Diabetes melitus 1

 








Diabetes melitus 




Hiperglikemia adalah suatu kondisi medis berupa peningkatan kadar glukosa

darah melebihi normal yang menjadi karakteristik beberapa penyakit terutama 

diabetes melitus di samping berbagai kondisi lainnya. Diabetes melitus (DM) saat ini 

menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Berdasarkan penyebabnya, DM dapat 

diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan 

DM tipe lain. Pada pedoman ini, hiperglikemia yang dibahas adalah yang terkait 

dengan DM tipe 2. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya 

kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai 

penjuru dunia. Organisasi WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah pasien DM 

tipe 2 yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Badan kesehatan dunia WHO 

memprediksi kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi International Diabetes 

Federation (IDF) juga menunjukkan bahwa pada tahun 2019 - 2030 terdapat 

kenaikan jumlah pasien DM dari 10,7 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan 

penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan 

prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah rural, 

sehingga diperkirakan pada tahun 2003 didapatkan 8,2 juta pasien DM di daerah 

rural. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan bahwa pada tahun 

2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan 

asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%), maka diperkirakan 

terdapat 28 juta pasien diabetes di daerah urban dan 13,9 juta di daerah rural. 

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh Departemen 

Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5%.

Peningkatan tersebut seiring dengan meningkatnya obesitas yang merupakan 

salah satu faktor risiko diabetes, yaitu 14,8 % pada data RISKESDAS tahun 2013 

menjadi 21,8% pada tahun 2018. Hal ini seiring pula dengan peningkatan prevalensi 

berat badan lebih dari 11,5% menjadi 13,6%, dan untuk obesitas sentral (lingkar 

pinggang ш 90cm pada laki-laki dan ш 80cm pada perempuan) meningkat dari 26,6% 

menjadi 31%. Data-data di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien DM di Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang berat untuk dapat ditangani sendiri oleh 

dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan.

Komplikasi yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan pada 

pembuluh darah baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta gangguan pada 

sistem saraf atau neuropati. Gangguan ini dapat terjadi pada pasien DM tipe 2 yang 

sudah lama menderita penyakit atau DM tipe 2 yang baru terdiagnosis. Komplikasi 

makrovaskular umumnya mengenai organ jantung, otak dan pembuluh darah, 

sedangkan gangguan mikrovaskular dapat terjadi pada mata dan ginjal. Keluhan 

neuropati juga umum dialami oleh pasien DM, baik neuropati motorik, sensorik 

ataupun neuropati otonom. 

Penyakit DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya 

manusia dan meningkatnya biaya kesehatan yang cukup besar, oleh karena itu 

semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta

dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan. 

Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi, dan 

tenaga kesehatan lain. Pada strategi pelayanan kesehatan bagi pasien DM, peran

dokter umum menjadi sangat penting sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan 

primer. Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh 

dokter umum di pelayanan kesehatan primer. Pasien DM dengan kadar glukosa

darah yang tidak terkontrol perlu tatalaksana secara komprehensif sebagai upaya 

pencegahan komplikasi. Tatalaksana tersebut dapat dilaksanakan di setiap fasilitas 

layanan kesehatan dengan masyarakat. 

Peran pasien dan keluarga pada pengelolaan penyakit DM juga sangat 

penting, karena DM merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur 

hidup. Oleh karena itu diperlukan edukasi kepada pasien dan keluarganya untuk 

memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan 

penatalaksanaan DM. Hal ini akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan 

keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Keberadaan organisasi profesi 

seperti PERKENI dan IDAI, serta perkumpulam pemerhati DM seperti PERSADIA, 

PEDI, dan yang lain menjadi sangat dibutuhkan. Organisasi profesi dapat 

meningkatkan kemampuan tenaga profesi kesehatan dalam penatalaksanaan DM 

dan perkumpulan yang lain dapat membantu meningkatkan pengetahuan pasien DM 

tentang penyakitnya dan meningkatkan peran aktif mereka untuk ikut serta dalam 

pengelolaan dan pengendalian DM, sehingga dapat menekan angka kejadian penyulit DM. Penyempurnaan dan revisi standar pelayanan harus selalu dilakukan 

secara berkala dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasis 

bukti, sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien DM.

I.2 Permasalahan

Data RISKESDAS 2018 menjelaskan prevalensi DM nasional adalah sebesar 8,5 

persen atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM. Pasien DM juga sering 

mengalami komplikasi akut dan kronik yang serius, dan dapat menyebabkan 

kematian. Masalah lain terkait penanganan DM adalah permasalahan geografis, 

budaya, dan sosial yang beragam. 

Hal ʹ hal tersebut menjadi dasar bahwa penanganan diabetes memerlukan 

panduan nasional pelayanan kedokteran yang bertujuan memberikan layanan pada 

pasien atau masyarakat sesuai kebutuhan medis berdasarkan nilai ilmiah serta 

mempertahankan mutu pelayanan kedokteran di Indonesia. Organisasi IDF 

memperkirakan akan terjadi peningkatan pasien DM yang cepat di Indonesia. Hal ini

harus ditanggapi dengan upaya pencegahan yang terstruktur dan terprogram secara 

nasional. Upaya kuratif dan preventif ini melibatkan berbagai disiplin ilmu sesuai 

dengan kompetensi dan penugasan klinis yang berlaku di Indonesia. Metoda 

penanganan dan pencegahan DM tipe 2 harus seragam dalam upaya meningkatkan 

keselamatan dan kualitas hidupnya. Keadaan inilah yang mendukung perlunya 

disusun Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 Dewasa.

Pedoman ini menggunakan sumber pustaka dari berbagai jurnal, termasuk 

jurnal elektronik seperti MedScape, PubMed, dengan menggunakan kata kunci 

penelusuran: Diabetes Care, Treatment of Diabetes. Penyusunan buku pedoman juga 

menggunakan konsensus dari American Diabetes Association (ADA), International 

Diabetes Federation (IDF), American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) 

dan National Institute for Health and Clinical Excellent (NICE) sebagai rujukan.


Setiap bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis. Pada kasus tertentu 

melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait, di antaranya spesialis anak, bedah 

vaskular, kedokteran fisik dan rehabilitasi, mata, urologi, kardiologi, ginjal, farmasi, 

patologi klinik, radiologi, dan lain-lain sehingga dapat dilakukan pendekatan yang 

multidisiplin.




Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik 

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja 

insulin atau keduanya.

II.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas 

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian 

terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat 

dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 

adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), 

sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan 

otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi 

glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari ominous octet

yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2. Sebelas organ penting 

dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven) perlu dipahami karena dasar 

patofisiologi ini memberikan konsep:

1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis, bukan 

hanya untuk menurunkan HbA1c saja

2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat 

sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.

3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat 

progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada pasien gangguan 

toleransi glukosa.

Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel 

beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM tipe 2 tetapi 

terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven

(Gambar 1).


Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal (egregious 

eleven) yaitu:

1. Kegagalan sel beta pankreas

Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat 

berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, 

meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil 

peptidase-4 (DPP-4).

2. Disfungsi sel alfa pankreas

Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan 

sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam 

keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini 

menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan 

basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang 

menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi 

GLP-1 receptor agonist (GLP-1 RA), penghambat DPP-4 dan amilin.3. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan 

peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) 

dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan 

mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi 

insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. 

Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.

4. Otot

Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di 

intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga 

terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, 

dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin 

dan tiazolidinedion.

5. Hepar 

Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu 

glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar 

(hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini 

adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.

6. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese 

baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan 

mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan 

makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di 

otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 RA, amilin dan bromokriptin.

7. Kolon/Mikrobiota 

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan 

hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 

2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat 

badan berlebih akan berkembang menjadi DM. Probiotik dan prebiotik 

diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia. 8. Usus halus

Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding bilar 

diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan 

oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent 

insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). 

Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon 

GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,

sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat 

kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4. Saluran pencernaan juga mempunyai 

peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang 

akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh 

usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang 

bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.

9. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe 2. 

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari 

glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose 

co-transporter -2 (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% 

sisanya akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-1) 

pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam 

urin. Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi 

peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan 

peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan 

menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan 

dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-

2. Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh obatnya.

10. Lambung 

Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan sel 

beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan 

lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan 

dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.11. Sistem Imun 

Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai 

inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun 

bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan 

berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi 

sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat 

peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin. 

DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, 

disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti 

adiposa, hepar dan otot. Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya 

hubungan antara obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut 

menggambarkan peran penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang 

dianggap sebagai kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik lain yang 

berkaitan dengan inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.


Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan 

HbA1c. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa 

secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan 

dapat dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar 

adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan 

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

x Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan 

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

x Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi 

pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.



Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga harus hati￾hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: 

anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2 - 3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang memengaruhi 

umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun 

evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM 

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa 

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

x Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa 

plasma puasa antara 100 ʹ 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2-jam < 140 mg/dL;



Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -

jam setelah TTGO antara 140 ʹ 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 

100 mg/dL

x Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

x Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil 

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 ʹ 6,4%.




Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2 dan 

prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM 

(B) yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ш 23 kg/m2

) yang 

disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :


a. Aktivitas fisik yang kurang.

b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).

c. Kelompok ras/etnis tertentu.

d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg atau 

mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).

e. Hipertensi (ш 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).

f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL.

g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

h. Riwayat prediabetes.

i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.

j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas. 

Catatan:

Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal 

sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes 

pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan 

TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa 

darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. 

III.2 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup 

pasien diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas 

hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas 

penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, 

tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara 

komprehensif.

Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum

Evaluasi pemeriksaan fisik dan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan 

Primer. Jika fasilitas belum tersedia maka pasien dapat dirujuk ke Pelayanan 

Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier


Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi 

nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan 

obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral 

dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi 

dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat 

badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke

pelayanan kesehatan sekunder atau tersier.

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia 

dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang 

pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

III.2.2.1 Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai 

bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari 

pengelolaan DM secara holistik (B). Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat 

awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.

a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer 

yang meliputi:

ƒ Materi tentang perjalanan penyakit DM.

ƒ Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara 

berkelanjutan.

ƒ Penyulit DM dan risikonya.

ƒ Intervensi non-farmakologi dan farmakologis serta target pengobatan.

ƒ Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia 

oral atau insulin serta obat-obatan lain.

ƒ Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau 

urin mandiri (hanya jika alat pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).

ƒ Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia 

ƒ Pentingnya latihan jasmani yang teratur 

ƒ Pentingnya perawatan kaki.

ƒ Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan (B) 

b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan 

Sekunder dan/atau Tersier, yang meliputi:

ƒ Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.

ƒ Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.

ƒ Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.

ƒ Rencana untuk kegiatan khusus (contoh : olahraga prestasi)

ƒ Kondisi khusus yang dihadapi (contoh : hamil, puasa, kondisi rawat inap)

ƒ Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang 

DM.

ƒ Pemerliharaan/perawatan kaki. (elemen perawatan kaki dapat dilihat pada 

Tabel 5)


Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus maupun 

neuropati perifer dan peripheral arterial disease (PAD)

1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan air.

2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas, 

kemerahan, atau luka.

3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.

4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim 

pelembab pada kulit kaki yang kering.

5. Potong kuku secara teratur.

6. Keringkan kaki dan sela ʹ sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.

7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung ʹ

ujung jari kaki.

8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.

9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.

10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.

11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk menghangatkan 

kaki.



Perilaku hidup sehat bagi pasien DM adalah memenuhi anjuran :

ƒ Mengikuti pola makan sehat.

ƒ Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur

ƒ Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan 

teratur.

ƒ Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan 

hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.

ƒ Melakukan perawatan kaki secara berkala.

ƒ Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut 

dengan tepat.

ƒ Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau 

bergabung dengan kelompok pasien diabetes serta mengajak keluarga untuk 

mengerti pengelolaan pasien DM.

ƒ Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:

ƒ Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya 

kecemasan.

ƒ Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana 

dan dengan cara yang mudah dimengerti.

ƒ Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.

ƒ Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan

pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program 

pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan 

laboratorium.

ƒ Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.

ƒ Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.

ƒ Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.

ƒ Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan 

keluarganya.

ƒ Gunakan alat bantu audio visual.

III.2.2.2 Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM secara 

komprehensif. (A) Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh


dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan 

keluarganya). TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap pasien DM 

agar mencapai sasaran. (A)

Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran makan 

untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan 

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pasien DM perlu diberikan 

penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah 

kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang 

meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.

A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:

ƒ Karbohidrat

o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 ʹ 65% total asupan energi. 

Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.

o Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan.

o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien diabetes dapat 

makan sama dengan makanan keluarga yang lain.

o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan 

selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan 

kalori sehari.

ƒ Lemak

o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 ʹ 25% kebutuhan kalori, dan tidak 

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

o Komposisi yang dianjurkan:

ѕ lemak jenuh (SAFA) < 7 % kebutuhan kalori.

ѕ lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10 %.

ѕ selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 12-15%

ѕ Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak jenuh tunggal: 

lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2: 1.

o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung 

lemak jenuh dan lemak trans antara lain:

ѕ daging berlemak dan susu fullcream.

o Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.


 Protein

o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein 

menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% 

diantaranya bernilai biologik tinggi. 

o Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1 ʹ

1,2 g/kg BB perhari. 

o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, 

ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan 

tempe. Sumber bahan makanan protein dengan kandungan saturated 

fatty acid (SAFA) yang tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging 

kambing dan produk hewani olahan sebaiknya dikurangi untuk 

dikonsumsi.

ƒ Natrium

o Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang sehat yaitu 

< 1500 mg per hari. (B).

o Pasien DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan 

natrium secara individual (B).

o Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan 

bahan makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah 

garam dapur, monosodium glutamat, soda, dan bahan pengawet seperti 

natrium benzoat dan natrium nitrit.

ƒ Serat

o Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah 

dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.

o Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 20 ʹ 35 gram per hari.

ƒ Pemanis Alternatif

o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas 

aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan 

menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.

o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai 

bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.

o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol 

dan xylitol.

 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada pasien DM karena dapat 

meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan 

seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.

o Pemanis tak berkalori termasuk aspartam, sakarin, acesulfame 

potasium, sukrose, neotame.

B. Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM, 

antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25 ʹ 30 

kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung 

pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. 

Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:

ƒ Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang 

dimodifikasi: 

o Berat badan ideal = 

90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg

o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, 

rumus dimodifikasi menjadi:

Berat badan ideal (BBI) =

(TB dalam cm ʹ 100) x 1 kg

ƒ BB normal : BB ideal ± 10 %

ƒ Kurus : kurang dari BB ideal ʹ 10% 

ƒ Gemuk : lebih dari BB ideal + 10%

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). 

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :

IMT = BB (kg)/TB (m2

)

Klasifikasi IMT :

o BB kurang < 18,5 

o BB normal 18,5 ʹ 22,9 

o BB lebih ш 23,0

- Dengan risiko 23,0 ʹ 24,9 

- Obese I 25,0 ʹ 29,9 

- Obese II ш 30

*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its 

Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

ƒ Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan 

untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.

ƒ Umur

o Pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap 

dekade antara 40 dan 59 tahun.

o Pasien usia di antara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.

o Pasien usia di atas usia 70 tahun, dikurangi 20%.

ƒ Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.

o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan 

istirahat.

o Penambahan sejumlah 20% pada pasein dengan aktivitas ringan : pegawai 

kantor, guru, ibu rumah tangga 

o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang : pegawai industri ringan, 

mahasiswa, militer yang sedang tidak perang 

o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer 

dalam keadaan latihan

o Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat : tukang becak, 

tukang gali.

ƒ Stres Metabolik

o Penambahan 10 ʹ 30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis, 

operasi, trauma).

ƒ Berat Badan

o Pasien DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20 ʹ 30% 

tergantung kepada tingkat kegemukan.o Pasien DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20 ʹ 30% sesuai dengan 

kebutuhan untuk meningkatkan BB.

o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 ʹ 1200 kal perhari untuk 

wanita dan 1200 ʹ 1600 kal perhari untuk pria.

Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan komposisi 

tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), 

dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10 - 15%) di antaranya. Tetapi pada 

kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai 

dengan kebiasaan. Untuk pasien DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan 

makan disesuaikan dengan penyakit penyerta.

III.2.2.3 Latihan Fisik

Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program 

latihan fisik secara teratur dilakukan 3 ʹ 5 hari seminggu selama sekitar 30 ʹ 45 

menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 

2 hari berturut-turut. (A). Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan 

termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga 

dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan 

memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik 

yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 ʹ 70% denyut jantung maksimal) 

seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. (A) Denyut jantung 

maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien. 

Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90 

menit/minggu dengan latihan aerobik berat, mencapai > 70% denyut jantung 

maksimal. Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik. Pasien 

dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih 

dahulu dan bila > 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan fisik. Pasien diabetes 

asimptomatik tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus sebelum memulai 

aktivitas fisik intensitas ringan-sedang, seperti berjalan cepat. Subyek yang akan 

melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria risiko tinggi harus dilakukan

pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan fisikPada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang 

tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training 

(latihan beban) 2 ʹ 3 kali/perminggu (A) sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan fisik 

sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran fisik. Intensitas latihan 

fisik pada pasien DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada pasien DM 

yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan 

masing-masing individu.

III.2.2.4 Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan 

jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (lampiran 1) 

dan bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 6 

golongan:

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

ƒ Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi 

insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah 

hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan 

sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, 

gangguan fungsi hati dan ginjal). Contoh obat dalam golongan ini 

adalah glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan gliclazide.

ƒ Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, 

namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan

pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. 

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam 

benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi 

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara 

cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. 

Obat golongan glinid sudah tidak tersedia di Indonesia. 

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizers)

ƒ Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati 

(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan 

perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar 

kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan 

gangguan fungsi ginjal (LFG 30 ʹ 60 ml/menit/1,73 m2

). Metformin 

tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti LFG < 30 

mL/menit/1,73 m2

, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien 

dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit 

serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif 

Kronik), gagal jantung NYHA (New York Heart Association) fungsional 

kelas III-IV. Efek samping yang mungkin terjadi adalah gangguan 

saluran pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.

ƒ Tiazolidinedion (TZD) 

Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator 

Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang 

terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini 

mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan 

jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan 

glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion menyebabkan retensi 

cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal 

jantung (NYHA fungsional kelas III-IV) karena dapat memperberat 

edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila 

diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk 

dalam golongan ini adalah pioglitazone.

c. Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di 

saluran pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus 

halƵƐ͘ Penghambaƚ glƵkoƐidaƐe alfa ƚidak digƵnakan pada keadaan LFG ч 

30 ml/min/1,73 m2

, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel 

syndrome (IBS). Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating 

(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya dapat diberikan dengan 

dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.

d. Penghambat enzim Dipeptidil Peptidase-4 

Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang 

didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam 

amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di posisi kedua 

peptida N-terminal. Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh, 

termasuk di usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit, 

endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut dalam 

plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan pada 

DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide

(GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan 

glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif di 

sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa, 

meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon. 

Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam 

golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan 

alogliptin.

e. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 

Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus 

proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan 

ini mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan 

darah. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah 

infeksi saluran kencing dan genital. Pada pasien DM dengan gangguan 

fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan 

menggunakan obat ini bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena 

obat ini juga dapat mencetuskan ketoasidosis.


Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia

Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping

Utama

Penurunan

HbA1c

Metformin Menurunkan produksi glukosa hati dan 

meningkatkan sensitifitas terhadap insulin

Dispepsia, diare,

asidosis laktat

1,0-1,3%

Thiazolidinedione Meningkatkan sensitifitas terhadap insulin Edema 0,5-1,4%

Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB naik, hipoglikemia 0,4-1,2%

Glinid Meningkatkan sekresi insulin BB naik, hipoglikemia 0,5-1,0%

Penghambat

Alfa-Glukosidase Menghambat absorpsi glukosa Flatulen, tinja lembek 0,5-0,8%

Penghambat

DPP-4

Meningkatkan sekresi insulin dan

menghambat sekresi glukagon Sebah, muntah 0,5-0,9%

Penghambat SGLT-2 Menghambat reabsorbsi glukosa di 

tubulus distal

Infeksi saluran kemih 

dan genital

0,5-0,9%

2. Obat Antihiperglikemia Suntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, GLP-1 RA dan kombinasi 

insulin dan GLP-1 RA.

a. Insulin

Insulin digunakan pada keadaan :

ƒ HbA1c saat diperiksa t 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat 

antidiabetes

ƒ HbA1c saat diperiksa > 9% 

ƒ Penurunan berat badan yang cepat

ƒ Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

ƒ Krisis hiperglikemia

ƒ Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

ƒ Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

ƒ Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali 

dengan perencanaan makan

ƒ Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

ƒ Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

ƒ Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis :

ƒ Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

ƒ Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)


 Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)

ƒ Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

ƒ Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)

ƒ Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat 

dengan menengah (Premixed insulin)

ƒ Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat

Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada Lampiran-2.

Efek samping terapi insulin :

ƒ Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia

ƒ Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut 

DM.

ƒ Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

Dasar pemikiran terapi insulin:

ƒ Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi 

insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang fisiologis.

ƒ Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau 

keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada 

keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan 

hiperglikemia setelah makan.

ƒ Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap 

defisiensi yang terjadi.

ƒ Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal 

(puasa/sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. 

Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah 

insulin basal (insulin kerja sedang, panjang atau ultrapanjang)

ƒ Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan 

menambah 2 - 4 unit setiap 3 - 4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.

ƒ Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c 

belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial 

(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah 

prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5 - 10 menit 

sebelum makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30 

menit sebelum makan.

ƒ Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral 

untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat 

sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan 

karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau metformin (golongan biguanid).

ƒ Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan 

respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Cara penyuntikan insulin :

ƒ Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan 

arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.

ƒ Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip.

ƒ Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara insulin kerja 

pendek dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu, 

namun bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan 

perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara 

kedua jenis insulin tersebut.

ƒ Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan 

dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat penyuntikkan.

ƒ Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya 

sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2 - 3 kali oleh 

pasien diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin. Penyuntikan 

insulin dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum suntik setiap kali 

dipakai, meskipun dapat dipakai 2 - 3 kali oleh pasien diabetes yang sama asal 

sterilitas dapat dijaga.

ƒ Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit 

yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan dianjurkan 

memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100 

unit/mL).

ƒ Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai ke samping, 

kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua paha bagian 

samping luar.

b. Agonis GLP-1 /Incretin Mimetic



Inkretin adalah hormon peptida yang disekresi gastrointestinal setelah 

makanan dicerna, yang mempunyai potensi untuk meningkatkan sekresi 

insulin melalui stimulasi glukosa. Dua macam inkretin yang dominan adalah 

glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan GLP-1. GLP-1 RA 

mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan 

glukagon, menghambat nafsu makan, dan memperlambat pengosongan 

lambung sehingga menurunkan kadar glukosa darah postprandial. Efek 

samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan 

muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, 

Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.

Penggunaan GLP-1 RA pada Diabetes 

GLP-1 RA adalah obat yang disuntikkan secara subkutan untuk menurunkan 

kadar glukosa darah, dengan cara meningkatkan jumlah GLP-1 dalam darah. 

Berdasarkan cara kerjanya golongan obat ini dibagi menjadi 2 yakni kerja 

pendek dan kerja panjang. GLP-1 RA kerja pendek memiliki waktu paruh 

kurang dari 24 jam yang diberikan sebanyak 2 kali dalam sehari, contohnya 

adalah exenatide, sedangkan GLP-1 RA kerja panjang diberikan 1 kali dalam 

sehari, contohnya adalah liraglutide dan lixisenatide, serta ada sediaan yang 

diberikan 1 kali dalam seminggu yaitu exenatide LAR, dulaglutide dan 

semaglutide. 

Dosis berbeda untuk masing-masing terapi, dengan dosis minimal, dosis 

tengah, dan dosis maksimal. Penggunaan golongan obat ini dititrasi 

perminggu hingga mencapai dosis optimal tanpa efek samping dan 

dipertahankan. 

Golongan obat ini dapat dikombinasi dengan semua jenis oral anti diabetik 

kecuali penghambat DPP-4, dan dapat dikombinasi dengan insulin.

Pemakaian GLP-1 RA dibatasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang 

berat, yaitu LFG kurang dari 30 mL per menit per 1,73 m2

.

3. Terapi Kombinasi

Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam 

penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan 

dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak

dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai 

dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai 

dengan respon kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia 

oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus 

menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada 

keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan 

kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat 

antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan 

klinis dan insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka dapat diberikan 

kombinasi tiga obat oral. terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti￾hiperglikemia oral. (Gambar 3 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2)

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan 

pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). 

Insulin kerja menengah harus diberikan menjelang tidur, sedangkan insulin 

kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur, atau diberikan 

pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien. Pendekatan terapi tersebut 

pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan 

dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 

0,1 ʹ 0,2 unit/kgbb. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar 

glukosa darah puasa keesokan harinya. 

Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar 

glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan kadar glukosa 

darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah diberikan insulin 

basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, 

pemberian obat antihiperglikemia oral terutama golongan Sulfonilurea 

sebaiknya dihentikan dengan hati-hati.

4. Kombinasi Insulin Basal dengan GLP-1 RA

Manfaat insulin basal terutama adalah menurunkan glukosa darah puasa, 

sedangkan GLP-1 RA akan menurunkan glukosa darah setelah makan, dengan 

target akhir adalah penurunan HbA1c.

Manfaat lain dari kombinasi insulin basal dengan GLP-1 RA adalah rendahnya 

risiko hipoglikemia dan mengurangi potensi peningkatan berat badan. 

Keuntungan pemberian secara terpisah adalah pengaturan dosis yang 

fleksibel dan terhindar dari kemungkinan interaksi obat, namun pasien kurang nyaman karena harus menyuntikkan 2 obat sehingga dapat 

menurunkan tingkat kepatuhan pasien. Ko-formulasi rasio tetap insulin dan 

GLP-1 RA yang tersedia saat ini adalah IdegLira, ko-formulasi antara insulin 

degludeg dengan liraglutide dan IGlarLixi, ko-formulasi antara insulin glargine 

dan lixisenitide.

III.2.2.5 Prinsip Penatalaksanaan DM tipe 2 

A. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 Tanpa Dekompensasi Metabolik

Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan. Dalam 

pemilihan obat maupun menentukan target pengobatan selalu 

mempertimbangkan individualisasi dan pendekatan yang berpusat pada 

pasien (patient centered approach). Pertimbangan itu meliputi efek obat 

terhadap komorbiditas kardiovaskular dan renal, efektivitas penurunan 

glukosa darah, risiko hipoglikemia, efek terhadap peningkatan berat badan, 

biaya, risiko efek samping, ketersediaan, dan pilihan pasien. Dengan demikian, 

pemilihan harus didasarkan pada kebutuhan/kepentingan pasien DM secara 

perorangan (individualisasi). (ADA 2021)Penjelasan untuk algoritma pengobatan DM tipe 2 (Gambar 3)

1. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% maka pengobatan 

dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi oral.

2. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ш 7,5%, atau pasien yang 

sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak bisa 

mencapai target HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi 2 macam obat 

yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat lain yang memiliki 

mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap metformin, maka 

diberikan obat lain seperti tabel lini pertama dan ditambah dengan obat lain 

yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda. 

3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat selama 3 

bulan tidak mencapai target HbA1c < 7%

4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa disertai dengan 

gejala dekompensasi metabolik atau penurunan berat badan yang cepat, maka 

dapat diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri dari metformin 

(atau obat lain pada lini pertama bila ada intoleransi terhadap metformin) 

ditambah obat dari lini ke 2.

5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai gejala 

dekompensasi metabolik maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat 

hipoglikemik lainnya.

6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa insulin, 

namun tidak mencapai target HbA1c < 7% selama minimal 3 bulan pengobatan, 

maka harus segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi insulin.

7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian 

terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah. 

B. Pertimbangan Pemilihan Obat Monoterapi 

x Metformin dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada sebagian besar 

pasien DM tipe 2. Pemilihan ini dengan alasan atau pertimbangan sebagai 

berikut :

o Efektivitasnya relatif baik,

o Efek samping hipoglikemianya rendah,

o Netral terhadap peningkatan berat badan,

o Memperbaiki luaran kardiovaskular, 

o Harganya murah x Jika karena sesuatu hal, metformin tidak bisa diberikan, misalnya karena 

alergi, atau efek samping gastrointestinal yang tidak dapat ditoleransi 

oleh pasien, maka dipilih obat lainnya sesuai dengan keadaan pasien dan 

ketersediaan.

x Sulfonilurea dapat dipilih sebagai obat pertama jika ada keterbatasan 

biaya, obat tersedia di fasilitas kesehatan dan pasien tidak rentan 

terhadap hipoglikemia.

x Acarbose dapat digunakan sebagai alternatif untuk lini pertama jika 

terdapat peningkatan kadar glukosa prandial yang lebih tinggi 

dibandingkan kadar glukosa puasa. Hal ini biasanya terjadi pada pasien 

dengan asupan karbohidrat yang tinggi. 

x Thiazolidinedione dapat juga dipilih sebagai pilihan pertama, namun 

harus mempertimbangkan risiko peningkatan berat badan. Pemberian 

obat ini juga harus diperhatikan pada pasien gagal jantung karena dapat 

menyebabkan retensi cairan. Obat ini terbatas ketersediaannya, 

terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama. 

x Penghambat DPP-4 dapat digunakan sebagai obat pilihan pada lini 

pertama karena risiko hipoglikemianya yang rendah dan bersifat netral 

terhadap berat badan. Pemilihan obat ini tetap mempertimbangkan 

ketersediaan dan harga. 

x Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan pilihan pada pasien 

dengan PKVAS (Penyakit Kardiovaskular Aterosklerotik) atau memiliki 

risiko tinggi untuk mengalami PKVAS, gagal jantung atau penyakit ginjal 

kronik. Pemilihan obat ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan 

dan harga.

x Obat golongan GLP-1 RA merupakan pilihan pada pasien dengan PKVAS 

atau memiliki risiko tinggi untuk mengalami PKVAS atau penyakit ginjal 

kronik. Pemilihan obat ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan 

dan harga.

C. Pertimbangan Terapi Kombinasi Obat Hipoglikemia Oral 

ƒ Permasalahan biaya 

Bila harga obat atau pembiayaan menjadi pertimbangan utama, dan 

tidak terdapat komorbid penyakit kardiovaskular aterosklerotik (penyakit 

jantung koroner, stroke dan penyakit arteri perifer), gagal jantung dan 

penyakit ginjal kronik, maka untuk kombinasi dengan metformin 

pertimbangkan SU generasi terbaru dengan risiko hipoglikemia yang

rendah, atau TZD,atau acarbose. Bila pasien sudah mendapatkan 

kombinasi 3 obat antihiperglikemik oral namun tidak mencapai target 

HbA1c <7% maka dimulai terapi kombinasi dengan insulin atau 

pertimbangkan kombinasi dengan penghambat DPP-4 atau penghambat 

SGLT-2.

ƒ Permasalahan berat badan 

Bila masalah peningkatan berat badan menjadi pertimbangan utama, 

maka selain pemberian terapi metformin dapat digunakan obat dengan 

risiko paling rendah terhadap peningkatan berat badan (weight neutral) 

seperti penghambat DPP-4, penghambat SGLT-2 dan GLP-1 RA. 

ƒ Risiko hipoglikemia 

Pada pasien yang rentan terhadap risiko hipoglikemia maka untuk 

kombinasi dengan metformin pertimbangkan obat dengan risiko 

hipoglikemia rendah yaitu TZD, penghambat DPP-4, penghambat SGLT-2, 

atau GLP-1 RA. 

D. Pengelolaan DM tipe 2 dengan Komorbid 

Pengelolaan DM Tipe dengan komorbid tertentu seperti penyakit 

kardiovaskular aterosklerotik (penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit 

arteri perifer), gagal jantung, penyakit ginjal kronis, dan risiko kardiovaskuler. 

Risiko kardiovaskular Pasien DM Tipe 2 di klasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 8. Klasifikasi Kategori Risiko Kardiovaskular pada Pasien DM.


Pasien DM tipe 2 yang baru terdiagnosis maupun yang telah mendapatkan 

obat antihiperglikemik lain dengan risiko sangat tinggi dan risiko tinggi maka 

pilihan obat yang dianjurkan adalah golongan GLP-1 RA atau penghambat 

SGLT-2 yang terbukti memberikan manfaat kardiovaskular. 

ƒ Pada pasien DM tipe 2 dengan PKVAS dominan pilihan obat yang dianjurkan 

adalah GLP-1 RA atau penghambat SGLT-2 yang terbukti memberikan 

manfaat kardiovaskular. 

ƒ Pada pasien DM tipe 2 dengan gagal jantung terutama HfrEF (Heart Failure 

with reduced Ejection Fraction) dengan EF <45% maka pilihan obat yang 

dianjurkan adalah penghambat SGLT-2 yang terbukti memberikan manfaat 

untuk gagal jantung.

ƒ Pada pasien DM tipe 2 dengan penyakit ginjal kronik (PGK) : 

o Penyakit ginjal diabetik (PGD) dan albuminuria : obat yang 

dianjurkan adalah penghambat SGLT-2 yang terbukti menurunkan 

progresifitas PGK, atau bila penghambat SGLT-2 tidak bisa 

ditoleransi atau merupakan kontraindikasi maka dianjurkan GLP-1 

RA yang terbukti memberikan manfaat kardiovaskular. 

o PGK (LFG <60 mL/min/1.73m2

) tanpa albuminuria merupakan 

keadaan dengan risiko kardiovaskuler yang meningkat maka obat 

yang dianjurkan adalah GLP-1 RA yang terbukti memberikan 

manfaat kardiovaskular atau penghambat SGLT-2 yang terbukti 

memberikan manfaat kardiovaskular.

Dalam hal penggunaan penghambat SGLT-2 perlu diperhatikan labelling dan aturan 

berkaitan dengan batasan LFG untuk inisiasi terapi tidak sama untuk masing ʹ masing 

obat, juga berbeda antar negara. Pada keadaan dimana GLP-1 RA atau penghambat



SGLT-2 tidak dapat diberikan atau tidak tersedia, maka dianjurkan pilihan kombinasi 

dengan obat lain yang telah menunjukkan keamanan terhadap kardiovaskular antara 

lain insulin.

Selanjutnya bila diperlukan intensifikasi terapi karena belum mencapai target HbA1c 

< 7%, maka untuk penambahan obat berikutnya:

o Pertimbangkan menambah obat kelas lain yang terbukti 

mempunyai manfaat kardiovaskular

o Sulfonilurea generasi terbaru dengan risiko hipoglikemia rendah

o Insulin 

o Penghambat DPP-4, namun pada pasien dengan gagal jantung 

hindari pemberian saxagliptin. 

o Hindari TZD bila ada gagal jantung

Keterangan mengenai obat :

1. Bromokriptin QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis. Data di 

Indonesia masih sangat terbatas terkait penggunaan bromokriptin sebagai obat 

anti diabetes

2. Pilihan obat tetap harus memperhatikan individualisasi serta efektivitas obat, 

manfaat dan keamanan kardiovaskular, risiko hipoglikemia, efek peningkatan berat 

badan, efek samping obat, harga dan ketersediaan obat sesuai dengan kebijakan 

dan kearifan lokal.




D. Prinsip Terapi Inisiasi, Optimisasi dan Intensifikasi Insulin 

Terapi inisiasi insulin dapat diberikan pada pasien DM baru dengan ciri gejala 

atau tanda dekompensasi metabolik atau pasien DM lama dengan kombinasi 

OHO namun tidak terkontrol. Algoritma terapi inisiasi, optimisasi dan 

intensifikasi insulin dapat dilihat pada gambar 4.



Terapi inisiasi insulin pada pasien DM lama dengan terapi kombinasi 2 atau 3 OHO 

dengan HbA1C t7,5% - <9%, dapat dilakukan dengan beberapa regimen berikut : 

1. Insulin basal dengan 10 unit/hari atau 0,2 unit per kgBB/hari (dapat disertai atau 

tidak dengan pemberian OHO)

2. Co-formulation (IDegAsp) atau Premixed (30/70 atau 25/75) 1 kali sehari dengan 

dosis 10 unit pada malam hari (dapat disertai atau tidak dengan pemberian 

OHO)

3. Fixed ratio combination (kombinasi insulin basal dan GLP-1 RA) seperti IdegLira 

atau IglarLixi dengan dosis 10 unit/hari, dapat disertai atau tidak dengan 

pemberian OHO.

Terapi Intensifikasi

ƒ Pada kelompok dengan regimen inisiasi basal r OHO : jika HbA1c belum 

mencapai target (>7%) dengan dosis insulin basal telah mencapai >0,5 

unit/kgBB/hari, maka perlu dilakukan intensifikasi dengan insulin prandial 

1 kali dosis Æ 2 kali dosis Æ 3 kali dosis (penambahan prandial 

menyesuaikan nilai GD pre-prandial tertinggi dalam satu hari)

ƒ Pada kelompok dengan regimen co-formulation : jika setelah di titrasi ke 

dosis optimal namun kontrol glikemik belum mencapai target, maka 

intensifikasi dosis 2 kali sehari pagi dan sore



Pada kelompok dengan regimen premixed OD r OHO : jika GDP atau GD 

pre-prandial pagi tinggi sedangkan GD siang hari normal, perlu dilakukan 

intensifikasi dengan peningkatan pemberian regimen premixed dari 1 kali 

sehari menjadi 2 kali sehari, dengan syarat fungsi ginjal baik. 

Jika belum mencapai target kontrol glikemik yang diinginkan maka dapat 

ditingkatkan menjadi 3 kali dosis pemberian insulin premixed. Jika pada 

evaluasi berikutnya target belum tercapai, maka premixed diganti dengan 

basal bolus.

ƒ Pada kelompok dengan regimen fixed ratio combination : regimen FRC hanya 

diperbolehkan optimisasi 1 kali dosis/hari. Jika pada evaluasi bulan 

berikutnya, target kontrol glikemik belum tercapai dengan didapatkan GDP 

atau GD pre-prandial pagi tinggi maka dilakukan intensifikasi 1 kali FRC + 

Prandial 1 kali lanjut 2 kali/hari. Jika intensifikasi belum berhasil maka FRC

dihentikan dan diganti dengan regimen basal bolus. 

Gambar 4Bʹ Terapi Inisiasi dan Intensifikasi Pengobatan Injeksi pada Pasien DM 

Baru dengan HbA1c >9% atau GDP t250 mg/dL atau GDS t300 mg/dL atau Gejala 

Dekompensasi Metabolik 

Terapi Inisiasi dapat dilakukan dengan beberapa regimen berikut :

1. Co-formulation (iDegAsp) atau premixed 30/70 atau 25/75 

2. Fixed ratio combination seperti IdegLira atau IglarLixi dengan pemberian 1 kali 

suntikan/hari dosis 10 unit 

2. Basal plus dengan optimisasi dosis hingga 0,5 unit/kgbb/hari

3. Basal bolus dengan optimisasi dosis hingga mencapai target.

Terapi Intensifikasi

Pada kelompok Co-formulation atau FRC : penyesuaian terapi intensifikasi sesuai 

dengan penjelasan pada gambar 3A

ƒ Pada kelompok basal plus : jika target kontrol glikemik belum tercapai 

maka dapat ditingkatkan menjadi basal plus 1 Æplus 2 Æ plus 3 (atau basal 

bolus)



Pada pasien baru yang mengalami dekompensasi metabolik pada fase inisiasi

dan/atau intensifikasi dapat dilakukan de-eskalasi sesuai kondisi pasien, terutama 

jika kondisi dekompensasi metabolik telah teratasi.

E. Pemantauan

Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara 

terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan 

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :

a. Pemeriksaan penunjang Kadar Glukosa Darah 

Tujuan pemeriksaan glukosa darah :

ƒ Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai 

ƒ Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran 

terapi.

Waktu pelaksanaan glukosa darah pada saat puasa, 1 atau 2 jam setelah 

makan, atau secara acak berkala sesuai dengan kebutuhan. Frekuensi 

pemeriksaan dilakukan setidaknya satu bulan sekali.

b. Pemeriksaan HbA1c

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai 

glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1c), 

merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 -

12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana 

perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan (E). Pada pasien yang 

telah mencapai sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1c 

diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun (E). HbA1c tidak dapat 

dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: 

anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2 ʹ 3 bulan terakhir, 

keadaan lain yang memengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi 

ginjal. Karena keterbatasan pemeriksaan HbA1c akibat faktor ʹ faktor di 

atas, maka terdapat cara lain seperti pemeriksaan glycated albumin (GA) 

yang dapat dipergunakan dalam pemantauan.


Pemeriksaan GA dapat digunakan untuk menilai indeks kontrol glikemik 

yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan 

masa hidup eritrosit seperti HbA1c. Pemeriksaan HbA1c merupakan 

indeks kontrol glikemik jangka panjang (2 ʹ 3 bulan). Sedangkan proses 

metabolik albumin terjadi lebih cepat daripada hemoglobin dengan 

perkiraan 15 ʹ 20 hari sehingga GA merupakan indeks kontrol glikemik 

jangka menengah. Beberapa gangguan seperti sindroma nefrotik, 

pengobatan steroid, obesitas berat dan gangguan fungsi tiroid dapat 

memengaruhi kadar albumin yang berpotensi memengaruhi nilai 

pengukuran GA.

c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) 

Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan 

darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa 

darah dengan menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah 

dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat 

tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara 

pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Hasil 

pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara 

konvensional secara berkala. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan 

pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari (B) atau pada pengguna 

obat pemacu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, 

tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait 

dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat 

sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk menilai ekskursi glukosa), 

menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara 

siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang 

tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells 

(B). 

Prosedur PGDM dapat dilihat pada Tabel 10. PDGM terutama dianjurkan 

pada :

ƒ Pasien DM yang direncanakan mendapat terapi insulin 

ƒ Pasien DM dengan terapi insulin dengan keadaan sebagai berikut;

1. Pasien dengan HbA1c yang tidak mencapai target setelah 

terapi 

2. Wanita yang merencanakan kehamilan


Wanita hamil dengan hiperglikemia 

4. Kejadian hipoglikemia berulang (E)

Tabel 10. Prosedur Pemantauan Glukosa Darah

1. Tergantung dari tujuan pemeriksaan tes dilakukan pada waktu (B) : 

ƒ Sebelum makan 

ƒ 2 jam sesudah makan 

ƒ Sebelum tidur malam 

2. Pasien dengan kendali buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari.

3. Pasien dengan kendali baik/stabil sebaiknya tes tetap dilakukan secara rutin. 

Pemantauan dapat lebih jarang (minggu sampai bulan) apabila pasien terkontrol 

baik secara konsisten.

4. Pemantauan glukosa darah pada pasien yang mendapat terapi insulin, ditujukan 

untuk penyesuaian dosis insulin dan memantau timbulnya hipoglikemia (E)

5. Tes lebih sering dilakukan pada pasien yang melakukan aktivitas tinggi, pada 

keadaan krisis, atau pada pasien yang sulit mencapai target terapi (selalu tinggi, atau 

sering mengalami hipoglikemia), juga pada saat perubahan dosis terapi.

*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed-time) dilakukan pada jam 22.00.

III.2.2.6 Kriteria Pengendalian DM

Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa, 

kadar HbA1c, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila kadar 

glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, serta status 

gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan.



Manajemen DM harus bersifat perorangan (individualisasi). Pelayanan yang 

diberikan berbasis pada perorangan dan kebutuhan obat, kemampuan serta 

keinginan pasien menjadi komponen penting dan utama dalam menentukan pilihan 

dalam upaya mencapai target terapi. Pertimbangan tersebut dipengaruhi oleh 

beberapa hal antara lain: usia pasien dan harapan hidupnya, lama menderita DM, 

riwayat hipoglikemia, penyakit penyerta, adanya komplikasi kardiovaskular, serta 

komponen penunjang lain (ketersediaan obat dan kemampuan daya beli). Untuk 

pasien usia lanjut, target terapi HbA1c antara 7,5 ʹ 8,5% (B). Pemeriksaan HbA1c 

memang penting untuk menentukan terapi dan eskalasi terapi, namun tidak setiap 

fasilitas kesehatan bisa melaksanakan pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi dimana 

tidak bisa dilakukan pemeriksaan HbA1c maka bisa dipergunakan konversi dari 

rerata glukosa darah puasa dan atau glukosa darah post prandial selama 3 bulan 

terakhir menggunakan tabel konversi HbA1c ke glukosa darah rerata dari Standard 

of Medical Care in Diabetes American Diabetes Association 2019 yang dimodifikasi 

(Tabel 12). Tabel konversi yang dimodifikasi ini tidak secara akurat menggambarkan 

HbA1c sesungguhnya dan hanya dipergunakan pada keadaan bila pemeriksaan 

HbA1c tidak dapat dilakukan. 


II.3.1 Dislipidemia 

1. Dislipidemia pada pasien DM lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit 

kardiovaskular. 

2. Pemeriksaan profil lipid perlu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan. 

Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun 

sekali (B) dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Pada pasien 

yang pemeriksaan profil lipidnya menunjukkan hasil yang baik (LDL < 

100mg/dL; HDL > 50 mg/dL; trigliserida < 150mg/dL), maka pemeriksaan 

profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali (B). 

3. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada pasien DM adalah 

peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolestrol HDL, 

sedangkan kadar kolestrol LDL normal atau sedikit meningkat. (B)

4. Perubahan perilaku yang ditujukan untuk pengurangan asupan kolestrol dan 

lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat memperbaiki 

profil lemak dalam darah (A).

5. Modifikasi gaya hidup yang berfokus pada penurunan berat badan (jika 

diperlukan), dapat juga menerapkan pola makan Mediterania atau 

pendekatan pola makan untuk menghentikan hipertensi (Dietary Approaches 

to Stop hypertension/DASH), mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak 

trans, meningkatkan asupan asam lemak omega-3, serat, dan tumbuhan 

stanol/sterol tumbuhan, dan meningkatkan aktivitas fisik, yamg bertujuan 

untuk memperbaiki profil lipid dan mengurangi risiko terjadinya penyakit 

kardiovaskular aterosklerotik pada pasien DM.(A)

6. Terapi farmakologis perlu dilakukan sedini mungkin dengan menggunakan 

statin. (Tabel 13)

7. Pencegahan primer kejadian kardiovaskular menggunakan terapi statin 

intensitas sedang (moderate