Diabetes melitus
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medis berupa peningkatan kadar glukosa
darah melebihi normal yang menjadi karakteristik beberapa penyakit terutama
diabetes melitus di samping berbagai kondisi lainnya. Diabetes melitus (DM) saat ini
menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Berdasarkan penyebabnya, DM dapat
diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan
DM tipe lain. Pada pedoman ini, hiperglikemia yang dibahas adalah yang terkait
dengan DM tipe 2. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai
penjuru dunia. Organisasi WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah pasien DM
tipe 2 yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Badan kesehatan dunia WHO
memprediksi kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi International Diabetes
Federation (IDF) juga menunjukkan bahwa pada tahun 2019 - 2030 terdapat
kenaikan jumlah pasien DM dari 10,7 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah rural,
sehingga diperkirakan pada tahun 2003 didapatkan 8,2 juta pasien DM di daerah
rural. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan bahwa pada tahun
2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan
asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%), maka diperkirakan
terdapat 28 juta pasien diabetes di daerah urban dan 13,9 juta di daerah rural.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh Departemen
Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5%.
Peningkatan tersebut seiring dengan meningkatnya obesitas yang merupakan
salah satu faktor risiko diabetes, yaitu 14,8 % pada data RISKESDAS tahun 2013
menjadi 21,8% pada tahun 2018. Hal ini seiring pula dengan peningkatan prevalensi
berat badan lebih dari 11,5% menjadi 13,6%, dan untuk obesitas sentral (lingkar
pinggang ш 90cm pada laki-laki dan ш 80cm pada perempuan) meningkat dari 26,6%
menjadi 31%. Data-data di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien DM di Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang berat untuk dapat ditangani sendiri oleh
dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan.
Komplikasi yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan pada
pembuluh darah baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta gangguan pada
sistem saraf atau neuropati. Gangguan ini dapat terjadi pada pasien DM tipe 2 yang
sudah lama menderita penyakit atau DM tipe 2 yang baru terdiagnosis. Komplikasi
makrovaskular umumnya mengenai organ jantung, otak dan pembuluh darah,
sedangkan gangguan mikrovaskular dapat terjadi pada mata dan ginjal. Keluhan
neuropati juga umum dialami oleh pasien DM, baik neuropati motorik, sensorik
ataupun neuropati otonom.
Penyakit DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya
manusia dan meningkatnya biaya kesehatan yang cukup besar, oleh karena itu
semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta
dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.
Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi, dan
tenaga kesehatan lain. Pada strategi pelayanan kesehatan bagi pasien DM, peran
dokter umum menjadi sangat penting sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan
primer. Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh
dokter umum di pelayanan kesehatan primer. Pasien DM dengan kadar glukosa
darah yang tidak terkontrol perlu tatalaksana secara komprehensif sebagai upaya
pencegahan komplikasi. Tatalaksana tersebut dapat dilaksanakan di setiap fasilitas
layanan kesehatan dengan masyarakat.
Peran pasien dan keluarga pada pengelolaan penyakit DM juga sangat
penting, karena DM merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur
hidup. Oleh karena itu diperlukan edukasi kepada pasien dan keluarganya untuk
memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan
penatalaksanaan DM. Hal ini akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan
keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Keberadaan organisasi profesi
seperti PERKENI dan IDAI, serta perkumpulam pemerhati DM seperti PERSADIA,
PEDI, dan yang lain menjadi sangat dibutuhkan. Organisasi profesi dapat
meningkatkan kemampuan tenaga profesi kesehatan dalam penatalaksanaan DM
dan perkumpulan yang lain dapat membantu meningkatkan pengetahuan pasien DM
tentang penyakitnya dan meningkatkan peran aktif mereka untuk ikut serta dalam
pengelolaan dan pengendalian DM, sehingga dapat menekan angka kejadian penyulit DM. Penyempurnaan dan revisi standar pelayanan harus selalu dilakukan
secara berkala dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasis
bukti, sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien DM.
I.2 Permasalahan
Data RISKESDAS 2018 menjelaskan prevalensi DM nasional adalah sebesar 8,5
persen atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM. Pasien DM juga sering
mengalami komplikasi akut dan kronik yang serius, dan dapat menyebabkan
kematian. Masalah lain terkait penanganan DM adalah permasalahan geografis,
budaya, dan sosial yang beragam.
Hal ʹ hal tersebut menjadi dasar bahwa penanganan diabetes memerlukan
panduan nasional pelayanan kedokteran yang bertujuan memberikan layanan pada
pasien atau masyarakat sesuai kebutuhan medis berdasarkan nilai ilmiah serta
mempertahankan mutu pelayanan kedokteran di Indonesia. Organisasi IDF
memperkirakan akan terjadi peningkatan pasien DM yang cepat di Indonesia. Hal ini
harus ditanggapi dengan upaya pencegahan yang terstruktur dan terprogram secara
nasional. Upaya kuratif dan preventif ini melibatkan berbagai disiplin ilmu sesuai
dengan kompetensi dan penugasan klinis yang berlaku di Indonesia. Metoda
penanganan dan pencegahan DM tipe 2 harus seragam dalam upaya meningkatkan
keselamatan dan kualitas hidupnya. Keadaan inilah yang mendukung perlunya
disusun Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 Dewasa.
Pedoman ini menggunakan sumber pustaka dari berbagai jurnal, termasuk
jurnal elektronik seperti MedScape, PubMed, dengan menggunakan kata kunci
penelusuran: Diabetes Care, Treatment of Diabetes. Penyusunan buku pedoman juga
menggunakan konsensus dari American Diabetes Association (ADA), International
Diabetes Federation (IDF), American Association of Clinical Endocrinologist (AACE)
dan National Institute for Health and Clinical Excellent (NICE) sebagai rujukan.
Setiap bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis. Pada kasus tertentu
melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait, di antaranya spesialis anak, bedah
vaskular, kedokteran fisik dan rehabilitasi, mata, urologi, kardiologi, ginjal, farmasi,
patologi klinik, radiologi, dan lain-lain sehingga dapat dilakukan pendekatan yang
multidisiplin.
Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya.
II.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian
terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat
dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2
adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin),
sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi
glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari ominous octet
yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2. Sebelas organ penting
dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven) perlu dipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat
sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada pasien gangguan
toleransi glukosa.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel
beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM tipe 2 tetapi
terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven
(Gambar 1).
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal (egregious
eleven) yaitu:
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil
peptidase-4 (DPP-4).
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan
basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi
GLP-1 receptor agonist (GLP-1 RA), penghambat DPP-4 dan amilin.3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid/FFA)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga
terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen,
dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin
dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar
(hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 RA, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe
2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat
badan berlebih akan berkembang menjadi DM. Probiotik dan prebiotik
diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia. 8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding bilar
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon
GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang
akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh
usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe 2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose
co-transporter -2 (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10%
sisanya akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-1)
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urin. Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi
peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-
2. Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan sel
beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun
bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi
sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin.
DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin,
disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti
adiposa, hepar dan otot. Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya
hubungan antara obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut
menggambarkan peran penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang
dianggap sebagai kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik lain yang
berkaitan dengan inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan
HbA1c. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
x Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
x Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga harus hatihati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2 - 3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang memengaruhi
umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun
evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
x Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100 ʹ 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam < 140 mg/dL;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -
jam setelah TTGO antara 140 ʹ 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa <
100 mg/dL
x Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
x Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 ʹ 6,4%.
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2 dan
prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM
(B) yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ш 23 kg/m2
) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (ш 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
III.2 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
pasien diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum
Evaluasi pemeriksaan fisik dan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan
Primer. Jika fasilitas belum tersedia maka pasien dapat dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier
Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral
dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder atau tersier.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.
III.2.2.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik (B). Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer
yang meliputi:
Materi tentang perjalanan penyakit DM.
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
Penyulit DM dan risikonya.
Intervensi non-farmakologi dan farmakologis serta target pengobatan.
Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika alat pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
Pentingnya perawatan kaki.
Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan (B)
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan/atau Tersier, yang meliputi:
Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
Rencana untuk kegiatan khusus (contoh : olahraga prestasi)
Kondisi khusus yang dihadapi (contoh : hamil, puasa, kondisi rawat inap)
Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang
DM.
Pemerliharaan/perawatan kaki. (elemen perawatan kaki dapat dilihat pada
Tabel 5)
Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus maupun
neuropati perifer dan peripheral arterial disease (PAD)
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan air.
2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,
kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela ʹ sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung ʹ
ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk menghangatkan
kaki.
Perilaku hidup sehat bagi pasien DM adalah memenuhi anjuran :
Mengikuti pola makan sehat.
Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan
teratur.
Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Melakukan perawatan kaki secara berkala.
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat.
Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok pasien diabetes serta mengajak keluarga untuk
mengerti pengelolaan pasien DM.
Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:
Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan.
Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana
dan dengan cara yang mudah dimengerti.
Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.
Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan
pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program
pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan
laboratorium.
Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.
Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.
Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.
Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan
keluarganya.
Gunakan alat bantu audio visual.
III.2.2.2 Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM secara
komprehensif. (A) Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap pasien DM
agar mencapai sasaran. (A)
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pasien DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 ʹ 65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
o Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan.
o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan
selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan
kalori sehari.
Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 ʹ 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Komposisi yang dianjurkan:
ѕ lemak jenuh (SAFA) < 7 % kebutuhan kalori.
ѕ lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10 %.
ѕ selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 12-15%
ѕ Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak jenuh tunggal:
lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2: 1.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
ѕ daging berlemak dan susu fullcream.
o Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.
Protein
o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi.
o Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1 ʹ
1,2 g/kg BB perhari.
o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe. Sumber bahan makanan protein dengan kandungan saturated
fatty acid (SAFA) yang tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging
kambing dan produk hewani olahan sebaiknya dikurangi untuk
dikonsumsi.
Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang sehat yaitu
< 1500 mg per hari. (B).
o Pasien DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan
natrium secara individual (B).
o Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan
bahan makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah
garam dapur, monosodium glutamat, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
o Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah
dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
o Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 20 ʹ 35 gram per hari.
Pemanis Alternatif
o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan
menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol
dan xylitol.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada pasien DM karena dapat
meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan
seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
o Pemanis tak berkalori termasuk aspartam, sakarin, acesulfame
potasium, sukrose, neotame.
B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM,
antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25 ʹ 30
kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
o Berat badan ideal =
90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg
o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) =
(TB dalam cm ʹ 100) x 1 kg
BB normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : kurang dari BB ideal ʹ 10%
Gemuk : lebih dari BB ideal + 10%
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :
IMT = BB (kg)/TB (m2
)
Klasifikasi IMT :
o BB kurang < 18,5
o BB normal 18,5 ʹ 22,9
o BB lebih ш 23,0
- Dengan risiko 23,0 ʹ 24,9
- Obese I 25,0 ʹ 29,9
- Obese II ш 30
*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its
Treatment.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan
untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
Umur
o Pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap
dekade antara 40 dan 59 tahun.
o Pasien usia di antara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
o Pasien usia di atas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan
istirahat.
o Penambahan sejumlah 20% pada pasein dengan aktivitas ringan : pegawai
kantor, guru, ibu rumah tangga
o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang : pegawai industri ringan,
mahasiswa, militer yang sedang tidak perang
o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer
dalam keadaan latihan
o Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat : tukang becak,
tukang gali.
Stres Metabolik
o Penambahan 10 ʹ 30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis,
operasi, trauma).
Berat Badan
o Pasien DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20 ʹ 30%
tergantung kepada tingkat kegemukan.o Pasien DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20 ʹ 30% sesuai dengan
kebutuhan untuk meningkatkan BB.
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 ʹ 1200 kal perhari untuk
wanita dan 1200 ʹ 1600 kal perhari untuk pria.
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan komposisi
tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%),
dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10 - 15%) di antaranya. Tetapi pada
kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai
dengan kebiasaan. Untuk pasien DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan
makan disesuaikan dengan penyakit penyerta.
III.2.2.3 Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3 ʹ 5 hari seminggu selama sekitar 30 ʹ 45
menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari
2 hari berturut-turut. (A). Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan
termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik
yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 ʹ 70% denyut jantung maksimal)
seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. (A) Denyut jantung
maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien.
Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90
menit/minggu dengan latihan aerobik berat, mencapai > 70% denyut jantung
maksimal. Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik. Pasien
dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih
dahulu dan bila > 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan fisik. Pasien diabetes
asimptomatik tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus sebelum memulai
aktivitas fisik intensitas ringan-sedang, seperti berjalan cepat. Subyek yang akan
melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria risiko tinggi harus dilakukan
pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan fisikPada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang
tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training
(latihan beban) 2 ʹ 3 kali/perminggu (A) sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan fisik
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran fisik. Intensitas latihan
fisik pada pasien DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada pasien DM
yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan
masing-masing individu.
III.2.2.4 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (lampiran 1)
dan bentuk suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 6
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,
gangguan fungsi hati dan ginjal). Contoh obat dalam golongan ini
adalah glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan gliclazide.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea,
namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
Obat golongan glinid sudah tidak tersedia di Indonesia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizers)
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar
kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (LFG 30 ʹ 60 ml/menit/1,73 m2
). Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti LFG < 30
mL/menit/1,73 m2
, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik), gagal jantung NYHA (New York Heart Association) fungsional
kelas III-IV. Efek samping yang mungkin terjadi adalah gangguan
saluran pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion menyebabkan retensi
cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA fungsional kelas III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah pioglitazone.
c. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
saluran pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus
halƵƐ͘ Penghambaƚ glƵkoƐidaƐe alfa ƚidak digƵnakan pada keadaan LFG ч
30 ml/min/1,73 m2
, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome (IBS). Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya dapat diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.
d. Penghambat enzim Dipeptidil Peptidase-4
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam
amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di posisi kedua
peptida N-terminal. Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh,
termasuk di usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit,
endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut dalam
plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan pada
DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide
(GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan
glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif di
sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon.
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam
golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan
alogliptin.
e. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan
ini mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan
darah. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah
infeksi saluran kencing dan genital. Pada pasien DM dengan gangguan
fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan
menggunakan obat ini bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena
obat ini juga dapat mencetuskan ketoasidosis.
Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia
Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping
Utama
Penurunan
HbA1c
Metformin Menurunkan produksi glukosa hati dan
meningkatkan sensitifitas terhadap insulin
Dispepsia, diare,
asidosis laktat
1,0-1,3%
Thiazolidinedione Meningkatkan sensitifitas terhadap insulin Edema 0,5-1,4%
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB naik, hipoglikemia 0,4-1,2%
Glinid Meningkatkan sekresi insulin BB naik, hipoglikemia 0,5-1,0%
Penghambat
Alfa-Glukosidase Menghambat absorpsi glukosa Flatulen, tinja lembek 0,5-0,8%
Penghambat
DPP-4
Meningkatkan sekresi insulin dan
menghambat sekresi glukagon Sebah, muntah 0,5-0,9%
Penghambat SGLT-2 Menghambat reabsorbsi glukosa di
tubulus distal
Infeksi saluran kemih
dan genital
0,5-0,9%
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, GLP-1 RA dan kombinasi
insulin dan GLP-1 RA.
a. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
HbA1c saat diperiksa t 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
HbA1c saat diperiksa > 9%
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis hiperglikemia
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis :
Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat
Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada Lampiran-2.
Efek samping terapi insulin :
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut
DM.
Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa/sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah
insulin basal (insulin kerja sedang, panjang atau ultrapanjang)
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2 - 4 unit setiap 3 - 4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5 - 10 menit
sebelum makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30
menit sebelum makan.
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral
untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat
sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan
karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau metformin (golongan biguanid).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
Cara penyuntikan insulin :
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan
arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip.
Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara insulin kerja
pendek dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu,
namun bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara
kedua jenis insulin tersebut.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat penyuntikkan.
Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya
sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2 - 3 kali oleh
pasien diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin. Penyuntikan
insulin dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum suntik setiap kali
dipakai, meskipun dapat dipakai 2 - 3 kali oleh pasien diabetes yang sama asal
sterilitas dapat dijaga.
Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit
yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan dianjurkan
memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100
unit/mL).
Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai ke samping,
kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua paha bagian
samping luar.
b. Agonis GLP-1 /Incretin Mimetic
Inkretin adalah hormon peptida yang disekresi gastrointestinal setelah
makanan dicerna, yang mempunyai potensi untuk meningkatkan sekresi
insulin melalui stimulasi glukosa. Dua macam inkretin yang dominan adalah
glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan GLP-1. GLP-1 RA
mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan
glukagon, menghambat nafsu makan, dan memperlambat pengosongan
lambung sehingga menurunkan kadar glukosa darah postprandial. Efek
samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide,
Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.
Penggunaan GLP-1 RA pada Diabetes
GLP-1 RA adalah obat yang disuntikkan secara subkutan untuk menurunkan
kadar glukosa darah, dengan cara meningkatkan jumlah GLP-1 dalam darah.
Berdasarkan cara kerjanya golongan obat ini dibagi menjadi 2 yakni kerja
pendek dan kerja panjang. GLP-1 RA kerja pendek memiliki waktu paruh
kurang dari 24 jam yang diberikan sebanyak 2 kali dalam sehari, contohnya
adalah exenatide, sedangkan GLP-1 RA kerja panjang diberikan 1 kali dalam
sehari, contohnya adalah liraglutide dan lixisenatide, serta ada sediaan yang
diberikan 1 kali dalam seminggu yaitu exenatide LAR, dulaglutide dan
semaglutide.
Dosis berbeda untuk masing-masing terapi, dengan dosis minimal, dosis
tengah, dan dosis maksimal. Penggunaan golongan obat ini dititrasi
perminggu hingga mencapai dosis optimal tanpa efek samping dan
dipertahankan.
Golongan obat ini dapat dikombinasi dengan semua jenis oral anti diabetik
kecuali penghambat DPP-4, dan dapat dikombinasi dengan insulin.
Pemakaian GLP-1 RA dibatasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang
berat, yaitu LFG kurang dari 30 mL per menit per 1,73 m2
.
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak
dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respon kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia
oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus
menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan
kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis dan insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka dapat diberikan
kombinasi tiga obat oral. terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. (Gambar 3 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan menjelang tidur, sedangkan insulin
kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur, atau diberikan
pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien. Pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah
0,1 ʹ 0,2 unit/kgbb. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya.
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar
glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah diberikan insulin
basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
pemberian obat antihiperglikemia oral terutama golongan Sulfonilurea
sebaiknya dihentikan dengan hati-hati.
4. Kombinasi Insulin Basal dengan GLP-1 RA
Manfaat insulin basal terutama adalah menurunkan glukosa darah puasa,
sedangkan GLP-1 RA akan menurunkan glukosa darah setelah makan, dengan
target akhir adalah penurunan HbA1c.
Manfaat lain dari kombinasi insulin basal dengan GLP-1 RA adalah rendahnya
risiko hipoglikemia dan mengurangi potensi peningkatan berat badan.
Keuntungan pemberian secara terpisah adalah pengaturan dosis yang
fleksibel dan terhindar dari kemungkinan interaksi obat, namun pasien kurang nyaman karena harus menyuntikkan 2 obat sehingga dapat
menurunkan tingkat kepatuhan pasien. Ko-formulasi rasio tetap insulin dan
GLP-1 RA yang tersedia saat ini adalah IdegLira, ko-formulasi antara insulin
degludeg dengan liraglutide dan IGlarLixi, ko-formulasi antara insulin glargine
dan lixisenitide.
III.2.2.5 Prinsip Penatalaksanaan DM tipe 2
A. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 Tanpa Dekompensasi Metabolik
Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan. Dalam
pemilihan obat maupun menentukan target pengobatan selalu
mempertimbangkan individualisasi dan pendekatan yang berpusat pada
pasien (patient centered approach). Pertimbangan itu meliputi efek obat
terhadap komorbiditas kardiovaskular dan renal, efektivitas penurunan
glukosa darah, risiko hipoglikemia, efek terhadap peningkatan berat badan,
biaya, risiko efek samping, ketersediaan, dan pilihan pasien. Dengan demikian,
pemilihan harus didasarkan pada kebutuhan/kepentingan pasien DM secara
perorangan (individualisasi). (ADA 2021)Penjelasan untuk algoritma pengobatan DM tipe 2 (Gambar 3)
1. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% maka pengobatan
dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi oral.
2. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ш 7,5%, atau pasien yang
sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak bisa
mencapai target HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi 2 macam obat
yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat lain yang memiliki
mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap metformin, maka
diberikan obat lain seperti tabel lini pertama dan ditambah dengan obat lain
yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat selama 3
bulan tidak mencapai target HbA1c < 7%
4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa disertai dengan
gejala dekompensasi metabolik atau penurunan berat badan yang cepat, maka
dapat diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri dari metformin
(atau obat lain pada lini pertama bila ada intoleransi terhadap metformin)
ditambah obat dari lini ke 2.
5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai gejala
dekompensasi metabolik maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat
hipoglikemik lainnya.
6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa insulin,
namun tidak mencapai target HbA1c < 7% selama minimal 3 bulan pengobatan,
maka harus segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi insulin.
7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian
terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah.
B. Pertimbangan Pemilihan Obat Monoterapi
x Metformin dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada sebagian besar
pasien DM tipe 2. Pemilihan ini dengan alasan atau pertimbangan sebagai
berikut :
o Efektivitasnya relatif baik,
o Efek samping hipoglikemianya rendah,
o Netral terhadap peningkatan berat badan,
o Memperbaiki luaran kardiovaskular,
o Harganya murah x Jika karena sesuatu hal, metformin tidak bisa diberikan, misalnya karena
alergi, atau efek samping gastrointestinal yang tidak dapat ditoleransi
oleh pasien, maka dipilih obat lainnya sesuai dengan keadaan pasien dan
ketersediaan.
x Sulfonilurea dapat dipilih sebagai obat pertama jika ada keterbatasan
biaya, obat tersedia di fasilitas kesehatan dan pasien tidak rentan
terhadap hipoglikemia.
x Acarbose dapat digunakan sebagai alternatif untuk lini pertama jika
terdapat peningkatan kadar glukosa prandial yang lebih tinggi
dibandingkan kadar glukosa puasa. Hal ini biasanya terjadi pada pasien
dengan asupan karbohidrat yang tinggi.
x Thiazolidinedione dapat juga dipilih sebagai pilihan pertama, namun
harus mempertimbangkan risiko peningkatan berat badan. Pemberian
obat ini juga harus diperhatikan pada pasien gagal jantung karena dapat
menyebabkan retensi cairan. Obat ini terbatas ketersediaannya,
terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
x Penghambat DPP-4 dapat digunakan sebagai obat pilihan pada lini
pertama karena risiko hipoglikemianya yang rendah dan bersifat netral
terhadap berat badan. Pemilihan obat ini tetap mempertimbangkan
ketersediaan dan harga.
x Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan pilihan pada pasien
dengan PKVAS (Penyakit Kardiovaskular Aterosklerotik) atau memiliki
risiko tinggi untuk mengalami PKVAS, gagal jantung atau penyakit ginjal
kronik. Pemilihan obat ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan
dan harga.
x Obat golongan GLP-1 RA merupakan pilihan pada pasien dengan PKVAS
atau memiliki risiko tinggi untuk mengalami PKVAS atau penyakit ginjal
kronik. Pemilihan obat ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan
dan harga.
C. Pertimbangan Terapi Kombinasi Obat Hipoglikemia Oral
Permasalahan biaya
Bila harga obat atau pembiayaan menjadi pertimbangan utama, dan
tidak terdapat komorbid penyakit kardiovaskular aterosklerotik (penyakit
jantung koroner, stroke dan penyakit arteri perifer), gagal jantung dan
penyakit ginjal kronik, maka untuk kombinasi dengan metformin
pertimbangkan SU generasi terbaru dengan risiko hipoglikemia yang
rendah, atau TZD,atau acarbose. Bila pasien sudah mendapatkan
kombinasi 3 obat antihiperglikemik oral namun tidak mencapai target
HbA1c <7% maka dimulai terapi kombinasi dengan insulin atau
pertimbangkan kombinasi dengan penghambat DPP-4 atau penghambat
SGLT-2.
Permasalahan berat badan
Bila masalah peningkatan berat badan menjadi pertimbangan utama,
maka selain pemberian terapi metformin dapat digunakan obat dengan
risiko paling rendah terhadap peningkatan berat badan (weight neutral)
seperti penghambat DPP-4, penghambat SGLT-2 dan GLP-1 RA.
Risiko hipoglikemia
Pada pasien yang rentan terhadap risiko hipoglikemia maka untuk
kombinasi dengan metformin pertimbangkan obat dengan risiko
hipoglikemia rendah yaitu TZD, penghambat DPP-4, penghambat SGLT-2,
atau GLP-1 RA.
D. Pengelolaan DM tipe 2 dengan Komorbid
Pengelolaan DM Tipe dengan komorbid tertentu seperti penyakit
kardiovaskular aterosklerotik (penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit
arteri perifer), gagal jantung, penyakit ginjal kronis, dan risiko kardiovaskuler.
Risiko kardiovaskular Pasien DM Tipe 2 di klasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 8. Klasifikasi Kategori Risiko Kardiovaskular pada Pasien DM.
Pasien DM tipe 2 yang baru terdiagnosis maupun yang telah mendapatkan
obat antihiperglikemik lain dengan risiko sangat tinggi dan risiko tinggi maka
pilihan obat yang dianjurkan adalah golongan GLP-1 RA atau penghambat
SGLT-2 yang terbukti memberikan manfaat kardiovaskular.
Pada pasien DM tipe 2 dengan PKVAS dominan pilihan obat yang dianjurkan
adalah GLP-1 RA atau penghambat SGLT-2 yang terbukti memberikan
manfaat kardiovaskular.
Pada pasien DM tipe 2 dengan gagal jantung terutama HfrEF (Heart Failure
with reduced Ejection Fraction) dengan EF <45% maka pilihan obat yang
dianjurkan adalah penghambat SGLT-2 yang terbukti memberikan manfaat
untuk gagal jantung.
Pada pasien DM tipe 2 dengan penyakit ginjal kronik (PGK) :
o Penyakit ginjal diabetik (PGD) dan albuminuria : obat yang
dianjurkan adalah penghambat SGLT-2 yang terbukti menurunkan
progresifitas PGK, atau bila penghambat SGLT-2 tidak bisa
ditoleransi atau merupakan kontraindikasi maka dianjurkan GLP-1
RA yang terbukti memberikan manfaat kardiovaskular.
o PGK (LFG <60 mL/min/1.73m2
) tanpa albuminuria merupakan
keadaan dengan risiko kardiovaskuler yang meningkat maka obat
yang dianjurkan adalah GLP-1 RA yang terbukti memberikan
manfaat kardiovaskular atau penghambat SGLT-2 yang terbukti
memberikan manfaat kardiovaskular.
Dalam hal penggunaan penghambat SGLT-2 perlu diperhatikan labelling dan aturan
berkaitan dengan batasan LFG untuk inisiasi terapi tidak sama untuk masing ʹ masing
obat, juga berbeda antar negara. Pada keadaan dimana GLP-1 RA atau penghambat
SGLT-2 tidak dapat diberikan atau tidak tersedia, maka dianjurkan pilihan kombinasi
dengan obat lain yang telah menunjukkan keamanan terhadap kardiovaskular antara
lain insulin.
Selanjutnya bila diperlukan intensifikasi terapi karena belum mencapai target HbA1c
< 7%, maka untuk penambahan obat berikutnya:
o Pertimbangkan menambah obat kelas lain yang terbukti
mempunyai manfaat kardiovaskular
o Sulfonilurea generasi terbaru dengan risiko hipoglikemia rendah
o Insulin
o Penghambat DPP-4, namun pada pasien dengan gagal jantung
hindari pemberian saxagliptin.
o Hindari TZD bila ada gagal jantung
Keterangan mengenai obat :
1. Bromokriptin QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis. Data di
Indonesia masih sangat terbatas terkait penggunaan bromokriptin sebagai obat
anti diabetes
2. Pilihan obat tetap harus memperhatikan individualisasi serta efektivitas obat,
manfaat dan keamanan kardiovaskular, risiko hipoglikemia, efek peningkatan berat
badan, efek samping obat, harga dan ketersediaan obat sesuai dengan kebijakan
dan kearifan lokal.
D. Prinsip Terapi Inisiasi, Optimisasi dan Intensifikasi Insulin
Terapi inisiasi insulin dapat diberikan pada pasien DM baru dengan ciri gejala
atau tanda dekompensasi metabolik atau pasien DM lama dengan kombinasi
OHO namun tidak terkontrol. Algoritma terapi inisiasi, optimisasi dan
intensifikasi insulin dapat dilihat pada gambar 4.
Terapi inisiasi insulin pada pasien DM lama dengan terapi kombinasi 2 atau 3 OHO
dengan HbA1C t7,5% - <9%, dapat dilakukan dengan beberapa regimen berikut :
1. Insulin basal dengan 10 unit/hari atau 0,2 unit per kgBB/hari (dapat disertai atau
tidak dengan pemberian OHO)
2. Co-formulation (IDegAsp) atau Premixed (30/70 atau 25/75) 1 kali sehari dengan
dosis 10 unit pada malam hari (dapat disertai atau tidak dengan pemberian
OHO)
3. Fixed ratio combination (kombinasi insulin basal dan GLP-1 RA) seperti IdegLira
atau IglarLixi dengan dosis 10 unit/hari, dapat disertai atau tidak dengan
pemberian OHO.
Terapi Intensifikasi
Pada kelompok dengan regimen inisiasi basal r OHO : jika HbA1c belum
mencapai target (>7%) dengan dosis insulin basal telah mencapai >0,5
unit/kgBB/hari, maka perlu dilakukan intensifikasi dengan insulin prandial
1 kali dosis Æ 2 kali dosis Æ 3 kali dosis (penambahan prandial
menyesuaikan nilai GD pre-prandial tertinggi dalam satu hari)
Pada kelompok dengan regimen co-formulation : jika setelah di titrasi ke
dosis optimal namun kontrol glikemik belum mencapai target, maka
intensifikasi dosis 2 kali sehari pagi dan sore
Pada kelompok dengan regimen premixed OD r OHO : jika GDP atau GD
pre-prandial pagi tinggi sedangkan GD siang hari normal, perlu dilakukan
intensifikasi dengan peningkatan pemberian regimen premixed dari 1 kali
sehari menjadi 2 kali sehari, dengan syarat fungsi ginjal baik.
Jika belum mencapai target kontrol glikemik yang diinginkan maka dapat
ditingkatkan menjadi 3 kali dosis pemberian insulin premixed. Jika pada
evaluasi berikutnya target belum tercapai, maka premixed diganti dengan
basal bolus.
Pada kelompok dengan regimen fixed ratio combination : regimen FRC hanya
diperbolehkan optimisasi 1 kali dosis/hari. Jika pada evaluasi bulan
berikutnya, target kontrol glikemik belum tercapai dengan didapatkan GDP
atau GD pre-prandial pagi tinggi maka dilakukan intensifikasi 1 kali FRC +
Prandial 1 kali lanjut 2 kali/hari. Jika intensifikasi belum berhasil maka FRC
dihentikan dan diganti dengan regimen basal bolus.
Gambar 4Bʹ Terapi Inisiasi dan Intensifikasi Pengobatan Injeksi pada Pasien DM
Baru dengan HbA1c >9% atau GDP t250 mg/dL atau GDS t300 mg/dL atau Gejala
Dekompensasi Metabolik
Terapi Inisiasi dapat dilakukan dengan beberapa regimen berikut :
1. Co-formulation (iDegAsp) atau premixed 30/70 atau 25/75
2. Fixed ratio combination seperti IdegLira atau IglarLixi dengan pemberian 1 kali
suntikan/hari dosis 10 unit
2. Basal plus dengan optimisasi dosis hingga 0,5 unit/kgbb/hari
3. Basal bolus dengan optimisasi dosis hingga mencapai target.
Terapi Intensifikasi
Pada kelompok Co-formulation atau FRC : penyesuaian terapi intensifikasi sesuai
dengan penjelasan pada gambar 3A
Pada kelompok basal plus : jika target kontrol glikemik belum tercapai
maka dapat ditingkatkan menjadi basal plus 1 Æplus 2 Æ plus 3 (atau basal
bolus)
Pada pasien baru yang mengalami dekompensasi metabolik pada fase inisiasi
dan/atau intensifikasi dapat dilakukan de-eskalasi sesuai kondisi pasien, terutama
jika kondisi dekompensasi metabolik telah teratasi.
E. Pemantauan
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan penunjang Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah :
Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.
Waktu pelaksanaan glukosa darah pada saat puasa, 1 atau 2 jam setelah
makan, atau secara acak berkala sesuai dengan kebutuhan. Frekuensi
pemeriksaan dilakukan setidaknya satu bulan sekali.
b. Pemeriksaan HbA1c
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1c),
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 -
12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana
perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan (E). Pada pasien yang
telah mencapai sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1c
diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun (E). HbA1c tidak dapat
dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2 ʹ 3 bulan terakhir,
keadaan lain yang memengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal. Karena keterbatasan pemeriksaan HbA1c akibat faktor ʹ faktor di
atas, maka terdapat cara lain seperti pemeriksaan glycated albumin (GA)
yang dapat dipergunakan dalam pemantauan.
Pemeriksaan GA dapat digunakan untuk menilai indeks kontrol glikemik
yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan
masa hidup eritrosit seperti HbA1c. Pemeriksaan HbA1c merupakan
indeks kontrol glikemik jangka panjang (2 ʹ 3 bulan). Sedangkan proses
metabolik albumin terjadi lebih cepat daripada hemoglobin dengan
perkiraan 15 ʹ 20 hari sehingga GA merupakan indeks kontrol glikemik
jangka menengah. Beberapa gangguan seperti sindroma nefrotik,
pengobatan steroid, obesitas berat dan gangguan fungsi tiroid dapat
memengaruhi kadar albumin yang berpotensi memengaruhi nilai
pengukuran GA.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan
darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa
darah dengan menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah
dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat
tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara
pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Hasil
pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara
konvensional secara berkala. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan
pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari (B) atau pada pengguna
obat pemacu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,
tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait
dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat
sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk menilai ekskursi glukosa),
menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara
siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang
tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells
(B).
Prosedur PGDM dapat dilihat pada Tabel 10. PDGM terutama dianjurkan
pada :
Pasien DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
Pasien DM dengan terapi insulin dengan keadaan sebagai berikut;
1. Pasien dengan HbA1c yang tidak mencapai target setelah
terapi
2. Wanita yang merencanakan kehamilan
Wanita hamil dengan hiperglikemia
4. Kejadian hipoglikemia berulang (E)
Tabel 10. Prosedur Pemantauan Glukosa Darah
1. Tergantung dari tujuan pemeriksaan tes dilakukan pada waktu (B) :
Sebelum makan
2 jam sesudah makan
Sebelum tidur malam
2. Pasien dengan kendali buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari.
3. Pasien dengan kendali baik/stabil sebaiknya tes tetap dilakukan secara rutin.
Pemantauan dapat lebih jarang (minggu sampai bulan) apabila pasien terkontrol
baik secara konsisten.
4. Pemantauan glukosa darah pada pasien yang mendapat terapi insulin, ditujukan
untuk penyesuaian dosis insulin dan memantau timbulnya hipoglikemia (E)
5. Tes lebih sering dilakukan pada pasien yang melakukan aktivitas tinggi, pada
keadaan krisis, atau pada pasien yang sulit mencapai target terapi (selalu tinggi, atau
sering mengalami hipoglikemia), juga pada saat perubahan dosis terapi.
*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed-time) dilakukan pada jam 22.00.
III.2.2.6 Kriteria Pengendalian DM
Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa,
kadar HbA1c, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila kadar
glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, serta status
gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan.
Manajemen DM harus bersifat perorangan (individualisasi). Pelayanan yang
diberikan berbasis pada perorangan dan kebutuhan obat, kemampuan serta
keinginan pasien menjadi komponen penting dan utama dalam menentukan pilihan
dalam upaya mencapai target terapi. Pertimbangan tersebut dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain: usia pasien dan harapan hidupnya, lama menderita DM,
riwayat hipoglikemia, penyakit penyerta, adanya komplikasi kardiovaskular, serta
komponen penunjang lain (ketersediaan obat dan kemampuan daya beli). Untuk
pasien usia lanjut, target terapi HbA1c antara 7,5 ʹ 8,5% (B). Pemeriksaan HbA1c
memang penting untuk menentukan terapi dan eskalasi terapi, namun tidak setiap
fasilitas kesehatan bisa melaksanakan pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi dimana
tidak bisa dilakukan pemeriksaan HbA1c maka bisa dipergunakan konversi dari
rerata glukosa darah puasa dan atau glukosa darah post prandial selama 3 bulan
terakhir menggunakan tabel konversi HbA1c ke glukosa darah rerata dari Standard
of Medical Care in Diabetes American Diabetes Association 2019 yang dimodifikasi
(Tabel 12). Tabel konversi yang dimodifikasi ini tidak secara akurat menggambarkan
HbA1c sesungguhnya dan hanya dipergunakan pada keadaan bila pemeriksaan
HbA1c tidak dapat dilakukan.
II.3.1 Dislipidemia
1. Dislipidemia pada pasien DM lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
kardiovaskular.
2. Pemeriksaan profil lipid perlu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan.
Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun
sekali (B) dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Pada pasien
yang pemeriksaan profil lipidnya menunjukkan hasil yang baik (LDL <
100mg/dL; HDL > 50 mg/dL; trigliserida < 150mg/dL), maka pemeriksaan
profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali (B).
3. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada pasien DM adalah
peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolestrol HDL,
sedangkan kadar kolestrol LDL normal atau sedikit meningkat. (B)
4. Perubahan perilaku yang ditujukan untuk pengurangan asupan kolestrol dan
lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat memperbaiki
profil lemak dalam darah (A).
5. Modifikasi gaya hidup yang berfokus pada penurunan berat badan (jika
diperlukan), dapat juga menerapkan pola makan Mediterania atau
pendekatan pola makan untuk menghentikan hipertensi (Dietary Approaches
to Stop hypertension/DASH), mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak
trans, meningkatkan asupan asam lemak omega-3, serat, dan tumbuhan
stanol/sterol tumbuhan, dan meningkatkan aktivitas fisik, yamg bertujuan
untuk memperbaiki profil lipid dan mengurangi risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular aterosklerotik pada pasien DM.(A)
6. Terapi farmakologis perlu dilakukan sedini mungkin dengan menggunakan
statin. (Tabel 13)
7. Pencegahan primer kejadian kardiovaskular menggunakan terapi statin
intensitas sedang (moderate