Profil kesehatan 5

 





ia yang standar dan efektif sampai saat ini masih menggunakan Artemicinin￾based Combination Therapy (ACT) ditambah primakuin. Pengobatan dilakukan pada 24 jam pertama 


pasien demam dan obat harus diminum habis. Pemerintah menetapkan target persentase pengobatan 


ACT sebesar ≥95%. Pada gambar di atas dapat diketahui hanya sebagian provinsi di Indonesia yang memenuhi 


target pengobatan standar ≥95%, yaitu sebanyak 11 provinsi (28%). Selain itu masih terdapat 27 


provinsi dengan persentase pengobatan standar kurang dari 95%, dengan 10 Provinsi terendah yaitu DI 


Yogyakarta, Jawa Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Sulawesi Barat, Papua Pegunungan, 


Papua Barat Daya, Banten, dan Jawa Tengah.


Data dan informasi lebih rinci tentang penyakit Malaria terdapat pada Lampiran 73.a, 73.b, dan 73.c. 


5. Filariasis


Filariasis merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan dengan 


perantara nyamuk. Cacing Filaria yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk akan 


merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum, 


menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak 


langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk ini dapat berdampak pada penurunan 


produktivitas kerja penderita dan beban keluarga. Cacing penyebab Filaria yang tersebar di Indonesia 


terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.


Diperkirakan saat ini terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit Filariasis 


di dunia. Jumlah tersebut tersebar di lebih dari 83 negara dan 60% kasus tersebut terdapat di Asia 


Tenggara. Dalam Pertemuan ke 73 World Health Assembly (WHA) secara Virtual tanggal 12 November 


2020, WHO telah meluncurkan Roadmap untuk penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases


/NTDs) tahun 2021−2030. Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia telah mentargetkan eliminasi 


filariasis pada tahun 2030.


Di Indonesia, pada tahun 2023 terdapat 7.955 kasus kronis Filariasis yang tersebar di 38 


Provinsi. Angka ini terlihat menurun dari data tahun sebelumnya karena dilaporkan beberapa kasus 


meninggal dunia dan adanya perubahan diagnosis setelah dilakukan validasi data dan konfirmasi kasus 


klinis kronis yang dilaporkan tahun sebelumnya. Grafik berikut menggambarkan kondisi kasus Filariasis 


di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.Provinsi dengan kasus kronis Filariasis tertinggi terdapat di wilayah timur Indonesia, yaitu Papua 


Selatan sebanyak 1.996 kasus, Nusa Tenggara Timur 1.200 kasus, dan Papua sebanyak 1.023 kasus. 


Provinsi dengan kasus Filariasis < 5 kasus yaitu Bali, DI Yogyakarta, Gorontalo dan Kalimantan Utara. Keberhasilan program pengendalian Filariasis dapat diketahui di antaranya dengan melihat 


jumlah kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria menjadi < 1%. Indonesia telah 


menetapkan 236 kabupaten/kota di 32 provinsi sebagai daerah endemis filariasis. Dengan demikian, 


terdapat 6 provinsi yang tidak memiliki kabupaten/kota endemis sehingga provinsi tersebut ditetapkan 


sebagai provinsi non-endemis Filariasis. Keenam provinsi tersebut yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Dalam menuju eliminasi filariasis, pemerintah 


menetapkan dua program utama yaitu melaksanakan kegiatan Pemberian Obat Pencegahan secara 


Massal Filariasis untuk memutus rantai penularan Filariasis pada penduduk di semua Kabupaten/Kota 


Endemis Filariasis serta yang kedua adalah tatalaksana kasus kronis filariasis di fasyankesIndikator keberhasilan pengendalian Filariasis yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan 


yaitu jumlah kabupaten/kota endemis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria menjadi <1%. 


Pada tahun 2023 jumlah kabupaten/kota endemis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria 


menjadi <1% sebanyak 208 kabupaten/kota dan belum memenuhi target indikator yaitu 220 


kabupaten/kota endemis. Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa persentase kabupaten/kota endemis filaria yang 


berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% sebesar 88,14%. Terdapat 22 provinsi yang seluruh 


kabupaten/kotanya mencapai 100%.


Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dilaksanakan setahun sekali selama lima 


tahun berturut-turut dengan cakupan minimal 65%. Seluruh kabupaten/kota endemis Filariasis telah 


memulai tahapan POPM filariasis dengan waktu yang berbeda-beda. Pada tahun 2023 sebanyak 26 


(11,02%) kabupaten/kota endemis Filariasis masih melaksanakan POPM Filariasis. Sedangkan sisanya 


yaitu 210 kabupaten/kota endemis filariasis telah menyelesaikan putaran POPM filariasis selama 5 


tahun dan memasuki masa surveilans eliminasi dan pasca eliminasi. Cakupan POPM Filariasis mencerminkan tingginya kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi 


memutus rantai penularan Filariasis melalui pemberian obat pencegahan massal. Selama periode 


tahun 2014 sampai 2019 tren cakupan penduduk minum obat Filariasis di kabupaten/kota endemis 


yang masih melaksanakan POPM Filariasis cenderung meningkat. Namun tahun 2019-2023 cenderung 


menurun menjadi 51,7% pada tahun 2023. Dari 26 kabupaten/kota endemis filariasis yang belum 


menyelesaikan 5 tahun putaran POPM >65%, sebanyak 20 kabupaten/kota diantaranya berada di 


Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Barat dan Papua Barat Daya. 


Kondisi geografis serta faktor keamanan menjadi penyebab menurunnya cakupan POPM filariasis pada 


tahun 2023.


Pada tahun 2023 sebanyak 13 kabupaten/kota melaksanakan POPM Filariasis menggunakan 


obat Diethylcarbamazine (DEC) dan Albendazole (DA) dan sebanyak 13 kabupaten/kota menggunakan 


tiga macam kombinasi obat yaitu kombinasi DEC, Albendazole dan Ivermectine (IDA). Terdapat 3 


kabupaten di provinsi Papua Pegunungan dan 1 di Provinsi Papua Tengah yang pelaksanaan POPM 


dengan kombinasi obat DA tidak melaporkan data cakupan POPM filariasis



6. Rabies


Rabies merupakan penyakit menular disebabkan oleh virus dari golongan Rhabdovirus. Penyakit 


ini ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies seperti anjing, kucing, kelelawar, kera, musang dan 


serigala. Selain bagi manusia, rabies dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bagi hewan penular 


tersebut.


Permasalahan Rabies dapat diketahui melalui kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), 


pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR), dan kasus kematian (LYSSA). Kasus GHPR yang dilaporkan diarahkan 


untuk mendapatkan VAR. Kasus GHPR yang mengalami kematian dan ditemukan adanya sero positif 


pada hewan penularnya menjadi landasan penentuan daerah rabies.


Sampai dengan tahun 2023 terdapat 12 provinsi yang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas 


Rabies, yaitu yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, 


Jawa Timur, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya. Berdasarkan grafik kecenderungan GHPR, VAR dan LYSSA yang disajikan di atas, kasus 


GHPR tertinggi dilaporkan pada tahun 2023 sebesar 182.775 kasus. Kasus GHPR pada tahun 2023 


menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus VAR yang dilaporkan pada tahun 


2023 juga menunjukan peningkatan dibandingkan tahun 2022 yaitu dari 74.888 menjadi 136.696 kasus. 


Demikian juga untuk kasus kematian (LYSSA) meningkat dari 96 menjadi 146 kasus. 


Pada tahun 2023 Kasus GHPR paling banyak dilaporkan oleh Provinsi Bali sebesar 72.522 kasus, 


Nusa Tenggara Timur sebesar 18.924 kasus, dan Sumatera Utara sebesar 10.360 kasus. Kasus GHPR 


harus segara mendapatkan tatalaksana, di antaranya dengan pemberian VAR. Berikut ini disajikan 


persentase pemberian VAR terhadap kasus GHPR.Capaian pemberian VAR tertinggi yaitu Kalimantan Timur sebesar 99,92%, Sedangkan 


Kepulauan Riau memiliki capaian pemberian VAR terendah sebesar 23,53%. Provinsi Bali, NTT dan 


Sumatera Utara yang melaporkan kasus GHPR tertinggi masing-masing memiliki persentase 64,87%, 


95,53% dan 75,75%. Dengan tingginya kasus GHPR, seharusnya diperlukan capaian pemberian VAR 


yang tinggi. Penatalaksanaan kasus yang efektif dan pemberian VAR dapat mencegah kematian 


karena Rabies.

Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara melaporkan kasus kematian akibat Rabies 


lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Jika dilihat berdasarkan proporsi kematian akibat rabies 


terhadap kasus GHPR, tertinggi yaitu Provinsi Maluku, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara dengan 


masing-masing persentase sebesar 1,29%, 0,41% dan 0,31%. Apabila dibandingkan dengan persentase 


VAR terhadap kasus GHPR, Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Nusa 


Tenggara Timur memiliki persentase di atas 95%. Kematian akibat rabies diakibatkan keterlambatan 


penatalaksanaan kasus dan pemberian VAR.


7. Leptospirosis 


Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan bakteri Leptospira sp. Penyakit ini 


ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung antara manusia dengan urine hewan yang 


telah terinfeksi bakteri Leptospira. Tingginya biaya pemeriksaan laboratorium dan metode diagnosis 


menyebabkan tidak semua kasus dapat terlaporkan.


Pada tahun 2023 ditemukan adanya 2554 kasus Leptospirosis di Indonesia yang dilaporkan 


oleh dua belas provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, 


Banten, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Bali dan Maluku. 


Dari sejumlah kasus yang dilaporkan tersebut, terdapat 205 kasus meninggal dengan Case Fatality 


Rate (CFR) sebesar 8%.

Kasus Leptospirosis tahun 2023 meningkat dibandingkan tahun 2022 yaitu dari 1.624 kasus 


menjadi 2.554 kasus. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kasus di Pulau Jawa dan Kalimantan 


khususnya Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan 


Kalimantan Timur. Sedangkan CFR menurun dari 9,1 % menjadi 8%. Hal ini dapat disebabkan karena 


kecepatan dalam mendeteksi dini dan merespon kasus yang ditemukan.

Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, 


Kalimantan Timur, Kalimantan Utara melaporkan peningkatan kasus. Sedangkan penurunan kasus 


terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Kepulauan Riau, Bali dan Maluku pada tahun 


2022 tidak ditemukan kasus Leptospirosis dan pada tahun 2023 melaporkan adanya kasus leptospirosis. 


Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi penyumbang terbesar terhadap seluruh kasus di 


Indonesia yaitu masing-masing sebesar 36,6% dan 42,7%.


Kasus dan kematian akibat Leptospirosis memerlukan upaya pengendalian yang selama ini 


dilakukan melalui strategi sebagai berikut:


1. Penyediaan NSPK Pengendalian Leptospirosis,


2. Penyediaan media Komunikasi, Informasi dan Edukasi,


3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia baik melalui pelatihan, sosialisasi, orientasi dan 


workshop,


4. Penguatan surveilans zoonosis berbasis laboratorium seperti Surveilans Sentinel Leptospirosis 


di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.


5. Penguatan surveilans leptospirosis terpadu lintas sektor Kabupten Demak Provinsi Jawa Tengah


6. Penguatan tata laksana sesuai standar dan prosedur,


7. Peningkatan sistem kewaspadaan dini dan respon cepat penanggulangan KLB,


8. Pengendalian faktor risiko secara terpadu yang terdiri dari lintas program dan lintas sektor 


meliputi sektor kesehatan hewan dan kesehatan satwa liar,


9. Penyediaan logistik (Rapid Diagnostik Test). 


8. Pengendalian Vektor Terpadu 


Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit adalah semua kegiatan atau tindakan 


yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor dan binatang pembawa penyakit serendah mungkin 


sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu 


wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan vektor dapat dicegah. 


Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit merupakan upaya preventif yang paling efektif 


dalam rangka pencegahan penyakit tular vektor dan zoonotik, karena penularan penyakit ini tidak akan 


terjadi apabila tidak ada vektor dan binatang pembawa penyakit.


Kementerian Kesehatan menetapkan persentase kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas 


melaksanakan surveilans vektor sebagai indikator pengendalian vektor. Puskesmas yang melaksanakan 


surveilans vektor yang dimaksud pada indikator tersebut adalah Puskesmas yang melaksanakan 


surveilans nyamuk Aedes dan/atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan yang dilaporkan 


melalui SILANTOR (Sistem Surveilans Vektor) berupa angka bebas jentik dan index habitat nasional. Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa persentase kabupaten/kota memiliki 25% 


puskesmas melaksanakan surveilans vektor sebesar 79,96%. Terdapat 17 provinsi dengan capaian 


100%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya surveilans dan pengendalian vektor telah mencapai target 


yang ditetapkan, dari target 70% dengan realisasi 79,96%.




D. PENYAKIT TIDAK MENULAR


Penyakit tidak menular atau penyakit non-infeksi telah menjadi bagian dari beban ganda 


epidemiologi di dunia sejak beberapa dekade terakhir. Berbeda dengan penyakit menular, penyakit ini 


tidak disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti protozoa, bakteri, jamur, maupun virus. Badan 


kesehatan dunia (WHO) mengestimasikan bahwa penyakit ini menyebabkan sedikitnya terhadap 40 


juta kematian tiap tahun di dunia. Jumlah tersebut setara dengan 70% kematian oleh seluruh penyebab 


pada tingkat global.


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit 


Tidak Menular (PTM) yang mengacu pada klasifikasi internasional penyakit (International Statistical 


Classification of Diseases and Related Health Problems) mengelompokkan penyakit ini berdasarkan 


sistem dan organ tubuh menjadi 12 jenis penyakit yaitu:


1. Penyakit keganasan;


2. Penyakit endokrin, nutrisi, dan metabolik;


3. Penyakit sistem saraf;


4. Penyakit sistem pernapasan;


5. Penyakit sistem sirkulasi;


6. Penyakit mata dan adnexa;


7. Penyakit telinga dan mastoid;


8. Penyakit kulit dan jaringan subkutanius;


9. Penyakit sistem musculoskeletal dan jaringan penyambung;


10. Penyakit sistem genitourinaria;


11. Penyakit gangguan mental dan perilaku;


12. Penyakit kelainan darah dan gangguan pembentukan organ darah.


Angka morbiditas penyakit tidak menular baik di tingkat global maupun nasional menunjukkan 


kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. WHO mengidentifikasi empat faktor 


risiko utama yang berkontribusi terhadap peningkatan tersebut, yaitu konsumsi tembakau, kurangnya 


aktivitas fisik, penyalahgunaan alkohol, dan diet yang tidak sehat. Kemunculan COVID-19 sebagai new￾emerging disease telah menyadarkan banyak pihak terhadap pentingnya pengendalian penyakit tidak 


menular, karena penyakit ini merupakan salah satu komorbid yang berperan dalam meningkatkan 


keparahan COVID-19. 


Penanggulangan PTM diprioritaskan pada jenis penyakit yang menjadi masalah kesehatan 


masyarakat dengan beberapa kriteria, yaitu tingginya angka kematian atau kecacatan, tingginya angka 


kesakitan atau tingginya beban biaya pengobatan, dan memiliki faktor risiko yang dapat diubah. 


Penanggulangan PTM melalui upaya kesehatan masyarakat terdiri dari upaya pencegahan dan 


pengendalian. Upaya pencegahan dilaksanakan melalui kegiatan promosi kesehatan, deteksi dini faktor 


risiko, dan perlindungan khusus yang menitikberatkan pada faktor risiko yang dapat diubah. Faktor 


risiko yang dapat diubah meliputi merokok, kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat, konsumsi 


minuman beralkohol, dan lingkungan yang tidak sehat. Upaya pengendalian dilaksanakan melalui 


kegiatan penemuan dini kasus dan tata laksana dini.



1. Jumlah Kabupaten/Kota Melakukan Pelayanan Terpadu (PANDU) PTM di >


80% Puskesmas 


Berbagai upaya telah dilakukan untuk pencegahan dan pengendalian PTM di tingkat nasional, 


sejalan dengan pendekatan global dan regional. Salah satu program yang telah dan masih terus dilakukan 


oleh Kementerian Kesehatan adalah Pelayanan Terpadu Penyakit Tidak Menular (PANDU PTM) di 


Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Hal ini sebagai upaya dalam mendukung pencapaian target 


SPM dan pencapaian target indikator Renstra Kementerian Kesehatan 2020-2024, yaitu meningkatnya 


kabupaten/kota yang melakukan pencegahan dan pengendalian PTM. 


PANDU PTM di FKTP merupakan upaya pencegahan, pengendalian dan tatalaksana hipertensi 


dan diabetes melitus serta PTM lainnya yang dilaksanakan secara komprehensif, terintegrasi dan 


berkelanjutan dengan pendekatan faktor risiko, menggunakan algoritma PANDU PTM dan tabel prediksi 


risiko PTM. Algoritma PANDU PTM merupakan alur pikir dalam melakukan pelayanan terpadu PTM di 


FKTP. Dalam algoritma dijelaskan tentang tahapan pelayanan bagi pengunjung Puskesmas yang berusia 


15 tahun keatas. Tahapan diawali dari identifikasi faktor risiko hingga diagnosis dan tata laksana yang 


dalam salah satu prosesnya menggunakan tabel prediksi risiko PTM. Sedangkan dalam kaitan dengan 


tatalaksana penyakit yang bersifat spesifik, PANDU PTM tetap mengacu pada pedoman tata laksana 


penyakit yang berlaku. 


Untuk memperkuat pelaksanaan PANDU PTM di daerah, Kementerian Kesehatan menetapkan 


indikator Renstra yaitu jumlah kabupaten/kota yang melakukan PANDU PTM di ≥80% Puskesmas. 


Puskesmas PANDU PTM adalah Puskesmas yang melaksanakan pencegahan dan pengendalian 


PTM secara komprehensif dan terintegrasi melalui Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya 


Kesehatan Perorangan (UKP). Kabupaten/Kota dinilai telah menyelenggarakan PANDU PTM bila 80% 


atau lebih Puskesmas telah melakukan PANDU PTM. 


Pada tahun 2023, sebanyak 388 kabupaten/kota atau 94,4% dari 411 total kabupaten/ kota 


yang menjadi target indikator melakukan pelayanan terpadu PTM di ≥80% Puskesmas.. Terdapat 25 


provinsi dari 38 provinsi atau 65,8% memiliki kabupaten/kota dengan jumlah Puskesmas menerapkan 


PANDU PTM >80%, dan sebanyak 18 provinsi memiliki capaian melebihi 100% dari target kabupaten/


kota yang telah ditetapkan. Tiga belas provinsi lainnya (34,2%) dengan capaian <80% dan Provinsi Papua 


Pegunungan tidak memiliki kabupaten/kota dengan jumlah Puskesmas menerapkan PANDU PTM >80% 


dikarenakan belum ada laporan yang dikirimkan melalui Direktorat P2PTM.


2. Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Payudara 


Kanker payudara dan kanker leher rahim merupakan jenis kanker terbanyak di Indonesia. Kedua 


jenis kanker ini memiliki angka kematian yang tinggi yang disebabkan oleh terlambatnya diagnosis dan 


tatalaksana. Hampir 70% pasien kanker dideteksi pada stadium lanjut. Hal ini sangat disayangkan, bila 


kanker leher rahim dapat ditemukan pada tahap sebelum terjadinya kanker (lesi prakanker) dan dapat 


diterapi sehingga tidak menjadi kanker. Kanker payudara bisa dicegah dengan tindakan yang sederhana 


dan efektif yaitu Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) dan Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS), 


bila ditemukan benjolan pada payudara segera diterapi sebelum berkembang menjadi kanker stadium 


lanjut. Oleh karena itu, deteksi dini merupakan hal yang penting dalam menurunkan angka kesakitan, 


angka kematian, meningkatkan kesintasan dan mengurangi beban pembiayaan akibat penyakit kanker.

Program deteksi dini kanker leher rahim di Indonesia dilakukan dengan metode Inspeksi Visual 


Asam Asetat (IVA) dan deteksi dini kanker payudara dilakukan dengan metode SADANIS di FKTP, yaitu 


pemeriksaan klinis payudara yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Untuk di RS atau FKTRL 


dilakukan dengan menggunakan Ultrasonografi (USG) atau mammografi.


Pada kurun waktu 2021-2023, sebanyak 3.114.505 perempuan usia 30-50 tahun atau 14,6% 


dari sasaran telah menjalani deteksi dini kanker leher rahim dengan metode IVA. Deteksi dini tertinggi 


dilaporkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 52,1%, diikuti oleh DKI Jakarta sebesar 32,4%, 


dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 28,7%. Sedangkan, provinsi dengan cakupan deteksi dini 


terendah yaitu Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Pegunungan Pada kurun waktu 2021-2023, sebanyak 2.277.470 perempuan usia 30-50 tahun atau 13,7% 


dari sasaran telah melakukan deteksi dini kanker payudara dengan pemeriksaan SADANIS. SADANIS 


tertinggi dilaporkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 36,4%, diikuti oleh Sumatera Selatan 


sebesar 32,9%, dan Lampung sebesar 32,5%. Sedangkan, provinsi dengan cakupan deteksi dini terendah 


yaitu Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Pegunungan. 


Provinsi dengan cakupan deteksi dini yang rendah dikhawatirkan akan mengalami peningkatan 


angka kesakitan dan kematian akibat kanker leher rahim dan payudara. Oleh karena itu diperlukan 


upaya untuk meningkatkan cakupan deteksi dini di wilayah dengan cakupan yang masih rendahPada tahun 2023, hasil pemeriksaan IVA positif sebanyak 31.236 (1%) dan yang dicurigai kanker 


leher rahim sebanyak 324 (0,01%) dari 3.114.505 perempuan usia 30-50 tahun yang telah dilakukan 


deteksi dini kanker leher rahim.

Pada tahun 2023, dari 2.277.407 perempuan usia 30-50 tahun yang telah dilakukan deteksi 


dini kanker payudara sebanyak 2.762 (0,12%) ditemukan benjolan dan sebanyak 1.142 (0,05%) yang 


dicurigai kanker payudara.


 P

3. Pengendalian Konsumsi Tembakau 


Perilaku merokok merupakan salah satu faktor risiko yang diintervensi pada pengendalian 


penyakit tidak menular. Salah satu upaya melindungi masyarakat dari paparan asap rokok yaitu melalui 


pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dengan mendorong terbentuknya peraturan dan kebijakan 


daerah serta implementasinya. Dengan indikator ini diharapkan dapat mendorong terciptanya manusia 


Indonesia yang sehat, bebas dari paparan asap rokok, berkualitas, dan produktif.


Untuk memperkuat implementasi KTR, Kementerian Kesehatan telah menetapkan indikator 


Renstra yaitu jumlah kabupaten/kota yang menerapkan KTR. Indikator ini dihitung berdasarkan 


jumlah kumulatif kabupaten/kota memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan/atau 


terdapat lebih dari 40% tatanan yang memenuhi indikator penerapan KTR (3 dari 7 tatanan). Sebanyak 


458 kabupaten/kota (89,1%) telah menerapkan KTR sampai dengan tahun 2023. Jumlah tersebut 


menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 340 kabupaten/kota.Provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya telah menerapkan KTR meningkat, 4 provinsi di tahun 


2022 menjadi 20 provinsi di tahun 2023. Tiga provinsi yang masih memiliki persentase kabupaten/kota 


menerapkan KTR kurang dari 50% yaitu Papua, Papua Pegunungan dan Papua Tengah. 


Selain penerapan KTR, pemerintah mengembangkan inovasi berupa layanan Upaya Berhenti 


Merokok (UBM). Layanan ini merupakan upaya promotif, preventif dan tatalaksana pengendalian 


konsumsi rokok dengan membantu masyarakat untuk berhenti merokok dari gejala putus nikotin 


yang dilaksanakan di FKTP, salah satunya di Puskesmas. Puskesmas layanan UBM adalah Puskesmas 


yang melaksanakan layanan konseling UBM. Strategi ini ditempuh untuk menurunkan prevalensi 


perokok usia 10-18 tahun. Diharapkan, kabupaten/kota di Indonesia menyelenggarakan layanan 


UBM di ≥40% Puskesmas.

Pada tahun 2023, jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan layanan UBM di ≥40% Puskesmas 


ada sebanyak 267 meningkat dari tahun 2022. Empat provinsi sudah mencapai 100 kabupaten/kota 


yang melaksanakan layanan UBM di ≥40% Puskesmas, yaitu Gorontalo, Banten, DI Yogyakarta dan DKI 


Jakarta. Namun empat provinsi belum melaksanakan layanan UBM atau tidak melaporkan kegiatan 


yaitu Papua, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan.


4. Deteksi Dini Gangguan Indera


Upaya penanggulangan gangguan indera dilaksanakan dengan mengutamakan upaya promotif 


dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Sejalan dengan enam pilar transformasi 


sistem kesehatan, khususnya untuk mewujudkan transformasi layanan primer pada pengendalian 


penyakit tidak menular, maka upaya deteksi dini gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran 


merupakan program utama dalam rangka penemuan kasus secara dini. Upaya ini dilakukan agar kasus 


yang ditemukan segera mendapatkan intervensi atau penanganan dini untuk menekan angka kesakitan, 


kematian dan disabilitas akibat gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran. 


Sasaran program mengacu pada siklus hidup dan pendekatan keluarga, sehingga pelaksanaan 


deteksi dini dilakukan terintegrasi dan berkolaborasi dengan berbagai lintas program dan lintas sektor 


terkait. Di era desentralisasi, deteksi dini gangguan indera diharapkan dapat dipenuhi oleh pemerintah 


kabupaten/kota untuk memenuhi kebutuhan warganya.


Deteksi dini gangguan indera adalah kegiatan deteksi dini gangguan penglihatan dan atau 


gangguan pendengaran merupakan salah satu skrining yang masuk dalam skrining PTM prioritas 


. Sasaran yang diharapkan adalah pada kelompok usia 7-15 tahun dan >15 tahun. Data deteksi dini 


ganguan indera diperoleh dari pencatatan dan pelaporan pada pelayanan kesehatan maupun dari 


kegiatan pengelola program di Kemenkes dan lintas sektor, yang saat ini dilakukan secara sistem 


melalui Aplikasi Sehat Indonesia-Ku (ASIK) dan Sistem Informasi Penyakit Tidak Menular (SIPTM) secara 


terintegrasi. 


Pada tahun 2023 hampir seluruh kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini gangguan indera 


pada sasaran usia 7-15 tahun dan >15 tahun dengan capaian sebesar 26,3%. Capaian ini masih jauh 


dari target yang diharapkan yaitu 70% dari sasaran deteksi dini. Pada tahun 2023, hanya ada 2 provinsi yang mencapai target skrining PTM prioritas dalam hal 


ini deteksi dini gangguan indera yakni target 70% sasaran pada kelompok usia 7-15 tahun dan >15 


tahun yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (78,9%) dan DKI Jakarta (72,3%). Untuk 3 provinsi lainnya 


sudah cukup baik cakupannya yaitu Provinsi Gorontalo (52%), Jawa Timur )45%) dan Banten (39%). 


Untuk 33 provinsi lainnya masih jauh dari target yang diharapkan. Adapun 5 provinsi dengan capaian 


paling rendah yaitu Papua Pegunungan (0,1%), Papua Selatan (1,3%), Papua Tengah (2,0%), Papua 


(4%) dan DI Yogyakarta (4,4%). Beberapa provinsi tersebut membutuhkan intervensi dari pemerintah 


pusat maupun daerah agar pada tahun-tahun berikutnya kegiatan deteksi dini gangguan indera dapat 


ditingkatkan pelaksanaannya.

5. Deteksi Dini Obesitas


Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidak seimbangan asupan 


energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama (WHO, 


2000). Obesitas telah menjadi masalah global yang berdampak pada 2 milyar penduduk dunia dan 


mengancam kesehatan masyarakat termasuk di Indonesia. Pada tahun 2030 diperkirakan 1 dari 


5 wanita dan 1 dari 7 pria akan hidup dengan obesitas (setara dengan lebih dari 1 miliar orang di 


seluruh dunia. Prevalensi obesitas global lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki dan jumlah 


terbesar orang dengan obesitas berada di negara berkembang, di mana beban ganda malnutrisi terus 


berlanjut dan sistem sangat kurang siap dan tidak dilengkapi dengan baik untuk mengatasi obesitas 


dan konsekuensinya secara efektif.


Secara global, lebih dari 160 juta tahun kehidupan sehat yang hilang disebabkan oleh IMT yang 


tinggi pada tahun 2019, dan angkanya kemungkinan akan lebih tinggi setiap tahun. Ini berarti lebih 


dari 20% dari semua tahun kehidupan sehat yang hilang yang disebabkan oleh kesehatan kronis yang 


dapat dicegah. Jika kita ingin mengatasi PTM yang dapat dicegah, maka keberhasilan dalam mengatasi 


obesitas sangat penting. Di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terjadi peningkatan obesitas yang 


cukup signifikan, dari 10,5% di tahun 2007 menjadi 21,8% di tahun 2018. Obesitas menjadi faktor risiko 


terjadinya penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, jantung, kanker, hipertensi dan penyakit 


metabolik maupun non metabolik lainnya serta berkontribusi pada penyebab kematian akibat penyakit 


kardiovaskular (5,87% dari total kematian), penyakit diabetes dan ginjal (1,84% dari total kematian).


Berdasarkan data-data tersebut, maka upaya pengendalian obesitas menjadi sangat strategis 


dalam mencegah terjadinya penyakit tidak menular (PTM) pada masyarakat di Indonesia. Salah satu 


upaya mengendalikan peningkatan prevalensi obesitas adalah dengan melakukan deteksi dini faktor 


risiko PTM melalui upaya-upaya kolaboratif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk 


kementerian/Lembaga, TNI dan POLRI, institusi Pendidikan dan pihak swasta. Direktorat Jenderal 


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menyusun strategi untuk menemukan faktor risiko 


obesitas dengan melakukan deteksi dini faktor risiko PTM secara masif di 514 Kabupaten/Kota sebagai 


indikator kinerja program tahun 2022-2024, yaitu Jumlah kabupaten/kota yang melakukan deteksi 


dini faktor risiko PTM dengan cara penghitungan berdaarkan jumlah kumulatif kabupaten/kota yang 


melakukan deteksi dini faktor risiko PTM. Pada tahun 2023, indikator tersebut ditargetkan mencapai 514 


kab/kota di Indonesia yang akan dipantau melalui Aplikasi Sehat Indonesia ku (ASIK) yang terintegrasi 


dengan Sistem Informasi PTM.


Definisi Operasional Indikator prevalensi obesitas pada penduduk usia ≥ 18 tahun adalah kasus 


obesitas pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan kategori IMT > 27 pada periode tertentu. Indikator ini 


dihitung dari jumlah penduduk usia ≥ 18 tahun dengan IMT >27 dibagi dengan total peduduk usia ≥ 18 


tahun di kali 100 persen, pada periode tertentu.


Obesitas merupakan penyakit, sekaligus merupakan salah satu faktor risiko penyakit tidak 


menular lain yang mendorong munculnya faktor metabolik (penyakit jantung, diabetes, kanker, 


hipertensi, dislipidemia). Prevalensi obesitas (Indeks Masa Tubuh (IMT) ≥ 27) meningkat dari 15,4% 


pada tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018. Hal ini sejalan dengan peningkatan proporsi 


obesitas sentral dari 26,6% di tahun 2013 menjadi 31% di tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Berdasarkan 


data tersebut maka target yang ditetapkan sebagai baseline data tahun 2023 sebagai target indikator 


sebesar 21,8%. 


Sasaran penduduk untuk program deteksi dini obesitas adalah 70% dari sasaran penduduk

usia ≥18 tahun. Pada tahun 2023, persentase penduduk usia ≥18 tahun yang telah dilakukan deteksi 


dini obesitas di Indonesia sebesar 48,8% atau sekitar 68.161.703 orang. Provinsi persentase tertinggi 


penduduk usia ≥18 tahun yang melaksanakan deteksi dini obesitas adalah Gorontalo, Nusa Tenggara 


Barat, dan DKI Jakarta dengan persentase lebih dari 100%, artinya sudah melebihi target 70% sasaran 


yang ditetapkan. Provinsi dengan persentase terendah adalah Papua Pegunungan (0,2%Dari hasil deteksi dini, diketahui bahwa proporsi penduduk usia ≥18 tahun yang obesitasi di 


Indonesia pada tahun 2023 adalah 12,2%. Provinsi dengan proporsi terendah penduduk usia ≥18 tahun 


yang obesitas adalah Nusa Tenggara Timur (5,3%), sedangkan provinsi dengan proporsi tertinggi adalah 


Papua Selatan (22,2%), Papua (21,6%), dan Papua Tengah (21,2%).

E. KESEHATAN JIWA DAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT 


ADIKTIF LAINNYA (NAPZA)


Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, 


mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi 


tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontibusi untuk komunitasnya (UU 


Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Kesehatan jiwa mempunyai peran yang penting dalam 


membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing untuk mewujudkan masyarakat 


Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur sesuai dengan sasaran pembangunan jangka menengah 


252 2020-2024.


Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA), yang apabila digunakan dalam 


jangka waktu yang lama dapat menimbulkan ketergantungan yang ditandai antara lain dengan dosis 


penggunaan yang semakin besar, kesulitan mengontrol keinginan untuk menggunakan NAPZA, muncul 


gejala putus zat jika penggunaan dihentikan, hingga tetap menggunakan NAPZA meskipun mengetahui 


dampak buruknya. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, 


baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, 


hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, 


yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun 


sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat 


yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sementara zat adiktif adalah 


obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup, maka dapat menyebabkan 


kerja biologis serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin 


menggunakannya secara terus-menerus. 


1. Pelayanan Kesehatan Jiwa


Upaya pelayanan kesehatan jiwa dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan 


rehabilitatif. 


a. Jumlah Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Deteksi Dini Kesehatan Jiwa 


Deteksi dini merupakan langkah awal yang penting untuk menyaring antara individu yang sehat 


dengan individu yang memiliki indikasi terhadap permasalahan kesehatan jiwa pada populasi. Semakin 


cepat suatu penyakit terdeteksi, dalam hal ini gangguan jiwa, akan semakin cepat proses diagnosis 


dan semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan pertolongan. Dengan begitu diharapkan 


dapat mencegah dan/ atau memperlambat proses perjalanan penyakit sehingga terjadinya hendaya 


(abnormalitas fungsi seseorang yang dikaitkan dengan perilaku) dan disabilitas dapat dicegah. Skrining 


kesehatan jiwa dilakukan agar penduduk yang mengalami masalah kesehatan jiwa dapat ditemukan 


dan mendapat layanan preventif dan/atau layanan tindak lanjut lainnya lebih dini. Penduduk dengan 


kondisi sehat jiwa dapat diupayakan tetap sehat dengan mendapat upaya promosi kesehatan jiwa.


Program skrining kesehatan jiwa saat ini difokuskan pada penduduk berisiko masalah kesehatan 


jiwa mulai usia 15 tahun ke atas. Pada program ini menggunakan tiga jenis instrumen skrining. Pada 


kelompok usia 15-18 tahun skrining menggunakan instrumen Strength and Difficulties Questionnaire 


(SDQ), pada kelompok usia > 18 tahun dengan menggunakan instrumen Self Reporting Questionnaire 


20 (SRQ-20), dan skrining penyalahgunaan NAPZA pada kelompok usia mulai 15 tahun ke atas dengan 


menggunakan instrumen Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test (ASSIST).


Penyelenggaraan skrining kesehatan jiwa ini dilaksanakan berbasis masyarakat, berbasis institusi dan 


berbasis Fasilitas Layanan Kesehatan Primer (FKTP). 


Berdasarkan agenda konfirmasi data kesehatan jiwa yang dilakukan pada tahun 2023, dari 


pelaporan data deteksi dini daerah diketahui masih terdapat kabupaten/kota yang belum menjalankan 


program skrining. Kategori Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Deteksi Dini Kesehatan Jiwa adalah 


kabupaten/kota yang telah menerapkan deteksi dini dengan menggunakan instrumen yaitu SDQ atau 


SRQ-20, atau ASSIST dan melaporkan data tersebut pada Sistem Informasi Kesehatan Jiwa.

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa dari 38 provinsi, terdapat 36 provinsi yang dapat 


melaporkan data pelaksanaan deteksi dini kesehatan jiwa/NAPZA, adapun 2 provinsi yang tidak dapat 


melaporkan pelaksanaan kegiatan deteksi dini adalah Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Selatan. 


Kedua provinsi ini merupakan provinsi baru di tahun 2023, sehingga besar kemungkinan bahwa 


pelaksanaan kegiatannya masih bergantung dari provinsi induk sebelumnya yakni Papua dikarenakan 


keterbatasan SDM pelaksana.


Secara nasional, persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini kesehatan jiwa/ 


NAPZA mencapai 94,4%. Dari 36 provinsi, terdapat 28 provinsi yang sudah melaksanakan deteksi 


dini kesehatan jiwa dan NAPZA 100%; 6 provinsi diantaranya 70-94% dan 2 provinsi diantaranya 50% 


kebawah (Provinsi Papua Barat Daya dan Provinsi Papua Tengah). 



b. Persentase Penduduk Usia ≥ 15 Tahun dengan Risiko Masalah Jiwa yang Mendapatkan 


Skrining


Persentase penduduk usia ≥ 15 Tahun dengan risiko masalah jiwa yang mendapatkan skrining 


adalah persentase penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah kesehatan jiwa yang mendapatkan 


layanan skrining dengan menggunakan instrument SDQ (untuk usia 15-18 tahun) dan/atau SRQ-


20 (usia diatas 18 tahun) dan/atau ASSIST (bagi kelompok sasaran yang memiliki kecenderungan 


penyalahguna NAPZA). 


Berdasarkan Permenkes 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 21 Tahun 


2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024, skrining dapat dilaksanakan 


oleh tenaga kesehatan dan/atau kader kesehatan dan/atau guru terlatih pada kelompok berisiko 


berdasarkan siklus hidup dalam kurun waktu 1 tahun. Kelompok berisiko masalah kesehatan jiwa 


berdasarkan siklus hidup yang menjadi sasaran program antara lain: remaja (siswa baru dan Tingkat 


akhir SMP dan SMA; santri remaja dengan disabilitas; korban tindak kekerasan; korban dan penyintas 


bencana alam); dewasa (mahasiswa baru dan tingkat akhir perguruan tinggi; ibu hamil dan post partum; 


ibu dengan anak balita; orang tua tunggal; pekerja migran; keluarga/pendamping ODGJ; pendamping 


lansia; warga binaan di lapas; pekerja dengan sistem shift; lansia yang hidup sendiri/hanya dengan 


pasangannya; lansia yang membutuhkan perawatan jangka panjang; penghuni panti sosial; dan pasien 


dengan penyakit kronis.


Persentase penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah jiwa yang mendapatkan skrining 


diperoleh dengan melihat perbandingan antara penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah jiwa 


yang mendapatkan skrining, dengan estimasi penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah kesehatan 


jiwa. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, target penduduk dengan 


risiko masalah kesehatan jiwa pada tahun 2023 sebesar 60% dari angka sasaran penduduk. 


Pada gambar 6.72, persentase penduduk di Indonesia usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah 


kesehatan jiwa yang mendapatkan skrining adalah sebesar 16,4%, artinya bahwa dari target skrining 


baru 27,3%. Meskipun angka capaian secara nasional maupun per provinsi masih jauh dari target yang 


sudah ditetapkan Kementerian Kesehatan yaitu sebesar 60%, namun angka capaian ini meningkat 


dibandingkan dengan capaian di tahun 2022 yakni 10,1%. 


Dari 38 provinsi, hanya tiga provinsi (Bangka Belitung, Banten dan Sulawesi Selatan) yang 


capaiannya mendekati target program. Adapun provinsi lainnya masih jauh dari target. Tingkat capaian 


paling rendah didapati pada seluruh wilayah pemekaranan Provinsi Papua-Papua Barat dengan 2 dari 6 


provinsi diantaranya yakni Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Selatan tidak dapat melaporkan data 


pelaksanaan skrining.


Berdasarkan data SKI 2023, prevalensi masalah kesehatan jiwa dalam satu bulan terakhir 


pada penduduk umur ≥ 15 tahun di Indonesia adalah sebesar 2,0%. Angka prevalensi tertinggi terjadi 


pada kelompok umur 15-24 tahun, jenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan tidak/belum pernah 


sekolah, tidak bekerja, tempat tinggal di perkotaan, dan status ekonomi terbawah. 


Menurut SKI 2023, angka prevalensi pada provinsi dengan capaian terendah secara berturut￾turut: Provinsi Papua Pegunungan sebesar 3,0%; Provinsi Papua Tengah sebesar 2,9%; Papua Barat 


Daya sebesar 2,1%; Papua Barat sebesar 1,6%; dan Papua Selatan sebesar 1,3%. Berdasarkan data 


tersebut, terlihat bahwa Provinsi Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Barat Daya memiliki 


prevalensi yang melebihi angka nasional. Dengan tingkat capaian kegiatan skrining di Indonesia sebesar 


16,4 %, maka kemungkinan 83,6% kasus masalah kesehatan jiwa yang belum dapat ditemukan lebih 


awal untuk dilakukan upaya tindak lanjut agar kondisi tidak bertambah buruk.Beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pencapaian target adalah:


1. Kesehatan jiwa di daerah belum dianggap prioritas sehingga dukungan pemangku kepentingan di 


daerah dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan skrining kesehatan jiwa belum optimal


2. Masih kurangnya pemahaman petugas dalam pelaporan data rutin yang dilakukan melalui 


Sistem Informasi Kesehatan Jiwa sehingga ada beberapa kabupaten/kota yang belum optimal 


melaporkan hasil kegiatan skrining


3. Keterbatasan kuantitas dan kualitas petugas kesehatan jiwa di Puskesmas dalam menyelenggarakan 


skrining kesehatan jiwa dan melakukan intervensi hasil skrining kesehatan jiwa


4. Belum meluasnya cakupan pelaksanaan skrining (belum menjangkau seluruh masyarakat)


5. Masih adanya stigma di masyarakat, menyebabkan masyarakat tidak melakukan skrining 


kesehatan jiwa untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwanya


c. Persentase Penyandang Gangguan Jiwa yang Memperoleh Layanan di Fasyankes


Pelayanan kesehatan jiwa pada penyandang gangguan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan 


merupakan salah satu kegiatan dalam upaya meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat, kinerjanya 


diukur dengan indikator persentase penyandang gangguan jiwa yang memperoleh layanan di Fasyankes 


(Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Direktorat Kesehatan Jiwa Tahun 2023, 2023). 


Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom atau pola perilaku, 


atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan 


suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/ disability) di dalam satu atau lebih fungsi 


penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi 


perilaku, psikis, atau biologis, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara 


orang itu dengan masyarakat. 


Persentase penyandang gangguan jiwa yang memperoleh layanan di fasyankes adalah 


persentase penyandang gangguan depresi, ansietas, dan skizofrenia yang memperoleh layanan di 


fasyankes dengan kriteria: sesuai dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi 


III (1981) Nakes (UU No. 36 Tahun 2014) tentang tenaga kesehatan terlatih membuat pencatatan dan 


pelaporan. Jumlah sasaran merupakan estimasi yang diperoleh berdasarkan proyeksi jumlah penduduk 


sasaran program pembangunan kesehatan tahun 2023 , dan diperoleh target sebanyak 606.903 jiwa.


Data persentase penyandang gangguan jiwa yang memperoleh layanan di fasyankes seperti 


yang dapat dilihat pada gambar 6.73 diperoleh dari laporan Puskesmas yang ada di Indonesia pada 


Sistem Informasi Kesehatan Jiwa. Berdasarkan data tersebut, proporsi penyandang gangguan jiwa 


yang memperoleh layanan di Fasyankes pada tahun 2023 adalah sebesar 32,7% dari target sebesar 


60%. Angka capaian pada tahun 2023 terlihat meningkat daripada capaian pada tahun 2022 (26,9% 


dari target sebesar 30%), namun apabila dilihat proporsi antara capaian dengan target maka dapat 


disimpulkan bahwa capaian pada tahun 2022 lebih tinggi daripada capaian di tahun 2023.

Tantangan pelaksanaan program ini dinilai cukup kompleks dimulai dari kesenjangan pengobatan 


hingga data kasus gangguan jiwa yang dilaporkan pada sistem informasi kesehatan jiwa. Kesenjangan 


pengobatan (treatment gap) merepresentasikan perbedaan besaran prevalensi penyakit dengan 


proporsi individu sakit yang mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan. Kesenjangan ini dapat 


dilatarbelakangi oleh faktor predisposisi, faktor ketersediaan fasilitas, sarana, dan akses, dan faktor 


pendorong dari lingkungan sosial. Kompleksitas faktor yang menjadi kausalitas kesenjangan dapat 


diatasi dengan menerapkan strategi yang tepat. Ketepatan ini dapat dihubungkan dengan data sebagai 


basis bukti ilmiah. Namun, dalam praktiknya masih terdapat fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) 


yang tidak melaporkan kasus gangguan jiwa pada sistem informasi. Maka dari itu, peningkatan akses 


pelayanan kesehatan jiwa untuk menurunkan kesenjangan pengobatan gangguan jiwa dan peningkatan 


pelaporan data oleh petugas menjadi tuntutan yang perlu dipenuhi oleh fasilitas kesehatan di seluruh 


wilayah Indonesia guna menghasilkan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif dan berkelanjutan


d. Persentase Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Berat yang Mendapatkan Layanan


Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, 


perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan/atau perubahan 


perilaku bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi 


sebagai manusia dan terdiagnosis sebagai gangguan jiwa sesuai kriteria diagnosis yang ditetapkan. 


Lebih detail, ODGJ berat adalah orang yang mendapatkan diagnosis oleh psikiater, dokter, psikolog 


klinis sebagai penderita Skizofrenia atau Psikosis Akut dan harus mendapat layanan dan penanganan di 


fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, RSU dengan layanan Kesehatan Jiwa, RSJ). Gejala khas 


psikosis/skizofrenia berupa adanya waham atau halusinasi yang menetap selama satu bulan atau lebih, 


disertai perilaku aneh seperti katatonik atau agresivitas, serta gejala negatif yang berdampak signifikan 


kepada kualitas hidup keseluruhan.


ODGJ memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Undang-Undang, diantaranya untuk mendapatkan 


pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau dan sesuai dengan 


standar pelayanan kesehatan. ODGJ berat mendapat pelayanan sesuai standar di fasilitas pelayanan 


kesehatan, berupa pemeriksaan kesehatan jiwa (wawancara psikiatrik dan pemeriksaan status mental), 


mendapatkan informasi dan edukasi, serta tatalaksana pengobatan dan atau melakukan rujukan bila 


diperlukan. 


Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka prevalensi rumah tangga 


dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis adalah sebesar 6,7 permil. Angka ini menunjukkan 


bahwa per 1000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang memiliki Anggota Rumah Tangga (ART) 


yang mengidap gangguan jiwa skizofrenia/psikosis. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia 


Tahun 2023, proporsi rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa psikosis/skizofrenia 


yang pernah dipasung sebesar 6,6%, proporsi rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan 


jiwa psikosis/skizofrenia yang berobat 1 bulan terakhir dan berobat rutin 1 bulan terakhir di fasilitas 


kesehatan sebesar 55,9%


Berdasarkan laporan dari dinas kesehatan tahun 2022 Persentase ODGJ berat per mil yang 


memperoleh layanan di fasyankes sebesar 88,1%. Dari 34 provinsi yang melaporkan, capaian yang 


diatas 100% sebanyak 8 provinsi yaitu Provinsi Aceh, Kepri, Jambi, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, 


DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 2023, target sasaran program 


sebesar 90% dari estimasi sasaran ODGJ berat sebanyak 491.958 jiwa. Capaian ODGJ berat yang 


memperoleh layanan di fasyankes sebesar 105,2%. Rata-rata angka capaian per provinsi sudah berada 


diatas 50%. Empat provinsi dengan angka capaian dibawah 50% berada di Papua yaitu Provinsi Papua 


Barat Daya (28,6%), Papua Barat (24,3%), Papua Tengah (19,7%), dan terendah ada di Provinsi Papua 


Pegunungan sebesar 0,34%.


2. Penyalahguna Napza yang Mendapatkan Pelayanan Rehabilitasi Medis 


 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 menjamin hak dan mengatur 


kewajiban penyalahguna dan pecandu narkotika untuk mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan 


sosial. Rehabilitasi medis pada penyalahguna NAPZA merupakan suatu proses kegiatan pengobatan 


secara terpadu untuk membebaskan pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahguna Narkotika 


dari ketergantungan Narkotika. Pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahguna narkotika wajib 


menjalani rehabilitasi medis yang didahului dengan proses wajib lapor.

Wajib lapor merupakan suatu kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu Narkotika 


yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan /atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang 


belum cukup umur kepada institusi penerima Wajib Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau 


perawatan melalui rehabilitasi medis. Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk adalah 


Pusat Kesehatan Masyarakat, rumah sakit dan lembaga rehabilitasi medis berupa klinik pratama, 


klinik utama, atau lembaga lain yang melaksanakan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna, 


dan korban penyalahgunaan Narkotika. Di Indonesia, ada sebanyak 905 IPWL dan fasilitas pelayanan 


kesehatan pengampu dan satelit program terapi rumatan metadona, di 35 provinsi, yang ditetapkan 


melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2020 pada tahun 2023. Provinsi terbaru yaitu Provinsi 


Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya, belum memiliki IPWL dan fasiitas pelayanan 


kesehatan pengampu dan satelit program terapi rumatan metadona.


Penyalahguna NAPZA yang mendapatkan pelayanan rehabilitasi medis berasal dari penyalahguna 


yang datang secara sukarela dan/atau pembantaran, dan/atau kasus putusan pengadilan dan/atau 


mendapatkan rehabilitasi medis rawat jalan dan/atau rawat inap di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).


Metode penemuan kasus penyalahguna NAPZA dilakukan dengan menggunakan metode 


ASSIST. ASSIST, yang dikeluarkan oleh WHO, merupakan instrumen yang dirancang secara khusus untuk 


digunakan secara internasional pada pusat layanan kesehatan primer. Pelaksanaan skrining dengan 


menggunakan metode ASSIST dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dalam melaksanakan kegiatan deteksi 


dini penyalahgunaan NAPZA dengan instrumen ASSIST perlu dilakukan kegiatan pelatihan atau orientasi 


untuk meningkatkan kapasitas bagi tenaga kesehatan di puskesmas, guru Bimbingan Konseling di 


sekolah, serta unit kepegawaian (Human Resources Department/ HRD). Upaya lanjutan dilakukan 


terhadap hasil deteksi dini ASSIST dengan intervensi singkat melalui diskusi sederhana dan singkat 


dengan pasien mengenai skor ASSIST dan intervensi lanjutan. Pada upaya deteksi dini penyalahgunaan 


NAPZA dilakukan juga pemeriksaan dengan menggunakan metode rapid test urine untuk mengetahui 


kandungan narkotika; memberikan edukasi kepada masyarakat; meningkatkan kepedulian dan 


kewaspadaan masyarakat terhadap penyalahgunaan narkotika; mewujudkan masyarakat yang bersih 


dari penyalahgunaan narkotika; dan mendorong masyarakat yang berorientasi pada lingkungan 


bersih dari penyalahgunaan narkotika. (Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, 2023). Deteksi dini 


penyalahgunaan NAPZA dapat dilakukan pada kelompok berisiko. Kegiatan yang dilakukan melalui 


kerjasama dengan sekolah dan tempat kerja, deteksi dini penyalahgunaan NAPZA menggunakan ASSIST, 


dan membuka layanan deteksi dini NAPZA. 


Pada tahun 2022, target sasaran penyalahguna NAPZA yang mendapat layanan rehabilitasi 


medis adalah sebanyak 10.500 orang. Dari target tersebut, ada sebanyak 10.826 orang penyalahguna 


NAPZA yang mendapat layanan rehabilitasi medis di 34 provinsi. Pada tahun 2023 terdapat pemekaran 


wilayah di Indonesia, ada satu klinik di Provinsi Papua Tengah yang dijadikan sebagai IPWL dan pelayanan 


kesehatan pengampu dan satelit program terapi rumatan metadona. Pada tahun 2023, target sasaran 


naik menjadi 11.000 orang dan diperoleh capaian sebanyak 13.472 (122,5%) orang penyalahguna NAPZA 


yang mendapat rehabilitasi medis. Capaian layanan rehabilitasi medis bagi penyalahguna NAPZA pada 


tiga tahun terakhir sudah berada diatas 100%. Angka ini menunjukkan bahwa seluruh penyalahguna 


NAPZA yang berasal dari penyalahguna yang datang secara sukarela dan/atau pembantaran, dan/


atau kasus putusan pengadilan dan/atau telah mendapatkan rehabilitasi medis rawat jalan dan/atau 


rawat inap di IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor). Angka capaian yang melebihi 100% selama tiga 


tahun terakhir, ada kecenderungan penetapan target sasaran masih lebih kecil dari kasus yang terjadi 


di lapangan


F. DAMPAK KESEHATAN AKIBAT BENCANA


Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana 


dikategorikan menjadi bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah 


bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam 


antara lain berupa gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, dan 


tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa non alam antara 


lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan, bencana 


sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh manusia meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar 


komunitas masyarakat dan teror.

Sepanjang tahun 2023 terdapat 347 kejadian berdampak krisis kesehatan di Indonesia. Jumlah 


kejadian berdampak krisis kesehatan tahun 2023 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan 


kejadian tahun 2022, dimana pada tahun 2022 terdapat 392 kejadian berdampak krisis kesehatan. 


Pada tahun 2017 terdapat penyesuaian definisi untuk kejadian berdampak krisis kesehatan pada 


sistem informasi penanggulangan krisis kesehatan, yaitu harus ada pernyataan kedaruratan oleh kepala 


daerah atau jumlah populasi terdampak minimal 50 orang dan terdapat korban/terjadi pengungsian.


Pada tahun 2023 kejadian berdampak krisis kesehatan yang paling sering terjadi di Indonesia 


adalah bencana alam dengan persentase 66,6%, kemudian 32,6% merupakan bencana non alam dan 


0,9% bencana sosial



Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa jumlah kejadian berdampak krisis kesehatan akibat 


bencana alam dengan frekuensi tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan 36 kejadian. Tingginya 


kejadian tersebut banyak disebabkan oleh banjir. Sedangkan bencana non alam dengan frekuensi 


tertinggi terjadi di bulan Oktober dengan 19 kejadian. Tingginya bencana non alam banyak disebabkan 


karena kebakaran. Untuk bencana sosial yang berupa konflik sosial terjadi pada bulan Januari, Februari 


dan September. Secara keseluruhan, frekuensi tertinggi kejadian berdampak krisis kesehatan terjadi 


pada bulan Maret dan terendah pada bulan Agustus.

Dari 347 kejadian bencana yang berdampak krisis kesehatan sepanjang tahun 2023, banjir 


menjadi kejadian bencana alam dengan frekuensi tertinggi 131 kejadian disusul angin puting beliung 


dengan frekuensi 30 kejadian serta banjir dan tanah longsor dengan frekuensi 28 kejadian.


Bencana non alam yang paling sering terjadi di Indonesia pada tahun 2023 yaitu kebakaran 


sebesar 61,1% dari total bencana non alam dan diikuti oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan (25,7%) 


dan kecelakaan transportasi darat (5,3%).


Di antara ketiga jenis bencana, bencana sosial termasuk paling jarang terjadi dibandingkan 


dengan jenis bencana lainnya. Pada tahun 2023 terjadi 3 bencana sosial yang berupa konflik sosial atau 


kerusuhan sosial.


Jumlah kejadian berdampak krisis kesehatan di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 347 


kejadian. Dari 38 provinsi di Indonesia, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang terbanyak 


mengalami kejadian bencana berdampak krisis kesehatan yaitu sebanyak 39 kejadian, diikuti Jawa 


Tengah dan DKI Jakarta dengan 30 kejadian bencana, sedangkan di Provinsi Papua Barat Daya tidak ada 


kejadian bencana berdampak krisis kesehatan.


Kejadian krisis Kesehatan pada tahun 2023 yang menimbulkan korban terbanyak disebabkan 


oleh bencana alam dengan jumlah korban meninggal sebanyak 144 orang (67,9%), korban luka berat/


rawat inap sebanyak 66 orang (6,8%), korban luka ringan/rawat jalan sebanyak 20.567 orang (81,8%) 


dan korban pengungsi sebanyak 101.232 orang (91,6%). 

Sementara untuk bencana non alam jumlah korban meninggal sebanyak 66 orang (31,1%), 


korban luka berat/rawat inap sebanyak 895 orang (92,4%), korban luka ringan/rawat jalan sebanyak 


4.425 orang (17,6%) dan korban pengungsi sebanyak 9.195 orang (8,3%)


Untuk bencana sosial jumlah korban yang ditimbulkan tidak terlalu signifikan karena memang 


frukensi kejadiannya juga rendah. Jumlah korban meninggal akibat bencana sosial sebanyak 2 orang 


(0,9%), korban luka berat/rawat inap sebanyak 8 orang (0,8%), korban luka ringan/rawat jalan sebanyak 


157 orang (0,6%) dan korban pengungsi sebanyak 91 orang (0,1%).


G. PELAYANAN KESEHATAN HAJI


Undang-undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah 


menyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, 


dan perlindungan yang sebaik-baiknya kepada jemaah haji dan umrah agar dapat menunaikan 


ibadahnya sesuai dengan ketentuan syariat ajaran agama Islam, serta mewujudkan kemandirian dan 


ketahanan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Pembinaan, pelayanan dan perlindungan 


yang diberikan kepada jemaah haji, bukan saja dari aspek umum dan ibadah, tetapi juga dari aspek 


kesehatan jemaah haji itu sendiri. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji melingkupi kegiatan yang 


dimulai dari perencanaan, pengorganisasian pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan. 


Dalam rangka menjamin kesiapan jemaah sebelum keberangkatan, diperlukan adanya kesiapan 


baik fisik, mental maupun spiritual. Sejak tahun tahun 2018, penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia 


mulai menerapkan konsep Istitaah yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan 


(Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitaah Kesehatan Jemaah Haji. Permenkes ini membawa 


konsekuensi bahwa penyelenggaraan kesehatan haji mengedepankan pembinaan kesehatan untuk 


memperkuat pelayanan dan perlindungan kesehatan haji. Untuk itu upaya pembinaan sudah harus 


dilakukan sedini mungkin yang diawali dengan pemeriksaan kesehatan awal. Berbagai faktor risiko 


kesehatan dikendalikan melalui pembinaan kesehatan yang berjenjang sampai pada tahap penetapan 


istitaah kesehatan jemaah haji di tingkat kabupaten/kota. 


Penyelenggaraan kesehatan haji di Arab Saudi dilaksanakan oleh Tim Kesehatan Haji Indonesia 


(TKHI) dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Bidang Kesehatan yang terdiri dari Tim 


Asistensi, Tim Manajerial, Tim Kuratif Rehabilitatif (TKR), Tim Promotif Preventif (TPP), Tim Gerak Cepat 


(TGC), serta Tim Pendukung Kesehatan (TPK). PPIH Arab Saudi Bidang Kesehatan dengan paradigma 


penguatan promotif dan preventif tanpa mengesampingkan pelayanan kesehatan kuratif serta pola 


pendekatan deteksi dini kasus kesehatan dan pelayanan respon kegawatdaruratan. Penyelenggaraan 


kesehatan haji dengan konsep tersebut merupakan konsep operasional kesehatan haji yang telah 


dilaksanakan pada tahun 2016 -2019 dan dilaksanakan kembali pada tahun 2023.


Wabah penyakit COVID-19 yang awalnya hanya terjadi di Cina pada Desember 2019, kemudian 


dalam waktu singkat menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, sehingga organisasi kesehatan 


dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan status pandemi COVID-19. Hal itu menyebabkan 


pemerintah Arab Saudi pada tahun 2020 dan 2021 menutup sementara pelaksanaan ibadah haji bagi 


jemaah haji yang berasal dari luar negeri, ibadah haji hanya dibolehkan untuk penduduk yang bermukim 


di wilayah Arab Saudi. Meski demikian, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menyiapkan 


kesehatan dan kebugaran jemaah haji asal Indonesia selama status pandemi tahun 2020-2021 yang 


dilakukan dengan cara pemeriksaan dan pembinaan kesehatan bagi jemaah haji. Namun demikian, 


seiring dengan membaiknya kondisi pandemi pada 2022, maka pemerintah Arab Saudi pada tahun 


2022 mulai menerima jemaah haji yang berasal dari luar negeri, termasuk dari Indonesia.


1. PROFIL JEMAAH HAJI INDONESIA


Pada tahun 2023, pemerintah Indonesia memberangkatkan 209.880 jemaah haji reguler. 


Provinsi dengan jumlah jemaah haji terbanyak juga merupakan provinsi dengan jumlah penduduk 


terbanyak, yaitu Provinsi Jawa Barat dengan 39.330 jemaah, yang diikuti dengan Jawa Timur dengan 


36.578 jemaah, dan Jawa Tengah dengan 31.578 jemaah. Sedangkan provinsi dengan jumlah jemaah 


haji paling sedikit berasal dari Provinsi Kalimantan Utara (465 jemaah), Nusa Tenggara Timur (694 


jemaah), dan Bali (725 jemaah).

Jumlah jemaah haji Indonesia pada tahun 2023 jika dilihat menurut kelompok umur, sebagian 


besar berada pada kelompok umur 50-59 tahun, yaitu sebesar 30,0% dari seluruh jemaah. Kelompok 


umur terbanyak kedua adalah 60-69 tahun sebanyak 28,9%. Sehingga jika dijumlahkan, sebesar 58,9% 


jemaah haji reguler Indonesia yang berangkat pada tahun 2023 berumur diatas 50 tahun. Sebagaimana 


diketahui bahwa kelompok populasi pra-usila (usia lanjut) dan usila merupakan kelompok rentan 


terhadap kejadian kesakitan dan kematian selama penyelenggaran ibadah haji. Hal ini patut menjadi 


perhatian, terlebih bagi pemerintah, PPIH, TKHI, dan juga pihak lain yang terkait.


Jumlah jemaah haji Indonesia pada tahun 2023 jika dilihat berdasarkan kelompok umur, 


sebagian besar berada pada kelompok umur 50-59 tahun, yaitu sebesar 30,0% dari seluruh jemaah. 


Kelompok umur kedua adalah 60-69 tahun sebanyak 28,9%, sehingga jika dijumlahkan sebesar 58,9% 


jumlah jemaah regular Indoneia yang berangkat pada tahun 2023. Sebagaimana diketahui bahwa 


kelompok populasi pra lansia (lanjut usia) dan lansia merupakan kelompok rentan terhadap kejadian 


kesakitan dan kematian selama penyelenggaran ibadah haji. Hal ini patut menjadi perhatian, terlebih 


bagi pemerintah, PPIH, TKHI, dan juga pihak lain yang terkait


Dari 209.880 jemaah haji Indonesia di tahun 2023, sebesar 55,3% diantaranya atau sebanyak 


116.137 jemaah berjenis kelamin perempuan. Sedangkan 44,7% nya atau sebanyak 93.743 jemaah 


merupakan jemaah laki-laki. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah jemaah haji perempuan 


22.394 lebih banyak daripada jumlah jemaah haji. Hal tersebut memberikan tantangan kepada 


pemerintah sebagai penyelenggara haji untuk dapat lebih memperhatikan fasilitas/pelayanan kepada 


para jemaah perempuan

Jika dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan, kelompok Jemaah haji dengan pendidikan 


SD merupakan yang terbanyak yaitu sebesar 32,7% diikuti oleh Jemaah haji dengan Pendidikan SLTA 


sebanyak 24,1%dan Jemaah haji dengan Pendidikan SI sebanyak 21,9%

Berdasarkan jenis pekerjaannya, persentase pekerjaan jemaah haji Indonesia pada tahun 2023 


terbanyak adalah ibu rumah tangga yaitu sebesar 27,6%, kemudian kelompok terbanyak kedua yaitu 


pegawai swasta sebesar 20,6% dan Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Aparatur Sipil Negara (ASN) sebesar 


19,9%. Sedangkan kelompok pekerjaan jemaah haji dengan persentase terendah yaitu TNI/POLRI 


(1,0%), pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (1,5%) dan 


pelajar/mahasiswa (2,0%2. PEMERIKSAAN KESEHATAN JEMAAH HAJI


Indikator penyelenggaraan kesehatan haji adalah persentase jemaah haji yang mendapatkan 


pemeriksaan kesehatan sesuai standar yang diinput kedalam Sistem Komputerisasi Haji Terpadu Bidang 


Kesehatan (Siskohatkes) sebelum operasional haji. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 


Tahun 2016 tentang Istitaah Kesehatan Haji, terdapat tiga tahapan pemeriksaan kesehatan untuk 


jemaah haji. Namun, hal itu tidak berarti bahwa seluruh jemaah haji harus melalui ketiga tahapan 


tersebut. Karena, jika pada pemeriksaan tahap pertama jemaah haji tersebut dinyatakan sehat/tidak 


berisiko tinggi (risti), maka pemeriksaan kesehatan tahap kedua tidak perlu dilakukan. Pemeriksaan 


kesehatan tahap pertama dilaksanakan di Puskesmas, pemeriksaan kesehatan tahap kedua dilaksanakan 


di rumah sakit, dan pemeriksaan tahap ketiga dilaksanakan di asrama haji. Setiap proses pemeriksaan 


dan pembinaan kesehatan jemaah haji menuju istitaah dilakukan oleh tim penyelenggara kesehatan 


haji di kabupaten/kota dan asrama haji.


Pada tahun 2023 Kementerian Kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap 209.880 


jemaah haji dengan capaian pemeriksaan sebesar 98,3%. Secara nasional belum semua provinsi 


dapatmemenuhi target yang sebesar 100%, anamun sebanyak 21 provinsi yang capaian pemeriksaannya 


sudah mencapai nasional. Provinsi dengan persentase pemeriksaan kesehatan terendah ialah Provinsi 


Papua (97,4%), Kalimantan Tengah (97,5%), dan Kalimantan Timur (97,6%). Persentase capaian hasil 


pemeriksaan jemaah haji menurut provinsi dapat dilihat pada grafik berikut. Data dan informasi lebih 


rinci mengenai pemeriksaan kesehatan jemaah haji terdapat pada Lampiran 89.f. Terdapat sekitar 


1,7% jemaah haji tidak melakukan pemeriksaan, hal ini sebabkan adanya kuota yang tidak terpenuhi 


sehingga untuk memenuhi kuota tersebut ditambah

3. KEBUGARAN JEMAAH HAJI


Istitaah kesehatan jemaah haji adalah kemampuan jemaah haji dari aspek kesehatan yang 


meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan 


sehingga jemaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan agama Islam. Pemerintah 


bertanggung jawab terhadap pembinaan istitaah kesehatan haji yang merupakan kegiatan terpadu, 


terencana, terstruktur, dan terukur, diawali dengan pemeriksaan kesehatan pada saat mendaftar 


jemaah haji sampai masa keberangkatan ke Arab Saudi. 


Selain pemeriksaan kesehatan, pemerintah juga melakukan pengukuran kebugaran pada 


jemaah haji yang akan diberangkatkan. Hal ini penting karena kebugaran juga merupakan faktor 


penunjang dalam ibadah haji. Jemaah haji yang kondisi fisiknya bugar diharapkan akan mampu mandiri 


dan memiliki ketahanan yang lebih tinggi dalam menjalankan keseluruhan rangkaian dan perjalanan 


ibadah haji.


Menurut hasil pengukuran kebugaran jemaah haji, sebagian besar atau sebesar 51,0% jemaah 


haji berada dalam kategori kebugaran “cukup” dan sebanyak 30,4% jemaah haji termasuk kategori 


“baik”. Selain itu, persentase jemaah haji yang termasuk dalam kategori kurang sebesar 11,8% dan 


kurang sekali sebesar 3,6%, sehingga jemaah haji yang termasuk kategori sangat baik sebesar 3,3%.Dari 3,3% jemaah haji yang berada dalam kategori kebugaran fisik “sangat baik”, terbanyak 


berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sedangkan provinsi dengan jemaah haji 


yang berada dalam kategori kebugaran fisik “kurang sekali” terendah yaitu Provinsi Sumatera Utara, 


Jambi, Kalimantan Barat, Maluku dan Papua Barat

Melalui implementasi istitaah juga, faktor risiko kesehatan dapat diketahui sejak dini sehingga 


penanganan dapat dilakukan sejak dini. Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan, jemaah haji 


tergolong risti jika memenuhi tiga kriteria, yaitu berusia ≥60 tahun dengan penyakit, berusia <60 tahun 


dengan penyakit, dan berusia >60 tahun tanpa penyakit.


Pada tahun 2022, terlihat bahwa sebagian besar (70,7%) jemaah haji Indonesia merupakan 


jemaah haji risti. Sisanya yaitu sebesar 29,3% merupakan jemaah haji yang tidak termasuk dalam 


kategori risti. Besarnya persentase dan jumlah jemaah haji risti pada tahun 2022 menjadikan 


Kementerian Kesehatan sebagai penyelenggara kesehatan haji harus memberikan perhatian yang lebih 


terhadap pelayanan kesehatan jemaah haji

Sebanyak 28.250 jemaah haji yang berasal dari Provinsi Jawa Barat dikategorikan sebagai 


jemaah haji risiko tinggi. Provinsi kedua dengan jumlah jemaah haji risiko tinggi adalah Provinsi Jawa 


Timur (25.218 jemaah), dan Jawa Tengah (24.256 jemaah). Sebaliknya, Provinsi Kalimantan Utara 


merupakan provinsi dengan jumlah jemaah haji risiko tinggi terendah (315 jemaah), kemudian Nusa 


Tenggara Timur (500 jemaah), dan Bali (447 jemaah)

4. POLA MORBIDITAS DAN MORTALITAS JEMAAH HAJI


Masa operasional pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi dimulai dari pemberangkatan jemaah 


haji atau embarkasi, pra Armuzna, Armuzna, dan pasca Armuzna, berlanjut hingga pengembalian jemaah 


haji ke Indonesia atau ke debarkasi. Armuzna sendiri merupakan singkatan dari Arafah, Muzdalifah, dan 


Mina. Ketiganya merupakan nama tempat yang terkait dengan inti pelaksanaan kewajiban ibadah haji. 


Pada tahun 2022, setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap jemaah haji sebelum 


keberangkatan, diketahui bahwa sepuluh penyakit berisiko tinggi terbanyak yang diderita oleh jemaah 


haji yaitu diantaranya Hypertensive diseases/I10 sebanyak 15.859 kasus, Disorders of lipoprotein 


metabolism and other lipidemias /E78 (8.423 kasus), dan Diabetes Mellitus/E10-14 (6.226 kasus). Jumlah tenaga kesehatan yang ditugaskan didalam setiap kloter terdiri dari tiga orang, yaitu satu 


dokter dan dua perawat. Ketiga orang tenaga kesehatan tersebut bisa melayani 350-400 jemaah haji dalam 


kloternya masing-masing. Tentu saja semakin sering jemaah haji berobat kepada tenaga kesehatan yang 


bertugas, akan semakin panjang waktu yang dibutuhkan oleh tenaga kesehatan untuk dapat melayani 


mereka. Sehingga dirasa penting untuk dapat mengurangi frekuensi berobat jalan para jemaah haji. 


Pada tahun 2022, rata-rata satu jemaah haji Indonesia dapat berobat jalan sebanyak dua kali. 


Provinsi yang jemaahnya paling sering berobat jalan adalah Provinsi DI Yogyakarta, yaitu sebanyak 


empat kali, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 3,5 kali, dan Provinsi DKI Jakarta sebanyak 


tiga kali. Sehingga hal ini sebaiknya menjadi bahan evaluasi dan perhatian bagi pemerintah provinsi/


kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan dan pemeriksaan kesehatan di tanah air sebelum 


keberangkatan jemaah haji. Sebaliknya, tiga provinsi yang jemaah hajinya paling jarang dirawat jalan 


berturut-turut adalah Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur dengan ratio masing￾masing antara 0,5-1 kali.


ecara keseluruhan, jemaah haji Indonesia terbanyak dirawat inap di Kantor Kesehatan Haji 


Indonesia (KKHI) Mekkah, yaitu terbanyak 2066 kasus dengan rincian 542