berdasar hasil dari penelitian yang telah dilakukan tentang
hubungan pemeriksaan Voluntary Muscular Test dengan aktivitas nerve
growth factor khususnya P75 yang berperan dalam kerusakan jaringan
yang dipicu oleh aktivitas Mycobacterium leprae baik tipe
Multibasiler (MB) atau Pausibasiler (PB) dapat disimpulkan bahwa,
Kerusakan saraf pada penderita kusta akan mengaktifkan aktifitas dari
NGF. Aktifitas ini akan mengaktifkan reseptor neurotrophin p75 yang
memicu berbagai efek dalam sistem saraf. Sehingga jika kadar
reseptor neurotrophin p75 semakin tinggi akan memicu terjadinya
kerusakan saraf sehingga akan memicu kecacatan, sehingga
dengan meningkatnya aktifitas P75 bisa digunakan untuk mendeteksi
kerusakan saraf. Banyaknya P75 yang muncul ini dapat menandai
kerusakan saraf yang parah akibat infeksi dari Mycobacterium leprae.
Maka dari itu berdasar dari hasil yang didapatkan menunjukkan
hubungan yang signifikan antar kadar P75 dengan skor Voluntary Muscle
Test (VMT) dimana ada kecenderungan yang kuat bahwa
semakin rendah skor VMT yang diperoleh maka semakin tinggi
kadar P75, demikin pula sebaliknya.
Morbus Hansen merupakan penyakit endemis pada negara tropis
khususnya ada pada negara yang kurang maju atau negara
berkembang. Pada tahun 2014 WHO telah berhasil mencacat kasus baru
kusta dari 213.899 kasus yang terdeteksi di seluruh dunia dengan kasus
tertinggi berada pada regional Asia Tenggara yaitu sebesar 154.834 kasus.
negara kita menduduki peringkat ketiga negara dengan endemik kusta. Saat
ini negara kita tercatat ada beberapa provinsi dengan prevalensi kasus
penyakit kusta tertinggi diantaranya provinsi Jawa Timur, Aceh, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat dan
Sulawesi Selatan (Kemenkes, 2014). Jawa Timur menduduki peringkat
pertama di negara kita dengan kasus kusta tertinggi yaitu 30% dari
keseluruhan kasus kusta di negara kita (Annisa Qoyyum Nabila et al., 2010).
Menurut WHO pada tahun 1981 lepra dikelompokkan menjadi MB
(Multibasiler) dan PB (Pausibasiler) tergantung dari derajat kepositifan
pengecatan kulit. Lepra multibasiler (MB) terdiri dari Lepromatous Leprosy
(LL), Borderline Lepromatous Leprosy (BL), dan Mid borderline (BB) dalam
klasifikasi Ridley – Jopling dengan index bakteri 2+ atau lebih. Lepra
pausibasiler (PB) terdiri dari Indeterminate Leprosy (IL), Polar Tuberculoid
(TT), dan Borderline Tuberculoid (BT) dalam klasifikasi Ridley – Jopling
dengan index bakteri kurang dari 2 pada seluruh bagian pada awal
pengecatan kulit
Lepra yaitu salah satu penyakit yang memicu kerusakan saraf
non trauma di negara – negara berkembang dan contohnya terjadi pada
penyakit neurogeneratif yang menyerang sistem saraf perifer (Graca et al.,
2012). Mycobacterium leprae memiliki kemampuan untuk menempel pada
basal lamina sel Schwann sehingga bakteri ini mampu menginvasi sarafsaraf perifer dan terlindungi dari obat – obatan antibiotik. Sehingga
memicu bakteri mampu terus bermultiplikasi dan memicu
kerusakan saraf. Kerusakan saraf mempengaruhi saraf sensoris, motoris dan autonom terjadi sebab perjalanan dari penyakit lepra (Graca et al.,
2012). Infeksi dari bakteri Mycobacterium leprae memicu banyak
kerusakan saraf perifer. Kerusakan saraf yang meluas akan memicu
gejala stocking and glove anesthesia, pada keadaan stadium lanjut serabutserabut saraf perifer akan mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
memicu anastesi dan pengecilan otot baik pada tangan maupun pada
kaki. Adanya inflamasi dengan ditimbulkannya infiltrasi seluler dan edema
memicu terjadinya pembengkakan pada saraf dan penekanan serabut
saraf. Kerusakan saraf pada penderita kusta terjadi di peripheral nerve trunk
dan small dermal nerve. Terjadinya apaptosis saraf dipicu aktivasi dari
reseptor neurotrophin p75 yang memicu berbagai efek dalam sistem
saraf. Pemeriksaan fungsi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui ada atau
tidaknya gangguan fungsi saraf pada penderita kusta. Metode standar untuk
memeriksa gangguan fungsi saraf yaitu dengan melakukan pemeriksaan
motoris atau Voluntary Muscle Test (VMT). sebab pada masing-masing
pemeriksa sangat subjektif terhadap penilaian dari skoring VMT maka perlu
dilakukan pemeriksaan yang objektif yaitu dengan memeriksa kadar P75
neurotrophin pada pasien. Atas dasar latar belakang ini diatas,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang hubungan
pemeriksaan VMT terhadap p75NTR sebagaimana diketahui bahwa kadar p75
yang meningkat menjadi penanda adanya kerusakan saraf. Apakah hasil
intepretasi VMT yang rendah sebanding dengan kerusakan jaringan pada
penderita lepra tipe multibasiler dan tipe pausibasiler.
Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronis yang
disebabkan sebab infeksi bakteri Mycobacterium leprae, bakteri ini
bersifat intraselular obligat yang banyak memicu manifestasi salah
satunya yaitu menyerang saraf perifer, kulit, organ-organ dalam tubuh
sampai memicu adanya kerusakan, kecuali pada sistem saraf pusat.
bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuan berdarah
Norwegia yang bernama Gerhard Henrik Armaeur Hansen pada tahun
1874, bakteri ini ditemukan sebagai patogen yang memicu penyakit
yang telah lama warga ketahui dengan nama penyakit lepra atau
kusta. Istilah kusta sendiri diambil dari bahasa sansekerta, kushtha yang
mengandung arti kumpulan dari berbagai gejala pada kulit secara
keseluruhan. Saat ini penyakit lepra ini lebih di kenal dengan sebutan
penyakit Hansen, sebab bukan saja menghargai jasa Gerhard Henrik
Armaeur Hansen namun sebab lepra sendiri memiliki konotasi yang
negatif di dalam warga , sehingga penamaan ini lebih
digunakan untuk mengurangi stigma buruk di dalam lingkungan
warga .
2.1.2 Etiologi Morbus Hansen
Kuman penyebab penyakit lepra yakni Mycobacterium Leprae
memiliki bentuk pleomorf lurus, batang panjang, ada sisi paralel
dengan kedua ujung bulat berukuran 3-8 μm x 0,5 μm. Bakteri ini memiliki
sifat tahan asam yang biasanya hidup berkelompok dan ada yang
tersebar. Bakteri ini mampu hidup dalam sel terutama pada jaringan yang
bersuhu dingin dan tidak dapat dikembang biakan pada media buatan (in
vitro). Jika dilihat dibawah mikroskop elektron, Mycobacterium Leprae
terlihat memiliki dinding yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
peptidoglikan dan lapisan liposakarida. Dinding peptidoglikan yang
ada pada Mycobacterium Leprae memiliki ciri khas yang sangat spesifik yaitu ada asam amino glisin, sedang pada bakteri lain
terkandung alanin.
2.1.3 Klasifikasi Morbus Hansen
Penyakit Lepra dapat diklasifikasikan berdasar manifestasi
klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan
bakteriologi, dan pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan
pengobatan namun pada tahun 1997 WHO kembali menyempurnakan
klasifikasi ini .Dalam klasifikasi WHO penderita lepra dibagi menjadi
2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Departemen
Kesehatan negara kita menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai
pedoman pengobatan penderita lepra sampai saat ini. Dasar dari
pengelompokan klasifikasi ini yaitu berdasar manifestasi klinis dan
tingkat kekebalan tubuh juga jumlah bakteri yang ada pada tabel
berikut:Pada tahun 1981, WHO menganjurkan klasifikasi MH menjadi
multibasiler dan pausibasiler. Pada klasifikasi Ridley-Jopling (1962),
Multibasiler dibagi menjadi tipe LL, BL, dan BB dengan Indeks Bakteri (IB)
lebih dari 2+, sedang pausibasiler yaitu tipe TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+. Menurut Madrid (1953) klasifikasi MH dibagi menjadi tiga
zone spektrum yaitu tuberkuloid, borderline, lepromatosa.
2.1.4 Kecacatan Morbus Hansen
Kecacatan dapat ditimbulkan oleh bakteri Mycobacterium leprae
baik secara langsung maupun relaps. Menurut World Health Organistion (WHO) 25% penderita kusta akan mengalami kecacatan. Kecacatan yang
terjadi pada penderita kusta disebabkan sebab adanya kerusakan fungsi
saraf tepi sebagai akibat infeksi dari bakteri lepra, juga adanya
peradangan atau neuritis pada saat terjadi reaksi lepra. WHO (1980)
membedakan beberapa kecacatan kusta menjadi impairment, disability
dan handicap. Ketika penderita mengalami kehilangan atau abnormalitas
struktur dan fungsi baik psikologik, fisiologi maupun anatomi maka
digolongkan kedalam kecacatan impairment. Dikatakan disability ketika
penderita kusta mengalami keterbatasan atau ketidakmampuan untuk
melakukan aktifitas dalam batas kehidupan manusia yang normal.
Penderita kusta yang digolongkan kedalam kecacatan Handicap yaitu
penderita yang mengalami ketidakmampuan yang sifatnya persisten yang
membatasi individu ini untuk melakukan kehidupan normal di dalam
lingkungan warga . Pada tahun 1988 WHO membagi derajat
kecacatan kusta menjadi 3 tingkatan.Mycobacterium leprae memiliki dinding sel yang terdiri dari
phenolic glycolipid yang spesifik yaitu PGL-1. ada nya trisakarida
pada Mycobacterium lepra memicu kemampuan untuk menempel
pada basal lamina sel Schwann dan mampu menginvasi saraf-saraf
perifer. Ketika basil masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan,
basil akan bermigrasi ke dalam jaringan saraf dan akan menembus sel
Schwann. Ketika G domain of extraceluler matriks protein laminin 2
berikatan dengan sel Schwann, MHC kelas II akan aktif dan mengaktifkan
CD4+. Teraktifasinya CD4+ akan memicu Th1 dan Th2 menjadikan
teraktifkannya makrofag. Ketika makrofag tidak mampu untuk memakan
bakteri Mycobacterium lepra maka Sitokin dan GH akan dihasilkan secara
terus menerus, sehingga bagian self dan nonself tidak ditenengalai
dengan baik yang menjadikan saraf mengalami kerusakan dan sarafsaraf yang telah rusak akan digantikan dengan jaringan fibrous yang
nantinya timbul penebalan saraf tepi. Adanya inflamasi dengan
ditimbulkannya infiltrasi seluler dan edema memicu terjadinya
pembengkakan pada saraf dan penekanan serabut saraf (Sengupt
U.1997). Kerusakan saraf pada penderita kusta terjadi di peripheral nerve
trunk dan small dermal nerve . Predileksi
Mycobacterium leprae ada pada daerah-daerah tubuh yang relatif
lebih dingin misalnya pada kulit, saraf-saraf perifer, saluran nafas atas,
dan testis. Pada kulit, bakteri ini lebih suka pada tempat dengan suhu
tinggi atau hangat misalnya pada axilla, paha, kulit kepala dan garis
tengah punggung.
Mycobacterium leprae ditransmisikan melalui nasal droplet dari
pasien leprosy, kontak langsung yang lama dan berulang, dan inhalasi.
Manifestasi bakteri ini tidak langsung terjadi melainkan butuh kontak lama
dengan penderita, bakteri Mycobacterium leprae ini berkembang biak
dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri dalam tubuh manusia
mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia kemudian membelah dalam
jangka waktu 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun.
Menurut Galber, 2012. Mycobacterium leprae mempunyai masa inkubasi 2-40 tahun sampai memicu manifestasi klinis, namun pada umumnya
berdurasi antara 5-7 tahun akan memicu menifestasi klinis.
2.1.6 Diagnosis Morbus Hansen
Untuk menegakkan diagnosis Morbus Hansen perlu ditemukan
tanda-tanda utama (Cardinal Sign):
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Ditemukan kelainan kulit atau lesi yang dapat berupa bercak keputihan
(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesia).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan
kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan
fungsi saraf tepi berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise).
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan lain-lain.
3. Ditemukannya Mycobacterium leprae pada pemeriksaan bakteriologis.
Dilakukan pemeriksaan BTA yang diambil dari kerokan kulit (skin smear)
yang berasal dari cuping telinga, bisa juga diambil dari bagian aktif suatu
lesi kulit atau biopsi.
Untuk penegakakan diagnosis MH, minimal harus ditemukan satu
dari tanda Cardinal sign. Dengan tidak adanya Cardinal sign, seseorang
hanya bisa dinyatakan sebagai suspek kusta.
2.2 Pemeriksaan Fungsi Saraf
Pemeriksaan fungsi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui ada
atau tidaknya gangguan fungsi saraf pada penderita kusta. Metode
standar untuk memeriksa gangguan fungsi yaitu dengan melakukan
pemeriksaan sensoris,pemeriksaan motoris atau Voluntary Muscular Test
(VMT), dan pemeriksaan saraf otonom (I Gusti Nyoman et al., 2009). Adanya kecurigaan bahwa ada keterlibatan fungsi saraf terjadi apabila
ada beberapa tanda gejala awal, yaitu:
Adanya rasa tidak nyaman dan nyeri yang diperberat oleh
pergerakan sendi atau otot yang akan mengarah menjadi tenderness
lokal dan pembengkakan saraf dan terjadi parestesi.
Hilangnya fungsi sensoris baik parsial maupun total yang
berhubungan dengan tingling spontan pada distribusi saraf dan
hiperestesia.
2.2.1 Pemeriksaan Fungsi saraf motoris Voluntary Muscular Test (VMT)
Untuk mengetahui dengan baik fungsi saraf motoris dapat
diketahui melalui pemeriksaan pergerakan otot. Saraf yang sering terlibat
pada penyakit kusta yaitu N. ulnaris, N. medianus, N. peroneus, N. tibialis
posterior, dan N. facialis.
Neurotrophin yaitu kelompok protein yang merangsang
pertumbuhan sel-sel saraf, dan berfungsi untuk mempromosikan
kelangsungan hidup dan diferensiasi neuron vertebrata. Namun, faktor
pertumbuhan ini juga dapat memicu kematian sel melalui p75
neurotrophin receptor (p75 (NTR)), anggota superfamili reseptor faktor
nekrosis tumor. NGF (Nerve Growth Factor) yaitu sekresi protein yang
mampu berperan dalam proses perkembangan, pemeliharaan dan daya
tahan neuron, selain berfungsi sebagai molekul transduksi sinyal seluler,
dan sistem kekebalan neuroendokrin. Tanpa NGF, neuron akan
mengalami apoptosis. NGF berperan dalam mengikat dua reseptor
neurotropin yaitu reseptor neurotrophin (p75NTR) dan p140 (Trk) (TrkA).
LNGFR atau reseptor neurotrophin p75NTR yaitu faktor pertumbuhan
saraf reseptor afinitas rendah salah satu dari anggota superfamili reseptor
faktor nekrosis tumor (reseptor TNF). Pada beberapa sel yang berasal
dari jaringan neuronal, reseptor ini akan memicu kematian sel.
Aktivasi dari reseptor neurotrophin p75 memicu berbagai efek
dalam sistem saraf, termasuk menginduksi terjadinya apoptosis neuron. p75 NTR utamanya akan diekspresikan selama perkembangan
neuron awal. Pada orang dewasa, p75 NTR kembali diekspresikan dalam
berbagai kondisi patologis, termasuk epilepsi, axotomy dan
neurodegeneration (G Dechant. 2002). Keadaan apoptosis bisa terjadi
jika ada penurunan ekspresi p75NTR yang berakibat terganggunya
keseimbangan TRKA/ p75NTR sehingga NTR menjadi relatif lebih banyak
sehingga dapat memicu apoptosis atau mengganggu jalur persinyalan
lain yang berakibat adanya disfungsi kognitif. Faktor-faktor neutrofik
(neutrofin) merupakan suatu kelompok mediator biokimia yang
diklasifikasikan berdasar sifat mereka, antara lain regulasi
perkembangan saraf, neuroproteksi, dan reduksi degenerasi neural pada
sistem saraf pusat dan perifer. Keikutsertaan faktor-faktor ini dalam
regenerasi sel saraf merupakan hal yang menjanjikan untuk modifikasi
terapi penyakit-penyakit neurodegeneratif. Neurotrofin umumnya
diproduksi dalam bentuk precursor inaktif dan diproses dalam badan sel
dan lingkungan luar sel. Setelah diproses, faktor-faktor ini menghasilkan
pro-peptida aktif dan protein matur. Kelompok faktor ini antara lain NGF,
NT3, NT45, BDNF, dan GDNF. Terapat dua kelas reseptor yang mampu
mengikat faktor ini , yaitu reseptor neurotrofik p75 (p75NTR) dan
reseptor kinase terkait tropomiosin (TrkA, TrkB, TrkC). Masing-masing
neurotropfin berikatan dengan reseptor TrK secara spesifik, namun
semua neurotrofin ini berikatan secara seimbang pada p75NTR
.
p75NTR mampu memodifikasi afinitas ikatan neurotrofin dengan reseptor
TrK dan berperan dalam inhibisi pertumbuhan akson. Interaksi antara
NGF dan p75NTR memicu hambatan fungsi reseptor ini sehingga
secara tidak langsung mengizinkan akson untuk mengalami ekstensi ke
tempat asalnya. Hal ini mempertegas pentingnya peran p75 dan NGF
dalam plastisitas neural. p75NTR dapat digunakan sebagai penanda
fenotipe sebab reseptor ini diekspresikan pada sel Schwann imatur dan
non-myelin.
2.3.2 Fungsi p75NTR
Baru-baru ini, p75NTR muncul sebagai target potensial untuk
kontrol farmakologis dari aktivitas neurotrophin, didukung dengan
penelitian yang menunjukkan 1) regulasi plastisisitas neural peningkatan
sistem saraf yang matur, 2) promosi neurogenesis pada dewasa dan 3)
meningkatkan ekspresi pada neuron, makrofag, mikroglia, astrosit
dan/atau sel Schwann dalam respon terhadap jejas dan penyakit
neurodegeneratif. Saat dicampurkan dengan reseptor Trk, p75NTR
meningkatkan afinitas neurotrophin matur dan mendukung pensinnyalan
pro-survival dan pertumbuhan. Sebaliknya dari neurotrophin matur, proneurotrophin berikatan dengan afinitas tinggi ke p75NTR/ kompleks sortilin,
yang seringkali memicu aktivasi jalur apoptosis dan kematian.
Dalam kompleks dengan reseptor Nogo dan Lingo-1, p75NTR mendukung
retraksi konus pertumbuhan dalam responsnya terhadap protein turunan
myelin. Masing-masing dari proses yang dimediasi p75NTR TR ini
berkontribusi dalam jalur yang berbeda terhadap perkembangan,
maturasi, dan pemeliharaan sistem saraf. Sebagaimana ditinjau baru-baru
ini, meningkatnya ekspresi neuronal dari p75NTR telah didokumentasikan
dalam respons terhadap aksotomi, kerusakan neural, tekanan intraokular,
kejang dan iskemia. Selain ke neuron, peningkatan ekspresi p75NTR yang
diinduksi oleh jejas dapat terjadi pada sel, astrosit, oligodendrosit, atau
mikroglia/ makrofag. Mengapa ekspresi p75NTR meningkat sebagai
respons terhadap kerusakan masih merupakan area penelitian namun
ada beberapa kemungkinan. p75NTR dapat 1) meningkatkan
kelangsungan hidup dari neuron yang rusak dengan meningkatkan
efisiensi aktivasi Trk, 2) memicu apoptosis untuk mengeliminir sel yang
rusak sambil meminimalisir respon inflamasi, 3) menyediakan lingkungan
suportif untuk pertumbuhan ulang yang layak, dan/atau 4) mengontrol
inflamasi. berdasar beberapa penelitian, peran p75NTR masih
kontradiktif. Beberapa penelitian menemukan hubungan reseptor ini
dengan degenerasi sel saraf, namun penelitian lain menemukan
sebaliknya. Pengamatan yang kontradiktif ini didiga menyatakan
peran kompleks dan beragam dari p75NTR
, di mana beberapa kondisi
dapat mendukung penyembuhan sedang kondisi lain memfasilitasi
kerusakan neural dan apoptosis. Peran ganda p75NTR dalam keputusan
krusial terkait nasib sel dan usaha untuk mendukung penyembuhan
sistem saraf setelah jejas menyediakan kesempatan untuk mempengaruhi proses penyembuhan secara terapeutik. Namun, implementasi terapi baru
akan membutuhkan pengertian lebih terhadap bagaimana efek yang
berlawanan dari p75NTR diregulasi. Regulasi pertumbuhan yang layak dan
plastisitas sinaptik juga tergantung pada fungsi p75NTR. Tergantung
konteksnya, p75
NTR dapat mendukung atau merestriksi pertumbuhan
baru. Restriksi terhadap pertumbuhan aksonal pada sistem saraf yang
rusak diperkirakan disebabkan oleh efek penghambatan pertumbuhan
dari protein myelin (Nogo, MAG, MOG) yang berikatan pada kompleks
reseptor p75NTR /Nogo. sebab aktivitas yang berlebihan dari jalur ini
diperkirakan menghambat penyembuhan neural setelah jejas, banyak
usaha terapeutik untuk mengatasi restriksi ini difokuskan pada supresi
aktivitas reseptor p75NTR /Nogo. Namun p75NTR juga berperan positif
dalam penyembuhan dengan menekan pertumbuhan yang tidak sesuai
dan sebab itu merestriksi pertumbuhan baru dan reinervasi ke target
yang tepat.
2.4 Hubungan Kerusakan Fungsi Saraf dengan Penurunan Kadar p75NTR
Mycobacterium lepra mempunyai kemampuan untuk menempel
pada basal lamina sel Schwann sehingga bakteri ini mampu menginvasi
saraf-saraf perifer. Adanya inflamasi dengan ditimbulkannya infiltrasi
seluler dan edema memicu terjadinya pembengkakan pada saraf
dan penekanan serabut saraf. Kerusakan saraf pada penderita kusta
terjadi di peripheral nerve trunk dan small dermal nerve. Terjadinya
apatosis saraf dipicu aktivasi dari reseptor neurotrophin p75 yang
memicu berbagai efek dalam sistem saraf. Sehingga jika kadar
reseptor neurotrophin p75 semakin tinggi akan memicu terjadinya
kerusakan saraf sehingga akan memicu kecacatan. Pemeriksaan
fungsi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
gangguan fungsi saraf pada penderita kusta. Metode standar untuk
memeriksa gangguan fungsi yaitu dengan melakukan pemeriksaan
sensoris, pemeriksaan motoris atau Voluntary Muscle Test (VMT), dan
pemeriksaan saraf otonom. Jika hasil pemeriksaan VMT ditemukan skala
rendah maka ditemukan juga peningkatan aktivasi dari reseptor
neurotrophin p75. Saat berbagai peran p75
NTR yang beragam dan seringkali berlawanan memunculkan tantangan signifikan untuk usaha
mengembangkan terapi, penelitian terkini telah dengan jelas
mendemonstrasikan kemungkinan usaha untuk secara farmakologis
memodifikasi fungsi p75NTR (Fry EJ, Ho C, David S. 2007). Konsentrasi
nanomolar dari bahan eksperimental, LM11A-31, sebuah struktur mimetik
nin peptida dari loop NGF, telah terbukti memiliki kemampuan neurotropik
dan menawarkan neuroproteksi poten dari kerusakan sebab Aβ pada
tikus dan model kultur AD, cedera saraf tulang belakang, cedera otak
traumatik, inflamasi sebab virus, dan toksisitas kemoterapeutik dalam
absennya efek pro-apoptotik. Pendekatan terapeutik ini berdasar pada
konsep bahwa molekul kecil dapat meregulasi dimerisasi reseptor
neurotrophin, aktivasi dan/atau interaksi dengan ko-reseptor dalam cara
yang tidak merekapitulasi aksi penuh dari peptida yang tejradi secara
alami. sebab pengikatannya dapat menjadi unconventional, bahan
ini diidentifikasi melalui penjaringan fungsional yang didesain untuk
membongkat aktivitas neurotropik pro survival (Dechant, G., Barde, Y. A.
2002). Seperti disebutkan sebelumnya bahwa M. leprae menyerang
makrofag, sistem imun seluler, dan sistem saraf perifer. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa p75
NTR dapat meregulasi kemotaksis
monosit/makrofag dan menginduksi penyembuhan sel saraf. Kemampuan
untuk berinteraksi dengan semua reseptor Trk, sortilin, dan reseptor Nogo
membuat p75
NTR mampu mengontrol banyak jalur pensinyalan. Peran
p75NTR yang sudah ditemukan dalam neurogenesis, regulasi
pertumbuhan, sinaptogenesis dan menyingkirkan sinaps yang tidak
diinginkan membuatnya sebagai pusat dari usaha mayor untuk
mempromosikan penyembuhan sistem saraf (Michellin, L. B., et al. 2012).
Pada pasien MH, perubahan ekspresi beberapa neurotrofin berkaitan
dengan hilangnya sensasi nosiseptif pada fase awal. Penelitian
sebelumnya menunjukkan hubungan antara disfungsi saraf pada tes klinis
dan perubahan morfologis kulit, pada tipe MH mana saja. berdasar
penelitian sebelumnya, kurangnya neurotrofin seperti NGF berperan
dalam perkembangan nueropati perifer, termasuk pada penderita MH dan
diabetes (Longo FM, Massa SM. 2013). Selain itu, adanya penurunan
kadar endogen NGF, NT3, dan TrkA pada lesi kulit pasien MH telah dilaporkan (Facer P et al., 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa
ketidakseimbangan faktor neurotrofik berperan dalam gangguan
regenerasi sel saraf perifer setelah adanya kerusakan sel saraf pasien
MH.
Pada infeksi Mycobacterium leprae akan memicu kerusakan
pada jaringan saraf melalui tiga mekanisme, yaitu kerusakan langsung
pada jaringan saraf dengan cara infeksi Mycobacterium leprae langsung
terfagosit di sel Schwann dan melakukan multiplikasi di dalamnya,
sehingga memicu reaksi granulomatosa dan membentuk jaringan
fibrosis. Mekanisme kedua yaitu melalui proses aktivasi proses imun
dan reaksi inflamasi. Aktivasi imun dan reaksi inflamasi yang berat pada
jaringan saraf ini akan memicu neuritis dan terbentuknya abses
mikro intraneural. Mekanisme ketiga yaitu melalui proses mekanik dan
edema jaringan saraf. Jaringan saraf yang mengalami inflamasi akan
membesar, dan hal ini terutama terjadi pada jaringan saraf yang letaknya
proksimal terhadap kanal fibro-osseus, sehingga gerakan sendi akan
semakin memperberat inflamasi jaringan saraf dan juga memicu
inflamasi pada pembuluh darah sekitarnya. Edema biasanya diikuti
dengan lesi lepra kutaneus dan telah dibuktikan merupakan salah satu
penyebab mekanisme dari kerusakan saraf – saraf perifer.
Keseluruhan dari ketiga mekanisme di atas pada akhirnya
memicu degenerasi akson, kerusakan neuronal, dan ganglion
radiks dorsalis, serta memicu nyeri neuropatik pada penderita MH.
p75 neurotrophin receptor merupakan faktor pertumbuhan saraf reseptor
afinitas rendah. p75 neurotrophin receptor dapat meningkatkan
kelangsungan hidup dari neuron – neuron yang telah rusak dengan cara
meningkatakan efisiensi aktifasi Trk , dapat memacu apoptosis untuk
menghilangkan sel sel yang rusak sementara meminimalkan respon
inflamasi. Pada beberapa sel yang berasal dari jaringan neuronal,
reseptor ini akan memicu kematian sel (apoptosis). Aktivasi dari
p75 neurotrophin receptor dalam sistem saraf dapat menginduksi
terjadinya apoptosis neuron. Apoptosis sel terjadi apabila penurunan
ekspresi p75 neurotrophin receptor yang berakibat terganggunya
keseimbangan TRKA/ p75 neurotrophin receptor berakibat neurotrophin
receptor menjadi relatif lebih banyak sehingga dapat memicu apoptosis
atau mengganggu jalur persinyalan lain yang berakibat adanya disfungsi
kognitif
3.2 Hipotesis Penelitian
ada hubungan antara p75 Neurotrophin Receptor (p75NTR) dengan
pemeriksaan fungsi saraf VMT dengan pada kerusakan jaringan penderita
lepra tipe multibasiler dan pausibasiler, semakin besar peningkatan kadar
pemeriksaan p75 Neurotrophin Receptor (p75NTR) maka semakin kecil skala
pemeriksaan fungsi saraf VMT nya.
Populasi yaitu keseluruhan dari objek penelitian atau yang akan
diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini yaitu semua
pasien penderita Leprae tipe Multibasiler dan Pausibasiler yang
melakukan pengobatan di Rumah Sakit Kusta Kediri dengan jumlah 33
pasien.
Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Teknik sampling yaitu cara-cara
yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel
yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Setiadi,
2010). Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi terjangkau yaitu
pasien dengan diagnosis MH yang bersedia mengikuti penelitian ini mulai
dari ijin etik keluar hingga jumlah sampel memenuhi yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan eklusi yang telah ditentukan.
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Subyek
penelitian yaitu pasien lepra tipe MB dan PB. Kriteria inklusi meliputi
pasien lepra tipe MB dan PB, usia antara 20-50 tahun, bersedia ikut
dalam penelitian, dan tidak ada riwayat penyakit penyerta. Kelompok
penelitian meliputi kelompok pasien lepra tipe MB dan PB sebelum
pengobatan (baru terdiagnosa), 3 bulan pengobatan MDTL, 6 bulan
pengobatan, dan RFT (setelah 12 bulan). Parameter yang diukur yaitu
kadar dan ekspresi P75NTR pada serum dan biopsi jaringan antara
penderita lepra tipe multibasiler dan tipe pausibasiler yang dibandingakan
dengan hasil intrepetasi pemeriksaan fungsi saraf VMT. Sampel yaitu
sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Sarwonno, Arikunto, &
Arikunto, 2006). Besar sampel yang adekuat untuk penelitian potong
lintang berdasar Dahlan (2010) menggunakan rumus besar sampel
untuk 2 kelompok yang tidak berpasangan yaitu sebagai berikut:
Namun agar lebih baik, maka disarankan agar jumlah sample dilebihkan
untuk berjaga2 dari adanya sample yang drop out, sehingga hasil penelitian bisa lebih representative (mewakili) jumlah populasi yang
diamati. Untuk adanya sample yang drop out n+10% menjadi 10 orang.
Jadi dalam penelitian ini diperlukan minimal sample untuk kelompok MH
PB sebanyak 10 orang, sedang untuk kelompok MH MB yang
jumlahnya lebih banyak (82%) bisa diambil lebih banyak daripada MH PB
Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu
pemilihan subyek penelitian sebagai sampel secara berurutan, semua
subyek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih sebagai sampel
sampai besar sampel minimal yang diinginkan terpenuhi
4.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Ekslusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi sampel untuk penelitian ini yaitu :
1. Semua pasien rawat jalan MH tipe MB dan PB
(WHO,2012).
2. Semua pasien rawat jalan MH yang sudah diberi
pengobatan < 1 tahun
3. Bersedia untuk mengikuti penelitian.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi sampel untuk penelitian ini yaitu :
1. Pasien dengan reaksi kusta.
2. Pasien dengan kondisi medis berat lain seperti sepsis.
3. Pasien dengan penyakit tuberculosis
4. Pasien dengan penyakit dermatitis atopic
5. Pasien dengan penyakit psoriasis vulgaris.
6. Pasien dengan penyakit rosasea.
7. Pasien dengan penyakit kronis
8. Pasien dengan pengobatan steroid dalam waktu 7 hari.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Variabel independen Variabel independen dalam penelitian ini yaitu Kadar P75
neurotrophin receptor
4.5.2 Variabel dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kerusakan
saraf motoris.
.7.1 Bahan dan Alat Pengumpulan Data
Bahan dan Alat Pemeriksaan MH
1. Lembar pengumpulan data yang telah dipersiapkan untuk
memperoleh karakteristik pasien
2. Lembar informed consent
3. Kaca pembesar
4. Lampu periksa
5. Kamera untuk dokumentasi
6. Tabung reaksi 15 ml dua buah
7. Filament
8. Kapas
9. Ziehl-Neelsen Acid Fast Kit
10. Objek Galass
11. Blade no. 11
12. Alcohol swab
13. Bunsen
14. Plester
Bahan dan Alat Pemeriksaan Kadar p75 NTR Serum
1. Peralatan mengambil darah vena: torniket, alcohol swab, sarung
tangan, spuit disposibel 5 ml, vaccutainer yang telah diberi
label, potongan kasa steril, plester.
2. Centrifuge untuk memisahkan sel darah dengan serum.
3. Deep freezer untuk menyimpan sampel darah sebelum
pemeriksaan.
4. Transporter box.
5. Dry ice.
6. Ice gel.
7. Human p75 NTR ELISA kit, merek Bioassay Technology
Laboratory.
8. Micro plate reader dengan kemampuan mengukur penyerapan
pada 450 nm, dengan pembenaran panjang gelombang 540 nm
atau 570 nm.
9. Pipet dan ujung pipet.
10. Air terdestilasi atau terdeionisasi.
11. Squirt bittle, manifold dispenser, atau automated microplate
washer.
12. Plate shaker.
13. Tabung centrifuge, bluetip, yellowtip.
14. Tabung 15 ml dan 50 ml.
15. Kamera.
4.8 Prosedur Penelitian
4.8.1 Teknik Diagnosis dan Pengklasifikasian MH
Pasien yang dating ke Divisi Penyakit Infeksi 1 Instalasi
Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD dr. Saiful Anwar Malang dan
RS Kusta Kediri yang memenuhi kriteria penelitian akan dijadikan sebagai subjek penelitian. Jika memenuhi kriteria maka pasien
diminta menandatangani persetujuan penelitian. Diagnosis MH
dan penentuan gambaran klinis yang khas menurut kriteria WHO
berturut-turut di hari yang sama (WHO,1997).
4.8.2 Teknik Pengukuran Kadar p75 NTR Serum
Teknik Pengukuran Kadar p75 NTR Serum dengan
Bioassay Technology Laboratory Enzime-linked Immune sorbent
assay (ELISA) kit
1. Kadar p75 NTR ditentukan dari sampel darah vena yang
diambil dari subjek penelitian. Darah vena sebanyak 4-5
ml diambil dengan menggunakan spuit disposibel dari vena
mediana cubiti. Biaran menggumpal selama kurang lebih 2
jam pada suhu ruangan, atau semalaman pada suhu 4 derajat
celcius.
2. Darah di-sentrifuge pada 1000x g selama 15 menit, lalu
disimpan pada suhu -20 derajat celcius sampai -80 derajat
celcius sampai assay dilakukan.
3. Seluruh reagen harus berada pada suhu ruang sebelum
digunakan. Kalibrator, kontrol dan sampel harus dinilai dua
kali. Seluruh prosedur harus dilakukan sekaligus tanpa
intervensi apapun.
4. Dilakukan dilusi standart dengan konsentrasi 8000 pg/mL,
4000 pg/mL, 1000 pg/mL, 500 pg/mL, 250 pg/mL, 125 pg/mL,
dan 0 pg/mL.
5. Dilakukan dilusi sampel hingga 10 kali pengenceran.
6. Siapkan sumur untuk pemeriksaan. Tambahkan ke dalam
masing-masing sumur 100 µl bahan standart, dan sampel.
Tutup dengan cover seal, lalu inkubasi selama 2 jam pada
suhu 37 derajat celcius.
7. Tambahkan 100 µl Biotin Antibody pada masing-masing
sumur. Tutup dengan cover seal, lalu inkubasi selama 1 jam
pada suhu 37 derajat celcius.8. Aspirasi larutan lalu bilas dengan wash solution (kurang lebih
200 µl ), diamkan selama 1-2 menit. Ulangi semua proses
hingga tiga kali pembilasan.
9. Setelah pembilasan yang terakhir, wash buffer yang masih
tersisa. Balikkan plate diatas kertas tissue yang bersih.
10. Tambahkan 100 µl HRP-avidin pada masing-masing sumur,
kocok merata. Inkubasi selama 30 menit pada suhu 37 derajat
celcius.
11. Ulangi langkah 8.
12. Tambahkan 80 µl TM substrate pada masing-masing sumur,
tutup dengan cover seal
13. Inkubasi selama 15-25 menit.
14 .Tambahkan 50 µl stop solution pada masing-masing sumur.
15. Ukur densitas optic dari masing-masing tabung dalam 10 menit
dengan menggunakan microplate reader yang diatur pada 450
nm.
16. Pemeriksaan p75 NTR serum dilakukan di Laboratorium Ilmu
Faal Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB)
Malang.
4.8.3 Teknik Pemeriksaan Voluntary Muscular Test
1. Periksa Orbicularis oculi dengan meminta pasien untuk
memejamkan mata,kemudian beri tahanan pada kelopak mata,
lihat kekuatan otot mata untuk membuka mata.
2. Periksa Wrist extensor dengan meminta pasien
mengekstensikan pergelangan tangan, beri tahanan pada
pergelangan tangan, lihat kekuatan tahanan otot.
3. Periksa Abductor pollicis brevis dengan meminta pasien untuk
mengabduksi ibu jari, kemudian beri tahanan pada
pergelangan tangan, lihat kekuatan tahanan otot.
4. Periksa Abductor digiti minimi dengan meminta pasien untuk
mengabduksi jari kelingking, kemudian beri tahanan pada
pergelangan tangan, lihat kekuatan tahanan otot.5. Periksa Foot dorsoflexors dengan meminta pasien untuk
dorsofleksikan kaki, kemudian beri tahanan pada pergelangan
tangan, lihat kekuatan tahanan otot
Analisa Data
4.9.1 Analisa Univariant
Variabel yang dianalisis yaitu kadar P75 yang dilakukan
pengambilan darah vena dan biopsi, kemudian dilakukan pemeriksaan
ELISA P75NTR
, pemeriksaan Histo PA untuk jaringan kulit, tipe Morbus
Hansen, dan skor VMT pemeriksaan fungsi motoris dilakukan untuk
mengetahui dengan baik fungsi saraf motoris dapat diketahui melalui
pemeriksaan pergerakan otot. Saraf yang sering terlibat pada penyakit
kusta yaitu N. ulnaris, N. medianus, N. peroneus, N. tibialis posterior, dan
N. facialis. Pemeriksaan gerakan dari motorik akan diperiksa fungsi saraf
ulnaris dengan mengabduksikan jari kelingking pasien dan memberi tahanan. Kemudian dilakukan pemerikssan fungsi saraf medianus dengan
meluruskan ibu jari ke atas, pemeriksaan saraf radialis dan pemeriksaan
saraf peroneus communis. Pada analisa univariant, data dapat
dikategorikan dengan distribusi frekuensi melalui ukuran persentase atau
proporsi, dan data numerik di jabarkan dengan metode mean, median,
standar deviasi dan nilai minimal serta nilai maksimal.
4.9.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis yang telah
dirumuskan, yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen
(skor monofilamen) dan variabel independen (Kadar NGF P75). Analisa
bivariat ini menggunakan uji korelasi Spearman dengan derajat
kemaknaan 95% atau nila alpha 0.05.
Uji korelasi Spearman yaitu uji statistik yang ditujukan untuk
mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel berskala ordinal
atau numerik, dan cara untuk menginterpretasikan sejauh mana
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang
berdasar koefisien korelasi. Melalui uji korelasi Spearman diperoleh
nilai P, dengan menggunakan tingkat kemaknaan 95% atau nilai alpha
0,05, sehingga jika nilaI P < 0,05 mak hasil perhitungan statistik
bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen, dan apabila nilai P > 0,05 maka
hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau dapat disimpulkan tidak
ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Penelitian mengenai Hubungan pemeriksaan Voluntary Muscular Test
dengan biomarker p75 neurotrophin pada kerusakan saraf pada penderita lepra
tipe multibasiler dan pausibasiler. Penelitian ini didapatkan 32 sampel dengan
pasien MH tipe Multibasiler sejumlah 20 sampel dan Pausibasiler sejumlah 12
sampel. Pada masing – masing pasien dilakukan Informed consent terlebih
dahulu kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi motoris dengan metode VMT.
Setelah mengetahui hasil dari pemeriksaan fungsi motoris, kemudian diambil
sampel darah vena pasien untuk dilakukan pengukuran kadar p75 neurotrophin
receptor yang dilakukan di Laboratorium Ilmu Faal Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya (FKUB) Malang.
berdasar tabel diatas didapatkan hasil semakin tinggi kadar p75
neurotrophin receptor dalam darah semakin rendah skoring dari pemeriksaan
fungsi saraf motoris pada pasien MH tipe Multibasiler dan Pausibasiler.
5.2 Analisis Data
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan bantuan program SPSS
statistic 22. Hasil analisis yang didapatkan berupa output program yang
tercantum pada bagian lampiran. Adapun penjelasan berdasar output
ini dijabarkan sebagai berikut.
Penelitian ini menggunakan variabel ordinal atau numerik dengan faktor
yang ingin diketahui yaitu hubungan antara pemeriksaan VMT dengan kadar
p75 neurotrophin receptor dalam darah. Pengujian statistic ini menggunakan uji
korelasi dengan Spearman .Berikut langkah – langkah yang dilakukan untuk
menganalisis data:
1. Melakukan uji normalitas Shapiro-Wilk test untuk mengetahui data
berdistribusi normal atau tidak.
2. Uji korelasi dengan Spearman bertujuan mengetahui hubungan antara
p75 neurotrophin receptor dan motorik pasien yang spesifik untuk 2
variabel berskala ordinal atau numerik.
5.2.1 Uji Hipotesis Pasien Lepra PB
Rerata kadar kadar p75 NTR pada 12 pasien PB yaitu 40,4008 +
6,8496 ng/L, Distribusi data tidak normal (p=0,001 (Shapiro-Wilk)).
sedang , rerata nilai VMT 12 pasien PB yang sama yaitu 3,83 +
0,322 dengan pola distribusi data tidak normal (p =0,48 (Shapiro-Wilk)).
Sehingga, uji korelasi yang paling tepat digunakan yaitu Spearman
correlation test. Uji Hipotesis hubungan antara variabel dependen (skor
pemeriksaan VMT) dan variabel independen (NGF P75) menggunakan uji
korelasi Spearman. Uji korelasi Spearman ini merupakan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel berskala ordinal
atau numerik, dan cara untuk menginterpretasikan sejauh mana
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
berdasar koefisien korelasi.
berdasar hasil uji korelasi antara P75 dengan skor VMT di atas
menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar -0.859, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara P75
dengan skor VMT, dimana ada kecenderungan yang kuat semakin
rendah skor VMT seseorang, maka akan diikuti oleh skor P75 yang lebih
tinggi. Demikian sebaliknya.
5.2.2 Uji Hipotesis Pasien Lepra MB
Rerata kadar p75 NTR pada 21 pasien MB yaitu 31,5087 +
6,2884 ng/L, Distribusi data tidak normal (p=0,000 (Shapiro-Wilk)).
sedang , rerata nilai VMT 21 pasien MB yang sama yaitu 4,8095 +
0,0878 dengan pola distribusi data tidak normal (p =0,000 (Shapiro-Wilk)).
Sehingga, uji korelasi yang paling tepat digunakan yaitu Spearman
correlation test. Uji Hipotesis hubungan antara variabel dependen (skor
pemeriksaan VMT) dan variabel independen (NGF P75) menggunakan uji
korelasi Spearman. Uji korelasi Spearman ini merupakan uji statistik untuk
mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel berskala ordinal
atau numerik, dan cara untuk menginterpretasikan sejauh mana
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
berdasar koefisien korelasi.
berdasar hasil uji korelasi antara P75 dengan skor VMT di atas
menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar -0.621, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat antara P75 dengan skor
VMT, dimana ada kecenderungan yang kuat semakin rendah skor
VMT seseorang, maka akan diikuti oleh skor P75 yang lebih tinggi.
Demikian sebaliknya.
Salah satu cara untuk mendiagnosis adanya kerusakan saraf
pada pasien Morbus Hansen yaitu dengan dilakukannya pemeriksaan
motoris dengan menggunakan metode Voluntary Muscular Test
pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kekuatan motorik pasien.
Selain itu dilakukan pemeriksaan biomarker p75 neurotrophin receptor
untuk melihat jumlah kadar p75 neurotrophin receptor di dalam darah
pasien. Penelitian ini sebelumnya belum pernah dilakukan namun fungsi
apoptosis pada p75 neurotrophin receptor sangat penting dengan diikuti
kerusakan saraf. P75 neurotrophin receptor diregulasi oleh sel-sel
Schwann yang reaktif setelah cedera saraf perifer. Selain itu, p75
neurotrophin receptor dan RhoA memainkan peran penting dalam
regulasi apoptosis. Untuk menentukan apakah siRNA dirancang untuk
p75 neurotrophin receptor dapat down regulates kedua p75 neurotrophin
receptor dan Rho-A pada RNA di tikus dan, jika demikian apoptosis pada
sel Schwann terjadi . Sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar p75 neurotrophin receptor
dalam darah pasien dengan kekuatan otot motoris. Pemeriksaan VMT ini
dilakukan dengan memeriksa kekuatan fungsi motoris pada nervus
ulnaris, nervus medianus, nervus radialis, nervus facialis dan nervus
lateral popliteal sedang pemeriksaan jumlah kadar p75 neurotrophin
receptor dengan mengambil sampel darah vena pasien sebanyak 4 -5 ml
dengan spuit disposable kemudian tunggu hingga menggumpal.
Kemudian darah disetrifugasi dan dilusi sampel hingga 10 kali
pengenceran setelah itu di inkubasi selama 2 jam. Darah yang sudah di
inkubasi selama 2 jam ditambahkan Biotin Antibody , HRP –adivin dan
kemudian di inkubasi masing masing selama 1 jam. Setelah itu diberikan
Tmb Substrate, dan stop solution dan diukur dengan microplate reader. berdasar hasil uji korelasi antara P75 dengan skor VMT
menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar -0.859 pada pasien PB dan
nilai koefisien korelasi sebesar -0.621 pada pasien MB, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat dan kuat antara
P75 dengan skor VMT, dimana ada kecenderungan semakin rendah
skor VMT seseorang, maka akan diikuti oleh skor P75 yang lebih tinggi.
Demikian sebaliknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
semakin banyak jaringan sel saraf yang mengalami kerusakan akibat
infeksi Mycobacterium leprae akan berakibat teraktifasinya aktifitas NGF,
yang akan mengaktifkan reseptor P75 sehingga jumlah yang dikeluarkan
akan semakin banyak. Maka dari itu, dari hasil penelitian kadar P75 ini
dapat dijadikan sebagai pengukuran yang menjadi indikasi bahwa
semakin banyaknya kadar P75 akan berakibat pada keparahan fungsi
saraf akibat infeksi yang ditimbulkan Mycobacterium leprae ini.
6.2 Implikasi terhadap bidang kedokteran
Keuntungan dari penelitian ini yaitu dapat memastikan tingkat
kerusakan saraf pasien leprae tidak hanya melalui pemeriksaan motoris
namun dibantu dengan pemeriksaan kadar P75 neurotrophin receptor
pada pasien. Sehingga dapat mengetahui tingkat kerusakan saraf pada
pasien MH melalui kadar P75 neurotrophin receptor.
6.3 Keterbatasan Penelitian
Susahnya pengambilan sampel disebab kan pasien yang kurang
kooperatif dan banyak yang tidak bersedia untuk mengikuti penelitian.
Sehingga butuh bantuan dari keluarga dan perawat yang berada di RSK.
Kediri.
Lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan sebab infeksi dari
bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer dan mampu menempel
pada basal lamina sel Schwann sehingga mampu menginvasi saraf-saraf perifer.
Kerusakan yang terjadi memicu fungsi dari sensoris menurun dan
memicu adanya perasaan kebas atau mati rasa. Hal ini terjadi ketika
makrofag gagal untuk melawan bakteri Mycobacterium leprae sehingga sistem saraf
terganggu kerjanya dan tidak mampu memberikan sinyal kepada otak dan bagian
dari tubuh lainnya. Banyaknya jaringan sel saraf yang mengalami kerusakan akibat
infeksi Mycobacterium leprae akan berakibat teraktifasinya aktifitas NGF, yang akan
mengaktifkan reseptor p75 sehingga jumlah yang dikeluarkan akan semakin banyak.
Peran dari aktivasi reseptor neurotrophin p75 memicu apaptosis yang berefek
dalam sistem saraf. Sehingga jika kadar reseptor neurotrophin p75 semakin tinggi
akan memicu terjadinya kerusakan saraf sehingga akan memicu kecacatan.
Pemeriksaan fungsi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
gangguan fungsi saraf pada penderita kusta. Metode standar untuk memeriksa
gangguan fungsi salah satunya dengan melakukan pemeriksaan motoris atau
Voluntary Muscle Test (VMT). Jika hasil pemeriksaan VMT ditemukan skala rendah
maka ditemukan juga peningkatan aktivasi dari reseptor neurotrophin p75.
berdasar hasil penelitian ini, uji korelasi antara p75 dengan skor VMT
menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar -0.768 dengan p=0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara P75
dengan skor VMT, dimana ada kecenderungan yang kuat semakin rendah skor
VMT seseorang, maka akan diikuti oleh skor P75 yang lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa, aktivitas dari p75 mampu secara efektif untuk langkah awal
mendeteksi kerusakan saraf perifer pada pasien leprae.
kusta38
Lepra adalah penyakit infeksi granulomatosa
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae.
1
Di Indonesia, prevalensi lepra pada
tahun 2010 adalah 0,86 per 10.000 penduduk
dengan laju deteksi kasus baru 4,6 per 100.000
penduduk dan angka cacat tingkat II sebesar
10,37%.2
Penyakit ini pertama menyerang
saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian
atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot,
tulang, dan testis, kecuali saraf pusat.2
Pada
kebanyakan orang, penyakit lepra bersifat
asimtomatik, pada sebagian kecil bergejala
dan cenderung menyebabkan cacat,
khususnya tangan dan kaki.2
Ulkus plantar atau disebut juga ulkus neuropati
merupakan salah satu ulkus lepra. Ulkus ini
paling sering menyebabkan disabilitas serius
(10%-20%) pada pasien lepra; 70% mengenai
forefoot.
3
Ulkus plantar dapat terjadi pada
lepra tipe pausibasiler dan multibasiler,
dapat bersifat lokal atau ekstensif serta dapat
ditemukan satu atau beberapa lesi yang
selanjutnya akan menyebabkan deformitas
dan/atau amputasi.4
Ulkus plantar lepra sulit sembuh dan sering
rekuren.5
Gangguan sensibilitas, deformitas,
trauma, infeksi sekunder, dan keterlibatan
tulang merupakan faktor utama penyebab
rekurensi.6
Diagnosis yang tertunda,
perawatan yang kurang tepat serta kegagalan
pengobatan reaksi lepra merupakan faktorfaktor yang berkontribusi untuk terjadinya
kerusakan saraf dan ulkus neuropati.4
Penyembuhan yang tidak sempurna akan
menghasilkan sikatriks yang dapat memicu
siklus ulkus-sikatriks-ulkus, sehingga ulkus sulit
sembuh. Ulkus kronis dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi termasuk keganasan.6
Ulkus plantar dapat diklasifikasikan
berdasarkan derajat ulkus dan modalitas terapi
harus sesuai dengan derajat ulkus.5
Berbagai
modalitas terapi ulkus plantar hasilnya sering
kurang memuaskan dan membutuhkan biaya
perawatan yang tinggi.4
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah
untuk memahami prinsip pengelolaan ulkus
plantar pada pasien lepra agar kecacatan
dapat dicegah.
DEFINISI
Ulkus adalah hilangnya jaringan kulit hingga
mencapai papila dermis atau lebih, dan
memiliki tepi, dinding, dasar, dan isi. Ulkus
plantar adalah ulkus yang terkait dengan
hilangnya sensasi protektif bagian plantar
akibat neuropati perifer yang disebabkan
oleh gangguan neurologis primer, gangguan
metabolik, trauma, infeksi, atau prosedur
bedah.6
Ulkus plantar memiliki tepi teratur,
dapat bergaung atau tidak, sering dikelilingi
kalus, dan biasanya tidak nyeri, kecuali jika
arteri terlibat atau disertai infeksi sekunder.
Ulkus ini umumnya terdapat di bagian tubuh
yang sering mendapat trauma dan tekanan
berulang, terutama di bagian tubuh yang
menyangga berat badan, misalnya telapak
kaki, sehingga sering disebut ulkus plantar
atau mal perforans pedis atau mal perforans
du pied.
6
Dahulu, ulkus plantar lepra juga
dikenal dengan nama ulkus trofik atau
neurotrofik karena diduga kerusakan saraf
akan menyebabkan gangguan nutrisi.6
Berdasarkan gambaran histopatologi ulkus
plantar didapatkan 3 lapisan, yaitu lapisan
nekrosis, nekrobiosis, dan granulomatosa reaktif. Selanjutnya terjadi degenerasi vaskular
(degenerasi fibrinoid dinding pembuluh
darah atau hilangnya arteritis) dan edema
selama proses granulasi.6
Ulkus plantar perforasi pada lepra
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya,
yaitu primer dan sekunder.7
1. Ulkus perforasi plantar primer
Ulkus ini terjadi jika terdapat kerusakan/
gangguan seperti trauma eksternal atau
luka bakar, lepuh karena penggunaan
sepatu terlalu ketat menyebabkan
kalus dan sikatrik atau kulit pecahpecah, erosi di sekitar area interdigitalis,
pompholyx-like ringworm atau penyakit
dermatosis lain yang tidak diobati.6
Pasien dengan gangguan neuropati kaki
akan sulit berjalan karena edema jaringan
lunak dan tulang di sekitar ulkus. Jika
diistirahatkan, ulkus akan membaik sekitar
2-3 hari, tetapi jika tidak diobati akan
nekrosis dalam 4-6 hari dan menjadi ulkus
perforasi plantar.7,8 Luka ini bersifat kronis
dengan distribusi khas di daerah telapak
kaki (Gambar 1).
8
Akibat pengelolaan
yang tidak tepat, dapat berlanjut menjadi
cacat yang lebih berat.
ETIOPATOGENESIS
A. Kerusakan Saraf
Kerusakan saraf daerah kaki menimbulkan
gangguan sensibilitas berupa anestesi
(sensorik), kelumpuhan otot (motorik), dan
kulit kering akibat hilangnya fungsi kelenjar
keringat dan kelenjar lemak kulit (otonom).7
1. Gangguan Sensorik
Beberapa mekanisme yang menyebabkan
timbulnya ulkus, yaitu:
1. Tekanan berat badan: jika berdiri dalam
waktu lama, kulit telapak kaki akan
mendapat tekanan berat badan, sehingga
aliran darah terganggu. Pada orang normal
keadaan tersebut menimbulkan perasaan
tidak nyaman dan akan timbul usaha
menggerakkan atau memindahkan
tekanan berat badan, sehingga kulit telapak
kaki kembali mendapatkan aliran darah.
Pada kulit anestesi, keadaan tersebut
tidak dirasakan. Bila berlangsung lama
akan mengakibatkan sianosis yang
menetap dan menimbulkan lepuh yang
selanjutnya menimbulkan luka.
2. Tekanan yang lama: dapat timbul akibat
3. Tekanan berulang: bila kulit mendapatkan
benturan ringan berulang, terutama pada
daerah kulit telapak kaki yang biasanya
tidak langsung menerima berat badan,
dapat menimbulkan keadaan hiperemi,
4. Tekanan tinggi: tekanan tinggi pada kulit,
misalnya karena paku, duri, atau batu yang
tajam akan mengakibatkan luka pada
5. Tekanan saat berjalan: pada saat berjalan
akan terjadi mekanisme pemindahan berat
badan yang melibatkan bagian-bagian
kaki, yaitu heel strike, stance, push off, dan
swing. Anestesi pada bagian kaki tersebut
akan memudahkan timbulnya luka.
6. Tekanan shearing: tekanan dengan
gaya horizontal, sehingga kulit telapak
kaki bergesekan dengan tulang di
bawahnya. Anestesi dan kelainan
jaringan kulit, misalnya jaringan parut
akan memudahkan timbulnya luka.6 Karena
tidak merasa nyeri, luka telapak kaki tidak
diperhatikan, bahkan mendapat trauma
lebih lanjut, sehingga luka bertambah
parah dan menimbulkan komplikasi.6
2. Gangguan Motorik
Gangguan motorik mengakibatkan
kelumpuhan otot, sehingga cara berjalan
terganggu; bagian-bagian telapak kaki yang
tidak seharusnya menerima berat badan atau
beberapa bagian telapak kaki akan menerima
beban berlebihan.6
3. Gangguan Otonom
Gangguan saraf otonom menyebabkan
hilangnya fungsi kelenjar keringat dan kelenjar
lemak kulit, sehingga kulit menjadi kering dan
mudah retak yang selanjutnya berkembang
menjadi luka.
A. Gangguan Tekstur Kulit Telapak Kaki
Kulit telapak kaki mempunyai tekstur
khas; pada kulit terdapat sekat-sekat yang
memisahkan globus-globus lemak. Bila kulit
mendapat tekanan berat badan, tekanan
ini dapat disebarkan ke daerah sekitarnya,
sehingga dapat ditahan oleh daerah kulit yang
lebih luas. Paul Barand menyebut mekanisme
ini sebagai fenomena “slippery slope”.2
Apabila
terdapat jaringan parut, mekanisme ini
menjadi terganggu dan kulit daerah tersebut
akan mendapat tekanan yang lebih tinggi,
sehingga menimbulkan luka. Keadaan ini
dapat menjelaskan mengapa luka kulit telapak
kaki sangat mudah berulang.2
DIAGNOSIS BANDING
Ulkus plantar dapat dijumpai pada neuropati
diabetes. Penyakit ini juga dapat disebabkan
penyakit lain seperti frambusia, tabes dorsalis,
penyakit Buerger, spina bifida, siringomielia,
dan neuropati sensoris kongenital.6,8
PENCEGAHAN ULKUS
Pasien diedukasi agar saat berjalan tekanan
tubuh diusahakan tersebar merata ke
seluruh bagian telapak kaki. Sebagian
besar ulkus plantar muncul akibat tekanan
tubuh yang tertumpu pada area tertentu,
sehingga mendapat tekanan lebih tinggi
yang selanjutnya akan merusak jaringan.
Pasien juga diberi edukasi untuk mengenali
tanda-tanda kelelahan, misalnya rasa panas,
kemerahan, dan bengkak di daerah kaki.10,11
Pasien dianjurkan agar berjalan tidak terlalu
lama dan diminta memperhatikan lama
berjalan tanpa terjadi luka. Pasien diminta
berhati-hati terhadap api, air panas, dan
benda-benda panas lainnya, serta berhati-hati
saat duduk bersila karena dapat terjadi lepuh
mata kaki.12,13
Suhu kaki diukur dengan termometer digital
inframerah; jika suhu salah satu kaki meningkat
>2,2o
C (4o
F) dibandingkan kaki yang lain
selama dua hari berturut-turut, pasien diminta
untuk menurunkan aktivitas kaki sampai suhu
normal kembali.14
MANAJEMEN ULKUS
Prinsip utama manajemen ulkus adalah menghilangkan tekanan pada lokasi ulkus,
debridemen agresif, serta kontrol infeksi yang
adekuat.14
Tata laksana ulkus kronis pada pasien kusta
meliputi pemilihan jenis dressing, operasi
ortopedi dan operasi plastik, plester gips,
alas kaki khusus, splints, kruk, kursi roda, dan
istirahat. Pengalaman klinis menunjukkan
bahwa kepatuhan pasien dan kerjasama
yang baik adalah pertimbangan utama
dalam memilih cara pengobatan. Pada
umumnya kepatuhan pasien rendah untuk
rehabilitasi dan pencegahan kecacatan
(misalnya penggunaan alas kaki yang
sesuai), sehingga perlu pengetahuan
yang baik untuk meningkatkan kepatuhan
pasien.15 World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pengukuran sensasi pada
deformitas kaki yang disebabkan lepra.16
Prinsip penatalaksanaan luka plantar pasien
kusta adalah:
A. Immobilisasi
Sangat penting untuk mengistirahatkan
kaki yang luka. Dapat digunakan alat bantu,
misalnya: tongkat, bidai, gips. Dengan istirahat
biasanya luka plantar akan sembuh dalam 6
minggu.2
B. Perawatan Luka
1. Perawatan Lokal
Pemilihan dressing harus tepat.17 Salah satu
pemilihan terapi topikal adalah pasta topical
phenytoin sodium zinc oxide yang terdiri dari
campuran phenytoin sodium dengan pasta
zinc oxide (ZnO).16 Sejak tahun 1961, efek
phenytoin ini telah dipelajari pada berbagai
studi kultur jaringan.16 Phenytoin memodulasi
metabolisme jaringan ikat dan proliferasi sel
dalam kultur fibroblas manusia, sehingga
phenytoin sodium topikal digunakan untuk
penyembuhan luka.16,18 Namun, penelitian
in vitro oleh Vijiyasingam, dkk. menunjukkan
bahwa fenitoin mempunyai efek minimal
dalam proses penyembuhan luka.19 Studi
in vivo oleh Sehgal, dkk. menunjukkan
interaksi antara phenytoin dan keratinosit
atau fibroblas, tetapi merupakan efek tidak
langsung dari sel-sel lain seperti sel radang
atau sel limforetikular. Pasta ZnO berisi bubuk
ZnO halus dengan konsentrasi 24%-26%,
bersifat tidak larut dalam air dan memiliki
efek proteksi, menurunkan infeksi bakteri dan
membantu epitelialisasi. Namun, monoterapi
pasta ZnO saja tidak mempunyai efek
meskipun penggunaan pasta efektif sebagai
vehikulum.16
Penelitian Virendra, dkk. menunjukkan bahwa
pasta phenytoin sodium zinc oxide efektif dapat
mengurangi ukuran ulkus plantar setelah 4
minggu perawatan. Dalam penelitian ini, 75%
dari 10 pasien tipe tuberkuloid dan 51% dari 11
pasien tipe lepromatosa menunjukkan reduksi
ukuran ulkus. Penyembuhan luka tertunda
pada tipe lepromatosa mungkin karena
adanya keterlibatan tulang, sistem imunitas
rendah, status gizi buruk, dan anemia pada
pasien di daerah endemik yang dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi buruk.16
Shafer, dkk. mendapatkan pembentukan
jaringan granulasi pada 50%-90% subjek
pengguna phenytoin topikal pada 100
penderita kusta dengan 110 ulkus tropik
dan mengamati pembentukan jaringan
granulasi dalam 4 minggu; phenytoin sodium
mempunyai efek menghilangkan bakteri,
seperti S. aureus, E. coli, Klebsiella spp., dan
Pseudomonas spp. dalam 7-9 hari.18
Efek samping phenytoin topikal jarang terjadi.
Pemberian langsung bubuk phenytoin dalam
ulkus terkadang menimbulkan sensasi
terbakar; penambahan pasta ZnO akan
mengurangi iritasi. Pembentukan jaringan
granulasi hipertrofik didapatkan pada 10%-
36% kasus yang diterapi dengan phenytoin
dan normal salin, akan tetapi dalam studi
penggunaan pasta ZnO dan phenytoin
tidak didapatkan jaringan granulasi karena
pemberian dihentikan setelah 4 minggu.20
Penggunaan serbuk phenytoin sodium
dicampur dalam pasta ZnO efektif.21 Hal yang
harus dievaluasi yaitu terbentuknya jaringan
granulasi dan/atau re-epitelisasi dengan
manifestasi jaringan fibrosa kemerahan karena
terbentuknya pembuluh darah kecil kaya
oksigen dan nutrisi.16
2. Lembar Amnion
Salah satu keunggulan amnion adalah jarang
menimbulkan reaksi penolakan jaringan.22
Membran amnion manusia merupakan
lapisan terdalam plasenta dan bagian dari
kavum amnion. Amnion terdiri dari selapis sel
epitel, membran basal, dan matriks jaringan
penunjang. Donor amnion yang eligible
adalah ibu hidup yang baru melahirkan
bayi hidup dengan operasi caesar elektif.22
Membran plasenta dan cairan amnion
merupakan sumber sel punca. Sel punca dari
membran plasenta dan cairan amnion yang
mendukung perkembangan fetus menjadi
subjek penelitian intensif karena plastisitasnya
serta kemampuan untuk berdiferensiasi
menjadi berbagai jenis jaringan, sehingga
memungkinkan penggunaan klinis yang
luas. Keberhasilan penggunaan amnion pada
berbagai jenis ulkus cukup memuaskan.22
Lembar amnion cukup aman dan efektif untuk
berbagai jenis ulkus dengan risiko penolakan
jaringan rendah.22
Lo Venetia, dkk. menggunakan selaput
amnion manusia secara graft pada pasien
epidermolisis bulosa dan didapatkan hasil
baik.23 Selaput amnion manusia diduga
mengandung materi biologis yang dapat
mencegah terbentuknya keloid, mengurangi
radang, dan menghambat infeksi, sehingga
mempercepat penyembuhan ulkus. Amnion
memiliki efek biologis yang penting untuk
penyembuhan ulkus, antara lain sebagai
anti-inflamasi, anti-mikroba, anti-fibrosis, antiscarring, serta imunogenisitas yang rendah.
Keuntungan lain adalah relatif murah, efektif,
stabil, serta mudah diaplikasikan.24
Penggunaan klinis allograft membran amnion
manusia cukup luas, mulai dari prosedur
oftalmologi sampai rekonstruksi jaringan
lunak seperti pada ulkus bakar, manajemen
ulkus, serta ulkus kronis diabetes. Bentuk
lebih modern adalah penggunaan ekstrak
plasenta yang diketahui dapat mempercepat
fibrogenesis dan angiogenesis, sehingga
efektif sebagai terapi topikal dalam tata
laksana ulkus kronis, termasuk ulkus bakar
luas.24,25 Esti, dkk. mendapatkan bahwa
pengobatan ulkus plantar sederhana
menggunakan kasa amnion pada pasien
lepra di RS Kusta Sitanala memberikan hasil
memuaskan. Sebagian besar ulkus membaik
dalam 1 minggu pertama. Penutupan 9 lesi
ulkus setelah 1 minggu, antara 0 – 100%
(rerata 18,3%, median 11,7%). Pada minggu
IV tersisa 4 ulkus dengan rerata keberhasilan
penutupan ulkus 42,75%, median 33,9%. Pada
minggu V tersisa 2 ulkus dengan keberhasilan
penutupan 47,7% dan 81,2%. Keberhasilan
penutupan ulkus melewati 50% pada minggu
II - V pada 4 dari 9 ulkus, atau 44,5%.22
Aplikasi lembar amnion hanya pada ulkus
sederhana tanpa penyulit (osteomielitis atau
gangren yang harus ditangani secara khusus). Luas ulkus diukur menggunakan rumus:
(diameter terpanjang + diameter terpendek)
x 0,785.10 Pertama, ulkus dibersihkan dengan
larutan berisi chlorhexidine gluconate dan
cetrimide solution, dan dibilas dengan NaCl
fisiologis, lalu dilakukan debridemen mekanik.
Kemudian ulkus dibersihkan kembali dengan
larutan berisi chlorhexidine gluconate dan
cetrimide solution serta NaCl fisiologis.22
Setelah ulkus kering, lembar amnion steril
ditempelkan pada permukaan ulkus hingga
menutupi seluruh permukaan ulkus sampai
tepi ulkus; kemudian ditutup dengan kasa
yang dibasahi cairan antiseptik dan dibebat
dengan kasa gulung. Pasien diedukasi untuk
menjaga balutan agar tetap bersih dan kering.
Kondisi balutan diperiksa tiap hari; balutan
yang lepas, kotor, atau basah segera diganti.
Lembar amnion tetap menempel pada ulkus
selama 1 minggu. Setelah satu minggu, ulkus
kembali dibuka dan dibersihkan dengan cara
yang sama, dan lembar amnion diganti baru
kemudian dilakukan penilaian klinis dan
pengukuran ulkus.22
3. Platelet Rich Plasma (PRP) Topikal
Platelet rich plasma (PRP) mengandung
bermacam growth factors yang diperlukan
dalam penyembuhan luka.26 Saat trombosit
pada plasma kaya trombosit teraktivasi oleh
trombin, trombosit akan melepaskan growth
factors dan substansi lain yang berfungsi
mempercepat proses penyembuhan
luka dengan meningkatkan proliferasi sel,
pembentukan matriks, produksi osteoid,
penyembuhan jaringan ikat, angiogenesis,
dan sintesis kolagen. Platelet rich plasma
bekerja melalui degranulasi α-granules berisi
growth factors yang terdapat pada trombosit.27
Protein sekretori yang terkandung dalam
α-granules trombosit adalah platelet-derived
growth factor (PDGF) isomer AA, BB, dan AB,
transforming growth factor-ß (TGF-ß), platelet
factor 4 (PF4), interleukin-1 (IL-1), plateletderived angiogenesis factor (PDAF), vascular
endothelial growth factor (VEGF), epidermal
growth factor (EGF), platelet-derived endothelial
growth factor (PDEGF), epithelial cell growth
factor (ECGF), insulin-like growth factor (IGF),
osteocalcin (Oc), osteonectin (On), fibrinogen
(Ff ), vitronectin (Vn), fibronectin (Fn), dan
thrombospondin-1 (TSP-1). Growth factors
tersebut membantu penyembuhan dengan
menarik sel-sel dalam matriks yang baru
terbentuk dan memicu pembelahan sel.
28
Penelitian Sari, dkk. (2016) di URJ RS. Dr.
Soetomo pada 20 pasien lepra dengan ulkus
plantar kronis mendapatkan bahwa hasil
terapi PRP cukup baik, ditinjau dari perbaikan
ukuran luka, peningkatan sel makrofag, sel
neovaskular, dan jaringan granulasi.29 Hal ini
didukung oleh penelitian Salazar, dkk. (2014)
bahwa pada pemberian PRP topikal, luka
menutup hingga 60% pada 11 kasus ulkus
plantar kronik non-iskemik dan menutup
sempurna pada 5 kasus lainnya.30 PRP akan
menstimulasi pertumbuhan sel-sel endotel
pembuluh darah, sehingga membentuk
jaringan kulit kaya pembuluh darah kapiler
baru yang biasa disebut neovaskularisasi
yang diperlukan pada fase proliferasi.31 Selain
itu, dalam PRP juga terdapat TGF-β yang
berperan sebagai mediator interaksi sel,
sehingga memicu proliferasi sel mesenkimal
dan sel punca di daerah luka yang berperan
pada pembentukan jaringan granulasi pada
fase awal penyembuhan luka kronis, proses
epitelialisasi, dan proses remodelling jaringan
tubuh yang rusak. Faktor pertumbuhan pada
PRP ini juga mampu mempercepat fase
inflamasi pada ulkus plantar kronis, sehingga
dapat masuk ke fase pembentukan jaringan
granulasi.32 Penekanan berkepanjangan
dapat mengakibatkan hipoksia jaringan,
yang akan menimbulkan insufisiensi perfusi
dan angiogenesis.33 Konsumsi alkohol
juga memengaruhi angiogenesis dengan
menurunkan ekspresi reseptor VEGF di sel
endotel.34
4. Low Level Laser Therapy
Low level laser therapy (LLLT) telah digunakan
sejak akhir tahun 1960 untuk mempercepat
proses penyembuhan luka, namun hasilnya
masih kontroversial. Dalam studi Goncalves
pada tahun 2000, penggunaan LLLT dalam
pengobatan ulkus lepra mencapai angka
kesembuhan 66%.35
Fibroblas pada luka kronis menyebabkan faktor
pertumbuhan terganggu, sehingga akan
meningkatkan jumlah senescent cells. Pasien
tipe lepromatosa lebih berisiko menderita
ulkus kronis kaki karena adanya gangguan
vaskular selama infeksi M. leprae dan/atau
neuropati perifer, sehingga menyebabkan
perbaikan ulkus terganggu.4
Gejala sisa ulkus
plantar menyebabkan kerugian baik dari segi
sosial maupun ekonomi.4
Untuk mendapatkan hasil LLLT yang optimal,
sangat penting untuk menentukan teknik
yang tepat dari mekanisme aksi dan interaksi
laser dengan jaringan hidup.35 Beberapa
penelitian pada hewan menunjukkan
bahwa hiperglikemia dan asidosis menunda
penyembuhan luka. Iradiasi laser dapat
menghambat proses tanpa eksudat serius atau
berdarah.35 Studi Rashidi (2015) menunjukkan
keberhasilan laser sebagai adjuvan atau
pengobatan alternatif untuk penutupan luka
bedah, mengurangi infeksi dan rasa sakit, serta
mempercepat waktu penyembuhan luka
secara keseluruhan (Gambar 2). Terapi laser
sebagai adjuvan pengobatan terapi standar
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam
pengobatan ulkus ekstremitas bawah, tetapi
kurang berhasil untuk ulkus yang disebabkan
tekanan. Parameter (panjang gelombang,
listrik, energi, frekuensi denyut nadi, pulse
duration, dll) dan kondisi iradiasi seperti waktu
pemaparan, frekuensi, dan durasi pengobatan
memengaruhi hasil pengobatan.15
Gambar 2. Skema dari cara kerja LLLT.15
LLLT daya rendah atau dioda pemancar cahaya
digunakan untuk mempercepat perbaikan
fungsi sel.15 Manfaat LLLT telah terbukti
signifikan untuk mengurangi nyeri akut,
mempercepat penyembuhan luka15 dengan
mendorong proliferasi sel, mempercepat
sintesis kolagen dan pembentukan jaringan
granulasi, pembentukan procollagen tipe I
dan tipe III dan meningkatkan sintesis ATP di
dalam mitokondria,36 mengaktifkan limfosit,
dan meningkatkan kemampuan mengikat
patogen.37
Kepadatan energi per sesi perawatan LLLT
harus dalam kisaran 0,1 - 12,0 J/cm2
, jika
terdapat penyakit penyerta, direkomendasikan
hingga mencapai 30 J/cm2
. Dosis maksimal
pada perawatan tunggal ulkus lepra tidak
melebihi 4 J/cm.2,15
5. Pembedahan
Pembedahan dilakukan untuk mengatasi komplikasi seperti osteomielitis, abses, sinus,
artritis septik, menghilangkan jaringan
parut, memperbaiki bentuk dan mekanisme
kaki, serta mencegah penyebaran pada
keganasan.12,11
a. Free Tissue Transfer
Flap lokal dan free tissue transfer (FTT)
merupakan salah satu pilihan pengobatan
ulkus kronis.5
FTT jarang digunakan pada
ulkus plantar lepra; sebuah laporan kasus
pertama di India menggunakan flap arteri
radial lengan bawah untuk menutup ulkus
plantar bagian distal forefoot, tidak didapatkan
rekurensi setelah 9 bulan follow up (Gambar
3).5
Dengan FTT, debridemen pada area
osteomilitis dengan membuang tulang
yang menonjol, kemudian ditutup dengan
jaringan tervaskularisasi baik menggunakan
anastomosis end-to-side arterial dan
menggunakan arteri tibialis anterior sebagai
resipien.5
Arteri tibialis anterior lebih dipilih
karena arteri tibialis posterior merupakan
pembuluh darah dominan dan anastomosis
pada arteri tibialis posterior lebih berisiko
menimbulkan jaringan parut di daerah yang
menahan beban tubuh.5
b. Penggunaan Alat Ilizarov
Kamath, dkk. menggunakan alat Ilizarov untuk
menutup ulkus plantar pada pasien lepra
tanpa penyakit penyerta seperti diabetes
melitus dan gangguan vaskular lain dengan
syarat ukuran ulkus kurang dari 4 cm dan ulkus
tidak mengenai tulang. Peralatan tersebut
menggunakan beberapa K-wires. Dengan
K-wires, tepi ulkus posisi medio-lateral akan
ditarik untuk dipertemukan, kemudian dijahit
dengan benang non-absorbable agar terjadi
aproksimasi. Metode ini menggunakan sifat
kulit yang secara bertahap dapat meregang
dan kemampuan kulit untuk meningkatkan
aktivitas mitosis dalam 24-48 jam sebagai
respons terhadap tekanan ekspansi persisten.
Metode ini sangat efektif, mudah, dan berhasil
menutup ulkus berukuran kurang dari 4 cm.38
Perangkat Ilizarov terdiri dari (Gambar 4):
1. Dua K-wires ukuran 1,5 hingga 1,8 mm.
2. Dua baut K-wire yang dibuat khusus,
tanpa benang, dan bebas meluncur di
atas batang berulir. K-wires terpaku pada
baut-baut ini dengan menggunakan baut
eksternal seperti pada gambar 4A. Ujung
baut bulat dan tumpul untuk mencegah
kulit agar tidak terobek.
3. Dua batang berulir.
4. Delapan baut berulir, yang dapat dipasang
ke batang berulir.
Teknik penggunaan peralatan Ilizarov, yaitu
K-wires dilewatkan pada kedua sisi ulkus pada
jarak sekitar 1 cm dari tepi dengan kedalaman
mencapai dermis. Hal yang harus diperhatikan
adalah kedalaman dan jarak ulkus harus sama
untuk mendapatkan kekuatan yang sama.
Kedua wires tersebut kemudian dimasuki baut
pengikat K-wire, batang berulir dilewatkan
ke baut penahan K-wire pada kedua sisi dan
dikencangkan dengan memasukkan dua baut
berulir pada ujung luar setiap baut pengikat
K-wire. Saat K-wire dikencangkan, baut berulir
ini akan mendekat (Gambar 5).
A. Local Superficial Flaps
Ulkus spontan pada sebagian besar kasus
(90%) terjadi karena trauma kecil yang sering
terabaikan akibat telapak kaki anestesi atau
hipoaestesi; sejumlah 71%-90% ulkus plantar
mengenai forefoot; bagian medial lebih
mudah terkena daripada bagian lateral.
Proksimal phalanx ibu jari kaki merupakan
area ulkus tersering.
Metode bedah untuk penatalaksanaan ulkus
plantar meliputi skin graft dan berbagai
jenis flap.
23 Hidalgo dan Shaw melaporkan
pemisahan jaringan superfisial fasia
merupakan alternatif manajemen ulkus
plantar yang dapat diandalkan. Flap plantar
lokal lebih mudah karena suplai darah
melimpah tanpa perlu memperhatikan
disfungsi subfasial. Flap ini dapat bertahan
lama.40 Untuk mencegah ulkus plantar
berulang dibutuhkan pengurangan strain
saat berjalan, meminimalkan terjadinya
jaringan parut, mengurangi tekanan, dan
menghilangkan infeksi.39
Advancement flap meliputi V-Y advancement
flap, flap rotasi, atau flap web toe dapat
digunakan untuk revisi jaringan parut
pada luka di forefoot, sedangkan teknik
menggunakan islands flap dengan flap rotasi
sangat membantu merevisi jaringan parut
di area tumit. Untuk revisi jaringan parut di
area midfoot diperlukan bantalan ringan yang
memfasilitasi peningkatan transposisi disertai
island flap.
23 Pada tahun 2005, Gahalaut, dkk.
di India melaporkan pada 40 pasien ulkus
plantar lepra, dengan teknik local superficial
flap, ulkus membaik setelah 4 minggu dengan
re-epitelisasi 6-8 minggu dan angka rekurensi
mencapai 25%.23
Prosedur pembedahan advancement
dilanjutkan dengan transposition flaps
(Gambar 6) dan rotation flaps (Gambar
7). Defek yang harus ditutup setidaknya
dipetakan pada area donor dengan sekurangkurangnya 25% lebih untuk mengkompensasi
penyusutan kulit setelah elevasi flap dan
penutupan bebas tegangan. Sebagian besar
flap lokal masih dapat mempertahankan
sensasi dan sensibilitas tekanan saat berjalan.
Jika ulkus disertai kelainan tulang, dapat
dilakukan prosedur sekunder dengan
reseksi sebagian atau total metatarsal atau
basis phalanx proksimal dengan atau tanpa
proksimalisasi tendon ekstensor ke leher
metatarsal.
Pemantauan perfusi vaskular dan jaringan
merupakan elemen penting untuk
keberhasilan flap pasca-operasi. Flap
sebaiknya diamati tiap 5 hari untuk menilai
dari warna, suhu, turgor, ataupun ada tidaknya
perdarahan. Pergerakan tungkai dibatasi
dengan menggunakan plester gips di bawah
lutut. Drain dilepas setelah 48-72 jam dan
jahitan dibuka pada hari ke-14 pasca-operasi.
Bantalan beban parsial dan latihan dimulai
4 minggu setelah operasi jika tidak ada
komplikasi. Pasien diberi sepatu pelindung
untuk mengurangi tekanan saat ambulasi