Kusta h

 









berdasar  analisis situasi program pencegahan dan penanggulan penyakit 

kusta di Jawa Timur, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur sudah mencapai 

status eliminasi kusta. Namun, pada tahun 2023 masih ada  6 kabupaten/kota 

yang memiliki angka prevalensi kusta >1/100.000 warga  , keenam 

kabupaten/kota ini  yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lumajang, 

Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, dan 

Kabupaten Tuban. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2022, 

dimana pada tahun ini  hanya ada  5 kabupaten/kota yang belum 

eliminasi kusta yaitu Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten 

Pamekasan, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Tuban. Adapun tren 

penemuan kasus baru kusta di Provinsi Jawa Timur dalam kurun tahun 2019 

hingga 2023 cenderung bersifat fluktuatif. 

Analisis pola penyakit kusta berdasar  orang menunjukkan bahwa 

penderita kusta terbanyak berada pada usia dewasa (>14 tahun), memiliki kusta 

tipe MB, dan tingkat kecacatan 0. Sedangkan untuk pola penyakit kusta 

berdasar  tempat, masih ada  beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur 

yang belum mencapai status eliminasi kusta. Dari kelima indikator yang 

digunakan untuk mengevaluasi capaian program pencegahan dan 

penanggulangan kusta di Jawa Timur pada tahun 2023, ada  3 indikator yang 

belum mencapai target. Ketiga indikator ini  yaitu proporsi penderita kusta 

baru dengan cacat tingkat 2, proporsi penderita kusta baru pada anak, dan 

jumlah penderita kusta baru pada anak dengan cacat tingkat 2.

ada  7 masalah yang diidentifikasi dalam program pencegahan dan 

penanggulangan kusta di Jawa Timur pada tahun 2023 yaitu ada  5 

kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi kusta, angka penemuan kasus baru kusta (new case detection rate) masih tinggi, proporsi kasus kusta 

pada anak (usia 0-14 tahun) masih tinggi, cakupan pemeriksaan kontak erat 

belum optimal, belum semua kabupaten/kota melakukan POPM (Pemberian 

Obat Pencegahan secara Massal), distribusi logistik (obat) terlambat, dan 

ketepatan dan validitas pengisian laporan yang masih kurang. Dari analisis yang 

telah dilakukan ditetapkan prioritas masalah utama yaitu ada  5 

kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi kusta.



Magang yaitu   kegiatan mandiri mahasiswa yang dilaksanakan di luar 

lingkungan kampus khususnya di lembaga institusi untuk mendapatkan 

pengalaman kerja praktis yang sesuai dengan bidang peminatannya melalui metode 

observasi dan partisipasi. Kegiatan magang dilaksanakan sesuai dengan formasi 

struktural dan fungsional pada instansi tempat magang baik pada lembaga

pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya warga  / lembaga non 

pemerintah (FKM UNAIR, 2019). Pada tahun 2023, Dinas Kesehatan Provinsi 

Jawa Timur dipilih sebagai salah satu tempat magang bagi mahasiswa peminatan 

epidemiologi sebab   sebagai instansi pemegang otoritas kesehatan di Tingkat 

Provinsi Jawa Timur, instansi ini  memiliki bearagam variasi data mengenai 

gambaran masalah kesehatan warga   dan capaian program kesehatan di 

Provinsi Jawa Timur. Data ini  digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan 

kesehatan di Provinsi Jawa Tkmur dalam hal promotif, preventif, dan kuratif. Salah 

satu data yang tersedia di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu data 

mengenai penyakit kusta.

Penyakit kusta (Morbus Hansen) yaitu   penyakit infeksi kronis yang 

disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan cenderung menyerang saraf tepi dan 

kulit  Bakteri pemicu  kusta menyerang susunan saraf tepi, 

kulit, mukosa, saluran nafas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis 

( Kusta dapat menyebabkan kecacatan permanen sebab   sumber 

penularannya yang aktif dan penundaan pengobatan akibat keterlambatan deteksi 

dini pasien . Keterlambatan penemuan dini kusta disebabkan oleh 

gejala awal penyakit ini yang ditandai dengan adanya bercak putih pada kulit, 

sehingga sering diabaikan oleh penderita atau warga   sebab   dianggap seperti 

penyakit kulit biasa.Kusta termasuk ke dalam salah satu Neglected Tropical Diseases (NTDs) yang 

masih terjadi di lebih dari 120 negara, dilaporkan dengan 200.000 kasus baru setiap 

tahunnya (WHO, 2023). Dalam usaha   untuk memberantas kusta, World Health 

Organization telah mencanangkan program Global Leprosy Strategy pada tahun 

2021–2030 dengan slogan “Towards zero leprosy”. Secara global, pada tahun 2020 

dilaporkan sebanyak 127.396 kasus kusta baru, dengan tingkat deteksi kasus 

sebesar 16,4 per satu juta warga   . Beberapa negara 

diketahui masih memiliki jumlah kasus kusta yang tinggi, yaitu Brasil, India, dan 

Indonesia yang masing-masing melaporkan lebih dari 10.000 kasus baru kusta 

Kusta pada umumnya terjadi di negara-negara tropis, salah satunya yaitu 

Indonesia. Tercatat sebanyak 10.976 kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2021

(Sejak tahun 2000, Indonesia dinyatakan telah 

mencapai status eliminasi kusta dengan angka prevalensi kusta tingkat nasional 

sebesar 0,9 per 10.000 warga  . Meskipun secara nasional Indonesia telah 

mencapai status eliminasi kusta, tetapi masih ada  enam provinsi di Indonesia 

yang belum mencapai status eliminasi kusta, keenam provinsi ini  yaitu 

Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua (Profil 

Kesehatan RI, 2021)

Diantara 28 provinsi di Indonesia yang telah mencapai status eliminasi kusta 

pada tahun 2021, Jawa Timur masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan angka 

penemuan kasus baru kusta tertinggi per 100.000 warga   dengan nilai New Case 

Detection Rate (NCDR) sebesar 4,22 . Prevalensi kusta 

di Jawa Timur pada tahun 2022 sebesar 0,5 per 10.000 warga   dengan angka 

penemuan kasus baru atau new case detection rate sebesar 5,3 per 100.000 

warga    Sedangkan per bulan September 

tahun 2023, nilai NCDR kusta Provinsi Jawa Timur turun menjadi 3,81 per 100.000 

warga   dengan angka prevalensi yang naik menjadi sebesar 0,68 per 10.000 

warga  .

Mengingat hingga tahun 2022, masih ada  5 kabupaten/kota di Jawa Timur 

yang belum mencapai status eliminasi kusta dan masih tingginya jumlah kasus baru 

kusta di Provinsi Jawa Timur maka diperlukan usaha   lebih intens dalam 

pencegahan dan pengendalian penyakit ini. berdasar  latar belakang ini , 

maka dalam kegiatan magang ini, penulis ingin mengenai mengenai tren, pola, serta 

program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Provinsi Jawa Timur.

Definisi Penyakit Menular

Definisi penyakit Menular menurut Permenkes RI No. 82 Tahun 

2014 yaitu   penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan 

oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit. Sampai 

saat ini penyakit menular masih menjadi masalah besar kesehatan 

warga   yang dapat menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan 

yang tinggi sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan 

melalui usaha   pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang 

efektif dan efisien.

2.1.2 Rantai Infeksi

Riwayat alamiah penyakit merupakan proses perkembangan suatu 

penyakit tanpa adanya intervensi yang dilakukan oleh manusia dengan 

sengaja dan terencana  Manfaat riwayat alamiah 

penyakit yaitu untuk kepentingan diagnostik yang merupakan masa 

inkubasi penyakit dan masa penentuan jenis penyakit, untuk Pencegahan, 

mengetahui perjalanan penyakit mulai dari awal hingga terjangkitnya 

sehingga bisa mendapatkan solusi yang tepat untuk menghentikan 

penyebarannya dan untuk ekpentingan terapi, dengan mengetahui setiap 

fase dengan baik maka terapi yang diberikan akan berjalan dengan baik 

pula . Rantai infeksi terjadi sebagai akibat dari interaksi 

agent, proses transmisi dan host. Efeknya bervariasi dari infeksi yang 

tidak tampak sampai penyakit parah serta kematian.

Klasifikasi Penyakit Menular

Menurut Permenkes RI No. 82 tahun 2014 berdasar  cara 

penularannya, penyakit menular terbagi menjadi:

1. Penyakit menular langsung, seperti: difteri, pertusis, polio, hepatitis, 

penyakit akibat Human Papiloma Virus (HPV), Infeksi HIV, kusta, 

frambusia, dan lain-lain.

2. Penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit, seperti: 

malaria, demam berdarah, filariasis, rabies, leptospirosis, flu burung, 

antraks, dan lain-lain.

Program yang ada di Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 

Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu 

tuberkulosis (TBC), human immunodeficiency virus (HIV), kusta dan 

frambusia, diare, pneumonia, hepatitis, demam berdarah dengue (DBD), 

malaria, filariasis, leptospirosis, serta antraks.

2.2 Program Penanggulangan Penyakit Menular

2.2.1 Definisi Program Penanggulangan Penyakit Menular

berdasar  Permenkes RI No. 82 tahun 2014, penanggulangan 

penyakit menular yaitu   usaha   kesehatan yang mengutamakan aspek

promotif dan preventif yang ditujukan untuk menurunkan dan 

menghilangkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian, membatasi 

penularan, serta penyebaran penyakit agar tidak meluas antardaerah 

maupun antarnegara serta berpotensi menimbulkan kejadian luar 

biasa/wabah. Beberapa penyakit tropis terabaikan masih menjadi 

masalah di Indonesia, yaitu filariasis, kusta, frambusia dan 

schistosomiasis. Penyakit-penyakit ini menjadi target yang harus 

diselesaikan. 

2.2.2 Target Program Penanggulangan Penyakit Menular

berdasar  prevalensi/kejadian kesakitan dan karakteristik 

penyakit menular, target program penanggulangan penyakit menular 

meliputi:

1. Reduksi

Reduksi merupakan usaha   pengurangan angka kesakitan 

dan/atau kematian terhadap Penyakit Menular tertentu agar 

secara bertahap penyakit ini  menurun sesuai dengan 

sasaran atau target operasionalnya.

2. Eliminasi

Eliminasi merupakan usaha   pengurangan terhadap penyakit 

secara berkesinambungan di wilayah tertentu sehingga angka 

kesakitan penyakit ini  dapat ditekan serendah mungkin 

agar tidak menjadi masalah kesehatan di wilayah yang 

bersangkutan.

3. Eradikasi

Eradikasi merupakan usaha   pembasmian yang dilakukan 

secara berkelanjutan melalui pemberantasan dan eliminasi 

untuk menghilangkan jenis penyakit tertentu secara permanen 

sehingga tidak menjadi masalah kesehatan warga   secara 

nasional.

Definisi Kusta

Penyakit kusta yaitu   sebuah penyakit infeksi kronis yang di 

sebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dengan menyerang kulit 

dan saraf tepi. Nama lain dari penyakit ini yaitu   Morbus Hansen atau 

Hansen Disease. Penyakit kusta dapat menyerang berbagai macam usia 

dan bukan penyakit keturunan. Diagnosis kusta ditegakkan berdasar  

pemeriksaan kulit dan neurologis pasien 

Diagnosis dini penyakit kusta sangat penting dilakukan untuk mencegah 

penularan dan kecacatan.

Kusta atau lepra disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium 

leprae. Bakteri ini dapat menular dari satu orang ke orang lainnya melalui 

percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yaitu ludah atau dahak, 

yang keluar saat batuk atau bersin.

Seseorang dapat tertular kusta jika terkena percikan droplet dari 

penderitanya secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Dengan kata 

lain, bakteri pemicu  lepra tidak dapat menular kepada orang lain 

dengan mudah. Selain itu, bakteri ini juga membutuhkan waktu lama 

untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita.

2.3.2 Etiologi Kusta

pemicu  dari penyakit kusta yaitu kuman Mycobacterium leprae

yang ditemukan oleh Armauer Hansen pada tahun 1874. Bakteri 

Mycobacterium leprae bersifat tahan asam (BTA) dan aerob, yang tidak 

terbentuk spora serta berbentuk basil. Ukuran bakteri ini  sepanjang 

1-8 micro dan lebarnya 0,2 sampai 0,5 micro, hidup berkelompok dan 

menyebar.

Bakteri pemicu  kusta masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka 

pada permukaan kulit atau melalui droplet yang dihembuskan dari 

saluran pernafasan. Penularan kusta dapat disebabkan oleh percikan basil 

bakteri melalui hidung dan mulut yang umumnya terjadi saat terjadi 

kontak langsung antara host yang rentan dengan pasien kusta dalam 

jangka waktu yang lama. Penularan kusta melalui kontak langsung 

dengan penderita memiliki risiko 5-10 kali lebih tinggi jika salah satu 

anggota keluarga pernah menderita kusta sebelumnya 

2.3.3 Tanda dan Gejala Kusta

Dalam beberapa kasus, gejala kusta baru akan muncul setelah bakteri 

berkembang biak dalam tubuh pengidapnya selama bertahun-tahun. 

Adapun gejala dini kusta yaitu  :

1. Adanya bercak putih atau merah yang hipoestesia

2. Adanya penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi

3. Nilai BTA positif

Adapun gejala dari fase lanjut kusta yaitu   sebagai berikut:

1. Muncul bercak putih seperti panu, biasanya bagian ini  

mati rasa.

2. Ada tonjolan di kulit, kulit menebal, kaku dan kering.

3. Muncul bisul yang tidak sakit di telapak kaki.

4. Ada benjolan atau pembengkakan yang tidak sakit di wajah 

atau daun telinga.

5. Bulu mata dan alis rontok cukup banyak.

6. Tangan dan kaki yang terdampak lemas atau mengalami 

kelumpuhan otot.

7. Saraf di sekitar siku, lutut, samping leher, atau dada 

membengkak.

8. Gangguan penglihatan jika penyakit menyerang saraf wajah.

9. Hidung tersumbat

10. Gampang mimisan

2.3.4 Klasifikasi Kusta

World Health Organization membagi kusta menjadi 2 tipe yaitu 

multi basiler (MB) dan pausi basiler (PB) yang dibedakan berdasar  

lesi kulit dan kerusakan saraf. 


Tingkat Kecacatan Kusta

Kecacatan kusta yaitu   keadaan dimana terjadi keabnormalan dari 

segi fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya beberapa struktur/bagian serta 

fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta. Terjadinya cacat pada 

kusta tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Kecacatan 

akibat penyakit kusta diduga dapat terjadi melalui 2 proses yaitu 


1. Infiltrasi langsung M. Leprae ke susunan saraf tepi dan organ 

(misalnya: mata)

2. Melalui reaksi kusta


Tingkat cacat digunakan untuk menilai kualitas penanganan 

pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Fungsi lain 

dari tingkat cacat yaitu   untuk menilai kualitas penemuan kasus kusta 

dengan melihat proporsi cacat tingkat 2 diantara penderita baru 


2.3.6 Pengobatan Kusta

Kusta yaitu   penyakit yang dapat disembuhkan. Regimen 

pengobatan yang saat ini direkomendasikan terdiri dari tiga obat yaitu 

dapsone, rifampisin dan klofazimin. Kombinasi pengobatan ini disebut 

sebagai multi drug therapy (MDT). Durasi pengobatan kusta yaitu   

enam bulan untuk kasus kusta pausi basiler (PB ) dan 12 bulan untuk 

kusta multi basiler (MB). Multi drug therapy bekerja dengan membunuh 

patogen pemicu  kusta sehingga dapat menyembuhkan pasien. Saat ini 

Kementerian Kesehatan telah menyediakan MDT secara gratis yang telah 

tersedia di puskesmas. Metode pengobatan MDT – WHO yaitu   sebagai 

berikut:


Penentuan Prioritas Masalah dengan USG

Permasalahan terjadi akibat adanya keseniangan (gap) antara harapan dan 

kenyataan sebenarnya. Salah satu metode skoring yang digunakan untuk menyusun 

urutan prioritas masalah yang harus diselesaikan yaitu   analisis Urgency, 

Seriousness, Growth (USG). Metode USG digunakan apabila pihak perencana telah 

siap mengatasi masalah yang ada. sehingga yang menjadi prioritas yaitu   aspek 

yang ada  di warga   dan aspek masalah itu sendiri. Metode ini terdiri dari 

tiga komponen yaitu:

1. Urgency

Aspek urgency dilihat dari tersedianya waktu, mendesak atau tidaknya 

masalah ini  untuk diselesaikan

2. Seriousness

Seberapa serius isu perlu dibahas dan dihubungkan dengan akibat yang 

timbul dengan penundaan pemecahan masalah yang menimbulkan isu


ini  atau akibat yang menimbulkan masalah lain apabila masalah 

pemicu  isu tidak dipecahkan. Aspek seriousness melihat dampak dari 

masalah terhadap produktivitas keria, pengaruhnya terhadap keberhasilan, 

apakah permasalahan ini  membahayakan sistem atau tidak dan 

sebagainya.

3. Growth

Aspek growth melihat apakah masalah ini  dapat berkembang 

sedemikian rupa sehingga sulit dicegah.

Pelaksanaan USG dilakukan dengan memetakan permasalahan ke dalam 

simbol-simbol yang mewakili tiap permasalahan. Kemudian dilakukan 

penentuan tingkat urgensi. keseriusan, dan perkembangan isu dengan 

menentukan skala nilai 1-5. Isu yang memiliki total skor tertinggi 

merupakan isu prioritas.

Adapun langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan USG dalam 

menentukan prioritas masalah yaitu   sebagai berikut:

1. Menuliskan daftar masalah yang didapat

2. Menentukan skor atau nilai yang diberikan pada tiap masalah

Skor akhir akan dirangking berdasar  skor akhir tertinggi, dan yang 

mendapat skor tertinggi menjadi masalah utama yang diprioritaskan. Urutan 

ranking atau prioritas yaitu   nilai tertinggi sampai nilai terendah.



Analisis pemicu  masalah akan dibuat menggunakan diagram pohon 

masalah. Tree Diagram (Diagram Pohon) atau yang biasa disebut pohon 

masalah merupakan sebuah pendekatan atau metode yang digunakan untuk 

identifikasi pemicu  suatu masalah. Diagram pohon dilakukan dengan 

membentuk pola pikir yang lebih terstruktur mengenai komponen sebab akibat 

yang berkaitan dengan masalah yang telah diprioritaskan. Metode ini dapat 

diterapkan apabila sudah dilakukan identifikasi dan penentuan prioritas 

masalah. Diagram berbentuk pohon masalah ini  seperti menciptakan 

hirarki logis dari sebab dan akibat serta memvisualisasikan hubungan antara 

sebab akibat permasalahan ini .

Pohon masalah memiliki tiga bagian, yakni batang, akar, dan cabang. 

Batang pohon menggambarkan masalah utama, akar merupakan pemicu  

masalah inti, sedangkan cabang pohon mewakili dampak. Komponen sebab 

akibat dalam pohon masalah akan mempengaruhi desain intervensi yang 

mungkin dilakukan.


Kegiatan magang dilaksanakan di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 

yang beralamat di Jl. Ahmad Yani No.118, Kota Surabaya. Kegiatan magang 

dilakukan di Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan 

Provinsi Jawa Timur.

3.2 Waktu Pelaksanaan 

Kegiatan magang dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu mulai tanggal 02

Oktober 2023 hingga 31 Desember 2023. Kegiatan ini dilaksanakan mulai hari 

Senin sampai Jumat mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Adapun 

jadwal magang di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu   sebagai 

berikut:


Metode yang digunakan dalam kegiatan magang di Dinas Kesehatan 

Provinsi Jawa Timur, meliputi:

1. Pengamatan (Observasi)

Peserta magang melakukan pengamatan tentang pelaksanaan suatu 

program kegiatan yang dilakukan di bidang pencegahan dan 

pengendalian penyakit (P2P).

2. Partisipasi Aktif

Peserta magang diikutsertakan dan terlibat langsung dalam suatu 

kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa 

Timur. 

3. Wawancara

Wawancara dan diskusi dilakukan terhadap para pemegang program

yang ada di seksi pencegahan dan penanggulangan penyakit menular

(P2PM) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur untuk memperoleh 

penjelasan mengenai penyakit kusta di Jawa Timur.

4. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan untuk mempelajari permasalahan penyakit 

kusta melalui dokumen hasil pencatatan dan pelaporan program 

pengendalian penyakit kusta.

5. Studei Literatur

Studi literatur digunakan untuk menambah referensi dengan melakuan 

penelusuran materi melalui buku dan internet.


Jenis data yang dikumpulkan selama kegiatan magang di Dinas Kesehatan 

Provinsi Jawa Timur terkait dengan Program Pencegahan dan Pengendalian 

Penyakit Kusta, meliputi:

1. Data primer yaitu   data yang diperoleh dari wawancara dengan 

pengelola program P2PM kusta Dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur 

untuk mengetahui gambaran kegiatan yang telah dilakukan oleh Dinas 

Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan permasalahan yang dialami dalam 

pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit kusta.

2. Data Sekunder berupa profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan 

data tahunan dari program P2PM Kusta.


HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

a) Visi dan Misi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

1. Visi

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu dari 

penyelenggara pembangunan kesehatan mempunyai visi: ”warga   

Jawa Timur Mandiri untuk Hidup Sehat”. warga   yang mandiri 

untuk hidup sehat yaitu   suatu kondisi dimana warga   Jawa Timur 

menyadari, mau, dan mampu untuk mengenali, mencegah dan mengatasi 

permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari 

gangguan kesehatan, baik yang disebabkan sebab  penyakit termasuk 

gangguan kesehatan akibat bencana,maupun lingkungan dan perilaku 

yang tidak mendukung untuk hidup sehat.

2. Misi 

berdasar  Visi Dinas Kesehatan Provinsi, maka misi pembangunan 

kesehatan di Jawa Timur yaitu   : 

a. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan.

b. Mendorong terwujudnya kemandirian warga   untuk hidup 

sehat.

c. Mewujudkan, memelihara dan meningkatkan pelayanan 

kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau.

d. Meningkatkan usaha   pengendalian penyakit dan 

penanggulangan masalah kesehatan.

e. Meningkatkan dan mendayagunakan sumberdaya kesehatan.

B) Tujuan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dalam mewujudkan misinya 

menetapkan tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mewujudkan misi “Menggerakkan pembangunan 

berwawasan kesehatan”, maka ditetapkan tujuan: Mewujudkan


mutu lingkungan yang lebih sehat, pengembangan sistem 

kesehatan lingkungan yang lebih sehat, pengembangan system 

kesehatan lingkungan kewilayahan, serta menggerakkan 

pembangunan berwawasan kesehatan.

b. Untuk mewujudkan misi “Mendorong terwujudnya kemandirian 

warga   untuk hidup sehat”, maka ditetapkan tujuan: 

Memberdayakan individu, keluarga, dan warga   agar mampu 

menumbuhkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta 

mengembangkan usaha   Kesehatan Berbasis warga   

(UKBM).

c. Untuk mewujudkan misi “Mewujudkan, memelihara, dan 

meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan 

terjangkau”, maka ditetapkan tujuan:

• Meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayan 

kesehatan melalui Rumah Sakit, Balai Kesehatan, 

Puskesmas, dan Jaringannya.

• Meningkatkan kesadaran gizi keluarga dan usaha   

meningkatkan status gizi warga  . 

• Menjamin ketersediaan, pemerataan, pemanfaatan, mutu, 

keterjangkauan obat, dan perbekalan kesehatan serta 

pembinaan mutu makanan.

• Mengembangkan kebijakan, sistem pembiayaan, dan 

manajemen pembangunan kesehatan.

d. Untuk mewujudkan misi “Meningkatkan usaha   pengendalian 

penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan”, maka 

ditetapkan tujuan: Mencegah menurunkan dan mengendalikan 

penyakit menular dan tidak menular serta masalah kesehatan 

lainnya.

e. Untuk mewujudkan misi “Meningkatkan dan mendayagunakan 

sumber daya kesehatan”, maka ditetapkan tujuan: Meningkatkan jumlah, jenis, mutu, dan penyebaran tenaga kesehatan sesuai 

standar



Mata Kuliah Skrining

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronik menular yang 

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini 

sebagian besar menyerang paru-paru dan menular melalui droplet. 

Indonesia berada pada peringkat kedua dengan jumlah penderita TB 

terbanyak di dunia. Secara global diperkirakan 10,6 juta (range 9,8-11,3 

juta) orang sakit TBC. Jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia pada tahun 

2021 yaitu   sebesar 969.000 atau 354 kasus per 100.000 warga   

dengan kematian akibat TBC diperkirakan sebesar 144.000 atau 52 

kematian per 100.000 warga  . Angka ini naik 17% dari tahun 2020, 

yaitu sebanyak 824.000 kasus (Kemenkes RI, 2022). Menurut data Badan 

Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur tahun 2022, jumlah kasus TB di 

provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 79.423 kasus, dengan rincian jumlah

kasus tertinggi pada wilayah kota Surabaya yang mencapai 10.628 

kasus, disusul oleh Jember yang mencapai 5.271 kasus, Sidoarjo 

sebanyak 5.174 kasus, Pasuruan sebanyak 3.447 kasus, Gresik sebanyak 

5.179, dan Banyuwangi sebanyak 3.012 kasus. Angka penemuan TBC di 

Kota Surabaya mencapai 90% pada tahun 2022 (BPS Jawa Timur, 2022). 

berdasar  data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya, jumlah kasus TB 

di Puskesmas Wonokromo sebesar 121 kasus pada tahun 2023.

Tujuan uji skrining yaitu   deteksi dini penyakit tanpa gejala atau 

dengan gejala tidak khas terhadap orang-orang yang tampak sehat, tetapi 

menderita penyakit yaitu orang yang mempunyai risiko tinggi untuk 

terkena penyakit (population at risk). Sasaran skrining dalam project ini 

yaitu   warga   berusia ≥15 tahun yang belum terdiagnosis TB paru 

dengan TCM positif di wilayah kerja Puskesmas Wonokromo, 

Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya. Untuk memudahkan 

pengambilan sputum dahak maka subjek skrining dipilih yang 

mengalami batuk atau batuk berdahak, termasuk kontak serumah dengan 

penderita TB.

berdasar  hasil analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui 

bahwa prevalensi suspek TB Paru di Puskesmas Wonokromo sebesar 

34,74%. Penegakan diagnosis TB Paru di Puskesmas Wonokromo telah 

menggunakan tes cepat molekuler (TCM) sehingga dapat meningkatkan 

validitas serta mempercepat hasil pemeriksaan diagnosis. Dengan hal 

ini  diharapkan orang dengan hasil diagnosis TB Paru positif 

mendapatkan pengobatan dengan segera. Dalam laporan ini, peneliti 

tidak dapat menguji validitas alat skrining yang digunakan dengan 

menghitung sensitivitas dan spesifisitas. Hal ini terjadi sebab   pada 

pelaksanaan skrining TB Paru, hanya orang dengan hasil skrining 

“Terduga TB” yang akan diteruskan mendapatkan layanan tes diagnostik 

menggunakan gold standar yang telah ditetapkan (TCM).

Imunisasi atau kekebalan tubuh merupakan salah satu tujuan utama 

dalam pemberian vaksinasi, yang pada dasarnya kekebalan tubuh dapat 

dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara 

alami maupun buatan, maka dari itu diperlukannya pelaksanaan 

imunisasi sebagai usaha   bentuk pencegahan terhadap penyakit yang 

berpengaruh terhadap status gizi pada anak (Azizah et al., 2015). 

Program imunisasi termasuk dalam usaha   untuk menurunkan angka 

kesakitan, kecacatan, dan kematian pada bayi dan balita.

Imunisasi dasar lengkap pada bayi meliputi HB0 (hepatitis B), BCG 

(bacillus Calmette-Guerin), IPV (inactive polio vaccin), DPT/HB/Hib 

(Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, Haemophilus influenzae type B) 

dan Campak (measles Rubella). Seorang bayi dikatakan telah 

memperoleh imunisasi dasar lengkap ketika bayi ini  mendapatkan 

imunisasi Hepatitis B, satu dosis imunisasi BCG, tiga dosis imunisasi 

DPT-HB/DPT-HB-Hib, empat dosis imunisasi polio, dan satu dosis 

imunisasi campak (Kemenkes, 2021-Profil). Data cakupan imunisasi 

dasar pada bayi di Kota Surabaya tahun 2022 sebesar 99,5% dengan 

rincian imunisasi HB-0 sebesar 100,8%, BCG sebesar 99,9%, DPT-HB-

3 sebesar 98,1%, Polio-4 sebesar 98,5%, dan imunisasi campak rubella 

sebesar 99,2%.

Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) yaitu   tercapainya 

imunisasi dasar secara lengkap pada bayi (0-11 bulan). Desa UCI 

merupakan gambaran desa atau kelurahan dengan ≥ 80% jumlah bayi 

yang ada di desa ini  telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap 

dalam waktu satu tahun. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan 

suatu wilayah tertentu,berarti dalam wilayah ini  tergambarkan 

besarnya tingkat kekebalan warga   atau bayi (herd immunity) 

terhadap penularan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi 

(PD3I). berdasar  data Profil Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2020, 

cakupan Universal Child Immunization di Kota Surabaya, yaitu sebesar 

98,7% dimana masih ada  2 wilayah kerja puskesmas yang belum 

mencapai status UCI. Kedua puskesmas ini  yaitu Puskesmas 

Gading dan Tembok Dukuh.

Metode penelitian yang digunakan yaitu melalui wawancara secara 

langsung dengan pemegang program imunisasi Puskesmas Gading dan 

observasi serta data sekunder yang didapatkan dari pencatatan dan 

pelaporan Puskesmas Gading, Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dan 

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai pendukung dalam analisis 

penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan instrumen pemantauan 

dan evaluasi program yang bersumber dari modifikasi instrumen 

supervisi suportif Kementerian Kesehatan tahun 2021. berdasar  hasil 

penilaian menggunakan instrumen supervisi suportif dapat diketahui 

bahwa kategori untuk program imunisasi dasar lengkap di Puskesmas 

Gading yaitu   cukup dengan skor sebesar 79,82%.

Dari hasil pemantauan dan evaluasi program imunisasi dasar 

lengkap di Puskesmas Gading Kota Surabaya, sebagai berikut:

1. Pemantauan berdasar  Input

Hasil supervisi suportif program imunisasi dasar lengkap di 

Puskesmas Gading Kota Surabaya pada bagian input ada  

beberapa bagian yang memerlukan perbaikan. Terkait dengan 

sarana dan prasarana pelayanan imunisasi dalam ruangan, kondisi 

ruangan yang jadi satu lokasi dengan poli KIA memiliki ventilasi 

yang terbatas, serta tata letak meja imunisasi yang kurang 

memadai. Tetapi, telah tersedia tempat mencuci tangan dengan air 

mengalir dan sabun serta hand sanitizer. Terkait dengan sumber 

daya manusia, diperlukan penambahan jumlah personel imunisasi 

untuk meningkatkan pelayanan imunisasi kepada warga   dan 

mengurangi beban kerja masing-masing personel.

2. Pemantauan berdasar  Proses

Hasil supervisi suportif program imunisasi dasar lengkap di 

Puskesmas Gading pada bagian proses hampir seluruh komponen 

telah memenuhi standar yaitu cold chain, vaksin dan logistik, 

pelayanan vaksinasi, manajemen, dan pencatatan dan pelaporan. 

Komponen yang belum memenuhi standar yaitu adanya SOP yang 

terpasang di ruangan, seperti SOP pemberian imunisasi, 

kegawatdaruratan, dan penangan limbah medis. Selain itu, belum 

tercapainya UCI di wilayah kerja Puskesmas Gading disebabkan 

oleh masih rendahnya kesadaran dan pengetahuan warga   

mengenai imunisasi.

4.2.3 Mata Kuliah Manajemen Data Epidemiologi

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan beban kesehatan utama 

di negara-negara berkembang dan negara industri. berdasar  laporan 

WHO, di kawasan Asia Tenggara paling sering ditemui lima PTM 

dengan tingkat kesakitan dan kematian yang sangat tinggi, beberapa di 

antaranya yaitu   penyakit jantung (kardiovaskuler), DM, kanker, 

penyakit pernafasan obstruksi kronik dan penyakit sebab   kecelakaan. 

Kebanyakan PTM dikategorikan sebagai penyakit degeneratif dan 

cenderung diderita oleh orang yang berusia lanjut. Pada tahun 2021, 

World Health Organization (WHO) menyebutkan penyakit tidak menular 

menyebabkan 41 juta kematian setiap tahunnya, setara dengan 71% dari 

seluruh kematian di seluruh dunia. WHO (2021) menyebutkan bahwa 

setiap tahunnya lebih dari 15 juta orang meninggal akibat penyakit tidak 

menular pada rentang usia antara 30 - 69 tahun.

Skrining kesehatan secara rutin merupakan usaha   promotif preventif 

yang bertujuan untuk mendorong warga   mengenali faktor risiko 

PTM terkait perilaku serta melakukan usaha   pengendalian segera di 

tingkat individu, keluarga dan warga  . Kegiatan deteksi dini 

dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda faktor risiko sebelum timbul 

gejala, sehingga pengobatan dapat dilakukan lebih awal dan angka

kesakitan serta kematian semakin berkurang. Kegiatan skrining PTM 

dilakukan pada hari Jumat, 3 November 2023 bertepatan dengan kegiatan 

Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang diselenggarakan oleh Dinas 

Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Kegiatan skrining ini diikuti oleh 64 

peserta yang merupakan karyawan dinas kesehatan dan juga peserta 

umum yang datang.

berdasar  skrining yang telah dilakukan, sebanyak 42 orang yang 

menderita obesitas, tidak ada  faktor risiko yang menunjukkan 

hubungan signifikan dengan kejadian obesitas. ada  49 orang yang 

melakukan pemeriksaan obesitas sentral dan jenis kelamin memiliki 

hubungan yang signifikan. Sebanyak 17 orang yang menderita hipertensi 

ada  faktor risiko yang menunjukkan hubungan signifikan dengan 

kejadian hipertensi yaitu   faktor jenis kelamin. ada  7 orang yang 

menderita hiperglikemia, tidak ada  faktor risiko yang menunjukkan 

hubungan signifikan dengan kejadian hiperglikemia. ada  30 orang 

dengan hasil pemeriksaan hiperkolesterolemia tidak ada  faktor 

risiko yang menunjukkan hubungan signifikan dengan kejadian 

hiperkolesterolemia. ada  5 orang yang menderita obesitas dan 

obesitas sentral dan diartikan ada  hubungan antara obesitas dengan 

obesitas sentral. Diketahui bahwa dari 49 orang yang menderita obesitas 

sentral, ada  faktor risiko yang menunjukkan hubungan yang 

signifikan dengan kejadian obesitas sentral, yaitu hipertensi. Diketahui 

dari 17 orang yang menderita hipertensi, tidak ada  faktor risiko yang 

menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi. 

Tidak ada  hubungan antara hubungan antara hiperglikemia dengan 

hiperkolesterolemia.



A. QGIS

Bayi dengan BBLR merupakan salah satu pemicu  kematian bayi 

Neonatal berdasar  data yang menunjukkan kasus terjadinya BBLR 

memungkinkan terjadinya kematian neonatal. Penelitian ini 

menggunakan metode deskriptif analitik spasial dengan menggunakan 

data sekunder yang bersumber dari data Profil Kesehatan Jawa Timur. 

Pengolahan data menggunakan peta bivariat melalui aplikasi QGIS 

3.32.3. Selain itu, untuk mendukung hipotesis dilakukan analisis statistik 

menggunakan SPSS dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji 

korelasi Pearson. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan BBLR akan 

diikuti dengan meningkatnya kasus kematian neonatal. ada  

hubungan yang signifikan antara kematian neonatal dengan BBLR di 

Provinsi Jawa Timur tahun 2020 (p value = 0,013 < 0,05); tahun 2021 (p 

value = 0,017 < 0,05); tahun 2022 (p value = 0,000 < 0,005). Diperlukan 

identifikasi terhadap faktor risiko yang berpotensi menyebabkan BBLR 

untuk menurunkan insiden kejadian berat lahir rendah, sehingga 

diharapkan usaha   penurunan angka BBLR dapat menjadi langkah untuk 

mengurangi angka kematian neonatal.

B. EpiMap

Distribusi Spasial Cakupan Imunisasi BCG Pada Bayi Terhadap 

Kejadian Tuberkulosis Anak di Provinsi Jawa Timur Tahun 2020-

2022

Tuberkulosis (TB) yaitu   penyakit menular pada manusia yang 

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan sering terjadi 

di seluruh dunia, termasuk Indonesia, negara tropis dengan jumlah 

warga   dengan jumlah warga   yang tinggi. Pada tahun 2021, 

Provinsi Jawa Timur berada di peringkat 4 jumlah kasus tuberkulosis 

anak tertinggi di Indonesia dengan ditemukan sebanyak 2.779 kasus 

tuberkulosis pada anak usia 0-14 tahun dan tingkat cakupan penemuan

kasus sebesar 24%. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif 

analitik dengan desain studi korelasi. Studi ini menggunakan data 

sekunder yang bersumber dari data Profil Kesehatan Jawa Timur tahun 

2020, 2021, dan 2022. Populasi dalam penelitian ini yaitu   38 kabupaten 

atau kota di Provinsi Jawa Timur. Variabel terikat dalam penelitian ini 

yaitu   kejadian tuberkulosis anak, sedangkan variabel bebas 

penelitiannya yaitu   cakupan imunisasi BCG pada bayi di Jawa Timur 

pada tahun 2022 hingga 2020. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan 

kasus tuberkulosis anak di Jawa Timur sejalan dengan meningkatnya 

cakupan imunisasi BCG pada bayi. Hasil analisis menunjukkan tidak 

ada  hubungan yang signifikan antara cakupan imunisasi BCG pada 

bayi dengan kejadian tuberkulosis pada anak di Provinsi Jawa Timur 

tahun 2020 (p value = 0,646 > 0,05); tahun 2021 (p value = 0,395 > 0,05), 

tahun 2022 (p value = 0,371 > 0,005).



berdasar  grafik di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2021, 

Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang penderita baru kusta 

tertinggi di Indonesia, yakni sebanyak 1.696 kasus baru dan disusul oleh 

Provinsi Jawa Barat, Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara.

berdasar  gambar di atas, menunjukkan bahwa 

distribusi kasus kusta pada tahun 2023 didominasi oleh 

orang dewasa (usia >14 tahun) yakni sebanyak 1.484

penderita (95%). Sedangkan untuk kasus kusta pada anak (0-

14 tahun) sebanyak 80 penderita (5%).

Grafik di atas menunjukkan bahwa distribusi 

penderita kusta paling tinggi pada usia dewasa (>14 tahun) 

dan anak (0-14 tahun) ada  di Kabupaten Sumenep

dimana masing-masing berjumlah 169 penderita kusta 

dewasa dan 13 penderita kusta anak.


berdasar  grafik di atas menunjukkan bahwa 

distribusi penderita penyakit kusta berdasar  tipe kusta 

didominasi oleh kusta tipe MB sebanyak 1.342 kasus dan 

tipe PB sebanyak 72 kasus.



Diagram di atas menunjukkan bahwa penderita kusta 

di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2023 didominasi oleh 

penderita tanpa cacat yaitu sebanyak 1.164 kasus (78%).



Grafik di atas menunjukkan bahwa distribusi kasus 

kecacatan kusta tingkat 2 di Provinsi Jawa Timur pada tahun 

2023 paling banyak terjadi di Kabupaten Jember yakni 

sebanyak 27 kasus, kemudian disusul oleh Kabupaten 

Lumajang dan Kabupaten Pamekasan yang masing-masing 

memiliki 12 kasus serta ada  Kabupaten Pasuruan 

sebanyak 10 kasus dan Kabupaten Gresik sebanyak 6 kasus.



Pada tahun 2022 prevalensi penyakit kusta di Provinsi Jawa 

Timur yaitu   sebesar 0,5 yang artinya Provinsi Jawa Timur telah 

mencapai status eliminasi kusta. Suatu wilayah dikatakan sudah 

mencapai status eliminasi kusta apabila prevalensi rate kusta di 

wilayah ini  <1 per 10.000 warga  . Tetapi, hingga tahun 

2022 masih ada  5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur 

yang belum eliminasi kusta, yaitu Kabupaten Sampang, 

Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten 

Bangkalan, dan Kabupaten Tuban.



berdasar  grafik di atas, dapat diketahui bahwa 

terjadi penurunan jumlah kasus kusta terdaftar di Provinsi 

Jawa Timur dari tahun 2019 hingga 2022. Tetapi, pada tahun 

2022 terjadi kenaikan kasus terdaftar kusta sebanyak 484 

kasus menjadi 2.209 kasus terdaftar serta mengalami 

kenaikan hingga 2023 menjadi 2.540 kasus. Selain itu pada 

tahun 2019 ke 2020 ada  ada  penurunan signifikan 

kasus terdaftar kusta yaitu sebanyak 1.055 kasus menjadi 

2.109 kasus terdaftar.



berdasar  grafik diatas dapat diketahui bahwa 

angka kasus baru dalam populasi atau new case detection 

rate (NCDR) kusta cenderung mengalami penurunan dari 

tahun ke tahun. Tetapi ada  kenaikan new case detection 

rate pada tahun 2021 ke 2022. Sejak tahun 2020, nilai new 

case detection rate kusta di Provinsi Jawa Timur telah 

berhasil mencapai angka <5/100.000 warga  . Pada tahun 

2023, angka NCDR kusta menjadi 3,81 per 100.000 

warga   turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,30.


berdasar  grafik di atas dapat diketahui bahwa 

angka kesembuhan penderita kusta atau penderita yang telah 

selesai berobat (release from treatment) di Jawa Timur 

cenderung fluktuatif dari tahun 2018 hingga 2022. Pada 

tahun 2018, angka kesembuhan penderita kusta masih di 

bawah target yaitu di bawah 90%. Selain itu, dapat dilihat 

bahwa angka kesembuhan penderita kusta tipe PB lebih 

besar daripada tipe MB. 

4.3.3 Capaian Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta di 

Provinsi Jawa Timur Tahun 2023

Untuk menilai program secara keseluruhan diperlukan beberapa 

indikator. Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini dipergunakan untuk 

dasar perencanaan tahun berikutnya. berdasar  Permenkes Nomor 11 

Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta, ada  beberapa indikator 

yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilam program


pencegahan dan pengendalian penyakit kusta. Indikator program Kusta 

merupakan alat ukur kinerja dan kemajuan program (marker of progress) 

serta untuk mempermudah analisis data. Adapun target yang harus 

dicapai pada program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di 

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu   sebagai berikut:

1. Penderita Kusta Terdaftar dan Angka Penderita Kusta Terdaftar 

(Prevalence and Prevalence Rate = PR)

Jumlah kasus terdaftar dan angka penyakit prevalensi kusta 

merupakan jumlah penderita kusta PB dan MB terdaftar atau yang 

mendapatkan pengobatan pada saat tertentu per 10.000 warga  . 

Angka ini menunjukkan besarnya masalah di suatu daerah, 

menentukan beban kerja, dan sebagai alat evaluasi. Target program 

penanggulangan kusta yaitu   angka penderita kusta terdaftar < 1 per 

10.000 warga  .

2. Angka Penemuan Penderita Kusta Baru (New Case Detection Rate 

= CDR)

Jumlah Penderita Kusta yang baru ditemukan pada periode 1 (satu) 

tahun per 100.000 warga  , dengan target program CDR <5 per 

100.000 warga  . Merupakan indikator yang bermanfaat dalam 

menetapkan besarnya masalah dan transmisi yang sedang 

berlangsung. Selain itu, juga dipergunakan untuk menghitung 

jumlah kebutuhan obat serta menunjukkan aktivitas program.

3. Proporsi Penderita Kusta Baru dengan Cacat Tingkat 2

Jumlah Penderita Kusta cacat tingkat 2 yang ditemukan di antara 

Penderita Kusta baru pada periode 1 (satu) tahun. Angka ini 

bermanfaat untuk menunjukkan keterlambatan antara kejadian 

penyakit dan penegakkan diagnosa (keterlambatan Penderita Kusta 

mencari pengobatan atau keterlambatan petugas dalam penemuan 

Penderita Kusta). Target proporsi Penderita Kusta baru dengan cacat 

tingkat 2 yaitu   < 5%.

4. Proporsi Penderita Kusta Baru Pada Anak

Proporsi Penderita Kusta baru pada anak usia <15 tahun dengan 

target <5%. Indikator ini  dapat digunakan untuk melihat 

keadaan penularan saat ini dan memperkirakan kebutuhan obat.

5. Jumlah Penderita Kusta Baru Pada Anak dengan Cacat Tingkat 2

Jumlah Penderita Kusta baru pada anak (< 15 tahun) yang 

mengalami cacat tingkat 2. Indikator ini  mengindikasikan 

kualitas penemuan Penderita Kusta, kualitas pelayanan Kusta, serta 

merefleksikan kesadaran komunitas. Adanya Penderita Kusta baru 

pada anak dengan cacat tingkat 2 mengindikasikan keterlambatan 

penemuan Penderita Kusta dan transmisi infeksi yang masih 

berlangsung di warga  . Target yang diharapkan yaitu   tidak ada 

Penderita Kusta baru pada anak dengan cacat tingkat 2 pada tahun 

2020.

6. Angka Kesembuhan atau Release From Treatment (RFT) Rate

Angka ini sangat penting dalam menilai kualitas tata laksana 

penderita dan kepatuhan Penderita Kusta dalam minum obat.

a) RFT Rate MB Jumlah Penderita Kusta baru MB dari periode 

kohort 1 (satu) tahun yang sama yang menyelesaikan 

pengobatan tepat waktu (12 dosis dalam 12-18 bulan) 

dinyatakan dalam persentase.

b) RFT Rate PB 

Jumlah kasus baru PB dari periode kohort 1 tahun yang sama 

yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu (6 dosis dalam 6-9 

bulan) dinyatakan dalam persentase.

4.3.4 Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta di 

Provinsi Jawa Timur Tahun 2023

Beberapa program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta 

di Jawa Timur yaitu: 

1. Sosialisasi


a) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi program 

penanggulangan kusta kepada para pemangku kepentingan di 

daerah kabupaten/kota dan lintas sektor terkait.

b) Penyebarluasan informasi tentang kusta untuk menghilangkan 

stigma dan diskriminasi kusta.

c) memberi   informasi tentang tanda dan gejala dini kusta, serta 

teknis kegiatan penanggulangan kusta. Informasi ini  dapat 

berupa pedoman, petunjuk teknis, leaflet, poster, lembar balik, 

spanduk, banner, penyuluhan, dan lain-lain.

2. Penemuan Kasus dan Deteksi Dini

a) Penemuan penderita kusta yang dapat dilakukan melalui 

penemuan penderita kusta secara aktif, pasif, intensif, dan 

masif, berbasis keluarga atau warga  .

b) Penemuan penderita kusta melalui kolaborasi dengan Orang 

yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), kader kesehatan, 

tokoh agama, tokoh warga   dan lintas sektor lainnya dalam 

menemukan bercak pada kulit.

c) Rapid Village Survey

3. Pengobatan

Pengobatan kusta dilakukan dengan pemberian Multi Drug Therapy 

(MDT) untuk kusta tipe PB maupun MB. MDT yaitu   kombinasi 

dua atau lebih obat anti Kusta, salah satunya Rifampisin sebagai anti 

Kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti Kusta lain 

bersifat bakteriostatik. MDT tersedia dalam bentuk 4 macam blister 

MDT sesuai dengan kelompok umur (PB dewasa, MB dewasa, PB 

anak dan MB anak). Tata cara minum MDT yaitu   dosis hari 

pertama pada setiap blister MDT diminum di depan petugas saat 

penderita kusta datang atau bertemu penderita kusta, selanjutnya 

diminum di rumah dengan pengawasan keluarga. Pengobatan kusta 

dengan MDT bertujuan untuk: 

a) Memutuskan mata rantai penularan b) Mencegah resistensi obat meningkatkan keteraturan 

berobat 

c) Mencegah terjadinya disabilitas atau mencegah 

bertambahnya disabilitas yang sudah ada sebelum 

pengobatan

4. Rehabilitasi

Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial ekonomi dilakukan untuk 

meningkatkan kualitas hidup Orang Yang Pernah Mengalami Kusta 

(OYPMK) melalui pendekatan yang terpadu dan terintegrasi. 

Beberapa contoh kegiatannya yaitu:

a) Pembentukan Desa Sahabat Kusta, Cinta Keluarga, dan 

Kelompok Sobat Kusta yang berbasis warga  .

b) Kelompok perawatan diri (KPD)

Kelompok Perawatan Diri (KPD) yaitu   salah satu program 

penanggulangan penyakit kusta yang bertujuan untuk 

mencegah dan mengurangi kecacatan serta mencari solusi 

terhadap masalah yang dihadapi setiap hari oleh 

penderita kusta akibat penyakit ini . Tolak ukur 

keberhasilan penyelenggaraan sebuah KPD, yakni 

sehubungan dengan Prevention of Disabilities (POD). Peran 

dari KPD dalam usaha   pencegahan peningkatan kecacatan di 

antaranya membantu dalam memecahkan masalah atau 

peroalan baik fisik, psikis, sosial maupun ekonomi yang 

diakibatkan sebab   kusta yang diderita, memberi   anjuran 

untuk menggunakan bahan yang dapat diperleh dengan mudah 

di lingkungan sekitar untuk melakukan perawatan diri, 

melakukan pemantauan secara efektif dan efisien kepada 

penderita, serta melakukan rujukan sedini mungkin kepada 

penderita kusta.

c) Rehabilitasi medis pada kasus kusta dini dengan lebih bersifat 

pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, usaha   rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan 

kemampuan fungsi yang tersisa. usaha   rehabilitasi medis 

yang dapat dilakukan yaitu pemberian layanan fisioterapi, 

ortotik prostetik, dan okupasi terapi.

5. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi dalam program pencegahan dan 

pengendalian kusta melibatkan pengukuran keberhasilan program 

ini  dan menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada 

pasien kusta. usaha   yang dilakukan dapat berupa melakukan 

verifikasi data yang dilaporkan oleh Puskesmas, rumah sakit serta 

Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan juga memberi   feedback 

terkait dengan program yang telah dilakukan.

4.3.5 Identifikasi Masalah 

Masalah yang teridentifikasi dalam program pencegahan dan 

pengendalian penyakit kusta di Jawa Timur diperoleh melalui 

wawancara dengan pemegang program kusta di Dinas Kesehatan 

Provinsi Jawa Timur dan studi dokumen. Adapun masalah ini  

meliputi: 

1. ada  5 kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi 

kusta.

2. Angka penemuan kasus baru kusta (new case detection rate) 

masih tinggi yaitu sebesar 5,3% (>5%).

3. Proporsi kasus kusta pada anak (usia 0-14 tahun) masih tinggi 

yaitu sebesar 5,4% (>5%).

4. Cakupan pemeriksaan kontak erat belum optimal.

5. Belum semua kabupaten/kota melakukan POPM (Pemberian Obat 

Pencegahan secara Massal).

6. Distribusi logistik (obat) terlambat

7. Ketepatan dan validitas pengisian laporan yang masih kurang

Setelah tahap identifikasi masalah, didapatkan tujuh masalah utama 

dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Jawa 

Timur yang akan diselesaikan. Penentuan prioritas masalah 

menggunakan metode USG, yakni Urgency, Seriousness, Growth

dengan rentar skor 1 hingga 5. 

Berikut ini yaitu   hasil skoring dari ketujuh masalah utama dalam 

kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Jawa Timur.


berdasar  tabel di atas, dapat diperoleh informasi mengenai 

prioritas masalah utama dalam program pencegahan dan pengendalian 

penyakit kusta dengan menggunakan metode USG. Masalah utama 

dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Jawa 

Timur yaitu   ada  5 kabupaten/kota yang belum mencapai status 

eliminasi kusta.


Identifikasi pemicu  masalah dianalisis menggunakan metode 

pohon akar pemicu  masalah. Berikut merupakan hasil dari identifikasi 

akar pemicu  masalah dalam program pencegahan dan pengendalian 

penyakit kusta di Jawa Timur berdasar  prioritas masalah yang telah 

ditetapkan:



4.4.1 Situasi Kasus Kusta di Indonesia

Sejak tahun 2000, Indonesia telah dinyatakan mencapai status 

eliminasi kusta dengan angka prevalensi kusta tingkat nasional sebesar 

0,9 per 10.000 warga  . Angka prevalensi kusta di Indonesia pada 

tahun 2021 sebesar 0,45 kasus per 10.000 warga   dan angka penemuan 

kasus baru sebesar 4,03 kasus per 100.000 warga  . Tren Angka 

kejadian kusta selama sepuluh tahun terakhir terlihat tren rasio prevalensi 

angka penemuan kasus kusta baru relatif menurun. Tetapi, pada tahun 

2021 dilaporkan bahwa Jawa Timur menjadi penyumbang kasus kusta 

terbanyak di Indonesia 1.696 kasus 

4.4.2 Pola Penyakit Kusta Provinsi Jawa Timur Tahun 2023

1. Distribusi Kasus Kusta berdasar  Orang

Distribusi kasus kusta berdasar  orang dapat dilihat dari 

segi usia dan tipe kusta. berdasar  usia, penderita kusta terbagi 

menjadi 2 yaitu anak (0-14 tahun) dan dewasa (>14 tahun). 

Distribusi kasus kusta berdasar  orang dilakukan untuk 

mengetahui pada kelompok usia mana kusta paling banyak diderita. 

Sedangkan berdasar  tipe kusta, dibedakan menjadi 2 yaitu kusta 

tipe Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB).

berdasar  laporan seksi P2P Kuta Dinas Kesehatan 

Provinsi Jawa Timur tahun 2023, diketahui bahwa kasus kusta 

paling banyak terjadi pada usia dewasa yakni sebesar 1.484 kasus.

Tetapi, persentase kasus kusta pada anak masih cukup tinggi yaitu 

sebesar 5,47%. Ditemukannya kasus kusta pada anak-anak 

merupakan indikator adanya infeksi kusta di suatu komunitas yang 

berarti bahwa masih kurangnya survailans layanan kesehatan dasar 

dan rendahnya temuan kasus aktif penyakit kusta di warga   



Distribusi kasus kusta berdasar  tipe kusta dilakukan 

dengan tujuan untuk mengetahui tipe kusta yang paling bayak terjadi 

di warga   serta sebagai bahan untuk perencaan pengobatan. 

Dari laporan seksi P2P Kuta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 

diketahui bahwa sebagian besar tipe kusta yang ada di Jawa Timur 

yaitu   tipe kusta Multi Basiler (MB). Tingginya proporsi pasien 

baru kusta tipe MB dapat disebabkan pasien kusta tipe MB memiliki 

gejala lanjut yang lebih tampak dibandingkan tipe Pausibasiler (PB) 

sehingga pasien berobat, serta dapat disebabkan pemberian MDT 

yang terlambat atau tidak teratur sehingga banyak terjadi penularan 

dan angka kasus MB baru tinggi (Widiatma and Prakoeswa, 2019).

2. Distribusi Kasus Kusta berdasar  Tempat

Distribusi kasus kusta berdasar  tempat dapat dilihat dari

angka prevalensi pada tiap kabupaten/kota. berdasar  hasil 

laporan analisa situasi program pemberantasan kusta Dinas 

Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2023 (data hingga triwulan 

3), dapat diketahui bahwa ada  6 kabupaten/kota yang memiliki 

angka prevalensi >1 per 100.000 warga  . Keenam kabupaten/kota 

ini  yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lumajang, 

Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, 

dan Kabupaten Tuban. Angka ini mengalami kenaikan 

dibandingkan tahun 2022, dimana pada tahun ini  hanya 

ada  5 kabupaten/kota yang belum eliminasi kusta yaitu 

Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, 

Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Tuban. Dalam peta ini  

dapat dilihat bahwa seluruh kabupaten yang beraa di Pulau Madura 

masih memiliki prevalensi kusta >1 per 100.000 warga  , sehingga 

perlu dilakukan usaha   lebih untuk menurunkan angka prevalensi 

ini . 


3. Distribusi Kasus Kusta berdasar  Waktu

Distribusi kasus kusta berdasar  waktu dapat dilihat dari 

jumlah penderita terdaftar selama lima tahu berturut-turut, yakni 

mulai tahun 2019 hingga tahun 2023. Hal ini bertujuan untuk 

mengetahui tren penyakit kusta di Jawa Timur dan untuk 

mengetahui jumlah penderita kusta yang terdaftar pada tahun 

sebelumnya yang masih dalam tahap pengobatan serta penderita 

baru yang terdaftar pada tahu ini . berdasar  laporan analisa 

situasi program pemberantasan penyakit kusta Dinas Kesehatan 

Provinsi Jawa Timur dapat diketahui bahwa pada tahun 2019 hingga 

2021 terjadi penurunan jumlah penderita kusta yang terdaftar, tetapi 

mulai tahun 2022 hingga 2023 ada  kenaikan jumlah penderita. 

4.4.3 Capaian Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta di 

Provinsi Jawa Timur Tahun 2023

1. Penderita Kusta Terdaftar dan Angka Penderita Kusta Terdaftar 

(Prevalence and Prevalence Rate = PR)

Target program penanggulangan kusta yaitu   angka penderita kusta 

terdaftar <1 per 10.000 warga  . Pada indikator ini, pada tahun 

2023 Provinsi Jawa Timur telah mencapai target dengan angka 

prevalensi kusta sebesar 0,68 per 10.000 warga  .

2. Angka Penemuan Penderita Kusta Baru (New Case Detection Rate

= CDR)

Jumlah Penderita Kusta yang baru ditemukan pada periode 1 (satu) 

tahun per 100.000 warga  , dengan target program CDR <5 per 

100.000 warga  . Pada indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi 

Jawa Timur telah mencapai target dengan angka prevalensi kusta 

sebesar 3,81 per 10.000 warga  .

3. Proporsi Penderita Kusta Baru dengan Cacat Tingkat 2

Target proporsi Penderita Kusta baru dengan cacat tingkat 2 yaitu   

< 5%. Pada indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur

belum mencapai target dengan persentase penderita kusta cacat 

tingkat 2 sebesar 8,33%.

4. Proporsi Penderita Kusta Baru Pada Anak

Proporsi Penderita Kusta baru pada anak usia <15 tahun dengan 

target <5%. Pada indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur 

belum mencapai target dengan persentase penderita kusta baru pada 

anak sebesar 5,47%.

5. Jumlah Penderita Kusta Baru Pada Anak dengan Cacat Tingkat 2

Jumlah Penderita. Target yang diharapkan yaitu   tidak ada 

Penderita Kusta baru pada anak dengan cacat tingkat 2. Pada 

indikator ini, pada tahun 2023 Provinsi Jawa Timur belum mencapai 

target dengan masih adanya 4 kasus kusta pada anak dengan cacat 

tingkat 2 atau sebesar 5%.

4.4.4 Identifikasi Masalah

Adapun masalah yang ada di program pencegahan dan pengendalian 

penyakit kusta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2023 yaitu   

sebagai berikut:

1. ada  5 kabupaten/kota yang belum mencapai status eliminasi 

kusta (prevalensi >1 per 10.000 warga  ). Kelima kabupaten/kota 

ini  yaitu Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, 

Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten 

Tuban.

2. Angka penemuan kasus baru kusta (new case detection rate) masih 

tinggi yaitu sebesar 5,3% pada tahun 2022 dan turun menjadi 3,81 

per 100.000 warga   pada tahun 2023 (data per triwulan 3).

3. Proporsi kasus kusta pada anak (usia 0-14 tahun) masih tinggi yaitu 

sebesar 5,4% (>5%).

4. Cakupan pemeriksaan kontak erat belum optimal.

Dalam Permenkes disebutkan bahwa setiap pasien baru kusta 

hendaknya dilakukan pemeriksaan kontak erat hingga 20 orang pada setiap kasus yang terlapor. Namun, dalam pelaksanaannya di 

lapangan belum jalan dengan baik.

5. Belum semua kabupaten/kota melakukan POPM (Pemberian Obat 

Pencegahan secara Massal).

Dalam Permenkes disebutkan bahwa setiap kontak penderita kusta 

diharapkan bisa mendapatkan kemoprofilaksis kusta. Kegiatan 

Kemoprofilaksis Kusta ini dengan sasaran meliputi seluruh kontak 

(kontak serumah, tetangga, dan sosial) dari penderita kusta baru. 

Namun, pelaksanaan pemberian kemoprofilaksis berlum berjalan 

baik, padahal ada  beberapa daerah di Jawa Timur yang menjadi 

kantong-kantong kejadian kusta terutama di Pulau Madura dan 

daerah tapal kuda.

6. Distribusi logistik (obat) terlambat

Kesediaan stok Multi Drug Therapy (MDT) serta kondisi geografis 

kabupaten/kota di Jawa Timur yang beragam menjadi tantangan 

dalam pendistribusian obat kepada pasien.

7. Ketepatan dan validitas pengisian laporan yang masih kurang

Ketepatan dan validitas pengisian laporan berguna dalam deteksi

dini kasus yang menjadi bagian penting dalam program pencegahan 

dan pengendalian penyakit kusta. Namun, pelaporan kusta belum 

dilaksanakan secara real time dan masih dilakukan manual tiap 

triwulan.

4.4.5 Penentuan Prioritas Masalah

berdasar  hasil identifikasi masalah, ada  7 masalah yang 

harus ditentukan untuk menjadi prioritas. Prioritas masalah ditentukan 

dengan menentukan skor atas kriteria tertentu menggunakan metode 

USG, yakni Urgency, Seriousness, Growth. Dari hasil skoring terhadap 

beberapa masalah yang ada, maka diperoleh prioritas masalah utama 

yaitu cakupan pemeriksaan kontak yang belum optimal.Analisis pemicu  Masalah

pemicu  masalah diidentifikasi menggunakan metode pohon akar 

pemicu  masalah. Akar pemicu  masalah dari ada  5 

kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta yaitu   sebagai 

berikut:

1. Tatalaksana Kusta Belum Optimal

Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan 

kulit pada kusta. Bahkan ada istilah yang menyebutkan kusta sebagai 

peniru terhebat (the greatest imitator) dalam penyakit kulit. 

Kemiripan gejala dini kusta dengan penyakit kulit biasa sering 

membuat warga   tidak memeriksakan dirinya ke fasilitas 

pelayanan kesehatan, sehingga dapat menunda pengobatan. 

Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan kusta antara lain: 

1. Bercak eritem berskuama: psoriasis, pitiriasis rosea, 

dermatitis seboroik, tinea korporis.

2. Bercak hipopigmentasi dengan skuama: pitiriasis versicolor, 

pitiriasis alba. 

3. Bercak hipopigmentasi tanpa skuama: vitiligo. 

4. Papul atau nodul: neurofibromatosis, prurigo nodularis. 

Sehingga untuk penegakan diagnosis kusta diperlukan pemeriksaan 

BTA di laboratorium.

2. Kinerja Surveilans Kusta

a) Belum semua kasus diperiksa kontak erat hingga 20 orang

Pemeriksaan dan pelacakan kontak erat penderita kusta 

dapat dilakukan oleh tenaga epidemiolog. Peraturan mengenai 

jumlah tenaga surveilans di puskesmas telah diatur dalam 

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 

Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri 

Kesehatan Nomor 22 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan 

Minimal Puskesmas. Peraturan ini menyebutkan bahwa setiap puskesmas harus memiliki minimal satu tenaga surveilans 

epidemiologi.

Pemeriksaan kontak pada penderita kusta baru dan pasca 

RFT dilakukan sekali setahun selama 5 tahun. Pemeriksaan ini 

dilakukan pada kontak serumah, tetangga dan kontak sosial. 

Kontak serumah yaitu   mereka yang tinggal dalam satu rumah, 

kontak tetangga yaitu   mereka yang tinggal kira-kira 10 rumah 

sekitar penderita kusta, sementara kontak sosial yaitu   teman 

sekolah atau rekan sekerja yang bergaul dengan penderita kusta 

minimal 20 jam per minggu. Oleh sebab   itu, besarnya beban 

kerja serta keterbatasan tenaga surveilans menyebabkan 

masalah dalam cakupan pemeriksaan kontak pada kasus kusta.

b) Tidak semua kontak erat mendapatkan kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis kusta yaitu   pemberian obat yang ditujukan 

untuk pencegahan kusta. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada 

daerah yang memiliki Penderita Kusta yang tinggi, atau 

berdasar  hasil surveilans di daerah yang memiliki penderita 

kusta yang rendah pada situasi khusus. Keterbatasan logistik 

serta kurangnya kesadaran warga   menyebabkan maish 

banyak kontak erat yang belum mau mendapatkan 

kemoprofilaksis kusta.

c) Keterlambatan respon pelacakan kontak erat

Deteksi dini merupakan hal yang penting dalam 

penanggulangan penyakit kusta, tetapi masih ada  penderita 

kusta yang terlambat mendapatkan pengobatan sehingga 

mengalami kecacatan. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya 

angka kecacatan tingkat 2 di Jawa Timur pada tahun 2023 yaitu 

sebesar 8,33%.

d) Sistem pelaporan penyakit kusta belum dilakukan secara real 

time tetapi dilakukan secara manual per triwulan. Pelaporan 

dilakukan secara berjenjang dari mulai Puskesmas dan Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan 

Provinsi, hingga Kementerian Kesehatan RI. Pelaporan ini  

dilakukan tiap triwulan mulai dari triwulan satu hingga 4 dalam 

setahun

3. Kondisi Sosial Ekonomi warga   yang Kurang

Rendahnya pengetahuan warga   tentang kusta dapat menjadi 

salah satu pemicu  masih adanya stigma negatif kusta. Stigma 

warga   tentang pasien kusta diantaranya yaitu   menganggap 

bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan dan tidak dapat 

disembuhkan. Stigma yang berkembang diwarga   disebabkan 

sebab   kurangnya pengetahuan dan pemahaman warga   tentang 

penyakit kusta. Kurangnya pemahaman warga   ini berhubungan 

erat dengan peran serta tenaga kesehatan untuk menyosialisasikan 

kepada warga   tentang penyakit kusta itu sendiri sehingga bisa 

merubah pola pikir warga  . Penggunaan media promosi 

kesehatan tentang kusta harus dioptimalkan dan diadaptasi sesuai 

dengan kondisi warga  .

4. ada  3 kabupaten/kota dengan persentase rumah tidak layak 

huni yang tinggi

berdasar  Statistik Perumahan dan Pemukiman Provinsi Jawa 

Timur tahun 2022 ada  3 kabupaten di Jawa Timur dengan 

persentase rumah tidak layak huni yang tinggi (>50%), yaitu 

Kabupaten Situbondo (54,90%), Kabupaten Bondowoso(57,07%), 

dan Kabupaten Bangkalan (55,71%). Rumah layak huni merupakan 

rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan 

kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. 

Apabila kondisi tempat tinggal warga   tidak layak huni maka

dapat memperbesar risiko terjadinya penyakit, salah satunya yaitu

kusta. Kecukupan luas lantai per kapita, akses terhadap sumber air 

minum layak, dan akses terhadap sanitasi layak menjadi bagian dari indikator rumah layak huni, dimana ketiga indikator ini  

berhubungan dengan transmisi penyakit kusta di warga  . 

4.4.7 Alternatif Pemecahan Masalah

Setelah dilakukan identifikasi pemicu  masalah mengenai 

cakupan pemeriksaan kontak belum optimal, maka tahap 

selanjutnya yaitu penentuan alternatif pemecahan masalah. 

berdasar  hal ini  maka alternatif pemecahan masalah yang 

dapat dilakukan yaitu:

1. Meningkatkan partisipasi warga   dalam kegiatan 

surveilans kusta. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu   

melibatkan kelompok potensial lokal dalam mengedukasi 

pengenalan tanda dini kusta kepada warga   di sekitarnya 

dan memotivasi suspek/kontak erat kusta untuk memeriksakan 

diri ke Puskesmas apabila merasakan gejala penyakit ini. 

2. Penguatan advokasi, koordinasi, dan pemberdayaan

a) Berkolaborasi dengan Orang yang Pernah Mengalami 

Kusta (OYPMK), kader kesehatan, tokoh agama, tokoh 

warga   dan lintas sektor lainnya dalam memantau dan 

memeriksa kontak erat kusta.

b) Menggandeng tokoh warga   dalam pelacakan kontak 

erat penderita kusta. Mereka dapat membantu dalam 

pendidikan kesehatan, mengurangi stigma, dan 

memfasilitasi identifikasi kontak erat. Selain itu, tokoh 

warga   juga dapat menjadi perantara antara penderita 

kusta dan kontak erat dengan petugas kesehatan kemudian 

dapat juga membantu dalam membangun kepercayaan 

dan memfasilitasi akses ke layanan kesehatan.

c) Melakukan advokasi kepada pemegang kebijakan untuk 

menyediakan anggaran yang cukup guna menjalankan 

program pencegahan dan pengendalian kusta.

Menekankan kepada pemerintah daerah bahwa penyakit 

kusta merupakan salah satu Neglected Tropical Disease

(NTDs) yang penting diperhatikan dan harus segera 

dieliminasi.

3. Penyediaan sumber daya

• Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan melalui:

a) Melaksanakan kegiatan Bimbingan Teknis dan 

Monitoring MDT pada kabupaten/kota yang belum 

mencapai eliminasi kusta.

b) Menyelenggarakan Training or Trainer (TOT) kepada 

petugas surveilans agar pengelola program tingkat 

kabupaten/kota dapat melakukan pelatihan surveilans 

secara mandiri kepada tenaga surveilans tingkat 

puskesmas.

c) Mengadakan pelatihan tentang surveilans epidemiologi 

kepada seluruh tenaga kesehatan untuk meningkatkan 

kemampuan dan mengurangi beban kerja tenaga 

surveilans.

• Menyediakan dana dan logistik yang cukup hingga ke tingkat 

pelayanan kesehatan primer (puskesmas). Dalam hal ini 

membutuhkan dukungan dan komitmen dari para pemegang 

kebijakan.

4. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) kusta

Pemberian obat pencegahan massal dengan SDR secara 

berkualitas, berkesinambungan dan berkualitas. Kemoprofilaksis 

Kusta dilakukan pada daerah yang memiliki Penderita Kusta yang 

tinggi, atau berdasar  hasil surveilans di daerah yang memiliki 

Penderita Kusta yang rendah pada situasi khusus. Kemoprofilaksis 

dapat membantu memutus rantai penularan penyakit kusta dengan 

membunuh bakteri pemicu  kusta sehingga mencegah terjadinya 

kusta aktif.

5. Pendekatan melalui promosi kesehatan

Sasaran promosi kesehatan dalam kegiatan Penanggulangan Kusta 

yaitu Penderita Kusta, keluarga, warga   termasuk tokoh 

warga  , tokoh agama, tokoh adat, tokoh publik,organisasi 

kewarga  an, dan kader, tenaga kesehatan, penentu kebijakan 

dan pemangku kepentingan. Hal yang dapat dilakukan yaitu   

dengan membuat media promosi kesehatan seperti pedoman, 

petunjuk teknis, leaflet, poster, spanduk, banner, video edukasi, 

buku saku, dan lain-lain untuk menyebarkan informasi mengenai 

penyakit kusta kepada warga  .

6. Peningkatan ketepatan dan validitas pencatatan pelaporan kusta

Ketepatan dan validitas pencatatan pelaporan kusta sangat 

berpengaruh terhadap jalannya pelacakan kontak erat. Data kusta 

yang valid diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan 

intervensi yang efektif, salah satunya yaitu pemeriksaan kontak 

erat. Oleh sebab   itu, diharapkan data yang dicatat mulai dari 

fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama hingga Dinas 

Kesehatan Provinsi dapat dilaporkan secara tepat waktu dan 

berkualitas. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu   dengan 

mengadakan pertemuan evaluasi program dan validasi data kohort 

tingkat kabupaten/kota untuk meningkatkan ketepatan dan 

validitas pencatatan dan pelaporan kusta.

4.5 Kendala Pelaksanaan MBKM by Design FKM UNAIR

ada  beberapa kendala yang dialami selama pelaksanaan MBKM by 

Design FKM UNAIR yaitu terkait informasi yang kurang jelas pada saat awal 

pelaksanaan magang sehingga ada  perbedaan pemahaman terkait timeline

kegiatan, regulasi, hingga output. Oleh sebab   itu, diharapkan untuk kedepannya 

kendala-kendala ini  dapat diminamilisir dengan koordinasi yang baik 

sehingga pelaksanaan MBKM by Design dapat terlaksana dengan lancar dari 

awal hingg akhir program.