tara lain
dengan menciutkan bronchi, sedangkan
sekresi dahak diperbesar;
– kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya
pengeluaran air mata;
– kontraksi kandung kemih dan ureter
dengan efek memperlancar pengeluaran
urin;
– dilatasi pembuluh dan kontraksi otot
kerangka;
– menekan SSP sesudah pada awal menstimulasinya.
Efek muskarin dan efek nikotin
Reseptor-reseptor kolinergika ada dalam semua ganglia, sinaps dan neuron postganglioner dari SP, juga di pelat-pelat ujung
motorik (otot lurik) dan di bagian Susunan
Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. berdasar efeknya terhadap rangsangan, reseptor ini dapat dibagi dalam 2
jenis, yakni reseptor muskarin dan reseptor
nikotin, yang masing-masing menghasilkan
efek berlainan.
1. Reseptor muskarin (M) ada di neuron postganglioner dan dapat dibagi dalam minimal 3 subtipe, yakni reseptor-M1
,
-M2
, dan -M3.. Ketiga jenis reseptor ini bila
dirangsang memberikan efek yang berlainan,
lihat tabel di bawah ini. Dewasa ini sudah
ditemukan dua subtipe reseptor-M lainnya
lagi.
Muskarin (M) yaitu derivat furan yang
bersifat sangat beracun dan ada sebagai
alkaloid pada jamur merah Amanita muscaria. Reseptor muskarin sesudah diaktivasi oleh
neurotransmitter asetilkolin atau kolinergika
dapat memicu semua efek fisiologis
yang tertera di atas.
Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan
merangsang ketiga tipe reseptor M, sama
dengan adrenalin dan NA dari Sistem Simpatik
(SS), yang juga merangsang secara tak-selektif
reseptor -alfa dan -beta adrenergik. Obat-obat
yang mengaktivasi reseptor-M1
, -M2
, atau -M3
secara selektif hingga kini belum ditemukan.
2. Reseptor nikotin (N) terutama ada
di pelat-pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di ganglia otonom (simpatik dan
parasimpatik). Stimulasi reseptor ini oleh
kolinergika (neostigmin dan piridostigmin)
memicu efek yang menyerupai efek
adrenergika, oleh sebab itu bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi
dengan meningkatnya tensi ringan, penguatan
kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan.
Pada dosis rendah timbul kontraksi otot
lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi
depolarisasi dan blokade neuromuskular.
Mekanisme kerjanya berdasar stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatik dan
stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Di samping itu juga terjadi stimulasi
ganglia kolinergik (terutama di saluran lambung-usus dengan peningkatan peristaltik)
dan pelat-pelat ujung motorik otot lurik, di
mana ada banyak reseptor nikotin.
* Efek nikotin dari ACh juga terjadi pada
perokok, yang disebabkan oleh sejumlah
kecil nikotin yang diserap ke dalam darah
melalui mukosa mulut.
Selektivitas parsial untuk reseptor -M dan
-N ada pada kolinergika klasik seperti
pilokarpin, karbachol dan aseklidin (*Glaucofrin). Obat-obat ini pada dosis biasa mengaktivasi beberapa tipe reseptor-M tanpa memengaruhi reseptor nikotin. Sebaliknya, kolinergika lain seperti zat-zat antikolinesterase
(neostigmin, piridostigmin), bekerja tidak
selektif.
Penggolongan
Kolinergika dapat dibagi menurut mekanisme
kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung
dan zat-zat dengan kerja tak-langsung.
1.Bekerja langsung: karbachol, pilokarpin, muskarin dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca
catechu). Zat-zat ini bekerja langsung terhadap organ ujung dengan kerja utama yang
mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya
yaitu zat-zat amonium kwaterner yang
bersifat hidrofil dan sukar memasuki SSP,
terkecuali arekolin.
2.Bekerja tak-langsung: zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini menghambat penguraian ACh secara reversibel, yaitu hanya
untuk sementara. sesudah zat-zat ini
selesai diuraikan oleh kolinesterase, ACh
segera akan dirombak lagi.
Di samping itu ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat lain. Kerjanya
panjang sebab bertahan sampai enzim terbentuk baru lagi. Zat ini banyak dipakai
sebagai insektisid beracun kuat di bidang
pertanian dan sebagai obat kutu rambut
(malathion). Gas saraf yang dipakai sebagai senjata perang juga termasuk dalam
kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin
dan Soman.
pemakaian
Kolinergika khusus dipakai pada penyakit mata glaukoma, myasthenia gravis, demensia
Alzheimer dan atonia.
1.Glaukoma
Staar hijau (glaukoma) yaitu penyakit
mata yang bercirikan peningkatan tekanan
cairan mata intraokuler (TIO) di atas 21 mm
Hg, yang bisa menjepit saraf mata. Saraf
ini berangsur-angsur dirusak secara progresif, sehingga penglihatan memburuk dan
akhirnya dapat memicu kebutaan. Tetapi hanya persentase kecil dari pasien dengan
TIO meningkat menderita glaukoma. Nilai
tekanan intraokuler normal yaitu antara 10-
21 mm Hg.
Gejalanya tidak begitu nyata dan berlangsung secara sangat berangsur-angsur, terutama penyempitan pandangan perspektif dengan timbulnya ‘blind spots’. Oleh sebab
itu umumnya glaukom baru menjadi manifes pada stadium lanjut dengan sudah adanya kerusakan irreversibel. Oleh sebab
itu orang-orang di atas 50 tahun sebaiknya
memeriksakan matanya setiap 1-2 tahun
untuk mengukur TIO-nya (tonometri).
pemicu nya . Cairan mata terbentuk di mukosa tipis di belakang pupil, di corpus ciliare
dan via liang pupil mengalir ke ruang mata
depan. Pengeluarannya melalui ruang sempit
antara pupil dan kornea (“segi-bilik”) ke
saluran keluar. Bila cairan ini tidak dapat
mengalir keluar dari ruang mata depan
sebab misalnya penyumbatan, maka TIO
akan meningkat. Jenis glaukoma yang paling
sering ada yaitu glaukoma segi-bilik
terbuka (glaucoma simplex). Pada bentuk ini
pengeluaran cairan dari ruang mata depan
terlampau lambat, meskipun saluran keluar
di segi-bilik tidak tersumbat. Hal ini bisa
dilihat pada pemeriksaan mata. Gangguan ini
disebabkan oleh kelainan bagian depan dari
saraf mata, biasanya timbul di keluarga dan
sering kali pada penderita diabetes atau myopia,
yang dapat ditangani dengan pengobatan
atau melalui pembedahan mikro. Bagi bentuk
glaukoma yang saluran keluarnya tersumbat,
yaitu glaukoma segi-bilik tertutup, juga dapat dilakukan pengobatan atau penyinaran
dengan laser guna membuat lubang pada iris
untuk mengatasi penyumbatan ini .
Tujuan penanganan glaukoma yaitu menurunkan tekanan cairan mata intraokuler
(senyawa prostaglandin latanoprost) melalui
peningkatan penyaluran keluar dari cairan
ini atau merintangi produksiya (betablocker).
Pengobatan dapat dilakukan dengan terutama dua jenis obat tergantung pada penyebab gangguan, yaitu dengan kolinergika atau
β-blocker. Pada glaukoma terbuka, beta-blocker
merupakan pilihan pertama. Bila obat-obat
ini terkontraindikasi atau kurang efektif,
baru dipakai kolinergika atau adrenergika.
a. Beta-blocker: timolol (Nyolol 0,5%), betaksolol (Betoptima 0,5%) dan befunolol (Glauconex 0,5%). Efektif bila kenaikan tekanan intraokuler disebabkan oleh meningkatnya produksi cairan mata. Mekanisme kerjanya melalui reseptor beta di
corpus ciliare mata. Beta-blocker berkhasiat menurunkan produksi cairan mata
sampai 20-25%, namun tidak memengaruhi
pengeluarannya.
b. Kolinergika: pilokarpin, karbachol dan neostigmin. dipakai bila segi bilik menyempit, yang sering kali terjadi pada
manula. Akibatnya pengeluaran cairan
mata dari bilik depan terhambat, sehingga
volume dan tekanan intraokuler setempat
meningkat. Obat-obat ini mengkontraksi
dan menyempitkan manik mata (miosis),
yang memicu segi bilik merenggang
dan penyaluran cairan mata meningkat.
Juga menurunkan produksi cairan mata
melalui rangsangan dari alfa-2-reseptor.
c. Adrenergika: dipivefrin, apraklonidin dan
brimonidin. Dipivefrin melalui stimulasi
reseptor-beta meskipun meningkatkan
produksi cairan bilik, namun serentak juga
penyalurannya distimulasi sehingga efek
keseluruhannya yaitu netral. Stimulasi
reseptor-alfa menghambat produksi
cairan. Kedua obat terakhir mengurangi
produksi cairan mata, brimonidin juga
melancarkan penyalurannya. Kedua obat
ini hanya dipakai untuk pengobatan
jangka pendek sebelum atau sesudah
penanganan dengan laser.
d. Obat-obat lainnya yaitu latanoprost,
dorzolamida dan brinzolamida. Obat pertama mempercepat pengeluaran cairan, sedangkan kedua zat terakhir penghambat
karboanhidrase yang mengurangi produksinya.2. Myasthenia gravis (Yun. myo = otot, asthenia = kelemahan)
yaitu suatu penyakit auto-imun yang
bercirikan keletihan dan kelemahan dari
terutama otot-otot muka, mata dan mulut.
pemicu nya yaitu kekurangan relatif dari
ACh di pelat ujung motorik dari otot lurik.
Kekurangan ini disebabkan oleh antibodies IgG, yang telah merusak reseptor ACh
setempat. Oleh sebab itu penerusan impuls
dari saraf ke otot oleh ACh tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Zat-zat antikolinesterase (fisostigmin dan derivatnya)
merintangi perombakan cepat dari ACh oleh
kolinesterase, sehingga kerjanya lebih lama.
Dengan demikian transmisi impuls diperbaiki atau bahkan kerusakan reseptor dapat
dihambat.
Obat lain yang sering dipakai yaitu
prednison, yang berkhasiat menghambat seluruh proses penyakit.
3. Demensia Alzheimer. berdasar penemuan bahwa kadar ACh di otak berkurang
pada demensia, maka dipakai penghambat kolinesterase untuk mencegah perombakan dan meningkatkan kadar ACh di otak.
Yang kini tersedia yaitu takrin, rivastigmin
(Exelon), metrifonat, milameline dan obat
baru donepezil (Aricept). Obat-obat ini hanya
berkhasiat memperlambat progres dari kasus-kasus yang tidak begitu serius. Lihat
selanjutnya Bab 28 B, Obat-obat Alzheimer.
4. Atonia (keadaan kelemahan otot polos). Setelah pembedahan besar dengan stress bagi tubuh adakalanya terjadi peningkatan
aktivitas saraf adrenergik. Akibatnya dapat
berupa obstipasi dan sukar berkemih (atonia kandung kemih), bahkan obstruksi usus
(ileus paralyticus) akibat pengenduran dan
kelumpuhan peristaltik. Keadaan ini dapat
ditanggulangi oleh kolinergika (karbachol dan
neostigmin).
Efek samping kolinergika yaitu sama dengan efek dari stimulasi SP secara berlebihan,
antara lain mual, muntah-muntah dan diare, juga meningkatnya sekresi ludah, dahak,
keringat dan air mata, bradycardia, bronchokonstriksi serta depresi pernapasan.
Antidotum pada overdosis atau keracunan
dengan kolinergika yaitu senyawa antikolinergik atropin dengan dosis tinggi sekali,
khusus untuk melawan efek muskarin.
Kehamilan dan laktasi. Senyawa amonium
kwaterner tidak melintasi plasenta, maka dapat dipakai per oral, namun tidak parenteral
sebab dapat memicu his.
MONOGRAFI
1.BETA-BLOCKER
1a. Timolol (Nyolol, Timoptol, *Xalacom)
Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,25-0,5%
1b. Betaxolol (Betoptima 0.5%, Betoptic)
Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,25-0,5%
1c. Befunol (Glauconex 0,25%)
Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,25-0,5 %
Lihat selanjutnya Bab 35, Antihipertensiva
1d. Karteolol: Arteoptic LA, Teoptic, Carteabak
Merupakan betablocker non-selektif yang
berkhasiat menurunkan tekanan intraokuler
pada glaukoma simpleks dengan mengurangi
sekresi cairan mata. Mulai bekerja dalam
waktu 30 menit dan berlangsung sampai 24
jam.
Efek sampingnya lupus erythematosus
sistemik (SLE), sakit kepala, pusing, meningkatnya myasthenia gravis dan iritasi mata,
konyung-tivitis dan gangguan penglihatan.
Dosis: 2 dd 1 tetes (1%-2%)
1e. Levobunolol: Betagan Liquifilm
Isomer levo dari bunolol ini yaitu betablocker non-selektif yang berkhasiat menurunkan dengan cepat tekanan intraokuler
pada glaukoma simpleks dan berlangsung
selama paling sedikit 12 jam.
Efek samping iritasi mata, konyungtivitis,
gangguan visus dan sistemik seperti gangguan jantung, bronchospasme, sakit kepala,
mual dan pusing.
Dosis: 1-2 dd 1 tetes 0,25%
2.KOLINERGIKA
2a. Asetilkolin:ACh
Neurohormon penting ini bersifat sangat tidak stabil sebab segera diuraikan oleh dua
jenis enzim kolinesterase untuk menghindari stimulasi terus-menerus dari saraf kolinergik. Hasil penguraiannya yaitu kolin,
suatu unsur penting dari lesitin, yang ada di banyak organ tubuh, misalnya dalam
empedu, otak dan kuning telur. Berhubung
labilitasnya, ACh tidak dipakai lagi dalam terapi dan diganti oleh derivat yang
lebih stabil, antara lain karbachol.
Defisiensi ACh di otak dihubungkan dengan
penyakit demensi Alzheimer, lihat Bab 28C.
*Karbachol (Isopto Carbachol, Miostat) adalah derivat uretan dari kolin (1933) yang penguraiannya oleh enzim tidak secepat ACh,
sehingga efeknya lebih lama. Khasiat muskarin dan nikotin sama kuatnya, efek samping lebih ringan dan jarang terjadi pada dosis biasa. dipakai sebagai miotikum pada
glaukoma dan pada atonia organ dalam.
Dosis: pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan
1,5-3% (klorida), pada atonia usus/kandung
kemih akut oral 1-3 dd 4 mg.
2b. Pilokarpin : (Cendo Carpine, *Timpilo, Miokar)
Alkaloid ini ada pada daun tanaman
Amerika, Pilocarpus jaborandi. Terutama berkhasiat muskarin, efek nikotin ringan sekali.
Pada awalnya SSP distimulasi, kemudian
ditekan aktivitasnya. pemakaian utamanya
yaitu sebagai miotikum pada glaukoma.
Efek miotiknya (tetes mata) dimulai sesudah
10-30 menit dan bertahan 4-8 jam.
Toleransi dapat terjadi sesudah dipakai
untuk waktu lama yang dapat diatasi dengan memakai kolinergika lain untuk
beberapa waktu, misalnya karbachol atau neostigmin.
Dosis: pada glaukoma 2-4 dd 1-2 tetes larutan 1-2% (klorida, nitrat).
*Timpilo = timolol + pilokarpin.
2c. Neostigmin: Prostigmin
Senyawa amonium kwaterner ini
yaitu perintang kolinesterase reversibel.
Neostigmin memiliki khasiat muskarin agak
kuat, yang jauh melebihi efek nikotinnya
yang sangat ringan. dipakai terutama
pada keadaan otot lemah, yaitu untuk diagnosis dan terapi myasthenia, atonia usus dan
kandung kemih (sukar buang air besar dan
kecil). Begitu pula pada glaukoma.
Resorpsi dari usus berlangsung buruk seperti semua zat hidrofil. Lama kerja bervariasi
secara individual, plasma-t½ 15-54 menit.
Dalam hati zat ini dihidrolisis ikatan esternya
oleh kolinesterase. sebab sukar melintasi
membran otak, efek pusatnya ringan.
Efek samping atas jantung dan peredaran
darah lebih ringan daripada pilokarpin. Untuk melawan efek muskarin ini dapat diberikan atropin. Pada dosis berlebihan dapat
timbul kelemahan otot, sehingga seolah-olah
obat tidak efektif lagi (pada myasthenia). Oleh
sebab itu, pemakaian nya perlu dipantau
dengan saksama dan kontinu.
Dosis: pada myasthenia oral rata-rata 150
mg sehari dalam 4-6 dosis (bromida), pada
glaukoma 1-2 dd 1-2 tetes 3-5% larutan metilsulfat.
* Piridostigmin (Mestinon) yaitu derivat
(1954) dengan efek muskarin ±4 kali lebih
lemah daripada neostigmin. Efek samping
juga lebih ringan dan terutama berupa gangguan lambung-usus. Mulai kerja lebih lama,
namun juga bertahan lebih lama. Khusus dipakai pada myasthenia gravis. Dosis: oral 3-4
dd 30 mg (bromida).
2d. Nikotin: Nicorette, plester Nicotinell TTS
Derivat piridin ini (1978) ada sebagai
alkaloid pada daun tembakau (Nicotiana
tabacum). Nikotin diikat pada reseptor-N di
SSP dan SS perifer, berefek terhadap otak,
jantung, pembuluh, saraf, lambung-usus dan
otot kerangka. Pada dosis rendah berkhasiat
stimulasi, sedangkan pada dosis tinggi
bekerja inhibisi.
Terutama untuk mendukung penghentian
merokok, dipakai dalam bentuk plester
atau sebagai chewing gum (Nicorette). Plester
dari 10, 20 dan 30 cm2
melepaskan nikotin
masing-masing 7, 14 atau 21 mg secara teratur
selama 24 jam. Bila chewing gum ini
dikunyah perlahan-lahan selama 30 menit,
akan dibebaskan 2 sampai 4 mg nikotin, yang
diserap melalui mukosa mulut.
Efek samping tergantung pada besarnya
dosis dan terutama berupa kenaikan tensi
dan frekuensi pukulan jantung, juga sukar tidur dan gatal-gatal, jarang iritasi, rasa takut,
berkeringat, nyeri kepala, pusing, rasa letih,
mulut kering atau sekresi liur berlebihan.
Selama kehamilan dan laktasi tidak boleh dipakai .
Dosis: chewing gum maksimal 7 dd, plester
1 dd pagi hari. Sebelum terapi dimulai, merokok harus dihentikan seluruhnya.
2e. Tacrin: tetrahidroakridin, THA, Cognex
Derivat akridin ini (1993) yaitu antikolinesterase reversibel dengan khasiat terhadap
SSP. Tacrin terutama dipakai untuk meningkatkan kadar ACh di otak pada demensia
Alzheimer, yang antara lain bercirikan kekurangan neurohormon ini di sel-sel otak tertentu (substantia nigra).
Dosis: oral permulaan 40 mg/hari selama 6
minggu, lalu dinaikkan dengan 40 mg setiap
6 minggu, maksimal 160 mg.
Lihat selanjutnya Bab 28 C, Obat-obat
Alzheimer.
3 ADRENERGIKA
3a. Dipivefrin (epinefrinedipivalat, Diopine)
Ester adrenalin ini yaitu prodrug inaktif
yang dalam kornea dan bilik-depan mata
dihidrolisis oleh esterase (1978). Berkat sifat
lipofilnya lebih mudah mempenetrasi mata
dari pada adrenalin, yang menghambat produksi cairan bilik dan meningkatkan penyalurannya. Tidak memicu miosis, namun
midriasis.
Efek samping jarang terjadi dan berupa iritasi, rasa terbakar, conjunctivitis dan pengendapan pigmen di kornea dan conjunctiva.
Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,1% pada glaukoma terbuka.
3b. Brimonidin (Alphagan) yaitu alfa-2-
adrenergikum yang rumusnya mirip dengan
klonidin, namun bersifat kurang lipofil. Tidak
memengaruhi tekanan darah atau frekuensi
jantung, mengurangi produksi cairan mata
dan meningkatkan penyalurannya. dipakai pada glauoma terbuka bila beta-blocker
tidak dapat dipakai .
Efek samping yang tersering yaitu reaksi
alergik.
Dosis: 2 dd 1 tetes.
3c. Apraklonidin (Iopidine) yaitu derivat
obat antihipertensif klonidin dengan khasiat
stimulasi reseptor-alfa dan -beta, yang menghambat produksi cairan mata melalui penurunan tonus simpatik. Tidak memengaruhi tekanan darah. Toleransi dapat terjadi.
Dosis: pada glaukoma terbuka 3 dd 1 tetes
larutan 0,5%, lazimnya selama 4 minggu.
4. LAINNYA
4a. Latanoprost (Xalatan) yaitu ester inaktif dari suatu analogon prostaglandin-F2-alfa
(1995). sesudah absorpsi oleh kornea dihidrolisis oleh esterase menjadi asam aktifnya. Zat
ini berkhasiat menurunkan tekanan mata
dengan meningkatkan penyaluran cairan
mata dari bilik depan.
Dosis:1 dd 1 tetes larutan 0,005 %.
*Xalacom = latanoprost 0,005% + timolol
0,5%
4b. Bimatoprost: Lumigan
yaitu prostamida sintetik yang struktural
berkaitan dengan prostaglandin F2alfa dan
dipakai a.l. terhadap glaukoma terbuka
kronis.
Berkhasiat menurunkan tekanan intraokuler dengan memperbaiki pengaliran keluar cairan mata. Khasiatnya sesudah 4 jam
dan berlangsung paling sedikit 24 jam.
Resorpsinya melalui kornea baik. PP 88%,
dimetabolisasi dalam hati dan metabolitnya
diekskresi terutama via urin 67% dan via
feses 25%. T1/2 ±45 menit.
Efek samping sering kali gatal dan iritasi
pada mata, konjunctivitis, sakit kepala dan
hipertensi.
Dosis: malam 1dd 1 tetes (0,01%). Penggunaan lebih sering menurunkan efeknya.
4c. Tafluprost: Saflutan
Prodrug ini yaitu analogon dari prostaglandin F2alfa yang berkhasiat menurunkan
tekanan intraokuler pada glaukoma simpleks dengan memperbaiki penyaluran cairan mata. Metabolit aktif yaitu asam tafluprost yang terbentuk sewaktu melintasi kornea. Efeknya timbul sesudah 2-4 jam dan
berlangsung minimal 24 jam.
Efek samping sering kali hiperaemia okuler, di samping sakit kepala, gangguan mata (gatal, sakit, kering dan iritasi) serta tumbuhnya bulu mata berlebihan.
Dosis: malam 1 dd 1 tetes larutan 15 mcg/
ml. pemakaian lebih sering dapat menurunkan efeknya.
4d. Travoprost: Travatan
Senyawa ini juga merupakan analogon
dari prostaglandin F2a yang pada glaukoma
simpleks berkhasiat menurunkan cairan
mata dengan memperbaiki pengeluarannya.
Efeknya dalam waktu 2 jam dan berlangsung
selama 24 jam.
Senyawa ini yaitu suatu prodrug dan
waktu melintasi kornea dihidrolisissi menjadi asam aktif yang bersamaan dengan metabolitnya diekskresi melalui ginjal.
Efek samping sering kali (>10%) hyperaemia
okuler, hiperpigmentasi iris, gangguan mata,
penglihatan menurun, juga sakit kepala, konyungtivitis, alergi dan gangguan jantung
serta gangguan tekanan darah.
Dosis: malam 1 dd 1 tetes dan jangan lebih.
4e. Dorzolamida (Trusopt) yaitu derivat
sulfonamida dengan khasiat menghambat
karbonanhidrase yang berefek mengurangi
produksi cairan mata (1995). Efek sampingnya
lebih ringan daripada karbonanhidrase-blocker sistemik asetazolamida, sehingga lebih
disukai pemakaian nya. Lihat juga Bab 33,
Diuretika, Asetazolamida.
Antara latanaprost dan dorzolamida
mungkin terjadi interaksi bila dipakai bersamaan.
Dosis: 3 dd 1 tetes larutan 2 % bersama betablocker.
* Brinzolamida (Azopt) yaitu sulfonamida,
juga dengan khasiat karbonanhidrase-blocker
(1998). Dosis: 2-3 dd 1 tetes larutan 1%.
B. ANTIKOLINERGIKA
Antikolinergika atau parasimpatikolitika
melawan khasiat asetilkolin dengan menghambat terutama reseptor-reseptor-M(uskarin) yang ada di SSP dan organ perifer.
Zat-zat ini tidak bekerja terhadap reseptorreseptor-N(ikotin) terkecuali zat-zat amonium
kwaterner yang berkhasiat lemah. Misalnya
relaksan otot pankuronium dan vekuronium, serta
ganglion-blocker yang terutama menghambat
reseptor-N di pelat ujung myoneural dan di
ganglia otonom.
Kebanyakan antikolinergika tidak bekerja
selektif bagi lima subtipe reseptor-M. Bekerja
terhadap banyak organ tubuh, a.l. mata,
kelenjar eksokrin, paru-paru, jantung, saluran
kemih, saluran lambung-usus dan SSP.
Khasiatnya
Efek antikolinergika terpenting yaitu sebagai berikut:
– memperlebar pupil (mydriasis) dan berkurangnya akomodasi
– mengurangi sekresi kelenjar (liur, keringat,
dahak)
– mengurangi tonus dan motilitas saluran
lambung-usus, juga sekresi getah lambung
– dilatasi bronchi
– meningkatkan frekuensi jantung dan mempercepat penerusan impuls di berkas His
(bundle of His), yang disebabkan penghambatan saraf paru-lambung (saraf mengembara, nervus vagus).
– merelaksasi otot detrusor yang memicu
pengosongan kandung kemih, sehingga
kapasitasnya meningkat. Flavoksat dan
oksibutinin juga berkhasiat langsung merelaksasi otot
– merangsang SSP dan pada dosis tinggi menekan SSP (terkecuali pada zat amonium
kwaterner).
pemakaian
Tergantung pada sifat spesifiknya masingmasing, antikolinergika dipakai dalam farmakoterapi untuk bermacam-macam gangguan dan yang terpenting di antaranya adalah:
a. sebagai midriatikum, untuk melebarkan pupil dan melumpuhkan akomodasi (atropin, homatropin, tropikamida). Jika efek
terakhir tidak diinginkan, maka harus
dipakai suatu adrenergikum, misalnya
fenilefrin;
b. sebagai spasmolitikum (pereda kejang otot
dan kolik) dari saluran lambung-usus, saluran empedu dan alat urogenital, misalnya pada IBS (Irritable Bowel Syndrome)
(hyoscyamin, butilskopolamin dan propantelin);
c. pada inkontinensi urin pada kandung kemih instabil akibat hiperaktivitas dari otot
detrusor. Kontraksi spontan serta hasrat
berkemih dikurangi (flavoksat, oksibutinin,
tolterodin);
d. pada Parkinsonisme, lihat Bab 28, Obat-obat
Parkinson;
e. pada asma dan bronchitis (ipratropium, tiotropium);
f. sebagai premedikasi pra-bedah, untuk mengurangi sekresi ludah dan bronchi dan
sebagai sedativum berkat efek menekannya terhadap SSP. Terutama dipakai
atropin dan skopolamin bersamaan dengan
anestetika umum. Antihistaminika dan
fenotiazin juga dipakai untuk maksud
ini;
g. sebagai zat anti-mabuk jalan, guna mencegah
mual dan muntah (skopolamin);
h. pada hiperhidrosus, untuk menekan pengeluaran keringat berlebihan;
i. sebagai zat penawar pada intoksikasi dengan
zat penghambat kolinesterase (atropin).
Efek samping
Efek samping umum antikolinergika tergantung dari dosis dan berupa efek-efek muskarin,
ya-itu mulut kering, obstipasi, retensi urin,
tachycardia, palpitasi dan aritmia, gangguan
akomodasi, midriasis dan berkeringat. Pada
dosis tinggi timbul efek sentral, seperti gelisah,
bingung, eksitasi, halusinasi dan delirium.
Zat-zat amonium kwaterner dalam dosis tinggi juga dapat menghasilkan efek nikotin,
khususnya blokade ganglion dengan antara
lain hipotensi ortostatik dan impotensi.
Kehamilan dan laktasi. Hanya atropin dapat dipakai oleh wanita hamil dan yang
menyusui; sedangkan dari obat-obat lainnya belum tersedia cukup data mengenai
keamanannya.
Penggolongan
Antikolinergika dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
a. alkaloida Belladonna: atropin, hyoscyamin,
skopolamin dan homatropin
b. zat amonium kwaterner: propantelin, ipratropium dan tiotropium
c. zat amin tersier: pirenzepin, flavoksat, oksibutinin, tolterodin dan tropikamida
MONOGRAFI
1. ALKALOID BELLADONNA
Tumbuhan Atropa belladonna dari Eropa mengandung beberapa jenis alkaloid, terutama
l-hyoscyamin dengan sedikit atropin dan
skopolamin. Ketiga zat ini juga ada dalam beberapa tumbuhan lain dari famili Solanaceae, antara lain kecubung (Datura fastuosa).
1a. Atropin (F.I.): dl-hyoscyamine
Derivat tropan ini yaitu campuran rasemis
(bentuk-dl), yang berkhasiat antikolinergik
kuat dan merupakan antagonis khusus dari
efek muskarin ACh. Efek nikotin diantagonir
dengan sangat ringan. Zat ini dipakai
sebagai midriatikum kerja panjang (sampai
beberapa hari) dan juga melumpuhkan akomodasi (cycloplegia). Juga sebagai spasmolitikum pada kejang-kejang di saluran lambung-usus dan urogenital, sebagai premedikasi pada anestesi dan sebagai zat penawar
(antidotum) keracunan ACh (zat-zat antikolinesterase) dan kolinergika lain.
Atropin juga memiliki daya kerja atas SSP
(antara lain sedatif) dan efek bronchodilatasi ringan berdasar peredaan otot polos
bronchi.
Resorpsi di usus cepat dan lengkap seperti
alkaloid alamiah lainnya, begitu pula dari
mukosa. Resorpsi melalui kulit utuh dan
mata tidak mudah. Distribusinya ke seluruh
tubuh baik. Ekskresi melalui ginjal, yang
separuhnya dalam keadaan utuh. Plasma-t½
2-4 jam.
Dosis: oral 3 dd 0,4-0,6 mg (sulfat), maksimal
4 mg sehari, okuler larutan 0,5-1%.
* Hyoscyamin (l-atropin, Egacene) yaitu bentuk levo aktif dari atropin dengan khasiat
sentral dan perifer lebih kuat. Zat ini khusus
dipakai pada kejang-kejang lambungusus dan pada hiperhidrosus. Dosis: oral 2-3 dd 0,4-0,6 mg tablet retard
(sulfat).
* Homatropin (Homatro, *Peptisin) yaitu derivat sintetik yang ±10 kali lebih lemah dari
atropin. Efek midriatiknya lebih cepat dan
singkat (maksimal 24 jam), efek cycloplegia
lebih ringan, begitu pula efek-efek samping
lainnya. Homatropin dipakai sebagai tetes mata (larutan HBr 2%) untuk diagnosis
dan dahulu dalam sediaan terhadap tukak
lambung untuk menghambat sekresi asam.
1b. Skopolamin: l-hyoscine, Scopoderm TTS
Derivat epoksi dari atropin ini bekerja lebih
kuat mengenai perintangan sekresi ludah
dan keringat, juga efek sentralnya ±3 kali
lebih kuat (sedatif dan hipnotik). Oleh sebab
itu, zat ini dalam bentuk plester dipakai
sebagai obat mabuk jalan. Di samping itu,
adakalanya skopolamin dipakai sebagai
midriatikum, zat anti-kejang lambung-usus
dan untuk premedikasi anestesi.
Dosis: transkutan sebagai plester dengan 1,5
mg skopolamin, yang dilekatkan di belakang
telinga, ±10 jam sebelum berangkat.
* Butilskopolamin (hyoscine-N-butilbromida,
Buscopan, Spasmolit) yaitu derivat amonium
kwaterner (1951), yang banyak dipakai
sebagai spasmolitikum organ dalam, khususnya pada kejang-kejang di lambung-usus,
saluran empedu dan saluran kemih, serta
rahim. Efek samping ringan dan jarang terjadi.
Dosis: oral atau rektal 3-5 dd 10-20 mg (garam
bromida), injeksi i.m./i.v. 20 mg, bila perlu
diulang 2-3 kali.
2. ZAT–ZAT AMONIUM
KWATERNER
Senyawa-senyawa ini mengandung atom-N
bervalensi-5, bersifat basa kuat dan terionisasi
baik, sehingga sukar melintasi membran sel.
Oleh sebab itu resorpsinya dari usus buruk
dan tidak dapat memasuki CCS (Cairan Cerebrospinal), maka tidak memiliki kerja sentral.
Khasiat antikolinergiknya lebih lemah daripada atropin; efek spasmolitik umumnya
lebih kuat. Efek samping juga lebih ringan.
pemakaian nya terutama untuk menekan
peristaltik dan mengurangi sekresi getah
lambung dalam sediaan tukak lambungusus. Juga dipakai sebagai spasmolitikum
terhadap kejang-kejang di organ dalam.
2a. Propantelin: (Pro-Banthine 1953) dalam
dosis tinggi memiliki efek kurare, yaitu mengendurkan (relaksasi) otot-otot lurik kerangka. Dahulu banyak dipakai pada tukak
lambung, gastritis dan kejang lambung-usus
pada IBS. Khasiat antikolinergiknya sedang
sampai kuat.
Dosis: oral 3 dd 15 mg (HBr) d.c. dan 30 mg
a.n.
Lihat Bab 40, Obat-obat Asma dan COPD.
2b Ipratropium: Atrovent
Derivat isopropil dari atropin ini dengan
ikatan amonium kwaterner (1974) khusus
dipakai sebagai inhalasi pada asma
dan bronchitis. Berkhasiat bronchodilatasi
dengan mengurangi hipersekresi dahak dari
bronchi tanpa efek buruk terhadap bulu
gerak (cilia). Lihat selanjutnya Bab 40, Obat
Asma dan COPD.
* Tiotropium (Spiriva) yaitu derivat lebih
baru (2001) dengan pemakaian sama. namun
khasiat bronchodilatasinya lebih kuat dan
bertahan lebih lama daripada ipratropium
sehingga dapat diberikan dalam dosis 1x sehari.
3. ZAT–ZAT AMIN TERSIER
3a. Pirenzepin: Gastrozepin
Derivat benzodiazepin ini (1977) dalam dosis
rendah menghambat secara selektif reseptor
muskarin-M1
dalam sel-sel parietal lambung
yang membentuk HCl. Penghambatan reseptor di organ-organ lain (jantung, mata, lambung-usus, alat urogenital) baru terjadi pada
dosis lebih tinggi. Atas dasar kerja selektifnya,
pirenzepin dahulu banyak dipakai pada
tukak lambung-usus dan gastritis.
Resorpsi di usus buruk, hanya sekitar 25%
berhubung sifat hidrofilnya. PP juga ringan
(12%), plasma-t½ rata-rata 12 jam.
Dosis: oral 2 dd 50 mg pagi hari 30 menit a.c.
dan a.n. selama 4-6 minggu, bila perlu 3 dd 50
mg. Lihat juga Bab 16, Obat-obat Lambung.3b Flavoksat : Urispas
Derivat benzopiran ini (1972) berkhasiat
relaksasi langsung terhadap otot kandung
kemih sehinga kapasitasnya meningkat. Disamping itu juga berkhasiat lokal anestetik
dan analgetik, dengan efek antikolinergik
lemah. Absorpsinya dari usus baik, tidak
diikat pada protein plasma. Dalam hati diubah menjadi 2 metabolit, hanya satu aktif,
yang diekskresi melalui urin dan feses.
Efek sampingnya umum, namun lebih sedikit dari pada obat inkontinensi lain. Tidak
boleh dipakai pada pasien glaukoma tertentu dan pada gangguan fungsi ginjal.
Dosis: pada urge-inkontinensi 3 dd 200-400
mg (garam HCl) p.c.
3c. Oksibutinin: Dridase
Ester dari asam glikolat (1975) yang termasuk senyawa antikolinergik ini berkhasiat
spasmolitik terhadap otot polos kandung kemih, sehingga kapasitasnya diperbesar dan
kontraksi tak terkendali dikurangi. berdasar sifat ini oksibutinin dipakai khusus
pada urge-inkontinensi urin untuk mengurangi hasrat berkemih, juga pada kejang kandung kemih akibat iritasi oleh kateter. Absorpsinya baik dan cepat, namun BA-nya
hanya 6 % sebab FPE besar. Metabolit aktifnya diekskresi melalui urin, zat utuhnya
dengan feses.
Dosis: oral 3 dd 2,5 mg (HCl), bila perlu 3-4
dd 5 mg.
3d. Tolterodin: Detrusitol
Derivat metilfenol in (1997) berkhasiat antikolinergik sedang, efeknya terhadap kelenjar liur lebih lemah dari pada obat lain.
Khusus dipakai pada urge-inkontinensi
urin yang efeknya sudah nyata sesudah 4
minggu. Absorpsi cepat, BA antara 17 dan
65%, masa paruh antara 3 dan 10 jam tergantung dari kecepatan metabolismenya. Kadar
plasma maksimal tercapai sesudah 1-3 jam.
Dalam hati diubah menjadi metabolit aktif
yang diekskresi melalui urin (77%) dan feses
(17%).
Efek samping: mulut kering dan berkurangnya fungsi kognitif pada lansia.
Dosis: oral 3 dd 2,5 – 5 mg (tartrat).
*Fesoterodin (Toviaz)
Antagonis reseptor muskarin dengan selektivitas terhadap kandung kemih, memperbesar kapasitasnya dan mengurangi frekuensi kencing pada sindrom kandung kemih
overaktif, berdasar aktivitas metabolitnya
5-hidroksimetil. Daya kerjanya maksimal
dalam 2-8 minggu.dipakai simptomatik
pada urge-inkontinensi urin.
Efek samping : mulut, mata dan tenggorok
kering, gangguan saluran cerna, mual, diare,
obstipasi dan retensi urin pada penderita
BPH. Dosis : 1 dd 4 mg, maks. 1dd 8 mg.
3e. Mirabegron: Betmiga
Agonis beta-3-adreno-reseptor ini dipakai untuk penanganan simtomatik pada urgeinkontinensi atau meningkatnya frekuensi
kencing akibat kandung kemih overaktif.
Mekanisme kernjanya berdasar stimulasi
dari reseptor beta-3 yang mengendurkan otot
licin dari kandung kemih. Sifat-sifat klinisnya
dapat disamakan dengan tolterodin, namun
tanpa efek samping antikolinergik.
Efek samping: infeksi saluran kemih dan
takhikardi.
Tablet retard dari 50 mg.
3f. Tropikamida (Mydriatyl Cendo, Midric)
Derivat propionamida ini (1957) berkhasiat
antikolinergik kuat dan terutama dipakai
sebagai midriatikum untuk diagnosis. Pelebaran pupil terjadi lebih cepat namun waktunya lebih singkat dari pada atropin dan
skopolamin. Pada dosis lebih besar (larutan
1%) berefek cycloplegis, artinya melumpuhkan
akomodasi.
Dosis: untuk midriasis 1-2 tetes larutan
0,5% minimal 15 menit sebelum pemeriksaan
mata.
JANTUNG, PEMBULUH,
DAN DARAH
Di negara-negara industri penyakit jantung
dan pembuluh (PJP) seperti angina pectoris,
infark jantung, gagal-jantung dan hipertensi,
merupakan penyebab kematian terbesar, disusul kanker dan CARA.
Angka kematian selama masa 25 tahun
terakhir akibat PJP di AS dan Eropa Utara
yaitu 2-3 kali lebih besar dibandingkan
dengan di Jepang dan negara-negara sekitar
Laut Tengah (antara lain Portugal, Spanyol,
Italia dan Yunani). Keadaan di negara kita
dapat disamakan dengan di negara-negara
Laut Tengah dan Jepang. Situasi ini terutama
berkaitan dengan kebiasaan dan susunan
makanan yang disebut Mediterranean diet.
Diet sehari-hari ini di negara-negara tersebut mengandung lebih sedikit daging dan
lemak hewan (jenuh) serta lebih banyak
ikan, minyak nabati tak-jenuh, buah-buahan,
sayur-mayur dengan antioksidansia dan
flavonoida. Lihat juga Bab 54, Dasar-Dasar
Diet sehat.
Sebaliknya di negara-negara maju makanannya terutama kaya akan kalori, protein
dan lemak (jenuh), serta miskin akan seratserat nabati. sebab PJP terutama ada di
negara kaya, maka gangguan ini sering kali
disebut penyakit-penyakit kemakmuran.
Penyakit jantung dan pembuluh
Atherosclerosis. Gangguan pembuluh yang
berperan sangat penting pada terjadinya PJP
yaitu atherosclerosis yang bercirikan menebal dan mengerasnya dinding arteri besar
dan sedang. Keadaan ini diakibatkan oleh
endapan dari antara lain kolesterol, lemak,
kalsium dan fibrin (plaks,atheroma) di dinding
(endotel) pembuluh. Terjadinya peristiwa ini
antara lain diperkirakan ada hubungannya
dengan suatu infeksi bakteri yang memicu reaksi peradangan. Kebiasaan makan
dan gaya hidup (‘lifestyle’) yang salah juga
memegang peranan penting khususnya makanan terlalu berlemak, merokok dan kurang
gerak badan yang membutuhkan enersi.
Hipertensi. Gangguan penting yang sering
terjadi yaitu tekanan darah tinggi, yang
ada hubungannya pula dengan pengerasan
pembuluh.
Penyakit jantung yaitu lebih serius, misalnya angina pectoris, akibat jantung tidak
menerima cukup darah (dan oksigen) sebab
arteri jantung tertutup oleh plaks. Bila arteri
jantung atau otak tersumbat sama sekali,
dapat timbul infark jantung atau infark otak
(stroke, beroerte). Pada gangguan gawat ini
sebagian atau seluruh jantung/otak menjadi
mati, sehingga sering kali bersifat fatal. Akibat
beban jantung yang diperbesar dapat pula
timbul gagal jantung(decompensatio), sebab
jantung tidak sanggup lagi memelihara peredaran darah selayaknya.
Faktor-faktor risiko
Atherosclerosis bersifat sangat mengelabui,
sebab baru memicu gejala klinis pada
jangka panjang. Masa latensi lama ini disebabkan oleh proses penebalan arteri berlangsung
sangat lambat, bisa sampai puluhan tahun.
Lazimnya keluhan baru muncul di atas usia
50 tahun, saat penyakit sudah mencapai
taraf yang cukup serius. Oleh sebab itu
penanggulangannya kini ditekankan pada
tindakan prevensi dengan menghindari faktorfaktor risiko yang dapat mempercepat terjadinya atherosclerosis dengan akibatnya.
Faktor risiko utama dalam urutan kepentingannya yaitu kadar kolesterol darah
tinggi (hiperkolesterolemia), merokok dan
hipertensi. Risiko ditingkatkan lagi oleh
faktor lainnya seperti kegemukan (obesitas},
diabetes dan inaktivitas fisik. Di samping
itu terlalu banyak stress (ketegangan psikis)
juga memegang peranan penting pada orang
yang berisiko tinggi, begitupula usia dan kelamin. Ternyata bahwa kadar homosistein
tinggi dalam darah juga merupakan faktor
risiko penting. Asam amino ini dibentuk
sebagai produk-antara pada reaksi demetilasi
dari metionin menjadi sistein, sebagai berikut:
Lihat persamaan reaksi.
Asam folat dan juga vitamin B6
dan B12,
menurunkan kadar homosistein dan dengan
demikian meniadakan faktor risiko ini .
Ketiga vitamin ini dari kelompok vitamin B
merupakan ko-faktor dari enzim-enzim yang
berperan pada transmisi gugus-metil pada
perombakan metionin.
Tindakan prevensi
Tindakan pencegahan utama yaitu menjauhi
semua faktor risiko di atas dan menjalani pola
hidup dan diet sehat tanpa merokok dengan banyak
aktivitas fisik. Betapa pentingnya tindakan
pencegahan ini telah dibuktikan di AS,
yang pemerintahnya sejak tahun 1961 secara
nasional berkampanye untuk memperbaiki
pola hidup masyarakat. Juga biaya besar telah
dikeluarkan untuk mengusut dan mengobati
pasien hipertensi sedini mungkin. Kira-kira
sepuluh tahun kemudian baru nampak hasil
tindakan ini dengan turunnya secara
drastis angka kematian akibat PJP. Kini, 45 tahun
kemudian angka ini bahkan telah turun
sampai ±50%!
Begitu juga di banyak negara Barat lain
Departemen Kesehatannya telah melancarkan program penanggulangan PJP dengan
hasil mengesankan pula. Permulaan tahun
2006 DepKes negeri Belanda melaporkan
bahwa kedudukan PJP sebagai penyebab
mortalitas utama dewasa ini telah turun
dan tempatnya diambil alih oleh penyakit
kanker. Efek baik ini yaitu berkat kampanye
luas pada dasawarsa terakhir, pada mana
rakyat dianjurkan untuk makan lebih sehat
dengan menitik-beratkan pada diet dengan
mengurangi asupan lemak hewan dan meningkatkan asupan ikan, sayur-mayur dan
buah-buahan.
Dalam Bab-bab berikut akan dibahas kelompok obat yang dipakai pada pencegahan dan pengobatan semua gangguan
pembuluh dan jantung. Berturut-turut akan
dibicarakan diuretika, vasodilator, obat-obat
hipertensi, obat-obat penurun kolesterol
dan obat-obat jantung, termasuk antitrombotika. Bertalian dengan obat-obat terakhir,
seksi ini ditutup dengan pembahasan hematinika (obat kurang darah), walaupun
obat-obat ini tidak langsung berhubungan
dengan obat-obat dari bab-bab lainnya.
Diuretika yaitu zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obatobat lainnya yang menstimulasi diuresis
dengan memengaruhi ginjal secara tak
langsung tidak termasuk dalam definisi ini,
misalnya zat-zat yang memperkuat kontraksi
jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume darah (dekstran) atau merintangi sekresi
hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).
Pembentukan kemih, fungsi ginjal
Fungsi utama ginjal yaitu memelihara kemurnian darah dengan mengeluarkan dari
darah semua zat asing dan sisa pertukaran
zat. Untuk ini darah mengalami filtrasi,
di mana semua komponennya melintasi
‘saringan’ ginjal kecuali zat putih telur dan
sel-sel darah. Setiap ginjal mengandung lebih kurang 1 juta filter kecil (glomeruli) dan
setiap 50 menit seluruh darah tubuh (±5 liter)
‘dimurnikan’ dengan melewati saringan
ini .
Fungsi penting lainnya yaitu meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal
merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis antara cairan intrasel dan ekstrasel, serta
pemeliharaan volume total dan susunan cairan
ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari
jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar
ada di luar sel, di cairan antarsel dan di
plasma darah. Kadar Na+ di cairan ekstrasel
diregulasi oleh Anti Diuretic Hormone (ADH)
di neurohipofisis, lihat Bab 42, Hormon-hormon Hipofisis.
Secara klinis daya kerja diuretika yaitu
ekskresi ion Na+ bersamaan dengan ion
khlorida. NaCl merupakan senyawa yang
menentukan bagi voluma cairan ekstraselular dan kebanyakan diuretika bertujuan
mengurangi cairan ekstraselular ini dengan
menurunkan kadar NaCl. namun keseimbangan antara asupan NaCl melalui makanan dan ekskresinya merupakan peristiwa
penting bagi kehidupan. Na+ balans positif
memicu meningkatnya volume cairan
ekstraselular dan timbulnya udem, sedangkan
Na+ balans negatif akan menurunkan volume
cairan dan risiko kolaps kardiovaskuler.
Hasil positif atau negatif dari kadar Na+
tubuh merupakan hasil dari asupan Na dari
makanan dikurangi ekskresi melalui urin dan
ekskresi via jalan lain, misalnya berkeringat,
muntah dan sebagainyanya. Kadar Na positf
memicu kadar Na di cairan ekstraselular meningkat, memicu rasa dahaga dan
mengurangi pengeluaran air melalui urin via
mekanisme ADH. Peristiwa sebaliknya akan
timbul pada keseimbangan kadar Na negatif.
Teoretis pemakaian diuretika yang berlanjut akan memicu defisit total dari kadar
Na+ dalam tubuh, namun mekanisme kompensasi dari ginjal akan mengkoreksi imbalans ini dengan menyelaraskan pemasukan
dan pengeluaran Na+. Fenomena ini disebut
diuretic braking yang a.l. mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS).
Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya
darah ke dalam glomeruli (gumpalan kapiler), yang terletak di bagian luar ginjal (cortex), lihat gambar. Dinding glomeruli inilah
yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi
dan mengandung banyak air serta elektrolit
ditampung di wadah, yang mengelilingi se-tiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil.
Tubuli ini terdiri dari bagian proksimal dan
distal, yang letaknya masing-masing dekat
dan jauh dari glomerulus; kedua bagian ini
dihubungi oleh sebuah lengkungan (Henle‘s
loop).
Di sini terjadi penarikan kembali secara
aktif dari air dan komponen yang sangat
penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam, antara lain ion-Na+. Zat-zat ini
dikembalikan pada darah melalui kapiler
yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang tak
berguna seperti “sampah” perombakan metabolisme protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali.
Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus
colligens), di mana terutama berlangsung
penyerapan kembali dari air. Filtrat akhir
disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun
di sini sebagai urin.
Dengan demikian ultrafiltrat yang setiap
harinya dihasilkan rata-rata 180 liter oleh
seorang dewasa, dipekatkan sampai hanya
lebih kurang 1 liter urin. Sisanya, lebih dari
99%, direabsorpsi dan dikembalikan pada
darah. Dengan demikian suatu obat yang
cuma sedikit mengurangi reabsorpsi tubuler,
misalnya dengan 1%, mampu melipatgandakan volume urin (menjadi ±2,6 liter).
Mekanisme kerja diuretika
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih —dan demikian
juga dari air— diperbanyak. Obat-obat ini
bekerja khusus terhadap tubuli, namun juga di
tempat lain, yaitu di:
1. tubuli proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini
direabsorpsi secara aktif untuk kurang
lebih 70%, antara lain ion-Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. sebab
reabsorpsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah
dan tetap isotonik terhadap plasma. Diuretika osmotik (manitol, sorbitol) bekerja
di sini dengan menghalangi reabsorpsi
air dan juga natrium.
2. lengkungan Henle. Di bagian menaik
dari Henle’s loop ±25% dari semua ion Clyang telah difiltrasi direabsorpsi secara
aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari
Na+ dan K+ namun tanpa air, hingga filtrat
menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan
seperti furosemida, bumetanida dan etakrinat, bekerja terutama di sini dengan
merintangi transpor Cl-
dan demikian
reabsorpsi Na+. Pengeluaran K+ dan air
juga diperbanyak.
3. tubuli distal. Di bagian pertama segmen
ini, Na+- direabsorpsi secara aktif pula
tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair
dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida
dan klortalidon bekerja di tempat ini
dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan
Cl-
se-kitar 5 - 10%. Di bagian kedua segmen
ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+
atau -NH4
+; proses ini dikendalikan oleh
hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat
penghemat kalium (amilorida, triamteren)
memiliki titik kerja di sini dengan mengakibatkan ekskresi Na+ (kurang dari 5%)
dan retensi- K+.
4. saluran pengumpul. Hormon antidiuretik
ADH (vasopresin)dari hipofisis memiliki
titik kerja di sini dengan memengaruhi
permeabilitas sel-sel saluran ini bagi air
(homeostasis air).
Vasopressin yaitu suatu neurotransmitter dan berfungsi sebagai vasopressor
kuat di samping fungsinya pada sistem
saraf pusat dengan mengatur sekresi hormon adrenokortikotrop (ACTH), suhu tubuh,
sistem kar-diovaskular dan fungsi alat cerna.
Penggolongan
berdasar mekanisme kerjanya diuretika
dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a. Diuretika lengkungan/loop: furosemida,
bumetanida dan etakrinat.
Obat-obat ini berkhasiat kuat dan
bekerja pesat namun agak singkat (4-6
jam). Banyak dipakai pada keadaan
akut, misalnya pada udema otak dan
paru-paru. Memperlihatkan kurva dosisefek curam, artinya bila dosis dinaikkan
efeknya (diuresis) senantiasa bertambah.
b. Derivat thiazida: klorothiazida, hidroklorothiazida, polithiazida, bedroflumethiazida,
metiklothiazida, triklormethiazida, klortalidon, mefrusida, indapamida dan klopamida.
Efeknya lebih lemah dan lambat, tetapi bertahan lebih lama (6 - 48 jam) dan
terutama dipakai pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung (decompensatio cordis). Obat-obat ini
memiliki kurva dosis-efek datar, artinya
bila dosis optimal dinaikkan lagi efeknya
(diuresis, penurunan tekanan darah) tidak bertambah.
Struktur kimia dari hidroklorothiazida
mirip dengan struktur klortalidon, namun
farmakokinetik dari kedua senyawa diuretik ini sangat berbeda. Waktu paruh
(t1/2) dari HCT sangat bervariasi antarindividu, sekitar 3-13 jam. Sedangkan t1/2
dari klortalidon jauh lebih panjang, yaitu
50-60 jam sebab membentuk depot.
berdasar hal ini ada kecenderungan
untuk memilih klortalidon di banding
HCT8
.
c. Diuretika penghemat ion kalium: antagonis aldosteron (spironolakton, kanrenoat),
amilorida dantriamteren. Efek obat-obat
ini hanya lemah dan khusus dipakai
terkombinasi dengan diuretika lainnya
untuk menghemat ekskresi kalium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi Na+ dan
ekskresi K+; proses ini dihambat secara
kompetitif oleh obat-obat ini.
Amilorida dan triamteren dalam keadaan
normal hanya lemah efek ekskresinya
bagi Na+ dan K+. namun pada pemakaian
diuretika lengkungan dan thiazida terjadi
ekskresi kalium dengan kuat, maka pemberian bersamaan dari penghemat kalium
ini menghambat ekskresi K dengan kuat
pula. Mungkin juga ekskresi dari magnesium dihambat.d. Diuretika osmotik: manitol, gliserin dan
sorbitol. Obat-obat ini hanya direabsorpsi
sedikit oleh tubuli, hingga reabsorpsi
air juga terbatas. Efeknya yaitu diuresis
osmotik dengan ekskresi air kuat dan relatif sedikit ekskresi Na+. Terutama manitol (hanya jarang dipakai ) sebagai
infus intravena untuk menurunkan volume cairan dan tekanan intraokuler (pada
glaucom), juga untuk menurunkan volume CCS (cairan cerebrospinal) dan tekanan
intracranial (dalam tengkorak).
e. Perintang karbonanhidrase: asetazolamida, dikhlorfenamida dan methazolamida. Zatzat ini menghalangi enzim karbonanhidrase
di tubuli proksimal, sehingga di samping
karbonat, juga Na+ dan K+ diekskresi lebih banyak, bersamaan dengan air. Khasiat diuretiknya hanya lemah, sesudah
beberapa hari terjadi tachyfylaxie, oleh
sebab itu perlu dipakai secara selangseling (intermittens).
pemakaian
Diuretika dipakai pada semua keadaan
bilamana dikehendaki peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan
gagal jantung.
a. Hipertensi: untuk mengurangi volume
darah seluruhnya sehingga tekanan darah (tensi) menurun. Khususnya derivat thiazida dipakai untuk indikasi
ini. Diuretika lengkungan pada jangka
panjang ternyata lebih ringan efek antihipertensifnya lagipula t1/2-nya singkat,
oleh sebab itu hanya dipakai bila ada
kontra-indikasi untuk thiazida, seperti
pada insufiensi ginjal. Mekanisme kerjanya
diperkirakan berdasar penurunan daya tahan pembuluh perifer. Dosis yang
diperlukan untuk efek antihipertensi jauh lebih rendah daripada dosis diuretik.
Thiazida memperkuat efek obat-obat hipertensi betablocker dan ACE-inhibitor, sehingga sering dikombinasi dengannya. Penghenti