Profil kesehatan 2

 





liki pendidikan formal kesehatan 


maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. 


SDM kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung atau penunjang 


kesehatan


SDM kesehatan dapat dilihat berdasarkan pendekatan tugas dan fungsi. Jika dilihat 


menggunakan kedua pendekatan tersebut, jumlah SDM kesehatan di fasyankes di Indonesia pada 


tahun 2023 sebanyak 2.077.473 orang yang terdiri dari 183.694 tenaga medis (8,8%), 1.317.589 tenaga 


kesehatan (63,4%), dan 576.190 tenaga penunjang kesehatan (27,7%). 


Dalam ruang lingkup tenaga kesehatan, tenaga keperawatan dan tenaga kebidanan menempati 


proporsi tertinggi yaitu masing-masing sebesar 44,3% dan 26,2% dari seluruh tenaga kesehatan. Berdasarkan fungsinya, yaitu memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, jumlah 


tenaga medis di Indonesia sebanyak 183.694 orang atau 8,8% terhadap seluruh SDM kesehatan.


Dari seluruh tenaga medis, sebagian besar merupakan dokter yaitu sebesar 106.263 orang 


(57,8%). Proporsi tenaga medis dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut ini.Sebaran tenaga medis masih menunjukkan ketimpangan antara wilayah Jawa-Bali dengan wilayah 


non Jawa-Bali. Sebanyak 60,8% dari total tenaga medis di Indonesia berada di wilayah Jawa-Bali. Sebagian 


besar dari tenaga medis tersebut berada di Provinsi Jawa Barat (27.091 orang), Jawa Timur (23.047 orang), 


dan DKI Jakarta (22.724 orang). Sedangkan provinsi dengan tenaga medis paling sedikit tersebar di Papua 


Pegunungan (235 orang), Papua Selatan (308 orang), dan Papua Barat Daya (385 orangPuskesmas adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, 


baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah 


daerah dan/atau masyarakat. Dalam rangka mendukung fungsi dan tujuan penyelenggaraannya, 


puskesmas harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan, ketenagaan, 


kefarmasian, dan laboratorium klinik.


Puskesmas setidaknya harus memiliki tenaga yang meliputi dokter, dokter gigi, perawat, bidan, 


tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, tenaga kesehatan lingkungan, nutrisionis, tenaga apoteker 


dan/atau tenaga teknis kefarmasian, ahli teknologi laboratorium medik, dan tenaga non kesehatan. 


Dalam kondisi tertentu, Puskesmas dapat menambah jenis tenaga kesehatan lainnya meliputi terapis 


gigi dan mulut, epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, perekam medis dan informasi kesehatan, 


dan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kebutuhan.a tahun 2023 jumlah 9 tenaga kesehatan di Indonesia yang bertugas di puskesmas sebanyak 


530.338, meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebanyak 521.304 orang. Jumlah 


tenaga kesehatan tertinggi di puskesmas yaitu bidan sebesar 221.323 dan perawat sebesar 165.742.


Selain tenaga kesehatan, puskesmas juga memerlukan tenaga penunjang/pendukung kesehatan 


dalam memberikan pelayanan kesehatan di wilayah kerja. Jumlah tenaga penunjang/pendukung 


kesehatan di puskesmas di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 84.513 orang. Tenaga penunjang ini 


dapat merupakan tenaga kesehatan maupun non-kesehatan yang secara fungsi berperan sebagai 


pejabat struktural, tenaga pendidik, dan tenaga dukungan manajemen.


Terkait dengan tenaga non-kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 tahun 2019 


tentang Puskesmas mengatur lebih jauh tentang hal ini. Regulasi ini mengatur bahwa penentuan jumlah 


dan jenis tenaga kesehatan dan non-kesehatan di puskesmas dilakukan dengan mempertimbangkan 


analisis beban kerja, jumlah pelayanan yang diselenggarakan, rasio terhadap jumlah penduduk dan 


persebarannya, luas dan karakteristik wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat 


pertama lainnya di wilayah kerja, dan pembagian waktu kerja. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Puskesmas mengatur kecukupan 


tenaga kesehatan di Puskesmas dengan memberikan batasan minimal jumlah tenaga kesehatan yang 


diperlukan agar puskesmas dapat menjalankan fungsinya. Kriteria kecukupan tenaga ini dibedakan 


untuk puskesmas rawat inap dan non-rawat inap. Pada Puskesmas non rawat inap, minimal satu 


orang dokter baik di kawasan perkotaan, perdesaan, maupun kawasan terpencil dan sangat terpencil. 


Sedangkan pada puskesmas rawat inap minimal dua orang dokter baik pada kawasan perdesaan, 


maupun kawasan terpencil dan sangat terpencil.


Pada tahun 2023 terdapat 11,5% puskesmas dengan status kekurangan dokter, di sisi lain 


terdapat sebanyak 59,1% puskesmas kelebihan dokter. Pada gambaran persebaran provinsi di atas dapat diketahui bahwa DKI Jakarta dan Bali 


merupakan provinsi dengan kecukupan dokter puskesmas 100%, bahkan seluruh puskesmas di DKI 


Jakarta memiliki kelebihan dokter. Sedangkan empat provinsi di Pulau Papua memiliki puskesmas 


dengan kecukupan dokter paling rendah yaitu Provinsi Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua 


Tengah, dan Papua Barat Daya.


b. Kecukupan Dokter Gigi di Puskesmas


Standar kecukupan dokter gigi di puskesmas rawat inap dan non-rawat inap baik di wilayah 


perkotaan, perdesaan, maupun di kawasan terpencil dan sangat terpencil adalah minimal satu orang. Pada tahun 2023, terdapat 28,9% puskesmas kekurangan dokter gigi, sedikit menurun jika dibandingkan 


dengan tahun 2022 yang sebesar 29,8%. Sebanyak 71,1% puskesmas lainnya memiliki dokter gigi sesuai 


standar (cukup dan lebih).Sejalan dengan kecukupan dokter, Puskesmas di wilayah timur Indonesia memiliki persentase 


puskesmas dengan status dokter gigi kurang tertinggi. Dari 38 provinsi, 10 diantaranya lebih dari 


setengah puskesmas di wilayahnya memiliki kekurangan dokter gigi, yaitu Papua Pegunungan, Papua 


Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, Maluku, Papua Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku 


Utara, dan Lampung.


Provinsi dengan kecukupan puskesmas dengan dokter gigi sesuai standar tertinggi terdapat 


di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta yang masing-masing sebesar 100%. Gambaran tersebut semakin 


mengkonfirmasi adanya ketimpangan distribusi tenaga kesehatan antara di wilayah yang Jawa-Bali 


dengan wilayah timur Indonesia. 


c. Kecukupan Perawat di Puskesmas


Standar kecukupan perawat di puskesmas mensyaratkan jumlah minimal yang lebih tinggi 


dibandingkan dokter dan dokter gigi, yaitu sebesar lima perawat pada puskesmas non rawat inap dan 


delapan perawat pada puskesmas rawat inap. Pada tahun 2023 terdapat 7,3% puskesmas dengan 


status kekurangan perawat di Indonesia, menurun jika dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 9,7%. Secara nasional, pada tahun 2023 sebagian besar puskesmas memiliki jumlah perawat sesuai 


standar (cukup dan lebih) yaitu sebesar 92,7%. Bahkan provinsi Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Bali, 


dan Papua tidak memiliki puskesmas dengan status kurang perawat. 


Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Jawa Barat 


merupakan provinsi dengan persentase puskesmas dengan kekurangan perawat tertinggi.


d. Kecukupan Bidan di Puskesmas


Bidan juga termasuk salah satu tenaga kesehatan yang disyaratkan kecukupannya di puskesmas. 


Puskesmas dinilai memiliki jumlah bidan cukup jika sedikitnya memiliki empat orang untuk puskesmas 


non rawat inap, dan tujuh orang untuk puskesmas rawat inap. Jumlah minimal ini diterapkan untuk 


puskesmas di wilayah perkotaan, perdesaan, dan kawasan terpencil dan sangat terpencil. Secara nasional, pada tahun 2023 terdapat 96% puskesmas dengan jumlah bidan cukup+lebih 


dan 4,1% kekurangan bidan. Bahkan 11 provinsi telah memiliki 100% puskesmas dengan jumlah 


perawat sesuai standar.


Meskipun secara nasional persentase puskesmas kekurangan bidan tergolong rendah, masih 


terdapat provinsi dengan kekurangan bidan lebih dari 25% puskesmas, yaitu Papua Pegunungan 


(72,6%), Papua Tengah (46,9%), dan Papua Selatan (27,4%).


Rincian lengkap mengenai persentase puskesmas dengan kecukupan dokter, dokter gigi, 


perawat, dan bidan dapat dilihat di Lampiran 11.e.


 


2. Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit


Selain pelayanan kesehatan dasar yang utamanya diselenggarakan oleh puskesmas, di Indonesia 


juga terdapat pelayanan kesehatan rujukan yang diselenggarakan oleh rumah sakit. Undang-undang 


Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mendefinisikan Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan 


kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna melalui 


pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan 


pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat daruratSDM kesehatan dengan jumlah terbanyak di seluruh rumah sakit pada tahun 2023 adalah 


perawat sebanyak 364.254 orang. Sama halnya dengan pola distribusi yang ada di puskesmas, jumlah 


perawat memiliki porsi jauh lebih besar dibandingkan jenis SDM kesehatan lainnya. Secara umum, 


jumlah SDM Kesehatan tahun 2023 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.


 Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, rumah sakit didukung dengan keberadaan 


dokter spesialis dan dokter gigi spesialis. Dokter spesialis yang disajikan pada Profil Kesehatan Indonesia 


Tahun 2023 dikelompokkan menjadi dokter spesialis dasar, dokter spesialis penunjang, dokter gigi 


spesialis, dan spesialis lain. 


 Dokter spesialis dasar terdiri dari spesialis penyakit dalam, spesialis obstetri dan 


ginekologi, spesialis anak, dan spesialis bedah. Spesialis penunjang terdiri dari spesialis radiologi, 


spesialis anestesi, spesialis patologi klinik, spesialis patologi anatomi, dan spesialis rehabilitasi medik.Terdapat sebanyak 51.201 orang dokter spesialis yang bertugas di rumah sakit di Indonesia 


pada tahun 2023. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 44.485 orang. Sebagian 


besar tenaga ini merupakan dokter spesialis dasar sebanyak 17.424 orang atau 39% dari total dokter 


spesialis di rumah sakit. 


Sama seperti permasalahan distribusi tenaga kesehatan lainnya, jumlah dokter spesialis juga 


menunjukkan ketimpangan antara wilayah barat dan timur. Sebagian besar dokter spesialis yang 


melakukan pelayanan di rumah sakit terkonsentrasi di Pulau Jawa Bali (66,2%) dan Sumatera (18%). 


Sedangkan 15,8% lainnya tersebar di pulau Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. 


3. Tenaga Kesehatan di Daerah Tertinggal


Ketimpangan pembangunan masih menjadi permasalahan yang dihadapi di Indonesia, 


termasuk pada sektor kesehatan. Permasalahan ini di antaranya dapat dilihat dengan distribusi tenaga 


kesehatan yang tidak merata antar wilayah di Indonesia. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi 


ketimpangan tersebut, pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan percepatan pembangunan 


daerah tertinggal. 


Suatu daerah ditetapkan sebagai Daerah Tertinggal berdasarkan kriteria: perekonomian 


masyarakat; sumber daya manusia; sarana dan prasarana; kemampuan keuangan daerah; aksesibilitas; 


dan karakteristik daerah. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal 


Tahun 2020-2024 menetapkan 62 kabupaten tertinggal yang tersebar di 11 provinsi (karena pemekaran 


wilayah maka menjadi 15 provinsi pada tahun 2023). Dalam sektor kesehatan, pemerintah pusat dan 


daerah bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia kesehatan. 


Jenis tenaga kesehatan terbanyak yang berada di daerah tertinggal adalah tenaga keperawatan 


sebanyak 24.242, tenaga kebidanan sebanyak 16.911, dan tenaga kesehatan masyarakat sebanyak 


4.271. Sebaliknya, jenis tenaga kesehatan dengan jumlah terendah yaitu tenaga psikologi klinis sebesar 


17, tenaga kesehatan tradisional sebesar 63, dan tenaga keterapian fisik sebesar 140 orang.Berdasarkan wilayah, sebagian besar SDM kesehatan di di daerah tertinggal tersebar di Provinsi 


Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Sumatera Utara.Sebaran SDM kesehatan di daerah tertinggal sejalan dengan banyaknya jumlah kabupaten 


tertinggal yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dimana Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Maluku 


memiliki jumlah kabupaten tertinggal terbanyak dibandingkan provinsi lainnya. 


B. REGISTRASI SDM KESEHATAN


Selain metode pencatatan dan pelaporan melalui dinas kesehatan kabupaten/kota, sistem 


pengelolaan data data SDM kesehatan juga bersumber dari proses registrasi. Registrasi adalah 


pencatatan resmi terhadap SDM kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat 


profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk 


menjalankan praktik. SDM kesehatan yang telah menyelesaikan proses registrasi akan mendapatkan 


Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh konsil tenaga kesehatan.


Proses registrasi tidak hanya penting bagi pendataan SDM kesehatan, namun juga dapat 


memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, khususnya bagi mereka yang memanfaatkan jasa 


tenaga medis dan tenaga kesehatan. Registrasi tenaga medis yang terdiri dari dokter, dokter spesialis, 


dokter gigi, dan dokter gigi spesialis dikelola oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Jumlah tenaga medis yang memiliki STR sampai dengan 31 Desember 2023 sebanyak 243.679 


orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 230.564 orang. Dokter merupakan 


tenaga medis dengan kepemilikan STR terbanyak yaitu sebesar 62%. 


Registrasi tenaga kesehatan dikelola oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang 


melingkupi 30 jenis tenaga kesehatan. Sama halnya dengan tenaga medis, tenaga kesehatan yang 


akan menjalankan praktik dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari pemerintah. Izin 


tersebut diperoleh dengan adanya kepemilikan STR yang diterbitkan oleh KTKI. STR ini berlaku selama 


lima tahun, sehingga setiap tenaga kesehatan yang telah memenuhi syarat setelah lima tahun dari 


registrasi sebelumnya harus melakukan registrasi ulang (re-registrasi).


Pada tahun 2023 terdapat sebanyak 139.108 STR baru yang diterbitkan oleh KTKI. Jumlah ini 


mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 148.318 STR.

Tenaga Keperawatan dan apoteker menjadi tenaga dengan jumlah penerbitan STR baru 


terbanyak, yaitu masing-masing sebanyak 55.574 dan 21.411 orang.


Berdasarkan sebaran provinsi, penerbitan STR baru terbanyak dilaporkan di provinsi Jawa Timur 


sebesar 18.598, Jawa Barat sebesar 18.206, dan Jawa Tengah sebesar 14.815. Banyaknya registrasi 


di tiga provinsi tersebut sejalan dengan fakta bahwa jumlah sarana pendidikan ilmu kesehatan dan 


lulusannya banyak terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Bali.


Sesuai dengan Permenkes Nomor 83 tahun 2019 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, STR 


yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi tenaga kesehatan dalam 


kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan, serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang profesinya, 


atau dapat juga melalui kegiatan pengabdian masyarakat. Terdapat 387.324 tenaga kesehatan yang 


melakukan registrasi ulang pada tahun 2023, meningkat dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 


308.177 orang.


Dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, jumlah tenaga keperawatan dan kebidanan yang 


melakukan registrasi ulang merupakan yang tertinggi yaitu masing-masing sebanyak 155.579 orang dan 


144.788 orang. Sedangkan tenaga kesehatan terendah yang melakukan registrasi ulang yaitu psikologi 


klinis sebanyak 130 orang.


Tidak jauh berbeda dengan kondisi registrasi baru, registrasi ulang terbanyak dilaporkan di 


wilayah Jawa. Provinsi Jawa Timur melaporkan registrasi ulang sebanyak 43.831, Jawa Barat sebanyak 


42.524, dan Jawa Tengah sebanyak 35.015. Peningkatan jumlah penerbitan STR tenaga kesehatan 


baik baru maupun ulang disebabkan karena adanya pemanfaatan sistem digital yaitu e-STR yang bisa 


langsung mencetak STR tenaga kesehatan.


Rincian lengkap mengenai jumlah penerbitan STR baru dan STR ulang tenaga kesehatan dapat 


dilihat di Lampiran 12.b dan 12.c.


1. Tenaga Kesehatan dengan Status Pegawai Tidak Tetap


Pengangkatan Pegawai Tidak Tetap (PTT) dalam jangka waktu tertentu bertujuan untuk 


mendukung tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis operasional dan administrasi 


sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 


2013). Pengangkatan dan penempatan dokter dan bidan sebagai PTT dapat dilaksanakan oleh pemerintah 


pusat, dalam hal ini Menteri Kesehatan melalui Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Kesehatan, dan 


dapat dilaksanakan pula oleh pemerintah daerah, dalam hal ini gubernur dan bupati/walikota.


Pengangkatan dan penempatan PTT dilakukan untuk tenaga dokter dan bidan. Tenaga dokter 


yang dimaksud adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan 


kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah 


Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan dokter 


PTT dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan pada fasilitas pelayanan 


kesehatan di daerah tertinggal, kawasan perbatasan, daerah bermasalah kesehatan, daerah rawan 


konflik; rumah sakit provinsi sebagai dokter brigade siaga bencana; dan Kantor Kesehatan Pelabuhan 


(KKP) pada wilayah terpencil dan sangat terpencil. Masa penugasan dokter PTT adalah satu tahun 


untuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang ditugaskan pada fasilitas pelayanan kesehatan 


dengan kriteria terpencil dan sangat terpencil; dua tahun untuk dokter atau dokter gigi yang ditugaskan 


pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan kriteria terpencil dan sangat terpencil; dan tiga tahun untuk 


dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang ditugaskan pada fasilitas pelayanan 


kesehatan dengan kriteria biasa. Dokter PTT dapat diangkat kembali atau diperpanjang paling banyak 


untuk satu kali masa penugasan.


Penempatan bidan PTT hanya dapat dilakukan untuk ditempatkan sebagai bidan di desa 


dengan kriteria biasa, terpencil, atau sangat terpencil. Bidan PTT ditugaskan selama tiga tahun dan 


dapat diangkat kembali atau diperpanjang paling banyak dua kali masa penugasan. 


Sesuai dengan kebijakan Menteri Kesehatan dalam surat edaran nomor KP.01.02/


Menkes/203/2016 tanggal 8 April 2016 tentang Pengangkatan Dokter/Dokter Gigi/Bidan PTT, tidak 


ada lagi pengangkatan baru tenaga kesehatan dengan status PTT Kementerian Kesehatan sejak tahun 


2016. Hal ini disebabkan kebutuhan tenaga kesehatan di daerah tidak hanya jenis tenaga kesehatan 


dokter, dokter gigi, atau bidan, tetapi juga jenis tenaga kesehatan yang mendukung upaya promotif dan 


preventif. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan tersebut, Kementerian Kesehatan 


melakukan terobosan dengan program Nusantara Sehat berbasis tim dan individu yang diselenggarakan 


mulai tahun 2015. 


Jumlah tenaga kesehatan yang masih bertugas dalam program PTT Kementerian Kesehatan per 


31 Desember 2023 berjumlah 39 orang dengan rincian 37 orang bidan, 1 orang dokter umum, dan 1 


orang dokter gigi. Sementara itu, berdasarkan kriteria wilayah, terdapat 16 orang tenaga kesehatan di 


wilayah biasa, 12 orang di wilayah terpencil, dan 11 orang di wilayah sangat terpencil. Selain itu, pada 


tahun 2023, penugasan dokter dan dokter gigi hanya pada wilayah sangat terpencil dan juga program 


PTT berakhir pada tanggal 31 Oktober 2023.

2. Tenaga Kesehatan dengan Status Penugasan Khusus


a. Penugasan Khusus Tenaga Residen


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penugasan Khusus 


Tenaga Kesehatan, Penugasan khusus merupakan pendayagunaan secara khusus tenaga kesehatan 


dalam kurun waktu tertentu guna meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada fasilitas 


pelayanan kesehatan di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK), Daerah Bermasalah 


Kesehatan (DBK), serta rumah sakit kelas C dan rumah sakit kelas D di kabupaten yang memerlukan 


pelayanan medik spesialistik. Jenis tenaga kesehatan yang diangkat dalam penugasan khusus adalah 


residen. 


Residen adalah dokter/dokter gigi yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis/dokter 


gigi spesialis. Residen dalam penugasan khusus terdiri dari residen senior (pembiayaan pendidikan 


secara mandiri) dan residen pasca jenjang I (pembiayaan pendidikan dari Kementerian Kesehatan). 


Residen senior ditugaskan antara tiga sampai dengan enam bulan, sedangkan residen pasca jenjang I 


ditugaskan selama enam bulan.


Pada tahun 2023, jumlah dokter spesialis dalam penugasan khusus sebagai residen di Indonesia 


adalah 23 orang. Tren jumlah penugasan khusus residen selama 3 tahun terakhir cenderung menurun 


yaitu 157 orang pada tahun 2021 turun menjadi 106 orang pada tahun 2022 dan menurun pada tahun 


2023 menjadi 23 orang. Hal ini disebabkan oleh sebagian lokus penugasan residen sudah terisi oleh 


tenaga dokter spesialis dari program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS). Program penugasan 


khusus residen masih berlanjut hingga tahun 2024.


Proporsi penugasan khusus residen dokter spesialis terbesar pada tahun 2023 adalah regional 


Nusa Tenggara-Maluku-Papua sebesar 39,1%, diikuti oleh regional Sulawesi sebesar 34,8%, dan Sumatera 


sebesar 17,4%. Residen dokter spesialis terbanyak terdapat di Provinsi Maluku Utara (4 orang). Sebanyak 22 provinsi tidak terdapat residen dokter spesialis pada tahun 2023. Rincian lengkap mengenai jumlah 


peserta penugasan khusus residen dokter spesialis dapat dilihat di Lampiran 11.h.


b. Penugasan Khusus Baru Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan


Pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan meluncurkan program penugasan khusus tenaga 


kesehatan Nusantara Sehat. Penugasan khusus ini meliputi penugasan khusus tenaga kesehatan 


berbasis tim (team based) dan individu. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2018 


tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat, fungsi 


program Nusantara Sehat adalah untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada 


fasilitas kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, daerah bermasalah kesehatan 


maupun daerah lain untuk memenuhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Selain itu, program 


penugasan khusus ini dilaksanakan untuk menjaga keberlangsungan pelayanan kesehatan, menangani 


masalah kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerah, meningkatkan retensi tenaga kesehatan yang 


bertugas, memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, menggerakkan pemberdayaan masyarakat, 


mewujudkan pelayanan kesehatan terintegrasi, serta meningkatkan dan melakukan pemerataan 


pelayanan kesehatan. Pada tahun 2023, istilah Penugasan Khusus Nusantara Sehat berubah menjadi 


Penugasan Khusus Baru Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.


1. Penugasan Khusus Baru Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Berbasis Tim 


 Penugasan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Berbasis Tim akan ditempatkan di Puskesmas 


daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, daerah bermasalah kesehatan maupun daerah lain 


untuk memenuhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan masa tugas selama 2 tahun. Tim ini 


minimal terdiri dari lima jenis tenaga kesehatan dari sembilan jenis tenaga di Puskesmas, yaitu dokter, 


dokter gigi, perawat, bidan, tenaga gizi, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium 


medik, tenaga kefarmasian, dan tenaga kesehatan masyarakat.Penempatan Penugasan Khusus Baru Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Berbasis Tim sampai 


dengan tahun 2023 telah dilaksanakan sebanyak 26 batch. Batch I-II dilaksanakan pada tahun 2015, 


dengan penempatan di 120 Puskesmas. Batch III-V dilaksanakan pada tahun 2016, dengan penempatan 


di 131 Puskesmas. Batch VI-VIII dilaksanakan pada tahun 2017 dengan penempatan di 188 Puskesmas. 


Batch IX-XI dilaksanakan pada tahun 2018 dengan penempatan di 156 Puskesmas. Batch XII-XIV 


dilaksanakan pada tahun 2019 dengan penempatan di 173 Puskesmas. Batch XV-XVI dilaksanakan 


tahun 2020 dengan penempatan tim yang masih aktif pada 32 Puskesmas, 22 kabupaten/kota, dan 


11 provinsi. Batch XVII-XIX dilaksanakan di tahun 2021 dengan penempatan di 104 Puskesmas, 52 


kabupaten/kota, dan 17 provinsi. Batch XX-XXIII dilaksanakan di tahun 2022 dengan penempatan di 136 


Puskesmas, 59 kabupaten/kota, dan 20 provinsi. Batch XXIV-XXIV di tahun 203 sejumlah 313 orang di 


73 puskesmas, 50 kabupaten/kota, dan 20 provinsi. Rincian lengkap mengenai penempatan Penugasan 


Khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Berbasis Tim dapat dilihat di Lampiran 11.i.


Jumlah tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga farmasi, tenaga kesehatan masyarakat, 


dan tenaga kesehatan lingkungan yang ditempatkan di tahun 2023 hampir berbanding, yaitu ahli 


teknologi laboratorium medik sebanyak 56 orang (18,2%), tenaga gizi sebanyak 41 orang (13,3%), tenaga 


farmasi sebanyak 44 orang (14,3%), dan tenaga kesehatan lingkungan sebanyak 58 orang (18,8%). Jenis 


tenaga yang paling sedikit adalah dokter umum sebanyak 22 orang (7,1%). Provinsi dengan penempatan 


terbanyak adalah Sumatera Utara sebanyak 54 orang, sedangkan provinsi dengan penempatan paling 


sedikit adalah Sumatera Barat sebanyak 3 orang dan Riau sebanyak 4 orang. Sebanyak 18 provinsi tidak 


mendapatkan penempatan tim pada tahun 2023. Rincian lengkap mengenai jumlah Penugasan Khusus 


Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Berbasis Tim dapat dilihat di Lampiran 11.j.2. Penugasan Khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Individu 


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Khusus 


Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat, Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan 


Individual dilakukan secara perorangan yang terdiri atas dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli teknologi laboratorium medik, terapis gigi dan mulut, dan jenis tenaga kesehatan yang masuk dalam 


kelompok tenaga gizi, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, dan tenaga kesehatan 


masyarakat. Penugasan Khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Individu akan ditempatkan di 


daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, daerah bermasalah kesehatan maupun daerah lain 


untuk memenuhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat selama 2 tahun dengan evaluasi pada 1 


tahun pertama penugasan. 


Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Individu sampai dengan tahun 2023 sudah 


dilakukan sebanyak 45 periode, dengan penempatan di 514 kabupaten/kota dan 30 provinsi. Pada 


tahun 2023 penempatannya tersebar pada 872 Puskesmas di 228 kabupaten/kota dan 30 provinsi. 


Rincian lengkap mengenai penempatan Penugasan Khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan 


Individu dapat dilihat di Lampiran 11.k. 


Jenis tenaga medis dan tenaga kesehatan yang paling banyak ditempatkan pada tahun 2023 


adalah dokter gigi yaitu sebanyak 283 orang (22,5%), diikuti oleh tenaga kesehatan lingkungan 


sebanyak 271 orang (21,6%), sedangkan jenis tenaga kesehatan yang paling sedikit adalah tenaga 


farmasi sebanyak 108 orang (8,6%). Pada tahun 2023 tidak ada penempatan tenaga perawat dan bidan. 


Provinsi dengan penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Individu terbanyak pada 


tahun 2023 yaitu di Nusa Tenggara Timur sebanyak 111 orang, sedangkan provinsi dengan penempatan 


paling sedikit adalah Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebanyak 2 orang. Provinsi DKI Jakarta, Jawa 


Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, dan Papua Pegunungan tidak mendapatkan 


penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Individu pada tahun 2023. Rincian lengkap mengenai 


jumlah penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Individu dapat dilihat di Lampiran 11.l.Pemerintah daerah dapat memberdayakan tenaga kesehatan pasca penempatan Tenaga Medis 


dan Tenaga Kesehatan Individu berdasarkan kompetensi, standar ketenagaan, dan kebutuhan daerah 


sehingga tercapai kemandirian pemenuhan tenaga kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan 


perundang-undangan.


3. Program Internsip Dokter


Program internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan 


kompetensi yang diperoleh selama pendidikan secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, serta 


menggunakan pendekatan kedokteran keluarga, dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil 


pendidikan dengan praktik di lapangan (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2022). Sejak tahun 


2022, program internsip wajib diikuti oleh dokter yang baru lulus program studi pendidikan dokter dan 


dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran dan/atau mengikuti pendidikan dokter spesialis. 


Dokter dan dokter gigi peserta program internsip harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) untuk 


kewenangan internsip yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Surat Izin Praktek 


(SIP) Internsip yang dikeluarkan oleh kepala dinas kabupaten/kota atau PTSP (Pelayanan Terpadu Satu 


Pintu) di masing-masing kabupaten/kota. STR untuk kewenangan internsip dan SIP internsip hanya 


berlaku di wahana internsip selama menjalani internsip. Dokter peserta program internsip ditempatkan 


selama satu tahun di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditunjuk Kementerian Kesehatan. 


Pemberangkatan dokter peserta internsip sebanyak empat kali dalam satu tahun. Jika 


dibandingkan jumlah dokter peserta internsip tahun 2023 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, 


pada tahun 2023 diberangkatkan empat angkatan berjumlah 10.901 orang. Jumlah dokter peserta 


internsip yang diberangkatkan pada bulan Februari sebanyak 2.411 orang, bulan Mei sebanyak 2.668 


orang, bulan Agustus sebanyak 3.068 orang, dan bulan November sebanyak 2.754 orang. Secara regional, 


proporsi terbesar dokter peserta internsip yaitu regional Jawa-Bali (5.216 orang) dengan jumlah dokter 


peserta internsip terbanyak adalah Jawa Timur (1.459 orang). Provinsi dengan jumlah dokter peserta 


internsip paling sedikit adalah Papua Selatan (9 orang), Papua Tengah (0 orang), Papua Pegunungan (0 


orang), dan Papua Barat Daya (0 orang), dikarenakan keempat provinsi tersebut merupakan provinsi 


baru hasil pemekaran berdasarkan SK Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022. 


Internsip dokter gigi mulai dilaksanakan pada November tahun 2022, dan pertama kalinya 


ditempatkan sebanyak 392 orang Dokter Gigi. Pada tahun 2023 proporsi regional terbesar dokter 


gigi peserta internsip berada di regional Pulau Jawa sebanyak 1.615 orang dengan jumlah dokter gigi 


peserta internsip terbanyak di Provinsi Jawa Timur sebanyak 442 orang dan paling sedikit berada di 


Provinsi Sulawesi Barat, dimana ditempatkan 5 orang peserta. Rincian lengkap mengenai jumlah 


dokter peserta internsip tahun 2023 dapat dilihat di Lampiran 11.m.


4. Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS)


Pendayagunaan dokter spesialis bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan 


pelayanan kesehatan spesialistik, pemerataan pelayanan kesehatan spesialistik, peningkatan mutu 


pelayanan kesehatan di daerah, dan mendukung pelaksanaan pendekatan keluarga pada pelayanan 


kesehatan tingkat rujukan. Terdapat tujuh jenis spesialis yang termasuk kedalam PGDS, yaitu spesialis 


anak (Sp.A), spesialis obstetric dan ginekologi (Sp.OG), spesialis penyakit dalam (Sp.PD), spesialis 


bedah (Sp.B), spesialis anastesi dan terapi intensif (Sp.An), spesialis patologi klinik (Sp.PK), dan spesialis 


radiologi (Sp.Rad). 


Dengan terbitnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 62P/HUM/2018 tanggal 18 Desember 


2018 tentang Permohonan Uji Materiil atas Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja 


Dokter Spesialis (WKDS), telah dilakukan pembaruan terhadap regulasi penempatan dokter spesialis 


yang semula WKDS menjadi Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) melalui Peraturan Presiden Nomor 


31 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana 


Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis.


Pada tahun 2023 telah ditempatkan sejumlah 586 orang dokter spesialis yang ditempatkan di 


38 provinsi, termasuk juga RS milik institusi TNI/POLRI dan K/L lainnya yang mengikuti program PGDS. 


Peserta PGDS terbagi menjadi Peserta Penerima Bantuan Langsung (PBL) ASN dan Peserta Penerima 


Bantuan Tidak Langsung (PBTL) non ASN. Peserta Penerima Bantuan Langsung adalah peserta yang 


menerima bantuan biaya pendidikan (tugas belajar) yang bersumber dari APBN/APBD. Peserta Penerima 


Bantuan Tidak Langsung adalah peserta yang menerima bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah 


Pusat melalui fakultas kedokteran dan RS yang menyelenggarakan pendidikan profesi dokter spesialis. 


Sebesar 46,8% dari peserta PGDS merupakan peserta PBL ASN yaitu sejumlah 274 orang, 


sedangkan peserta PBTL-non ASN sejumlah 312 orang. Provinsi dengan penempatan dokter spesialis 


pada PGDS terbanyak adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sejumlah 58 orang, kemudian untuk 


Provinsi Jawa Timur dan Kalimantan Tengah memiliki jumlah penempatan PGDS masing-masing 


sejumlah 33 dan 30 orang. Provinsi dengan penempatan paling sedikit adalah Papua Barat dan Papua 


Barat Daya yaitu sejumlah 1 orang. 


Jenis spesialisasi terbanyak pada penempatan PGDS tahun 2023 adalah dokter spesialis penyakit 


dalam (132 orang), sedangkan penempatan jenis spesialisasi yang paling sedikit adalah dokter spesialis 


patologi klinik (30 orang). Rincian lengkap mengenai jumlah penempatan tenaga kesehatan pada PGDS 


tahun 2023 dapat dilihat di Lampiran 11.o.


D. INSTITUSI PENDIDIKAN TENAGA KESEHATAN 


Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta 


memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, untuk jenis 


tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 


Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan mengamanatkan bahwa tenaga kesehatan harus memiliki 


kualifikasi minimal Diploma III kecuali tenaga medis. Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui 


pendidikan tinggi bidang kesehatan yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang 


bermutu, sesuai dengan standar profesi, dan standar pelayanan profesi. Penyelenggaraan pendidikan 


tinggi bidang kesehatan harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan 


upaya kesehatan dan dinamika kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri, keseimbangan 


antara kemampuan produksi tenaga kesehatan dan sumber daya yang tersedia, dan perkembangan 


ilmu pengetahuan dan teknologi.


Institusi pendidikan tenaga kesehatan selain tenaga medis terdiri dari Politeknik Kesehatan 


(Poltekkes) dan Non Politeknik Kesehatan (Non Poltekkes). Kementerian Kesehatan bertanggungjawab 


terhadap pembinaan teknis institusi Poltekkes sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan 


dan Kebudayaan RI Nomor 507/E/O/2013 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pendidikan 


dan Kebudayaan RI Nomor 355/E/O/2012 tentang Alih Bina Penyelenggaraan Program Studi pada 


Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan dari Kementerian Kesehatan kepada Kementerian 


Pendidikan dan Kebudayaan.


Sebanyak 38 Poltekkes Kementerian Kesehatan tersebar di 33 provinsi. Poltekkes Kemenkes 


memiliki 507 program studi yang terdiri dari 300 program studi strata Diploma III (296 program studi 


reguler dan 4 program studi PJJ), 154 program studi strata Sarjana Terapan (Diploma IV), 49 program studi


pendidikan profesi, dan 4 program studi Magister Terapan. Kelompok jurusan di Poltekkes terdiri dari:


1. Keperawatan, yang terdiri dari Keperawatan dan Keperawatan Gigi; 


2. Kebidanan;


3. Kefarmasian, yang terdiri dari Farmasi serta Analis Farmasi dan Makanan, 


4. Kesehatan Tradisional;


5. Kesehatan Lingkungan;


6. Gizi;


7. Kesehatan Masyarakat, yang terdiri dari Promosi Kesehatan;


8. Keterapian Fisik, yang terdiri dari Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, dan Akupunktur 


dan Pengobatan Herbal;


9. Keteknisian Medis, yang terdiri dari Teknik Gigi, Kesehatan Gigi, Keperawatan Anestesiologi, 


Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, dan Teknologi Bank Darah;


10. Teknik Biomedika, yang terdiri dari Teknologi Laboratorium Medis, Teknik Radiodiagnostik dan 


Radioterapi, Teknik Elektromedik, dan Ortotik Prostetik.


11. Lainnya (Asuransi Kesehatan)


Dalam rangka memenuhi kualifikasi pendidikan minimal Diploma III bagi tenaga kesehatan, 


sejak tahun 2016 Kementerian Kesehatan mengadakan program percepatan pendidikan tenaga 


kesehatan melalui program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). Menurut Peraturan Menteri Riset, 


Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2016 tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau, 


RPL adalah pengakuan atas Capaian Pembelajaran (CP) seseorang yang diperoleh melalui pendidikan 


formal atau informal, dan/atau pengalaman kerja. Program ini tercantum dalam Peraturan Menteri 


Kesehatan Nomor 41 Tahun 2016 tentang Program Percepatan Peningkatan Kualifikasi Pendidikan 


Tenaga Kesehatan, dimana salah satunya berisi tentang pembiayaan program bersumber dari 


Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, atau sumber lain yang 


tidak mengikat. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa Program Percepatan Peningkatan Kualifikasi 


Pendidikan Tenaga Kesehatan berakhir pada tahun 2020. Selanjutnya, program RPL mengikuti 


ketentuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan tidak lagi mendapat bantuan 


pendanaan pendidikan dari Kementerian Kesehatan.


Selain jenjang Diploma, Poltekkes juga membuka program studi Magister Terapan dan Profesi. 


Program studi Magister Terapan dibuka di Poltekkes Semarang dengan program studi Magister Terapan 


Kebidanan, Keperawatan, Magister Terapan Terapis Gigi dan Mulut, dan Magister Terapan Teknik 


Biomedika (Imaging Diagnostic). Sementara itu, untuk program studi profesi yang dibuka adalah Profesi 


Bidan, Ners, Dietisien, dan Fisioterapi.


1. Jumlah Lulusan Poltekkes


 Jumlah lulusan Poltekkes pada tahun 2023 sebanyak 34.234 orang, atau mengalami kenaikan 


dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 28.731 orang. Jumlah lulusan poltekkes tahun 2023 terdiri dari 


lulusan diploma III sebanyak 19.995 orang, diploma IV sebanyak 9.752 orang, program profesi sebanyak 


4.336 orang, dan magister terapan sebanyak 151 orang. Program studi Keperawatan memiliki lulusan 


terbanyak, yaitu 6.171 orang lulusan Diploma III dan 1.849 orang lulusan Diploma IV. Program studi 


Akupunktur memiliki lulusan paling sedikit, yaitu sebanyak 66 orang lulusan Diploma III dan 76 orang 


lulusan Diploma IV. Secara umum, lulusan Diploma III lebih banyak dibandingkan dengan Diploma IV 


untuk hampir semua program studi. Rincian lebih lengkap mengenai jumlah lulusan program Diploma 


III dan Diploma IV Poltekkes dapat dilihat pada Lampiran 16.g dan Lampiran 16.h.


Selain jenjang diploma, pada tahun 2023 Poltekkes juga menghasilkan lulusan program profesi 


sebanyak 4.336 orang dengan rincian 2.257 orang lulusan Profesi Bidan, 1.835 orang lulusan Profesi 


Ners, 101 orang Profesi Dietisien, dan 143 orang lulusan Profesi Fisioterapi. Jumlah lulusan profesi 


tahun 2023 ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 3.939 orang. 


Lulusan program studi Magister Terapan Poltekkes tahun 2023 berjumlah 151 orang, dengan rincian 


60 orang lulusan Magister Terapan Kebidanan, 17 orang lulusan Magister Terapan Keperawatan, 33 orang 


lulusan Magister Terapan Terapis Gigi dan Mulut, dan 41 orang Magister Terapan Imaging Diagnostik. Rincian 


mengenai jumlah lulusan program profesi di Poltekkes dapat dilihat pada Lampiran 16.i.


2. Jumlah Lulusan Perguruan Tinggi


 Sebagai upaya mencapai sumber daya manusia Indonesia yang unggul, Direktorat Jenderal 


Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berusaha memberikan 


pelayanan terbaik dengan membina dan mengembangkan perguruan tinggi di bawah kewenangannya. 


Sampai dengan 31 Desember 2023, terdapat sebanyak 334.194 lulusan bidang kesehatan serta 


matematika dan ilmu pengetahuan alam dari 5.155 program studi di 1.204 lembaga perguruan tinggi di 


seluruh Indonesia. Perguruan tinggi terdiri dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta 


(PTS), Perguruan Tinggi Agama (PTA), dan Perguruan Tinggi Kementerian dan Lembaga (PTK/L). Jenjang 


pendidikan yang ada di perguruan tinggi terdiri dari D1, D2, D3, D4, S1, Profesi, Spesialis 1, Spesialis 2, 


S2, S2 Terapan, dan S3. Perguruan tinggi, khususnya di bidang kesehatan diharapkan dapat mencetak 


lulusan sumber daya manusia Kesehatan yang mampu dan siap bekerja sebagai tenaga kesehatan yang 


unggul dan kompeten.


 Berdasarkan perguruan tinggi pada kelompok bidang kesehatan dan bidang lain terkait 


kesehatan dengan jenjang D3, D4, S1, S2, S3, Spesialis, dan Profesi, jumlah lulusan tenaga kesehatan 


pada tahun 2023 sebesar 334.194 orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan jumlah tahun lalu, 


yaitu 200.899 orang. Menurut rumpun tenaga kesehatan, jumlah lulusan perguruan tinggi terbanyak 


adalah perawat, yaitu sejumlah 113.045 orang, diikuti oleh bidan sebanyak 63.627 orang, dan tenaga 


kefarmasian 50.506 orang. Jumlah lulusan perguruan tinggi paling sedikit adalah tenaga teknik biomedik 


yaitu sejumlah 22 orang.Berdasarkan provinsi, dapat dilihat bahwa lulusan perguruan tinggi bidang kesehatan 


terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur sejumlah 44.749 orang, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah 


sejumlah 43.148 orang, dan Jawa Barat sejumlah 36.993 orang. Provinsi dengan jumlah lulusan 


perguruan tinggi bidang kesehatan paling sedikit adalah Kalimantan Utara yaitu sebanyak 241 orang. 


Rincian lebih lengkap mengenai jumlah lulusan perguruan tinggi menurut jenis tenaga kesehatan dan 


provinsi tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 16.j.Jumlah lulusan perguruan tinggi untuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis tahun 2023 


sebanyak 4.912 orang yang tersebar di 31 provinsi di Indonesia. Lulusan dokter spesialis terbanyak 


adalah dokter spesialis bedah sejumlah 510 orang, diikuti oleh dokter spesialis penyakit dalam sejumlah 


473 orang. Sementara itu, dokter spesialis lain, di luar yang disebutkan bidang spesialisasi secara 


spesifik berjumlah 2328 orang dan dokter gigi spesialis berjumlah 377 orang. Dokter spesialis lulusan 


tahun 2023 yang paling sedikit adalah dokter spesialis patologi anatomi sejumlah 76 orang. Dokter 


Spesialis Radiologi pada tahun 2023 ini tergabung pencatatannya ke dalam Dokter Spesialis Lain.


Rincian lebih lengkap mengenai jumlah lulusan perguruan tinggi dokter spesialis dan dokter 


spesialis gigi menurut provinsi tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 16.k. 





Pembiayaan Kesehatan adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan 


pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna 


mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sumber pembiayaan kesehatan 


berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain. 


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengamanatkan 


anggaran berbasis kinerja (money follow program), artinya Pemerintah harus mengalokasikan anggaran 


sesuai dengan kebutuhan dan program prioritas.


Di dalam bab ini hanya akan dibahas mengenai alokasi dan realisasi anggaran kesehatan 


bersumber dari pemerintah, baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, juga 


dijelaskan lebih lanjut mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).


A. ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN


Kementerian Kesehatan pada tahun 2023 ini memiliki alokasi anggaran sebesar 97,4 triliun 


rupiah dengan realisasi sebesar 94,6 triliun rupiah. Alokasi anggaran tahun 2023 mengalami penurunan 


sebesar 33,6 triliun rupiah jika dibandingkan dengan tahun 2022. Dibandingkan dengan persentase 


realisasi tahun sebelumnya, tahun 2023 juga mengalami peningkatan, dimana persentase realisasi 


anggaran Kementerian Kesehatan pada tahun 2023 sebesar 97,0%, turun dari tahun 2022 sebesar 92,6%.


Gambar 4.1 menunjukkan alokasi dan realisasi anggaran Kementerian Kesehatan dari tahun 


2019-2023 berfluktuasi, dengan alokasi dan realisasi tertinggi pada tahun 2021. 


Distribusi anggaran berdasarkan alokasi dan realisasi anggaran Kementerian Kesehatan RI 


menurut unit Eselon I (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa alokasi terbesar terdapat pada Sekretariat 


Jenderal sebesar 52,3 triliun rupiah, sedangkan alokasi terendah pada Inspektorat Jenderal sebesar 36,6 


miliar rupiah. Unit Eselon I dengan persentase realisasi anggaran tertinggi adalah Inspektorat Jenderal 


sebesar 99,8%, sedangkan realisasi terendah adalah Ditjen Pelayanan Kesehatan dengan persentase 


realisasi sebesar 92,7%. Data dan informasi mengenai alokasi dan realisasi anggaran Kementerian 


Kesehatan RI menurut eselon I pada tahun 2023 selengkapnya terdapat pada Lampiran 20.b.Dari keseluruhan alokasi anggaran Kementerian Kesehatan sebesar 97,4 triliun rupiah, sebanyak 


46,4 triliun rupiah atau sebesar 47,6% merupakan dana untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) 


pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimasukkan dalam alokasi anggaran Sekretariat Jenderal. 


Dana tersebut diwujudkan melalui anggaran Belanja Bantuan Sosial (Bansos) Kementerian Kesehatan. 


Anggaran terbesar berikutnya dialokasikan untuk belanja barang sebesar 38,0%, belanja modal sebesar 


8,9% dan belanja pegawai 5,5%. Untuk persentase realisasi berdasarkan jenis belanja yang paling tinggi 


adalah belanja bansos sebesar 99,9% dan yang paling rendah adalah belanja modal sebesar 90,7% 


(Gambar 4.3 dan 4.4). Rincian alokasi dan realisasi anggaran Kementerian Kesehatan RI menurut jenis 


belanja tahun anggaran 2023 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 20.c.B. DANA DEKONSENTRASI DAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG 


KESEHATAN TAHUN ANGGARAN 2023


Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2022 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan 


menyebutkan bahwa Dekonsentrasi Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) yang 


selanjutnya disebut Dekonsentrasi Kepada GWPP. Dekonsentrasi Kepada GWPP adalah pelimpahan 


sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada GWPP. Dana 


dekonsentrasi merupakan dana yang berasal dari APBN, yang digunakan untuk penyelenggaraan 


dekonsentrasi kepada GWPP yang meliputi pembinaan, pengawasan umum, dan teknis serta 


pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2023 tentang Pedoman 


Penggunaan Dana Dekonsentrasi Kementerian Kesehatan Tahun Anggaran 2023, untuk pelaksanaan 


transformasi kesehatan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan diperlukan dukungan pemerintah 


daerah melalui pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai dengan dana dekonsentrasi dengan 


tujuan meningkatkan capaian program pembangunan kesehatan nasional. Anggaran dekonsentrasi 


pada Permenkes 16 tahun 2023 dengan anggaran Rp. 564.870.319.000,00.


Adapun pelaksanaan anggaran dekonsentrasi pada tahun berjalan dan dalam rangka memenuhi 


kebutuhan anggaran prioritas, penting dan mendesak serta dalam rangka mempercepat pencapaian 


kinerja telah dilakukan optimalisasi dan refocusing terhadap dana dekonsentrasi Kementerian 


Kesehatan. Data dan informasi yang lebih rinci mengenai pagu dan realisasi anggaran dekonsentrasi 


Kementerian Kesehatan menurut provinsi tahun anggaran 2023 disajikan pada Lampiran 20.e.


Realisasi dana dekonsentrasi paling tinggi di Provinsi Bengkulu sebesar 99,1%, sedangkan 


realisasi terendah adalah Provinsi Kalimantan Barat sebesar 48,8%. Sebagaimana terlihat pada Gambar 


4.5. Realisasi dana dekonsentrasi yang masih rendah, oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian lebih 


lanjut, termasuk analisis mengenai kecukupan alokasi anggaran dekonsentrasi pada setiap program di 


tiap provinsi.Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan adalah dana yang dialokasikan dalam anggaran 


pendapatan dan belanja negara kepada daerah tertentu. Tujuan pemberian DAK untuk membantu 


mendanai kegiatan fisik dan non fisik yang merupakan urusan kesehatan daerah yang sesuai dengan 


prioritas nasional. Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) Tahun Anggaran 2023 tertuang 


di dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik 


Indonesia Nomor 32 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 


Tahun 2022 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus non fisik Bidang Kesehatan 


Tahun Anggaran 2023.


DAK fisik bidang kesehatan diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan seperti penyediaan 


sarana prasarana, dan alat kesehatan puskesmas; pengadaan perangkat Sistem Informasi Kesehatan; 


penyediaan alat dan bahan pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan; kelanjutan rumah sakit 


dan puskesmas yang belum operasional; penguatan laboratorium kesehatan daerah; pembangunan, 


peningkatan, rehabilitasi, dan/atau renovasi gedung sarana rumah sakit daerah provinsi/kabupaten/


kota; penyediaan alat Kesehatan dan prasarana di rumah sakit; dan peningkatan atau pembangunan unit 


transfusi darah termasuk pemenuhan peralatan, sarana dan prasarana di rumah sakit daerah provinsi/ 


kabupaten/kota; penyediaan obat dan bahan medis habis pakai di tingkat daerah kabupaten/kota; 


pembangunan, rehabilitasi, dan penyediaan sarana prasarana instalasi farmasi provinsi dan kabupaten/


kota. Sedangkan DAK non fisik bidang kesehatan terdiri atas: Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), 


Jaminan Persalinan (Jampersal), akreditasi puskesmas, dan pengawasan obat dan makanan.Pelaporan DAK bidang kesehatan disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Menteri Kesehatan, 


Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri secara berkala (triwulan dan tahunan). Sedangkan 


untuk data realisasi dilaporkan melalui Sistem Informasi Keuangan daerah (IKD) Kemenkeu untuk DAK 


Fisik dan e-renggar Kemenkes untuk Dak Non Fisik. Outcome Jangka Pendek (Immediate outcome) 


dilaporkan melalui aplikasi KRISNA Bappenas.


Pada tahun 2023, realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik 2023 secara nasional sebesar 69,9% 


dengan realisasi tertinggi adalah Provinsi Bangka Belitung (94,7%) dan terendah adalah Provinsi Papua 


(36,4%) serta DKI Jakarta (0%), sebagaimana terlihat pada Gambar 4.6 berikut.


Untuk realisasi DAK non fisik Tahun 2023 secara nasional adalah 77,1% dengan realisasi tertinggi 


adalah Provinsi DI Yogyakarta (87,1%) dan terendah adalah Provinsi Kalimantan Timur (61,9%) dan 


5 (lima) Provinsi dengan tidak ada data (0) yaitu DKI, Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua 


Tengah, Papua Selatan, sebagaimana terlihat pada Gambar 4.7.C. BELANJA KESEHATAN DAN JAMINAN KESEHATAN


Pada tahun 2023, telah terbit Undang-Undang Nomor 17 tentang Kesehatan yang 


mengamanatkan anggaran berbasis kinerja (money follow program), artinya Pemerintah harus 


mengalokasikan anggaran sesuai dengan kebutuhan dan program prioritas. Undang-Undang 


Kesehatan ini juga mengganti prinsip anggaran dari mandatory spending menjadi mandatory services. 


Penggunaan anggaran di bidang kesehatan diharapkan dapat mendanai pembangunan kesehatan 


secara berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, efektif, efisien 


dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan derajat kesehatan 


masyarakat setinggi-tingginya.


National Health Accounts (NHA) atau Akun Kesehatan Nasional merupakan suatu instrumen 


strategis untuk memahami pola belanja kesehatan suatu negara. Akun kesehatan ini secara 


komprehensif dapat memotret aliran belanja kesehatan yang mencakup sumber dana, mekanisme 


pendanaan, institusi pengelola dana, penyedia layanan, serta penggunaan belanja tersebut. NHA dapat 


dimanfaatkan dalam pemberian input terkait efisiensi, efektivitas, serta keselarasan (sinergisme) baik 


dengan arahan program prioritas maupun regulasi yang ada.


Indonesia telah memproduksi NHA menggunakan metode System of Health Accounts (SHA) 


2011 yang merupakan metode standar internasional sehingga dapat melihat posisi Indonesia dibandingkan dengan berbagai negara. Data NHA juga telah didistribusikan secara global dalam World 


Health Report yang terpublikasi setiap tahunnya oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sebagai 


negara dengan kebijakan single payer (hanya ada satu pengumpul premi dan sekaligus berfungsi 


sebagi badan penyelenggara) terbesar di dunia, banyak negara memberi perhatian pada pembiayaan 


kesehatan di Indonesia untuk penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam 


rangka menuju Universal Health Coverage (UHC). Dari data NHA tahun 2022, terdapat beberapa hal 


yang masih perlu ditingkatkan, diantaranya penguatan pendanaan untuk menunjang upaya preventif 


dan promotif, termasuk pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM), edukasi kesehatan untuk pola 


hidup bersih sehat, imunisasi, surveilance, skrining, pengadaan pola makan tambahan, dan lain-lain. 


Penguatan pendanaan untuk layanan di FKTP serta pendanaan preventif-promotif akan membangun 


sistem layanan Kesehatan yang lebih kokoh terhadap berbagai kejadian tidak terduga termasuk adanya 


pandemik COVID-19.


1. Total Belanja Kesehatan Indonesia/Total Health Expenditure (THE)


Total Belanja Kesehatan (TBK) atau secara internasional dikenal dengan istilah Total Health 


Expenditure (THE), maupun dalam bentuk Current Health Expenditure (CHE). Dalam publikasi ini, 


indikator yang akan digunakan adalah THE. Hal tersebut dilakukan untuk mengakomodasi belanja 


kesehatan pemerintah yang juga dibelanjakan untuk investasi di bidang kesehatan.


Tabel 4.2 di bawah menunjukkan total belanja kesehatan Indonesia selama tahun 2013-2022 


menunjukkan terdapat peningkatan setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terjadi 


peningkatan belanja kesehatan hampir 2 (dua) kali lipat, dari Rp287,5 triliun pada tahun 2013 menjadi 


Rp569,4 triliun pada tahun 2022. Proporsi belanja kesehatan terhadap PDB hanya mengalami fluktuasi 


kenaikan sebesar 0,6% yaitu dari 3,0% di tahun 2013 menjadi 2,9% di tahun 2022, namun meski 


demikian belanja kesehatan perkapita mengalami kenaikan dari tahun 2013 sebesar Rp1.155.370 (US 


$94,7) menjadi Rp2,1jt (US $131) di tahun 2022.Gambar 4.8 di bawah menunjukkan proporsi belanja kesehatan menurut skema pendanaan 


kesehatan yang meliputi sektor publik (skema Kementerian Kesehatan, Kementerian/Lembaga lainnya, 


Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota), Asuransi Kesehatan Sosial (JKN) dan sektor non 


publik (skema Asuransi Kesehatan Swasta, Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT), 


Korporasi, dan Pembiayaan Rumah Tangga). Porsi belanja skema asuransi kesehatan sosial terhadap 


total belanja kesehatan menunjukkan peran dan komitmen pemerintah dalam memberikan jaminan 


kesehatan untuk masyarakat di negara tersebut. Selain itu menunjukkan bahwa peningkatan porsi 


belanja pada skema asuransi kesehatan sosial seiring dengan penurunan pada porsi skema pembiayaan 


dari kantong rumah tangga. Tren belanja kesehatan pada skema pembiayaan dari kantong rumah 


tangga yang cenderung menurun secara proporsi sejak tahun 2013 hingga tahun 2022. Secara proporsi 


skema pembiayaan dari kantong rumah tangga menurun (dari 48,5% pada tahun 2013 menjadi 30,5 


% pada tahun 2022), namun secara nominal mengalami kenaikan dari tahun 2013–2022 (dari Rp139,4 


triliun pada tahun 2013 menjadi Rp173,9 triliun pada tahun 2022). Hal ini merupakan dampak langsung 


dari pertumbuhan pasar di sektor kesehatan. 


 Pendanaan kesehatan sektor publik terdiri dari skema kementerian Kesehatan, Skema K/L 


lain, Skema Pemda dan Skema Askes Sosial. Sedangkan pendanaan kesehatan sektor non publik terdiri 


dari Skema askes swasta, skema Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT), skema 


korporasi dan skema pembiayaan rumah tangga (Out of Pocket = OOP). Proporsi belanja kesehatan 


berdasarkan skema pendanaan tahun 2013-2022 dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut.Belanja kesehatan nasional pada awalnya didominasi pendanaan sektor non publik, terutama 


yang berasal dari kontribusi pembiayaan rumah tangga. Meskipun begitu, pendanaan dari sektor publik 


setiap tahunnya mengalami peningkatan baik dari proporsi maupun dari jumlahnya, dimana pada tahun 


2013 sebesar 32,4% (Rp93,2 triliun) dari total belanja nasional dan tahun 2022 sebesar 55,4% (Rp315,4 triliun). Tren peningkatan ini terutama terjadi pada skema JKN dan skema pemerintah daerah (Pemda), 


sementara skema Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan skema K/L lainnya berfluktuasi pada tahun 


2013-2019 dan meningkat pada tahun 2020-2021 dikarenakan adanya pandemi COVID-19. Pada tahun 


2022 pola belanja kesehatan kembali ke pola sebelum terjadinya pandemi COVID1-19 walaupun ada 


peningkatan dari tahun 2013-2019.


Salah satu yang menunjukan tren kenaikan adalah belanja kesehatan pada skema Pemda, baik 


provinsi maupun kabupaten/kota cenderung meningkat selama tahun 2013-2020 namun mengalami 


penurunan kembali setelah tahun 2021-2022. Peningkatan jumlah belanja kesehatan Pemda 


diharapkan memberikan ruang yang luas bagi daerah untuk dapat membantu pemerintah pusat dalam 


melaksanakan program-program vertikal yang menjadi indikator kinerja kesehatan nasional. Peran besar 


daerah dalam mengelola pembiayaan kesehatan tentu saja melahirkan tanggung jawab yang besar 


pula. Oleh karenanya, pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab tersebut memerlukan koordinasi 


yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimulai dari proses perencanaan hingga 


evaluasi program/kegiatan. Mengingat capaian indikator kesehatan menjadi ukuran penting kinerja 


Kemenkes, maka perlu dilaksanakan juga proses monitoring dan evaluasi terhadap dana transfer dari 


pusat ke daerah. Hal ini bertujuan agar pendanaan kesehatan yang telah dialokasikan dapat digunakan 


secara efektif dan efisien, serta berdampak positif pada pembangunan kesehatan.


2. Jaminan Kesehatan


Program Jaminan Kesehatan Nasional merupakan program Pemerintah yang bertujuan untuk 


memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk 


indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Manfaat program ini diberikan dalam bentuk 


pelayanan kesehatan perorangan yang komprehensif, mencakup pelayanan peningkatan kesehatan 


(promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) 


termasuk obat dan bahan medis dengan menggunakan teknik layanan terkendali mutu dan biaya 


(managed care). 


Program Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial, dan 


prinsip ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang 


tidak terkait dengan besaran iuran yang telah dibayarkan. Prinsip ini diwujudkan dengan pembayaran 


iuran sebesar persentase tertentu dari upah bagi yang memiliki penghasilan dan pemerintah 


membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin).


Dasar hukum untuk jaminan kesehatan adalah Undang-undang No. 40/2004 tentang Sistem 


Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimana salah satu programnya adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 


JKN adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi 


sosial dan prinsip ekuitas dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan 


kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. 


Prinsip asuransi sosial yang dimaksud meliputi : 


1. Kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan 


yang berisiko tinggi dan rendah; 


2. Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; 


3. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;


4. Bersifat nirlaba


Sedangkan prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan 


kebutuhan medisnya yang tidak berkaitan dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya. Pelaksanaan 


JKN di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. 


Kepesertaan dalam BPJS Kesehatan terdiri dari 2 kelompok, yaitu:


1. PBI Jaminan Kesehatan.


Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang 


tidak mampu sebagaimana diamanatkan Undang-Undang SJSN yang iurannya sebagai peserta program 


Jaminan Kesehatan dibiayai oleh pemerintah. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh 


Pemerintah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah.


2. Bukan PBI jaminan kesehatan.


Peserta bukan PBI jaminan kesehatan terdiri dari:


• Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya


• Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya


• Bukan pekerja dan anggota keluarganya


 Pada Tahun 2023, proporsi kepesertaan terbanyak berasal dari segmen PBI (APBN) sebesar 


48,0%. Akan tetapi, pertumbuhan peserta pada segmen non PBI mengalami penurunan dari jumlah 


tahun 2022. Sampai dengan akhir tahun 2023, jumlah cakupan kepesertaan JKN/KIS mencapai 267,3 


juta jiwa, dimana terjadi peningkatan jumlah kepesertaan dibandingkan dengan jumlah kepesertaan 


tahun 2022


Pada tahun 2023 sebanyak 95,2% penduduk Indonesia telah menjadi peserta jaminan Kesehatan 


nasional (JKN). Sebagian besar Provinsi memiliki cakupan kepesertaan lebih dari 83,4%. Terdapat 


beberapa Provinsi yang memiliki cakupan kepesertaan lebih dari 100%. Hal ini diasumsikan karena 


adanya perbedaan antara domisili dengan tempat terdaftarnya peserta, sehingga mempengaruhi 


cakupan kepesertaan di satu provinsi. Provinsi Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Tengah dan 


Papua Selatan sebagai provinsi baru belum ada datanya. Data cakupan kepesertaan JKN di Indonesia 


menurut provinsi selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 19.a


Pada Tahun 2023, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 31/HUK/2023 tentang 


Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2023, Menteri Sosial menetapkan fakir 


miskin dan orang tidak mampu berdasarkan basis data terpadu sebanyak 96,7 juta jiwa dan bayi baru 


lahir yang belum ada NIKnya sebanyak 98,527 jiwa.


Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2019 tentang Persyaratan dan Tata 


Cara Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan sebagai acuan dan pedoman 


dalam pelaksanaan perubahan data PBI Jaminan Kesehatan. Peraturan Menteri ini bertujuan untuk 


memperoleh data PBI Jaminan Kesehatan yang mutakhir, tepat sasaran, tepat waktu, dan valid.


Alokasi anggaran untuk iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) disesuaikan dengan 


regulasi yang ada. Telah terjadi perubahan besaran iuran peserta PBI dari tahun 2015 sampai dengan 


2022. Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan, 


terjadi perubahan pada besaran iuran, diantaranya yaitu iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp25.500 


(Rp42.000 dikurangi subsidi Pemerintah Rp16.500), tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi 


Rp35.000, serta besaran iuran peserta PBI Jaminan Kesehatan yaitu sebesar Rp42.000 per orang per 


bulan yang sepenuhnya dibayar oleh Pemerintah. Adapun Perpres tersebut merupakan Perubahan 


Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 yang tertuang dalam Pasal 34 dan sejalan dengan 


putusan Mahkamah Agung No. 7P/HUM/2020.


Realisasi pembayaran iuran PBI Jaminan Kesehatan pada tahun 2015 dan 2021 sebesar 97,7% 


dan 98,5% dari alokasi yang dianggarkan merupakan persentase terendah dalam kurun waktu sembilan 


tahun terakhir


Jumlah FKTP yang bekerjasama dengan BPJS pada tahun 2023 mengalami penurunan, dari 


sebanyak 20.763 faskes pada tahun 2017 menjadi 23.639 faskes pada tahun 2023. Jenis FKTP yang 


bekerja sama dengan BPJS Kesehatan terbanyak adalah Puskesmas yaitu sebesar 42,6%, kemudian 


Klinik Pratama sebesar 31,8%, lalu kemudian dokter praktik perorangan sebesar 20,3%. Data dan 


informasi yang lebih rinci mengenai FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2023 


selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.b[2].


Sama dengan halnya FKTP, perkembangan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) 


yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan terjadi peningkatan dari sebanyak 2.292 faskes pada tahun 


2017 menjadi 3.120 faskes pada tahun 2023. Jenis FKRTL terbanyak adalah RS Swasta, yaitu sebesar 


44,5%, RS Pemerintah (25,2%), Klinik Utama (14,6%) dan RS Khusus sebesar 10,8% dari seluruh FKRTL 


yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.


Selain FKTP dan FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, pada tahun 2023 terdapat 


provider fasilitas kesehatan penunjang yaitu apotek dan optik. Terdapat 4.309 apotek yang bekerjasama 


dengan BPJS Kesehatan atau sebesar 78,4% dan 1.185 optik atau sebesar 21,6% dari jumlah provider 


penunjang yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Total pendapatan iuran sampai dengan bulan 31 Desember 2023 adalah Rp151,425 triliun, 


dimana pendapatan iuran BPJS Kesehatan berdasarkan segmen kepesertaan terbesar yaitu pada 


segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 45,621 triliun (30,1%), terbanyak kedua dari segmen 


Pekerja Penerima Upah (PPU) Badan usaha sebesar Rp41,974 triliun (27,7%). Selanjutnya dari segmen 


Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pemda sebesar Rp16,128 triliun (10,7%), segmen PBPU termasuk 


dengan bantuan iuran pemerintah atas PBPU Pemda sebesar Rp3,191 triliun (2,1%) dan pada segmen 


BP atau Bukan Pekerja sebesar Rp1,114 triliun (0,7%) dari total pendapatan iuran.

ada tahun 2023, jumlah pelayanan Kesehatan yang paling banyak dimanfaatkan oleh peserta 


BPJS Kesehatan adalah kunjungan di FKTP sebanyak 463.374.151 kunjungan sedangkan yang paling 


sedikit dimanfaatkan oleh peserta BPJS Kesehatan adalah Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) sebesar 


2,7%. Meski RITL dari segi jumlah merupakan yang paling sedikit dimanfaatkan oleh peserta BPJS 


Kesehatan, tetapi bila dari segi pembiayaan merupakan yang terbesar pemanfaatannya, yaitu sebesar 


Rp 91,437 triliun atau 57,6% dari seluruh pembiayaan pelayanan kesehatan.


Sampai dengan 31 Desember 2023, terdapat delapan penyakit katastropik dalam pembiayaan 


BPJS Kesehatan. Penyakit katastropik merupakan penyakit yang membutuhkan biaya tertinggi 


dalam pelayanan Kesehatan JKN. Penyakit dengan biaya terbanyak yaitu penyakit jantung, yang 


membutuhkan Rp17,629 triliun untuk pembiayaan. Penyakit jantung juga merupakan jumlah kasus 


penyakit yang terbanyak dibiayai oleh BPJS Kesehatan, yaitu sebanyak 20.037.280 kasus. Sedangkan 


penyakit katastropik dengan biaya terendah yaitu Sirosis Hati, yang dibiayai BPJS Kesehatan sebesar Rp 


446,434 miliar sebanyak 236.589 kasus. Meskipun demikian, jika dilihat dari rata-rata pembiayaan per 


kasus, tiga teratas penyakit dengan biaya terbesar per kasus merupakan penyakit kronis, yaitu Jantung, 


Kanker, dan Stroke.


Keluarga berperan terhadap optimalisasi pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas 


seluruh anggotanya melalui pemenuhan kebutuhan gizi dan menjamin kesehatan anggota keluarga. 


Di dalam komponen keluarga, ibu dan anak merupakan kelompok rentan. Hal ini terkait dengan fase 


kehamilan, persalinan dan nifas pada ibu dan fase tumbuh kembang pada anak. Hal ini yang menjadi 


alasan pentingnya upaya kesehatan ibu dan anak menjadi salah satu prioritas pembangunan kesehatan 


di Indonesia.


Ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas dalam 


penyelenggaraan upaya kesehatan. Ibu dan anak merupakan kelompok rentan terhadap keadaan 


keluarga dan sekitarnya secara umum, sehingga penilaian terhadap status kesehatan dan kinerja upaya 


kesehatan ibu dan anak penting untuk dilakukan. 


A. KESEHATAN IBU


Keberhasilan program kesehatan ibu dapat dinilai melalui indikator utama yaitu Angka Kematian 


Ibu (AKI). Kematian ibu didefinisikan sebagai semua kematian selama periode kehamilan, persalinan, 


dan nifas yang disebabkan oleh pengelolaannya tetapi bukan karena sebab lain seperti kecelakaan atau 


insidental. AKI adalah semua kematian dalam ruang lingkup tersebut di setiap 100.000 kelahiran hidup.


Selain untuk menilai program kesehatan ibu, indikator ini juga mampu menilai derajat kesehatan 


masyarakat, karena sensitivitasnya terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas 


maupun kualitas. Secara umum terjadi penurunan kematian ibu selama periode 1991-2020 dari 390 


menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini hampir mencapai target RPJMN 2024 sebesar 183 


per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan angka kematian ibu, masih 


diperlukan upaya dalam percepatan penurunan AKI untuk mencapai target SGDs yaitu sebesar 70 per 


100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Gambaran AKI di Indonesia dari tahun 1991 hingga tahun 


2020 dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut ini.

Jumlah kematian ibu yang dihimpun dari pencatatan program Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak 


di Kementerian Kesehatan dari tahun 2019-2021 cenderung meningkat, sedangkan dari tahun 2021-


2023 jumlah kematian ibu jumlahnya berfluktuasi. Jumlah Kematian Ibu tahun 2023 adalah 4.482 


seperti tampak pada gambar di bawah


Penyebab kematian ibu terbanyak pada tahun 2023 adalah hipertensi dalam kehamilan 


sebanyak 412 kasus, perdarahan obstettrik sebanyak 360 kasus dan komplikasi obstetrik lain sebanyak 


204 kasus. Jumlah kematian ibu menurut provinsi disajikan pada Lampiran 22. Upaya percepatan penurunan AKI dilakukan dengan menjamin agar setiap ibu mampu 


mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas, seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan 


persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan 


bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, dan pelayanan keluarga 


berencana (KB) termasuk KB pasca persalinan. 


Pada bagian berikut, gambaran upaya kesehatan ibu yang disajikan terdiri dari pelayanan 


kesehatan ibu hamil, pelayanan imunisasi Tetanus Difteri bagi Wanita Usia Subur (WUS), pemberian 


tablet tambah darah, pelayanan kesehatan ibu bersalin, pelayanan kesehatan