Neglected Tropical Diseases (NTD) atau dikenal dengan Penyakit Tropis yang Terabaikan (PTT)
merupakan sekumpulan penyakit yang biasa dijumpai pada daerah dengan iklim tropis (Word Health
Organization, 2020). Dari kedua puluh jenis PTT tersebut, terdapat lebih dari 5 – 7 jenis PTT di
Indonesia, termasuk penyakit Kusta/Lepra (Kusumaratna & Tan, 2022). Penyakit kusta ini memberikan
beban yang tinggi bagi masyarakat dan dikenal dengan penyakit triple beban (cacat fisik, stigma, dan
diksriminasi) (Rahman et al., 2022).
Sesuai dengan program WHO dan SDGs tentang bagaimana pemberantasan dan pengendalian
penyakit, program NTD mencanangkan bahwa pada tahun 2021-2030 Dunia bebas dari penyakit kusta
dengan indikator angka kejadian penyakit kusta kasus baru dibawah 1:10.000. Namun, Indonesia
sendiri tahun 2019 menempati urutan ketiga didunia setelah India dan Brazil, dan ketiga negara ini
menyumbang sekitar 80% (161.780 kasus) dari total 202.226 kasus baru di dunia (Malecela & Ducker,
2021). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit kusta di Indonesia masih menjadi priotas dunia.
Berdasarkan data Kementerian kesehatan Republik Indonesia, jumlah kasus baru kusta tahun
2023 mencapai 14.376 kasus dengan target prevalensi kasus baru dibawah 5:100.000 penduduk, namun
saat ini masih terdapat 18 provinsi yang belum tereliminasi dan salah satunya adalah Provinsi Gorontalo
yang menempati urutan ke Sembilan tertinggi dengan jumlah kasus baru 13,67:100.000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa, penangan kasus kusta di provisi
Gorontalo masih membutuhkan perhatian dari seluruh pihak, baik itu pemerintah, tenaga kesehatan, dan
Masyarakat.
Penyakit kusta merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh sejenis bakteri yang
disebut Mycobacterium leprae (Word Health Organization, 2023). Bakteri Mycobacterium leprae
mempunyai infektivitas rendah dengan masa inkubasi yang sangat panjang, yaitu sekitar 5 tahun, dan
baru akan memperlihatkan gejala setelah 5-10 tahun. Seseorang yang sehat dapat menderita kusta jika
terjadi kontak erat dengan penderita kusta lainnya melalui cairan dari hidung atau persentuhan kulit.
Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernafasan bagian atas, dan mata (Jufrizal &
Nurhasanah, 2019).
Oleh karena masa inkubasi yang panjang, menyebabkan penderita tidak menyadari jika ia telah
terinfeksi bakteri sehingga memungkinkan untuk menularkan pada orang lain. Masalah lainnya yang
muncul yaitu kurangnya kesadaran masyarakat bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan dan
pengobatan pada tahap awal dapat mencegah kecacatan. Selain itu dampak lain berupa permasalahan
kesehatan jiwa akibat stigma dan diskriminasi. Dimana penderita akan dijauhi oleh masyarakat,
menyebabkan penderita mengalami penurunnya rasa percaya diri dan pada akhirnya menarik diri dari
lingkungan (Jufriyanto et al., 2020; Somar et al., 2020). Hal ini menunjukkan dampak dari penyakit
kusta tidak hanya mempengaruhi individu penderita namun juga keluarga dan komunitasnya.
Faktor risiko yang berkaitan erat dengan penyakit kusta adalah masalah sanitasi dan higienitas
diri, sehingga Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menjadi hal yang paling utama dilakukan untuk
pencegahan penularan. Penderita kusta diharapkan mampu menerapkan PHBS dengan baik dan benar,
sehingga penderita mampu merawat diri sendiri serta tidak menularkan bakteri penyebab kepada
anggota serumah maupun masyarakat sekitar, dan Masyarakat yang dalam kondisi sehat tetap terjaga
kesehatannya (Sari, 2019; Xu et al., 2023). Selain itu permasalahan kesehatan jiwa akibat stigma dan
diskriminasi dapat dicegah dengan adanya dukungan kesehatan jiwa dan psikososial melalui deteksi
dini kesehatan jiwa, penyuluhan dan pelatihan peningkatakan ketahanan kesehatan jiwa (Jatimi &
Hidayat, 2022).
Berdasarkan pengambilan data awal dengan mewawancarai Kepala Desa Buntulia Selatan, Kecamatan
Duhiadaa, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, menyatakan bahwa angka penyakit kusta
mencapai 13 kasus baru sejak Mei 2024, dan sampai dengan saat ini, masyarakat menolak untuk
memeriksakan diri pada Pelayanan Kesehatan dengan alasan tidak menderita penyakit kusta dan ada
perasaan malu diketahui penyakitnya oleh masyarakat lainnya (Sukiman, komunikasi pribadi, 28 Mei 2024). Oleh karena itu tujuan dari KKN-PK ini adalah bagaimana dilakukannya pencegahan penularan
penyakit kusta melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam perilaku hidup bersih dan sehat serta
diberikannya dukungan kesehatan jiwa (psikososial) pada Masyarakat Desa Buntulia Selatan.
METODE
Metode dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah sosialisasi pendidikan
kesehatan tentang pencegahan penyakit kusta (PHBS) dan kesehatan jiwa. Sampel dalam pengabdian
masyarakat ini berjumlah 28 masyarakat desa Buntulia Selatan. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan pada
hari senin 29 Juli 2024 di Kantor Desa Buntulia Selatan, Kecamatan Duhiadaa, Kabupaten Pohuwato,
Provinsi Gorontalo. Pemaparan materi dilakukan oleh kepala puskesmas Duhiadaa dan salah satu
mahasiswa KKN yang ditugaskan sebagai penanggung jawab materi. Kegiatan sosialisasi berlangsung
dengan lancar, serta masyarakat kooperatif selama sosialisasi berlangsung. Observasi akan dilakukan
terhadap pengetahuan masyarakat tentang PHBS dan Kesehatan Jiwa. Instrumen yang digunakan
berupa kuesioner. Evaluasi dilakukan untuk menilai adanya peningkatan pengetahuan dan perubahan
perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat desa Buntulia Selatan. Refleksi dilakukan setelah kegiatan
terlaksana. Harapannya program ini dapat berjalan dalam jangka waktu yang panjang, bukan hanya
pada saat KKN Profesi Kesehatan saja.
Hasil Pre Test menunjukkan masyarakat buntulia selatan mengenai kusta mendapatkan nilai
rata-rata 39,8% dan pengetahuan mengenai kesehatan jiwa rata-rata 10,4%. Sedangkan, hasil Post Test
menunjukkan masyarakat buntulia selatan mengenai kusta mendapatkan nilai rata-rata 45,4% dan
pengetahuan mengenai kesehatan jiwa rata-rata 19,6%.
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tentang pencegahan penyakit kusta
(PHBS) dan kesehatan jiwa (stigma) meningkat dilihat dari nilai rata-rata pretest dan posttest, sehingga
dapat disimpulkan bahwa pemberian pendidikan kesehatan tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) dan stigma penyakit kusta pada masyarakat desa Buntulia Selatan telah efektif sehingga
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan masyarakat desa Buntulia Selatan.
Berdasarkan permasalahan yang ditemukan pada masyarakat Desa Buntulia Selatan yaitu berupa
penyakit kusta maka penyelesaian masalah yang dilakukan adalah dengan melakukan beberapa kegiatan
diantaranya sosialisasi program awal dan identifikasi masyarakat yang menderita kusta, pemeriksaan
kesehatan fisik dan deteksi dini kesehatan jiwa pada masyarakat Desa Buntulia Selatan, pembentukan
koordinator/kader PHBS dan Kesehatan Jiwa, pendidikan kesehatan pencegahan penularan kusta yakni
PHBS dan pendidikan Kesehatan Jiwa (Psikososial).
Kegiatan diawali dengan sosialisasi program awal KKN-PK yaitu menyampaikan informasi
terkait program kerja dan manfaat yang akan didapatkan dengan adanya program yang ditawarkan pada
Desa. Mengindentifikasi masyarakat yang menderita kusta kemudian memastikan kebenarannya
melalui pemeriksaan tanda dan gejala penyakit kusta. Selanjutnya melakukan pemeriksaan fisik dan deteksi dini Kesehatan jiwa. Pemeriksaan fisik ini bertujuan untuk menemukan masalah Kesehatan fisik
pada masyarakat juga mengidentifikasi PHBS masyarakat di Desa Buntulia Selatan pada umumnya dan
penderita Kusta pada khsususnya sedangkan deteksi dini Kesehatan jiwa dilakukan agar dapat
mengidentifikasi masalah psikososial yang dialami oleh penderita kusta serta masyarakat akibat adanya
penderita kusta di desa tempat tinggalnya.
Program selanjutnya yang dilakukan adalah pembentukan koordinator/kader PHBS dan
Kesehatan Jiwa. Program ini dilakukan dengan musyawarah dan diskusi. Hal ini diperlukan karena
kader sangat berperan dalam terwujudnya PHBS dan Kesehatan jiwa di lingkungan masyarakat. Kader
inilah yang memantau penerapan PHBS dan Kesehatan jiwa di lingkungan masyarakat Desa Buntulia
Selatan. Setelah terbentuk kader PHBS dan Kesehatan Jiwa, dilanjutkan dengan dilaksanakannya
program penyuluhan Kesehatan tentang Kusta, pencegahan dan pengobatan kusta melalui PHBS serta
penyuluhan tentang Kesehatan jiwa (psikososial) bagi penderita kusta maupun bagi masyarakat umum.
Pelaksanaan kegiatan pengabdian Masyarakat berjalan dengan lancar dan menunjukkan bahwa
Pengetahuan Tentang Pencegahan Penyakit Kusta (PHBS) dan Kesehatan Jiwa di Desa Buntulia Selatan
meningkat setelah dilakukannya edukasi kesehatan. Hasil Pengabdian masyarakat sejalan dengan apa
yang diharapkan karena hal ini mendeskripsikan bahwa edukasi kesehatan adalah suatu kegiatan yang
dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga diharapkan peningkatan pengetahuan ini dapat
berdampak pada perubahan perilaku yang lebih bersih dan sehat. Selain itu juga masyarakat
mendapatkan pembelajaran yang menghasilkan suatu perubahan dari informasi yang tadinya belum
diketahui menjadi diketahui serta mampu mengubah stigma terhadap penyakit kusta.
Jumlah kasus baru kusta tahun 2023 masih tinggi mencapai 14.376 kasus dengan
target prevalensi kasus baru dibawah 5:100.000 penduduk. Provinsi Gorontalo
menempati urutan ke Sembilan tertinggi dengan jumlah kasus baru 13,67:100.000
penduduk. Tingginya angka kasus baru kusta ini disebabkan karena masih kurangnya
kesadaran masyarakat tentang gejala penyakit kusta, pencegahan, dampak yang
ditimbukan serta stigma dan diskriminasi yang melekat pada penderitanya, sanitasi
dan higienitas diri yang buruk. Tujuan dilakukannya pengabdian ini adalah
dilakukannya pencegahan penularan penyakit kusta melalui peningkatan
kemampuan masyarakat dalam perilaku hidup bersih dan sehat serta diberikannya
dukungan kesehatan jiwa (psikososial) pada Masyarakat Desa Buntulia Selatan.
Metode yang digunakan adalah sosialisasi program awal dan ddentifikasi Masyarakat
yang menderita kusta, pemeriksaan kesehatan fisik dan deteksi dini kesehatan jiwa
pada masyarakat Desa Buntulia Selatan, pembentukan koordinator/kader PHBS dan
Kesehatan Jiwa, pendidikan kesehatan pencegahan penularan kusta: PHBS dan
pendidikan Kesehatan Jiwa (Psikososial)
kusta18
Masa Kolonial Belanda sudah banyak terjadi berbagai macam penyakit di wilayah HindiaBelanda, salah satunya penyakit Kusta..Penyakit Kusta banyak ditemukan di wilayah bangkalan krajan .
bangkalan krajan merupakan wilayah yang memilki penderita Kusta terbanyak sepanjang tahun 1934-
1939. Hal ini tentunya ada faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya wabah Kusta di bangkalan krajan
tahun 1934-1939 sehingga diperlukan penanganan dalam menangani wabah Kusta ini.
Kusta merupakan penyakit wabah atau epidemi
yang mampu menyerang penduduk secara luas.1 Gejala
awal penyakit Kusta ditandai dengan adanya bercak
putih, seperti panu atau bercak merah dan kadas pada
kulit yang tidak gatal, tidak mengeluarkan keringat, tidak
ditumbuhi bulu, dan mati rasa atau kurang berasa bila
disentuh. Kusta menyerang susunan saraf tepi yang
kemudian dapat menyerang kulit, saluran pernafasan
bagian atas, mata, dan otot tulang.2 Kusta merupakan
penyakit yang tidak mudah menular karena 95% darsebuah populasi mempunyai kekebalan alamiah terhadap
penyakit Kusta sehingga tidak dapat tertular, 3% dari
populasi bisa tertular tetapi bisa sembuh sendiri dengan
menjaga kebersihan dan kesehatan badan maupun
lingkungan, dan hanya 2% saja yang tertular dan
memerlukan pengobatan. Terdapat dua macam penyakit
Kusta yaitu Kusta Basah (Pausibasiler) dan Kusta
Kering (Multybasiler).3 Dua jenis ini disebabkan oleh
bakteri yang sama. Tinggi rendanya kekebalan tubuh
manusia yang menentukan seseorang tersebut terserang
Kusta kedua jenis tersebut. Seseorang yang terkena Kusta
kering bisa meningkat menjadi Kusta basah apabila daya
tahan tubuhnya semakin melemah dan tidak segera
dilakukan pengobatan.
Epidemi Kusta disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae adalah
bakteri yang tahan asam, gram positif, tidak membentuk
spora, tidak bergerak dan bersifat pleomorfik
(mempunyai berbagai macam bentuk).4 Bakteri ini
cenderung menyukai temperature kurang dari 37◦C.
Bagian tubuh yang dingin seperti saluran pernapasan,
testis, ruang anterior mata dan kulit terutama cuping
telinga dan jari merupakan tempat yang bisa diserang.5
Penyakit Kusta lebih diakibatkan pada perilaku
hidup yang tidak sehat yang tumbuh di wilayah kumuh
dan padat penduduk. Indonesia adalah salah satu negara
yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi,
peringkat keempat dunia setelah India. Kepadatan
penduduk ini menjadi salah satu masalah tersendiri bagi
Indonesia karena tidak diimbangi dengan pemerataan
penduduk di berbagai tempat di Indonesia. Masalah lain
yang berkaitan dengan epidemi Kusta adalah masalah
tempat tinggal. Kepadatan penduduk di suatu tempat
yang tidak diimbangi dengan tingkat kebersihan yang
baik dapat mempercepat penyebaran penyakit Kusta.
Kusta menyebar ke seluruh dunia dan
menyerang berbagai kalangan warga dengan segala
tingkatan usia baik pria maupun wanita tanpa
memandang berbagai jenis ras. Penyebaran Kusta pada
umumnya terjadi pada umur 15-29 tahun.6 Namun dapat
dijumpai juga pada umur yang sangat muda dan usia tua
di atas 70 tahun.
Kusta masuk di Hindia-Belanda diidentifikasi
melalui aliran besar tahanan yang dibawa sipir dari
daerah yang dikuasai oleh Portugis ke Batavia.
Selain
itu, kedatangan bangsa Cina ke Hindia-Belanda turut
serta mempengaruhi penyebaran penyakit Kusta. Bangsa
Cina sudah dikenal telah lama terjangkit penyakit Kusta
sebelum masuk ke Hindia-Belanda. Penyakit Kusta di Hindia Belanda ditemukan pada saat terjadi peningkatan
penderita Kusta di Batavia pada paruh kedua abad ke-17.8
Penyakit Kusta sudah menjadi permasalahan bagi HindiaBelanda sejak paruh kedua abad ke-17 terutama
mencapai puncaknya pada tahun 1939.
Madura merupakan peringkat kedua wilayah
yang memiliki penderita Kusta terbanyak setelah Jawa
Timur.9
. Pada tahun ini angka kematian yang disebabkan
oleh penyakit Kusta meningkat tajam, salah satunya
terjadi di wilayah regentschap10 bangkalan krajan . Pola
penyebaran penyakit ini tidak terlepas dari kondisi
geografis dan demografi wilayah tersebut.
. Wabah penyakit Kusta di Hindia-Belanda mencapai
angka tertinggi pada tahun 1939-1940. Kabupaten
bangkalan krajan merupakan daerah yang paling banyak
penduduk yang terjangkit penyakit Kusta. Hal ini
dipengaruhi keadaan geografis dan demografi wilayah
kabupaten bangkalan krajan yang sebagian besar merupakan
daerah kumuh. Pada akhirnya penyebaran penyakit kusta
di daerah bangkalan krajan tidak hanya mempengaruhi kondisi
kesehatan namun juga mempengaruhi keadaan sosial dan
ekonomi. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis
untuk mengangkat tema penelitian “Penyakit Kusta
Tahun 1934-1939 di bangkalan krajan ”.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
metode penelitian sejarah yang terdiri dari Heuristik,
pada tahap ini merupakan proses mengumpulkan sumber
yang relevan, baik sumber primer maupun sumber
sekunder. Sumber primer dapat ditelusuri melalui Verslag
Omtrent De Leprabestrijding in 1939 yang memuat
tentang Madura merupakan peringkat kedua penderita
Kusta terbanyak setelah JawaTimur, dan overzicht
aangande de leprabestridjing in het regentschap
bangkalan krajan yang berisi tentang penanganan penyakit
Kusta di bangkalan krajan yang dilakukan oleh pemerintah
Kolonial Belanda secara serius dengan mendirikan
sejumlah titik pengobatan di bangkalan krajan Sumber
sekunder diperoleh dari tesis Evaluasi Sistem Surveilans
Penyakit Kusta di Dinas Kesehatan Kabupaten
bangkalan krajan yang memuat pelaksanaan sistem surveilans
di bangkalan krajan dalam kelengkapan dan ketepatan
pelaporan yang dikirimkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten bangkalan krajan .. Sedangkan sumber sekunder
lainnya berupa buku-buku refrensi yang membahas
tentang penyakit kusta
Langkah kedua yaitu kritik, tahap pengujian terhadap
sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Tahap kritik
terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern
adalah pengujian terhadap oentitas, asli, turunan, palsu
serta relevan tidaknya suatu sumber, sedangkan kritik
intern adalah pengujian terhadap isi atau kandungan
sumber. Tujuan tahap kritik untuk menyeleksi data
menjadi fakta.11 Dalam tahap kritik, penulis melakukan
pengkategorian terhadap sumber yang telah didapat,
apakah sumber merupakan sumber asli atau turunan serta
isi dari sumber tersebut relevan atau tidak dengan
masalah yang diangkat dalam penulisan.
Langkah ketiga yaitu intepretasi atau penafsiran.
Pada tahap ini penulis melakukan analisis terhadap faktafakta yang telah ditemukan. Penulis mencari hubungan
antara fakta yang ada pada pokok permasalahan yang
ditulis. Setelah itu melakukan penafsiran terhadap faktafakta tersebut agar dapat memberikan analisis intepretasi
untuk mendukung penulisan ilmiah ini kemudian ditarik
kesimpulan.
Langkah keempat yaitu Historiografi merupakan psoses
penyajian berupa penulisan dalam bentuk naratif
deskriptif. Dalam tahapan ini merupakan tahap akhir dari
semua prosedur penelitian sejarah.
1. Wabah penyakit Kusta di bangkalan krajan tahun 1934-
1939
11 Ibid, Hal. 8
Istilah Kusta berasal dari bahasa sansekerta yaitu Kustha
yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.
Kusta untuk pertama kalinya ditemukan oleh Armauer
Hansen pada tahun 1871 yang dinamai dengan istilah
Bacillus Lepra kemudian dipelajari oleh A. Neisser pada
tahun 1879.12
Kusta dalam istilah kedokteran dikenal dengan
istilah Lepra, Leprosy dan juga bisa disebut dengan
istilah Morbus Hansen sesuai nama penemunya yakni
Armauer Hansen. Penyakit Kusta memiliki berbagai
nama dan sebagian besar dinamai sesuai dengan tempat
asalnya yakni: di Ambon Kusta dinamai dengan Besar
Sakit, Kapoei, Koesta, Badam, Kedal, didalam bahasa
Jawa dikenal dengan Boedoeg Basoe, dan di Cina dikenal
dengan nama Taij-ko atau Hongtai.13
Penyakit Kusta adalah penyakit kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae dan
pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran
pernapasan bagian atas, sistem retikulo endothelial, mata
otot, tulang dan testis.14 Kusta yang merupakan penyakit
menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan
anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Mycobacterium Leprae adalah
bakteri tahan asam, gram positif, tidak membentuk spora,
tidak bergerak dan bersifat pleomorfik (mempunyai
berbagai macam bentuk). Kusta dapat ditularkan melalui
saluran pernafasan dan melalui kulit Kusta dapat
ditularkan dari saluran pernafasan melalui selaput lendir
hidung penderita sedangkan dari kulit dalam jangka
waktu yang panjang dan kontak serumah. Masa inkubasi
merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit
penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap penyebab
penyakit, sampai timbulnya gejala penyakit. Sebagai
penyakit menular, penyakit Kusta memiliki masa
inkubasi 2-3 minggu.
Pada umumnya penyakit Kusta yang dikenal oleh
warga ada dua macam yaitu Kusta Basah
(Pausibasiler) PB dan Kusta Kering (Multybasiler) MB.
Dua jenis ini disebabkan oleh bakteri yang sama dan
tinggi rendahnya kekebalan tubuh manusialah yang
menentukan seseorang tersebut terserang kusta jenis apa.
Seseorang yang terkena Kusta kering bisa meningkat
menjadi Kusta basah apabila daya tahan tubuhnya
semakin melemah dan tidak segera dilakukan
pengobatan.
2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya
Wabah Kusta di bangkalan krajan .
Pada tahun 1897 diadakannya konferensi Kusta di
Berlin yang dipelopori oleh T. Broes Dort Rotterdam. Di
dalam konferensi tersebut dikatakan bahwa bangkalan krajan
merupakan jumlah terbesar penderita Kusta dibandingkan
dengan kabupaten-kabupaten lain di Madura yakni
Pamekasan, Sampang dan Sumenep. Hal tersebut
tentunya tidak dapat dilepaskan dari kondisi Kabupaten
bangkalan krajan pada saat itu, yang menyebabkan terjadinya
wabah Kusta di bangkalan krajan .
a. Kepadatan penduduk dan daerah yang kumuh
Kondisi lingkungan yang tidak sehat akan dapat
mempermudah seseorang akan terjangkit penyakit Kusta.
Hal tersebut juga terjadi pada lingkungan hidup
warga Kabupaten bangkalan krajan pada saat itu yang
dapat dikatakan kumuh dan tidak sehat, seperti yang
dikemukakan oleh R.M Djoehana dalam tulisannya
mengenai penyakit Kusta di Kabupaten bangkalan krajan . Pada
saat itu digambarkan bahwa Kabupaten bangkalan krajan
merupakan daerah yang kumuh dan pendudukanya padat
dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat, sehingga
menyebabkan bakteri mycobacterium leprae dengan
mudah berkembang dan menular yang akan mempercepat
menyebarnya Penyakit Kusta.
b. Kurangnya kesadaran dari warga
bangkalan krajan dalam mengatasi penyakit Kusta
untuk segera berobat.
Banyak warga yang terkena penyakit Kusta
tetapi enggan atau bahkan tidak mau berobat. Kesadaran
yang sangat rendah akan pentingnya untuk berobat bagi
penderita Kusta di bangkalan krajan tersebut disebabkan oleh
adanya pandangan bahwa penyakit Kusta adalah penyakit
Kutukan Tuhan. Pandangan warga akan penyakit
Kusta sebagai penyakit kutukan tersebut tidak hanya
terjadi di warga Madura saja, tetapi hampir semua
warga di berbagai daerah pada awalnya juga
menganggap bahwa penyakit Kusta adalah penyakit
kutukan. Pemikiran yang tidak logis ini menyebabkan
banyak pasien Kusta yang dikucilkan, sehingga pada
akhirnya tidak mendapat pengobatan yang memadai.
Kondisi inilah yang akan menyebabkan wabah penyakit
Kusta akan semakin menyebar, karena tidak segera
mendapatkan pengobatan yang benar.
c. Terjadinya kontak serumah dengan penderita
Kusta merupakan faktor fisik dengan faktor
fisik.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya wabah
penyakit kusta di bangkalan krajan adalah karena adanya
kontak dengan pasien Kusta yang serumah melalui udara.
Kondisi tersebut juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
kekebalan tubuh atau antibodi tubuh anggota keluarga
yang lain. Apabila tingkat kekebalan tubuh anggota
keluarga rendah ditunjang dengan kondisi lingkungan
yang kumuh, maka penyakit Kusta akan mudah menular
ke anggota keluarga yang lain. Penyebaran penyakit
Kusta juga dapat terjadi apabila di dalam suatu rumah ada
orang yang mengidap penyakit Kusta menular ke anggota
keluarga yang lainnya. Hal ini jika ditinjau dari ilmu
geografi merupakan prinsip interaksi. Prinsip interaksi
adalah suatu hubungan yang saling terkait antara suatu
gejala dengan gejala lainnya atau antara suatu faktor
dengan faktor lainnya yang terjadi pada suatu ruang
tertentu. Dalam hal ini dapat berupa hubungan antara
faktor sosial dengan sosial, sosial dengan fisik, dan fisik
dengan fisik15
. Penyebaran Penyakit Kusta melalui
kontak serumah dalam prinsip interaksi merupakan
hubungan antara faktor fisik dengan faktor fisik.
Kabupaten bangkalan krajan merupakan daerah yang
penduduknya sangat padat dengan lingkungan yang
kumuh juga berperan dalam penyebaran penyakit Kusta
dan dalam hal ini jika ditinjau dari prinsip interaksi
merupakan hubungan sosial dengan fisik.
d. Kesalahan diagnose dalam mengobati penyakit
Kusta.
Faktor lain yang menyebabkan data penderita Kusta
meningkat di daerah bangkalan krajan adalah karena kesalahan
diagnose yang terjadi.16Kesalahan diagnosis dalam
mengobati penyakit Kusta terjadi karena ada anggapan
bahwa penyakit Kusta adalah penyakit yang mudah
menular dengan cara bersentuhan langsung dengan
penderita Kusta. Padahal kalau kesadaran warga
untuk selalu menjaga kebersihan diri sangat baik,
penyakit Kusta tidak akan mudah menular meskipun
sering terjadi sentuhan langsung dengan penderita.
Kesalahan diagnosis tentang penyakit Kusta yang
dianggap dapat menular dengan sentuhan tersebut akan
menyebabkan warga atau bahkan anggota
keluarganya sendiri mau membantu untuk mengobati
penderita penyakit Kusta. Dengan kondisi yang demikian
itu, maka penderita penyakit Kusta tidak akan mendapat
pengobatan yang memadai dan akhirnya akan menjadi
sumber menyebarnya wabah penyakit Kusta dalam
warga .
e. Kondisi geografis sebagai faktor penunjang
terjadinya wabah Kusta di bangkalan krajan .
Secara umum kondisi geografis Madura sangat
panas, tergolong sebagai daerah kering dan kekurangan
air sebagai sarana utama untuk menjaga kebersihan lingkungan dan diri. Secara umum warga Madura,
termasuk Kabupaten bangkalan krajan apabila musim kemarau
sangat kekurangan air, dengan sangat minimnya
persediaan air itu maka dapat dikatakan warga
Madura kekurangan air untuk sarana kebersihan
khususnya untuk sarana MCK. Apabila melihat data
curah hujan pada bab sebelumnya, Kabupaten bangkalan krajan
tergolong mempunyai curah hujan rata-rata yang sangat
rendah yaitu sebesar 10,5 mm per tahun. Menurut
klasifikasi Koppen, suatu daerah dikatakan daerah kering
apabila curah hujan rata-ratanya di bawah 60 mm per
tahun. Kondisi tersebut akan menyebabkan bakteri
penyebab penyakit Kusta akan mudah berkembang
karena tingkat kebersihan warga sangat rendah yang
disebabkan kekurangan air untuk sarana kebersihan.
3. Penanggulangan wabah KUSTA
Nenek moyang kita sejak dulu menggunakan
tanaman obat untuk menjaga kesehatan maupun untuk
pengobatan suatu penyakit yang disebut jamu atau
ramuan tradisional. Ramuan tradisional tersebut sangat
bermanfaat dan berguna bagi kehidupan manusia apabila
digunakan sesuai anjuran. Bagi warga Indonesia
ramuan tradisional merupakan bagian dari budaya bangsa
yang diwariskan turun-temurun dari leluhur. Ramuan
Madura banyak di kenal dan dimanfaatkan untuk
menjaga kesehatan dan mengobati penyakit. Pengetahuan
tentang pembuatan ramuan Madura diwarisi secara turun
temurun dalam suatu keluarga.
Kebiasaan warga Madura mengkonsumsi
ramuan dalam tradisi warga Madura minum ramuan
atau jamu telah menjadi kebiasaan turun-temurun dalam
keluarga, terutama keluarga kerajaan dan keturunannya
meminum ramuan sudah diperkenalkan pada anak atau
keturunannya sejak dini dan lebih ditekankan kepada
kaum perempuan untuk merawat tubuh dan memelihara
kesehatan. Jamu atau ramuan Madura terutama dikenal
sebagai ramuan untuk merawat tubuh atau menjaga serta
memelihara kesehatan dan sebagian kecil sebagai
pertolongan pertama pada pengobatan suatu penyakit. Bila dirasa belum sembuh maka mereka akan berobat ke
ahli medis meskipun sebagai alternatif terakhir.
Penyakit Kusta merupakan salah satu penyakit yang
bisa ditangani melalui pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional untuk mengobati penyakit Kusta
telah dilakukan oleh warga bangkalan krajan dengan
menggunakan umbi bidara upas.
Dari pengobatan tradisional yang telah
dilakukan oleh warga bangkalan krajan dalam mengobati
penyakit Kusta pada akhirnya mengharuskan memilih
alternatif lain yakni pengobatan medis.
Wabah penyakit Kusta yang terjadi di
bangkalan krajan semakin lama semakin meresahkan. Oleh
karena itu perlu segera dilakukan tindakan cepat untuk
menanggulangi wabah Kusta tersebut. Pemerintah
melakukan penambahan dokter spesialis Kusta dan
beberapa staf pendukung. Untuk mengontrol penyakit
Kusta pemerintah juga menambah empat mantri lulusan
perawat dan enam pembantu Kusta.
Pengobatan tersebut meliputi pengobatan
pasien hidup penderita Kusta yang dirawat selama tahun
1939 di seluruh kabupaten. Pengobatan tersebut tidak
merata di semua tempat sehingga hanya ditempatkan
pada 40 titik pengobatan di seluruh Kabupaten
bangkalan krajan . Pertimbangan penentuan tempat yang
digunakan sebagai titik pengobatan tersebut adalah
berdasarkan letak lokasinya yang mudah terjangkau oleh
warga dan berdasarkan jumlah penderita Kustanya
cukup banyak.
Upaya persuasif pada warga bangkalan krajan
dalam menangani penyakit Kusta yakni memberikan
penyuluhan dan mengajak para penderita Kusta kepada
pasien Kusta untuk secara rutin berobat ke klinik.
Tentunya hal ini mendapat tanggapan dan reaksi
warga pribumi setempat. warga pribumi
bangkalan krajan tentunya tidak serta merta percaya untuk
mengikuti ajakan pemerintah colonial dalam mengobati
penyakit Kusta. Namun atas kegigihan pemerintah kolonial yang serius dalam memberantas penyakit Kusta
akhirnya diterima oleh warga pribumi.bangkalan krajan .
Hal ini tentunya juga di dorong oleh pengobatan
tradisional yang telah dilakukan oleh warga pribumi
yang belum menunjukkan hasilnya. Akhirnya kehadiran
pasien Kusta ke klinik pengobatan itu menunjukan hasil
bahwa rata-rata 70% pasien kusta berobat ke klinik.18
Kesadaran diri untuk datang berobat ke klinik merupakan
bentuk antusiasme penderita Kusta dalam memerangi
penyakit ini. Dalam hal ini untuk menunjang pengobatan
maka didirikanlah 5 klinik rawat jalan dan sekitar 35
pusat kasual. Pada setiap kali kunjungan ada sekitar 9
pembantu perawat Kusta dari 18 kecamatan yang datang
untuk mengunjungi berbagai klinik. Jadi tiap-tiap klinik
rawat dan pusat kasual mendatangkan 4 pembantu Kusta
untuk menangani pasien Kusta
Pengobatan secara medis penyakit Kusta
dilakukan dengan cara diberikan suntikan
Chaulmoogra.Dausse Collobiasse dan Obat Oral
Chaulmograpils yang diminum tiga kali sehari.
Chaulmoogra merupakan minyak murni yang disterilkan
sendiri dan disuntikkan kepada pasien seminggu sekali.
Minyak Chaulmoogra disuntikkan ke kulit dengan
campuran chaulmoogra 60 cc dan Resorcin 4 gram 19
Pengobatan secara medis ini tentu membutuhkan
biaya yang tidak sedikit, terutama untuk membeli obatobatan injeksi tersebut. Pendanaan berkaitan dengan
pemberantasan penyakit Kusta di Madura khususnya di
Kabupaten bangkalan krajan dibebankan pada anggaran dana
yang ditanggung oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Biaya-biaya pengobatan ini dibebankan pada anggaran
dana yang disebut “Fund Kesejahteraan Madura”.20
Fund
kesejahteraan Madura merupakan dana yang dibentuk
oleh pemerintah Hindia-Belanda yang diprakarsai oleh
Ratu Wilhelmina pada tahun 1937. Hal ini tercantum
pada Staatblad Van Nederlandsch Indie 1937 no 692.
Di dalam Staatsblad Van Nederlandsch indie
1937 No 692 dikatakan bahwa pada tanggal 1937
dibentuklah Dana Kesejahteraan Madura oleh Ratu
Wilhelmina yang mana pembiayaan ini dimaksudkan
untuk kemajuan kesejahteraan warga di Madura.
Pada kenyataannya, Dana Kesejahteraan Madura
hanya berjalan lima tahun saja, hal ini disebabkan karena
adanya invasi Jepang yang sudah diambang mata
sehingga aktivitas-aktivitas dana ini terhenti pada akhir
tahun 1941. 21
Dampak Kusta terhadap warga pribumi
merupakan dampak tersendiri bagi penderita Kusta.
warga yang terkena penyakit Kusta akan di isolasi
dan secara tidak langsung mereka akan dikucilkan oleh
warga sekitarnya. Isolasi adalah usaha untuk
mengasingkan dan memencilkan manusia dari pergaulan
sosial.22 Isolasi dilakukan dengan cara pendirian rumah
penampungan bagi penderita Kusta atau yang biasa
disebut “Leprozerieen”.23 Para penderita Kusta
ditempatkan di leprozerieen yang terpisah dari
warga sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk
membatasi diri kontak antara yang sakit dengan yang
sehat sehingga di harapkan mengurangi resiko penyebar
infeksi.
Tindakan isolasi ini tak lepas dari adanya “Dana
Kesejahteraan Madura”. Oleh karena itu dengan adanya
Dana Kesejahteraan Madura maka didirikanlah 496
leprozerieen di bangkalan krajan untuk dipakai penderita Kusta
dalam pengobatan. Setiap leprozerieen dikenakan biaya
sebesar 5 gulden.untuk penderita Kusta24 Dalam hal ini
Dana Kesejahteraan Madura telah mengeluarkan biaya
sebesar 200 gulden yang setara dengan pendirian
leprozerieen yang dibangun oleh pejabat pemerintah
sebanyak 400 leprozerieen. Isolasi ini sudah dilaksanakan untuk 90% dari pasien. Pemantauan terhadap rumah lazar
dipercayakan kepada pembantu Kusta.
Adapun bentuk pengucilan yang dibentuk oleh
penderita Kusta yang disebut dengan “kusta-desa”.
Kusta-desa merupakan salah satu metode isolasi diri dan
perlindungan diri yang berbasis pada warga pribumi
itu sendiri.25 Metode ini ditujukan bagi para penderita
Kusta untuk mendiami suatu kompleks terpencil. namun
hal ini terkadang sulit terlaksana. Di dalam desa tersebut
para penderita Kusta menikmati kebebasan penuh,
mengatur urusan warga mereka sendiri, memiliki
kepala desa sendiri dan keperluan itu disediakan sebagian
oleh orang Kusta sendiri.
D. Kesimpulan
Wabah penyakit Kusta dapat disebabkan oleh
kondisi lingkungan yang ada. Wabah penyakit Kusta di
Kabupaten bangkalan krajan juga disebabkan oleh kondisi
lingkungan warga yang tidak baik. Kondisi
lingkungan warga bangkalan krajan yang padat penduduk
dan kumuh dapat mempercepat penyebaran bakteri
Mycobacterium Leprae yang mudah berkembang.
Kepadatan penduduk yang disertai dengan kondisi
lingkungan kumuh dapat dengan mudah menularkan
penyakit Kusta pada orang lain. Pola hidup yang tidak
sehat warga bangkalan krajan membuat penyakit Kusta
menyebar luas. Pola hidup yang tidak sehat yakni dalam
menjaga kebersihan lingkungan sekitar kurang begitu
diperhatikan oleh warga bangkalan krajan . Hal ini
disebabkan pola pemukiman warga bangkalan krajan yang
terjadi di dalam satu rumah dimana pola pemukiman ini
disebut Taneyang Lanjang. Selain itu, kurangnya
kesadaran dari penduduk sekitar dalam membantu
penyembuhan penyakit Kusta, karena adanya spekulasi
warga yang berkembang bahwa Kusta dapat
menular melalui sentuhan yang padahal jelas sekali
bahwa spekulasi tersebut salah besar.karena penyakit
Kusta tidak mudah menular.Jamu atau ramuan Madura terutama dikenal sebagai
ramuan untuk merawat tubuh atau menjaga serta
memelihara kesehatan dan sebagian kecil sebagai
pertolongan pertama pada pengobatan suatu penyakit.
Penyakit Kusta juga bisa diobati dengan pengobatan
tradisional.Pengobatan tradisional untuk mengobati
penyakit Kusta menggunakan umbi bidara upas. Selain
itu juga bisa menggunakan daun ekor kucing, biji jarak
wulung, daun jarak pagar. Namun, pengobatan tradisional
yang tak kunjung menunjukkan hasil dikarenakan
reaksinya yang lambat maka warga bangkalan krajan
memilih pengobatan medis.
Pengobatan medis untuk menangani wabah penyakit
Kusta di Kabupaten bangkalan krajan tahun 1934-1939
mengambil langkah yang tepat. Pemerintah melakukan
penambahan dokter spesialis Kusta dan beberapa staf
pendukung. Untuk mengontrol penyakit Kusta
pemerintah juga menambah empat mantri lulusan
perawat dan enam pembantu Kusta. Pengobatan tersebut
meliputi pengobatan 294 pasien hidup tahun 1939 di
seluruh kabupaten, karena tidak merata di semua tempat
sehingga hanya ditempatkan pada 40 titik pengobatan di
seluruh Kabupaten bangkalan krajan 40 titik tersebar di wilayah
Blega, Kamal, Aroesbaja, Geger, Kokop bangkalan krajan ,
Sotjah, Boeloekagoeng, Kwanjar, Tanah Merah, Tragah,
Boerneh, Spoelo TandjoengBoemi, dan Labang, Galis,
Konang, dan Modoeng. Selanjutnya pengobatan bagi
orang yang terkena penyakit Kusta adalah dengan
mengharuskan pasien secara rutin berobat ke klinik.
Kehadiran pasien Kusta ke klinik pengobatan itu rata-rata
70% dari jumlah total yang sakit yaitu 732 penderita
Kusta. Dalam hal ini untuk menunjang pengobatan yang
ada maka didirikannya 5 klinik rawat jalan dan sekitar 35
pusat kasual. Pada setiap kali kunjungan ada sekitar 9
pembantu perawat Kusta dari 18 kecamatan yang datang
mengunjungi berbagai klinik. Jadi tiap-tiap klinik rawat
dan pusat kasual mendatangkan 4 pembantu Kusta untuk
menangani pasien Kusta. Pengobatan secara medis
penyakit Kusta dilakukan dengan cara diberikan suntikan
Chaulmoogra.Dausse Collobiasse dan Obat Oral
Chaulmograpils yang diminum tiga kali sehari.
Chaulmoogra merupakan minyak murni yang disterilkan
sendiri dan disuntikkan kepada pasien seminggu sekali.
Biaya-biaya pengobatan ini dibebankan pada
anggaran dana yang disebut “Fund Kesejahteraan
Madura. Fund kesejahteraan Madura merupakan dana
yang dibentuk oleh pemerintah. Tindakan untuk
menannggulangi penyakit Kusta tidak hanya berupa
pengobatan medis dan pengobatan tradisional melainkan
juga dilakukan dengan cara isolasi. Para penderita kusta
ditempatkan di leprozerieen yang terpisah dari
warga sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk
membatasi diri kontak antara yang sakit dengan yang
sehat sehingga di harapkan mengurangi resiko penyebar
infeksi. Adanya Dana Kesejahteraan Madura dapat
mendirikannya 496 leprozerieen di bangkalan krajan untuk
dipakai penderita Kusta dalam pengobatan. Isolasi ini
sudah dilaksanakan untuk 90% dari pasien..
SARAN
Penulisan ini diharapkan dapat
memperkaya pengetahuan terutama dalam dunia
pendidikan tentang Penyakit Kusta di bangkalan krajan ,
bagaimana cara pengobatan penyakit Kusta serta
pendanaan bagi warga penderita Kusta di
bangkalan krajan . Bagi pembaca kritik dan saran diharapkan
penulis demi perbaikan karya-karya atau penelitianpenelitian selanjutnya. Semoga penelitan ini bisa berguna
dan bermanfaat,khususnya bagi jurusan pendidikan
sejarah dan bagi Universitas Negeri Surabaya pada
umumnya.
Ketika melakukan pembelajaran kepada
siswa terutama siswa SMA, maka penjelasan mengenai
Penyakit Kusta di bangkalan krajan dapat diterangkan dalam
kompetensi dasar untuk kelas XI IPA semester 2. Di
dalam kurikulum 2013 dijelaskan mengenai pengaruh
Imperialisme dan Kolonialisme Barat di Indonesia dalam
bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan dan
agama dalam bentuk tulisan dan media lain. Penulisan ini
bisa menyampaikan kepada siswa bahwa pengobatan
Kusta yang kita nikmati sekarang mampu berkembang
dengan baik, dasar awalnya dimulai ketika masa kolonial. Pengobatan Kusta merupakan salah satu sisi yang
diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.