obat 35




 tara lain 

dengan menciutkan bronchi, sedangkan 

sekresi dahak diperbesar;

– kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya 

pengeluaran air mata;

– kontraksi kandung kemih dan ureter

dengan efek memperlancar pengeluaran 

urin;

– dilatasi pembuluh dan kontraksi otot 

kerangka;

– menekan SSP sesudah  pada awal menstimulasinya.

Efek muskarin dan efek nikotin

Reseptor-reseptor kolinergika ada  dalam semua ganglia, sinaps dan neuron postganglioner dari SP, juga di pelat-pelat ujung 

motorik (otot lurik) dan di bagian Susunan 

Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. berdasar  efeknya terhadap rangsangan, reseptor ini dapat dibagi dalam 2 

jenis, yakni reseptor muskarin dan reseptor 

nikotin, yang masing-masing menghasilkan 

efek berlainan.

1. Reseptor muskarin (M) ada  di neuron postganglioner dan dapat dibagi dalam minimal 3 subtipe, yakni reseptor-M1

-M2

, dan -M3.. Ketiga jenis reseptor ini bila 

dirangsang memberikan efek yang berlainan, 

lihat tabel di bawah ini. Dewasa ini sudah 

ditemukan dua subtipe reseptor-M lainnya 

lagi.

Muska­rin (M) yaitu  derivat furan yang 

bersifat sangat beracun dan ada  sebagai 

alkaloid pada jamur merah Amanita muscaria. Reseptor muskarin sesudah  diaktivasi oleh 

neurotransmitter asetilkolin atau kolinergika 

dapat memicu  semua efek fisiologis 

yang tertera di atas.


Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan 

merangsang ketiga tipe reseptor M, sama 

dengan adrenalin dan NA dari Sistem Simpatik

(SS), yang juga merangsang secara tak-selektif 

reseptor -alfa dan -beta adrenergik. Obat-obat 

yang mengaktivasi reseptor-M1

, -M2

, atau -M3

secara selektif hingga kini belum ditemukan. 

2. Reseptor nikotin (N) terutama ada  

di pelat-pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di ganglia otonom (simpatik dan 

parasimpatik). Stimulasi reseptor ini oleh 

kolinergika (neostigmin dan piridostigmin)

memicu  efek yang menyerupai efek 

adrenergika, oleh sebab  itu bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi

dengan meningkatnya tensi ringan, penguatan 

kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. 

Pada dosis rendah timbul kontraksi otot 

lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi 

depolarisasi dan blokade neuromuskular.

Mekanisme kerjanya berdasar  stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatik dan 

stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Di samping itu juga terjadi stimulasi 

ganglia kolinergik (terutama di saluran lambung-usus dengan peningkatan peristaltik) 

dan pelat-pelat ujung motorik otot lurik, di 

mana ada  banyak reseptor nikotin.

* Efek nikotin dari ACh juga terjadi pada 

perokok, yang disebabkan oleh sejumlah 

kecil nikotin yang diserap ke dalam darah 

melalui mukosa mulut. 

Selektivitas parsial untuk reseptor -M dan 

-N ada  pada kolinergika klasik seperti 

pilokarpin, karbachol dan aseklidin (*Glaucofrin). Obat-obat ini pada dosis biasa mengaktivasi beberapa tipe reseptor-M tanpa memengaruhi reseptor nikotin. Sebaliknya, kolinergika lain seperti zat-zat antikolinesterase 

(neostigmin, piridostigmin), bekerja tidak 

selektif. 

Penggolongan 

Kolinergika dapat dibagi menurut mekanisme 

kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung

dan zat-zat dengan kerja tak-langsung.

1.Bekerja langsung: karbachol, pilokarpin, muskarin dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca 

catechu). Zat-zat ini bekerja langsung terhadap organ ujung dengan kerja utama yang 

mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya 

yaitu  zat-zat amonium kwaterner yang 

bersifat hidrofil dan sukar memasuki SSP, 

terkecuali arekolin.

2.Bekerja tak-langsung: zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini menghambat penguraian ACh secara reversibel, yaitu hanya 

untuk sementara. sesudah  zat-zat ini  

selesai diuraikan oleh kolinesterase, ACh 

segera akan dirombak lagi.

Di samping itu ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat lain. Kerjanya 

panjang sebab  bertahan sampai enzim terbentuk baru lagi. Zat ini banyak dipakai  

sebagai insektisid beracun kuat di bidang 

pertanian dan sebagai obat kutu rambut 

(malathion). Gas saraf yang dipakai  sebagai senjata perang juga termasuk dalam 

kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin 

dan Soman.

pemakaian 

Kolinergika khusus dipakai  pada penyakit mata glaukoma, myasthenia gravis, demensia 

Alzheimer dan atonia.

1.Glaukoma

Staar hijau (glaukoma) yaitu  penyakit 

mata yang bercirikan peningkatan tekanan 

cairan mata intraokuler (TIO) di atas 21 mm 

Hg, yang bisa menjepit saraf mata. Saraf 

ini berangsur-angsur dirusak secara progresif, sehingga penglihatan memburuk dan 

akhirnya dapat memicu  kebutaan. Tetapi hanya persentase kecil dari pasien dengan 

TIO meningkat menderita glaukoma. Nilai 

tekanan intraokuler normal yaitu  antara 10-

21 mm Hg. 

Gejalanya tidak begitu nyata dan berlangsung secara sangat berangsur-angsur, terutama penyempitan pandangan perspektif dengan timbulnya ‘blind spots’. Oleh sebab  

itu umumnya glaukom baru menjadi manifes pada stadium lanjut dengan sudah adanya kerusakan irreversibel. Oleh sebab  

itu orang-orang di atas 50 tahun sebaiknya 

memeriksakan matanya setiap 1-2 tahun 

untuk mengukur TIO-nya (tonometri).

pemicu nya . Cairan mata terbentuk di mukosa tipis di belakang pupil, di corpus ciliare

dan via liang pupil mengalir ke ruang mata 

depan. Pengeluarannya melalui ruang sempit 

antara pupil dan kornea (“segi-bilik”) ke 

saluran keluar. Bila cairan ini tidak dapat 

mengalir keluar dari ruang mata depan 

sebab  misalnya penyumbatan, maka TIO 

akan meningkat. Jenis glaukoma yang paling 

sering ada  yaitu  glaukoma segi-bilik

terbuka (glaucoma simplex). Pada bentuk ini 

pengeluaran cairan dari ruang mata depan 

terlampau lambat, meskipun saluran keluar 

di segi-bilik tidak tersumbat. Hal ini bisa 

dilihat pada pemeriksaan mata. Gangguan ini 

disebabkan oleh kelainan bagian depan dari 

saraf mata, biasanya timbul di keluarga dan 

sering kali pada penderita diabetes atau myopia, 

yang dapat ditangani dengan pengobatan 

atau melalui pembedahan mikro. Bagi bentuk 

glaukoma yang saluran keluarnya tersumbat, 

yaitu glaukoma segi-bilik tertutup, juga dapat dilakukan pengobatan atau penyinaran 

dengan laser guna membuat lubang pada iris 

untuk mengatasi penyumbatan ini .

Tujuan penanganan glaukoma yaitu  menurunkan tekanan cairan mata intraokuler 

(senyawa prostaglandin latanoprost) melalui 

peningkatan penyaluran keluar dari cairan 

ini atau merintangi produksiya (betablocker).

Pengobatan dapat dilakukan dengan terutama dua jenis obat tergantung pada penyebab gangguan, yaitu dengan kolinergika atau 

β-blocker. Pada glaukoma terbuka, beta-blocker

merupakan pilihan pertama. Bila obat-obat 

ini terkontraindikasi atau kurang efektif, 

baru dipakai  kolinergika atau adrenergika.

a. Beta-blocker: timolol (Nyolol 0,5%), betaksolol (Betoptima 0,5%) dan befunolol (Glauconex 0,5%). Efektif bila kenaikan tekanan intraokuler disebabkan oleh meningkatnya produksi cairan mata. Mekanisme kerjanya melalui reseptor beta di 

corpus ciliare mata. Beta-blocker berkhasiat menurunkan produksi cairan mata 

sampai 20-25%, namun  tidak memengaruhi 

pengeluarannya. 

b. Kolinergika: pilokarpin, karbachol dan neostigmin. dipakai  bila segi bilik menyempit, yang sering kali terjadi pada 

manula. Akibatnya pengeluaran cairan 

mata dari bilik depan terhambat, sehingga 

volume dan tekanan intraokuler setempat 

meningkat. Obat-obat ini mengkontraksi 

dan menyempitkan manik mata (miosis), 

yang memicu  segi bilik merenggang 

dan penyaluran cairan mata meningkat. 

Juga menurunkan produksi cairan mata 

melalui rangsangan dari alfa-2-reseptor.

c. Adrenergika: dipivefrin, apraklonidin dan 

brimonidin. Dipivefrin melalui stimulasi 

reseptor-beta meskipun meningkatkan 

produksi cairan bilik, namun  serentak juga 

penyalurannya distimulasi sehingga efek 

keseluruhannya yaitu  netral. Stimulasi 

reseptor-alfa menghambat produksi 

cairan. Kedua obat terakhir mengurangi 

produksi cairan mata, brimonidin juga 

melancarkan penyalurannya. Kedua obat 

ini hanya dipakai  untuk pengobatan 

jangka pendek sebelum atau sesudah 

penanganan dengan laser.

d. Obat-obat lainnya yaitu  latanoprost, 

dorzolamida dan brinzolamida. Obat pertama mempercepat pengeluaran cairan, sedangkan kedua zat terakhir penghambat 

karboanhidrase yang mengurangi produksinya.2. Myasthenia gravis (Yun. myo = otot, asthenia = kelemahan)

yaitu  suatu penyakit auto-imun yang 

bercirikan keletihan dan kelemahan dari 

terutama otot-otot muka, mata dan mulut. 

pemicu nya  yaitu  kekurangan relatif dari 

ACh di pelat ujung motorik dari otot lurik. 

Kekurangan ini disebabkan oleh antibodies IgG, yang telah merusak reseptor ACh 

setempat. Oleh sebab  itu penerusan impuls 

dari saraf ke otot oleh ACh tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Zat-zat antikolines­terase (fisostigmin dan derivatnya) 

merintangi perombakan cepat dari ACh oleh 

kolinesterase, sehingga kerjanya lebih lama. 

Dengan demikian transmisi impuls diperbaiki atau bahkan kerusakan reseptor dapat 

dihambat. 

Obat lain yang sering dipakai  yaitu  

prednison, yang berkhasiat menghambat seluruh proses penyakit.

3. Demensia Alzheimer. berdasar  penemuan bahwa kadar ACh di otak berkurang 

pada demensia, maka dipakai  penghambat kolinesterase untuk mencegah perombakan dan meningkatkan kadar ACh di otak. 

Yang kini tersedia yaitu  takrin, rivastigmin 

(Exelon), metrifonat, milameline dan obat 

baru donepezil (Aricept). Obat-obat ini hanya 

berkhasiat memperlambat progres dari kasus-kasus yang tidak begitu serius. Lihat 

selanjutnya Bab 28 B, Obat-obat Alzheimer. 

4. Atonia (keadaan kelemahan otot polos). Setelah pembedahan besar dengan stress bagi tubuh adakalanya terjadi peningkatan 

aktivitas saraf adrenergik. Akibatnya dapat 

berupa obstipasi dan sukar berkemih (atonia kandung kemih), bahkan obstruksi usus 

(ileus paralyticus) akibat pengenduran dan 

kelumpuhan peristaltik. Keadaan ini dapat 

ditanggulangi oleh kolinergika (karbachol dan

neostigmin).

Efek samping kolinergika yaitu  sama dengan efek dari stimulasi SP secara berlebihan, 

antara lain mual, muntah-muntah dan diare, juga meningkatnya sekresi ludah, dahak, 

keringat dan air mata, bradycardia, bronchokonstriksi serta depresi pernapasan. 

Antidotum pada overdosis atau keracunan 

dengan kolinergika yaitu  senyawa antikolinergik atropin dengan dosis tinggi sekali, 

khusus untuk melawan efek muskarin.

Kehamilan dan laktasi. Senyawa amonium 

kwaterner tidak melintasi plasenta, maka dapat dipakai  per oral, namun  tidak parenteral 

sebab  dapat memicu his. 

MONOGRAFI

1.BETA-BLOCKER

1a. Timolol (Nyolol, Timoptol, *Xalacom)

Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,25-0,5%

1b. Betaxolol (Betoptima 0.5%, Betoptic)

Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,25-0,5%

1c. Befunol (Glauconex 0,25%)

Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,25-0,5 %

Lihat selanjutnya Bab 35, Antihipertensiva

1d. Karteolol: Arteoptic LA, Teoptic, Carteabak

Merupakan betablocker non-selektif yang 

berkhasiat menurunkan tekanan intraokuler 

pada glaukoma simpleks dengan mengurangi 

sekresi cairan mata. Mulai bekerja dalam 

waktu 30 menit dan berlangsung sampai 24 

jam. 

Efek sampingnya lupus erythematosus 

sistemik (SLE), sakit kepala, pusing, meningkatnya myasthenia gravis dan iritasi mata, 

konyung-tivitis dan gangguan penglihatan. 

Dosis: 2 dd 1 tetes (1%-2%)

1e. Levobunolol: Betagan Liquifilm

Isomer levo dari bunolol ini yaitu  betablocker non-selektif yang berkhasiat menurunkan dengan cepat tekanan intraokuler 

pada glaukoma simpleks dan berlangsung 

selama paling sedikit 12 jam.

Efek samping iritasi mata, konyungtivitis, 

gangguan visus dan sistemik seperti gangguan jantung, bronchospasme, sakit kepala, 

mual dan pusing.

Dosis: 1-2 dd 1 tetes 0,25%

2.KOLINERGIKA

2a. Asetilkolin:ACh

Neurohormon penting ini bersifat sangat tidak stabil sebab  segera diuraikan oleh dua

jenis enzim kolinesterase untuk menghindari stimulasi terus-menerus dari saraf kolinergik. Hasil penguraiannya yaitu  kolin, 

suatu unsur penting dari lesitin, yang ada  di banyak organ tubuh, misalnya dalam 

empedu, otak dan kuning telur. Berhubung 

labilitasnya, ACh tidak dipakai  lagi dalam terapi dan diganti oleh derivat yang 

lebih stabil, antara lain karbachol.

Defisiensi ACh di otak dihubungkan dengan 

penyakit demensi Alzheimer, lihat Bab 28C. 

*Karbachol (Isopto Carbachol, Miostat) adalah derivat uretan dari kolin (1933) yang penguraiannya oleh enzim tidak secepat ACh, 

sehingga efeknya lebih lama. Khasiat muskarin dan nikotin sama kuatnya, efek samping lebih ringan dan jarang terjadi pada dosis biasa. dipakai  sebagai miotikum pada 

glaukoma dan pada atonia organ dalam. 

Dosis: pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan 

1,5-3% (klorida), pada atonia usus/kandung 

kemih akut oral 1-3 dd 4 mg.

2b. Pilokarpin : (Cendo Carpine, *Timpilo, Miokar)

Alkaloid ini ada  pada daun tanaman 

Amerika, Pilocarpus jaborandi. Terutama berkhasiat muskarin, efek nikotin ringan sekali. 

Pada awalnya SSP distimulasi, kemudian 

ditekan aktivitasnya. pemakaian  utamanya 

yaitu  sebagai miotikum pada glaukoma. 

Efek miotiknya (tetes mata) dimulai sesudah  

10-30 menit dan bertahan 4-8 jam.

Toleransi dapat terjadi sesudah  dipakai  

untuk waktu lama yang dapat diatasi dengan memakai  kolinergika lain untuk 

beberapa waktu, misalnya karbachol atau neostigmin.

Dosis: pada glaukoma 2-4 dd 1-2 tetes larutan 1-2% (klorida, nitrat).

*Timpilo = timolol + pilokarpin. 

2c. Neostigmin: Prostigmin

Senyawa amonium kwaterner ini 

yaitu  perintang kolinesterase reversibel. 

Neostigmin memiliki khasiat muskarin agak 

kuat, yang jauh melebihi efek nikotinnya 

yang sangat ringan. dipakai  terutama 

pada keadaan otot lemah, yaitu untuk diagnosis dan terapi myasthenia, atonia usus dan

kandung kemih (sukar buang air besar dan 

kecil). Begitu pula pada glaukoma.

Resorpsi dari usus berlangsung buruk seperti semua zat hidrofil. Lama kerja bervariasi 

secara individual, plasma-t½ 15-54 menit. 

Dalam hati zat ini dihidrolisis ikatan esternya 

oleh kolinesterase. sebab  sukar melintasi 

membran otak, efek pusatnya ringan. 

Efek samping atas jantung dan peredaran 

darah lebih ringan daripada pilokarpin. Untuk melawan efek muskarin ini dapat diberikan atropin. Pada dosis berlebihan dapat 

timbul kelemahan otot, sehingga seolah-olah 

obat tidak efektif lagi (pada myasthenia). Oleh 

sebab  itu, pemakaian nya perlu dipantau 

dengan saksama dan kontinu.

Dosis: pada myasthenia oral rata-rata 150 

mg sehari dalam 4-6 dosis (bromida), pada 

glaukoma 1-2 dd 1-2 tetes 3-5% larutan metilsulfat.

* Piridostigmin (Mestinon) yaitu  derivat 

(1954) dengan efek muskarin ±4 kali lebih 

lemah daripada neostigmin. Efek samping 

juga lebih ringan dan terutama berupa gangguan lambung-usus. Mulai kerja lebih lama, 

namun  juga bertahan lebih lama. Khusus dipakai  pada myasthenia gravis. Dosis: oral 3-4 

dd 30 mg (bromida).

2d. Nikotin: Nicorette, plester Nicotinell TTS

Derivat piridin ini (1978) ada  sebagai 

alkaloid pada daun tembakau (Nicotiana 

tabacum). Nikotin diikat pada reseptor-N di 

SSP dan SS perifer, berefek terhadap otak, 

jantung, pembuluh, saraf, lambung-usus dan 

otot kerangka. Pada dosis rendah berkhasiat 

stimulasi, sedangkan pada dosis tinggi 

bekerja inhibisi.

Terutama untuk mendukung penghentian 

merokok, dipakai  dalam bentuk plester 

atau sebagai chewing gum (Nicorette). Plester 

dari 10, 20 dan 30 cm2

 melepaskan nikotin 

masing-masing 7, 14 atau 21 mg secara teratur 

selama 24 jam. Bila chewing gum ini  

dikunyah perlahan-lahan selama 30 menit, 

akan dibebaskan 2 sampai 4 mg nikotin, yang 

diserap melalui mukosa mulut.

Efek samping tergantung pada besarnya 

dosis dan terutama berupa kenaikan tensi 

dan frekuensi pukulan jantung, juga sukar tidur dan gatal-gatal, jarang iritasi, rasa takut, 

berkeringat, nyeri kepala, pusing, rasa letih, 

mulut kering atau sekresi liur berlebihan. 

Selama kehamilan dan laktasi tidak boleh dipakai .

Dosis: chewing gum maksimal 7 dd, plester 

1 dd pagi hari. Sebelum terapi dimulai, merokok harus dihentikan seluruhnya.

2e. Tacrin: tetrahidroakridin, THA, Cognex

Derivat akridin ini (1993) yaitu  antikolinesterase reversibel dengan khasiat terhadap 

SSP. Tacrin terutama dipakai  untuk meningkatkan kadar ACh di otak pada demensia 

Alzheimer, yang antara lain bercirikan kekurangan neurohormon ini di sel-sel otak tertentu (substantia nigra).

Dosis: oral permulaan 40 mg/hari selama 6 

minggu, lalu dinaikkan dengan 40 mg setiap 

6 minggu, maksimal 160 mg. 

Lihat selanjutnya Bab 28 C, Obat-obat 

Alzheimer.

3 ADRENERGIKA

3a. Dipivefrin (epinefrinedipivalat, Diopine)

Ester adrenalin ini yaitu  prodrug inaktif 

yang dalam kornea dan bilik-depan mata 

dihidrolisis oleh esterase (1978). Berkat sifat 

lipofilnya lebih mudah mempenetrasi mata 

dari pada adrenalin, yang menghambat produksi cairan bilik dan meningkatkan penyalurannya. Tidak memicu  miosis, namun  

midriasis. 

Efek samping jarang terjadi dan berupa iritasi, rasa terbakar, conjunctivitis dan pengendapan pigmen di kornea dan conjunctiva.

Dosis: 2 dd 1 tetes larutan 0,1% pada glaukoma terbuka.

3b. Brimonidin (Alphagan) yaitu  alfa-2-

adrenergikum yang rumusnya mirip dengan 

klonidin, namun  bersifat kurang lipofil. Tidak 

memengaruhi tekanan darah atau frekuensi 

jantung, mengurangi produksi cairan mata 

dan meningkatkan penyalurannya. dipakai  pada glauoma terbuka bila beta-blocker 

tidak dapat dipakai . 

Efek samping yang tersering yaitu  reaksi 

alergik. 

Dosis: 2 dd 1 tetes.

3c. Apraklonidin (Iopidine) yaitu  derivat 

obat antihipertensif klonidin dengan khasiat 

stimulasi reseptor-alfa dan -beta, yang menghambat produksi cairan mata melalui penurunan tonus simpatik. Tidak memengaruhi tekanan darah. Toleransi dapat terjadi. 

Dosis: pada glaukoma terbuka 3 dd 1 tetes 

larutan 0,5%, lazimnya selama 4 minggu.

4. LAINNYA

4a. Latanoprost (Xalatan) yaitu  ester inaktif dari suatu analogon prostaglandin-F2-alfa 

(1995). sesudah  absorpsi oleh kornea dihidrolisis oleh esterase menjadi asam aktifnya. Zat 

ini berkhasiat menurunkan tekanan mata 

dengan meningkatkan penyaluran cairan 

mata dari bilik depan. 

Dosis:1 dd 1 tetes larutan 0,005 %.

*Xalacom = latanoprost 0,005% + timolol 

0,5%

4b. Bimatoprost: Lumigan

yaitu  prostamida sintetik yang struktural 

berkaitan dengan prostaglandin F2alfa dan 

dipakai  a.l. terhadap glaukoma terbuka 

kronis.

Berkhasiat menurunkan tekanan intraokuler dengan memperbaiki pengaliran keluar cairan mata. Khasiatnya sesudah  4 jam 

dan berlangsung paling sedikit 24 jam. 

Resorpsinya melalui kornea baik. PP 88%, 

dimetabolisasi dalam hati dan metabolitnya 

diekskresi terutama via urin 67% dan via 

feses 25%. T1/2 ±45 menit.

Efek samping sering kali gatal dan iritasi 

pada mata, konjunctivitis, sakit kepala dan 

hipertensi.

Dosis: malam 1dd 1 tetes (0,01%). Penggunaan lebih sering menurunkan efeknya.

4c. Tafluprost: Saflutan

Prodrug ini yaitu  analogon dari prostaglandin F2alfa yang berkhasiat menurunkan 

tekanan intraokuler pada glaukoma simpleks dengan memperbaiki penyaluran cairan mata. Metabolit aktif yaitu  asam tafluprost yang terbentuk sewaktu melintasi kornea. Efeknya timbul sesudah  2-4 jam dan 

berlangsung minimal 24 jam. 

Efek samping sering kali hiperaemia okuler, di samping sakit kepala, gangguan mata (gatal, sakit, kering dan iritasi) serta tumbuhnya bulu mata berlebihan.

Dosis: malam 1 dd 1 tetes larutan 15 mcg/

ml. pemakaian  lebih sering dapat menurunkan efeknya.

4d. Travoprost: Travatan

Senyawa ini juga merupakan analogon 

dari prostaglandin F2a yang pada glaukoma 

simpleks berkhasiat menurunkan cairan 

mata dengan memperbaiki pengeluarannya. 

Efeknya dalam waktu 2 jam dan berlangsung 

selama 24 jam. 

Senyawa ini yaitu  suatu prodrug dan 

waktu melintasi kornea dihidrolisissi menjadi asam aktif yang bersamaan dengan metabolitnya diekskresi melalui ginjal. 

Efek samping sering kali (>10%) hyperaemia 

okuler, hiperpigmentasi iris, gangguan mata, 

penglihatan menurun, juga sakit kepala, konyungtivitis, alergi dan gangguan jantung 

serta gangguan tekanan darah. 

Dosis: malam 1 dd 1 tetes dan jangan lebih.

4e. Dorzolamida (Trusopt) yaitu  derivat 

sulfonamida dengan khasiat menghambat

karbonanhidrase yang berefek mengurangi 

produksi cairan mata (1995). Efek sampingnya

lebih ringan daripada karbonanhidrase-blocker sistemik asetazolamida, sehingga lebih 

disukai pemakaian nya. Lihat juga Bab 33, 

Diuretika, Asetazolamida.

Antara latanaprost dan dorzolamida 

mungkin terjadi interaksi bila dipakai  bersamaan.

Dosis: 3 dd 1 tetes larutan 2 % bersama betablocker.

* Brinzolamida (Azopt) yaitu  sulfonamida, 

juga dengan khasiat karbonanhidrase-blocker 

(1998). Dosis: 2-3 dd 1 tetes larutan 1%.

B. ANTIKOLINERGIKA

Antikolinergika atau parasimpatikolitika 

melawan khasiat asetilkolin dengan menghambat terutama reseptor-reseptor-M(uskarin) yang ada  di SSP dan organ perifer. 

Zat-zat ini tidak bekerja terhadap reseptorreseptor-N(ikotin) terkecuali zat-zat amonium 

kwaterner yang berkhasiat lemah. Misalnya 

relaksan otot pankuronium dan vekuronium, serta 

ganglion-blocker yang terutama menghambat 

reseptor-N di pelat ujung myoneural dan di 

ganglia otonom.

Kebanyakan antikolinergika tidak bekerja 

selektif bagi lima subtipe reseptor-M. Bekerja 

terhadap banyak organ tubuh, a.l. mata, 

kelenjar eksokrin, paru-paru, jantung, saluran 

kemih, saluran lambung-usus dan SSP. 

Khasiatnya

Efek antikolinergika terpenting yaitu  sebagai berikut:

– memperlebar pupil (mydriasis) dan berkurangnya akomodasi 

– mengurangi sekresi kelenjar (liur, keringat, 

dahak)

– mengurangi tonus dan motilitas saluran 

lambung-usus, juga sekresi getah lambung

– dilatasi bronchi

– meningkatkan frekuensi jantung dan mempercepat penerusan impuls di berkas His 

(bundle of His), yang disebabkan penghambatan saraf paru-lambung (saraf mengembara, nervus vagus).

– merelaksasi otot detrusor yang memicu  

pengosongan kandung kemih, sehingga 

kapasitasnya meningkat. Flavoksat dan 

oksibutinin juga berkhasiat langsung merelaksasi otot 

– merangsang SSP dan pada dosis tinggi menekan SSP (terkecuali pada zat amonium 

kwaterner).

pemakaian 

Tergantung pada sifat spesifiknya masingmasing, antikolinergika dipakai  dalam farmakoterapi untuk bermacam-macam gangguan dan yang terpenting di antaranya adalah:

a. sebagai midriatikum, untuk melebarkan pupil dan melumpuhkan akomodasi (atropin, homatropin, tropikamida). Jika efek 

terakhir tidak diinginkan, maka harus 

dipakai  suatu adrenergikum, misalnya 

fenilefrin;

b. sebagai spasmolitikum (pereda kejang otot 

dan kolik) dari saluran lambung-usus, saluran empedu dan alat urogenital, misalnya pada IBS (Irritable Bowel Syndrome) 

(hyoscyamin, butilskopolamin dan propantelin);

c. pada inkontinensi urin pada kandung kemih instabil akibat hiperaktivitas dari otot 

detrusor. Kontraksi spontan serta hasrat 

berkemih dikurangi (flavoksat, oksibutinin, 

tolterodin); 

d. pada Parkinsonisme, lihat Bab 28, Obat-obat 

Parkinson;

e. pada asma dan bronchitis (ipratropium, tiotropium);

f. sebagai premedikasi pra-bedah, untuk mengurangi sekresi ludah dan bronchi dan 

sebagai sedativum berkat efek menekannya terhadap SSP. Terutama dipakai  

atropin dan skopolamin bersamaan dengan 

anestetika umum. Antihistaminika dan 

fenotiazin juga dipakai  untuk maksud 

ini;

g. sebagai zat anti-mabuk jalan, guna mencegah 

mual dan muntah (skopolamin);

h. pada hiperhidrosus, untuk menekan pengeluaran keringat berlebihan;

i. sebagai zat penawar pada intoksikasi dengan 

zat penghambat kolinesterase (atropin).

Efek samping

Efek samping umum antikolinergika tergantung dari dosis dan berupa efek-efek muskarin,

ya-itu mulut kering, obstipasi, retensi urin, 

tachycardia, palpitasi dan aritmia, gangguan 

akomodasi, midriasis dan berkeringat. Pada 

dosis tinggi timbul efek sentral, seperti gelisah, 

bingung, eksitasi, halusinasi dan delirium. 

Zat-zat amonium kwaterner dalam dosis tinggi juga dapat menghasilkan efek nikotin, 

khususnya blokade ganglion dengan antara 

lain hipotensi ortostatik dan impotensi.

Kehamilan dan laktasi. Hanya atropin dapat dipakai  oleh wanita hamil dan yang 

menyusui; sedangkan dari obat-obat lainnya belum tersedia cukup data mengenai 

keamanannya. 

Penggolongan

Antikolinergika dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :

a. alkaloida Belladonna: atropin, hyoscyamin, 

skopolamin dan homatropin

b. zat amonium kwaterner: propantelin, ipratropium dan tiotropium 

c. zat amin tersier: pirenzepin, flavoksat, oksibutinin, tolterodin dan tropikamida

MONOGRAFI

1. ALKALOID BELLADONNA

Tumbuhan Atropa belladonna dari Eropa mengandung beberapa jenis alkaloid, terutama 

l-hyoscyamin dengan sedikit atropin dan 

skopolamin. Ketiga zat ini juga ada  dalam beberapa tumbuhan lain dari famili Solanaceae, antara lain kecubung (Datura fastuosa).

1a. Atropin (F.I.): dl-hyoscyamine

Derivat tropan ini yaitu  campuran rasemis 

(bentuk-dl), yang berkhasiat antikolinergik 

kuat dan merupakan antagonis khusus dari 

efek muskarin ACh. Efek nikotin diantagonir 

dengan sangat ringan. Zat ini dipakai  

sebagai midriatikum kerja panjang (sampai 

beberapa hari) dan juga melumpuhkan akomodasi (cycloplegia). Juga sebagai spasmolitikum pada kejang-kejang di saluran lambung-usus dan urogenital, sebagai premedikasi pada anestesi dan sebagai zat penawar 

(antidotum) keracunan ACh (zat-zat antikolinesterase) dan kolinergika lain.

Atropin juga memiliki daya kerja atas SSP

(antara lain sedatif) dan efek bronchodilatasi ringan berdasar  peredaan otot polos 

bronchi.

Resorpsi di usus cepat dan lengkap seperti 

alkaloid alamiah lainnya, begitu pula dari 

mukosa. Resorpsi melalui kulit utuh dan 

mata tidak mudah. Distribusinya ke seluruh 

tubuh baik. Ekskresi melalui ginjal, yang 

separuhnya dalam keadaan utuh. Plasma-t½ 

2-4 jam.

Dosis: oral 3 dd 0,4-0,6 mg (sulfat), maksimal 

4 mg sehari, okuler larutan 0,5-1%.

* Hyoscyamin (l-atropin, Egacene) yaitu  bentuk levo aktif dari atropin dengan khasiat 

sentral dan perifer lebih kuat. Zat ini khusus 

dipakai  pada kejang-kejang lambungusus dan pada hiperhidrosus. Dosis: oral 2-3 dd 0,4-0,6 mg tablet retard 

(sulfat).

* Homatropin (Homatro, *Peptisin) yaitu  derivat sintetik yang ±10 kali lebih lemah dari 

atropin. Efek midriatiknya lebih cepat dan 

singkat (maksimal 24 jam), efek cycloplegia

lebih ringan, begitu pula efek-efek samping 

lainnya. Homatropin dipakai  sebagai tetes mata (larutan HBr 2%) untuk diagnosis 

dan dahulu dalam sediaan terhadap tukak 

lambung untuk menghambat sekresi asam.

1b. Skopolamin: l-hyoscine, Scopoderm TTS

Derivat epoksi dari atropin ini bekerja lebih 

kuat mengenai perintangan sekresi ludah 

dan keringat, juga efek sentralnya ±3 kali 

lebih kuat (sedatif dan hipnotik). Oleh sebab  

itu, zat ini dalam bentuk plester dipakai  

sebagai obat mabuk jalan. Di samping itu, 

adakalanya skopolamin dipakai  sebagai 

midriatikum, zat anti-kejang lambung-usus 

dan untuk premedikasi anestesi. 

Dosis: transkutan sebagai plester dengan 1,5 

mg skopolamin, yang dilekatkan di belakang 

telinga, ±10 jam sebelum berangkat.

* Butilskopolamin (hyoscine-N-butilbromida, 

Buscopan, Spasmolit) yaitu  derivat amonium 

kwaterner (1951), yang banyak dipakai  

sebagai spasmolitikum organ dalam, khususnya pada kejang-kejang di lambung-usus, 

saluran empedu dan saluran kemih, serta 

rahim. Efek samping ringan dan jarang terjadi. 

Dosis: oral atau rektal 3-5 dd 10-20 mg (garam 

bromida), injeksi i.m./i.v. 20 mg, bila perlu 

diulang 2-3 kali.

2. ZAT–ZAT AMONIUM 

KWATERNER

Senyawa-senyawa ini mengandung atom-N 

bervalensi-5, bersifat basa kuat dan terionisasi 

baik, sehingga sukar melintasi membran sel. 

Oleh sebab  itu resorpsinya dari usus buruk 

dan tidak dapat memasuki CCS (Cairan Cerebrospinal), maka tidak memiliki kerja sentral. 

Khasiat antikolinergiknya lebih lemah daripada atropin; efek spasmolitik umumnya 

lebih kuat. Efek samping juga lebih ringan. 

pemakaian nya terutama untuk menekan 

peristaltik dan mengurangi sekresi getah 

lambung dalam sediaan tukak lambungusus. Juga dipakai  sebagai spasmolitikum 

terhadap kejang-kejang di organ dalam. 

2a. Propantelin: (Pro-Banthine 1953) dalam 

dosis tinggi memiliki efek kurare, yaitu mengendurkan (relaksasi) otot-otot lurik kerangka. Dahulu banyak dipakai  pada tukak 

lambung, gastritis dan kejang lambung-usus 

pada IBS. Khasiat antikolinergiknya sedang 

sampai kuat.

Dosis: oral 3 dd 15 mg (HBr) d.c. dan 30 mg 

a.n.

Lihat Bab 40, Obat-obat Asma dan COPD.

2b Ipratropium: Atrovent

Derivat isopropil dari atropin ini dengan 

ikatan amonium kwaterner (1974) khusus 

dipakai  sebagai inhalasi pada asma 

dan bronchitis. Berkhasiat bronchodilatasi 

dengan mengurangi hipersekresi dahak dari 

bronchi tanpa efek buruk terhadap bulu 

gerak (cilia). Lihat selanjutnya Bab 40, Obat 

Asma dan COPD. 

* Tiotropium (Spiriva) yaitu  derivat lebih 

baru (2001) dengan pemakaian  sama. namun  

khasiat bronchodilatasinya lebih kuat dan 

bertahan lebih lama daripada ipratropium 

sehingga dapat diberikan dalam dosis 1x sehari.

3. ZAT–ZAT AMIN TERSIER

3a. Pirenzepin: Gastrozepin

Derivat benzodiazepin ini (1977) dalam dosis 

rendah menghambat secara selektif reseptor 

muskarin-M1

 dalam sel-sel parietal lambung 

yang membentuk HCl. Penghambatan reseptor di organ-organ lain (jantung, mata, lambung-usus, alat urogenital) baru terjadi pada 

dosis lebih tinggi. Atas dasar kerja selektifnya, 

pirenzepin dahulu banyak dipakai  pada 

tukak lambung-usus dan gastritis.

Resorpsi di usus buruk, hanya sekitar 25% 

berhubung sifat hidrofilnya. PP juga ringan 

(12%), plasma-t½ rata-rata 12 jam.

Dosis: oral 2 dd 50 mg pagi hari 30 menit a.c. 

dan a.n. selama 4-6 minggu, bila perlu 3 dd 50 

mg. Lihat juga Bab 16, Obat-obat Lambung.3b Flavoksat : Urispas

Derivat benzopiran ini (1972) berkhasiat 

relaksasi langsung terhadap otot kandung 

kemih sehinga kapasitasnya meningkat. Disamping itu juga berkhasiat lokal anestetik 

dan analgetik, dengan efek antikolinergik 

lemah. Absorpsinya dari usus baik, tidak 

diikat pada protein plasma. Dalam hati diubah menjadi 2 metabolit, hanya satu aktif, 

yang diekskresi melalui urin dan feses.

Efek sampingnya umum, namun  lebih sedikit dari pada obat inkontinensi lain. Tidak 

boleh dipakai  pada pasien glaukoma tertentu dan pada gangguan fungsi ginjal.

Dosis: pada urge-inkontinensi 3 dd 200-400 

mg (garam HCl) p.c.

3c. Oksibutinin: Dridase

Ester dari asam glikolat (1975) yang termasuk senyawa antikolinergik ini berkhasiat 

spasmolitik terhadap otot polos kandung kemih, sehingga kapasitasnya diperbesar dan 

kontraksi tak terkendali dikurangi. berdasar  sifat ini oksibutinin dipakai  khusus 

pada urge-inkontinensi urin untuk mengurangi hasrat berkemih, juga pada kejang kandung kemih akibat iritasi oleh kateter. Absorpsinya baik dan cepat, namun  BA-nya 

hanya 6 % sebab  FPE besar. Metabolit aktifnya diekskresi melalui urin, zat utuhnya 

dengan feses. 

Dosis: oral 3 dd 2,5 mg (HCl), bila perlu 3-4 

dd 5 mg.

3d. Tolterodin: Detrusitol

Derivat metilfenol in (1997) berkhasiat antikolinergik sedang, efeknya terhadap kelenjar liur lebih lemah dari pada obat lain. 

Khusus dipakai  pada urge-inkontinensi 

urin yang efeknya sudah nyata sesudah  4 

minggu. Absorpsi cepat, BA antara 17 dan 

65%, masa paruh antara 3 dan 10 jam tergantung dari kecepatan metabolismenya. Kadar 

plasma maksimal tercapai sesudah 1-3 jam. 

Dalam hati diubah menjadi metabolit aktif 

yang diekskresi melalui urin (77%) dan feses 

(17%).

Efek samping: mulut kering dan berkurangnya fungsi kognitif pada lansia.

Dosis: oral 3 dd 2,5 – 5 mg (tartrat).

*Fesoterodin (Toviaz)

Antagonis reseptor muskarin dengan selektivitas terhadap kandung kemih, memperbesar kapasitasnya dan mengurangi frekuensi kencing pada sindrom kandung kemih 

overaktif, berdasar  aktivitas metabolitnya 

5-hidroksimetil. Daya kerjanya maksimal 

dalam 2-8 minggu.dipakai  simptomatik 

pada urge-inkontinensi urin.

Efek samping : mulut, mata dan tenggorok 

kering, gangguan saluran cerna, mual, diare, 

obstipasi dan retensi urin pada penderita 

BPH. Dosis : 1 dd 4 mg, maks. 1dd 8 mg.

3e. Mirabegron: Betmiga

Agonis beta-3-adreno-reseptor ini dipakai  untuk penanganan simtomatik pada urgeinkontinensi atau meningkatnya frekuensi 

kencing akibat kandung kemih overaktif. 

Mekanisme kernjanya berdasar  stimulasi 

dari reseptor beta-3 yang mengendurkan otot 

licin dari kandung kemih. Sifat-sifat klinisnya 

dapat disamakan dengan tolterodin, namun  

tanpa efek samping antikolinergik.

Efek samping: infeksi saluran kemih dan 

takhikardi.

Tablet retard dari 50 mg. 

3f. Tropikamida (Mydriatyl Cendo, Midric)

Derivat propionamida ini (1957) berkhasiat 

antikolinergik kuat dan terutama dipakai  

sebagai midriatikum untuk diagnosis. Pelebaran pupil terjadi lebih cepat namun  waktunya lebih singkat dari pada atropin dan 

skopolamin. Pada dosis lebih besar (larutan 

1%) berefek cycloplegis, artinya melumpuhkan 

akomodasi. 

Dosis: untuk midriasis 1-2 tetes larutan 

0,5% minimal 15 menit sebelum pemeriksaan 

mata. 



JANTUNG, PEMBULUH, 

DAN DARAH


Di negara-negara industri penyakit jantung 

dan pembuluh (PJP) seperti angina pectoris, 

infark jantung, gagal-jantung dan hipertensi, 

merupakan penyebab kematian terbesar, disusul kanker dan CARA.

Angka kematian selama masa 25 tahun 

terakhir akibat PJP di AS dan Eropa Utara 

yaitu  2-3 kali lebih besar dibandingkan 

dengan di Jepang dan negara-negara sekitar 

Laut Tengah (antara lain Portugal, Spanyol, 

Italia dan Yunani). Keadaan di negara kita  

dapat disamakan dengan di negara-negara 

Laut Tengah dan Jepang. Situasi ini terutama 

berkaitan dengan kebiasaan dan susunan 

makanan yang disebut Mediterranean diet. 

Diet sehari-hari ini di negara-negara tersebut mengandung lebih sedikit daging dan 

lemak hewan (jenuh) serta lebih banyak 

ikan, minyak nabati tak-jenuh, buah-buahan, 

sayur-mayur dengan antioksidans­ia dan 

flavonoida. Lihat juga Bab 54, Dasar-Dasar 

Diet sehat.

Sebaliknya di negara-negara maju makanannya terutama kaya akan kalori, protein 

dan lemak (jenuh), serta miskin akan seratserat nabati. sebab  PJP terutama ada  di 

negara kaya, maka gangguan ini sering kali 

disebut penyakit-penyakit kemakmuran.

Penyakit jantung dan pembuluh

Atherosclerosis. Gangguan pembuluh yang 

berperan sangat penting pada terjadinya PJP 

yaitu  atherosclerosis yang bercirikan menebal dan mengerasnya dinding arteri besar 

dan sedang. Keadaan ini diakibatkan oleh 

endapan dari antara lain kolesterol, lemak, 

kalsium dan fibrin (plaks,atheroma) di dinding 

(endotel) pembuluh. Terjadinya peristiwa ini 

antara lain diperkirakan ada hubungannya 

dengan suatu infeksi bakteri yang memicu  reaksi peradangan. Kebiasaan makan 

dan gaya hidup (‘lifestyle’) yang salah juga 

memegang peranan penting khususnya makanan terlalu berlemak, merokok dan kurang 

gerak badan yang membutuhkan enersi. 

Hipertensi. Gangguan penting yang sering 

terjadi yaitu  tekanan darah tinggi, yang 

ada hubungannya pula dengan pengerasan 

pembuluh. 

Penya­kit jantung yaitu  lebih serius, misalnya angina pectoris, akibat jantung tidak 

menerima cukup darah (dan oksigen) sebab  

arteri jantung tertutup oleh plaks. Bila arteri 

jantung atau otak tersumbat sama sekali, 

dapat timbul infark jantung atau infark otak

(stroke, beroerte). Pada gangguan gawat ini 

sebagian atau seluruh jantung/otak menjadi 

mati, sehingga sering kali bersifat fatal. Akibat 

beban jantung yang diperbesar dapat pula 

timbul gagal jantung(decompensatio), sebab  

jantung tidak sanggup lagi memelihara peredaran darah selayaknya.

Faktor-faktor risiko

Atherosclerosis bersifat sangat mengelabui, 

sebab  baru memicu  gejala klinis pada 

jangka panjang. Masa latensi lama ini disebabkan oleh proses penebalan arteri berlangsung 

sangat lambat, bisa sampai puluhan tahun. 

Lazimnya keluhan baru muncul di atas usia 

50 tahun, saat penyakit sudah mencapai 

taraf yang cukup serius. Oleh sebab  itu 

penanggulangannya kini ditekankan pada 

tindakan prevensi dengan menghindari faktorfaktor risiko yang dapat mempercepat terjadinya atherosclerosis dengan akibatnya.

Faktor risiko utama dalam urutan kepentingannya yaitu  kadar koles­te­rol darah

tinggi (hiperkolesterolemia), merokok dan

hiper­tensi. Risiko ditingkatkan lagi oleh 

faktor lainnya seperti kegemu­kan (obesitas},

diabe­tes dan inakti­vitas fisik. Di samping 

itu terlalu banyak stress (ketegangan psikis) 

juga memegang peranan penting pada orang 

yang berisiko tinggi, begitupula usia dan kelamin. Ternyata bahwa kadar homosistein

tinggi dalam darah juga merupakan faktor

risiko penting. Asam amino ini dibentuk 

sebagai produk-antara pada reaksi demetilasi 

dari metionin menjadi sistein, sebagai berikut: 

Lihat persamaan reaksi.

Asam folat dan juga vitamin B6

 dan B12,

menurunkan kadar homosistein dan dengan 

demikian meniadakan faktor risiko ini . 

Ketiga vitamin ini dari kelompok vitamin B 

merupakan ko-faktor dari enzim-enzim yang 

berperan pada transmisi gugus-metil pada 

perombakan metionin.

Tindakan prevensi

Tindakan pencegahan utama yaitu  menjauhi 

semua faktor risiko di atas dan menjalani pola 

hidup dan diet sehat tanpa merokok dengan banyak 

aktivitas fisik. Betapa pentingnya tindakan 

pencegahan ini  telah dibuktikan di AS, 

yang pemerintahnya sejak tahun 1961 secara 

nasional berkampanye untuk memperbaiki 

pola hidup masyarakat. Juga biaya besar telah 

dikeluarkan untuk mengusut dan mengobati 

pasien hipertensi sedini mungkin. Kira-kira 

sepuluh tahun kemudian baru nampak hasil 

tindakan ini  dengan turunnya secara 

drastis angka kematian akibat PJP. Kini, 45 tahun 

kemudian angka ini  bahkan telah turun 

sampai ±50%! 

Begitu juga di banyak negara Barat lain 

Departemen Kesehatannya telah melancarkan program penanggulangan PJP dengan 

hasil mengesankan pula. Permulaan tahun 

2006 DepKes negeri Belanda melaporkan 

bahwa kedudukan PJP sebagai penyebab 

mortalitas utama dewasa ini telah turun 

dan tempatnya diambil alih oleh penyakit 

kanker. Efek baik ini yaitu  berkat kampanye 

luas pada dasawarsa terakhir, pada mana 

rakyat dianjurkan untuk makan lebih sehat 

dengan menitik-beratkan pada diet dengan 

mengurangi asupan lemak hewan dan meningkatkan asupan ikan, sayur-mayur dan 

buah-buahan. 

Dalam Bab-bab berikut akan dibahas kelompok obat yang dipakai  pada pencegahan dan pengobatan semua gangguan 

pembuluh dan jantung. Berturut-turut akan 

dibicarakan diuretika, vasodilator, obat-obat

hipertensi, obat-obat penurun kolesterol

dan obat-obat jantung, termasuk antitrombotika. Bertalian dengan obat-obat terakhir, 

seksi ini ditutup dengan pembahasan hematinika (obat kurang darah), walaupun 

obat-obat ini tidak langsung berhubungan 

dengan obat-obat dari bab-bab lainnya.

Diuretika yaitu  zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obatobat lainnya yang menstimulasi diuresis 

dengan memengaruhi ginjal secara tak 

langsung tidak termasuk dalam definisi ini, 

misalnya zat-zat yang memperkuat kontraksi 

jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume darah (dekstran) atau merintangi sekresi 

hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).

Pembentukan kemih, fungsi ginjal

Fungsi utama ginjal yaitu  memelihara kemurnian darah dengan mengeluarkan dari 

darah semua zat asing dan sisa pertukaran 

zat. Untuk ini darah mengalami filtrasi, 

di mana semua komponennya melintasi 

‘saringan’ ginjal kecuali zat putih telur dan 

sel-sel darah. Setiap ginjal mengandung lebih kurang 1 juta filter kecil (glomeruli) dan 

setiap 50 menit seluruh darah tubuh (±5 liter) 

‘dimurnikan’ dengan melewati saringan 

ini . 

Fungsi penting lainnya yaitu  meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal 

merupakan organ terpenting pada pengaturan homeosta­sis, yakni keseimbangan dinamis antara cairan intrasel dan ekstrasel, serta 

pemeliharaan volume total dan susunan cairan 

ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari 

jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar 

ada  di luar sel, di cairan antarsel dan di 

plasma darah. Kadar Na+ di cairan ekstrasel 

diregulasi oleh Anti Diuretic Hormone (ADH) 

di neurohipofisis, lihat Bab 42, Hormon-hormon Hipofisis. 

Secara klinis daya kerja diuretika yaitu  

ekskresi ion Na+ bersamaan dengan ion 

khlorida. NaCl merupakan senyawa yang 

menentukan bagi voluma cairan ekstraselular dan kebanyakan diuretika bertujuan 

mengurangi cairan ekstraselular ini dengan 

menurunkan kadar NaCl. namun  keseimbangan antara asupan NaCl melalui makanan dan ekskresinya merupakan peristiwa 

penting bagi kehidupan. Na+ balans positif 

memicu  meningkatnya volume cairan 

ekstraselular dan timbulnya udem, sedangkan 

Na+ balans negatif akan menurunkan volume 

cairan dan risiko kolaps kardiovaskuler. 

Hasil positif atau negatif dari kadar Na+ 

tubuh merupakan hasil dari asupan Na dari 

makanan dikurangi ekskresi melalui urin dan 

ekskresi via jalan lain, misalnya berkeringat, 

muntah dan sebagainyanya. Kadar Na positf 

memicu  kadar Na di cairan ekstraselular meningkat, memicu rasa dahaga dan 

mengurangi pengeluaran air melalui urin via 

mekanisme ADH. Peristiwa sebaliknya akan 

timbul pada keseimbangan kadar Na negatif.

Teoretis pemakaian  diuretika yang berlanjut akan memicu  defisit total dari kadar 

Na+ dalam tubuh, namun  mekanisme kompensasi dari ginjal akan mengkoreksi imbalans ini dengan menyelaraskan pemasukan 

dan pengeluaran Na+. Fenomena ini disebut 

diuretic braking yang a.l. mengaktivasi sistem 

renin-angiotensin-aldosteron (RAAS).

Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya 

darah ke dalam glomeruli (gumpalan kapiler), yang terletak di bagian luar ginjal (cortex), lihat gambar. Dinding glomeruli inilah 

yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi 

dan mengandung banyak air serta elektrolit 

ditampung di wadah, yang mengelilingi se-tiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil. 

Tubuli ini terdiri dari bagian proksimal dan 

distal, yang letaknya masing-masing dekat 

dan jauh dari glomerulus; kedua bagian ini 

dihubungi oleh sebuah lengkungan (Henle‘s

loop). 

Di sini terjadi penarikan kembali secara 

aktif dari air dan komponen yang sangat 

penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam, antara lain ion-Na+. Zat-zat ini 

dikembalikan pada darah melalui kapiler 

yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang tak 

berguna seperti “sampah” perombakan metabolisme protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali. 

Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus

colligens), di mana terutama berlangsung 

penyerapan kembali dari air. Filtrat akhir 

disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun 

di sini sebagai urin. 

Dengan demikian ultrafiltrat yang setiap 

harinya dihasilkan rata-rata 180 liter oleh 

seorang dewasa, dipekatkan sampai hanya 

lebih kurang 1 liter urin. Sisanya, lebih dari 

99%, direabsorpsi dan dikembalikan pada 

darah. Dengan demikian suatu obat yang 

cuma sedikit mengurangi reabsorpsi tubuler, 

misalnya dengan 1%, mampu melipatgandakan volume urin (menjadi ±2,6 liter).

Mekanisme kerja diuretika

Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih —dan demikian 

juga dari air— diperbanyak. Obat-obat ini 

bekerja khusus terhadap tubuli, namun  juga di 

tempat lain, yaitu di:

1. tubuli proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini 

direabsorpsi secara aktif untuk kurang 

lebih 70%, antara lain ion-Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. sebab  

reabsorpsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah 

dan tetap isotonik terhadap plasma. Diuretika osmotik (manitol, sorbitol) bekerja 

di sini dengan menghalangi reabsorpsi 

air dan juga natrium. 

2. lengkungan Henle. Di bagian menaik 

dari Henle’s loop ±25% dari semua ion Clyang telah difiltrasi direabsorpsi secara 

aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari 

Na+ dan K+ namun  tanpa air, hingga filtrat 

menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan

seperti furosemida, bumetanida dan etakrinat, bekerja terutama di sini dengan 

merintangi transpor Cl-

 dan demikian 

reabsorpsi Na+. Pengeluaran K+ dan air 

juga diperbanyak.

3. tubuli distal. Di bagian pertama segmen 

ini, Na+- direabsorpsi secara aktif pula 

tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair 

dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida 

dan klortalidon bekerja di tempat ini 

dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan 

Cl-

 se-kitar 5 - 10%. Di bagian kedua segmen 

ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ 

atau -NH4

+; proses ini dikendalikan oleh 

hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat 

penghemat kalium (amilorida, triamteren)

memiliki titik kerja di sini dengan mengakibatkan ekskresi Na+ (kurang dari 5%) 

dan retensi- K+.

4. saluran pengumpul. Hormon antidiuretik 

ADH (vasopresin)dari hipofisis memiliki 

titik kerja di sini dengan memengaruhi 

permeabilitas sel-sel saluran ini bagi air 

(homeostasis air).

Vasopressin yaitu  suatu neurotransmitter dan berfungsi sebagai vasopressor 

kuat di samping fungsinya pada sistem 

saraf pusat dengan mengatur sekresi hormon adrenokortikotrop (ACTH), suhu tubuh, 

sistem kar-diovaskular dan fungsi alat cerna. 

Penggolongan

berdasar  mekanisme kerjanya diuretika 

dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: 

a. Diuretika lengkungan/loop: furosemida, 

bumetanida dan etakrinat.

Obat-obat ini berkhasiat kuat dan 

bekerja pesat namun  agak singkat (4-6 

jam). Banyak dipakai  pada keadaan 

akut, misalnya pada udema otak dan 

paru-paru. Memperlihatkan kurva dosisefek curam, artinya bila dosis dinaikkan 

efeknya (diuresis) senantiasa bertambah.

b. Derivat thiazida: klorothiazida, hidroklorothiazida, polithiazida, bedroflumethiazida, 

metiklothiazida, triklormethiazida, klortalidon, mefrusida, indapamida dan klopamida.

Efeknya lebih lemah dan lambat, tetapi bertahan lebih lama (6 - 48 jam) dan 

terutama dipakai  pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung (decompensatio cordis). Obat-obat ini 

memiliki kurva dosis-efek datar, artinya 

bila dosis optimal dinaikkan lagi efeknya 

(diuresis, penurunan tekanan darah) tidak bertambah. 

Struktur kimia dari hidroklorothiazida 

mirip dengan struktur klortalidon, namun  

farmakokinetik dari kedua senyawa diuretik ini sangat berbeda. Waktu paruh 

(t1/2) dari HCT sangat bervariasi antarindividu, sekitar 3-13 jam. Sedangkan t1/2 

dari klortalidon jauh lebih panjang, yaitu 

50-60 jam sebab  membentuk depot. 

berdasar  hal ini ada kecenderungan 

untuk memilih klortalidon di banding 

HCT8

c. Diuretika penghemat ion kalium: antagonis aldosteron (spironolakton, kanrenoat), 

amilorida dantriamteren. Efek obat-obat 

ini hanya lemah dan khusus dipakai  

terkombinasi dengan diuretika lainnya 

untuk menghemat ekskresi kalium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi Na+ dan 

ekskresi K+; proses ini dihambat secara

kompetitif oleh obat-obat ini.

Amilorida dan triamteren dalam keadaan 

normal hanya lemah efek ekskresinya 

bagi Na+ dan K+. namun  pada pemakaian  

diuretika lengkungan dan thiazida terjadi 

ekskresi kalium dengan kuat, maka pemberian bersamaan dari penghemat kalium 

ini menghambat ekskresi K dengan kuat 

pula. Mungkin juga ekskresi dari magnesium dihambat.d. Diuretika osmotik: manitol, gliserin dan

sorbitol. Obat-obat ini hanya direabsorpsi 

sedikit oleh tubuli, hingga reabsorpsi 

air juga terbatas. Efeknya yaitu  diuresis 

osmotik dengan ekskresi air kuat dan relatif sedikit ekskresi Na+. Terutama manitol (hanya jarang dipakai ) sebagai 

infus intravena untuk menurunkan volume cairan dan tekanan intraokuler (pada 

glaucom), juga untuk menurunkan volume CCS (cairan cerebrospinal) dan tekanan 

intracranial (dalam tengkorak). 

e. Perintang karbonanhidrase: asetazolamida, dikhlorfenamida dan methazolamida. Zatzat ini menghalangi enzim karbonanhidrase

di tubuli proksimal, sehingga di samping 

karbonat, juga Na+ dan K+ diekskresi lebih banyak, bersamaan dengan air. Khasiat diuretiknya hanya lemah, sesudah  

beberapa hari terjadi tachyfylaxie, oleh 

sebab  itu perlu dipakai  secara selangseling (intermittens).

pemakaian 

Diuretika dipakai  pada semua keadaan 

bilamana dikehendaki peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan

gagal jantung.

a. Hipertensi: untuk mengurangi volume 

darah seluruhnya sehingga tekanan darah (tensi) menurun. Khususnya derivat thiazida dipakai  untuk indikasi 

ini. Diuretika lengkungan pada jangka 

panjang ternyata lebih ringan efek antihipertensifnya lagipula t1/2-nya singkat, 

oleh sebab  itu hanya dipakai  bila ada 

kontra-indikasi untuk thiazida, seperti 

pada insufiensi ginjal. Mekanisme kerjanya 

diperkirakan berdasar  penurunan daya tahan pembuluh perifer. Dosis yang 

diperlukan untuk efek antihipertensi jauh lebih rendah daripada dosis diuretik. 

Thiazida memperkuat efek obat-obat hipertensi betabloc­ker dan ACE-inhibitor, sehingga sering dikombinasi dengannya. Penghenti