ia yang standar dan efektif sampai saat ini masih menggunakan Artemicininbased Combination Therapy (ACT) ditambah primakuin. Pengobatan dilakukan pada 24 jam pertama
pasien demam dan obat harus diminum habis. Pemerintah menetapkan target persentase pengobatan
ACT sebesar ≥95%. Pada gambar di atas dapat diketahui hanya sebagian provinsi di Indonesia yang memenuhi
target pengobatan standar ≥95%, yaitu sebanyak 11 provinsi (28%). Selain itu masih terdapat 27
provinsi dengan persentase pengobatan standar kurang dari 95%, dengan 10 Provinsi terendah yaitu DI
Yogyakarta, Jawa Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Sulawesi Barat, Papua Pegunungan,
Papua Barat Daya, Banten, dan Jawa Tengah.
Data dan informasi lebih rinci tentang penyakit Malaria terdapat pada Lampiran 73.a, 73.b, dan 73.c.
5. Filariasis
Filariasis merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan dengan
perantara nyamuk. Cacing Filaria yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk akan
merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum,
menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak
langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk ini dapat berdampak pada penurunan
produktivitas kerja penderita dan beban keluarga. Cacing penyebab Filaria yang tersebar di Indonesia
terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.
Diperkirakan saat ini terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit Filariasis
di dunia. Jumlah tersebut tersebar di lebih dari 83 negara dan 60% kasus tersebut terdapat di Asia
Tenggara. Dalam Pertemuan ke 73 World Health Assembly (WHA) secara Virtual tanggal 12 November
2020, WHO telah meluncurkan Roadmap untuk penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases
/NTDs) tahun 2021−2030. Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia telah mentargetkan eliminasi
filariasis pada tahun 2030.
Di Indonesia, pada tahun 2023 terdapat 7.955 kasus kronis Filariasis yang tersebar di 38
Provinsi. Angka ini terlihat menurun dari data tahun sebelumnya karena dilaporkan beberapa kasus
meninggal dunia dan adanya perubahan diagnosis setelah dilakukan validasi data dan konfirmasi kasus
klinis kronis yang dilaporkan tahun sebelumnya. Grafik berikut menggambarkan kondisi kasus Filariasis
di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.Provinsi dengan kasus kronis Filariasis tertinggi terdapat di wilayah timur Indonesia, yaitu Papua
Selatan sebanyak 1.996 kasus, Nusa Tenggara Timur 1.200 kasus, dan Papua sebanyak 1.023 kasus.
Provinsi dengan kasus Filariasis < 5 kasus yaitu Bali, DI Yogyakarta, Gorontalo dan Kalimantan Utara. Keberhasilan program pengendalian Filariasis dapat diketahui di antaranya dengan melihat
jumlah kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria menjadi < 1%. Indonesia telah
menetapkan 236 kabupaten/kota di 32 provinsi sebagai daerah endemis filariasis. Dengan demikian,
terdapat 6 provinsi yang tidak memiliki kabupaten/kota endemis sehingga provinsi tersebut ditetapkan
sebagai provinsi non-endemis Filariasis. Keenam provinsi tersebut yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Dalam menuju eliminasi filariasis, pemerintah
menetapkan dua program utama yaitu melaksanakan kegiatan Pemberian Obat Pencegahan secara
Massal Filariasis untuk memutus rantai penularan Filariasis pada penduduk di semua Kabupaten/Kota
Endemis Filariasis serta yang kedua adalah tatalaksana kasus kronis filariasis di fasyankesIndikator keberhasilan pengendalian Filariasis yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan
yaitu jumlah kabupaten/kota endemis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria menjadi <1%.
Pada tahun 2023 jumlah kabupaten/kota endemis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria
menjadi <1% sebanyak 208 kabupaten/kota dan belum memenuhi target indikator yaitu 220
kabupaten/kota endemis. Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa persentase kabupaten/kota endemis filaria yang
berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% sebesar 88,14%. Terdapat 22 provinsi yang seluruh
kabupaten/kotanya mencapai 100%.
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dilaksanakan setahun sekali selama lima
tahun berturut-turut dengan cakupan minimal 65%. Seluruh kabupaten/kota endemis Filariasis telah
memulai tahapan POPM filariasis dengan waktu yang berbeda-beda. Pada tahun 2023 sebanyak 26
(11,02%) kabupaten/kota endemis Filariasis masih melaksanakan POPM Filariasis. Sedangkan sisanya
yaitu 210 kabupaten/kota endemis filariasis telah menyelesaikan putaran POPM filariasis selama 5
tahun dan memasuki masa surveilans eliminasi dan pasca eliminasi. Cakupan POPM Filariasis mencerminkan tingginya kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi
memutus rantai penularan Filariasis melalui pemberian obat pencegahan massal. Selama periode
tahun 2014 sampai 2019 tren cakupan penduduk minum obat Filariasis di kabupaten/kota endemis
yang masih melaksanakan POPM Filariasis cenderung meningkat. Namun tahun 2019-2023 cenderung
menurun menjadi 51,7% pada tahun 2023. Dari 26 kabupaten/kota endemis filariasis yang belum
menyelesaikan 5 tahun putaran POPM >65%, sebanyak 20 kabupaten/kota diantaranya berada di
Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Barat dan Papua Barat Daya.
Kondisi geografis serta faktor keamanan menjadi penyebab menurunnya cakupan POPM filariasis pada
tahun 2023.
Pada tahun 2023 sebanyak 13 kabupaten/kota melaksanakan POPM Filariasis menggunakan
obat Diethylcarbamazine (DEC) dan Albendazole (DA) dan sebanyak 13 kabupaten/kota menggunakan
tiga macam kombinasi obat yaitu kombinasi DEC, Albendazole dan Ivermectine (IDA). Terdapat 3
kabupaten di provinsi Papua Pegunungan dan 1 di Provinsi Papua Tengah yang pelaksanaan POPM
dengan kombinasi obat DA tidak melaporkan data cakupan POPM filariasis
6. Rabies
Rabies merupakan penyakit menular disebabkan oleh virus dari golongan Rhabdovirus. Penyakit
ini ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies seperti anjing, kucing, kelelawar, kera, musang dan
serigala. Selain bagi manusia, rabies dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bagi hewan penular
tersebut.
Permasalahan Rabies dapat diketahui melalui kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR),
pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR), dan kasus kematian (LYSSA). Kasus GHPR yang dilaporkan diarahkan
untuk mendapatkan VAR. Kasus GHPR yang mengalami kematian dan ditemukan adanya sero positif
pada hewan penularnya menjadi landasan penentuan daerah rabies.
Sampai dengan tahun 2023 terdapat 12 provinsi yang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas
Rabies, yaitu yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya. Berdasarkan grafik kecenderungan GHPR, VAR dan LYSSA yang disajikan di atas, kasus
GHPR tertinggi dilaporkan pada tahun 2023 sebesar 182.775 kasus. Kasus GHPR pada tahun 2023
menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus VAR yang dilaporkan pada tahun
2023 juga menunjukan peningkatan dibandingkan tahun 2022 yaitu dari 74.888 menjadi 136.696 kasus.
Demikian juga untuk kasus kematian (LYSSA) meningkat dari 96 menjadi 146 kasus.
Pada tahun 2023 Kasus GHPR paling banyak dilaporkan oleh Provinsi Bali sebesar 72.522 kasus,
Nusa Tenggara Timur sebesar 18.924 kasus, dan Sumatera Utara sebesar 10.360 kasus. Kasus GHPR
harus segara mendapatkan tatalaksana, di antaranya dengan pemberian VAR. Berikut ini disajikan
persentase pemberian VAR terhadap kasus GHPR.Capaian pemberian VAR tertinggi yaitu Kalimantan Timur sebesar 99,92%, Sedangkan
Kepulauan Riau memiliki capaian pemberian VAR terendah sebesar 23,53%. Provinsi Bali, NTT dan
Sumatera Utara yang melaporkan kasus GHPR tertinggi masing-masing memiliki persentase 64,87%,
95,53% dan 75,75%. Dengan tingginya kasus GHPR, seharusnya diperlukan capaian pemberian VAR
yang tinggi. Penatalaksanaan kasus yang efektif dan pemberian VAR dapat mencegah kematian
karena Rabies.
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara melaporkan kasus kematian akibat Rabies
lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Jika dilihat berdasarkan proporsi kematian akibat rabies
terhadap kasus GHPR, tertinggi yaitu Provinsi Maluku, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara dengan
masing-masing persentase sebesar 1,29%, 0,41% dan 0,31%. Apabila dibandingkan dengan persentase
VAR terhadap kasus GHPR, Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Nusa
Tenggara Timur memiliki persentase di atas 95%. Kematian akibat rabies diakibatkan keterlambatan
penatalaksanaan kasus dan pemberian VAR.
7. Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan bakteri Leptospira sp. Penyakit ini
ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung antara manusia dengan urine hewan yang
telah terinfeksi bakteri Leptospira. Tingginya biaya pemeriksaan laboratorium dan metode diagnosis
menyebabkan tidak semua kasus dapat terlaporkan.
Pada tahun 2023 ditemukan adanya 2554 kasus Leptospirosis di Indonesia yang dilaporkan
oleh dua belas provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Bali dan Maluku.
Dari sejumlah kasus yang dilaporkan tersebut, terdapat 205 kasus meninggal dengan Case Fatality
Rate (CFR) sebesar 8%.
Kasus Leptospirosis tahun 2023 meningkat dibandingkan tahun 2022 yaitu dari 1.624 kasus
menjadi 2.554 kasus. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kasus di Pulau Jawa dan Kalimantan
khususnya Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan
Kalimantan Timur. Sedangkan CFR menurun dari 9,1 % menjadi 8%. Hal ini dapat disebabkan karena
kecepatan dalam mendeteksi dini dan merespon kasus yang ditemukan.
Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Timur, Kalimantan Utara melaporkan peningkatan kasus. Sedangkan penurunan kasus
terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Kepulauan Riau, Bali dan Maluku pada tahun
2022 tidak ditemukan kasus Leptospirosis dan pada tahun 2023 melaporkan adanya kasus leptospirosis.
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi penyumbang terbesar terhadap seluruh kasus di
Indonesia yaitu masing-masing sebesar 36,6% dan 42,7%.
Kasus dan kematian akibat Leptospirosis memerlukan upaya pengendalian yang selama ini
dilakukan melalui strategi sebagai berikut:
1. Penyediaan NSPK Pengendalian Leptospirosis,
2. Penyediaan media Komunikasi, Informasi dan Edukasi,
3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia baik melalui pelatihan, sosialisasi, orientasi dan
workshop,
4. Penguatan surveilans zoonosis berbasis laboratorium seperti Surveilans Sentinel Leptospirosis
di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
5. Penguatan surveilans leptospirosis terpadu lintas sektor Kabupten Demak Provinsi Jawa Tengah
6. Penguatan tata laksana sesuai standar dan prosedur,
7. Peningkatan sistem kewaspadaan dini dan respon cepat penanggulangan KLB,
8. Pengendalian faktor risiko secara terpadu yang terdiri dari lintas program dan lintas sektor
meliputi sektor kesehatan hewan dan kesehatan satwa liar,
9. Penyediaan logistik (Rapid Diagnostik Test).
8. Pengendalian Vektor Terpadu
Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit adalah semua kegiatan atau tindakan
yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor dan binatang pembawa penyakit serendah mungkin
sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu
wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan vektor dapat dicegah.
Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit merupakan upaya preventif yang paling efektif
dalam rangka pencegahan penyakit tular vektor dan zoonotik, karena penularan penyakit ini tidak akan
terjadi apabila tidak ada vektor dan binatang pembawa penyakit.
Kementerian Kesehatan menetapkan persentase kabupaten/kota yang memiliki 25% puskesmas
melaksanakan surveilans vektor sebagai indikator pengendalian vektor. Puskesmas yang melaksanakan
surveilans vektor yang dimaksud pada indikator tersebut adalah Puskesmas yang melaksanakan
surveilans nyamuk Aedes dan/atau nyamuk Anopheles secara rutin setiap bulan yang dilaporkan
melalui SILANTOR (Sistem Surveilans Vektor) berupa angka bebas jentik dan index habitat nasional. Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa persentase kabupaten/kota memiliki 25%
puskesmas melaksanakan surveilans vektor sebesar 79,96%. Terdapat 17 provinsi dengan capaian
100%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya surveilans dan pengendalian vektor telah mencapai target
yang ditetapkan, dari target 70% dengan realisasi 79,96%.
D. PENYAKIT TIDAK MENULAR
Penyakit tidak menular atau penyakit non-infeksi telah menjadi bagian dari beban ganda
epidemiologi di dunia sejak beberapa dekade terakhir. Berbeda dengan penyakit menular, penyakit ini
tidak disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti protozoa, bakteri, jamur, maupun virus. Badan
kesehatan dunia (WHO) mengestimasikan bahwa penyakit ini menyebabkan sedikitnya terhadap 40
juta kematian tiap tahun di dunia. Jumlah tersebut setara dengan 70% kematian oleh seluruh penyebab
pada tingkat global.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular (PTM) yang mengacu pada klasifikasi internasional penyakit (International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems) mengelompokkan penyakit ini berdasarkan
sistem dan organ tubuh menjadi 12 jenis penyakit yaitu:
1. Penyakit keganasan;
2. Penyakit endokrin, nutrisi, dan metabolik;
3. Penyakit sistem saraf;
4. Penyakit sistem pernapasan;
5. Penyakit sistem sirkulasi;
6. Penyakit mata dan adnexa;
7. Penyakit telinga dan mastoid;
8. Penyakit kulit dan jaringan subkutanius;
9. Penyakit sistem musculoskeletal dan jaringan penyambung;
10. Penyakit sistem genitourinaria;
11. Penyakit gangguan mental dan perilaku;
12. Penyakit kelainan darah dan gangguan pembentukan organ darah.
Angka morbiditas penyakit tidak menular baik di tingkat global maupun nasional menunjukkan
kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. WHO mengidentifikasi empat faktor
risiko utama yang berkontribusi terhadap peningkatan tersebut, yaitu konsumsi tembakau, kurangnya
aktivitas fisik, penyalahgunaan alkohol, dan diet yang tidak sehat. Kemunculan COVID-19 sebagai newemerging disease telah menyadarkan banyak pihak terhadap pentingnya pengendalian penyakit tidak
menular, karena penyakit ini merupakan salah satu komorbid yang berperan dalam meningkatkan
keparahan COVID-19.
Penanggulangan PTM diprioritaskan pada jenis penyakit yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat dengan beberapa kriteria, yaitu tingginya angka kematian atau kecacatan, tingginya angka
kesakitan atau tingginya beban biaya pengobatan, dan memiliki faktor risiko yang dapat diubah.
Penanggulangan PTM melalui upaya kesehatan masyarakat terdiri dari upaya pencegahan dan
pengendalian. Upaya pencegahan dilaksanakan melalui kegiatan promosi kesehatan, deteksi dini faktor
risiko, dan perlindungan khusus yang menitikberatkan pada faktor risiko yang dapat diubah. Faktor
risiko yang dapat diubah meliputi merokok, kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat, konsumsi
minuman beralkohol, dan lingkungan yang tidak sehat. Upaya pengendalian dilaksanakan melalui
kegiatan penemuan dini kasus dan tata laksana dini.
1. Jumlah Kabupaten/Kota Melakukan Pelayanan Terpadu (PANDU) PTM di >
80% Puskesmas
Berbagai upaya telah dilakukan untuk pencegahan dan pengendalian PTM di tingkat nasional,
sejalan dengan pendekatan global dan regional. Salah satu program yang telah dan masih terus dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan adalah Pelayanan Terpadu Penyakit Tidak Menular (PANDU PTM) di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Hal ini sebagai upaya dalam mendukung pencapaian target
SPM dan pencapaian target indikator Renstra Kementerian Kesehatan 2020-2024, yaitu meningkatnya
kabupaten/kota yang melakukan pencegahan dan pengendalian PTM.
PANDU PTM di FKTP merupakan upaya pencegahan, pengendalian dan tatalaksana hipertensi
dan diabetes melitus serta PTM lainnya yang dilaksanakan secara komprehensif, terintegrasi dan
berkelanjutan dengan pendekatan faktor risiko, menggunakan algoritma PANDU PTM dan tabel prediksi
risiko PTM. Algoritma PANDU PTM merupakan alur pikir dalam melakukan pelayanan terpadu PTM di
FKTP. Dalam algoritma dijelaskan tentang tahapan pelayanan bagi pengunjung Puskesmas yang berusia
15 tahun keatas. Tahapan diawali dari identifikasi faktor risiko hingga diagnosis dan tata laksana yang
dalam salah satu prosesnya menggunakan tabel prediksi risiko PTM. Sedangkan dalam kaitan dengan
tatalaksana penyakit yang bersifat spesifik, PANDU PTM tetap mengacu pada pedoman tata laksana
penyakit yang berlaku.
Untuk memperkuat pelaksanaan PANDU PTM di daerah, Kementerian Kesehatan menetapkan
indikator Renstra yaitu jumlah kabupaten/kota yang melakukan PANDU PTM di ≥80% Puskesmas.
Puskesmas PANDU PTM adalah Puskesmas yang melaksanakan pencegahan dan pengendalian
PTM secara komprehensif dan terintegrasi melalui Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP). Kabupaten/Kota dinilai telah menyelenggarakan PANDU PTM bila 80%
atau lebih Puskesmas telah melakukan PANDU PTM.
Pada tahun 2023, sebanyak 388 kabupaten/kota atau 94,4% dari 411 total kabupaten/ kota
yang menjadi target indikator melakukan pelayanan terpadu PTM di ≥80% Puskesmas.. Terdapat 25
provinsi dari 38 provinsi atau 65,8% memiliki kabupaten/kota dengan jumlah Puskesmas menerapkan
PANDU PTM >80%, dan sebanyak 18 provinsi memiliki capaian melebihi 100% dari target kabupaten/
kota yang telah ditetapkan. Tiga belas provinsi lainnya (34,2%) dengan capaian <80% dan Provinsi Papua
Pegunungan tidak memiliki kabupaten/kota dengan jumlah Puskesmas menerapkan PANDU PTM >80%
dikarenakan belum ada laporan yang dikirimkan melalui Direktorat P2PTM.
2. Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Payudara
Kanker payudara dan kanker leher rahim merupakan jenis kanker terbanyak di Indonesia. Kedua
jenis kanker ini memiliki angka kematian yang tinggi yang disebabkan oleh terlambatnya diagnosis dan
tatalaksana. Hampir 70% pasien kanker dideteksi pada stadium lanjut. Hal ini sangat disayangkan, bila
kanker leher rahim dapat ditemukan pada tahap sebelum terjadinya kanker (lesi prakanker) dan dapat
diterapi sehingga tidak menjadi kanker. Kanker payudara bisa dicegah dengan tindakan yang sederhana
dan efektif yaitu Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) dan Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS),
bila ditemukan benjolan pada payudara segera diterapi sebelum berkembang menjadi kanker stadium
lanjut. Oleh karena itu, deteksi dini merupakan hal yang penting dalam menurunkan angka kesakitan,
angka kematian, meningkatkan kesintasan dan mengurangi beban pembiayaan akibat penyakit kanker.
Program deteksi dini kanker leher rahim di Indonesia dilakukan dengan metode Inspeksi Visual
Asam Asetat (IVA) dan deteksi dini kanker payudara dilakukan dengan metode SADANIS di FKTP, yaitu
pemeriksaan klinis payudara yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Untuk di RS atau FKTRL
dilakukan dengan menggunakan Ultrasonografi (USG) atau mammografi.
Pada kurun waktu 2021-2023, sebanyak 3.114.505 perempuan usia 30-50 tahun atau 14,6%
dari sasaran telah menjalani deteksi dini kanker leher rahim dengan metode IVA. Deteksi dini tertinggi
dilaporkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 52,1%, diikuti oleh DKI Jakarta sebesar 32,4%,
dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 28,7%. Sedangkan, provinsi dengan cakupan deteksi dini
terendah yaitu Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Pegunungan Pada kurun waktu 2021-2023, sebanyak 2.277.470 perempuan usia 30-50 tahun atau 13,7%
dari sasaran telah melakukan deteksi dini kanker payudara dengan pemeriksaan SADANIS. SADANIS
tertinggi dilaporkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 36,4%, diikuti oleh Sumatera Selatan
sebesar 32,9%, dan Lampung sebesar 32,5%. Sedangkan, provinsi dengan cakupan deteksi dini terendah
yaitu Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Pegunungan.
Provinsi dengan cakupan deteksi dini yang rendah dikhawatirkan akan mengalami peningkatan
angka kesakitan dan kematian akibat kanker leher rahim dan payudara. Oleh karena itu diperlukan
upaya untuk meningkatkan cakupan deteksi dini di wilayah dengan cakupan yang masih rendahPada tahun 2023, hasil pemeriksaan IVA positif sebanyak 31.236 (1%) dan yang dicurigai kanker
leher rahim sebanyak 324 (0,01%) dari 3.114.505 perempuan usia 30-50 tahun yang telah dilakukan
deteksi dini kanker leher rahim.
Pada tahun 2023, dari 2.277.407 perempuan usia 30-50 tahun yang telah dilakukan deteksi
dini kanker payudara sebanyak 2.762 (0,12%) ditemukan benjolan dan sebanyak 1.142 (0,05%) yang
dicurigai kanker payudara.
P
3. Pengendalian Konsumsi Tembakau
Perilaku merokok merupakan salah satu faktor risiko yang diintervensi pada pengendalian
penyakit tidak menular. Salah satu upaya melindungi masyarakat dari paparan asap rokok yaitu melalui
pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dengan mendorong terbentuknya peraturan dan kebijakan
daerah serta implementasinya. Dengan indikator ini diharapkan dapat mendorong terciptanya manusia
Indonesia yang sehat, bebas dari paparan asap rokok, berkualitas, dan produktif.
Untuk memperkuat implementasi KTR, Kementerian Kesehatan telah menetapkan indikator
Renstra yaitu jumlah kabupaten/kota yang menerapkan KTR. Indikator ini dihitung berdasarkan
jumlah kumulatif kabupaten/kota memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan/atau
terdapat lebih dari 40% tatanan yang memenuhi indikator penerapan KTR (3 dari 7 tatanan). Sebanyak
458 kabupaten/kota (89,1%) telah menerapkan KTR sampai dengan tahun 2023. Jumlah tersebut
menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 340 kabupaten/kota.Provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya telah menerapkan KTR meningkat, 4 provinsi di tahun
2022 menjadi 20 provinsi di tahun 2023. Tiga provinsi yang masih memiliki persentase kabupaten/kota
menerapkan KTR kurang dari 50% yaitu Papua, Papua Pegunungan dan Papua Tengah.
Selain penerapan KTR, pemerintah mengembangkan inovasi berupa layanan Upaya Berhenti
Merokok (UBM). Layanan ini merupakan upaya promotif, preventif dan tatalaksana pengendalian
konsumsi rokok dengan membantu masyarakat untuk berhenti merokok dari gejala putus nikotin
yang dilaksanakan di FKTP, salah satunya di Puskesmas. Puskesmas layanan UBM adalah Puskesmas
yang melaksanakan layanan konseling UBM. Strategi ini ditempuh untuk menurunkan prevalensi
perokok usia 10-18 tahun. Diharapkan, kabupaten/kota di Indonesia menyelenggarakan layanan
UBM di ≥40% Puskesmas.
Pada tahun 2023, jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan layanan UBM di ≥40% Puskesmas
ada sebanyak 267 meningkat dari tahun 2022. Empat provinsi sudah mencapai 100 kabupaten/kota
yang melaksanakan layanan UBM di ≥40% Puskesmas, yaitu Gorontalo, Banten, DI Yogyakarta dan DKI
Jakarta. Namun empat provinsi belum melaksanakan layanan UBM atau tidak melaporkan kegiatan
yaitu Papua, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan.
4. Deteksi Dini Gangguan Indera
Upaya penanggulangan gangguan indera dilaksanakan dengan mengutamakan upaya promotif
dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Sejalan dengan enam pilar transformasi
sistem kesehatan, khususnya untuk mewujudkan transformasi layanan primer pada pengendalian
penyakit tidak menular, maka upaya deteksi dini gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
merupakan program utama dalam rangka penemuan kasus secara dini. Upaya ini dilakukan agar kasus
yang ditemukan segera mendapatkan intervensi atau penanganan dini untuk menekan angka kesakitan,
kematian dan disabilitas akibat gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
Sasaran program mengacu pada siklus hidup dan pendekatan keluarga, sehingga pelaksanaan
deteksi dini dilakukan terintegrasi dan berkolaborasi dengan berbagai lintas program dan lintas sektor
terkait. Di era desentralisasi, deteksi dini gangguan indera diharapkan dapat dipenuhi oleh pemerintah
kabupaten/kota untuk memenuhi kebutuhan warganya.
Deteksi dini gangguan indera adalah kegiatan deteksi dini gangguan penglihatan dan atau
gangguan pendengaran merupakan salah satu skrining yang masuk dalam skrining PTM prioritas
. Sasaran yang diharapkan adalah pada kelompok usia 7-15 tahun dan >15 tahun. Data deteksi dini
ganguan indera diperoleh dari pencatatan dan pelaporan pada pelayanan kesehatan maupun dari
kegiatan pengelola program di Kemenkes dan lintas sektor, yang saat ini dilakukan secara sistem
melalui Aplikasi Sehat Indonesia-Ku (ASIK) dan Sistem Informasi Penyakit Tidak Menular (SIPTM) secara
terintegrasi.
Pada tahun 2023 hampir seluruh kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini gangguan indera
pada sasaran usia 7-15 tahun dan >15 tahun dengan capaian sebesar 26,3%. Capaian ini masih jauh
dari target yang diharapkan yaitu 70% dari sasaran deteksi dini. Pada tahun 2023, hanya ada 2 provinsi yang mencapai target skrining PTM prioritas dalam hal
ini deteksi dini gangguan indera yakni target 70% sasaran pada kelompok usia 7-15 tahun dan >15
tahun yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (78,9%) dan DKI Jakarta (72,3%). Untuk 3 provinsi lainnya
sudah cukup baik cakupannya yaitu Provinsi Gorontalo (52%), Jawa Timur )45%) dan Banten (39%).
Untuk 33 provinsi lainnya masih jauh dari target yang diharapkan. Adapun 5 provinsi dengan capaian
paling rendah yaitu Papua Pegunungan (0,1%), Papua Selatan (1,3%), Papua Tengah (2,0%), Papua
(4%) dan DI Yogyakarta (4,4%). Beberapa provinsi tersebut membutuhkan intervensi dari pemerintah
pusat maupun daerah agar pada tahun-tahun berikutnya kegiatan deteksi dini gangguan indera dapat
ditingkatkan pelaksanaannya.
5. Deteksi Dini Obesitas
Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidak seimbangan asupan
energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama (WHO,
2000). Obesitas telah menjadi masalah global yang berdampak pada 2 milyar penduduk dunia dan
mengancam kesehatan masyarakat termasuk di Indonesia. Pada tahun 2030 diperkirakan 1 dari
5 wanita dan 1 dari 7 pria akan hidup dengan obesitas (setara dengan lebih dari 1 miliar orang di
seluruh dunia. Prevalensi obesitas global lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki dan jumlah
terbesar orang dengan obesitas berada di negara berkembang, di mana beban ganda malnutrisi terus
berlanjut dan sistem sangat kurang siap dan tidak dilengkapi dengan baik untuk mengatasi obesitas
dan konsekuensinya secara efektif.
Secara global, lebih dari 160 juta tahun kehidupan sehat yang hilang disebabkan oleh IMT yang
tinggi pada tahun 2019, dan angkanya kemungkinan akan lebih tinggi setiap tahun. Ini berarti lebih
dari 20% dari semua tahun kehidupan sehat yang hilang yang disebabkan oleh kesehatan kronis yang
dapat dicegah. Jika kita ingin mengatasi PTM yang dapat dicegah, maka keberhasilan dalam mengatasi
obesitas sangat penting. Di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terjadi peningkatan obesitas yang
cukup signifikan, dari 10,5% di tahun 2007 menjadi 21,8% di tahun 2018. Obesitas menjadi faktor risiko
terjadinya penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, jantung, kanker, hipertensi dan penyakit
metabolik maupun non metabolik lainnya serta berkontribusi pada penyebab kematian akibat penyakit
kardiovaskular (5,87% dari total kematian), penyakit diabetes dan ginjal (1,84% dari total kematian).
Berdasarkan data-data tersebut, maka upaya pengendalian obesitas menjadi sangat strategis
dalam mencegah terjadinya penyakit tidak menular (PTM) pada masyarakat di Indonesia. Salah satu
upaya mengendalikan peningkatan prevalensi obesitas adalah dengan melakukan deteksi dini faktor
risiko PTM melalui upaya-upaya kolaboratif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk
kementerian/Lembaga, TNI dan POLRI, institusi Pendidikan dan pihak swasta. Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menyusun strategi untuk menemukan faktor risiko
obesitas dengan melakukan deteksi dini faktor risiko PTM secara masif di 514 Kabupaten/Kota sebagai
indikator kinerja program tahun 2022-2024, yaitu Jumlah kabupaten/kota yang melakukan deteksi
dini faktor risiko PTM dengan cara penghitungan berdaarkan jumlah kumulatif kabupaten/kota yang
melakukan deteksi dini faktor risiko PTM. Pada tahun 2023, indikator tersebut ditargetkan mencapai 514
kab/kota di Indonesia yang akan dipantau melalui Aplikasi Sehat Indonesia ku (ASIK) yang terintegrasi
dengan Sistem Informasi PTM.
Definisi Operasional Indikator prevalensi obesitas pada penduduk usia ≥ 18 tahun adalah kasus
obesitas pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan kategori IMT > 27 pada periode tertentu. Indikator ini
dihitung dari jumlah penduduk usia ≥ 18 tahun dengan IMT >27 dibagi dengan total peduduk usia ≥ 18
tahun di kali 100 persen, pada periode tertentu.
Obesitas merupakan penyakit, sekaligus merupakan salah satu faktor risiko penyakit tidak
menular lain yang mendorong munculnya faktor metabolik (penyakit jantung, diabetes, kanker,
hipertensi, dislipidemia). Prevalensi obesitas (Indeks Masa Tubuh (IMT) ≥ 27) meningkat dari 15,4%
pada tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018. Hal ini sejalan dengan peningkatan proporsi
obesitas sentral dari 26,6% di tahun 2013 menjadi 31% di tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Berdasarkan
data tersebut maka target yang ditetapkan sebagai baseline data tahun 2023 sebagai target indikator
sebesar 21,8%.
Sasaran penduduk untuk program deteksi dini obesitas adalah 70% dari sasaran penduduk
usia ≥18 tahun. Pada tahun 2023, persentase penduduk usia ≥18 tahun yang telah dilakukan deteksi
dini obesitas di Indonesia sebesar 48,8% atau sekitar 68.161.703 orang. Provinsi persentase tertinggi
penduduk usia ≥18 tahun yang melaksanakan deteksi dini obesitas adalah Gorontalo, Nusa Tenggara
Barat, dan DKI Jakarta dengan persentase lebih dari 100%, artinya sudah melebihi target 70% sasaran
yang ditetapkan. Provinsi dengan persentase terendah adalah Papua Pegunungan (0,2%Dari hasil deteksi dini, diketahui bahwa proporsi penduduk usia ≥18 tahun yang obesitasi di
Indonesia pada tahun 2023 adalah 12,2%. Provinsi dengan proporsi terendah penduduk usia ≥18 tahun
yang obesitas adalah Nusa Tenggara Timur (5,3%), sedangkan provinsi dengan proporsi tertinggi adalah
Papua Selatan (22,2%), Papua (21,6%), dan Papua Tengah (21,2%).
E. KESEHATAN JIWA DAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT
ADIKTIF LAINNYA (NAPZA)
Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontibusi untuk komunitasnya (UU
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Kesehatan jiwa mempunyai peran yang penting dalam
membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur sesuai dengan sasaran pembangunan jangka menengah
252 2020-2024.
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA), yang apabila digunakan dalam
jangka waktu yang lama dapat menimbulkan ketergantungan yang ditandai antara lain dengan dosis
penggunaan yang semakin besar, kesulitan mengontrol keinginan untuk menggunakan NAPZA, muncul
gejala putus zat jika penggunaan dihentikan, hingga tetap menggunakan NAPZA meskipun mengetahui
dampak buruknya. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sementara zat adiktif adalah
obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup, maka dapat menyebabkan
kerja biologis serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin
menggunakannya secara terus-menerus.
1. Pelayanan Kesehatan Jiwa
Upaya pelayanan kesehatan jiwa dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.
a. Jumlah Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Deteksi Dini Kesehatan Jiwa
Deteksi dini merupakan langkah awal yang penting untuk menyaring antara individu yang sehat
dengan individu yang memiliki indikasi terhadap permasalahan kesehatan jiwa pada populasi. Semakin
cepat suatu penyakit terdeteksi, dalam hal ini gangguan jiwa, akan semakin cepat proses diagnosis
dan semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan pertolongan. Dengan begitu diharapkan
dapat mencegah dan/ atau memperlambat proses perjalanan penyakit sehingga terjadinya hendaya
(abnormalitas fungsi seseorang yang dikaitkan dengan perilaku) dan disabilitas dapat dicegah. Skrining
kesehatan jiwa dilakukan agar penduduk yang mengalami masalah kesehatan jiwa dapat ditemukan
dan mendapat layanan preventif dan/atau layanan tindak lanjut lainnya lebih dini. Penduduk dengan
kondisi sehat jiwa dapat diupayakan tetap sehat dengan mendapat upaya promosi kesehatan jiwa.
Program skrining kesehatan jiwa saat ini difokuskan pada penduduk berisiko masalah kesehatan
jiwa mulai usia 15 tahun ke atas. Pada program ini menggunakan tiga jenis instrumen skrining. Pada
kelompok usia 15-18 tahun skrining menggunakan instrumen Strength and Difficulties Questionnaire
(SDQ), pada kelompok usia > 18 tahun dengan menggunakan instrumen Self Reporting Questionnaire
20 (SRQ-20), dan skrining penyalahgunaan NAPZA pada kelompok usia mulai 15 tahun ke atas dengan
menggunakan instrumen Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test (ASSIST).
Penyelenggaraan skrining kesehatan jiwa ini dilaksanakan berbasis masyarakat, berbasis institusi dan
berbasis Fasilitas Layanan Kesehatan Primer (FKTP).
Berdasarkan agenda konfirmasi data kesehatan jiwa yang dilakukan pada tahun 2023, dari
pelaporan data deteksi dini daerah diketahui masih terdapat kabupaten/kota yang belum menjalankan
program skrining. Kategori Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Deteksi Dini Kesehatan Jiwa adalah
kabupaten/kota yang telah menerapkan deteksi dini dengan menggunakan instrumen yaitu SDQ atau
SRQ-20, atau ASSIST dan melaporkan data tersebut pada Sistem Informasi Kesehatan Jiwa.
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa dari 38 provinsi, terdapat 36 provinsi yang dapat
melaporkan data pelaksanaan deteksi dini kesehatan jiwa/NAPZA, adapun 2 provinsi yang tidak dapat
melaporkan pelaksanaan kegiatan deteksi dini adalah Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Selatan.
Kedua provinsi ini merupakan provinsi baru di tahun 2023, sehingga besar kemungkinan bahwa
pelaksanaan kegiatannya masih bergantung dari provinsi induk sebelumnya yakni Papua dikarenakan
keterbatasan SDM pelaksana.
Secara nasional, persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini kesehatan jiwa/
NAPZA mencapai 94,4%. Dari 36 provinsi, terdapat 28 provinsi yang sudah melaksanakan deteksi
dini kesehatan jiwa dan NAPZA 100%; 6 provinsi diantaranya 70-94% dan 2 provinsi diantaranya 50%
kebawah (Provinsi Papua Barat Daya dan Provinsi Papua Tengah).
b. Persentase Penduduk Usia ≥ 15 Tahun dengan Risiko Masalah Jiwa yang Mendapatkan
Skrining
Persentase penduduk usia ≥ 15 Tahun dengan risiko masalah jiwa yang mendapatkan skrining
adalah persentase penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah kesehatan jiwa yang mendapatkan
layanan skrining dengan menggunakan instrument SDQ (untuk usia 15-18 tahun) dan/atau SRQ-
20 (usia diatas 18 tahun) dan/atau ASSIST (bagi kelompok sasaran yang memiliki kecenderungan
penyalahguna NAPZA).
Berdasarkan Permenkes 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 21 Tahun
2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024, skrining dapat dilaksanakan
oleh tenaga kesehatan dan/atau kader kesehatan dan/atau guru terlatih pada kelompok berisiko
berdasarkan siklus hidup dalam kurun waktu 1 tahun. Kelompok berisiko masalah kesehatan jiwa
berdasarkan siklus hidup yang menjadi sasaran program antara lain: remaja (siswa baru dan Tingkat
akhir SMP dan SMA; santri remaja dengan disabilitas; korban tindak kekerasan; korban dan penyintas
bencana alam); dewasa (mahasiswa baru dan tingkat akhir perguruan tinggi; ibu hamil dan post partum;
ibu dengan anak balita; orang tua tunggal; pekerja migran; keluarga/pendamping ODGJ; pendamping
lansia; warga binaan di lapas; pekerja dengan sistem shift; lansia yang hidup sendiri/hanya dengan
pasangannya; lansia yang membutuhkan perawatan jangka panjang; penghuni panti sosial; dan pasien
dengan penyakit kronis.
Persentase penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah jiwa yang mendapatkan skrining
diperoleh dengan melihat perbandingan antara penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah jiwa
yang mendapatkan skrining, dengan estimasi penduduk usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah kesehatan
jiwa. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, target penduduk dengan
risiko masalah kesehatan jiwa pada tahun 2023 sebesar 60% dari angka sasaran penduduk.
Pada gambar 6.72, persentase penduduk di Indonesia usia ≥ 15 tahun dengan risiko masalah
kesehatan jiwa yang mendapatkan skrining adalah sebesar 16,4%, artinya bahwa dari target skrining
baru 27,3%. Meskipun angka capaian secara nasional maupun per provinsi masih jauh dari target yang
sudah ditetapkan Kementerian Kesehatan yaitu sebesar 60%, namun angka capaian ini meningkat
dibandingkan dengan capaian di tahun 2022 yakni 10,1%.
Dari 38 provinsi, hanya tiga provinsi (Bangka Belitung, Banten dan Sulawesi Selatan) yang
capaiannya mendekati target program. Adapun provinsi lainnya masih jauh dari target. Tingkat capaian
paling rendah didapati pada seluruh wilayah pemekaranan Provinsi Papua-Papua Barat dengan 2 dari 6
provinsi diantaranya yakni Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Selatan tidak dapat melaporkan data
pelaksanaan skrining.
Berdasarkan data SKI 2023, prevalensi masalah kesehatan jiwa dalam satu bulan terakhir
pada penduduk umur ≥ 15 tahun di Indonesia adalah sebesar 2,0%. Angka prevalensi tertinggi terjadi
pada kelompok umur 15-24 tahun, jenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan tidak/belum pernah
sekolah, tidak bekerja, tempat tinggal di perkotaan, dan status ekonomi terbawah.
Menurut SKI 2023, angka prevalensi pada provinsi dengan capaian terendah secara berturutturut: Provinsi Papua Pegunungan sebesar 3,0%; Provinsi Papua Tengah sebesar 2,9%; Papua Barat
Daya sebesar 2,1%; Papua Barat sebesar 1,6%; dan Papua Selatan sebesar 1,3%. Berdasarkan data
tersebut, terlihat bahwa Provinsi Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Barat Daya memiliki
prevalensi yang melebihi angka nasional. Dengan tingkat capaian kegiatan skrining di Indonesia sebesar
16,4 %, maka kemungkinan 83,6% kasus masalah kesehatan jiwa yang belum dapat ditemukan lebih
awal untuk dilakukan upaya tindak lanjut agar kondisi tidak bertambah buruk.Beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pencapaian target adalah:
1. Kesehatan jiwa di daerah belum dianggap prioritas sehingga dukungan pemangku kepentingan di
daerah dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan skrining kesehatan jiwa belum optimal
2. Masih kurangnya pemahaman petugas dalam pelaporan data rutin yang dilakukan melalui
Sistem Informasi Kesehatan Jiwa sehingga ada beberapa kabupaten/kota yang belum optimal
melaporkan hasil kegiatan skrining
3. Keterbatasan kuantitas dan kualitas petugas kesehatan jiwa di Puskesmas dalam menyelenggarakan
skrining kesehatan jiwa dan melakukan intervensi hasil skrining kesehatan jiwa
4. Belum meluasnya cakupan pelaksanaan skrining (belum menjangkau seluruh masyarakat)
5. Masih adanya stigma di masyarakat, menyebabkan masyarakat tidak melakukan skrining
kesehatan jiwa untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwanya
c. Persentase Penyandang Gangguan Jiwa yang Memperoleh Layanan di Fasyankes
Pelayanan kesehatan jiwa pada penyandang gangguan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan
merupakan salah satu kegiatan dalam upaya meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat, kinerjanya
diukur dengan indikator persentase penyandang gangguan jiwa yang memperoleh layanan di Fasyankes
(Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Direktorat Kesehatan Jiwa Tahun 2023, 2023).
Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom atau pola perilaku,
atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan
suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/ disability) di dalam satu atau lebih fungsi
penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi
perilaku, psikis, atau biologis, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara
orang itu dengan masyarakat.
Persentase penyandang gangguan jiwa yang memperoleh layanan di fasyankes adalah
persentase penyandang gangguan depresi, ansietas, dan skizofrenia yang memperoleh layanan di
fasyankes dengan kriteria: sesuai dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi
III (1981) Nakes (UU No. 36 Tahun 2014) tentang tenaga kesehatan terlatih membuat pencatatan dan
pelaporan. Jumlah sasaran merupakan estimasi yang diperoleh berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
sasaran program pembangunan kesehatan tahun 2023 , dan diperoleh target sebanyak 606.903 jiwa.
Data persentase penyandang gangguan jiwa yang memperoleh layanan di fasyankes seperti
yang dapat dilihat pada gambar 6.73 diperoleh dari laporan Puskesmas yang ada di Indonesia pada
Sistem Informasi Kesehatan Jiwa. Berdasarkan data tersebut, proporsi penyandang gangguan jiwa
yang memperoleh layanan di Fasyankes pada tahun 2023 adalah sebesar 32,7% dari target sebesar
60%. Angka capaian pada tahun 2023 terlihat meningkat daripada capaian pada tahun 2022 (26,9%
dari target sebesar 30%), namun apabila dilihat proporsi antara capaian dengan target maka dapat
disimpulkan bahwa capaian pada tahun 2022 lebih tinggi daripada capaian di tahun 2023.
Tantangan pelaksanaan program ini dinilai cukup kompleks dimulai dari kesenjangan pengobatan
hingga data kasus gangguan jiwa yang dilaporkan pada sistem informasi kesehatan jiwa. Kesenjangan
pengobatan (treatment gap) merepresentasikan perbedaan besaran prevalensi penyakit dengan
proporsi individu sakit yang mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan. Kesenjangan ini dapat
dilatarbelakangi oleh faktor predisposisi, faktor ketersediaan fasilitas, sarana, dan akses, dan faktor
pendorong dari lingkungan sosial. Kompleksitas faktor yang menjadi kausalitas kesenjangan dapat
diatasi dengan menerapkan strategi yang tepat. Ketepatan ini dapat dihubungkan dengan data sebagai
basis bukti ilmiah. Namun, dalam praktiknya masih terdapat fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP)
yang tidak melaporkan kasus gangguan jiwa pada sistem informasi. Maka dari itu, peningkatan akses
pelayanan kesehatan jiwa untuk menurunkan kesenjangan pengobatan gangguan jiwa dan peningkatan
pelaporan data oleh petugas menjadi tuntutan yang perlu dipenuhi oleh fasilitas kesehatan di seluruh
wilayah Indonesia guna menghasilkan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif dan berkelanjutan
d. Persentase Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Berat yang Mendapatkan Layanan
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan/atau perubahan
perilaku bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
sebagai manusia dan terdiagnosis sebagai gangguan jiwa sesuai kriteria diagnosis yang ditetapkan.
Lebih detail, ODGJ berat adalah orang yang mendapatkan diagnosis oleh psikiater, dokter, psikolog
klinis sebagai penderita Skizofrenia atau Psikosis Akut dan harus mendapat layanan dan penanganan di
fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, RSU dengan layanan Kesehatan Jiwa, RSJ). Gejala khas
psikosis/skizofrenia berupa adanya waham atau halusinasi yang menetap selama satu bulan atau lebih,
disertai perilaku aneh seperti katatonik atau agresivitas, serta gejala negatif yang berdampak signifikan
kepada kualitas hidup keseluruhan.
ODGJ memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Undang-Undang, diantaranya untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau dan sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan. ODGJ berat mendapat pelayanan sesuai standar di fasilitas pelayanan
kesehatan, berupa pemeriksaan kesehatan jiwa (wawancara psikiatrik dan pemeriksaan status mental),
mendapatkan informasi dan edukasi, serta tatalaksana pengobatan dan atau melakukan rujukan bila
diperlukan.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka prevalensi rumah tangga
dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis adalah sebesar 6,7 permil. Angka ini menunjukkan
bahwa per 1000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang memiliki Anggota Rumah Tangga (ART)
yang mengidap gangguan jiwa skizofrenia/psikosis. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia
Tahun 2023, proporsi rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa psikosis/skizofrenia
yang pernah dipasung sebesar 6,6%, proporsi rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan
jiwa psikosis/skizofrenia yang berobat 1 bulan terakhir dan berobat rutin 1 bulan terakhir di fasilitas
kesehatan sebesar 55,9%
Berdasarkan laporan dari dinas kesehatan tahun 2022 Persentase ODGJ berat per mil yang
memperoleh layanan di fasyankes sebesar 88,1%. Dari 34 provinsi yang melaporkan, capaian yang
diatas 100% sebanyak 8 provinsi yaitu Provinsi Aceh, Kepri, Jambi, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung,
DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 2023, target sasaran program
sebesar 90% dari estimasi sasaran ODGJ berat sebanyak 491.958 jiwa. Capaian ODGJ berat yang
memperoleh layanan di fasyankes sebesar 105,2%. Rata-rata angka capaian per provinsi sudah berada
diatas 50%. Empat provinsi dengan angka capaian dibawah 50% berada di Papua yaitu Provinsi Papua
Barat Daya (28,6%), Papua Barat (24,3%), Papua Tengah (19,7%), dan terendah ada di Provinsi Papua
Pegunungan sebesar 0,34%.
2. Penyalahguna Napza yang Mendapatkan Pelayanan Rehabilitasi Medis
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 menjamin hak dan mengatur
kewajiban penyalahguna dan pecandu narkotika untuk mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan
sosial. Rehabilitasi medis pada penyalahguna NAPZA merupakan suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahguna Narkotika
dari ketergantungan Narkotika. Pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahguna narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis yang didahului dengan proses wajib lapor.
Wajib lapor merupakan suatu kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu Narkotika
yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan /atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang
belum cukup umur kepada institusi penerima Wajib Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis. Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk adalah
Pusat Kesehatan Masyarakat, rumah sakit dan lembaga rehabilitasi medis berupa klinik pratama,
klinik utama, atau lembaga lain yang melaksanakan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna,
dan korban penyalahgunaan Narkotika. Di Indonesia, ada sebanyak 905 IPWL dan fasilitas pelayanan
kesehatan pengampu dan satelit program terapi rumatan metadona, di 35 provinsi, yang ditetapkan
melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2020 pada tahun 2023. Provinsi terbaru yaitu Provinsi
Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya, belum memiliki IPWL dan fasiitas pelayanan
kesehatan pengampu dan satelit program terapi rumatan metadona.
Penyalahguna NAPZA yang mendapatkan pelayanan rehabilitasi medis berasal dari penyalahguna
yang datang secara sukarela dan/atau pembantaran, dan/atau kasus putusan pengadilan dan/atau
mendapatkan rehabilitasi medis rawat jalan dan/atau rawat inap di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).
Metode penemuan kasus penyalahguna NAPZA dilakukan dengan menggunakan metode
ASSIST. ASSIST, yang dikeluarkan oleh WHO, merupakan instrumen yang dirancang secara khusus untuk
digunakan secara internasional pada pusat layanan kesehatan primer. Pelaksanaan skrining dengan
menggunakan metode ASSIST dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dalam melaksanakan kegiatan deteksi
dini penyalahgunaan NAPZA dengan instrumen ASSIST perlu dilakukan kegiatan pelatihan atau orientasi
untuk meningkatkan kapasitas bagi tenaga kesehatan di puskesmas, guru Bimbingan Konseling di
sekolah, serta unit kepegawaian (Human Resources Department/ HRD). Upaya lanjutan dilakukan
terhadap hasil deteksi dini ASSIST dengan intervensi singkat melalui diskusi sederhana dan singkat
dengan pasien mengenai skor ASSIST dan intervensi lanjutan. Pada upaya deteksi dini penyalahgunaan
NAPZA dilakukan juga pemeriksaan dengan menggunakan metode rapid test urine untuk mengetahui
kandungan narkotika; memberikan edukasi kepada masyarakat; meningkatkan kepedulian dan
kewaspadaan masyarakat terhadap penyalahgunaan narkotika; mewujudkan masyarakat yang bersih
dari penyalahgunaan narkotika; dan mendorong masyarakat yang berorientasi pada lingkungan
bersih dari penyalahgunaan narkotika. (Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, 2023). Deteksi dini
penyalahgunaan NAPZA dapat dilakukan pada kelompok berisiko. Kegiatan yang dilakukan melalui
kerjasama dengan sekolah dan tempat kerja, deteksi dini penyalahgunaan NAPZA menggunakan ASSIST,
dan membuka layanan deteksi dini NAPZA.
Pada tahun 2022, target sasaran penyalahguna NAPZA yang mendapat layanan rehabilitasi
medis adalah sebanyak 10.500 orang. Dari target tersebut, ada sebanyak 10.826 orang penyalahguna
NAPZA yang mendapat layanan rehabilitasi medis di 34 provinsi. Pada tahun 2023 terdapat pemekaran
wilayah di Indonesia, ada satu klinik di Provinsi Papua Tengah yang dijadikan sebagai IPWL dan pelayanan
kesehatan pengampu dan satelit program terapi rumatan metadona. Pada tahun 2023, target sasaran
naik menjadi 11.000 orang dan diperoleh capaian sebanyak 13.472 (122,5%) orang penyalahguna NAPZA
yang mendapat rehabilitasi medis. Capaian layanan rehabilitasi medis bagi penyalahguna NAPZA pada
tiga tahun terakhir sudah berada diatas 100%. Angka ini menunjukkan bahwa seluruh penyalahguna
NAPZA yang berasal dari penyalahguna yang datang secara sukarela dan/atau pembantaran, dan/
atau kasus putusan pengadilan dan/atau telah mendapatkan rehabilitasi medis rawat jalan dan/atau
rawat inap di IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor). Angka capaian yang melebihi 100% selama tiga
tahun terakhir, ada kecenderungan penetapan target sasaran masih lebih kecil dari kasus yang terjadi
di lapangan
F. DAMPAK KESEHATAN AKIBAT BENCANA
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana
dikategorikan menjadi bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa non alam antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan, bencana
sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh manusia meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat dan teror.
Sepanjang tahun 2023 terdapat 347 kejadian berdampak krisis kesehatan di Indonesia. Jumlah
kejadian berdampak krisis kesehatan tahun 2023 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
kejadian tahun 2022, dimana pada tahun 2022 terdapat 392 kejadian berdampak krisis kesehatan.
Pada tahun 2017 terdapat penyesuaian definisi untuk kejadian berdampak krisis kesehatan pada
sistem informasi penanggulangan krisis kesehatan, yaitu harus ada pernyataan kedaruratan oleh kepala
daerah atau jumlah populasi terdampak minimal 50 orang dan terdapat korban/terjadi pengungsian.
Pada tahun 2023 kejadian berdampak krisis kesehatan yang paling sering terjadi di Indonesia
adalah bencana alam dengan persentase 66,6%, kemudian 32,6% merupakan bencana non alam dan
0,9% bencana sosial
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa jumlah kejadian berdampak krisis kesehatan akibat
bencana alam dengan frekuensi tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan 36 kejadian. Tingginya
kejadian tersebut banyak disebabkan oleh banjir. Sedangkan bencana non alam dengan frekuensi
tertinggi terjadi di bulan Oktober dengan 19 kejadian. Tingginya bencana non alam banyak disebabkan
karena kebakaran. Untuk bencana sosial yang berupa konflik sosial terjadi pada bulan Januari, Februari
dan September. Secara keseluruhan, frekuensi tertinggi kejadian berdampak krisis kesehatan terjadi
pada bulan Maret dan terendah pada bulan Agustus.
Dari 347 kejadian bencana yang berdampak krisis kesehatan sepanjang tahun 2023, banjir
menjadi kejadian bencana alam dengan frekuensi tertinggi 131 kejadian disusul angin puting beliung
dengan frekuensi 30 kejadian serta banjir dan tanah longsor dengan frekuensi 28 kejadian.
Bencana non alam yang paling sering terjadi di Indonesia pada tahun 2023 yaitu kebakaran
sebesar 61,1% dari total bencana non alam dan diikuti oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan (25,7%)
dan kecelakaan transportasi darat (5,3%).
Di antara ketiga jenis bencana, bencana sosial termasuk paling jarang terjadi dibandingkan
dengan jenis bencana lainnya. Pada tahun 2023 terjadi 3 bencana sosial yang berupa konflik sosial atau
kerusuhan sosial.
Jumlah kejadian berdampak krisis kesehatan di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 347
kejadian. Dari 38 provinsi di Indonesia, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang terbanyak
mengalami kejadian bencana berdampak krisis kesehatan yaitu sebanyak 39 kejadian, diikuti Jawa
Tengah dan DKI Jakarta dengan 30 kejadian bencana, sedangkan di Provinsi Papua Barat Daya tidak ada
kejadian bencana berdampak krisis kesehatan.
Kejadian krisis Kesehatan pada tahun 2023 yang menimbulkan korban terbanyak disebabkan
oleh bencana alam dengan jumlah korban meninggal sebanyak 144 orang (67,9%), korban luka berat/
rawat inap sebanyak 66 orang (6,8%), korban luka ringan/rawat jalan sebanyak 20.567 orang (81,8%)
dan korban pengungsi sebanyak 101.232 orang (91,6%).
Sementara untuk bencana non alam jumlah korban meninggal sebanyak 66 orang (31,1%),
korban luka berat/rawat inap sebanyak 895 orang (92,4%), korban luka ringan/rawat jalan sebanyak
4.425 orang (17,6%) dan korban pengungsi sebanyak 9.195 orang (8,3%)
Untuk bencana sosial jumlah korban yang ditimbulkan tidak terlalu signifikan karena memang
frukensi kejadiannya juga rendah. Jumlah korban meninggal akibat bencana sosial sebanyak 2 orang
(0,9%), korban luka berat/rawat inap sebanyak 8 orang (0,8%), korban luka ringan/rawat jalan sebanyak
157 orang (0,6%) dan korban pengungsi sebanyak 91 orang (0,1%).
G. PELAYANAN KESEHATAN HAJI
Undang-undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
menyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan,
dan perlindungan yang sebaik-baiknya kepada jemaah haji dan umrah agar dapat menunaikan
ibadahnya sesuai dengan ketentuan syariat ajaran agama Islam, serta mewujudkan kemandirian dan
ketahanan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Pembinaan, pelayanan dan perlindungan
yang diberikan kepada jemaah haji, bukan saja dari aspek umum dan ibadah, tetapi juga dari aspek
kesehatan jemaah haji itu sendiri. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji melingkupi kegiatan yang
dimulai dari perencanaan, pengorganisasian pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan.
Dalam rangka menjamin kesiapan jemaah sebelum keberangkatan, diperlukan adanya kesiapan
baik fisik, mental maupun spiritual. Sejak tahun tahun 2018, penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia
mulai menerapkan konsep Istitaah yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitaah Kesehatan Jemaah Haji. Permenkes ini membawa
konsekuensi bahwa penyelenggaraan kesehatan haji mengedepankan pembinaan kesehatan untuk
memperkuat pelayanan dan perlindungan kesehatan haji. Untuk itu upaya pembinaan sudah harus
dilakukan sedini mungkin yang diawali dengan pemeriksaan kesehatan awal. Berbagai faktor risiko
kesehatan dikendalikan melalui pembinaan kesehatan yang berjenjang sampai pada tahap penetapan
istitaah kesehatan jemaah haji di tingkat kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kesehatan haji di Arab Saudi dilaksanakan oleh Tim Kesehatan Haji Indonesia
(TKHI) dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Bidang Kesehatan yang terdiri dari Tim
Asistensi, Tim Manajerial, Tim Kuratif Rehabilitatif (TKR), Tim Promotif Preventif (TPP), Tim Gerak Cepat
(TGC), serta Tim Pendukung Kesehatan (TPK). PPIH Arab Saudi Bidang Kesehatan dengan paradigma
penguatan promotif dan preventif tanpa mengesampingkan pelayanan kesehatan kuratif serta pola
pendekatan deteksi dini kasus kesehatan dan pelayanan respon kegawatdaruratan. Penyelenggaraan
kesehatan haji dengan konsep tersebut merupakan konsep operasional kesehatan haji yang telah
dilaksanakan pada tahun 2016 -2019 dan dilaksanakan kembali pada tahun 2023.
Wabah penyakit COVID-19 yang awalnya hanya terjadi di Cina pada Desember 2019, kemudian
dalam waktu singkat menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, sehingga organisasi kesehatan
dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan status pandemi COVID-19. Hal itu menyebabkan
pemerintah Arab Saudi pada tahun 2020 dan 2021 menutup sementara pelaksanaan ibadah haji bagi
jemaah haji yang berasal dari luar negeri, ibadah haji hanya dibolehkan untuk penduduk yang bermukim
di wilayah Arab Saudi. Meski demikian, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menyiapkan
kesehatan dan kebugaran jemaah haji asal Indonesia selama status pandemi tahun 2020-2021 yang
dilakukan dengan cara pemeriksaan dan pembinaan kesehatan bagi jemaah haji. Namun demikian,
seiring dengan membaiknya kondisi pandemi pada 2022, maka pemerintah Arab Saudi pada tahun
2022 mulai menerima jemaah haji yang berasal dari luar negeri, termasuk dari Indonesia.
1. PROFIL JEMAAH HAJI INDONESIA
Pada tahun 2023, pemerintah Indonesia memberangkatkan 209.880 jemaah haji reguler.
Provinsi dengan jumlah jemaah haji terbanyak juga merupakan provinsi dengan jumlah penduduk
terbanyak, yaitu Provinsi Jawa Barat dengan 39.330 jemaah, yang diikuti dengan Jawa Timur dengan
36.578 jemaah, dan Jawa Tengah dengan 31.578 jemaah. Sedangkan provinsi dengan jumlah jemaah
haji paling sedikit berasal dari Provinsi Kalimantan Utara (465 jemaah), Nusa Tenggara Timur (694
jemaah), dan Bali (725 jemaah).
Jumlah jemaah haji Indonesia pada tahun 2023 jika dilihat menurut kelompok umur, sebagian
besar berada pada kelompok umur 50-59 tahun, yaitu sebesar 30,0% dari seluruh jemaah. Kelompok
umur terbanyak kedua adalah 60-69 tahun sebanyak 28,9%. Sehingga jika dijumlahkan, sebesar 58,9%
jemaah haji reguler Indonesia yang berangkat pada tahun 2023 berumur diatas 50 tahun. Sebagaimana
diketahui bahwa kelompok populasi pra-usila (usia lanjut) dan usila merupakan kelompok rentan
terhadap kejadian kesakitan dan kematian selama penyelenggaran ibadah haji. Hal ini patut menjadi
perhatian, terlebih bagi pemerintah, PPIH, TKHI, dan juga pihak lain yang terkait.
Jumlah jemaah haji Indonesia pada tahun 2023 jika dilihat berdasarkan kelompok umur,
sebagian besar berada pada kelompok umur 50-59 tahun, yaitu sebesar 30,0% dari seluruh jemaah.
Kelompok umur kedua adalah 60-69 tahun sebanyak 28,9%, sehingga jika dijumlahkan sebesar 58,9%
jumlah jemaah regular Indoneia yang berangkat pada tahun 2023. Sebagaimana diketahui bahwa
kelompok populasi pra lansia (lanjut usia) dan lansia merupakan kelompok rentan terhadap kejadian
kesakitan dan kematian selama penyelenggaran ibadah haji. Hal ini patut menjadi perhatian, terlebih
bagi pemerintah, PPIH, TKHI, dan juga pihak lain yang terkait
Dari 209.880 jemaah haji Indonesia di tahun 2023, sebesar 55,3% diantaranya atau sebanyak
116.137 jemaah berjenis kelamin perempuan. Sedangkan 44,7% nya atau sebanyak 93.743 jemaah
merupakan jemaah laki-laki. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah jemaah haji perempuan
22.394 lebih banyak daripada jumlah jemaah haji. Hal tersebut memberikan tantangan kepada
pemerintah sebagai penyelenggara haji untuk dapat lebih memperhatikan fasilitas/pelayanan kepada
para jemaah perempuan
Jika dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan, kelompok Jemaah haji dengan pendidikan
SD merupakan yang terbanyak yaitu sebesar 32,7% diikuti oleh Jemaah haji dengan Pendidikan SLTA
sebanyak 24,1%dan Jemaah haji dengan Pendidikan SI sebanyak 21,9%
Berdasarkan jenis pekerjaannya, persentase pekerjaan jemaah haji Indonesia pada tahun 2023
terbanyak adalah ibu rumah tangga yaitu sebesar 27,6%, kemudian kelompok terbanyak kedua yaitu
pegawai swasta sebesar 20,6% dan Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Aparatur Sipil Negara (ASN) sebesar
19,9%. Sedangkan kelompok pekerjaan jemaah haji dengan persentase terendah yaitu TNI/POLRI
(1,0%), pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (1,5%) dan
pelajar/mahasiswa (2,0%2. PEMERIKSAAN KESEHATAN JEMAAH HAJI
Indikator penyelenggaraan kesehatan haji adalah persentase jemaah haji yang mendapatkan
pemeriksaan kesehatan sesuai standar yang diinput kedalam Sistem Komputerisasi Haji Terpadu Bidang
Kesehatan (Siskohatkes) sebelum operasional haji. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15
Tahun 2016 tentang Istitaah Kesehatan Haji, terdapat tiga tahapan pemeriksaan kesehatan untuk
jemaah haji. Namun, hal itu tidak berarti bahwa seluruh jemaah haji harus melalui ketiga tahapan
tersebut. Karena, jika pada pemeriksaan tahap pertama jemaah haji tersebut dinyatakan sehat/tidak
berisiko tinggi (risti), maka pemeriksaan kesehatan tahap kedua tidak perlu dilakukan. Pemeriksaan
kesehatan tahap pertama dilaksanakan di Puskesmas, pemeriksaan kesehatan tahap kedua dilaksanakan
di rumah sakit, dan pemeriksaan tahap ketiga dilaksanakan di asrama haji. Setiap proses pemeriksaan
dan pembinaan kesehatan jemaah haji menuju istitaah dilakukan oleh tim penyelenggara kesehatan
haji di kabupaten/kota dan asrama haji.
Pada tahun 2023 Kementerian Kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap 209.880
jemaah haji dengan capaian pemeriksaan sebesar 98,3%. Secara nasional belum semua provinsi
dapatmemenuhi target yang sebesar 100%, anamun sebanyak 21 provinsi yang capaian pemeriksaannya
sudah mencapai nasional. Provinsi dengan persentase pemeriksaan kesehatan terendah ialah Provinsi
Papua (97,4%), Kalimantan Tengah (97,5%), dan Kalimantan Timur (97,6%). Persentase capaian hasil
pemeriksaan jemaah haji menurut provinsi dapat dilihat pada grafik berikut. Data dan informasi lebih
rinci mengenai pemeriksaan kesehatan jemaah haji terdapat pada Lampiran 89.f. Terdapat sekitar
1,7% jemaah haji tidak melakukan pemeriksaan, hal ini sebabkan adanya kuota yang tidak terpenuhi
sehingga untuk memenuhi kuota tersebut ditambah
3. KEBUGARAN JEMAAH HAJI
Istitaah kesehatan jemaah haji adalah kemampuan jemaah haji dari aspek kesehatan yang
meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan
sehingga jemaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan agama Islam. Pemerintah
bertanggung jawab terhadap pembinaan istitaah kesehatan haji yang merupakan kegiatan terpadu,
terencana, terstruktur, dan terukur, diawali dengan pemeriksaan kesehatan pada saat mendaftar
jemaah haji sampai masa keberangkatan ke Arab Saudi.
Selain pemeriksaan kesehatan, pemerintah juga melakukan pengukuran kebugaran pada
jemaah haji yang akan diberangkatkan. Hal ini penting karena kebugaran juga merupakan faktor
penunjang dalam ibadah haji. Jemaah haji yang kondisi fisiknya bugar diharapkan akan mampu mandiri
dan memiliki ketahanan yang lebih tinggi dalam menjalankan keseluruhan rangkaian dan perjalanan
ibadah haji.
Menurut hasil pengukuran kebugaran jemaah haji, sebagian besar atau sebesar 51,0% jemaah
haji berada dalam kategori kebugaran “cukup” dan sebanyak 30,4% jemaah haji termasuk kategori
“baik”. Selain itu, persentase jemaah haji yang termasuk dalam kategori kurang sebesar 11,8% dan
kurang sekali sebesar 3,6%, sehingga jemaah haji yang termasuk kategori sangat baik sebesar 3,3%.Dari 3,3% jemaah haji yang berada dalam kategori kebugaran fisik “sangat baik”, terbanyak
berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sedangkan provinsi dengan jemaah haji
yang berada dalam kategori kebugaran fisik “kurang sekali” terendah yaitu Provinsi Sumatera Utara,
Jambi, Kalimantan Barat, Maluku dan Papua Barat
Melalui implementasi istitaah juga, faktor risiko kesehatan dapat diketahui sejak dini sehingga
penanganan dapat dilakukan sejak dini. Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan, jemaah haji
tergolong risti jika memenuhi tiga kriteria, yaitu berusia ≥60 tahun dengan penyakit, berusia <60 tahun
dengan penyakit, dan berusia >60 tahun tanpa penyakit.
Pada tahun 2022, terlihat bahwa sebagian besar (70,7%) jemaah haji Indonesia merupakan
jemaah haji risti. Sisanya yaitu sebesar 29,3% merupakan jemaah haji yang tidak termasuk dalam
kategori risti. Besarnya persentase dan jumlah jemaah haji risti pada tahun 2022 menjadikan
Kementerian Kesehatan sebagai penyelenggara kesehatan haji harus memberikan perhatian yang lebih
terhadap pelayanan kesehatan jemaah haji
Sebanyak 28.250 jemaah haji yang berasal dari Provinsi Jawa Barat dikategorikan sebagai
jemaah haji risiko tinggi. Provinsi kedua dengan jumlah jemaah haji risiko tinggi adalah Provinsi Jawa
Timur (25.218 jemaah), dan Jawa Tengah (24.256 jemaah). Sebaliknya, Provinsi Kalimantan Utara
merupakan provinsi dengan jumlah jemaah haji risiko tinggi terendah (315 jemaah), kemudian Nusa
Tenggara Timur (500 jemaah), dan Bali (447 jemaah)
4. POLA MORBIDITAS DAN MORTALITAS JEMAAH HAJI
Masa operasional pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi dimulai dari pemberangkatan jemaah
haji atau embarkasi, pra Armuzna, Armuzna, dan pasca Armuzna, berlanjut hingga pengembalian jemaah
haji ke Indonesia atau ke debarkasi. Armuzna sendiri merupakan singkatan dari Arafah, Muzdalifah, dan
Mina. Ketiganya merupakan nama tempat yang terkait dengan inti pelaksanaan kewajiban ibadah haji.
Pada tahun 2022, setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap jemaah haji sebelum
keberangkatan, diketahui bahwa sepuluh penyakit berisiko tinggi terbanyak yang diderita oleh jemaah
haji yaitu diantaranya Hypertensive diseases/I10 sebanyak 15.859 kasus, Disorders of lipoprotein
metabolism and other lipidemias /E78 (8.423 kasus), dan Diabetes Mellitus/E10-14 (6.226 kasus). Jumlah tenaga kesehatan yang ditugaskan didalam setiap kloter terdiri dari tiga orang, yaitu satu
dokter dan dua perawat. Ketiga orang tenaga kesehatan tersebut bisa melayani 350-400 jemaah haji dalam
kloternya masing-masing. Tentu saja semakin sering jemaah haji berobat kepada tenaga kesehatan yang
bertugas, akan semakin panjang waktu yang dibutuhkan oleh tenaga kesehatan untuk dapat melayani
mereka. Sehingga dirasa penting untuk dapat mengurangi frekuensi berobat jalan para jemaah haji.
Pada tahun 2022, rata-rata satu jemaah haji Indonesia dapat berobat jalan sebanyak dua kali.
Provinsi yang jemaahnya paling sering berobat jalan adalah Provinsi DI Yogyakarta, yaitu sebanyak
empat kali, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 3,5 kali, dan Provinsi DKI Jakarta sebanyak
tiga kali. Sehingga hal ini sebaiknya menjadi bahan evaluasi dan perhatian bagi pemerintah provinsi/
kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan dan pemeriksaan kesehatan di tanah air sebelum
keberangkatan jemaah haji. Sebaliknya, tiga provinsi yang jemaah hajinya paling jarang dirawat jalan
berturut-turut adalah Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur dengan ratio masingmasing antara 0,5-1 kali.
ecara keseluruhan, jemaah haji Indonesia terbanyak dirawat inap di Kantor Kesehatan Haji
Indonesia (KKHI) Mekkah, yaitu terbanyak 2066 kasus dengan rincian 542