kasus baru dan 195 kasus
lama. Sedangkan di KKHI Madinah, terdapat 735 kasus dengan rincian 542 kasus baru dan 193 kasus
lama, serta terdapat 798 kasus (695 kasus baru dan103 kasus lama) yang dirujuk ke RS Arab Saudi
Meski pemerintah telah melakukan pemeriksaan kesehatan dan pembinaan terhadap
jemaah haji sejak sebelum keberangkatan, namun masih terdapat jemaah haji yang wafat di tanah
suci. Terdapat 774 jemaah haji yang wafat pada musim haji tahun 2023. Jemaah haji wafat terbanyak
berasal dari Provinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 169 jemaah. Jumlah Jemaah haji wafat kedua yaitu
sebanyak 116 jemaah berasal dari Provinsi Jjjawa Barat dan 111 jemaah wafat berasal dari JawaTegah.
Sedangkan 3 provinsi yang palig sedikit memiliki jemaah haji yang wafat, baik sebelum, selama, hingga
tiba kembali di tanah air adalah Kepulauan Riau 1 jemaah haji yang wafat, Bali 1 jemaah haji yang wafat
dan Kalimantan Utara 2 jemaah haji yang wafat
Dari seluruh jemaah haji Indonesia yang wafat di tanah suci, terdapat sepuluh penyakit
terbanyak penyebab kematian jemaah haji pada tahun 2023. Penyakit penyebab kematian terbanyak
pada jemaah haji reguler tahun 2023 yaitu cardiovascular diseases (168 jemaah), severe septic (199
jemaah), Septic Shock (80 jemaah), Acute myocardial infarction, unspecified (54 jemaah), Adult
respiratory distress syndrome (45 jemaah), Acute myocardial infarction (42 jemaah), Pneumonia,
unspecified (30 jemaah), Hypovolaemic shock (25 jemaah), Acute ischaemic heart disease, unspecified
(21 jemaah), Sepsis unspecified (10 jemaah), Heatstroke and sunstroke (9 jemaah), dan Septicaemia,
unspecified ( 8 jemaah)
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan bahwa Upaya
Kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat secara fisik, kimia,
biologi, dan sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya. Penyelenggaraan kesehatan lingkungan dilakukan melalui upaya penyehatan, pengamanan
dan pengendalian yang dilaksanakan untuk memenuhi standar baku mutu kesehatan lingkungan dan
persyaratan kesehatan pada media lingkungan. Kesehatan Lingkungan diselenggarakan pada lingkungan
permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum. Begitu juga dalam
rangka penyelenggaraan kesehatan lingkungan pada proses pengelolaan limbah medis yang berasal
dari fasilitas pelayanan kesehatan wajib memenuhi persyaratan teknis atau bekerja sama dengan pihak
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan menyatakan bahwa
kesehatan lingkungan adalah upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan kesehatan dari faktor risiko
lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun
sosial. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan meliputi seluruh faktor fisik,
kimia, dan biologi dari luar tubuh manusia dan segala faktor yang dapat mempengaruhi perilaku manusia.
Kondisi dan kontrol dari kesehatan lingkungan berpotensial untuk mempengaruhi kesehatan.
Kualitas lingkungan yang sehat ditentukan melalui pencapaian atau pemenuhan standar
baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan. Pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan kesehatan lingkungan dilakukan terhadap pelaksanaan kewajiban mewujudkan media
lingkungan yang memenuhi standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan yang
dilakukan oleh setiap pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab lingkungan permukiman,
tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum, hal ini di atur secara detail dalam
Permenkes nomor 2 tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan PP nomor 66 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Lingkungan.
Standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan ditetapkan pada media
lingkungan yang meliputi air, udara, tanah, pangan, sarana dan bangunan, serta vektor dan binatang
pembawa penyakit. Pencapaian tujuan penyehatan lingkungan merupakan akumulasi berbagai
pelaksanaan kegiatan dari berbagai lintas sektor, peran swasta dan masyarakat dimana pengelolaan
kesehatan lingkungan merupakan penanganan yang paling kompleks. Kegiatan tersebut sangat berkaitan
antara satu dengan yang lainnya yaitu dari hulu yang berasal dari kebijakan dan pembangunan fisik
dari berbagai lintas sektor ikut serta berperan (perindustrian, lingkungan hidup, pertanian, pekerjaan
umum- perumahan rakyat dan lainnya) hingga ke hilir yaitu dampak kesehatan. Kementerian Kesehatan
sendiri fokus kepada pengelolaan dampak kesehatan.
A. AIR MINUM
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 2 tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan
PP nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan terkait Persyaratan Kualitas Air Minum, air
minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi
syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air minum yang dikonsumsi masyarakat perlu
ditetapkan persyaratan kualitas air minum sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Untuk menjaga kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat, diperlukan pengawasan kualitas air minum
baik secara eksternal maupun internal. Pengawasan kualitas air minum secara eksternal dilakukan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota. Pengawasan secara internal dilakukan oleh pelaksana penyelenggara
air minum yaitu Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD), koperasi, badan
usaha swasta, usaha perorangan, kelompok masyarakat, dan/atau individual yang melakukan kegiatan
penyediaan air minum.
Kegiatan pengawasan kualitas air minum meliputi inspeksi sanitasi, pengambilan sampel
air, pengujian kualitas air, analisis hasil pemeriksaan laboratorium, rekomendasi, dan tindak lanjut.
Kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dalam pengawasan kualitas air minum
dilakukan oleh tenaga Sanitarian Puskesmas.Secara nasional, jumlah sarana air minum yang diawasi/diperiksa kualitas air minumnya sesuai
standar tahun 2023 sebesar 21.791 dari jumlah keseluruhan total sarana air minum yang sebanyak
30.172 (Gambar7.1) dengan capaian presentase sarana air minum yang diawasi/diperiksa kualitas air
minumnya sesuai standar tahun 2023 sebesar 72,2%. Angka capaian pengawasan kualitas air minum
ini sudah mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN, Renstra tahun 2023 sebesar 72%. Provinsi
dengan persentase tertinggi dalam pengawasan kualitas air minum yaitu Jawa Timur (90,8%), Riau
(90,2%) dan Bengkulu (90,0%). Sedangkan provinsi terendah dalam pengawasan kualitas air minum
yaitu Banten (7,1%), Papua Tengah (9,6%) dan Papua Selatan (14,0%). Rincian lebih lengkap mengenai
persentase sarana air minum yang diawasi/diperiksa kualitas air minumnya sesuai standar dapat dilihat
di Lampiran tabel 79.a.
Menurut Statistik Indonesia, BPS (2024), rumah tangga yang memiliki akses terhadap air
minum layak adalah:
1. Jenis sumber air minum utama yang digunakan oleh rumah tangga meliputi leding, air terlindungi,
atau air hujan. Air terlindungi mencakup sumur bor/pompa, sumur terlindung dan mata air
terlindung;
2. Bagi rumah tangga yang menggunakan sumber air minum berupa air kemasan bermerk atau
air isi ulang, maka rumah tangga dikategorikan memiliki akses air minum layak jika sumber air
untuk mandi/cuci berasal dari leding, sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air terlindung,
dan air hujan.
Data dari Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS (2023), sumber air minum utama yang paling
banyak digunakan rumah tangga untuk minum adalah air kemasan bermerk, air isi ulang (40,64%), sumur
bor/pompa (17,07%), dan sumur terlindung (15,26%). Pada daerah perkotaan maupun perdesaan, air
kemasan bermerk, air isi ulang merupakan sumber air minum utama rumah tangga yang paling banyak
digunakan, untuk perkotaan sebesar 53,15% dan untuk perdesaan sebesar 23,14%. Secara rinci, data
tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.1.
Secara nasional, persentase rumah tangga dengan akses air minum layak sebesar 91,72%
(Gambar 7.2). Provinsi dengan persentase tertinggi rumah tangga dengan akses air minum layak yaitu
DKI Jakarta (99,42%), Bali (98,31%), dan DI Yogyakarta (96,69%). Sedangkan provinsi dengan persentase
terendah adalah Papua (66,49%), Bengkulu (73,08%), dan Kalimantan Selatan (76,29%). Rincian lengkap
tentang persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak tahun 2023 dapat dilihat pada
Lampiran 79.b.
B. AKSES SANITASI LAYAK
Sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia. Definisi
sanitasi dari WHO merujuk kepada penyediaan sarana dan pelayanan pembuangan limbah kotoran
manusia seperti urin dan feses. Istilah sanitasi juga mengacu kepada pemeliharaan kondisi higienis
melalui upaya pengelolaan sampah dan pengolahan limbah cair. Sanitasi berhubungan dengan
kesehatan lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi
akan berdampak negatif di banyak aspek kehidupan, mulai dari turunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian diare dan
munculnya beberapa penyakit.
Strategi penyelenggaraan STBM yang meliputi penciptaan lingkungan yang kondusif,
peningkatan kebutuhan sanitasi dan peningkatan penyediaan akses sanitasi. Peningkatan penyediaan
layanan sanitasi secara khusus diprioritaskan untuk meningkatkan dan mengembangkan percepatan
penyediaan akses dan layanan sanitasi yang aman dan layak.
Pendataan yang dilakukan oleh Sanitarian Puskesmas meliputi Kepala Keluarga (KK) dengan
akses terhadap penggunaan layanan sanitasi (aman, layak, sharing/numpang dan belum layak) yang
tergambar dalam gambar 7.3 Persentase keluarga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak (jamban sehat) di
Indonesia tahun 2023 adalah 93,3% sedangkan yang belum mengakses sebesar 6,7%. Terdapat
4 (empat) Provinsi dengan persentase keluarga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak
(jamban sehat) mencapai 100% yaitu Provinsi Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta dan
Sulawesi Selatan. Provinsi dengan persentase terendah adalah Provinsi Papua Pegunungan (26,6%),
Papua Tengah (37,6%), dan Papua Selatan (53,8%). Rincian lengkap mengenai keluarga dengan akses
terhadap fasilitas sanitasi yang layak (jamban sehat) dapat dilihat pada Lampiran 80.
Untuk memenuhi hak asasi manusia, setiap penduduk idealnya memiliki akses ke sanitasi layak.
Menurut Statistik Indonesia, BPS (2024), definisi rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak
adalah fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan, antara lain:
a. Kloset menggunakan leher angsa, tempat pembuangan akhir tinja menggunakan tangki septik
(septic tank) atau Instalasi/ Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL/SPAL), dan fasilitas sanitasi
tersebut digunakan oleh rumah tangga sendiri, bersama dengan rumah tangga lain tertentu,
ataupun di Mandi Cuci Kakus (MCK) komunal.
b. Untuk daerah perdesaan, jika kloset menggunakan leher angsa, tempat pembuangan akhir
tinja ke tangka septic atau Instalasi/Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL/SPAL) atau lubang
tanah dan fasilitas sanitasi tersebut digunakan oleh rumah tangga sendiri, bersama dengan
rumah tangga tertentu, ataupun di MCK Komunal.
Pentingnya akses sanitasi layak di semua kalangan masyarakat berkaitan erat dengan upaya
peningkatan derajat kesehatan penduduk Indonesia.Gambar 7.4 menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak
menunjukkan peningkatan dari tahun 2021 ke tahun 2023 sebesar 2,07%. Jika dilihat menurut tipe daerah, persentase di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi daripada di perdesaan (84,15%) dan
(79,85%). Selama periode ini, di daerah perdesaan mengalami peningkatan sebesar (3,9%) sedangkan
daerah perkotaan (0,57%).Secara nasional persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak sebesar
82,36% (Gambar 7.5). Provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi
layak tertinggi yaitu Provinsi DI Yogyakarta (96,42%), Bali (95,70%), dan Sulawesi Selatan (93,69%).
Sedangkan provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak
terendah adalah Provinsi Papua (43,00%), Sumatera Barat (70,97%), dan Jawa Barat (74,88%). Rincian
lengkap tentang persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak tahun 2021-
2023 dapat dilihat pada Lampiran 81.a.
C. SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM)
Tujuan penyelenggaraan kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang
Kesehatan pasal 3 adalah untuk meningkatkan perilaku hidup sehat, meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan yang efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan dan mewujudkan pengembangan serta pemanfaatan teknologi
kesehatan yang berkelanjutan.
Desa/kelurahan melaksanakan STBM adalah proses mewujudkan masyarakat untuk berperilaku
hidup bersih dan sehat yaitu dengan adanya tangga perubahan perilaku yang terjadi dimasyarakat,
hal ini sejalan dengan proses pendampingan perubahan perilaku dengan masyarakat melaksanakan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yaitu dengan adanya pemicuan STBM, adanya natural leader
dan rencana kerja masyarakat pada tahun 2023 tercapai 86,2% desa/kelurahan.
Salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 adalah
memperkuat infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi dan pelayanan dasar, dimana
salah satu kegiatan prioritas pembangunan infrastruktur pelayanan dasar adalah penyediaan air minum
dan sanitasi yang layak dan aman. Pemerintah menargetkan akses masyarakat pada perumahan dan
permukiman yang layak, aman dan terjangkau meningkat pada tahun 2024. Hal ini termasuk target 90%
sanitasi layak, termasuk di dalamnya 15% akses sanitasi aman, dan ketiadaan rumah tangga yang BAB
sembarangan di tempat terbuka yang menjadi target RPJMN tahun 2023 adalah 70% desa/kelurahan
dengan capaian 70,02% desa/kelurahan SBS. Upaya tersebut dilakukan melalui program Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disingkat STBM dengan pengertian yaitu pendekatan untuk
mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan,
dimana outputnya terdiri dari lima pilar yaitu Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS), Cuci Tangan
Pakai Sabun (CTPS), Pengolahan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMMRT), Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga (PSRT) dan Pengelolaan Air Limbah Domestik Rumah Tangga.
Secara nasional, persentase desa/kelurahan yang melaksanakan STBM tahun 2023 adalah
86,2%, (Gambar 7.6). Ada enam (6) provinsi yang telah mencapai 100% desa/kelurahan yang telah
melaksanakan STBM yaitu Provinsi Jawa Timur, Bali, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Kep. Bangka Belitung
dan Jawa Tengah. Sedangkan Provinsi dengan persentase terendah desa/kelurahan yang melaksanakan
STBM adalah Provinsi Papua Pegunungan (5,6%), Papua Tengah (12,3%) dan Papua Barat Daya (29,7%).
Tiga (3) provinsi dengan realisasi desa/kelurahan yang melaksanakan STBM tertinggi yaitu Provinsi
Jawa Tengah (8.562), Jawa Timur (8.498), dan Jawa Barat (5.906). Rincian lengkap mengenai desa/
kelurahan yang melaksanakan STBM tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 81.bTangga layanan sanitasi menurut Metadata Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Pilar
Lingkungan dan sektor yang berperan dalam pembangunan sanitasi di daerah adalah Buang Air Besar
Sembarangan Terbuka (BABS terbuka), Buang Air Besar Sembarangan Tertutup (BABS tertutup) / Akses
sanitasi tidak layak, Akses sanitasi layak bersama, Akses sanitasi layak sendiri dan Akses sanitasi aman.Secara nasional, persentase desa/kelurahan SBS tahun 2023 adalah 70,0%. Ada empat (4)
Provinsi yang telah mencapai 100% persentase desa/kelurahan SBS yaitu Provinsi Sulawesi Selatan,
Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Provinsi dengan persentase terendah desa/
kelurahan SBS adalah Provinsi Papua Pegunungan (2,5%), Papua Tengah (3,2%), dan Papua Selatan
(11,6%). Rincian lengkap mengenai desa/kelurahan SBS tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 81.b.
D. TEMPAT DAN FASILITAS UMUM (TFU) YANG DILAKUKAN
PENGAWASAN SESUAI STANDAR
TFU adalah lokasi, sarana, dan prasarana antara lain: fasilitas kesehatan; fasilitas pendidikan;
tempat ibadah; hotel; rumah makan dan usaha lain yang sejenis; sarana olahraga; sarana transportasi
darat, laut, udara, dan kereta api; stasiun dan terminal; pasar dan pusat perbelanjaan; pelabuhan,
bandar udara, dan pos lintas batas darat negara; dan tempat dan fasilitas umum lainnya. Tempat
dan Fasilitas Umum (TFU) yang dilakukan pengawasan sesuai standar adalah TFU yang dilakukan
pengawasan dengan menggunakan formulir Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) di wilayah Puskesmas
dalam kurun waktu 1 tahun. Ruang lingkup pengawasan pada TFU telah ditetapkan yaitu pada tiga
lokus yang menjadi prioritas sesuai dengan indikator Renstra Direktorat Kesehatan Lingkungan tahun
2020 – 2024, Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan sesuai standar minimal pada 3 (tiga)
lokus dari tempat dan fasilitas umum tersebut, yaitu:
1. Sekolah yang dimaksud adalah sekolah yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta yang terdiri
dari SD/MI dan SMP/MTs yang terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
Kementerian Agama;
2. Puskesmas yang dimaksud adalah yang berada di wilayah kerjanya;
3. Pasar adalah pasar rakyat yang telah dilakukan revitalisasi dan terdaftar di Kementerian
Perdagangan.
TFU dinyatakan telah dilakukan pengawasan sesuai standar apabila telah dilakukan IKL dengan
mengisi form yang sudah ditentukan dan melakukan pengukuran kualitas lingkungan dengan peralatan
pendukung (Sanitarian Kit) yang tersedia di Puskesmas atau dinas kesehatan kabupaten/kota dengan
tujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko penyakit akibat lingkungan dan selanjutnya memberikan
rekomendasi hasil pengawasan tersebut pada sektor terkait untuk dilakukan perbaikan dan peningkatan
kualitas lingkungan dalam upaya mewujudkan TFU yang bersih, aman, nyaman dan sehat.
Pengawasan sesuai standar yang dimaksud adalah kunjungan untuk mengetahui faktor risiko
kesehatan lingkungan dengan menggunakan formulir IKL melalui pengamatan fisik media lingkungan,
pengukuran media lingkungan dan analisis risiko kesehatan lingkungan serta rekomendasi perbaikan.Secara nasional, persentase TFU yang dilakukan pengawasan sesuai standar pada tahun 2023
adalah 76,8%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Provinsi Bengkulu (98,2%), DI Yogyakarta
(95,6%), dan Kalimantan Timur (94,4%). Provinsi dengan capaian terendah yaitu Provinsi Papua Barat
Daya (44,2%), Nusa Tenggara Timur (49,7%), dan Sulawesi Utara (50,4%). Rincian lengkap tentang
persentase TFU yang dilakukan pengawasan sesuai standar tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 82.
E. TEMPAT PENGELOLAAN PANGAN (TPP)
Tempat Pengelolaan Pangan (TPP) adalah sarana produksi untuk menyiapkan, mengolah,
mengemas, menyimpan, menyajikan dan/atau mengangkut pangan olahan siap saji baik yang bersifat
komersial maupun non komersial. TPP komersial adalah usaha penyediaan pangan siap saji yang
memperdagangkan produknya secara rutin, yaitu jasa boga/katering, restoran, TPP tertentu dan Depot
Air Minum (DAM), rumah makan, gerai pangan jajanan, gerai pangan jajanan keliling, dapur gerai
pangan jajanan, dan sentra gerai pangan jajanan/kantin/sejenisnya.
Pada tahun 2021, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 tentang
Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor
Kesehatan. Kedua peraturan tersebut diantaranya mengatur Standar Sertifikat Laik Higiene Sanitasi
(SLHS) dan Labelisasi. Dalam Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 terdapat perubahan antara lain
kategorisasi TPP dan formulir IKL.
Dalam rangka memastikan TPP memenuhi syarat higiene sanitasi, maka perlu dilakukan
Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) oleh petugas puskemas, TPP juga dapat melakukan penilaian
mandiri terkait kondisi higiene sanitasinya dengan mengisi Sanitation Standard Operating Procedure
(SSOP) yang sudah disusun/dibuat oleh Pemilik/pengelola/Penanggung jawab/pengusaha Tempat
Pengelolaan Pangan agar TPP tersebut mendapatkan gambaran kondisi higiene sanitasi dan dapat
melakukan perbaikan kualitas TPP secara mandiri sebelum petugas datang untuk melakukan IKL.
Apabila TPP memenuhi syarat berdasarkan hasil IKL, maka dapat diberikan label oleh Sanitarian
atau mengajukan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi ke Dinas Kesehatan setempat dengan memenuhi
persyaratan lainnya yaitu pemeriksaan sampel pangan dan penjamah pangan yang sudah dilatih higiene
sanitasi pangan yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat.
Secara nasional, persentase TPP yang memenuhi syarat sesuai standar pada tahun 2023 adalah
60,7%. Provinsi dengan persentase tertinggi TPP yang memenuhi syarat sesuai standar adalah Provinsi
DI Yogyakarta (81,5%), Jawa Tengah (81,4%), dan Sulawesi Tengah (80,1%). Sedangkan provinsi dengan
persentase terendah adalah Provinsi Sulawesi Barat (27,7%), Sumatera Utara (46,9%), dan Nusa
Tenggara Barat (47,4%). Rincian lengkap tentang persentase TPP yang memenuhi syarat sesuai standar
tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 83.a.F. KABUPATEN/ KOTA SEHAT
Mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2005 dan Nomor 1138 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat, Kabupaten/
Kota Sehat (KKS) adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat untuk
dihuni penduduk yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dan kegiatan
yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan pemerintah daerah. Dalam rencana strategis
Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam PMK nomor 13 tahun 2022, indikator jumlah Kabupaten/
Kota Sehat didefinisikan sebagai Kabupaten/kota yang melaksanakan seluruh tatanan, memiliki SK Tim
Pembina, Memiliki SK forum, rencana kerja dan mempunyai laporan hasil verifikasi oleh tim pembina
tingkat provinsi.
Penyelenggaraan KKS dilakukan melalui berbagai kegiatan dengan memberdayakan masyarakat
yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkannya dilaksanakan melalui forum
atau dengan memfungsikan lembaga masyarakat yang ada. Forum tersebut disebut “Forum Kabupaten/
Kota Sehat” atau sebutan lain yang serupa sampai tingkat kecamatan dan desa/kelurahan.
Berdasarkan kawasan dan permasalahan khusus, tatanan KKS dikelompokkan menjadi:
1. Kehidupan masyarakat sehat mandiri;
2. Permukiman dan fasilitas umum;
3. Satuan pendidikan;
4. Pasar;
5. Perkantoran dan perindustrian;
6. Pariwisata;
7. Transportasi dan tertib lalu lintas jalan;
8. Perlindungan sosial; dan
9. Penanggulangan bencana.
KKS yang memenuhi kriteria akan diberikan Penghargaan Kabupaten/Kota Sehat (Swasti Saba)
dalam periode dua tahun sekali. Seleksi usulan Kabupaten/Kota yang akan mengikuti penghargaan ini
dilakukan oleh Tim Pembina KKS Provinsi. Penghargaan ini disebut dengan penghargaan SWASTI SABA
terdiri dari 3 kategori, yaitu penghargaan Swasti Saba Padapa diberikan kepada Kabupaten/Kota yang
telah memenuhi minimal 80% Desa/Kelurahan ODF (Open Defecation Free) dan memenuhi capaian
indikator setiap tatanan sebesar 71 % -80%, Swasi Saba Wiwerda diberikan kepada Kabupaten/Kota
yang telah memenuhi minimal 90% Desa/Kelurahan ODF (Open Defecation Free) dan memenuhi
capaian indikator setiap tatanan sebesar 81%-90%, Swasti Saba Wistara diberikan kepada Kabupaten/
Kota yang telah memenuhi 100% Desa/Kelurahan ODF (Open Defecation Free) dan memenuhi capaian
indikator setiap tatanan minimal 91%.Pada tahun 2023, kabupaten/kota yang telah menyelenggarakan KKS sebanyak 382 kabupaten/
kota (74,3%) (Gambar 7.10). Terdapat 19 (Sembilanbelas) provinsi dengan persentase Kabupaten/Kota
Sehat telah mencapai 100%. Dan masih terdapat 1 provinsi dengan persentase kabupaten/kota Sehat
masih 0%, dalam kata lain belum ada Kab/Kota dalam provinsi tersebut yang merupakan Kabupaten/
Kota Sehat, yaitu MalukuMasalah yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan KKS diantaranya:
1. Kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam pemenuhan tatanan dalam penyelenggaraan
kabupaten/kota sehat
2. Kurang optimalnya peran dari tim pembina, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota
3. Kurangnya koordinasi lintas sektor atau OPD untuk mewujudkan kabupaten/kota sehat.
4. Masih kurangnya advokasi kegiatan KKS dari Provinsi ke Kabupaten/Kota
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan jejaring
dengan lintas sektor dan lintas program yang terkait dengan penyelenggaraan KKS.
G. PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS
Fasilitas pelayanan kesehatan pasti menimbulkan limbah medis yang merupakan semua sisa
kegiatan dari pelayanan kesehatan yang sudah tidak digunakan dalam bentuk padat, cair, dan gas.
Limbah medis berbentuk padat terdiri dari limbah infeksius, patologi, tajam, farmasi, sitoksis, kimiawi,
radioaktif, kontainer bertekanan, dan logam berat. Limbah medis berbentuk cair adalah semua
buangan air termasuk tinja yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun,
dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan. Limbah berbentuk gas umumnya berasal dari kegiatan
pembakaran seperti insinerator, dapur, generator listrik, anestesi, dan pembuatan obat sitotoksik.
Standar pengelolaan limbah medis dapat mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 2
Tahun 2022 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yang berisi tahapan pengelolaan limbah medis
padat termasuk:
1. Pencegahan dan pengurangan;
2. Pemilahan dan pewadahan;
3. Pengumpulan dan penyimpanan;
4. Pengangkutan dan pengolahan.
Tahapan pengelolaan limbah medis cair termasuk:
1. Sumber dan penyaluran;
2. Pengolahan dan pembuangan.
Definisi operasional Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang mengelola limbah medis
adalah RS dan Puskesmas yang melakukan pemilahan, pewadahan, pengangkutan yang memenuhi
syarat, penyimpanan sementara limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) di Tempat Penyimpanan
Sementara Limbah B3 (TPSLB3) yang berizin serta melakukan pengolahan secara mandiri sesuai
persyaratan atau berizin dan/atau bekerja sama dengan jasa pengolah limbah B3 yang berizin.
Pada tahun 2023, jumlah Fasyankes (rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat) yang melakukan
pengelolaan limbah medis sesuai standar mencapai 6.212 Fasyankes dari 13.335 total Fasyankes di
seluruh Indonesia.Secara nasional persentase Fasyankes (rumah sakit dan Puskesmas) yang melakukan
pengelolaan limbah sesuai standar pada tahun 2023 adalah 46,6% (Gambar 7.11). Angka ini meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 38,9%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Provinsi
DI Yogyakarta (84,6%), Banten (80,6%) dan Jawa Timur (77,7%) Provinsi dengan persentase terendah
adalah Provinsi Papua Pegunungan (1,9%), Maluku (7,3%), Papua Barat Daya dan Papua Selatan (7,5%).
Rincian lengkap mengenai persentase rumah sakit yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai
standar tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 83.c.
H. GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT (GERMAS)
GERMAS merupakan berbagai upaya intervensi komprehensif dan holistik yang mencakup
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, sebagai kesatuan continuum of care. Melalui pembudayaan
GERMAS, continuum of care dilakukan secara terpadu melalui pemberdayaan masyarakat maupun
peningkatan aksi multisektor.
GERMAS merupakan suatu tindakan sistematis dan terencana yang dilakukan bersama-sama oleh
seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan
kualitas hidup. GERMAS mengedepankan upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya
kuratif-rehabilitatif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam memasyarakatkan paradigma
sehat. GERMAS bertujuan menciptakan masyarakat menerapkan perilaku hidup sehat yang berdampak pada
kesehatan, produktivitas, lingkungan bersih, dan berkurangnya biaya berobat.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2017 tentang GERMAS mengamanatkan setiap
pihak terkait untuk menetapkan kebijakan dan mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi,
dan kewenangan masing-masing untuk mewujudkan GERMAS, melalui peningkatan aktivitas fisik,
peningkatan perilaku hidup sehat, penyediaan pangan sehat dan percepatan perbaikan gizi, peningkatan
pencegahan dan deteksi dini penyakit, peningkatan kualitas lingkungan, dan peningkatan edukasi hidup
sehat. Inpres ini juga mengamanatkan Menteri Kesehatan untuk melaksanakan kampanye GERMAS,
meningkatkan advokasi dan pembinaan daerah dalam pelaksanaan kebijakan KTR, meningkatkan
pendidikan mengenai gizi seimbang dan pemberian ASI eksklusif, aktivitas fisik, dan meningkatkan
pelaksanaan deteksi dini penyakit di puskesmas serta menyusun panduan pelaksanaan deteksi dini
penyakit di instansi pemerintah dan swasta.
GERMAS tidak hanya dijalankan oleh Kementerian Kesehatan saja, tetapi juga lintas kementerian
dan lembaga, pemerintah daerah, akademisi, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan dan profesi, serta
ditunjang peran serta seluruh lapisan masyarakat dalam mempraktikkan pola hidup sehat. Pelaksanaan
GERMAS harus dimulai dari keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat yang membentuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Oleh karena itu, dibutuhkan advokasi yang kuat kepada lintas sektor dan
seluruh komponen masyarakat yang mampu menghasilkan pembangunan berwawasan kesehatan.
Sejak dikeluarkannya Permenkes Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2020-2024 terdapat perubahan definisi operasional sebagai berikut:
Semula Menjadi
Kabupaten/kota yang menerapkan kebijakan
Germas dengan kriteria :
1. Memiliki kebijakan gerakan masyarakat
hidup sehat dan atau kebijakan berwawasan
kesehatan
2. Melaksanakan Penggerakan Masyarakat dalam
mendukung Germas, minimal 3 kali setahun
dengan melibatkan lintas sektor, pendidikan
(sekolah), Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) dan atau Mitra Potensial.
Persentase Kabupaten/Kota Yang Menerapkan
Kebijakan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(GERMAS) adalah kabupaten/kota yang menerapkan
kebijakan gerakan masyarakat hidup sehat
(Germas) bila memiliki regulasi terkait Germas, dan
melaksanakan 2 dari 3 kegiatan berikut:
1. Melaksanakan kampanye Germas tema prioritas
2. Memiliki kegiatan skrining kesehatan di tempat
kerja
3. Memiliki kegiatan pembinaan kesehatan
tradisiona
Pada tahun 2023, sebanyak 380 kabupaten/kota (73,9%) telah melaksanakan kebijakan Germas
(Gambar 7.12). Angka ini sudah memenuhi target Renstra tahun 2023 yaitu 65% kabupaten/kota
melaksanakan Kebijakan Germas. Terdapat 15 (Limabelas) provinsi yang belum mencapai target renstra
65% kab/kota menerapkan kebijakan Germas. Terdapat 15 (Limabelas) provinsi yang mencapai 100%
Kabupaten/Kota melaksanakan Kebijakan Germas yaitu Provinsi Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, DI Yogyakarta,
Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu dan Riau. Ada 4 (empat)
provinsi dimana seluruh Kabupaten/Kotanya belum melaksanakan Kebijakan Germas yaitu Provinsi
Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya. Rincian lengkap mengenai
kabupaten/kota melaksanakan kebijakan Germas tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 83.d
I. PERUMAHAN
Mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan
maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil
upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Menurut WHO (World Health Organization), pengertian
perumahan (housing) adalah suatu struktur fisik di mana orang menggunakannya untuk tempat
berlindung, di mana lingkungan dari struktur tersebut termasuk juga semua fasilitas dan pelayanan
yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani, dan keadaan sosial
yang baik untuk keluarga dan individu. Rumah sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal.
Klasifikasi rumah layak huni dilakukan dengan mempertimbangkan empat kriteria yang
diwajibkan terpenuhi kelayakannya, yaitu:
1. Ketahanan bangunan (durable housing) yaitu bahan bangunan atap, dinding, dan lantai rumah
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Bahan bangunan atap rumah terluas adalah beton, genteng, kayu/sirap, dan seng.
b. Bahan bangunan dinding rumah terluas adalah tembok, plesteran anyaman bambu/kawat,
kayu/papan, dan batang kayu.
c. Bahan bangunan lantai rumah terluas adalah marmer/granit, keramik, parket/vinil/karpet,
ubin/tegel/teraso, kayu/papan, dan semen/bata merah.
2. Kecukupan luas tempat tinggal (sufficient living space) yaitu luas lantai per kapita minimal 7,2 m2
.
3. Memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak.
4. Memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak.Gambar 7.13 menunjukkan persentase rumah tangga yang menempati rumah layak huni pada
tahun 2023 sebesar 63,15%. Selama periode tahun 2021 - 2023 mengalami peningkatan sebesar 2,25%.
Persentase di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi daripada di perdesaan (65,47%) dan (59,91%). Secara nasional persentase rumah tangga yang menempati rumah layak huni sebesar 63,15%
(Gambar 7.14). Provinsi dengan persentase tertinggi rumah tangga yang menempati rumah layak
huni yaitu Provinsi DI Yogyakarta (85,79%), Bali (84,26%) dan Kalimantan Timur (75,82%). Sedangkan
provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (29,01%), Kepulauan Bangka Belitung (32,57%),
dan DKI Jakarta (38,80%). Rincian lengkap tentang persentase rumah tangga yang menempati rumah
layak huni tahun 2023 dapat dilihat pada Lampiran 83.e.