu penyakit yang dapat disembuhkan. Regimen
pengobatan yang saat ini direkomendasikan terdiri dari tiga obat yaitu
dapsone, rifampisin dan klofazimin. Kombinasi pengobatan ini disebut
sebagai multi drug therapy (MDT). Durasi pengobatan kusta yaitu
enam bulan untuk kasus kusta pausi basiler (PB ) dan 12 bulan untuk
kusta multi basiler (MB). Multi drug therapy bekerja dengan membunuh
patogen pemicu kusta sehingga dapat menyembuhkan pasien. Saat ini
Kementerian Kesehatan telah menyediakan MDT secara gratis yang telah
tersedia di puskesmas. Metode pengobatan MDT – WHO yaitu sebagai
berikut:
Penentuan Prioritas Masalah dengan USG
Permasalahan terjadi akibat adanya keseniangan (gap) antara harapan dan
kenyataan sebenarnya. Salah satu metode skoring yang digunakan untuk menyusun
urutan prioritas masalah yang harus diselesaikan yaitu analisis Urgency,
Seriousness, Growth (USG). Metode USG digunakan apabila pihak perencana telah
siap mengatasi masalah yang ada. sehingga yang menjadi prioritas yaitu aspek
yang ada di warga dan aspek masalah itu sendiri. Metode ini terdiri dari
tiga komponen yaitu:
1. Urgency
Aspek urgency dilihat dari tersedianya waktu, mendesak atau tidaknya
masalah ini untuk diselesaikan
2. Seriousness
Seberapa serius isu perlu dibahas dan dihubungkan dengan akibat yang
timbul dengan penundaan pemecahan masalah yang menimbulkan isu
ini atau akibat yang menimbulkan masalah lain apabila masalah
pemicu isu tidak dipecahkan. Aspek seriousness melihat dampak dari
masalah terhadap produktivitas keria, pengaruhnya terhadap keberhasilan,
apakah permasalahan ini membahayakan sistem atau tidak dan
sebagainya.
3. Growth
Aspek growth melihat apakah masalah ini dapat berkembang
sedemikian rupa sehingga sulit dicegah.
Pelaksanaan USG dilakukan dengan memetakan permasalahan ke dalam
simbol-simbol yang mewakili tiap permasalahan. Kemudian dilakukan
penentuan tingkat urgensi. keseriusan, dan perkembangan isu dengan
menentukan skala nilai 1-5. Isu yang memiliki total skor tertinggi
merupakan isu prioritas.
Adapun langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan USG dalam
menentukan prioritas masalah yaitu sebagai berikut:
1. Menuliskan daftar masalah yang didapat
2. Menentukan skor atau nilai yang diberikan pada tiap masalah
Skor akhir akan dirangking berdasar skor akhir tertinggi, dan yang
mendapat skor tertinggi menjadi masalah utama yang diprioritaskan. Urutan
ranking atau prioritas yaitu nilai tertinggi sampai nilai terendah.
Analisis pemicu masalah akan dibuat menggunakan diagram pohon
masalah. Tree Diagram (Diagram Pohon) atau yang biasa disebut pohon
masalah merupakan sebuah pendekatan atau metode yang digunakan untuk
identifikasi pemicu suatu masalah. Diagram pohon dilakukan dengan
membentuk pola pikir yang lebih terstruktur mengenai komponen sebab akibat
yang berkaitan dengan masalah yang telah diprioritaskan. Metode ini dapat
diterapkan apabila sudah dilakukan identifikasi dan penentuan prioritas
masalah. Diagram berbentuk pohon masalah ini seperti menciptakan
hirarki logis dari sebab dan akibat serta memvisualisasikan hubungan antara
sebab akibat permasalahan ini .
Pohon masalah memiliki tiga bagian, yakni batang, akar, dan cabang.
Batang pohon menggambarkan masalah utama, akar merupakan pemicu
masalah inti, sedangkan cabang pohon mewakili dampak. Komponen sebab
akibat dalam pohon masalah akan mempengaruhi desain intervensi yang
mungkin dilakukan.
Kegiatan magang dilaksanakan di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
yang beralamat di Jl. Ahmad Yani No.118, Kota Surabaya. Kegiatan magang
dilakukan di Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur.
3.2 Waktu Pelaksanaan
Kegiatan magang dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu mulai tanggal 02
Oktober 2023 hingga 31 Desember 2023. Kegiatan ini dilaksanakan mulai hari
Senin sampai Jumat mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Adapun
jadwal magang di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu sebagai
berikut:
Metode yang digunakan dalam kegiatan magang di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur, meliputi:
1. Pengamatan (Observasi)
Peserta magang melakukan pengamatan tentang pelaksanaan suatu
program kegiatan yang dilakukan di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit (P2P).
2. Partisipasi Aktif
Peserta magang diikutsertakan dan terlibat langsung dalam suatu
kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur.
3. Wawancara
Wawancara dan diskusi dilakukan terhadap para pemegang program
yang ada di seksi pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
(P2PM) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur untuk memperoleh
penjelasan mengenai penyakit kusta di Jawa Timur.
4. Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan untuk mempelajari permasalahan penyakit
kusta melalui dokumen hasil pencatatan dan pelaporan program
pengendalian penyakit kusta.
5. Studei Literatur
Studi literatur digunakan untuk menambah referensi dengan melakuan
penelusuran materi melalui buku dan internet.
Jenis data yang dikumpulkan selama kegiatan magang di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur terkait dengan Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Kusta, meliputi:
1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara dengan
pengelola program P2PM kusta Dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur
untuk mengetahui gambaran kegiatan yang telah dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan permasalahan yang dialami dalam
pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit kusta.
2. Data Sekunder berupa profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan
data tahunan dari program P2PM Kusta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
a) Visi dan Misi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
1. Visi
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu dari
penyelenggara pembangunan kesehatan mempunyai visi: ”warga
Jawa Timur Mandiri untuk Hidup Sehat”. warga yang mandiri
untuk hidup sehat yaitu suatu kondisi dimana warga Jawa Timur
menyadari, mau, dan mampu untuk mengenali, mencegah dan mengatasi
permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari
gangguan kesehatan, baik yang disebabkan sebab penyakit termasuk
gangguan kesehatan akibat bencana,maupun lingkungan dan perilaku
yang tidak mendukung untuk hidup sehat.
2. Misi
berdasar Visi Dinas Kesehatan Provinsi, maka misi pembangunan
kesehatan di Jawa Timur yaitu :
a. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan.
b. Mendorong terwujudnya kemandirian warga untuk hidup
sehat.
c. Mewujudkan, memelihara dan meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau.
d. Meningkatkan usaha pengendalian penyakit dan
penanggulangan masalah kesehatan.
e. Meningkatkan dan mendayagunakan sumberdaya kesehatan.
B) Tujuan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dalam mewujudkan misinya
menetapkan tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mewujudkan misi “Menggerakkan pembangunan
berwawasan kesehatan”, maka ditetapkan tujuan: Mewujudkan
mutu lingkungan yang lebih sehat, pengembangan sistem
kesehatan lingkungan yang lebih sehat, pengembangan system
kesehatan lingkungan kewilayahan, serta menggerakkan
pembangunan berwawasan kesehatan.
b. Untuk mewujudkan misi “Mendorong terwujudnya kemandirian
warga untuk hidup sehat”, maka ditetapkan tujuan:
Memberdayakan individu, keluarga, dan warga agar mampu
menumbuhkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta
mengembangkan usaha Kesehatan Berbasis warga
(UKBM).
c. Untuk mewujudkan misi “Mewujudkan, memelihara, dan
meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan
terjangkau”, maka ditetapkan tujuan:
• Meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayan
kesehatan melalui Rumah Sakit, Balai Kesehatan,
Puskesmas, dan Jaringannya.
• Meningkatkan kesadaran gizi keluarga dan usaha
meningkatkan status gizi warga .
• Menjamin ketersediaan, pemerataan, pemanfaatan, mutu,
keterjangkauan obat, dan perbekalan kesehatan serta
pembinaan mutu makanan.
• Mengembangkan kebijakan, sistem pembiayaan, dan
manajemen pembangunan kesehatan.
d. Untuk mewujudkan misi “Meningkatkan usaha pengendalian
penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan”, maka
ditetapkan tujuan: Mencegah menurunkan dan mengendalikan
penyakit menular dan tidak menular serta masalah kesehatan
lainnya.
e. Untuk mewujudkan misi “Meningkatkan dan mendayagunakan
sumber daya kesehatan”, maka ditetapkan tujuan: Meningkatkan jumlah, jenis, mutu, dan penyebaran tenaga kesehatan sesuai
standar
Mata Kuliah Skrining
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini
sebagian besar menyerang paru-paru dan menular melalui droplet.
Indonesia berada pada peringkat kedua dengan jumlah penderita TB
terbanyak di dunia. Secara global diperkirakan 10,6 juta (range 9,8-11,3
juta) orang sakit TBC. Jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia pada tahun
2021 yaitu sebesar 969.000 atau 354 kasus per 100.000 warga
dengan kematian akibat TBC diperkirakan sebesar 144.000 atau 52
kematian per 100.000 warga . Angka ini naik 17% dari tahun 2020,
yaitu sebanyak 824.000 kasus (Kemenkes RI, 2022). Menurut data Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur tahun 2022, jumlah kasus TB di
provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 79.423 kasus, dengan rincian jumlah
kasus tertinggi pada wilayah kota Surabaya yang mencapai 10.628
kasus, disusul oleh Jember yang mencapai 5.271 kasus, Sidoarjo
sebanyak 5.174 kasus, Pasuruan sebanyak 3.447 kasus, Gresik sebanyak
5.179, dan Banyuwangi sebanyak 3.012 kasus. Angka penemuan TBC di
Kota Surabaya mencapai 90% pada tahun 2022 (BPS Jawa Timur, 2022).
berdasar data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya, jumlah kasus TB
di Puskesmas Wonokromo sebesar 121 kasus pada tahun 2023.
Tujuan uji skrining yaitu deteksi dini penyakit tanpa gejala atau
dengan gejala tidak khas terhadap orang-orang yang tampak sehat, tetapi
menderita penyakit yaitu orang yang mempunyai risiko tinggi untuk
terkena penyakit (population at risk). Sasaran skrining dalam project ini
yaitu warga berusia ≥15 tahun yang belum terdiagnosis TB paru
dengan TCM positif di wilayah kerja Puskesmas Wonokromo,
Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya. Untuk memudahkan
pengambilan sputum dahak maka subjek skrining dipilih yang
mengalami batuk atau batuk berdahak, termasuk kontak serumah dengan
penderita TB.
berdasar hasil analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwa prevalensi suspek TB Paru di Puskesmas Wonokromo sebesar
34,74%. Penegakan diagnosis TB Paru di Puskesmas Wonokromo telah
menggunakan tes cepat molekuler (TCM) sehingga dapat meningkatkan
validitas serta mempercepat hasil pemeriksaan diagnosis. Dengan hal
ini diharapkan orang dengan hasil diagnosis TB Paru positif
mendapatkan pengobatan dengan segera. Dalam laporan ini, peneliti
tidak dapat menguji validitas alat skrining yang digunakan dengan
menghitung sensitivitas dan spesifisitas. Hal ini terjadi sebab pada
pelaksanaan skrining TB Paru, hanya orang dengan hasil skrining
“Terduga TB” yang akan diteruskan mendapatkan layanan tes diagnostik
menggunakan gold standar yang telah ditetapkan (TCM).
Imunisasi atau kekebalan tubuh merupakan salah satu tujuan utama
dalam pemberian vaksinasi, yang pada dasarnya kekebalan tubuh dapat
dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara
alami maupun buatan, maka dari itu diperlukannya pelaksanaan
imunisasi sebagai usaha bentuk pencegahan terhadap penyakit yang
berpengaruh terhadap status gizi pada anak (Azizah et al., 2015).
Program imunisasi termasuk dalam usaha untuk menurunkan angka
kesakitan, kecacatan, dan kematian pada bayi dan balita.
Imunisasi dasar lengkap pada bayi meliputi HB0 (hepatitis B), BCG
(bacillus Calmette-Guerin), IPV (inactive polio vaccin), DPT/HB/Hib
(Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, Haemophilus influenzae type B)
dan Campak (measles Rubella). Seorang bayi dikatakan telah
memperoleh imunisasi dasar lengkap ketika bayi ini mendapatkan
imunisasi Hepatitis B, satu dosis imunisasi BCG, tiga dosis imunisasi
DPT-HB/DPT-HB-Hib, empat dosis imunisasi polio, dan satu dosis
imunisasi campak (Kemenkes, 2021-Profil). Data cakupan imunisasi
dasar pada bayi di Kota Surabaya tahun 2022 sebesar 99,5% dengan
rincian imunisasi HB-0 sebesar 100,8%, BCG sebesar 99,9%, DPT-HB-
3 sebesar 98,1%, Polio-4 sebesar 98,5%, dan imunisasi campak rubella
sebesar 99,2%.
Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) yaitu tercapainya
imunisasi dasar secara lengkap pada bayi (0-11 bulan). Desa UCI
merupakan gambaran desa atau kelurahan dengan ≥ 80% jumlah bayi
yang ada di desa ini telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap
dalam waktu satu tahun. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan
suatu wilayah tertentu,berarti dalam wilayah ini tergambarkan
besarnya tingkat kekebalan warga atau bayi (herd immunity)
terhadap penularan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I). berdasar data Profil Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2020,
cakupan Universal Child Immunization di Kota Surabaya, yaitu sebesar
98,7% dimana masih ada 2 wilayah kerja puskesmas yang belum
mencapai status UCI. Kedua puskesmas ini yaitu Puskesmas
Gading dan Tembok Dukuh.
Metode penelitian yang digunakan yaitu melalui wawancara secara
langsung dengan pemegang program imunisasi Puskesmas Gading dan
observasi serta data sekunder yang didapatkan dari pencatatan dan
pelaporan Puskesmas Gading, Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai pendukung dalam analisis
penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan instrumen pemantauan
dan evaluasi program yang bersumber dari modifikasi instrumen
supervisi suportif Kementerian Kesehatan tahun 2021. berdasar hasil
penilaian menggunakan instrumen supervisi suportif dapat diketahui
bahwa kategori untuk program imunisasi dasar lengkap di Puskesmas
Gading yaitu cukup dengan skor sebesar 79,82%.
Dari hasil pemantauan dan evaluasi program imunisasi dasar
lengkap di Puskesmas Gading Kota Surabaya, sebagai berikut:
1. Pemantauan berdasar Input
Hasil supervisi suportif program imunisasi dasar lengkap di
Puskesmas Gading Kota Surabaya pada bagian input ada
beberapa bagian yang memerlukan perbaikan. Terkait dengan
sarana dan prasarana pelayanan imunisasi dalam ruangan, kondisi
ruangan yang jadi satu lokasi dengan poli KIA memiliki ventilasi
yang terbatas, serta tata letak meja imunisasi yang kurang
memadai. Tetapi, telah tersedia tempat mencuci tangan dengan air
mengalir dan sabun serta hand sanitizer. Terkait dengan sumber
daya manusia, diperlukan penambahan jumlah personel imunisasi
untuk meningkatkan pelayanan imunisasi kepada warga dan
mengurangi beban kerja masing-masing personel.
2. Pemantauan berdasar Proses
Hasil supervisi suportif program imunisasi dasar lengkap di
Puskesmas Gading pada bagian proses hampir seluruh komponen
telah memenuhi standar yaitu cold chain, vaksin dan logistik,
pelayanan vaksinasi, manajemen, dan pencatatan dan pelaporan.
Komponen yang belum memenuhi standar yaitu adanya SOP yang
terpasang di ruangan, seperti SOP pemberian imunisasi,
kegawatdaruratan, dan penangan limbah medis. Selain itu, belum
tercapainya UCI di wilayah kerja Puskesmas Gading disebabkan
oleh masih rendahnya kesadaran dan pengetahuan warga
mengenai imunisasi.
4.2.3 Mata Kuliah Manajemen Data Epidemiologi
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan beban kesehatan utama
di negara-negara berkembang dan negara industri. berdasar laporan
WHO, di kawasan Asia Tenggara paling sering ditemui lima PTM
dengan tingkat kesakitan dan kematian yang sangat tinggi, beberapa di
antaranya yaitu penyakit jantung (kardiovaskuler), DM, kanker,
penyakit pernafasan obstruksi kronik dan penyakit sebab kecelakaan.
Kebanyakan PTM dikategorikan sebagai penyakit degeneratif dan
cenderung diderita oleh orang yang berusia lanjut. Pada tahun 2021,
World Health Organization (WHO) menyebutkan penyakit tidak menular
menyebabkan 41 juta kematian setiap tahunnya, setara dengan 71% dari
seluruh kematian di seluruh dunia. WHO (2021) menyebutkan bahwa
setiap tahunnya lebih dari 15 juta orang meninggal akibat penyakit tidak
menular pada rentang usia antara 30 - 69 tahun.
Skrining kesehatan secara rutin merupakan usaha promotif preventif
yang bertujuan untuk mendorong warga mengenali faktor risiko
PTM terkait perilaku serta melakukan usaha pengendalian segera di
tingkat individu, keluarga dan warga . Kegiatan deteksi dini
dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda faktor risiko sebelum timbul
gejala, sehingga pengobatan dapat dilakukan lebih awal dan angka
kesakitan serta kematian semakin berkurang. Kegiatan skrining PTM
dilakukan pada hari Jumat, 3 November 2023 bertepatan dengan kegiatan
Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang diselenggarakan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Kegiatan skrining ini diikuti oleh 64
peserta yang merupakan karyawan dinas kesehatan dan juga peserta
umum yang datang.
berdasar skrining yang telah dilakukan, sebanyak 42 orang yang
menderita obesitas, tidak ada faktor risiko yang menunjukkan
hubungan signifikan dengan kejadian obesitas. ada 49 orang yang
melakukan pemeriksaan obesitas sentral dan jenis kelamin memiliki
hubungan yang signifikan. Sebanyak 17 orang yang menderita hipertensi
ada faktor risiko yang menunjukkan hubungan signifikan dengan
kejadian hipertensi yaitu faktor jenis kelamin. ada 7 orang yang
menderita hiperglikemia, tidak ada faktor risiko yang menunjukkan
hubungan signifikan dengan kejadian hiperglikemia. ada 30 orang
dengan hasil pemeriksaan hiperkolesterolemia tidak ada faktor
risiko yang menunjukkan hubungan signifikan dengan kejadian
hiperkolesterolemia. ada 5 orang yang menderita obesitas dan
obesitas sentral dan diartikan ada hubungan antara obesitas dengan
obesitas sentral. Diketahui bahwa dari 49 orang yang menderita obesitas
sentral, ada faktor risiko yang menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan kejadian obesitas sentral, yaitu hipertensi. Diketahui
dari 17 orang yang menderita hipertensi, tidak ada faktor risiko yang
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi.
Tidak ada hubungan antara hubungan antara hiperglikemia dengan
hiperkolesterolemia.
A. QGIS
Bayi dengan BBLR merupakan salah satu pemicu kematian bayi
Neonatal berdasar data yang menunjukkan kasus terjadinya BBLR
memungkinkan terjadinya kematian neonatal. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analitik spasial dengan menggunakan
data sekunder yang bersumber dari data Profil Kesehatan Jawa Timur.
Pengolahan data menggunakan peta bivariat melalui aplikasi QGIS
3.32.3. Selain itu, untuk mendukung hipotesis dilakukan analisis statistik
menggunakan SPSS dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji
korelasi Pearson. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan BBLR akan
diikuti dengan meningkatnya kasus kematian neonatal. ada
hubungan yang signifikan antara kematian neonatal dengan BBLR di
Provinsi Jawa Timur tahun 2020 (p value = 0,013 < 0,05); tahun 2021 (p
value = 0,017 < 0,05); tahun 2022 (p value = 0,000 < 0,005). Diperlukan
identifikasi terhadap faktor risiko yang berpotensi menyebabkan BBLR
untuk menurunkan insiden kejadian berat lahir rendah, sehingga
diharapkan usaha penurunan angka BBLR dapat menjadi langkah untuk
mengurangi angka kematian neonatal.
B. EpiMap
Distribusi Spasial Cakupan Imunisasi BCG Pada Bayi Terhadap
Kejadian Tuberkulosis Anak di Provinsi Jawa Timur Tahun 2020-
2022
Tuberkulosis (TB) yaitu penyakit menular pada manusia yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan sering terjadi
di seluruh dunia, termasuk Indonesia, negara tropis dengan jumlah
warga dengan jumlah warga yang tinggi. Pada tahun 2021,
Provinsi Jawa Timur berada di peringkat 4 jumlah kasus tuberkulosis
anak tertinggi di Indonesia dengan ditemukan sebanyak 2.779 kasus
tuberkulosis pada anak usia 0-14 tahun dan tingkat cakupan penemuan
kasus sebesar 24%. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analitik dengan desain studi korelasi. Studi ini menggunakan data
sekunder yang bersumber dari data Profil Kesehatan Jawa Timur tahun
2020, 2021, dan 2022. Populasi dalam penelitian ini yaitu 38 kabupaten
atau kota di Provinsi Jawa Timur. Variabel terikat dalam penelitian ini
yaitu kejadian tuberkulosis anak, sedangkan variabel bebas
penelitiannya yaitu cakupan imunisasi BCG pada bayi di Jawa Timur
pada tahun 2022 hingga 2020. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan
kasus tuberkulosis anak di Jawa Timur sejalan dengan meningkatnya
cakupan imunisasi BCG pada bayi. Hasil analisis menunjukkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara cakupan imunisasi BCG pada
bayi dengan kejadian tuberkulosis pada anak di Provinsi Jawa Timur
tahun 2020 (p value = 0,646 > 0,05); tahun 2021 (p value = 0,395 > 0,05),
tahun 2022 (p value = 0,371 > 0,005).
berdasar grafik di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2021,
Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang penderita baru kusta
tertinggi di Indonesia, yakni sebanyak 1.696 kasus baru dan disusul oleh
Provinsi Jawa Barat, Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara.
berdasar gambar di atas, menunjukkan bahwa
distribusi kasus kusta pada tahun 2023 didominasi oleh
orang dewasa (usia >14 tahun) yakni sebanyak 1.484
penderita (95%). Sedangkan untuk kasus kusta pada anak (0-
14 tahun) sebanyak 80 penderita (5%).
Grafik di atas menunjukkan bahwa distribusi
penderita kusta paling tinggi pada usia dewasa (>14 tahun)
dan anak (0-14 tahun) ada di Kabupaten Sumenep
dimana masing-masing berjumlah 169 penderita kusta
dewasa dan 13 penderita kusta anak.
berdasar grafik di atas menunjukkan bahwa
distribusi penderita penyakit kusta berdasar tipe kusta
didominasi oleh kusta tipe MB sebanyak 1.342 kasus dan
tipe PB sebanyak 72 kasus.
Diagram di atas menunjukkan bahwa penderita kusta
di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2023 didominasi oleh
penderita tanpa cacat yaitu sebanyak 1.164 kasus (78%).
Grafik di atas menunjukkan bahwa distribusi kasus
kecacatan kusta tingkat 2 di Provinsi Jawa Timur pada tahun
2023 paling banyak terjadi di Kabupaten Jember yakni
sebanyak 27 kasus, kemudian disusul oleh Kabupaten
Lumajang dan Kabupaten Pamekasan yang masing-masing
memiliki 12 kasus serta ada Kabupaten Pasuruan
sebanyak 10 kasus dan Kabupaten Gresik sebanyak 6 kasus.
Pada tahun 2022 prevalensi penyakit kusta di Provinsi Jawa
Timur yaitu sebesar 0,5 yang artinya Provinsi Jawa Timur telah
mencapai status eliminasi kusta. Suatu wilayah dikatakan sudah
mencapai status eliminasi kusta apabila prevalensi rate kusta di
wilayah ini <1 per 10.000 warga . Tetapi, hingga tahun
2022 masih ada 5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
yang belum eliminasi kusta, yaitu Kabupaten Sampang,
Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten
Bangkalan, dan Kabupaten Tuban.
berdasar grafik di atas, dapat diketahui bahwa
terjadi penurunan jumlah kasus kusta terdaftar di Provinsi
Jawa Timur dari tahun 2019 hingga 2022. Tetapi, pada tahun
2022 terjadi kenaikan kasus terdaftar kusta sebanyak 484
kasus menjadi 2.209 kasus terdaftar serta mengalami
kenaikan hingga 2023 menjadi 2.540 kasus. Selain itu pada
tahun 2019 ke 2020 ada ada penurunan signifikan
kasus terdaftar kusta yaitu sebanyak 1.055 kasus menjadi
2.109 kasus terdaftar.
berdasar grafik diatas dapat diketahui bahwa
angka kasus baru dalam populasi atau new case detection
rate (NCDR) kusta cenderung mengalami penurunan dari
tahun ke tahun. Tetapi ada kenaikan new case detection
rate pada tahun 2021 ke 2022. Sejak tahun 2020, nilai new
case detection rate kusta di Provinsi Jawa Timur telah
berhasil mencapai angka <5/100.000 warga . Pada tahun
2023, angka NCDR kusta menjadi 3,81 per 100.000
warga turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,30.
berdasar grafik di atas dapat diketahui bahwa
angka kesembuhan penderita kusta atau penderita yang telah
selesai berobat (release from treatment) di Jawa Timur
cenderung fluktuatif dari tahun 2018 hingga 2022. Pada
tahun 2018, angka kesembuhan penderita kusta masih di
bawah target yaitu di bawah 90%. Selain itu, dapat dilihat
bahwa angka kesembuhan penderita kusta tipe PB lebih
besar daripada tipe MB.
4.3.3 Capaian Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2023
Untuk menilai program secara keseluruhan diperlukan beberapa
indikator. Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini dipergunakan untuk
dasar perencanaan tahun berikutnya. berdasar Permenkes Nomor 11
Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta, ada beberapa indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilam program
pencegahan dan pengendalian penyakit kusta. Indikator program Kusta
merupakan alat ukur kinerja dan kemajuan program (marker of progress)
serta untuk mempermudah analisis data. Adapun target yang harus
dicapai pada program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu sebagai berikut:
1. Penderita Kusta Terdaftar dan Angka Penderita Kusta Terdaftar
(Prevalence and Prevalence Rate = PR)
Jumlah kasus terdaftar dan angka penyakit prevalensi kusta
merupakan jumlah penderita kusta PB dan MB terdaftar atau yang
mendapatkan pengobatan pada saat tertentu per 10.000 warga .
Angka ini menunjukkan besarnya masalah di suatu daerah,
menentukan beban kerja, dan sebagai alat evaluasi. Target program
penanggulangan kusta yaitu angka penderita kusta terdaftar < 1 per
10.000 warga .
2. Angka Penemuan Penderita Kusta Baru (New Case Detection Rate
= CDR)
Jumlah Penderita Kusta yang baru ditemukan pada periode 1 (satu)
tahun per 100.000 warga , dengan target program CDR <5 per
100.000 warga . Merupakan indikator yang bermanfaat dalam
menetapkan besarnya masalah dan transmisi yang sedang
berlangsung. Selain itu, juga dipergunakan untuk menghitung
jumlah kebutuhan obat serta menunjukkan aktivitas program.
3. Proporsi Penderita Kusta Baru dengan Cacat Tingkat 2
Jumlah Penderita Kusta cacat tingkat 2 yang ditemukan di antara
Penderita Kusta baru pada periode 1 (satu) tahun. Angka ini
bermanfaat untuk menunjukkan keterlambatan antara kejadian
penyakit dan penegakkan diagnosa (keterlambatan Penderita Kusta
mencari pengobatan atau keterlambatan petugas dalam penemuan
Penderita Kusta). Target proporsi Penderita Kusta baru dengan cacat
tingkat 2 yaitu < 5%.
4. Proporsi Penderita Kusta Baru Pada Anak
Proporsi Penderita Kusta baru pada anak usia <15 tahun dengan
target <5%. Indikator ini dapat digunakan untuk melihat
keadaan penularan saat ini dan memperkirakan kebutuhan obat.
5. Jumlah Penderita Kusta Baru Pada Anak dengan Cacat Tingkat 2
Jumlah Penderita Kusta baru pada anak (< 15 tahun) yang
mengalami cacat tingkat 2. Indikator ini mengindikasikan
kualitas penemuan Penderita Kusta, kualitas pelayanan Kusta, serta
merefleksikan kesadaran komunitas. Adanya Penderita Kusta baru
pada anak dengan cacat tingkat 2 mengindikasikan keterlambatan
penemuan Penderita Kusta dan transmisi infeksi yang masih
berlangsung di warga . Target yang diharapkan yaitu tidak ada
Penderita Kusta baru pada anak dengan cacat tingkat 2 pada tahun
2020.
6. Angka Kesembuhan atau Release From Treatment (RFT) Rate
Angka ini sangat penting dalam menilai kualitas tata laksana
penderita dan kepatuhan Penderita Kusta dalam minum obat.
a) RFT Rate MB Jumlah Penderita Kusta baru MB dari periode
kohort 1 (satu) tahun yang sama yang menyelesaikan
pengobatan tepat waktu (12 dosis dalam 12-18 bulan)
dinyatakan dalam persentase.
b) RFT Rate PB
Jumlah kasus baru PB dari periode kohort 1 tahun yang sama
yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu (6 dosis dalam 6-9
bulan) dinyatakan dalam persentase.
4.3.4 Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2023
Beberapa program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta
di Jawa Timur yaitu:
1. Sosialisasi
a) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi program
penanggulangan kusta kepada para pemangku kepentingan di
daerah kabupaten/kota dan lintas sektor terkait.
b) Penyebarluasan informasi tentang kusta untuk menghilangkan
stigma dan diskriminasi kusta.
c) memberi informasi tentang tanda dan gejala dini kusta, serta
teknis kegiatan penanggulangan kusta. Informasi ini dapat
berupa pedoman, petunjuk teknis, leaflet, poster, lembar balik,
spanduk, banner, penyuluhan, dan lain-lain.
2. Penemuan Kasus dan Deteksi Dini
a) Penemuan penderita kusta yang dapat dilakukan melalui
penemuan penderita kusta secara aktif, pasif, intensif, dan
masif, berbasis keluarga atau warga .
b) Penemuan penderita kusta melalui kolaborasi dengan Orang
yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), kader kesehatan,
tokoh agama, tokoh warga dan lintas sektor lainnya dalam
menemukan bercak pada kulit.
c) Rapid Village Survey
3. Pengobatan
Pengobatan kusta dilakukan dengan pemberian Multi Drug Therapy
(MDT) untuk kusta tipe PB maupun MB. MDT yaitu kombinasi
dua atau lebih obat anti Kusta, salah satunya Rifampisin sebagai anti
Kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti Kusta lain
bersifat bakteriostatik. MDT tersedia dalam bentuk 4 macam blister
MDT sesuai dengan kelompok umur (PB dewasa, MB dewasa, PB
anak dan MB anak). Tata cara minum MDT yaitu dosis hari
pertama pada setiap blister MDT diminum di depan petugas saat
penderita kusta datang atau bertemu penderita kusta, selanjutnya
diminum di rumah dengan pengawasan keluarga. Pengobatan kusta
dengan MDT bertujuan untuk:
a) Memutuskan mata rantai penularan b) Mencegah resistensi obat meningkatkan keteraturan
berobat
c) Mencegah terjadinya disabilitas atau mencegah
bertambahnya disabilitas yang sudah ada sebelum
pengobatan
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial ekonomi dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup Orang Yang Pernah Mengalami Kusta
(OYPMK) melalui pendekatan yang terpadu dan terintegrasi.
Beberapa contoh kegiatannya yaitu:
a) Pembentukan Desa Sahabat Kusta, Cinta Keluarga, dan
Kelompok Sobat Kusta yang berbasis warga .
b) Kelompok perawatan diri (KPD)
Kelompok Perawatan Diri (KPD) yaitu salah satu program
penanggulangan penyakit kusta yang bertujuan untuk
mencegah dan mengurangi kecacatan serta mencari solusi
terhadap masalah yang dihadapi setiap hari oleh
penderita kusta akibat penyakit ini . Tolak ukur
keberhasilan penyelenggaraan sebuah KPD, yakni
sehubungan dengan Prevention of Disabilities (POD). Peran
dari KPD dalam usaha pencegahan peningkatan kecacatan di
antaranya membantu dalam memecahkan masalah atau
peroalan baik fisik, psikis, sosial maupun ekonomi yang
diakibatkan sebab kusta yang diderita, memberi anjuran
untuk menggunakan bahan yang dapat diperleh dengan mudah
di lingkungan sekitar untuk melakukan perawatan diri,
melakukan pemantauan secara efektif dan efisien kepada
penderita, serta melakukan rujukan sedini mungkin kepada
penderita kusta.
c) Rehabilitasi medis pada kasus kusta dini dengan lebih bersifat
pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, usaha rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan
kemampuan fungsi yang tersisa. usaha rehabilitasi medis
yang dapat dilakukan yaitu pemberian layanan fisioterapi,
ortotik prostetik, dan okupasi terapi.
5. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dalam program pencegahan dan
pengendalian kusta melibatkan pengukuran keberhasilan program
ini dan menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada
pasien kusta. usaha yang dilakukan dapat berupa melakukan
verifikasi data yang dilaporkan oleh Puskesmas, rumah sakit serta
Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan juga memberi feedback
terkait dengan program yang telah dilakukan.
4.3.5 Identifikasi Masalah
Masalah yang teridentifikasi dalam program pencegahan dan
pengendalian penyakit kusta di Jawa Timur diperoleh melalui
wawancara dengan pemegang program kusta di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dan studi dokumen. Adapun masalah ini
meliputi:
1. ada 5 kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi
kusta.
2. Angka penemuan kasus baru kusta (new case detection rate)
masih tinggi yaitu sebesar 5,3% (>5%).
3. Proporsi kasus kusta pada anak (usia 0-14 tahun) masih tinggi
yaitu sebesar 5,4% (>5%).
4. Cakupan pemeriksaan kontak erat belum optimal.
5. Belum semua kabupaten/kota melakukan POPM (Pemberian Obat
Pencegahan secara Massal).
6. Distribusi logistik (obat) terlambat
7. Ketepatan dan validitas pengisian laporan yang masih kurang
Setelah tahap identifikasi masalah, didapatkan tujuh masalah utama
dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Jawa
Timur yang akan diselesaikan. Penentuan prioritas masalah
menggunakan metode USG, yakni Urgency, Seriousness, Growth
dengan rentar skor 1 hingga 5.
Berikut ini yaitu hasil skoring dari ketujuh masalah utama dalam
kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Jawa Timur.
berdasar tabel di atas, dapat diperoleh informasi mengenai
prioritas masalah utama dalam program pencegahan dan pengendalian
penyakit kusta dengan menggunakan metode USG. Masalah utama
dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Jawa
Timur yaitu ada 5 kabupaten/kota yang belum mencapai status
eliminasi kusta.
Identifikasi pemicu masalah dianalisis menggunakan metode
pohon akar pemicu masalah. Berikut merupakan hasil dari identifikasi
akar pemicu masalah dalam program pencegahan dan pengendalian
penyakit kusta di Jawa Timur berdasar prioritas masalah yang telah
ditetapkan:
4.4.1 Situasi Kasus Kusta di Indonesia
Sejak tahun 2000, Indonesia telah dinyatakan mencapai status
eliminasi kusta dengan angka prevalensi kusta tingkat nasional sebesar
0,9 per 10.000 warga . Angka prevalensi kusta di Indonesia pada
tahun 2021 sebesar 0,45 kasus per 10.000 warga dan angka penemuan
kasus baru sebesar 4,03 kasus per 100.000 warga . Tren Angka
kejadian kusta selama sepuluh tahun terakhir terlihat tren rasio prevalensi
angka penemuan kasus kusta baru relatif menurun. Tetapi, pada tahun
2021 dilaporkan bahwa Jawa Timur menjadi penyumbang kasus kusta
terbanyak di Indonesia 1.696 kasus
4.4.2 Pola Penyakit Kusta Provinsi Jawa Timur Tahun 2023
1. Distribusi Kasus Kusta berdasar Orang
Distribusi kasus kusta berdasar orang dapat dilihat dari
segi usia dan tipe kusta. berdasar usia, penderita kusta terbagi
menjadi 2 yaitu anak (0-14 tahun) dan dewasa (>14 tahun).
Distribusi kasus kusta berdasar orang dilakukan untuk
mengetahui pada kelompok usia mana kusta paling banyak diderita.
Sedangkan berdasar tipe kusta, dibedakan menjadi 2 yaitu kusta
tipe Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB).
berdasar laporan seksi P2P Kuta Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur tahun 2023, diketahui bahwa kasus kusta
paling banyak terjadi pada usia dewasa yakni sebesar 1.484 kasus.
Tetapi, persentase kasus kusta pada anak masih cukup tinggi yaitu
sebesar 5,47%. Ditemukannya kasus kusta pada anak-anak
merupakan indikator adanya infeksi kusta di suatu komunitas yang
berarti bahwa masih kurangnya survailans layanan kesehatan dasar
dan rendahnya temuan kasus aktif penyakit kusta di warga
Distribusi kasus kusta berdasar tipe kusta dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui tipe kusta yang paling bayak terjadi
di warga serta sebagai bahan untuk perencaan pengobatan.
Dari laporan seksi P2P Kuta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur,
diketahui bahwa sebagian besar tipe kusta yang ada di Jawa Timur
yaitu tipe kusta Multi Basiler (MB). Tingginya proporsi pasien
baru kusta tipe MB dapat disebabkan pasien kusta tipe MB memiliki
gejala lanjut yang lebih tampak dibandingkan tipe Pausibasiler (PB)
sehingga pasien berobat, serta dapat disebabkan pemberian MDT
yang terlambat atau tidak teratur sehingga banyak terjadi penularan
dan angka kasus MB baru tinggi (Widiatma and Prakoeswa, 2019).
2. Distribusi Kasus Kusta berdasar Tempat
Distribusi kasus kusta berdasar tempat dapat dilihat dari
angka prevalensi pada tiap kabupaten/kota. berdasar hasil
laporan analisa situasi program pemberantasan kusta Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2023 (data hingga triwulan
3), dapat diketahui bahwa ada 6 kabupaten/kota yang memiliki
angka prevalensi >1 per 100.000 warga . Keenam kabupaten/kota
ini yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep,
dan Kabupaten Tuban. Angka ini mengalami kenaikan
dibandingkan tahun 2022, dimana pada tahun ini hanya
ada 5 kabupaten/kota yang belum eliminasi kusta yaitu
Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan,
Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Tuban. Dalam peta ini
dapat dilihat bahwa seluruh kabupaten yang beraa di Pulau Madura
masih memiliki prevalensi kusta >1 per 100.000 warga , sehingga
perlu dilakukan usaha lebih untuk menurunkan angka prevalensi
ini .
3. Distribusi Kasus Kusta berdasar Waktu
Distribusi kasus kusta berdasar waktu dapat dilihat dari
jumlah penderita terdaftar selama lima tahu berturut-turut, yakni
mulai tahun 2019 hingga tahun 2023. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui tren penyakit kusta di Jawa Timur dan untuk
mengetahui jumlah penderita kusta yang terdaftar pada tahun
sebelumnya yang masih dalam tahap pengobatan serta penderita
baru yang terdaftar pada tahu ini . berdasar laporan analisa
situasi program pemberantasan penyakit kusta Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dapat diketahui bahwa pada tahun 2019 hingga
2021 terjadi penurunan jumlah penderita kusta yang terdaftar, tetapi
mulai tahun 2022 hingga 2023 ada kenaikan jumlah penderita.
4.4.3 Capaian Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2023
1. Penderita Kusta Terdaftar dan Angka Penderita Kusta Terdaftar
(Prevalence and Prevalence Rate = PR)
Target program penanggulangan kusta yaitu angka penderita kusta
terdaftar <1 per 10.000 warga . Pada indikator ini, pada tahun
2023 Provinsi Jawa Timur telah mencapai target dengan angka
prevalensi kusta sebesar 0,68 per 10.000 warga .
2. Angka Penemuan Penderita Kusta Baru (New Case Detection Rate
= CDR)
Jumlah Penderita Kusta yang baru ditemukan pada periode 1 (satu)
tahun per 100.000 warga , dengan target program CDR <5 per
100.000 warga . Pada indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi
Jawa Timur telah mencapai target dengan angka prevalensi kusta
sebesar 3,81 per 10.000 warga .
3. Proporsi Penderita Kusta Baru dengan Cacat Tingkat 2
Target proporsi Penderita Kusta baru dengan cacat tingkat 2 yaitu
< 5%. Pada indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur
belum mencapai target dengan persentase penderita kusta cacat
tingkat 2 sebesar 8,33%.
4. Proporsi Penderita Kusta Baru Pada Anak
Proporsi Penderita Kusta baru pada anak usia <15 tahun dengan
target <5%. Pada indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur
belum mencapai target dengan persentase penderita kusta baru pada
anak sebesar 5,47%.
5. Jumlah Penderita Kusta Baru Pada Anak dengan Cacat Tingkat 2
Jumlah Penderita. Target yang diharapkan yaitu tidak ada
Penderita Kusta baru pada anak dengan cacat tingkat 2. Pada
indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur belum mencapai
target dengan masih adanya 4 kasus kusta pada anak dengan cacat
tingkat 2 atau sebesar 5%.
4.4.4 Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang ada di program pencegahan dan pengendalian
penyakit kusta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2023 yaitu
sebagai berikut:
1. ada 5 kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi
kusta (prevalensi >1 per 10.000 warga ). Kelima kabupaten/kota
ini yaitu Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep,
Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten
Tuban.
2. Angka penemuan kasus baru kusta (new case detection rate) masih
tinggi yaitu sebesar 5,3% pada tahun 2022 dan turun menjadi 3,81
per 100.000 warga pada tahun 2023 (data per triwulan 3).
3. Proporsi kasus kusta pada anak (usia 0-14 tahun) masih tinggi yaitu
sebesar 5,4% (>5%).
4. Cakupan pemeriksaan kontak erat belum optimal.
Dalam Permenkes disebutkan bahwa setiap pasien baru kusta
hendaknya dilakukan pemeriksaan kontak erat hingga 20 orang pada setiap kasus yang terlapor. Namun, dalam pelaksanaannya di
lapangan belum jalan dengan baik.
5. Belum semua kabupaten/kota melakukan POPM (Pemberian Obat
Pencegahan secara Massal).
Dalam Permenkes disebutkan bahwa setiap kontak penderita kusta
diharapkan bisa mendapatkan kemoprofilaksis kusta. Kegiatan
Kemoprofilaksis Kusta ini dengan sasaran meliputi seluruh kontak
(kontak serumah, tetangga, dan sosial) dari penderita kusta baru.
Namun, pelaksanaan pemberian kemoprofilaksis berlum berjalan
baik, padahal ada beberapa daerah di Jawa Timur yang menjadi
kantong-kantong kejadian kusta terutama di Pulau Madura dan
daerah tapal kuda.
6. Distribusi logistik (obat) terlambat
Kesediaan stok Multi Drug Therapy (MDT) serta kondisi geografis
kabupaten/kota di Jawa Timur yang beragam menjadi tantangan
dalam pendistribusian obat kepada pasien.
7. Ketepatan dan validitas pengisian laporan yang masih kurang
Ketepatan dan validitas pengisian laporan berguna dalam deteksi
dini kasus yang menjadi bagian penting dalam program pencegahan
dan pengendalian penyakit kusta. Namun, pelaporan kusta belum
dilaksanakan secara real time dan masih dilakukan manual tiap
triwulan.
4.4.5 Penentuan Prioritas Masalah
berdasar hasil identifikasi masalah, ada 7 masalah yang
harus ditentukan untuk menjadi prioritas. Prioritas masalah ditentukan
dengan menentukan skor atas kriteria tertentu menggunakan metode
USG, yakni Urgency, Seriousness, Growth. Dari hasil skoring terhadap
beberapa masalah yang ada, maka diperoleh prioritas masalah utama
yaitu cakupan pemeriksaan kontak yang belum optimal.Analisis pemicu Masalah
pemicu masalah diidentifikasi menggunakan metode pohon akar
pemicu masalah. Akar pemicu masalah dari ada 5
kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta yaitu sebagai
berikut:
1. Tatalaksana Kusta Belum Optimal
Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan
kulit pada kusta. Bahkan ada istilah yang menyebutkan kusta sebagai
peniru terhebat (the greatest imitator) dalam penyakit kulit.
Kemiripan gejala dini kusta dengan penyakit kulit biasa sering
membuat warga tidak memeriksakan dirinya ke fasilitas
pelayanan kesehatan, sehingga dapat menunda pengobatan.
Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan kusta antara lain:
1. Bercak eritem berskuama: psoriasis, pitiriasis rosea,
dermatitis seboroik, tinea korporis.
2. Bercak hipopigmentasi dengan skuama: pitiriasis versicolor,
pitiriasis alba.
3. Bercak hipopigmentasi tanpa skuama: vitiligo.
4. Papul atau nodul: neurofibromatosis, prurigo nodularis.
Sehingga untuk penegakan diagnosis kusta diperlukan pemeriksaan
BTA di laboratorium.
2. Kinerja Surveilans Kusta
a) Belum semua kasus diperiksa kontak erat hingga 20 orang
Pemeriksaan dan pelacakan kontak erat penderita kusta
dapat dilakukan oleh tenaga epidemiolog. Peraturan mengenai
jumlah tenaga surveilans di puskesmas telah diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 22 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan
Minimal Puskesmas. Peraturan ini menyebutkan bahwa setiap puskesmas harus memiliki minimal satu tenaga surveilans
epidemiologi.
Pemeriksaan kontak pada penderita kusta baru dan pasca
RFT dilakukan sekali setahun selama 5 tahun. Pemeriksaan ini
dilakukan pada kontak serumah, tetangga dan kontak sosial.
Kontak serumah yaitu mereka yang tinggal dalam satu rumah,
kontak tetangga yaitu mereka yang tinggal kira-kira 10 rumah
sekitar penderita kusta, sementara kontak sosial yaitu teman
sekolah atau rekan sekerja yang bergaul dengan penderita kusta
minimal 20 jam per minggu. Oleh sebab itu, besarnya beban
kerja serta keterbatasan tenaga surveilans menyebabkan
masalah dalam cakupan pemeriksaan kontak pada kasus kusta.
b) Tidak semua kontak erat mendapatkan kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis kusta yaitu pemberian obat yang ditujukan
untuk pencegahan kusta. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada
daerah yang memiliki Penderita Kusta yang tinggi, atau
berdasar hasil surveilans di daerah yang memiliki penderita
kusta yang rendah pada situasi khusus. Keterbatasan logistik
serta kurangnya kesadaran warga menyebabkan maish
banyak kontak erat yang belum mau mendapatkan
kemoprofilaksis kusta.
c) Keterlambatan respon pelacakan kontak erat
Deteksi dini merupakan hal yang penting dalam
penanggulangan penyakit kusta, tetapi masih ada penderita
kusta yang terlambat mendapatkan pengobatan sehingga
mengalami kecacatan. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya
angka kecacatan tingkat 2 di Jawa Timur pada tahun 2023 yaitu
sebesar 8,33%.
d) Sistem pelaporan penyakit kusta belum dilakukan secara real
time tetapi dilakukan secara manual per triwulan. Pelaporan
dilakukan secara berjenjang dari mulai Puskesmas dan Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi, hingga Kementerian Kesehatan RI. Pelaporan ini
dilakukan tiap triwulan mulai dari triwulan satu hingga 4 dalam
setahun
3. Kondisi Sosial Ekonomi warga yang Kurang
Rendahnya pengetahuan warga tentang kusta dapat menjadi
salah satu pemicu masih adanya stigma negatif kusta. Stigma
warga tentang pasien kusta diantaranya yaitu menganggap
bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan dan tidak dapat
disembuhkan. Stigma yang berkembang diwarga disebabkan
sebab kurangnya pengetahuan dan pemahaman warga tentang
penyakit kusta. Kurangnya pemahaman warga ini berhubungan
erat dengan peran serta tenaga kesehatan untuk menyosialisasikan
kepada warga tentang penyakit kusta itu sendiri sehingga bisa
merubah pola pikir warga . Penggunaan media promosi
kesehatan tentang kusta harus dioptimalkan dan diadaptasi sesuai
dengan kondisi warga .
4. ada 3 kabupaten/kota dengan persentase rumah tidak layak
huni yang tinggi
berdasar Statistik Perumahan dan Pemukiman Provinsi Jawa
Timur tahun 2022 ada 3 kabupaten di Jawa Timur dengan
persentase rumah tidak layak huni yang tinggi (>50%), yaitu
Kabupaten Situbondo (54,90%), Kabupaten Bondowoso(57,07%),
dan Kabupaten Bangkalan (55,71%). Rumah layak huni merupakan
rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan
kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya.
Apabila kondisi tempat tinggal warga tidak layak huni maka
dapat memperbesar risiko terjadinya penyakit, salah satunya yaitu
kusta. Kecukupan luas lantai per kapita, akses terhadap sumber air
minum layak, dan akses terhadap sanitasi layak menjadi bagian dari indikator rumah layak huni, dimana ketiga indikator ini
berhubungan dengan transmisi penyakit kusta di warga .
4.4.7 Alternatif Pemecahan Masalah
Setelah dilakukan identifikasi pemicu masalah mengenai
cakupan pemeriksaan kontak belum optimal, maka tahap
selanjutnya yaitu penentuan alternatif pemecahan masalah.
berdasar hal ini maka alternatif pemecahan masalah yang
dapat dilakukan yaitu:
1. Meningkatkan partisipasi warga dalam kegiatan
surveilans kusta. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu
melibatkan kelompok potensial lokal dalam mengedukasi
pengenalan tanda dini kusta kepada warga di sekitarnya
dan memotivasi suspek/kontak erat kusta untuk memeriksakan
diri ke Puskesmas apabila merasakan gejala penyakit ini.
2. Penguatan advokasi, koordinasi, dan pemberdayaan
a) Berkolaborasi dengan Orang yang Pernah Mengalami
Kusta (OYPMK), kader kesehatan, tokoh agama, tokoh
warga dan lintas sektor lainnya dalam memantau dan
memeriksa kontak erat kusta.
b) Menggandeng tokoh warga dalam pelacakan kontak
erat penderita kusta. Mereka dapat membantu dalam
pendidikan kesehatan, mengurangi stigma, dan
memfasilitasi identifikasi kontak erat. Selain itu, tokoh
warga juga dapat menjadi perantara antara penderita
kusta dan kontak erat dengan petugas kesehatan kemudian
dapat juga membantu dalam membangun kepercayaan
dan memfasilitasi akses ke layanan kesehatan.
c) Melakukan advokasi kepada pemegang kebijakan untuk
menyediakan anggaran yang cukup guna menjalankan
program pencegahan dan pengendalian kusta.
Menekankan kepada pemerintah daerah bahwa penyakit
kusta merupakan salah satu Neglected Tropical Disease
(NTDs) yang penting diperhatikan dan harus segera
dieliminasi.
3. Penyediaan sumber daya
• Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan melalui:
a) Melaksanakan kegiatan Bimbingan Teknis dan
Monitoring MDT pada kabupaten/kota yang belum
mencapai eliminasi kusta.
b) Menyelenggarakan Training or Trainer (TOT) kepada
petugas surveilans agar pengelola program tingkat
kabupaten/kota dapat melakukan pelatihan surveilans
secara mandiri kepada tenaga surveilans tingkat
puskesmas.
c) Mengadakan pelatihan tentang surveilans epidemiologi
kepada seluruh tenaga kesehatan untuk meningkatkan
kemampuan dan mengurangi beban kerja tenaga
surveilans.
• Menyediakan dana dan logistik yang cukup hingga ke tingkat
pelayanan kesehatan primer (puskesmas). Dalam hal ini
membutuhkan dukungan dan komitmen dari para pemegang
kebijakan.
4. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) kusta
Pemberian obat pencegahan massal dengan SDR secara
berkualitas, berkesinambungan dan berkualitas. Kemoprofilaksis
Kusta dilakukan pada daerah yang memiliki Penderita Kusta yang
tinggi, atau berdasar hasil surveilans di daerah yang memiliki
Penderita Kusta yang rendah pada situasi khusus. Kemoprofilaksis
dapat membantu memutus rantai penularan penyakit kusta dengan
membunuh bakteri pemicu kusta sehingga mencegah terjadinya
kusta aktif.
5. Pendekatan melalui promosi kesehatan
Sasaran promosi kesehatan dalam kegiatan Penanggulangan Kusta
yaitu Penderita Kusta, keluarga, warga termasuk tokoh
warga , tokoh agama, tokoh adat, tokoh publik,organisasi
kewarga an, dan kader, tenaga kesehatan, penentu kebijakan
dan pemangku kepentingan. Hal yang dapat dilakukan yaitu
dengan membuat media promosi kesehatan seperti pedoman,
petunjuk teknis, leaflet, poster, spanduk, banner, video edukasi,
buku saku, dan lain-lain untuk menyebarkan informasi mengenai
penyakit kusta kepada warga .
6. Peningkatan ketepatan dan validitas pencatatan pelaporan kusta
Ketepatan dan validitas pencatatan pelaporan kusta sangat
berpengaruh terhadap jalannya pelacakan kontak erat. Data kusta
yang valid diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan
intervensi yang efektif, salah satunya yaitu pemeriksaan kontak
erat. Oleh sebab itu, diharapkan data yang dicatat mulai dari
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama hingga Dinas
Kesehatan Provinsi dapat dilaporkan secara tepat waktu dan
berkualitas. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengadakan pertemuan evaluasi program dan validasi data kohort
tingkat kabupaten/kota untuk meningkatkan ketepatan dan
validitas pencatatan dan pelaporan kusta.
4.5 Kendala Pelaksanaan MBKM by Design FKM UNAIR
ada beberapa kendala yang dialami selama pelaksanaan MBKM by
Design FKM UNAIR yaitu terkait informasi yang kurang jelas pada saat awal
pelaksanaan magang sehingga ada perbedaan pemahaman terkait timeline
kegiatan, regulasi, hingga output. Oleh sebab itu, diharapkan untuk kedepannya
kendala-kendala ini dapat diminamilisir dengan koordinasi yang baik
sehingga pelaksanaan MBKM by Design dapat terlaksana dengan lancar dari
awal hingg akhir program.