Profil kesehatan 3

 





ibu nifas, puskesmas 


melaksanakan kelas ibu hamil dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), 


pelayanan kontrasepsi/Keluarga Berencana (KB), dan pemeriksaan HIV, sifilis, serta Hepatitis B.Ibu hamil mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. 


Pelayanan ini dilakukan selama rentang usia kehamilan ibu yang jenis pelayanannya dikelompokkan 


sesuai usia kehamilan menjadi trimester pertama, trimester kedua, dan trimester ketiga. Pelayanan 


kesehatan ibu hamil yang diberikan harus memenuhi jenis pelayanan sebagai berikut.


1. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.


2. Pengukuran tekanan darah.


3. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA).


4. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri).


5. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).


6. Skrining status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus difteri (Td) bila diperlukan.


7. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama masa kehamilan.


8. Pelayanan tes laboratorium: tes kehamilan, kadar hemoglobin darah, golongan darah, tes 


triple eliminasi (HIV, Sifilis dan Hepatitis B) dan malaria pada daerah endemis. Tes lainnya 


dapat dilakukan sesuai indikasi seperti: gluko-protein urin, gula darah sewaktu, sputum Basil 


Tahan Asam (BTA), kusta, malaria daerah non endemis, pemeriksaan feses untuk kecacingan, 


pemeriksaan darah lengkap untuk deteksi dini thalasemia dan pemeriksaan lainnya. 


9. Tata laksana/penanganan kasus sesuai kewenangan.


10. Pelaksanaan Temu wicara (konseling) untuk menyampaikan informasi yang disampaikan saat 


konseling minimal meliputi hasil pemeriksaan, perawatan sesuai usia kehamilan dan usia ibu, 


gizi ibu hamil, kesiapan mental, mengenali tanda bahaya kehamilan, persalinan, dan nifas, 


persiapan persalinan, kontrasepsi pascapersalinan, perawatan bayi baru lahir, inisiasi menyusu 


dini, ASI eksklusif.


Pelayanan kesehatan ibu hamil atau antenatal harus memenuhi frekuensi minimal enam kali 


pemeriksaan kehamilan dengan dua kali pemeriksaan USG oleh dokter. Pemeriksaan kesehatan ibu 


hamil dilakukan minimal 1 kali pada trimester ke-1 (0-12 minggu), 2 kali pada trimester ke-2 (>12 


minggu-24 minggu), dan 3 kali pada trimester ke-3 ( >24 minggu sampai kelahirannya) serta minimal 


dua kali diperiksa oleh dokter saat kunjungan pertama di trimester satu dan saat kunjungan ke 


lima di trimester tiga. Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan 


terhadap ibu hamil dan janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan penanganan dini 


komplikasi kehamilan.


Penilaian terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dilakukan dengan 


melihat cakupan K4 dan K6. Cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan 


antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali sesuai jadwal yang dianjurkan di tiap 


trimester, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. 


Sedangkan, cakupan K6 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai 


dengan standar paling sedikit enam kali pemeriksaan serta minimal dua kali pemeriksaan dokter sesuai 


jadwal yang dianjurkan pada tiap semester, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja 


pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap 


ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan.Sejak tahun 2014 sampai dengan 2023, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 cenderung 


fluktuatif. Pada tahun 2023 angka K4 sebesar 85,6%, dimana angka ini menurun dibandingkan tahun 


sebelumnya. Pelayanan kesehatan ibu hamil (K4) secara nasional pada tahun 2023 sebesar 85,6%, hampir 


mencapai target RPJMN sebesar 90%. Terdapat enam provinsi yang sudah mencapai target RPJMN 


90%. Gambaran provinsi tertinggi terdapat di DKI Jakarta 110,1%, diikuti oleh Jawa Barat 94,8% dan 


Lampung sebesar 93,0%. Pelayanan kesehatan ibu hamil (K6) pada tahun 2023 di Indonesia sebesar 74,4% dengan 


provinsi tertinggi yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar 94,8%%, diikuti Banten sebesar 86,1%, dan 


Kepulauan Riau sebesar 83,3%. Ada 8 (21,1%) provinsi sudah mencapai target tahun 2023 sebesar 


80% tahun 2023.


 Selain akses ke fasilitas pelayanan kesehatan, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan 


pelayanan kesehatan ibu hamil adalah kualitas pelayanan yang harus ditingkatkan, di antaranya 


pemenuhan semua komponen pelayanan kesehatan ibu hamil harus diberikan saat kunjungan. Data 


dan informasi lebih rinci menurut provinsi mengenai pelayanan kesehatan ibu hamil K4 dan K6 terdapat 


pada Lampiran 24. Infeksi tetanus merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan kematian bayi. Kematian 


karena infeksi tetanus ini merupakan akibat dari proses persalinan yang tidak aman/steril atau berasal 


dari luka yang diperoleh ibu hamil sebelum melahirkan. Sebagai upaya mengendalikan infeksi tetanus 


yang merupakan salah satu faktor risiko kematian ibu dan bayi serta memberikan perlindungan tambahan 


terhadap penyakit difteri, maka dilaksanakan program imunisasi Tetanus Difteri (Td) bagi Wanita Usia 


Subur (WUS). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi 


mengamanatkan bahwa wanita usia subur (khususnya ibu hamil) merupakan salah satu kelompok 


populasi yang menjadi sasaran imunisasi lanjutan. Imunisasi lanjutan merupakan ulangan imunisasi 


dasar untuk mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang usia perlindungan.


Wanita usia subur yang menjadi sasaran imunisasi Td berada pada kelompok usia 15-39 tahun 


yang terdiri dari WUS hamil (ibu hamil) dan tidak hamil. Imunisasi Td pada WUS diberikan sebanyak 5 


dosis dengan interval tertentu, berdasarkan hasil skrining penilaian status T yang dimulai saat imunisasi 


dasar bayi, lanjutan baduta, lanjutan BIAS serta calon pengantin atau pemberian vaksin mengandung 


“T” pada kegiatan imunisasi lainnya. Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan pada 


waktu melakukan pelayanan antenatal, atau pelayanan kesehatan di posyandu.


Skrining status “T” pada WUS harus dilakukan sebelum pemberian vaksin. Pemberian 


imunisasi Td tidak perlu dilakukan bila hasil screening menunjukkan status WUS telah mencapai 


T5, yang dibuktikan dengan buku KIA, rekam medis, kohort, atau buku register imunisasi lainnya. 


Kelompok ibu hamil yang sudah mendapatkan imunisasi Td2 sampai dengan Td5 dikatakan 


mendapatkan imunisasi T2+. 


Imunisasi T2+ merupakan prasyarat pelayanan kesehatan ibu hamil K4. Namun bila dilihat 


dari gambar 5.5 dan gambar 5.8 cakupan imunisasi T2+ pada ibu hamil tahun 2023 sebesar 75,6%, 


lebih rendah dibandingkan cakupan pelayanan ibu hamil K4 yang sebesar 85,6%. Hal ini disebabkan 


karena apabila hasil screening menunjukkan status WUS telah mencapai T5, yang dibuktikan dengan 


buku KIA, rekam medis, kohort, atau buku register imunisasi lainnya, kelompok ibu hamil yang sudah 


mendapatkan imunisasi Td2 sampai dengan Td5 dikatakan sudah mendapatkan imunisasi T2+.Berdasarkan distribusi provinsi, Jawa Timur memiliki cakupan tertinggi sebesar 92,1% diikuti 


oleh DKI Jakarta sebesar 91,9%, dan Jawa Barat sebesar 89,6%. Provinsi dengan cakupan rendah yaitu 


Nusa Tenggara Timur sebesar 27,1%, Papua Tengah sebesar 19,8%, dan Papua pegunungan sebesar 


3,4%. Informasi lebih rinci mengenai imunisasi Td pada wanita usia subur terdapat pada Lampiran 25-27. Anemia pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur, kematian ibu dan anak, 


serta penyakit infeksi. Anemia defisiensi zat besi pada ibu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan 


perkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya. Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 


tahun 2023 menyatakan bahwa di Indonesia sebesar 27,7% ibu hamil mengalami anemia. Bila dilihat 


berdasarkan kelompok umur, ibu hamil mengalami anemia paling tinggi pada kelompok umur 35-44 


sebesar 39,6%, diikuti kelompok umur 25-34 sebesar 31,4%. Untuk mencegah anemia setiap ibu hamil 


diharapkan mendapatkan TTD minimal 90 Tablet selama kehamilan. 


Cakupan pemberian TTD minimal 90 Tablet pada ibu hamil di Indonesia tahun 2023 adalah 


88,5%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2022 sebesar 86,2%. Provinsi dengan cakupan tertinggi 


pemberian TTD pada ibu hamil adalah Kepulauan Riau sebesar 94,9%, Provinsi Jawa Barat sebesar 


94,2%, dan Sumatera Selatan 94,1%. Sedangkan Provinsi dengan capaian terendah adalah Papua Barat 


sebesar 58,6%, Papua Pegunungan sebesar 55,3%, dan Papua Tengah 52,0%. Cakupan pemberian TTD 


pada ibu hamil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 28.Selain pada masa kehamilan, upaya lain yang dilakukan untuk menurunkan kematian ibu 


dan kematian bayi yaitu dengan mendorong agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 


yang kompeten yaitu dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum, bidan, dan 


perawat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Keberhasilan program ini diukur melalui indikator 


persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. 


Dalam rangka menjamin ibu bersalin mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, sejak 


tahun 2015 setiap ibu bersalin diharapkan melakukan persalinan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan 


yang kompeten di fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu, Rencana Strategis Kementerian 


Kesehatan tahun 2020-2024 menetapkan persalinan ditolong tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan 


kesehatan (PF) sebagai salah satu indikator upaya kesehatan keluarga, menggantikan indikator 


pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN). 


Gambar 5.9 menyajikan cakupan persalinan ditolong tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan 


kesehatan di 38 provinsi di Indonesia tahun 2023Persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan pada tahun 2023 di Indonesia sebesar 87,2%. Bila 


dilihat berdasarkan target Renstra 2023 sebesar 93,0%, persalinan di fasilitas kesehatan tahun 2023 


belum tercapainya target Renstra 2023 disebabkan karena adanya perbedaan target sasaran ibu hamil 


di beberapa provinsi, misalnya di Provinsi DI Yogyakarta, dimana data proyeksi BPS jauh berbeda dengan 


data Dukcapil. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta sedang mengalami transisi proses pencatatan pelaporan 


dari manual ke digital, sehingga masih banyak data persalinan yang tidak tercatat atau terlaporkan ke 


fasilitas kesehatan, menyebabkan capaian menurun dibandingkan tahun sebelumnya.


Provinsi dengan cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan tertinggi yaitu DKI Jakarta 


sebesar 110,0%, Jawa Barat sebesar 94,4%, dan Banten sebesar 94,1%. Sementara cakupan terendah di 


Provinsi Papua Barat Daya sebesar 38,0% , Papua Barat Tengah sebesar 35,0% dan Papua Pegunungan 


sebesar 11,6%. 


5. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas


Pelayanan kesehatan ibu nifas harus dilakukan minimal empat kali dengan waktu kunjungan ibu 


dan bayi baru lahir bersamaan, yaitu pada enam jam sampai dengan dua hari setelah persalinan, pada 


hari ketiga sampai dengan hari ke tujuh setelah persalinan, pada hari ke delapan sampai dengan hari ke 


28 setelah persalinan, dan pada hari ke 29 sampai dengan 42 hari setelah persalinan. Jenis pelayanan 


kesehatan ibu nifas yang diberikan terdiri dari:


1. Anamnesis;


2. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu;


3. Pemeriksaan tanda-tanda anemia;


4. Pemeriksaan tinggi fundus uteri;


5. Pemeriksaan kontraksi uteri;


6. Pemeriksaan kandung kemih dan saluran kencing;


7. Pemeriksaan lokhia dan perdarahan;


8. Pemeriksaan jalan lahir;


9. Pemeriksaan payudara dan pendampingan pemberian ASI Ekslusif;


10. Identifikasi risiko tinggi dan komplikasi pada masa nifas;


11. Pemeriksaan status mental ibu;


12. Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan;


13. Pemberian KIE dan konseling;


14. Pemberian kapsul vitamin A.


Ibu bersalin yang telah melakukan kunjungan nifas sebanyak empat kali dapat dihitung telah 


melakukan kunjungan nifas lengkap (KF lengkap).


Cakupan kunjungan nifas menurut provinsi di Indonesia terdapat pada Gambar 5.10 berikut ini. Cakupan kunjungan KF lengkap di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 85,7%, dimana provinsi 


dengan cakupan tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta sebesar 108,9%, Banten sebesar 94,8%, dan 


Jawa Barat sebesar 93,8%. Provinsi yang memiliki cakupan terendah antara lain Papua Tengah (27,7%), 


Papua Barat Daya (5,3%) dan Papua Pegunungan (2,6%).


6. Pelayanan Kontrasepsi


Keluarga Berencana selanjutnya disingkat dengan KB, adalah upaya mengatur kelahiran anak, 


jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan 


sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. KB merupakan salah satu 


strategi untuk mendukung percepatan penurunan Angka Kematian Ibu melalui:


1. Mengatur waktu, jarak dan jumlah kehamilan; 


2. Mencegah atau memperkecil kemungkinan seorang perempuan hamil mengalami komplikasi 


yang membahayakan jiwa atau janin selama kehamilan, persalinan dan nifas; 


3. Mencegah terjadinya kematian pada seorang perempuan yang mengalami komplikasi selama 


kehamilan, persalinan dan nifas. Peserta KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang saat ini sedang menggunakan salah satu alat 


kontrasepsi tanpa diselingi kehamilan. PUS peserta KB terdiri dari peserta KB modern (mengunakan 


alat/obat/cara KB berupa steril wanita (MOW), steril pria (MOP), IUD/AKDR). Implan/susuk, suntik, pil, 


kondom dan Metode Amenore Laktasi (MAL) dan peserta KB tradisional (menggunakan alat/obaKB berupa pantang berkala, senggama terputus, dan alat/obat/cara KB tradisional lainnya).Menurut hasil pemuktahiran pendataan keluarga tahun 2023 oleh BKKBN, menunjukkan 


bahwa angka prevalensi PUS peserta KB di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 60,4%. Berdasarkan 


distribusi provinsi, angka prevalensi pemakaian KB tertinggi adalah Kalimantan Selatan (71,2%), Jawa 


Timur (67,5%), dan Kep. Bangka Belitung (67,5%), sedangkan terendah adalah Papua (10,5%), Papua 


Barat (31,1%) dan Maluku (39,2%). Data angka prevalensi PUS peserta KB Provinsi Papua termasuk 


Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Selain itu, Data angka prevalensi PUS peserta 


KB Provinsi Papua Barat termasuk Papua Barat Daya.

Pola pemilihan jenis metode kontrasepsi modern pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 


sebagian besar akseptor memilih menggunakan suntik sebesar 35,3%, diikuti pil sebesar 13,2%. Pola 


ini terjadi setiap tahun, dimana peserta KB lebih banyak memilih metode kontrasepsi jangka pendek 


dibandingkan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Jika dilihat dari efektivitas, kedua jenis 


alat/obat/cara KB ini (suntik dan pil) termasuk Metode Kontrasepsi Jangka Pendek sehingga tingkat 


efektivitas dalam pengendalian kehamilan lebih rendah dibandingkan Metode Kontrasepsi Jangka 


Panjang (MKJP). MKJP merupakan kontrasepsi yang dapat dipakai dalam jangka waktu lama, lebih dari 


dua tahun, efektif dan efisien untuk tujuan pemakaian menjarangkan kelahiran lebih dari tiga tahun 


atau mengakhiri kehamilan pada PUS yang sudah tidak ingin menambah anak lagi. Alat/obat/cara KB 


yang termasuk MKJP yaitu IUD/AKDR, Implan, MOP dan MOW. 


Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan 


reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. Pelayanan 


kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia 


subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas. PUS bisa mendapatkan pelayanan 


kontrasepsi di tempat-tempat yang melayani program KB. Gambaran mengenai tempat pelayanan KB 


di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.13 berikut ini. Berdasarkan tempat pelayanan KB, PUS paling banyak dilayani oleh praktek mandiri bidan 


sebesar 37,0%, kemudian Pustu/Pusling/Bidan Desa (22,6%), dan Puskesmas/Klinik TNI/Polri (15,6%). 


7. Pemeriksaan HIV, Hepatitis B, dan Sifilis pada Ibu Hamil 


a. HIV 


Tujuan pemeriksaan HIV pada ibu hamil adalah untuk mencegah terjadinya kasus HIV pada 


bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HIV. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi selama masa 


kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Infeksi HIV pada bayi dapat menyebabkan kesakitan, 


kecacatan dan kematian sehingga berdampak buruk pada kelangsungan dan kualitas hidup anak.


Pada tahun 2023 terdapat 3.245.224 ibu hamil yang di periksa HIV di Indonesia. Dari pemeriksaan 


tersebut di dapatkan 2.490 (0,08%) ibu hamil yang positif HIV. Provinsi dengan persentase ibu hamil 


yang positif HIV tertinggi adalah Provinsi Papua sebesar 1,97%, Papua Pegunungan sebesar sebesar 


1,85% dan Papua Barat sebesar 1,01%. Data selengkapnya dapat di lihat pada Lampiran 27.b

b. Hepatitis B 


Penularan virus Hepatitis B secara umum terjadi secara vertikal (dari ibu yang positif menderita 


Hepatitis B kepada bayinya) dan horizontal (dari individu yang positif menderita Hepatitis B kepada 


individu lainnya). Pada daerah endemik seperti Indonesia penularan Hepatitis B umumnya terjadi 


secara vertikal terutama saat masa perinatal dan 95% bayi yang tertular saat masa perinatal akan 


menjadi Hepatitis B kronik. 


Untuk mencegah penularan dari ibu ke anak tersebut telah dilakukan upaya-upaya pencegahan, 


diantaranya dengan melakukan Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) pada ibu hamil menggunakan tes 


cepat/Rapid Diagnostic Test (RDT) Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg). HBsAg merupakan antigen 


permukaan yang ditemukan pada virus Hepatitis B yang memberikan arti adanya infeksi Hepatitis B. 


DDHB bertujuan menemukan sedini mungkin ibu hamil terinfeksi Hepatitis B (HBsAg Reaktif), kemudian 


ditindaklanjuti dengan serangkaian upaya terhadap bayi dari ibu terdeteksi HBsAg Reaktif tersebut 


yang didahului dengan pemberian vitamin K1 kemudian vaksin Hepatitis B (HB0) dan HBIg (Hepatitis 


B Imunoglobulin) sebelum 24 Jam kelahiran. HBIg merupakan serum antibodi spesifik Hepatitis B yang 


memberikan perlindungan langsung kepada bayi.

Persentase ibu hamil melaksanakan DDHB pada tahun 2023 menurut provinsi dapat dilihat 


pada gambar di bawah ini, dimana sebesar 68,4% ibu hamil melaksanakan DDHB dari jumlah sasaran 


ibu hamil tahun 2023 sebanyak 4.907.227 ibu hamil. Provinsi dengan capaian tertinggi yaitu Sulawesi 


Barat sebesar 91,7%, Gorontalo sebesar 91,3%, dan Sulawesi Selatan sebesar 87,1%.


Jumlah Ibu hamil yang diperiksa Hepatitis B dengan menggunakan RDT HBsAg tahun 2023 


yaitu sebanyak 3.358.549 orang atau sebanyak 68,4% dari ibu hamil yang menjadi sasaran. Hasil 


pemeriksaan RDT HBsAg tahun 2023 menemukan sebanyak 50.789 atau 1,5% ibu hamil menunjukkan 


hasil reaktif.


Distribusi provinsi memperlihatkan Provinsi Papua Tengah dengan persentase tertinggi 


sebesar 4,7%, diikuti oleh provinsi Papua Barat (4,3%) dan Nusa Tenggara Timur (4,2%). Data/informasi 


terkait penyakit Hepatitis B menurut provinsi terdapat pada Lampiran 27.c


Pada tahun 2023 terdapat sebanyak 36,5% ibu hamil yang menjalani pemeriksaan Sifilis, dimana 


sebesar 0,48% ibu hamil dinyatakan positif. 


Distribusi provinsi memperlihatkan Provinsi Papua Barat dengan persentase ibu hamil positif Sifilis 


tertinggi sebesar 6,75%, diikuti oleh provinsi Papua Selatan 4,95% dan papua Barat Daya 2,69%. Data dan 


informasi terkait pemeriksaan Sifilis pada ibu hamil menurut provinsi terdapat pada Lampiran 27.d.


 Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, 


disebutkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, serta mendapat 


perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sesuai dengan hal tersebut, diperlukan upaya kesehatan 


anak dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang menyeluruh, terpadu, 


dan berkelanjutan. Upaya ini dimulai sejak janin berada dalam kandungan hingga mencapai usia 18 


tahun. Salah satu tujuan dari upaya kesehatan anak adalah untuk menjamin kelangsungan hidup 


dan kualitasnya dengan mengurangi angka kematian, meningkatkan status gizi, serta memastikan 


pemenuhan standar pelayanan minimal bagi bayi baru lahir, bayi, dan balita.


Tren Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia telah menunjukkan penurunan, namun masih 


memerlukan upaya percepatan dan langkah-langkah untuk mempertahankan momentum tersebut, 


sehingga target AKB 16/1000 kelahiran hidup dapat tercapai pada akhir tahun 2024Dari 5.18 di atas, terlihat bahwa total kematian balita dalam rentang usia 0-59 bulan pada tahun 


2023 mencapai 34.226 kematian. Mayoritas kematian terjadi pada periode neonatal (0-28 hari) dengan 


jumlah 27.530 kematian (80,4% kematian terjadi pada bayi. Sementara itu, kematian pada periode 


post-neonatal (29 hari-11 bulan) mencapai 4.915 kematian (14,4%) dan kematian pada rentang usia 12-


59 bulan mencapai 1.781 kematian (5,2%). Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan 


dibandingkan dengan jumlah kematian balita pada tahun 2022, yang hanya mencapai 21.447 kasus.ber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2023


Dengan jumlah kematian yang signifikan pada masa neonatal, penyebab utama kematian 


pada tahun 2023, diantaranya adalah Respiratory dan Cardiovascular (1%), Kondisi Berat Badan Lahir 


Rendah (BBLR) dengan persentase sebesar 0,7%. Kelainan Congenital (0,3%), Infeksi (0,3%), Penyakit 


saraf, penyakit sistem saraf pusat (0,2%), komplikasi intrapartum (0,2%). Belum diketahui penyebabnya 


(14,5%) dan lainnya (82,8%).


Penyebab kematian pada post-neonatal di Indonesia, terdapat beberapa kesimpulan: 


Pneumonia menjadi penyebab kematian pada periode post-neonatal, menyumbang sekitar 2% dari 


kematian. Diare, penyakit infeksi usus, enteritis dan colitis non-infeksi sekitar 1%. Diare juga memiliki 


kontribusi sebesar 1% terhadap kematian pada post-neonatal. Penyakit jantung bawaan, kelainan 


kongenital juga merupakan penyebab yang signifikan, menyebabkan sekitar 0,5% dari kematian pada 


periode ini. Penyakit saraf dan penyakit sistem saraf pusat 0,3% tercatat sebagai penyebab kematian 


pada periode post-neonatal. Kematian yang disebabkan oleh gizi buruk atau malnutrisi 0,2%. Sekitar 


16,1% dari kematian pada periode post-neonatal belum memiliki penjelasan yang belum diketahui 


penyebabnya. Meskipun penyakit seperti pneumonia, kelainan kongenital, dan diare menyumbang 


beberapa kasus kematian pada periode post-neonatal. Masih ada banyak kasus (79,9%) yang tidak 


dapat dijelaskan secara spesifik. Hal ini menunjukkan pentingnya penyelidikan lebih lanjut untuk 


memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kematian pada periode ini.Penyebab kematian pada balita kelompok usia 12-59 bulan adalah pneumonia (1,6%), diare 


(1,1%, Penyakit saraf, sistem saraf pusat (0,7%). Penyebab lainnya (78,9%). Dari penyebab lainnya, 


yang dapat diketahui secara spesifik beberapa diantaranya: Tbc, Kongenital dan kelainan, keganasan 


COO-D49 dan Keracunan, Tenggelam (1,2%). Selebihnya dari beberapa kasus kematian pada periode 


post-neonatal, masih ada banyak kasus yang tidak dapat dijelaskan secara spesifik. Hal ini menunjukkan 


pentingnya penyelidikan lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap 


kematian pada periode ini.


1. Pelayanan Kesehatan Neonatal (0-28 Hari)


Pada masa neonatal (0-28 hari) terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam 


rahim dan terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia 28 hari memiliki risiko 


gangguan kesehatan paling tinggi dan berbagai masalah kesehatan bisa muncul. Bila tidak dilakukan 


penanganan yang tepat, hal tersebut dapat berakibat fatal. Beberapa upaya kesehatan dilakukan 


untuk mengendalikan risiko pada kelompok ini, diantaranya dengan mengupayakan agar persalinan 


dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, serta menjamin tersedianya pelayanan 


kesehatan sesuai standar pada kunjungan bayi baru lahir, meliputi:


• Pemeriksaan bayi segera setelah lahir untuk menilai keadaan bayi dan mengidentifikasi masalah 


kesehatan yang memerlukan penanganan segera.


• Pemberian perawatan dasar, termasuk pembersihan dan perawatan tali pusat, pemeriksaan 


suhu tubuh, serta pemberian imunisasi awal yang diperlukan.


• Penyediaan dukungan dan bantuan untuk ibu dalam memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara 


eksklusif, karena ASI memberikan perlindungan terhadap penyakit dan mempromosikan 


pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi bayi.


• Penyediaan informasi dan dukungan kepada orang tua tentang perawatan bayi baru lahir, 


termasuk cara merawat bayi, tanda-tanda bahaya pada bayi, serta pentingnya perawatan yang 


tepat dan konsultasi medis jika diperlukan.Meningkatkan pelayanan kesehatan yang sesuai standar pada bayi baru lahir, diharapkan dapat 


mengurangi risiko terjadinya masalah kesehatan dan memastikan pertumbuhan dan perkembangan 


bayi yang optimal.


Salah satu permasalahan yang dihadapi pada bayi baru lahir dan menjadi penyebab terbanyak 


kematian adalah BBLR, infeksi, dan kelainan kongenital. BBLR di Indonesia dapat terlihat dari Gambar 


5.22 di bawah ini:Berdasarkan penimbangan yang dilakukan terhadap bayi baru lahir hidup pada tahun 2023 yang 


dilaporkan dari 38 provinsi, terdapat 84,3% bayi baru lahir yang ditimbang berat badannya, sebanyak 


3,9% mengalami kondisi BBLR. Kondisi tersebut jauh meningkat dibandingkan dari tahun 2022, sekitar 


2,5% bayi mengalami kondisi BBLR.


BBLR adalah kondisi bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Kondisi bayi BBLR 


disebabkan oleh kondisi Ibu saat hamil kurang energi kronik (KEK), dan lain-lain, kelahiran prematur 


dan gangguan plasenta yang mengakibatkan gangguan pada proses transportasi nutrisi pada plasenta. 


Untuk itu menjadi sangat penting dalam mempersiapkan sedini mungkin kondisi ibu yang sehat dan 


layak hamil sejak dari calon pengantin dan masa remaja. Selain sebagai salah satu penyebab tingginya 


kematian pada bayi baru lahir, BBLR juga meningkatkan risiko Stunting dan munculnya penyakit tidak 


menular dikemudian hari, seperti diabetes, hipertensi dan penyakit jantung.


Data yang disajikan menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan bayi baru lahir dan 


penanganan kondisi BBLR untuk mencegah risiko kematian pada periode neonatal. Upaya pelayanan 


kesehatan esensial pada bayi baru lahir, seperti kunjungan neonatal, memiliki peran krusial dalam 


mendeteksi dini masalah kesehatan dan memastikan pelayanan yang tepat diberikan.


Kunjungan neonatal dilakukan secara berkala dan meliputi berbagai aspek perawatan bayi baru 


lahir, mulai dari perawatan tali pusat hingga pencegahan penularan penyakit dari ibu ke anak. Cakupan 


kunjungan neonatal menjadi indikator penting dalam pemantauan dan evaluasi program kesehatan, 


dengan fokus pada cakupan kunjungan neonatal pertama dan cakupan kunjungan neonatal lengkap.Dengan melaksanakan kunjungan neonatal secara cepat dan tepat waktu, diharapkan dapat 


mengurangi risiko kematian pada periode neonatal serta memastikan pertumbuhan dan perkembangan 


bayi baru lahir yang optimal. Selain itu, perhatian yang lebih besar terhadap kesehatan ibu sejak 


awal kehamilan juga merupakan langkah penting untuk mengurangi risiko kondisi BBLR dan masalah 


kesehatan pada bayi baru lahir.Gambar 5.23 di atas menunjukkan bahwa cakupan Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) pada 


tahun 2023 (92,0%) mengalami peningkatan yang tidak terlalu signifikan. Selain itu, terlihat bahwa 


cakupan Kunjungan Neonatal Lengkap (KN Lengkap) mengalami fluktuasi semenjak tahun 2018 – 


2023. Pada tahun 2023 (90,8%) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2022 (91,3%). 


Cakupan target yang ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) tahun 2023, yaitu mencapai 93%.Cakupan KN lengkap secara nasional per provinsi berkisar antara 21,5 % di Papua Pegunungan 


hingga 116,8% di DKI Jakarta. Terdapat provinsi yang sasarannya lebih tinggi dari target Renstra 2023, 


yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Lampung, Jawa Timur, Gorontalo, Kalimantan Utara (lebih dari 93%). Menurut Pasal 21 dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Pelayanan 


Kesehatan Bayi, Anak Balita, dan Prasekolah, pelayanan kesehatan untuk bayi, anak balita, dan 


prasekolah dilakukan melalui berbagai langkah, antara lain:


• Pemberian ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan.


• Pemberian ASI hingga usia 2 tahun.


• Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) mulai usia 6 bulan.


• Pemberian imunisasi dasar lengkap bagi bayi.


• Pemberian imunisasi lanjutan DPT/HB/Hib pada anak usia 18 bulan dan imunisasi campak pada 


anak usia 24 bulan.


• Pemberian vitamin A.


• Upaya pola mengasuh anak.


• Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan.


• Pemantauan gangguan tumbuh kembang.


• Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).


• Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil dan tepat waktu ke fasilitas 


pelayanan kesehatan yang lebih mampu.


Langkah-langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa bayi, anak balita, dan prasekolah 


mendapatkan perawatan dan perlindungan kesehatan yang optimal untuk mendukung pertumbuhan 


dan perkembangan mereka secara menyeluruh.


Kegiatan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, dan prasekolah dilakukan secara terpadu di 


fasilitas pelayanan kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta. Kegiatan ini melibatkan tenaga 


kesehatan bersama dengan kader posyandu, guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)/Taman Kanak￾kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA) dengan standar minimal pelayanan sesuai dengan Standar Pelayanan 


Minimal (SPM) tingkat kabupaten/kota. Standar minimal pelayanan ini mencakup:


• Penimbangan berat badan setiap bulan minimal 8 kali.


• Pengukuran panjang badan/tinggi badan minimal 2 kali setahun.


• Pemantauan perkembangan minimal 2 kali setahun.


• Pemberian vitamin A (untuk usia 6-59 bulan).


• Imunisasi dasar lengkap dan lanjutan.


• Pelayanan balita sakit dengan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).


Pelayanan kesehatan ini dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan 


paliatif dengan tujuan utama menurunkan kematian bayi dan balita, menurunkan prevalensi stunting 


dan wasting, serta meningkatkan kualitas hidup balita.


Hasil dari pelayanan kesehatan di berbagai fasilitas seperti posyandu, PAUD/TK/RA, puskesmas, 


rumah sakit, serta fasilitas kesehatan lainnya digunakan sebagai bahan perencanaan dan evaluasi bagi 


puskesmas agar pelaksanaan peningkatan kesehatan bayi, anak balita, dan prasekolah dapat lebih 


tepat sasaran dan tujuan.


Untuk menurunkan kematian bayi dan balita serta memperkuat pelayanan kesehatan, penting untuk 


mengoptimalkan penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) oleh ibu yang memiliki balita melalui 


pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Buku KIA berperan sebagai home-base record untuk memastikan 


Continuum of Care (COC) ibu dan anak, serta sebagai panduan bagi keluarga dan penyedia layanan kesehatan 


untuk mendeteksi masalah kesehatan, serta sebagai media komunikasi informasi dan edukasi.Data dari Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan menunjukkan 


bahwa persentase balita yang memiliki Buku KIA di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 2022 


sebesar 69,6% menjadi 80% pada tahun 2023. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah 


Buku KIA yang disediakan oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah belum mampu 


menyediakan Buku KIA untuk memenuhi kebutuhan. Provinsi Papua Pegunungan memiliki persentase 


terendah (9,2%), sementara Jawa Tengah memiliki persentase tertinggi (97,0%). Hal ini menunjukkan 


perlunya perhatian lebih dalam pengadaan dan distribusi Buku KIA untuk memastikan kontinuitas 


pelayanan kesehatan yang optimal bagi ibu dan anak.

Upaya pemenuhan layanan esensial utama untuk bayi dan balita meliputi pemberian ASI 


eksklusif dan vitamin A, serta upaya preventif melalui pemantauan pertumbuhan dan perkembangan. 


Tujuan dari pemantauan ini adalah untuk mendeteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan 


seperti stunting, wasting, gizi buruk, dan obesitas pada balita, sehingga dapat dilakukan intervensi atau 


rujukan yang tepat ke fasilitas kesehatan. 


Indikator keberhasilan dalam hal ini diukur dengan melihat persentase balita yang dipantau 


pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan total sasaran balita. Secara nasional, 


indikator ini menunjukkan tren peningkatan dari tahun 2022 yang mencapai 78,3% pada tahun 2023 


mencapai 82,3%. Target Renstra sebesar 85%. Namun, dari segi provinsi, 7 dari 38 provinsi telah 


mencapai target Renstra tahun 2023.


Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam rangka 


memperkuat pelaksanaan Posyandu dan kunjungan rumah untuk mencari sasaran yang belum terjangkau 


oleh pelayanan kesehatan dan untuk memastikan bahwa balita menerima pelayanan secara lengkap. Hal 


ini melibatkan peningkatan kapasitas petugas kesehatan dan kader masyarakat, serta memberdayakan 


ibu dan keluarga untuk melakukan pemantauan mandiri dengan menggunakan buku KIA. 

Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan di Indonesia dilakukan secara berjenjang, 


dimulai dari tingkat keluarga/masyarakat dengan menggunakan checklist perkembangan yang terdapat 


dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Apabila hasil pemeriksaan perkembangan melalui buku 


KIA menunjukkan interpretasi yang tidak lengkap, maka dilakukan tindak lanjut dengan pemeriksaan 


pertumbuhan dan perkembangan oleh petugas kesehatan melalui kegiatan Stimulasi, Deteksi, dan 


Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK) di puskesmas.Pada gambar 5.27 di bawah menunjukkan persentase balita yang dilayani oleh SDIDTK secara 


nasional pada tahun 2023, yakni sebesar 70,8%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Kepulauan 


Riau (93,8%), sementara Provinsi Papua Pegunungan memiliki persentase terendah yaitu 0,1%.


Ini menunjukkan pentingnya upaya untuk meningkatkan cakupan layanan SDIDTK di seluruh 


wilayah, terutama di provinsi-provinsi dengan persentase layanan yang masih rendah. Dengan 


meningkatkan cakupan layanan SDIDTK, diharapkan dapat lebih banyak balita yang mendapatkan 


deteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta mendapatkan intervensi yang sesuai 


untuk memastikan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) merupakan pendekatan pelayanan komprehensif 


dan terintegrasi terhadap penyebab utama kematian balita yang sering dijumpai, seperti pneumonia, 


diare, campak, malaria, atau kombinasi dari penyakit-penyakit tersebut. Selain itu, penyakit-penyakit 


tersebut sering kali dikaitkan dengan kondisi gizi kurang atau gizi buruk. Implementasi MTBS dilakukan 


di puskesmas atau fasilitas kesehatan tingkat pertama lainnya sesuai dengan Standar Pelayanan 


Minimal (SPM) tingkat Kabupaten/kota.


Gambar 5.28 di bawah menunjukkan persentase balita yang dilayani oleh MTBS secara nasional 


pada tahun 2023, mencapai 87,7%. Angka ini tidak mengalami perubahan dari tahun 2022 juga 


mencapai 87,7%. Hal ini disebabkan penanganan Balita Sakit sudah menggunakan pendekatan MTBS 


sesuai dengan prosedur yang dilakukan secara komprehensif dan terpadu, sehingga dapat menekan 


angka kesakitan pada balita.Program imunisasi yang dilakukan pemerintah mencakup beberapa jenis vaksinasi yang 


ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi 


(PD3I). Beberapa program imunisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, sesuai dengan 


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017, antara lain:


1. Imunisasi Dasar Lengkap (IDL): Program ini mencakup serangkaian vaksinasi dasar yang 


diberikan kepada bayi dan anak sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, seperti imunisasi 


Hepatitis B, BCG (Tuberkulosis), DPT-HB-Hib (Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, Haemophilus 


influenzae type b), polio, campak, dan rubella.


2. Imunisasi Tambahan dan Lanjutan: Selain imunisasi dasar, terdapat juga program imunisasi 


tambahan dan lanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kekebalan individu terhadap 


penyakit tertentu, seperti vaksinasi influenza, HPV (Human Papillomavirus), meningokokus, 


dan lain sebagainya.


3. Imunisasi Rutin: Pemerintah juga menyelenggarakan program imunisasi rutin yang dilakukan 


secara berkala sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, baik di puskesmas, posyandu, 


sekolah, maupun tempat-tempat pelayanan kesehatan lainnya.


Program imunisasi yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk memberikan perlindungan 


maksimal terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, sehingga dapat mengurangi angka 


kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat penyakit tersebut. Selain itu, melalui program imunisasi, juga 


diharapkan dapat tercipta herd immunity di masyarakat, yang memberikan perlindungan tambahan 


bagi individu yang belum atau tidak dapat divaksinasi.


a. Imunisasi Dasar pada Bayi


Di Indonesia, setiap bayi usia 0-11 bulan diwajibkan untuk mendapatkan imunisasi dasar 


lengkap. Ini meliputi:


1. 1 dosis Hepatitis B


2. 1 dosis BCG (Tuberkulosis)


3. 3 dosis DPT-HB-HiB (Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, Haemophilus influenzae type b)


4. 4 dosis polio tetes atau Oral Polio Vaccine (OPV)


5. 1 dosis polio suntik atau Inactivated Polio Vaccine (IPV)


6. 1 dosis Campak Rubela


Penentuan jenis imunisasi dan jadwal pemberiannya didasarkan pada kajian ahli dan analisis 


epidemiologi terhadap penyakit-penyakit yang umum terjadi. Namun, untuk beberapa daerah tertentu 


yang dipilih berdasarkan kajian epidemiologi, analisis beban penyakit, dan rekomendasi ahli, ada 


tambahan imunisasi tertentu. Contohnya adalah Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) dan Japanese 


Encephalitis.


Perlu dicatat bahwa implementasi pemberian imunisasi tambahan tersebut belum berlaku 


secara nasional, sehingga tidak dianggap sebagai bagian dari imunisasi dasar lengkap pada bayi. Namun, 


pemerintah dapat mempertimbangkan penambahan imunisasi ini di masa mendatang berdasarkan 


hasil kajian dan rekomendasi para ahli.Cakupan imunisasi dasar lengkap secara nasional tidak mengalami perubahan pada tahun 


2023, yaitu 95,4%. Angka ini belum memenuhi target Renstra tahun 2023 sebesar 100%. Dibandingkan 


dengan tahun 2022, terjadi penurunan di mana jumlah provinsi yang mencapai target Renstra berkurang 


dari 9 provinsi menjadi 6 provinsi.Pada gambar 5.30 di atas, diketahui bahwa Provinsi dengan Imunisasi dasar lengkap tertinggi 


adalah Banten (112,2%). Sedangkan Provinsi dengan capaian terendah yaitu Papua Pegunungan (8,9%). 


Rincian data mengenai Imunisasi dasar lengkap pada bayi tahun 2023, terdapat pada lampiran 43.


Pada Gambar 5.31 di bawah, diketahui Tren angka Drop Out (DO) imunisasi DPT-HB-Hib1 ke 


DPT-HB-Hib3 cenderung fluktuatif sejak tahun 2020 hingga tahun 2023. Pada tahun 2023, terjadi 


penurunan sebesar 15,4% dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.


Angka DO imunisasi DPT-HB-Hib1 ke Campak Rubela 1 telah berada di bawah batas maksimal 


5% dari tahun 2022 hingga 2023, tetapi cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2023, angka DO 


tersebut bahkan berada di ambang batas minimal (nilai minus: -15,4%). Hal ini menunjukkan bahwa 


jumlah anak yang mendapatkan imunisasi Campak Rubela 1 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah 


anak yang mendapatkan imunisasi DPT-HB-Hib1. Faktor yang mungkin mempengaruhi hal ini adalah 


mudahnya orang tua mengingat jadwal imunisasi Campak Rubela 1 ketika anak memasuki usia 9 bulan, 


sementara efek samping dari imunisasi DPT-HB-Hib1 seringkali membuat orang tua melewatkan jadwal 


imunisasi tersebut.


Perlu dicatat bahwa pemanfaatan layanan imunisasi dianggap baik jika angka DO <5%, sehingga 


angka DO dari DPT-HB-Hib1 ke DPT-HB-Hib3 atau DPT-HB-Hib1 ke Campak Rubela 1 diharapkan tidak 


melebihi 5%. Evaluasi terus menerus terhadap tren DO ini penting untuk memahami faktor-faktor 


yang mempengaruhi pemanfaatan layanan imunisasi dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan 


untuk meningkatkan cakupan imunisasi dan mencegah DO yang tinggi.Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap pada bayi adalah salah 


satu indikator penting untuk mengukur pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan di suatu wilayah. 


Hal ini mengindikasikan sejauh mana pelayanan imunisasi dasar telah tersedia dan dapat diakses secara 


merata di berbagai daerah.

Ketika persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap tinggi, hal ini 


menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah telah berhasil memberikan pelayanan imunisasi dasar 


yang cukup baik kepada bayi-bayi di daerah tersebut. Ini bisa mengindikasikan adanya akses yang baik 


terhadap layanan kesehatan, kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi, serta ketersediaan 


infrastruktur dan sumber daya yang memadai di sektor kesehatan.


Namun, perlu dicatat bahwa meskipun persentase ini mencapai target, evaluasi terus menerus 


diperlukan untuk memastikan bahwa pelayanan imunisasi dasar tersebut tidak hanya merata secara 


geografis, tetapi juga mencakup semua kelompok masyarakat, termasuk yang berada di daerah terpencil 


atau terpinggirkan. Upaya terus-menerus diperlukan untuk memperbaiki pemerataan dan mutu pelayanan 


kesehatan agar semua anak memiliki akses yang setara terhadap imunisasi dasar yang diperlukan.

Peningkatan jumlah provinsi dengan kabupaten/kotanya yang telah mencapai 80% imunisasi 


dasar lengkap pada bayi dari tahun 2022 ke tahun 2023 menunjukkan penurunan dalam upaya 


peningkatan cakupan imunisasi di berbagai wilayah. Hal ini mencerminkan kurangnya kesadaran akan 


pentingnya imunisasi dalam melindungi mereka dari penyakit yang dapat dicegah. 


Rincian lengkap mengenai persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar 


lengkap selama tiga tahun terakhir, seperti yang disebutkan, dapat dilihat pada Lampiran 43.c. Data 


ini memberikan penjelasan tentang progres imunisasi di setiap wilayah, serta memungkinkan untuk 


melakukan evaluasi terhadap upaya pemerataan dan peningkatan mutu layanan imunisasi di seluruh 


negeri. Dengan memahami tren ini, langkah-langkah yang lebih efektif dapat diambil untuk terus 


meningkatkan cakupan imunisasi dan memastikan bahwa semua anak mendapatkan perlindungan 


yang dibutuhkan.


Pada Gambar 5.33 dapat diketahui, jumlah Provinsi dengan Kabupaten/Kota yang telah 


mencapai 85% Imunisasi dasar lengkap pada bayi mengalami penurunan dari tahun 2022 sd 2023, 


berjumlah 15 Provinsi. Rincian lengkap mengenai persentase Kabupaten/Kota yang mencapai 80% 


Imunisasi Dasr Lengkap selama 3 tahun terakhir dapat dilihat pada lampiran 43.CImunisasi lanjutan pada anak baduta (di bawah dua tahun) memainkan peran penting dalam 


mempertahankan tingkat kekebalan tubuh mereka untuk memberikan perlindungan yang optimal 


terhadap penyakit yang dapat dicegah. Meskipun beberapa jenis imunisasi dasar yang diberikan pada saat 


bayi mungkin memerlukan dosis lanjutan (booster) untuk meningkatkan kekebalan, imunisasi lanjutan 


pada usia 18 bulan tetap menjadi langkah penting dalam memastikan anak-anak tetap terlindungi.

Pemberian imunisasi lanjutan pada usia 18 bulan ini mengintegrasikan pemberian dosis booster 


dari beberapa vaksin dasar yang penting, seperti DPT-HB-HiB dan Campak Rubela. Perlindungan optimal 


dari imunisasi lanjutan ini hanya dapat dicapai jika anak telah menerima imunisasi dasar secara lengkap. 


Oleh karena itu, program imunisasi rutin di Indonesia sejak tahun 2014 telah mencakup pemberian 


imunisasi lanjutan pada anak usia 18-24 bulan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan cakupan 


imunisasi dan memastikan perlindungan yang maksimal bagi anak-anak.


Peningkatan signifikan dalam cakupan imunisasi DPT-HB-HiB4 dan Campak Rubela 2 pada anak 


usia 18-24 bulan tahun 2023 adalah kabar yang sangat positif. Ini menunjukkan efektivitas dari upaya￾upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kesadaran dan akses terhadap imunisasi di seluruh negeri. 


Dengan meningkatnya cakupan imunisasi, akan ada lebih banyak anak yang dilindungi dari penyakit 


yang dapat dicegah, dan ini merupakan langkah penting menuju tercapainya kesehatan yang lebih baik 


bagi anak-anak Indonesia.


Rincian lengkap mengenai cakupan imunisasi lanjutan DPT-HB-HiB4 dan Campak Rubela 


2 pada anak baduta dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tren ini, serta 


memungkinkan untuk mengevaluasi efektivitas program-program imunisasi yang ada. Langkah-langkah 


yang lebih lanjut dapat diambil untuk memastikan bahwa semua anak mendapatkan imunisasi yang 


mereka butuhkan untuk melindungi kesehatan mereka secara optimal. Lihat 5.34.Secara nasional Cakupan Imunisasi DPT-HB-Hib4 dan Campak Rubela 2 pada anak usia 18-24 


bulan tahun 2023 menurun dibanding tahun 2022. Imunisasi DPT-HB-Hib4 yang sebelumnya sebesar 


98,4%, tahun 2023menjadi 76,5%. Cakupan Imunisasi Campak Rubela 2 Tahun 2023 juga menurun 


dibandingkan tahun 2022, dari 98,4% menjadi 76,8%. Rincian lengkap mengenai Imunisasi DPT-HB￾Hib4 dan Campak Rubela 2 pada anak Balita, dapat dilihat pada lampiran 44-A.Pelaksanaan imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah melalui kegiatan Bulan Imunisasi Anak 


Sekolah (BIAS) memiliki peran penting dalam mempertahankan tingkat kekebalan anak-anak sehingga 


mereka terlindungi dari Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I). Pelaksanaan BIAS dapat 


terpengaruh selama masa pandemi Covid-19 karena pembatasan aktivitas tatap muka di sekolah. 


Dalam situasi seperti ini, penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari solusi alternatif 


agar program imunisasi pada anak sekolah tetap dapat dilaksanakan dengan efektif. Beberapa langkah 


yang dapat diambil antara lain:


1. Promosi Imunisasi Melalui Kampanye Online: Memanfaatkan media sosial dan platform digital 


lainnya untuk memberikan informasi dan mengedukasi orang tua serta anak-anak mengenai 


pentingnya imunisasi lanjutan dan jadwal yang harus diikuti.


2. Pelayanan Imunisasi di Fasilitas Kesehatan: Memastikan bahwa pelayanan imunisasi tetap 


tersedia di fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas, untuk anak-anak yang tidak dapat 


mengikuti kegiatan BIAS di sekolah.


3. Imunisasi Berbasis Komunitas: Mengorganisir kegiatan imunisasi di tingkat komunitas, seperti 


di pusat-pusat kegiatan masyarakat, agar orang tua dan anak-anak dapat mengakses imunisasi 


dengan mudah.


4. Penjadwalan Ulang Kegiatan BIAS: Setelah situasi pandemi membaik dan pembatasan di 


sekolah diangkat, penting untuk segera menjadwalkan ulang kegiatan BIAS untuk mengejar 


kembali cakupan imunisasi yang mungkin terganggu selama pandemi.


Langkah-langkah ini, diharapkan program imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah dapat tetap 


berjalan dengan baik, sehingga tingkat kekebalan anak-anak terjaga dan mereka terlindungi dari PD3I 


Selain imunisasi lanjutan pada baduta, untuk mempertahankan tingkat kekebalan pada anak sehingga 


dapat terlindungi dari PD3I.


Cakupan imunisasi Campak Rubela pada anak usia kelas 1 sebesar 93,8%, Cakupan Imunisasi 


DT sebesar 90,3%, Cakupan Imunisasi TD pada usia anak kelas 2, sebesar 91,2%. Cakupan imunisasi 


yang tinggi seperti itu menunjukkan upaya yang baik dalam memastikan anak-anak mendapatkan 


perlindungan yang optimal terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Dengan cakupan 


imunisasi yang tinggi, diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit menular di masyarakat 


dan meningkatkan kesehatan anak-anak secara keseluruhan. Cakupan Imunisasi anak sekolah menurut 


Provinsi dapat dilihat pada lampiran 44.b.


Program kesehatan anak usia sekolah dan remaja, seperti Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan 


pelayanan kesehatan peduli remaja, memegang peran penting dalam menjaga dan meningkatkan 


kesehatan generasi muda. Melalui kegiatan lintas sektor dan kolaborasi antara tenaga kesehatan, kader 


kesehatan sekolah, serta berbagai pihak terkait lainnya, berbagai upaya promotif, preventif, kuratif, 


dan rehabilitatif dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan dan pemantauan kesehatan yang 


komprehensif bagi anak-anak dan remaja.


Pelayanan kesehatan anak usia sekolah bertujuan untuk mendeteksi dini risiko penyakit pada 


anak sekolah agar dapat ditindaklanjuti secara dini, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan 


anak yang optimal, sehingga dapat menunjang proses belajar mereka dan pada akhirnya menciptakan 


anak usia sekolah yang sehat dan berprestasi. 


Cakupan pelayanan kesehatan di sekolah menengah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) sebesar 


95,1% pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah di Indonesia telah melaksanakan 


kegiatan kesehatan. Ini mencerminkan upaya dalam memberikan akses pelayanan kesehatan kepada 


anak-anak di lingkungan pendidikan.


Sebanyak 32 provinsi mencapai lebih dari 80% sekolah SD/MI yang mendapat pelayanan 


kesehatan, dengan 19 Provinsi diantaranya lebih dari 100%, dan terdapat 6 Provinsi diatas 80% yaitu: 


Papua Selatan, Maluku, Papua Barat Daya, Papua Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat. ini menunjukkan 


adanya komitmen yang kuat dari berbagai daerah untuk mendukung kesehatan anak-anak di lingkungan 


sekolah. Provinsi-provinsi yang mencapai lebih dari 100%, menunjukkan tingginya tingkat pelayanan 


kesehatan di sekolah-sekolah di wilayah tersebut. 44 Profil Kesehatan Indonesia 2023 | 


Meskipun masih ada ruang untuk peningkatan, tetapi keberadaan pelayanan kesehatan di 


sekolah di provinsi-provinsi ini tetap memberikan akses yang penting bagi kesehatan anak-anak. Secara 


keseluruhan, meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan di sekolah menengah dasar/madrasah 


ibtidaiyah menunjukkan komitmen yang kuat untuk memastikan anak-anak mendapatkan akses 


pelayanan kesehatan yang penting untuk kesejahteraan dan perkembangan mereka


 Cakupan pelayanan kesehatan di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/


MTs) sebesar 93,9% pada tahun 2023. Adanya cakupan sebesar 100% menandakan bahwa sebagian 


besar sekolah SMP/MTs di Indonesia telah melaksanakan kegiatan kesehatan. Meskipun mungkin ada

ruang untuk peningkatan, keberadaan pelayanan kesehatan di sekolah-sekolah di tingkat SMP/MTs 


tetap memberikan akses yang penting bagi kesehatan remaja di masa pertumbuhan dan perkembangan 


mereka. Seperti gambar 5.37 di bawah ini

Dengan cakupan sebesar 92,1% pada tahun 2023, pelayanan kesehatan di sekolah menengah 


atas/madrasah aliyah (SMA/MA) menunjukkan bahwa upaya kesehatan di tingkat pendidikan menengah 


atas juga telah dilakukan secara luas. Lebih dari 80% sekolah SMA/MA di sebagian besar provinsi telah 


memberikan pelayanan kesehatan kepada siswa-siswinya, menunjukkan komitmen untuk mendukung 


kesehatan remaja di masa yang kritis ini.Terdapat beberapa provinsi dimana cakupan pelayanan kesehatan di sekolah SMA/MA 


masih berada di kisaran 60-80%, yaitu: Papua Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara 


Barat, Papua Barat Daya. Sedangkan 2 Provinsi lainnya: Maluku dan Papua Selatan berada di kisaran 


20%. Hal ini menunjukkan bahwa ada potensi untuk meningkatkan akses dan ketersediaan layanan 


kesehatan di beberapa wilayah, sehingga lebih banyak siswa dapat memperoleh manfaat dari program￾program kesehatan di sekolah. Melalui adanya pemantauan yang cermat terhadap cakupan pelayanan 


kesehatan di sekolah-sekolah, diharapkan dapat dilakukan upaya perbaikan yang tepat sasaran untuk 


meningkatkan kesehatan remaja dan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan 


produktif secara keseluruhan. Rincian lengkap mengenai cakupan pelayanan kesehatan peserta didik 


SD/MI, SMP/MTS dan SMA/MA dapat dilihat pada Lampiran 49.


C. GIZI


Pembahasan ini berisi status gizi balita beserta pencegahan dan penanganan masalah gizi, di 


antaranya pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada bayi usia sampai dengan 6 bulan, pemberian 


kapsul vitamin A pada balita 6-59 bulan, pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada remaja putri, 


serta pemberian makanan tambahan pada ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) dan balita gizi kurang.


1. Status Gizi Balita


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak 


mengatur standar antropometri yang digunakan untuk mengukur atau menilai status gizi anak. Standar 


antropometri yang digunakan terdiri atas indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan 


atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U), dan Berat Badan menurut Panjang Badan atau 


Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB). Klasifikasi penilaian status gizi menggunakan Indeks Antropometri 


sesuai dengan kategori status gizi pada WHO Child Growth Standards untuk anak usia 0-5 tahun dan 


WHO Reference 2007 untuk anak 5-18 tahun. Status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut 


Umur (BB/U) pada balita (0-59 bulan) dinyatakan dengan kategori berat badan sangat kurang, kurang, 


normal, dan risiko berat badan berlebih. Underweight merupakan kategori status gizi berat badan sangat 


kurang dan kurang. Berdasarkan Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U), 


status gizi dinyatakan dengan kategori tinggi badan sangat pendek, pendek, normal, dan tinggi. Tinggi 


badan sangat pendek dan pendek dikategorikan sebagai stunting. Selain itu, status gizi berdasarkan 


indeks Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB) dinyatakan dengan 


kategori gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, beresiko gizi lebih, gizi lebih, dan obesitas. Gizi buruk dan gizi 


kurang dikategorikan sebagai wasting.


Kegiatan pemantauan pertumbuhan merupakan penimbangan dan pengukuran yang dilakukan 


dalam kegiatan pemantauan pertumbuhan setiap bulan pada seluruh sasaran balita di wilayah kerja 


puskesmas (posyandu maupun fasilitas pendidikan anak usia dini). Hasil penimbangan dan pengukuran 


dicatat atau dientri oleh petugas puskesmas ke dalam aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi 


Berbasis Masyarakat (e-PPBGM) untuk mengetahui kategori status gizinya. Pengukuran antropometri 


juga dilakukan pada kegiatan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang dilaksanakan oleh Badan Kebijakan 


Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Pengukuran 


antropometri dilakukan dengan menggunakan timbangan berat badan digital (tingkat ketelitian 0,1 kg), 


alat ukur tinggi/panjang badan (tingkat ketelitian 1 mm), dan alat ukur LiLA (tingkat ketelitian 1 mm). 


Status gizi yang disajikan dalam SKI tahun 2023 meliputi prevalensi stunting dan wasting. Perbedaan data status gizi pada SKI dengan data rutin pada e-PPBGM adalah metode dan 


sasarannya. Data SKI berasal dari survei dengan sasaran berdasarkan perhitungan sampel yang 


menyasar rumah tangga dengan anak balita. Sementara data rutin pada e-PPGBM berasal dari 


pelaksanaan pemantauan pertumbuhan setiap bulannya di posyandu yang mencakup seluruh sasaran 


di wilayah kerjanya. Data rutin status gizi pada e-PPGBM dapat dilihat secara kohort hingga ke tingkat 


individu berdasarkan nama dan alamatnya (by name & by address).


Berdasarkan kegiatan pemantauan pertumbuhan tahun 2023 yang dilaporkan melalui 


e-PPBGM, persentase bayi bawah dua tahun 0-23 bulan (baduta) dengan berat badan sangat kurang 


sebesar 1,4% dan baduta berat badan kurang sebesar 6,9% yang tergambar pada Gambar 5.39. Provinsi 


Nusa Tenggara Timur (18,8%) merupakan provinsi dengan persentase baduta underweight tertinggi di 


Indonesia, sedangkan provinsi dengan presentase terendah adalah Provinsi Sumatera Selatan (2,1%).Pada usia balita, berat badan sangat kurang mencapai 1,1% dan berat badan kurang sebesar 


6,4% yang digambarkan pada Gambar 5.42. Provinsi dengan persentase balita underweight tertinggi 


adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (21,6%), sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah 


Provinsi Sumatera Selatan (1,7%).Persentase baduta sangat pendek di Indonesia sebesar 2,1% sedangkan baduta dalam kategori 


pendek sebesar 5,6%. Provinsi dengan persentase baduta stunting tertinggi adalah Provinsi Sulawesi 


Barat (26,5%), sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Provinsi Sulawesi Utara (2,4%).


Persentase balita sangat pendek sebesar 1,7% dan balita pendek sebesar 5,7%. Provinsi dengan 


persentase balita stunting tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat (26,2%), sedangkan provinsi dengan 


persentase terendah adalah Provinsi Sumatera Selatan (1,5%). Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 


(SKI) tahun 2023, prevalensi balita stunting di Indonesia turun sebesar 0,1% dibanding perolehan Studi 


Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, menjadi 21,5%. 52 Profil Kesehatan Indonesia 2023 | Bab V. KESEHATA


Masalah gizi pada balita berdasarkan indeks Berat Badan menurut BB/PB atau BB/TB meliputi 


kategori gizi buruk dan gizi kurang. Menurut data rutin pada e-PPBGM didapatkan sebesar 0,8% baduta 


gizi buruk dan sebesar 4,7% baduta gizi kurang. Persentase baduta wasting tertinggi terjadi di Provinsi 


Papua Selatan (11,9%), sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Provinsi Bengkulu (1,7%).Berdasarkan pengukuran indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) pada balita 


diperoleh persentase balita gizi buruk sebesar 0,6% dan persentase balita gizi kurang sebesar 4,0%. 


Provinsi dengan persentase balita wasting tertinggi adalah Provinsi Papua Barat (9,6%), sedangkan 


provinsi dengan persentase terendah adalah Provinsi DKI Jakarta (1,4%). Prevalensi balita wasting juga 


diperoleh melalui SKI tahun 2023 sebesar 8,5%. Angka tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 


0,8% dibanding prevalensi balita wasting pada SSGI tahun 2022 (7,7%).Pada Gambar 5.45 terlihat bahwa prevalensi stunting (sangat pendek dan pendek) dan wasting


(gizi buruk dan gizi kurang) pada balita usia 0-59 bulan sejak 2017-2022 cenderung mengalami 


penurunan, meskipun untuk wasting mengalami kenaikan pada tahun 2022. Hal ini tentu menjadi 


sebuah langkah yang baik dalam upaya mencapai target RPJMN 2020-2024 untuk penurunan angka 


stunting dan wasting.Berdasarkan Gambar 5.46 hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, diketahui tiga 


provinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi terdapat di Provinsi Papua Tengah (39,4%), Nusa 


Tenggara Timur (37,9%), dan Papua Pegunungan (37,3%).


2. Upaya Pencegahan dan Penanganan Masalah Gizi


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi menyatakan 


bahwa perlu dilakukan penerapan gizi seimbang sebagai upaya untuk perbaikan gizi perseorangan 


dan gizi masyarakat. Setiap keluarga harus mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi setiap anggota keluarganya. Mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi dapat dilakukan dengan 


menimbang berat badan secara teratur, memberikan ASI (Air Susu Ibu) saja kepada bayi sejak lahir 


sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif), mengonsumsi menu makanan yang bervariasi, menggunakan 


garam beryodium, dan pemberian suplemen gizi sesuai anjuran petugas kesehatan. Peraturan 


Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi menyatakan 


bahwa suplemen gizi yang diberikan meliputi kapsul vitamin A, tablet tambah darah (TTD), makanan 


pendamping ASI, bubuk multi vitamin dan mineral, serta makanan tambahan dengan formulasi khusus 


dan difortifikasi dengan vitamin dan mineral yang diberikan kepada balita 6-59 bulan dengan kategori 


kurus, anak usia sekolah dasar dengan kategori kurus, dan ibu hamil kurang energi kronis.


a. Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif 


Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif 


menyatakan bahwa ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam 


bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, 


vitamin, dan mineral). Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada bayi yang 


dilahirkannya, namun ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal terdapat indikasi medis, ibu tidak 


ada, serta ibu terpisah dari bayinya. Pemberian ASI Eksklusif diatur dalam peraturan tersebut, salah 


satunya agar pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif dapat terjamin.


Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan proses menyusu yang dimulai segera setelah lahir 


dengan cara kontak kulit ke kulit antara bayi dengan ibunya dan berlangsung minimal 1 (satu) jam. 


Beberapa manfaat IMD di antaranya, mengurangi angka kematian bayi, membantu pernafasan dan 


detak jantung bayi lebih stabil, bayi mendapatkan zat kekebalan tubuh dan zat penting lainnya, dan 


merangsang pengaliran ASI dari payudara. Inisiasi Menyusu Dini juga akan sangat membantu dalam 


keberlangsungan pemberian ASI eksklusif (ASI saja) dan lama menyusui.


Pada tahun 2023, persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD secara nasional sebesar 86,6%. 


Provinsi dengan persentase bayi baru lahir mendapat IMD tertinggi adalah Provinsi Papua Pegunungan 


(100%) sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Provinsi Bali (66,5%). Target nasional 


IMD tahun 2023 sebesar 66%, sehingga seluruh provinsi telah mencapai targetCakupan bayi berusia 6 bulan mendapat ASI eksklusif tahun 2023 yaitu sebesar 63,9%. Capaian 


tersebut telah mencapai target program tahun 2023 yaitu 50%. Persentase cakupan pemberian ASI 


eksklusif tertinggi pada Provinsi Nusa Tenggara Barat (81,1%), sedangkan persentase terendah di Provinsi 


Papua Barat (10,9%). Terdapat 14 (empat belas) provinsi yang belum mencapai target program tahun 


2023, yaitu Provinsi Kalimantan Utara, Riau, Maluku Utara, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi 


Barat, Gorontalo, Maluku, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua, Papua Barat Daya, 


dan Papua Barat. Cakupan bayi mendapat ASI eksklusif selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.48.Pemantauan pertumbuhan merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari penimbangan, 


pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat), penilaian pertumbuhan, dan tindak lanjut setiap kasus gangguan 


pertumbuhan pemantauan status gizi, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan 


Nomor 23 Tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi. Pemantauan pertumbuhan balita adalah bagian dari kegiatan rutin pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada pelayanan gizi dan kesehatan 


di Puskesmas. Pemantauan pertumbuhan balita juga berfungsi sebagai alat deteksi dini gangguan 


pertumbuhan pada balita. Status gizi balita yang bermasalah dapat diketahui melalui penimbangan 


balita tersebut sehingga dapat dilakukan intervensi sesuai dengan permasalahannya.


Persentase rata-rata balita yang ditimbang di Indonesia pada tahun 2023 adalah 78,9% anak 


per bulan. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 74,1% anak per bulan. Persentase rata￾rata balita ditimbang per bulan tertinggi dicapai oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 


91,4%, sedangkan persentase terendah terdapat di Provinsi Papua Pegunungan sebesar 21,8%. Data 


lebih lengkap mengenai rata-rata balita yang ditimbang per bulan dapat dilihat di Gambar 5.49.Vitamin A merupakan nutrisi penting yang terlibat dalam pembentukan, produksi, dan 


pertumbuhan sel darah merah, sel limfosit, antibodi juga integritas sel epitel pelapis tubuh. Vitamin A 


juga bisa mencegah rabun senja, xeroftalmia, kerusakan kornea dan kebutaan serta mencegah anemia 


pada ibu nifas. Anak yang kekurangan vitamin A berpotensi menjadi rentan terserang penyakit infeksi, 


seperti infeksi saluran pernafasan atas, campak, dan diare.


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2015 tentang Standar Kapsul Vitamin A bagi 


Bayi, Anak Balita, dan Ibu Nifas menyebutkan bahwa kapsul vitamin A merupakan kapsul lunak 


dengan ujung (nipple) yang dapat digunting, tidak transparan (opaque), dan mudah untuk dikonsumsi, 


termasuk dapat masuk ke dalam mulut balita. Kapsul vitamin A bagi bayi usia 6–11 bulan berwarna biru 


dan mengandung retinol (palmitat/asetat) 100.000 IU, sedangkan kapsul vitamin A untuk anak balita 


usia 12-59 bulan. Ibu nifas mendapatkan kapsul vitamin A berwarna merah dan mengandung retinol 


(palmitat/asetat) 200.000 IU.


Berdasarkan Panduan Manajemen Terintegrasi Suplementasi Vitamin A yang dikeluarkan oleh 


Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, waktu pemberian kapsul vitamin 


A pada bayi dan anak balita dilaksanakan serentak setiap bulan Februari dan Agustus. Frekuensi 


pemberian vitamin A pada bayi 6-11 bulan adalah 1 kali sedangkan pada anak balita 12-59 bulan 


sebanyak 2 kali.


Cakupan pemberian vitamin A pada balita di Indonesia tahun 2023 yaitu sebesar 92%. 


Persentase cakupan pemberian vitamin A tertinggi dicapai Provinsi Jawa Tengah (101,3%), sedangkan 


provinsi dengan persentase terendah adalah Provinsi Papua Tengah (17%).Anemia adalah penyakit kekurangan kadar hemoglobin di dalam darah atau kekurangan butir 


darah merah (KBBI). Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat terjadi pada semua 


kelompok umur mulai dari balita sampai usia lanjut. Siklus menstruasi setiap bulan menyebabkan 


remaja putri (rematri) rentan menderita anemia. Anemia dapat menyebabkan penurunan daya tahan 


tubuh dan produktivitas. Anemia yang terjadi pada rematri juga dapat berisiko pada saat hamil dan 


akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan serta 


berpotensi menimbulkan komplikasi kehamilan dan persalinan, bahkan menyebabkan kematian ibu 


dan anak.


Penanganan dan pencegahan anemia dapat dilakukan dengan mengonsumsi makanan yang 


mengandung vitamin dan mineral yang menunjang pembentukan sel darah merah sebagai pencegahan, 


fortifikasi bahan makanan dengan zat besi, dan suplementasi zat besi. Konsumsi makanan beraneka 


ragam dan kaya akan zat besi, folat, vitamin B12, dan vitamin C seperti yang terdapat pada hati, daging, 


kacang-kacangan, sayuran berwarna hijau gelap, buah-buahan, dsb. Namun tidak semua masyarakat 


dapat mengonsumsi makanan tersebut, sehingga diperlukan asupan zat besi tambahan yang diperoleh 


dari tablet tambah darah (TTD).


Pemberian TTD pada remaja putri dilakukan melalui UKS/M di institusi Pendidikan (SMP dan 


SMA atau yang sederajat) dengan menentukan hari minum TTD bersama, sebagaimana disebutkan 


dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Nomor 


HK.03.03/V/0595/2016 tentang Pemberian Tablet Tambah Darah pada Remaja Putri dan Wanita Usia 


Subur. Dosis yang diberikan adalah satu tablet setiap minggu selama sepanjang tahun.


Cakupan pemberian TTD pada remaja putri di Indonesia pada tahun 2023 adalah 78,9%. 


Cakupan pemberian TTD pada remaja putri tertinggi dicapai oleh Provinsi Bali (97,5%), sedangkan 


persentase terendah oleh Provinsi Papua Pegunungan (0,5%).Ibu hamil yang mengalami masalah gizi dapat berdampak terhadap kesehatan dan keselamatan 


ibu dan bayi serta kualitas bayi yang dilahirkan. Kurang Energi Kronik (KEK) dapat terjadi akibat 


ketidakseimbangan gizi (energi dan protein) yang berlangsung lama. Ibu hamil KEK berisiko menurunkan 


kekuatan otot yang membantu proses persalinan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persalinan 


yang berlangsung lama, perdarahan pasca salin, bahkan kematian ibu. Gangguan akibat ibu hamil KEK juga dapat terjadi pada bayi yang dikandung, seperti kematian janin (keguguran), bayi lahir prematur, 


lahir cacat, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) bahkan kematian bayi.


Pedoman Proses Asuhan Gizi Puskesmas menyatakan bahwa kejadian risiko KEK ditandai oleh 


rendahnya cadangan energi dalam jangka waktu cukup lama yang diukur dengan Lingkar Lengan Atas 


(LiLA) pada masa kehamilan. Ibu hamil dikatakan berisiko KEK bila Lingkar Lengan Atas (LiLA) kurang 


dari 23,5 cm. Indikator pengukuran tersebut digunakan pada SKI 2023 untuk mengukur prevalensi KEK 


pada ibu hamil. Prevalensi KEK pada ibu hamil berdasarkan SKI 2023 sebesar 16,9%.


Upaya yang dilakukan untuk mengatasi ibu hamil KEK di antaranya, pengukuran status gizi dan 


Pemberian Makanan Tambahan (PMT). PMT bertujuan untuk mencukupi kebutuhan gizi ibu selama 


masa kehamilan. PMT bukan berarti mengganti asupan dari makanan utama, tetapi menambah asupan 


kebutuhan gizi.


Cakupan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK di Indonesia tahun 2023 adalah 


76,3%. Provinsi dengan cakupan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK tertinggi adalah 


Provinsi Papua Barat Daya sebesar 139,2%, sedangkan provinsi dengan capaian terendah adalah 


Provinsi Jawa Barat sebesar 66,9%Selain pada Ibu Hamil KEK, PMT juga dilakukan pada balita gizi kurang yang termasuk dalam 


kelompok rawan gizi yang membutuhkan suplementasi gizi. Pemberian makanan tambahan diberikan 


pada balita usia 6 bulan ke atas selama 90 hari berturut-turut dengan status gizi kurang. PMT dapat 


diberikan berupa makanan tambahan lokal maupun pabrikan seperti biskuit. Bila status gizi anak 


membaik (dinilai dari kenaikan berat badan dan nilai z-score berat badan menurut tinggi badan (BB/


TB) telah mencapai minus 2 standar deviasi (-2 SD) atau lebih atau sesuai dengan perhitungan, maka 


makanan tambahan balita gizi kurang dihentikan. Selanjutnya balita tersebut dapat mengonsumsi 


makanan keluarga yang memenuhi gizi seimbang serta dilakukan pemantauan berat badan secara rutin 


agar status gizi balita tidak kembali menjadi gizi kurang.Persentase balita gizi kurang mendapat makanan tambahan di Indonesia tahun 2023 adalah 


83,8%. Persentase balita gizi kurang mendapat makanan tambahan tertinggi dicapai Provinsi Papua 


Selatan dengan capaian 123,1% sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Papua Tengah dengan 


capaian 47,4%.

Pengendalian penyakit yang akan dibahas pada bab ini yaitu pengendalian penyakit menular 


dan tidak menular. Pengendalian penyakit sebagai upaya penurunan insiden, prevalensi, morbiditas 


atau mortalitas dari suatu penyakit mempunyai peranan penting untuk mengukur derajat kesehatan 


masyarakat.


Pe