Kanker otak

  












tumor otak


Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup berbahaya yang 

merupakan factor risiko utama dari penyakit kardiovaskuler. Salah satu factor 

penyebab hipertensi adalah merokok. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi 

karakteristik pasien tumor otak di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari￾Desember 2021. Rancangan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross￾sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien tumor otak yang melakukan 

kunjungan ke RSUP H. Adam Malik Medan sebanyak 30 orang dan merupakan total 

sampling. Analisa data disajikan dalam bentuk presentase. Hasil penelitian 

menunjukkan mayoritas umur kategori 46-65 tahun (56,7%), jenis kelamin laki￾laki (53,3%), pendidikan SMA/SMK (46,7%), pekerjaan wiraswasta (36,7%), 

stadium I (50%), mayoritas lama sakit 1-3 tahun (43,3%) dan mayoritas memiliki 

status sosial ekonomi sebesar Rp 1.600.000-2.500.000 sebanyak 12 orang 

(40,0%). Disarankan penelitian lanjutan tentang karakteristik tumor otak (lokasi, 

ukuran, jumlah tumor) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien tumor 

otak.



Tumor merupakan suatu 

benjolan yang bisa berkembang 

disegala bagian badan manusia secara 

tidak abnormal, tumor mempunyai sifat 

bagian ialah bersifat jinak ataupun 

ganas. Tumor otak salah satu masalah 

yang menyebabkan kecacatatan dan 

kematian yang mempengaruhi 

kehidupan manusia dan memiliki angka 

kekambuhan yang tinggi akibat respon 

yang buruk terhadap pengobatan 

Menurut Global Cancer 

Observatory (2020) angka kejadian 

tumor otak diseluruh dunia sebesar 

308.102, dimana di Asia sebesar 

166.925 (54,2%), di Eropa sebesar 

67.114 (21,8%), di Amerika Utara


sebesar 27.526 (8,9%), Amerika Latin 

dan Karibia sebesar 25.835 (8,4%), di 

Afrika sebesar 18.264 (5,9%) dan 

Oseania sebesar 2.438 (0,79%). 

Sedangkan di Indonesia, data 

epidemiologi tumor otak di Indonesia 

sampai saat ini masih sangat tidak 

memadai, namun hasil penelitian 

(Aninditha, 2021) data pasien Tumor 

otak di dua rumah sakit (Rumah Sakit 

Umum Pusat Nasional Dr. Cipto 

Mangunkusumo) dan (Rumah Sakit 

Kanker Nasional Dharmais) pada bulan 

Oktober sampai Desember 2019 

didapatkan tumor otak primer sebanyak 

62,4% dan tumor otak sekunder 37,6% 

dengan median usia 49 (18-65 tahun). 

Di Sumatera Utara didapatkan 75 pasien 

tumor otak, laki-laki 38 (50.7%) dan 

perempuan 37 (49.3%) dengan usia 

(11-87 tahun) (Rambe, 2018).

Data pasien tumor otak di RSUP 

H. Adam Malik Medan mengalami 

peningkatan, tahun 2017-2022 

sebanyak 182 orang, tahun 2017 

berjumlah 99 orang, tahun 2018 

berjumlah 19 orang, tahun 2019 

berjumlah 7 orang, tahun 2020 

berjumlah 5 orang dan meninggal 

berjumlah 3 orang, tahun 2021 

berjumlah 19 orang dan meninggal 6 

orang dan tahun 2022 berjumlah 33 

orang. 

Berdasarkan prevalensi di atas, 

gejala-gejala yang dialami pasien tumor 

otak seperti sakit kepala secara 

bertahap menjadi semakin sering dan 

parah, mual dan muntah, gangguan 

ingatan, kejang, gangguan 

keseimbangan dan resiko kematian 

(Han & Jiang, 2021). Biasanya pasien 

tumor otak akan mengalami syok, 

takut, cemas, perasaan berduka, 

marah, sedih dan menarik diri. Perasaan 

cemas terjadi karena takut akan 

dampak yang terjadi, misalnya 

perubahan body image dan kematian 

(Yasirul, 2017). Tumor otak juga 

menyebabkan gangguan penglihatan 

disebabkan karena lokasi tumor otak itu 

sendiri maupun akibat peningkatan 

tekanan intrakranial  Gejala-gejala tersebut akhirnya 

memperburuk kualitas hidup bahkan 

menyebabkan kematian 

Tumor otak memiliki beberapa 

keunikan sehingga memerlukan 

pendekatan yang berbeda dibanding 

keganasan di tempat lain. Gambaran 

klinis dengan pasien tumor otak primer 

dan sekunder bervariasi, dengan gejala 

dapat menyerupai penyakit neurologi 

lainnya. Secara umum, gejala dan tanda 

defisit neurologi dipengaruhi oleh lokasi, 

ukuran dan tingkat pertumbuhan tumor 

terebut. Dari anamnesis dan 

pemeriksaan fisik dapat dijumpai tumor 

otak mengalami seperti sakit kepala, 

muntah, kejang. Di samping itu, pada 

pasien tumor otak sekunder mengalami 

keluhan yang terjadi akibatefek lokal 

tumor pada organ asal. Efek lokal 

tersebut terjadi akibat massa yang 

bertambah besar sehingga didapatkan 

adanya penekanan, destruksi dan 

perdarahan. Maka semua jenis tumor 

yang menyebabkan lesi desak ruang 

akan menyebabkan defisit neurologi (Liu 

dkk, 2019).

Lamanya proses penyembuhan, 

efek samping, beban ekonomi 

pengobatan membuat penderita 

mengalami penurunan dalam kondisi 

fisik maupun psikologis. Kondisi pasca 

menderita tumor otak turut menambah 

penderitaannya, selain itu menurunya 

hidup yang kecil membuat seorang 

penderita tumor otak mengalami 

kecemasan akan masa depan dan 

ketakutan menghadapi kematian yang 

seolah sudah didepan mata. Semangat 

hidup seolah bertolak belakang dengan 

keterbatasan yang dialami penderita 

tumor otak (Wang dkk, 2018). 

Berdasarkan paparan di atas maka perlu 

dilakukan penelitian untuk 

mengidentifikasi karakteristik pasien 

tumor otak di RSUP H. Adam Malik 

Medan.

 

Penelitian ini merupakan 

deskriptif dengan pendekatan cross 

sectional. Populasi pada penelitian 

adalah seluruh pasien tumor otak pada 

bulan Januari-Juni tahun 2022 yang 

berada di ruang rawat inap lantai III 

Rindu B dan Rawat jalan Bedah Saraf di 

RSUP H. Adam Malik Medan yang 

berjumlah 30 orang. Instrumen 

pengumpulan data menggunakan 

kuesioner.


penelitian ini adalah seluruh pasien 

tumor otak yang melakukan kunjungan 

ke RSUP H. Adam Malik Medan periode 

Januari-Desember 2021 sebanyak 30 

orang dan merupakan total sampling. 

Analisa data disajikan dalam bentuk 

presentase.

Berdasarkan tabel 1 mayoritas 

umur kategori 46-65 tahun sebanyak 16 

orang (56,7%), mayoritas laki-laki 

sebanyak 16 orang (53,3%), mayoritas 

pendidikan SMA/SMK sebanyak 14 

orang (46,7%), mayoritas pekerjaan 

wiraswasta sebanyak 10 orang (36,7%), 

mayoritas stadium I sebanyak 15 orang 

(50%), mayoritas lama sakit 1-3 tahun 

sebanyak 13 orang (43,3%) dan 

mayoritas memiliki status sosial 

ekonomi sebesar Rp 1.600.000-

2.500.000 sebanyak 12 orang (40,0%).PEMBAHASAN

Umur 

Pada penelitian ini didapatkan 

karakteristik mayoritas usia pasien 

tumor adalah 46-65 tahun sebanyak 16 

responden (53,3%). Sejalan dengan 

penelitian Fithrie, & Nasution, 2020) 

mengatakan responden tumor 

intrakranial sebanyak (70%) dengan 

usia < 65 tahun. Penelitian (Ritarwan, 

Nasution, Erwin, & Nerdy, 2018) pada 

responden tumor otak metastasis juga 

didapatkan responden dengan rerata 

(51,74 ± 11,17) tahun. Penelitian 

(Fadly, 2018) di RSUP H. Adam Malik 

Medan dengan usia 51-60 tahun 

sebanyak 31 responden (27,7%), dan 

penelitian ini sejalan juga dengan 

(menyatakan 

mayoritas usia 50-60 tahun 33,3%. Jika 

dibandingkan dengan hasil-hasil 

penelitian di atas terlihat bahwa 

mayoritas kasus tumor otak terjadi pada 

kelompok umur > 45 tahun, maka hasil 

ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian 

lainnya dimana faktor umur memang 

berpengaruh pada kejadian penyakit 

tumor otak. 

Penelitian 

menyebutkan bahwa selain faktor 

genetik, ada beberapa faktor resiko lain 

terutama faktor lingkungan yang

berperan dalam kejadian tumor pada 

usia yang relatif muda. Faktor-faktor 

tersebut adalah penggunaan rokok baik 

aktif maupun pasif, penggunaan 

alkohol, adanya gangguan kesehatan 

mental, obesitas, kurangnya aktifitas 

fisik atau olahraga, paparan peptisida, 

logam berat dan radiasi, populasi air 

dan udara serta nutrisi. 

Jenis Kelamin 

Hal ini sesuai dengan penelitian 

(Youlpi, 2021) di RSUP H. Adam Malik 

Medan dimana di dapatkan perempuan 

(60%) lebih sering di diagnosis dengan 

tumor otak di bandingkan dengan laki￾laki (40%), hal ini sejalan dengan 

penelitian yang dilakukan oleh 

(Kharisma, 2021) di RSUP H. Adam 

Malik Medan dimana mayoritas 

perempuan (53,3%) dan laki-laki 

(46,7%). Hasil penelitian (Ardhini & 

Tugasworo, 2019) menyebutkan bahwa 

penderita tumor otak lebih banyak pada 

perempuan sebanyak (61,7%) 

sedangkan pada laki-laki sebanyak 

(38,3%). Hal ini juga relevan dengan 

penelitian (Devanand, Wahyuni, & Ze, 

2017) dimana kejadian tumor otak 

didapatkan lebih banyak pada 

perempuan (64%) dibandingkan laki￾laki (36%). 

penelitian (Aninditha, 2019) 

menyatakan bahwa perempuan memiliki 

insidensi tumor SPP lebih tinggi 

dibandingkan laki-laki yang mungkin 

disebabkan oleh insidensi meningioma 

yang tinggi pada perempuan. Hal ini 

diperkirakan akibat adanya peran 

hormon seks pada perempuan. Hal ini 

dapat juga diakibatkan oleh kurangnya 

kesadaran perokok untuk merokok 

ditempat umum serta meningkatnya 

perokok pada jenis kelamin perempuan.

Pendidikan 

Penelitian ini didapatkan tingkat 

pendidikan pasien tumor otak yang 

paling banyak adalah SMA sebanyak 

(46,7%). Penelitian ini sejalan dengan 

penelitian Kharisma (2021) di RSUP H. 

Adam Malik Medan dimana mayoritas 

responden adalah SMA sebanyak 

(56,7%). Hasil ini sesuai dengan 

penelitian sebelumnya yang dilakukan 

(Ekayana, 2020) yang menyebutkan 

bahwa tingkat pendidikan yang 

terbanyak dalam penelitiannya adalah 

SMA yaitu sebesar (37,8%). Penelitian 

(Fithrie, & Nasution, 2020) juga 

mendapatkan tingkat pendidikan subjek 

penelitian terbanyak adalah SMA yaitu 

sebesar (56,7%). 

Pada penelitian 

menyatakan bahwa orang dengan 

pendidikan tinggi, paparan informasi 

tentang penyakit tumor akan lebih 

besar dibandingkan dengan orang 

dengan pendidikan rendah dan 

kebutuhan terhadap pelayanan 

kesehatan juga semakin meningkat. Hal 

ini juga relevan dengan penelitian 

 dimana mayoritas 

berpendidikan tamatan SMA sebanyak 

(55,6%).Pekerjaan

Pada penelitian ini pekerjaan 

subjek penelitian terbanyak adalah 

wiraswasta sebanyak 10 orang (36,7%). 

Hal ini berbeda dengan penelitian 

sebelumnya, seperti penelitian (Fithrie, 

&yang mendapatkan 

karakteristik pekerjaan pasien tumor 

otak yang paling banyak adalah ibu 

rumah tangga. 

Penelitian melaporkan status 

pekerjaan merupakan salah satu aspek 

yang berkaitan dengan aktivitas fisik. 

Aktivitas fisik sangat diperlukan untuk 

memelihara. Hal ini di karenakan pada 

ibu rumah tangga, sering juga terpapar 

bahan kimia dari peralatan rumah 

tangga. Contohnya seperti racun 

tamanan dan zat-zat kimia lainnya.

Stadium Tumor Otak

Hasil penelitian ini menunjukkan 

mayoritas stadium I sebanyak 15 orang 

(50%). Stadium juga mempengaruhi 

kualitas hidup seseorang. Dimana dalam 

hasil penelitian Mahrani et al (2021) di 

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada 

pasien kanker menunjukkan hasil bahwa 

responden yang stadium awal memiliki 

kualitas hidup yang lebih baik 

dibandingkan dengan stadium lanjut. 

Kualitas hidup erat kaitannya dengan 

fisik dan mental seseorang (Purwanti, 

2013). Tumor otak dibagi menjadi 

stadium I, II, III, IV berdasarkan 

abnormalitas sel yang dikandungnya. 

Stadium I merupakan stadium tumor 

yang paling tidak ganas dengan 

pertumbuhan yang lambat. 

Stadium II tumbuh relatif lambat 

sedikit abnormal. Stadium III adalah 

tumor ganas, walaupun tidak ada 

perbedaan signifikan dengan stadium II. 

Sel tumor stadium III memproduksi sel￾sel abnormal secara aktif yang tumbuh 

di dekat jaringan otak yang normal. 

Tumor stadium IV merupakan tumor 

paling ganas. Sel-sel berproduksi 

dengan cepat. Tumor otak primer yang 

bersifat jinak tersering adalah 

meningioma  Tumor otak 

primer adalah tumor intrakranial yang 

berasal dari jaringan otak, meningen, 

saraf kranial, dan jaringan embrional. 

Tumor otak sekunder adalah tumor 

yang sumbernya berasal dari bagian lain 

tubuh (kanker payudara, kanker ginjal, 

kanker paru-paru, kanker usus besar 

dan melanoma) 

Lama sakit

Pada penelitian ini lama sakit 

responden mayoritas 1-3 tahun 

sebanyak 13 orang (43,3%). Hasil 

penelitian (Alam, 2017) menyebutkan 

mayoritas responden menderita kanker 

payudara di RSUD Bantul adalah 1-5 

tahun. Lama menderita ini diperoleh 

sejak pertama kali di diagnosa oleh 

dokter hingga saat di mulai penelitian. 

Hal ini berkaitan dengan banyak 

diantara mereka yang terlambat 

mengetahui munculnya gejala. 

Lama menderita pada pasien 

kanker juga mempengaruhi kualitas 

hidup  Dimana 

dalam penelitiannya, pasien yang 

menderita lama penyakitnya sudah 

mampu menerima dan mengendalikan 

diri dan berfikir sesuai realita sedangkan 

pasien yang baru menderita sulit untuk 

menerima penyakitnya dan timbul 

berbagai penolakan. Hasil penelitian 

menunjukkan mayoritas responden 

memiliki kualitas hidup baik sebanyak 

53,3%. Kualitas hidup yang baik sangat 

diperlukan agar seseorang mampu 

mendapatkan status kesehatan yang 

baik dan mempertahankan fungsi dan 

kemampuan fisik seoptimal mungkin, 

seseorang yang memiliki kualitas hidup 

yang baik maka akan memiliki 

keinginan kuat untuk sembuh dan 

meningkatkan derajat kesehatannya. 

Sebaliknya, ketika kualitas hidup 

menurun maka keinginan untuk sembuh 

juga menurun 

Status Sosial Ekonomi

Pada penelitian ini status ekonomi 

responden mayoritas, 2.600.000-

3.500.000 sebanyak 12 responden 

(40,0%), 1.600.000-2.500.000 

sebanyak 9 responden (30,0%), 

>3.600.000 sebanyak 5 responden 

(16,7%), <1.500.000 sebanyak 4 

responden (13,3%). Dalam penelitian (Rustandi, 2018) dapat diketahui, lebih 

dari sebagian mayoritas memiliki status 

ekonomi cukup/lebih (59,7%). Individu 

dengan status sosial ekonominya 

berkecukupan akan mampu 

menyediakan segala fasilitas yang 

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan 

hidupnya. Sebaliknya, individu yang 

status sosial ekonominya rendah akan 

mengalami kesulitan dalam memenuhi 

kebutuhan hidupnya. 

Penghasilan yang rendah akan 

berhubungan dengan pemanfaatan 

pelayanan kesehatan maupun 

pencegahan. Seseorang kurang 

memanfaatkan pelayanan kesehatan 

yang ada mungkin karena tidak 

mempunyai cukup uang untuk membeli 

obat atau membayar tranportasi ke 

rumah sakit 

Status ekonomi adalah salah satu hal 

penting terhadap kualitas hidup 

penderita tumor otak dikarenakan 

banyak aspek kebutuhan perawatan dan 

pengobatan penderita yang dibutuhkan 

saat sedang menjalani terapi 

Penelitian ini menunjukkan hasil 

karakteristik pasien kanker otak di RSUP 

H.Adam Malik Medan yaitu mayoritas 

umur kategori 46-65 tahun (56,7%), 

jenis kelamin laki-laki (53,3%), 

pendidikan SMA/SMK (46,7%), 

pekerjaan wiraswasta (36,7%), stadium 

I (50%), lama sakit 1-3 tahun (43,3%) 

dan mayoritas memiliki status ekonomi 

2.600.000-3.500.000 (40,0%). Perlu 

melakukan penelitian lanjutan tentang 

karakteristik tumor otak (lokasi, ukuran, 

jumlah tumor) yang dapat 

mempengaruhi kualitas hidup pasien 

tumor otak.


 

 


Kanker otak meliputi sekitar 85-90% dari seluruh 

kanker susunan saraf pusat. Di Amerika Serikat in-

sidensi kanker otak ganas dan jinak adalah 21.42 per 

100.000 penduduk per tahun (7.25 per 100.000 

penduduk untuk kanker otak ganas, 14.17 per 100.000 

penduduk per tahun untuk tumor otak jinak). Angka in-

sidens untuk kanker otak ganas di seluruh dunia ber-

dasarkan angka standar populasi dunia adalah 3.4 per 

100.000 penduduk.Angka mortalitas adalah 4.25 per 

100.000 penduduk per tahun. Mortalitas lebih tinggi 

pada pria. Data cancer registry dari RSK Dharmais, 

RSCM, RS Persahabatan, IAPI, KPKN.  

Dari seluruh tumor primer susunan saraf pusat, 

astrositoma anaplastik dan glioblastoma multiforme 

(GBM) meliputi sekitar 38% dari jumlah keseluruhan, 

dan meningioma dan tumor mesenkim lainnya 27%. 

Sisanya terdiri dari tumor otak primer yang bervariasi, 

meliputi tumor hipofisis, schwannoma, limfoma SSP, 

oligodendroglioma, ependimoma, astrositoma derajat 

rendah, dan meduloblastoma. 

 

1.2 Permasalahan 

Kanker otak memerlukan penanganan multidisiplin, 

sementara belum ada   keseragaman secara nasional 

dalam pendekatan terapi. Selain itu ada   kesenjan-

gan dalam fasilitas sumber daya manusia dan sumber 

daya alat/sistem dari berbagai fasilitas/institusi layanan 

kesehatan, baik untuk skrining, diagnostik, maupun ter-

api,   sehingga   diperlukan   kebijakan   standar   yang 

profesional agar masing masing fasilitas tersebut  

dapat berperan optimal dalam penanganan 

kanker otak di Indonesia. 

 

3. Tujuan  

1. Menurunkan morbiditas kanker otak di Indonesia  

2. Membuat pedoman berdasarkan evidence based 

medicine untuk membantu tenaga medis dalam 

diagnosis dan perawatan intensif   kanker otak.  

3. Mendukung usaha diagnosis dini pada masyarakat 

umum dan pada kelompok risiko tinggi,  

4. Meningkatkan usaha rujukan, pencatatan, dan 

pelaporan yang konsisten  

5. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan 

kesehatan primer sampai dengan tersier serta 

penentu kebijakan untuk penyusunan protokol 

setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK), 

dengan melakukan adaptasi terhadap Pedoman 

Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini 

 

1.4 Sasaran  

1. Seluruh jajaran tenaga kesehatan yang terlibat da-

lam pengelolaan kanker otak, sesuai dengan rele-

vansi tugas, wewenang, dan kondisi sarana dan 

prasarana yang tersedia di pelayanan kesehatan 

masing-masing.  

2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, in-

stitusi pendidikan, serta kelompok profesi terkait. 

 

 

 

METODOLOGI 

 

Penelusuran kepustakaan  

Penelusuran pustaka dilakukan secara elektronik dan 

secara manual. Penelusuran bukti sekunder berupa uji 

klinis, meta-analisis, uji kontrol teracak samar (random-

ized controlled trial), telaah sistematik, ataupun pe-

doman berbasis bukti sistematik dilakukan pada situs  

Cochrane Systematic Database Review, dan termasuk 

semua istilah-istilah yang ada dalam Medical Subject 

Heading (MeSH). Penelusuran bukti primer dilakukan 

pada mesin pencari Pubmed, Medline, dan 

TRIPDATABASE dengan kata kunci yang sesuai. 

Penelusuran secara manual dilakukan pada daftar 

pustaka artikel-artikel review serta buku-buku teks yang 

ditulis 5 tahun terakhir.  

Penilaian – telaah kritis kepustakaan  

Seluruh bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah 

kritis oleh dokter spesialis/subspesialis yang kompeten 

sesuai dengan kepakaran keilmuan masing-masing. 

 

Peringkat bukti (level of evidence)  

Dalam menetapkan rekomendasi untuk pengelolaan, 

sejauh mungkin dipakai tingkatan bukti ilmiah tertinggi. 

Level of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi 

yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidence 

Based Medicine Levels of Evidence yang dimodifikasi 

untuk keperluan praktis, sehingga peringkat bukti ada-

lah sebagai bukti : 

IA metaanalisis, uji klinis  

IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik  

IC all or none  

II  uji klinis tidak terandomisasi  

III studi observasional (kohort, kasus kontrol) 

IV konsensus dan pendapat ahli 

 

Derajat Rekomendasi  

Berdasarkan peringkat itu dapat dibuat 

rekomendasi sebagai berikut:  

Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA, 

IB atau IC  

Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level II 

Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III 

Rekomendasi D bila berdasar atas bukti level IV 

 


TUMOR OTAK PRIMER 

 

Pada pembahasan ini akan dibahas kanker otak ganas 

yaitu tumor sel glial (glioma), meliputi glioma derajat 

rendah (astrositoma grade I/II, oligodendroglioma), gli-

oma derajat tinggi (astrositoma anaplastik (grade III), 

glioblastoma (grade IV), anaplastik oligodendrogli-

oma). Selanjutnya kanker otak lainnya seperti meningi-

oma, tumor hipofisis dan schwannoma akan dibahas 

secara terpisah. 

 

Prinsip Penanganan Tumor Primer Secara Umum 

 

Manifestasi Klinis  

Gejala yang timbul pada pasien dengan kanker otak ter-

gantung dari lokasi dan tingkat pertumbuhan tumor. 

Kombinasi gejala yang sering ditemukan adalah pen-

ingkatan tekanan intrakranial (sakit kepala hebat dis-

ertai muntah proyektil), defisit neurologis yang pro-

gresif, kejang, penurunan fungsi kognitif. Pada glioma 

derajat rendah gejala yang biasa ditemui adalah kejang, 

sementara glioma derajat tinggi lebih sering men-

imbulkan gejala defisit neurologis progresif dan tekanan 

intrakranial meningkat. 

 

3.1.2 Diagnostik  

3.1.2 .1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik  

Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, 

penurunan nafsu makan, muntah proyektil, kejang, 

defisit neurologik (penglihatan dobel, strabismus, 

gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, 

dsb), perubahan kepribadian, mood, mental, atau 

penurunan fungsi kognitif.  

Pemeriksaan status generalis dan status neurologis. 

Pemeriksaan Neurooftalmologi  

Kanker otak melibatkan struktur yang dapat 

mendestruksi jaras pengllihatan dan gerakan bola mata, 

baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga 

beberapa kanker otak dapat memiliki manifestasi neu-

rooftalmologi yang khas seperti tumor regio sella, tu-

mor regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis 

kranii.  

Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan 

neurooftalmologi terutama untuk menjelaskan 

kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker 

otak. Pemeriksaan ini juga berguna untukmengevaluasi 

pre- dan post tindakan (operasi, radioterapi dan 

kemoterapi) pada tumor-tumor tersebut. 

 

3.1.2 .2 Pemeriksaan Fungsi Luhur  

Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala 

awal pada kanker otak, khususnya pada tumor glioma 

derajat rendah, limfoma, atau metastasis. Fungsi kogni-

tif juga dapat mengalami gangguan baik melalui 

mekanisme langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh 

kanker otak, maupun mekanisme tidak langsung akibat 

terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau radioterapi. 

Oleh karena itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna un-

tuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan 

fungsional kanker otak, serta mengevaluasi pre- dan 

post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi). 

Bagi keluarga, penilaian fungsi luhur akan sangat mem-

bantu dalam merawat pasien dan melakukan pendekatan 

berdasarkan hendaya. 

.3 Pemeriksaan Penunjang  

Pemeriksaan Laboratorium  

Terutama untuk melihat keadaan umum pasien dan 

kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, ra-

diasi, ataupun kemoterapi), yaitu:  

Darah lengkap 

Hemostasis 

LDH  

Fungsi hati, ginjal, gula darah 

Serologi hepatitis B dan C 

Elektrolit lengkap  

Pemeriksaan radiologis  

CT Scan dengan kontras  

MRI dengan kontras, MRS, DWI 

PET CT (atas indikasi) 

 

Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI 

dengan kontras. CT scan berguna untuk melihat adanya 

tumor pada langkah awal penegakkan diagnosis dan 

sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi 

pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran 

jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk 

tumor infratentorial, namun mempu-nyai keterbatasan 

dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan fungsional 

MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan daerah 

nekrosis dengan tumor yang 

 

 

masih viabel sehingga baik digunakan sebagai penuntun 

biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, 

demikian juga pemeriksaan DWI.  

Pemeriksaan positron emission tomography (PET) 

dapat berguna pascaterapi untuk membedakan antara 

tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat radiasi. 

 

Pemeriksaan cairan serebrospinal  

Dapat dilakukan pemeriksaan sitologi dan flowcytome-

try untuk menegakkan diagnosis limfoma pada susunan 

saraf pusat atau kecurigaan metastasis leptomeningeal 

atau penyebaran kraniospinal, seperti ependimoma. 

 

 

Penatalaksanaan 

 

3.1.3.1 perawatan intensif   Penurunan Tekanan intrakranial 

Pasien dengan kanker otak sering datang dalam 

keadaan neuroemergency akibat peningkatan tekanan 

intrakrani-al. Hal ini terutama diakibatkan oleh efek 

desak ruang dari edema peritumoral atau edema difus, 

selain oleh ukuran massa yang besar atau 

ventrikulomegali karena obstruksi oleh massa tersebut.  

Edema serebri dapat disebabkan oleh efek tumor mau-

pun terkait terapi, seperti pasca operasi atau radioterapi. 

Gejala yang muncul dapat berupa nyeri kepala, mual 

dan muntah, perburukan gejala neurologis, dan 

penurunan kesadaran.  

Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengu-

rangi edema serebri dan memperbaiki gejala yang 

disebabkan oleh edema serebri, yang efeknya sudah 

dapat terlihat dalam 24-36 jam. Agen yang direkomen-

dasikan adalah deksametason dengan dosis bolus in-

travena 10 mg dilanjutkan dosis rumatan 16-20mg/hari 

intravena lalu tappering off 2-16 mg (dalam dosis 

terbagi) bergantung pada klinis. Mannitol tidak dianjur-

kan diberikan karena dapat memperburuk edema, 

kecuali bersamaan dengan deksamethason pada situasi 

yang berat, seperti pascaoperasi.  

Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toler-

ansi glukosa, stress-ulcer, miopati, perubahan mood, 

peningkatan nafsu makan, Cushingoid dan sebagainya. 

Sebagian besar dari efek samping tersebut bersifat re-

versible apabila steroid dihentikan.  

Selain efek samping, hal-hal yang perlu diperhatikan 

dalam pemberian steroid yakni interaksi obat. Kadar 

antikonvulsan serum dapat dipengaruhi oleh deksameta-

son seperti fenitoin dan karbamazepin, sehingga mem-

butuhkan monitoring.  

Pemberian deksametason dapat diturunkan secara ber-

tahap, sebesar 25-50% dari dosis awal tiap 3-5 hari, ter-

gantung dari klinis pasien. Pada pasien kanker otak me-

tastasis yang sedang menjalani radioterapi, pemberian 

 

10 

deksametason bisa diperpanjang hingga 7 hari. 

 

3.13.2. Pembedahan  

Operasi pada kanker otak dapat bertujuan untuk mene-

gakkan diagnosis yang tepat, menurunkan tekanan in-

trakranial, mengurangi kecacatan, dan meningkatkan 

efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya 

direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis kanker 

otak yang operabel. Kanker otak yang terletak jauh di 

dalam dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali 

apabila tindakan bedah tidak memungkinkan (keadaan 

umum buruk, toleransi operasi rendah). Teknik operasi 

meliputi membuka sebagian tulang tengkorak dan sela-

put otak pada lokasi tumor. Tumor diangkat sebanyak 

mungkin kemudian sampel jaringan dikirim ke ahli 

patologi anatomi untuk diperiksa jenis tumor.  

Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi yang letak 

dalam. Pada operasi biopsi stereotaktik dilakukan 

penentuan lokasi target dengan komputer dan secara 

tiga dimensi (3D scanning).  

Pasien akan dipasang frame stereotaktik di kepala 

kemudian dilakukan CT scan. Hasil CT scan diolah 

dengan software planning untuk ditentukan koordinat 

target. Berdasarkan data ini, pada saat operasi akan 

dibuat sayatan kecil pada kulit kepala dan dibuat satu 

lubang (burrhole) pada tulang tengkorak. Kemudian 

 

jarum biopsi akan dimasukkan ke arah tumor sesuai 

koordinat. Sampel jaringan kemudian dikirim ke ahli 

patologi anatomi.  

Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial akibatn 

sumbaran cairan otak, dapat dilakukan pemasangan pi-

rau ventrikuloperitoneal (VP shunt).  

Pada glioma derajat rendah dilakukan reseksi tumor 

secara maksimal dengan tujuan utama perbaikan gejala 

klinis. Pada pasien dengan total reseksi dan subtotal 

reseksi tanpa gejala yang mengganggu, maka cukup dil-

akukan follow up MRI setiap 3 – 6 bulan selama 5 ta-

hun dan selanjutnya setiap tahun.  

Bila operasi tetap menimbulkan gejala yang tidak dapat 

dikontrol dengan obat simtomatik, maka radioterapi dan 

kemoterapi merupakan pilihan selanjutnya.  

Pada glioma derajat tinggi maka operasi dilanjutkan 

dengan radioterapi dan kemoterapi.  

Pilihan teknik anestesi untuk operasi intrakranial adalah 

anestesi umum untuk sebagian besar kasus, atau sedasi 

dalam dikombinasikan dengan blok kulit kepala untuk 

kraniotomi awake (sesuai indikasi). 

 

3.1.3.3. Radioterapi  

Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai 

jenis kanker otak. Radioterapi diberikan pada pasien 

dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvant pasca 

 

11 

operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah 

dilakukan tindakan operasi  

Pada dasarnya teknik radioterapi yang dipakai adalah 

3D conformal radiotherapy, namun teknik lain dapat 

juga digunakan untuk pasien tertentu seperti stereotactic 

radiosurgery / radiotherapy, dan IMRT.  

1. Low-Grade Gliomas (Grade I dan II)  

Volume tumor ditentukan dengan menggunakan 

imejing pre dan post-operasi, menggunakan 

MRI (T2 dan FLAIR) untuk gross tumor volume 

(GTV)  

Clinical Target Volume (CTV) = GTV ditambah 

margin 1-2 cm, mendapatkan dosis 45-54 Gy 

dengan 1,8 – 2Gy/fraksi 

 

2.High-Grade Gliomas (Grade III dan IV)  

Volume tumor ditentukan menggunakan imejing 

pre dan post-operasi, menggunakan MRI (T1 

dan FLAIR/T2) untuk gross tumor volume 

(GTV)  

CTV = GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup 

infiltrasi tumor yang sub-diagnostik  

Lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase  

Dosis yang direkomendasikan adalah 60 Gy 

dengan 2 Gy/fraksi atau 59.4 Gy dengan 1,8 

Gy/fraksi, dosis yang sedikit lebih kecil seperti 

55,8 – 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy 

dengan 1,9 Gy/fraksi dapat dilakukan jika 

volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau 

untuk astrositoma grade III  

Pada pasien dengan KPS yang buruk atau pada 

pasien usia tua, hipofraksinasi yang diakselerasi 

dapat dilakukan dengan tujuan menyelesaikan 

terapi dalam 2-4 minggu. Fraksinasi yang 

digunakan antara lain 34 Gy/10 fraksi, 40.5 

Gy/15 fraksi, 50 Gy/20 fraksi 

 

Kemoterapi sistemik dan terapi target (targeted 

therapy)  

Kemoterapi pada kasus kanker otak saat ini sudah ban-

yak digunakan karena diketahui dapat memperpanjang 

survival rate dari pasien terutama pada kasus astrosito-

ma derajat ganas. Glioblastoma merupakan tipe yang 

bersifat kemoresisten, namun 2 tahun terakhir ini se-

dang berkembang penelitian mengenai kegunaan te-

mozolomid dan nimotuzumab pada glioblastoma.  

Sebelum menggunakan agen-agen diatas, harus dil-

akukan pemeriksaan:  

1. EGFR (epidermal growth factor receptor).  

2. MGMT (methyl guanine methyl transferase). 

Kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan 

 

12 

tumor dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) 

pasien semaksimal mungkin. Kemoterapi biasa 

digunakan sebagai kombinasi dengan operasi dan/atau 

radioterapi. 

 

Kemoterapi Intratekal  

perawatan intensif   tumor otak dengan menggunakan kemot-

erapi seringkali terhambat akibat penetrasi kemoterapi 

sistemik yang rendah untuk menembus sawar darah 

otak. Pemberian kemoterapi intratekal merupakan salah 

satu upaya untuk memberikan agen antikanker langsung 

pada susunan saraf pusat. Kemoterapi intratekal dapat 

diberikan sebagai salah satu perawatan intensif   leptomeningeal 

metastasis pada keganasan darah, seperti leukemia dan 

limfoma. Tindakan ini dilakukan melalui prosedur lum-

bal pungsi atau menggunakan Omaya reservoir.. 

 

perawatan intensif   Nyeri  

Pada tumor otak, nyeri yang muncul biasanya adalah 

nyeri kepala. Berdasarkan patofisiologinya, perawatan intensif   

nyeri ini berbeda dengan nyeri kanker pada umumnya. 

Nyeri kepala akibat kanker otak bisa disebabkan akibat 

traksi langsung tumor terhadap reseptor nyeri di seki-

tarnya. Gejala klinis nyeri biasanya bersifat lokal atau 

radikular ke sekitarnya, yang disebut nyeri neuropatik. 

Pada kasus ini pilihan obat nyeri adalah analgesik yang 

tidak menimbulkan efek sedasi atau muntah karena 

dapat mirip dengan gejala kanker otak pada umumnya. 

Oleh karena itu dapat diberikan parasetamol dengan do-

sis 20mg/berat badan perkali dengan dosis maksimal 

4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena sesuai 

dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik 

yang lebih dominan, maka golongan antikonvulsan 

menjadi pilihan utama, seperti gabapentin 100-

1200mg/hari, maksimal 3600mg/hari.  

Nyeri kepala tersering adalah akibat peningkatan 

tekanan intrakranial, yang jika bersifat akut terutama 

akibat edema peritumoral. Oleh karena itu perawatan intensif   

utama bukanlah obat golongan analgesik, namun golon-

gan glukokortikoid seperti deksamethason atau 

metilprednisolon intravena atau oral sesuai dengan de-

rajat nyerinya. 

 

3.1.3.7. perawatan intensif   Kejang  

Epilepsi merupakan kelainan yang sering ditemukan 

pada pasien kanker otak. Tiga puluh persen pasien akan 

mengalami kejang sebagai manifestasi awal. Bentuk 

bangkitan yang paling sering pada pasien ini adalah 

bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi 

umum sekunder. Oleh karena tingginya tingkat rekuren-

si, maka seluruh pasien kanker otak yang mengalami 

kejang harus diberikan antikonvulsan. Pemilihan an- 

 

1

 

tikonvulsan ditentukan berdasarkan pertimbangan dari 

profil efek samping, interaksi obat dan biaya.  

Obat antikonvulsan yang sering diberikan seperti fen-

itoin dan karbamazepin kurang dianjurkan karena dapat 

berinteraksi dengan obat-obatan, seperti deksamethason 

dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup levetiracetam, 

sodium valproat, lamotrigin, klobazam, topiramat, atau 

okskarbazepin.  

Levetiracetam lebih dianjurkan (Level A) dan memiliki 

profil efek samping yang lebih baik dengan dosis antara 

20-40 mg/kgBB, serta dapat digunakan pasca operasi 

kraniotomi. 

 

Gizi  

Skrining gizi dengan malnutrition screening tools  

(MST), bila skor ≥3 (rawat inap), atau skor MST ≥2  

(rawat jalan) dengan kondisi khusus (sakit kritis, 

kemoterapi, radiasi, hemodialisis) ditangani bersama 

tim spesialis gizi klinik  

Analisis asupan:  

Asupan memenuhi 75-100% dari kebutuhan lalu dil-

akukan konseling gizi, memenuhi 50-75% dari kebu-

tuhan, dilakukan pemberian oral nutrition support, 

asupan <50%, dan pemasangan jalur enteral (pipa naso-

gastrik/orogastrik/gastrostomi). Bila ada   kontrain-

dikasi nutrisi enteral (ileus, perdarahan saluran cerna), 

diberikan nutrisi parenteral.  

Pertimbangkan jalur enteral bila pasien malnutrisi dan 

jalur oral ada   penyulit.  

Pemeriksaan fisik:  

- Keadaan umum, tanda vital dan status generalis  

- Pemeriksaan tanda-tanda kaheksia (muscle wast-

ing, iga gambang)  

- Menggunakan pipa nasogastrik/pipa oro-

gastrik/gastrostomi (+/-)  

- Pemeriksaan fungsi saluran cerna  

- Kapasitas fungsional: Karnofsky performance 

scale (KPS), kekuatan genggaman tangan  

- Pemeriksaan antropometri: TB, BB, IMT  

- Pemeriksaan komposisi tubuh (massa lemak, 

massa otot, total cairan tubuh) dengan bioelec-

tric impedance  

- Imbang cairan  

- Pemeriksaan   penunjang   untuk   mengetahui  

defisiensi makro- dan makronutrien (sesuai klin-

is pasien)  

Terapi Gizi:  

Kebutuhan energi dihitung menggunakan kalorimetri 

indirek/persamaan Harris-Benedict/rule of thumb. Nu-

trisi diberikan bertahap sesuai dengan toleransi pasien. 

Kebutuhan protein 1,2–2 g/BB/hari, lemak 25-30%, 

karbohidrat: 55-60%.

Mikronutrien sesuai AKG (berasal dari bahan makanan 

sumber, suplementasi setelah kemoradiasi). Bila pasien 

menggunakan obat golongan carbamazepin, fenobarbi-

tal, fenitoin perlu tambahan suplemen vitamin D dan 

kalsium untuk mencegah gangguan tulang.  

Pasien dengan terapi fenitoin perlu ditambahkan suple-

mentasi vitamin B1 dan asam folat 1 mg/hari.  

Nutrien spesifik: eicosapetanoic acid hingga 2 g/hari, 

asam amino rantai bercabang 12 g/hari.  

Monitoring:  

- analisis asupan ulang tiap 1-2 hari  

- keadaan umum, klinis, dan tanda vital  

- analisis asupan. Bila toleransi baik, nutrisi dit-

ingkatkan 20% dari asupan sebelumnya  

- pemeriksaan antropometri, fungsi saluran cerna  

- kapasitas fungsional (skor Karnofsky, kekuatan 

genggaman tangan dengan hand dynamometer)  

- pemeriksaan penunjang sesuai dengan 

kondisi pasien 

 

Psikiatri  

Pasien dengan kanker otak dapat mengalami gangguan 

psikiatri hingga 78%, baik bersifat organik akibat tu-

mornya atau fungsional yang berupa gangguan 

penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat meng-

hambat proses perawatan intensif   terhadap pasien. Oleh karena 

itu, diperlukan pendampingan mulai dari menyam-

paikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien 

(breaking the bad news) melalui pertemuan keluarga 

(family meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan se-

lanjutnya. Pasien juga dapat diberikan psikoterapi su-

portif dan relaksasi yang akan membantu pasien dan 

keluarga, terutama pada perawatan paliatif. 

 

Penilaian Fungsional  

Menggunakan Karnofsky Performance Score, dinilai 

saat awal masuk dan saat keluar dari perawatan. 

 

Perawatan Paliatif  

Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu 

mendapatkan terapi paliatif dan dilakukan terapi secara 

multidisiplin bersama dokter penanggung jawab utama, 

serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli 

terapi paliatif. 

 

 

 

Tumor Sel Glial 

 

Klasifikasi Histologik 

 

Klasifikasi lesi primer susunan saraf pusat dilakukan 

berdasarkan derajat keganasan (grading).  

* WHO grade I: tumor dengan potensi proliferasi 

rendah, kurabilitas pasca reseksi cukup baik. 

 

* WHO grade II : tumor bersifat infiltratif , aktivitas 

mitosis rendah, namun sering timbul rekurensi. 

Jenis tertentu cenderung untuk bersifat progresif ke 

arah derajat keganasan yang lebih tinggi. 

 

* WHO grade III : gambaran aktivitas mitosis jelas, 

kemampuan infiltrasi tinggi, dan ada   anapla-

sia. 

 

* WHO grade IV : mitosis aktif, cenderung nekrosis, 

pada umumnya berhubungan dengan progresivitas 

penyakit yang cepat pada pre/post operasi 

 

Klasifikasi tumor susunan saraf pusat menurut WHO 

(2007) berdasarkan tipe histologik: 

 

**Primary tumour 

 

I. Tumours of neuroepithelial tissue ICD O 

 

1. Astrocytic tumours 

 

a. Pilocytic astrocytoma 9421/1 

  

b. Pilomyxoid astrocytoma 9425/3* 

  

c. Subependymal giant cell astrocytoma 9425/1* 

  

d. Pleomorphic xanthoastrocytoma 9424/3 

  

e. Diffuse astrocytoma 9400/3 

  

i. Fibrillary astrocytoma 9420/3 

  

ii. Gemistocytic astrocytoma 9411/3 

  

iii. Protoplasmic astrocytoma 9410/3 

  

f.  Anaplastic astrocytoma 9401/3 

  

g. Glioblastoma 9440/3 

  

i. Giant cell glioblastoma 9441/3 

  

ii. Gliosarcoma 9442/3 

  

h. Gliomatosis cerebri 9381/3 

  

2. Oligodendroglial tumours  

  

a. Oligodendroglioma 9450/3 

  

b. Anaplastic oligodendroglioma 9451/3 

  

3. Oligoastrocytic tumours  

 

1

 

a. Oligoastrocytoma 9382/3 

  

b. Anaplastic oligoastrocytoma 9382/3 

  

4. Ependymal tumours  

  

a. Subependymoma 9383/1 

  

b. Myxopapillary ependymoma 9394/1 

  

c. Ependymoma 9391/3 

  

i. Cellular 9391/3 

  

ii. Papillary 9393/3 

  

iii. Clear cell 9391/3 

  

iv. Tanycytic 9391/3 

  

d. Anaplastic ependymoma 9392/3 

  

5. Choroid plexus tumour  

  

a. Choroid plexus papilloma 9390/0 

  

b. Atypical choroid plexus papilloma 9390/1* 

  

c. Choroid plexus carcinoma 9390/3 

  

6. Other neuroepithelial tumours  

  

a. Astroblastoma 9430/3 

  

b. Chordoid glioma of third ventricle 9444/1 

  

c. Angiocentric glioma 9431/1* 

  

 

7. Neuronal and mixed neuronal-glial tumours  

 

  

 

a. Dysplastic gangliocytoma of cerebellum  

 

(lhermitte-duclos) 9493/0 

 

  

 

b. Desmoplastic infantile astrocytoma / gan-  

 

glioglioma 9412/1 

 

  

 

c. Dysembryoplastic neuroepithelial tumour 9413/0 

 

  

 

d. Gangliocytoma 9492/0 

 

  

 

e. Ganglioglioma 9505/1 

 

  

 

f. Anaplastic ganglioglioma 9505/3 

 

  

 

g. Central neurocytoma 9506/1 

 

  

 

h. Extraventricular neurocytoma 9506/1* 

 

  

 

i. Cerebellar liponeurocytoma 9506/1* 

 

  

 

j. Papillary glioneuronal tumour 9509/1*   

 

  

 

k. Rosette-forming glioneuronal tumour of  

 

the fourth ventricle 9509/1* 

 

  

 

l. Paraganglioma 8680/1 

 

  

 

8. Tumours of the pineal region  

 

  

 

a. Pineocytoma 9361/1 

 

  

 

 

18 

b. Pineal parenchymal tumour of intermedi-  

 

ate differentiation 9362/3 

 

  

 

c. Pineoblastoma 9362/3 

 

  

 

d. Papillary tumour of the pineal region 9395/3* 

 

  

 

9. Embryonal tumours  

 

  

 

a. Medulloblastoma 9470/3 

 

   

 

 Desmoplastic/nodular medulloblastoma 

9471/3    

 

   

 

 Medulloblastoma with extensive  

 

 nodu- larity 

9471/3*    

 

   

 

 Anaplastic medulloblastoma 

9474/3*    

 

   

 

 Large cell medulloblastoma 

9474/3*    

 

  

 

b. CNS Primitive neuroectodermal tumour 9473/3 

 

   

 

 CNS neuroblastoma 

9500/3    

 

   

 

 CNS ganglioneuroblastoma 

9490/3    

 

   

 

 Medulloepithelioma 

9501/3    

 

   

 

 Ependymoblastoma 

9392/3    

 

   

 

 

c. Atypical teratoid/rhabdoid tumor 9508/3 

  

II. Tumours of Cranial and Paraspinal nerves  

  

1. Schwannoma (Neurilemoma, Neurinoma) 9560/0 

  

a. Cellular 9560/0 

  

b. Plexiform 9560/0 

  

c. Melanotic 9560/0 

  

2. Neurifibroma 9540/0 

  

a. Plexiform 9550/0 

  

3. Perineurioma  

  

a. Perineurioma, NOS 9571/0 

  

b. Malignant Perineurioma 9571/3 

  

4. Malignant peripheral nerve sheath tumour  

(MPNST)  

  

a. Epithelioid MPNST 9540/3 

  

b. MPNST with mesenchymal differentiation 9540/3 

  

c. Melanotic MPNST 9540/3 

  

d. MPNST with glandular differentiation 9540/3 

  

III. Tumours of the meninges  

  

 19  

1. Tumours of meningothelial cell  

  

Meningioma 9530/0 

  

a. Meningothelial 9531/0 

  

b. Fibrous (fibroblastic) 9532/0 

  

c. Transitional (mixed) 9537/0 

  

d. Psammomatous 9533/0 

  

e. Angiomatous 9354/0 

  

f. Microcystic 9530/0 

  

g. Secretory 9530/0 

  

h. Lymphoplasmacyte-rich 9530/0 

  

i. Metaplastic 9530/0 

  

j. Chordoid 9538/1 

  

k. Clear cell 9538/1 

  

l. Atypical 9539/1 

  

m. Papillary 9538/3 

  

n. Rhabdoid 9538/3 

  

o. Anaplastic (malignant) 9530/3 

  

2. Mesenchymal tumours  

  

a. Lipoma 8850/0 

  

 

b. Angiolipoma 8861/0 

  

c. Hibernoma 8880/0 

  

d. Liposarcoma 8850/3 

  

e. Solitary fibrous tumour 8815/0 

  

f. Fibrosarcoma 8810/3 

  

g. Malignant fibrous histiocytoma 8830/3 

  

h. Leiomyoma 8890/0 

  

i. Leiomyosarcoma 8890/3 

  

j. Rhabdomyoma 8900/0 

  

k. Rhabdomyosarcoma 8900/3 

  

l. Chondroma 9220/0 

  

m. Chondrosarcoma 9220/3 

  

n. Osteoma 9180/0 

  

o. Osteosarcoma 9180/3 

  

p. Osteochondroma 9210/0 

  

q. Haemangioma 9120/0 

  

r. Epithelioid Haemangioendothelioma 9133/1 

  

s. Haemangiopericytoma 9150/1 

  

t. Anaplastic Haemangiopericytoma 9150/3 

   

20 

 u. Angiosarcoma 9120/3 

   

 v. Kaposi sarcoma 9140/3 

   

 w. Ewing sarcoma – pnet 9364/3 

  

3. Primary Melanocytic lesions  

   

 a. Diffuse Melanocytosis 8728/0 

   

 b. Melanocytoma 8728/1 

   

 c. Malignant melanoma 8720/3 

   

 d. Meningeal melanomatosis 8728/3 

  

4. Other neoplasms related to the meninges  

   

 a. Hemangioblastoma 9161/1 

  

IV. Lymphomas and hematopoietic neoplasms  

   

 1. Malignant lymphomas 9590/3 

   

 2. Plasmacytoma 9731/3 

   

 3. Granulocytic sarcoma 9930/3 

  

V. Germ cell tumours  

   

1. Germinoma 9064/3 

   

2. Embryonal carcinoma 9070/3 

   

3. Yolk sac tumour 9071/3 

   

4. Choriocarcinoma 9100/3 

   

 

5. Teratoma 9080/1 

  

a. Mature 9080/0 

   

 b. Immature 9080/3 

   

 c. Teratoma with malignant transformation 9084/3 

   

6. Mixed germ cell tumour 9085/3 

  

VI. Tumours of the sellar region  

   

1. Craniopharyngioma 9350/1 

  

a. Adamantinomatous 9351/1 

  

b. Papillary 9352/1 

   

2. Granular cell tumour 9582/0 

   

3. Pituicytoma 9432/1* 

   

4. Spindle cell oncocytoma of the adenohypophy-  

sis  8291/0* 

   

 

 

Meningioma 

 

Merupakan tumor jinak tersering. Berasal dari arach-

noid cap cells duramater dan umumnya tumbuh lambat. 

Lesi Meningioma umumnya memiliki batas yang jelas, 

tapi dapat saja memberikan gambaran lesi yang difus, 

sebagai contoh adalah meningioma yang tumbuh di 

sphenoid ridge dan disebut meningioma en 

plaque.Meningioma dapat tumbuh intrakranial maupun 

pada kanalis spinalis. Sistem tersering yang digunakan 

menurut klasifikasi WHO :  

Grade I (umumnya jinak ) : meningotelia, 

psamomatosa, sekretorik, fibroblastik, angioma-

tosa, limfoplasmosit, transisional, mikrokistik, 

dan metaplastik.  

Grade II (memiliki angka rekurensi yang tinggi, 

terutama bila tindakan reseksi tidak berhasil 

mengangkat tumor secara total) : clear-cell, 

chordoid, atipikal. Tipe chordoid biasanya 

disertai dengan penyakit Castleman ( kelainan 

proliferasi limfoid).  

Grade III (anaplastik) : papiler (jarang dan 

tersering pada anak-anak), rhabdoid dan ana-

plastik. Grade III ini merupakan meningioma 

malignan dengan:  

o  Angka invasi lokal yang tinggi. 

 

o Rekurensi tinggi. 

o Metastasis. 

 

Epidemiologi  

Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial 

tersering dengan estimasi 13-26% dari total tu-

mor primer intra kranial.  

Angka insiden adalah 6/100.000 ( terbanyak ter-

dapat pada usia lebih dari 50tahun).  

Rasio perempuan dibandingkan laki-laki = 2:1. 

2-3% dari populasi memiliki meningioma tanpa  

memberikan keluhan dan 8% dengan meningi-

oma multipel. 

 

Etiologi dan faktor resiko  

Sebab pasti tidak diketahui.  

Insiden meningkat dengan kelainan genetik (ke-

hilangan kromosom 22 dan dengan neurofibro-

matosis tipe 2).  

Faktor Resiko lain termasuk radiasi kranial, 

trauma kepala, kanker payudara (walaupun tidak 

menentukan ). 

 

Lokasi (disusun berdasarkan dari lokasi 

tersering dijumpai) : 

 

25 

Tulang tengkorak  

Basis kranial : sphenoid wing, dan petrosus 

ridge.  

Tempat lekukan dura : falx cerebri dan tentori-

um cerebelli.  

Selubung saraf N.optikus. 

Pleksus khoroid.  

Spinal.  

Diluar aksis kraniospinal seperti telinga, tulang 

temporal, dan tungkai. 

 

Marker proliferasi  

Marker proliferasi memberikan informasi 

mengenai kemungkinan rekurensi dari tumor. 

Sebagai contoh adalah MIB-1 dan Ki 67, yang 

ditemukan pada tumor dengan derajat lebih 

tinggi dan cenderung akan mengalami rekurensi. 

Walaupun begitu masih diperlukan penelitian 

lanjutan mengenai marker proliferasi tersebut.  

Angka reseptor progesteron yang tinggi telah 

dilaporkan berhubungan dengan angka frekuensi 

rekurensi yang lebih rendah dan prognosis yang 

lebih baik.  

70% dari meningioma mengekspresikan reseptor  

somatostatin yang dapat digunakan dengan im- 

 

aging radiologi, terutama bila mencari 

rekurensi lokal. 

 

Gambaran Klinis  

Gambaran yang diberikan oleh meningioma adalah 

berupa kelainan yang disebabkan oleh lesi desak ruang :  

Kejang, baik berupa kejang fokal maupun ke-

jang umum.  

Gejala peningkatan tekanan intrakranial, seperti 

hidrosefalus obstruktif dengan sakit kepala.  

Edek neuropsikologi, seperti perubahan 

kepribadian dan disinhibisi yang dapat 

ditemukan pada meningioma yang berada di 

frontal.  

Transient ischemic attack dan perdarahan in-

trakranial juga dapat ditemui.  

Meningioma yang menekan jalur visual dapat 

menyebabkan gangguan lapangan pandangan.  

Meningioma pada daerah sella dapat mem-

berikan gejala panhipopituarisme.  

Spinal meningioma dapat memberikan sindrom 

Brown-Sequard.  

Diagnosis diferensial  

Lesi lain yang dapat mengakibatkan efek pada du-

ramater termasuk : 

 

26 

Tumor primer intrakranial lain.  

Metastase dari limpoma dan 

adenokarsinoma.  

Peradangan, seperti sarkoidosis. 

Infeksi seperti tuberkulosis. 

 

Investigasi  

Imaging : MRI superior dibandingkan dengan 

CT-Scan. Meningioma merupakan lesi ekstra 

aksial dengan batas yang jelas. Dapat menun-

jukkan degenerasi kistik sentral dan edema pada 

daerah dekat substansia putih.  

Angiografi endovaskular : memungkinkan ases 

preoperatif dari suplai pembuluh darah ke tumor 

dan hubungan pembuluh darah tersebut dengan 

struktur vaskular yang vital.  

Biopsi : biopsi stereotaktik atau melalui kraniot-

omi. 

 

Terapi  

Terapi tergantung dari:  

Gejala klinis yang ditimbulkan. 

Usia pasien.  

Ukuran dan letak lesi tumor.  

Sebagai contoh: pasien usia tua dengan banyak masalah 

 

kesehatan lain yang memperberat, dengan lesi tumor 

yang kecil dan tidak memberikan gejala dari menigioma 

dapat dilakukan terapi konservatif. Memerlukan peman-

tauan MRI setiap tahunnya selama 3 tahun dan dapat 

dilanjutkan dengan follow-up secara klinis saja, bila tid-

ak ada hal baru. 

 

Embolisasi endovaskular  

Dilakukan embolisasi terhadap pembuluh darah 

yang mensuplai tumor, dapat menggunakan coil 

atau glue.  

Dilakukan biasanya sebelum tindakan pem-

bedahan, yang bertujuan mengurangi resiko 

perdarahan yang banyak saat operasi.  

Embolisasi dapat menyebabkan nekrosis dari le-

si meningioma, yang dapat meragukan dalam 

pemeriksaan patologi anatomi dari spesimen 

tumor setelah operasi. 

 

Pembedahan  

Tumor dan dura pada tumor direseksi.  

Tujuan pembedahan adalah reseksi total, tapi 

dapat saja tidak tercapai, seperti bila meningio-

ma dekat dengan struktur yang penting, atau pa-

da meningioma en plaque. 

 

27 

Pembedahan dapat memberikan komplikasi 

berupa invasi massa tumor ke struktur di seki-

tarnya, seperti pada meningioma parasagital, 

yang dapat menginvasi ke dalam sinus dura.  

Stereotactic radiosurgery dapat memberikan 

kontrol lokal tumor yang sangat baik.  

Preoperatif dan postoperatif kortikosteroid sig-

nifikan dalam menurunkan angka mortalitas dan 

morbiditas terkait dengan reseksi dari tumor. 

Obat antiepilepsi seharusnya dimulai sebelum 

operasi untuk operasi pembedahan supratentori-

al dan diteruskan paling tidak selama 3 bulan. 

 

Radioterapidigunakan pada: 

Reseksi tumor incomplete. 

Rekuren meningioma.  

High grade meningioma dengan atipikal sel dan 

sel yang anplastik.  

Penggunaan radioterapi dikaitkan dengan outcome yang 

lebih baik.Sebuah penelitian didapatkan stereotactic 

radiosurgery dihubungkan dengan kontrol tumor yang 

lebih baik (mencapai 10%) dan komplikasi yang lebih 

kecil.  

Stereotactic radiosurgery dalam meningioma termasuk 

berhasil, dapat digunakan sebagai terapi primer, teruta- 

 

ma pada meningioma dengan akses sulit untuk dil-

akukan reseksi, seperti pada meningioma saraf optikus. 

Tata laksana radiasi pada meningioma :  

Meningioma WHO grade I diterapi dengan 

radiasi konformal terfraksinasi, dosis 45-54 Gy  

Meningioma WHO grade II yang diradiasi, tera-  

pi langsung pada gross tumor (jika ada) atau pa-

da tumor bed dengan margin 1-2 cm, dosis 54-

60 Gy dalam fraksi 1,8-2 Gy. Pertimbangkan 

pembatasan ekspansi margin pada parenkim otak 

jika tidak ada bukti adanya invasi otak.  

Meningioma WHO grade III diterapi seperti 

tumor ganas, langsung pada gross tumor (jika 

ada) dan surgical bed dengan margin 2-3 cm , 

dosis 59,4 Gy dalam 1,8-2 Gy/fraksi  

Meningioma WHO grade I juga dapat diterapi 

dengan SRS dosis 12-16 Gy dalam fraksi tung-

gal. 

 

Kemoterapi  

Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang 

memuaskan, dipertimbangkan hanya bila tindakan 

operasi dan radioterapi gagal dalam mengontrol ke-

lainan.  

Agen kemoterapi termasuk hidroksiurea, telah 

digunakan tapi dengan angka keberhasilan yang kecil.  

28 

Obat lain yang sedang dalam penelitian termasuk te-

mozolamid, RU-468 dan alfa interferon, juga mem-

berikan hasil yang kurang memuaskan. 

 

3.2.8 

Prognosis 

Atipikal dan 

anaplstik 

meningioma 

dapat metas-

tase tapi ja-

rang.  

Reseksi  total 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

dari tumor biasanya memberikan prognosis yang sangat 

baik. Angka harapan hidup 5 tahunan untuk meningio-

ma tipikal lebih dari 80%, dan turun menjadi 60% pada 

meningioma malignan dan atipikal. 

 

 

 

Schwannoma 

 

Sinonim  :  Neurilemoma  Akustik,  Neurinoma  Akustik,  

Vestibular Schwannoma  

Neuroma Akustik (AN) adalah tumor saraf ves-

tibulokohlearis (N VIII) yang berasal dari selubung 

saraf sel Schwann.Sebagian besar berasal dari bagian 

vestibuler dan kurang dari 5% berasal dari divisi kohle-

aris (pendengaran).Biasanya termasuk tumor jinak dan 

tumbuh lambat, tapi dapat menimbulkan gejala efek de-

sak ruang dan tekanan pada struktur lokal yang akhirn-

ya mengancam kehidupan.Pola pertumbuhan bervariasi 

dan sebagian kecil dapat tumbuh cepat (2 kali lipat da-

lam 6 bulan).Dengan mempertimbangkan kemungkinan 

yang ada, dapat dilakukan diagnosis dini sehingga dapat 

meningkatkan pilihan terapi dan menurunkan angka 

kematian.  

Di daerah cerebellopontine angle (CPA), tumor dapat 

tumbuh dengan diameter 4 cm dan pertumbuhan lambat 

memungkinkan peregangan tanpa mempengaruhi fungsi. 

Namun tumor lain dalam kanalis auditoris inter-na, 

akan menimbulkan gejala-gejala lebih awal dengan 

gangguan pendengaran (gejala umum yang ditim-

bulkan) atau gangguan vestibuler.  

AN mewakili 6-10% dari kebanyakan tumor intrakrani-

al, tetapi merupakan bentuk tersering dari tumor CPA. 

 

Tumor-tumor sporadik yang jumlahnya 95%, sementara 

yang berhubungan dengan neurofibromatosis bilateral 

jumlahnya 4,5%. 

 

Epidemiologi 

Angka Kejadian  

Ada sekitar 13 kasus baru per sejuta populasi per tahun. 

Suatu penelitian di Denmark menunjukkan terjadi 

peningkatan angka kejadian antara tahun 1970 sampai 

1990 dari 7,8 – 12,4 per sejuta populasi, dan dianggap 

mencerminkan angka kejadian yang sebenarnya. 

 

Prevalensi  

Perkiraan prevalensi didasarkan pada autopsi (8000 

kasus per sejuta populasi) dan seri radiologi (700 per 

sejuta) berdasarkan MRI, yang menunjukkan bahwa 

sebagian besar kasus AN tidak terdiagnosis. 

 

Faktor 

Resiko Faktor 

resiko meliputi  

:  

1. Neurofibromatosa 

 

2. Pemberian dosis tinggi sinar radiasi (anak-anak 

yang mendapatkan sinar radiasi untuk kondisi 

 

33 

jinak pada kepala dan leher, misalnya untuk 

mengecilkan amandel dan adenoid, akan 

 

34 

meningkatkan resiko berkembangnya AN di 

kemudian hari. Tetapi radiasi pengion dosis ren-

dah, seperti dalam pencitraan, belum dapat 

ditentukan sebagai resiko. 

 

3. Paparan kebisingan saat kerja belum terbukti 

menjadi faktor resiko walaupun beberapa 

penelitian epidemiologi lain sudah menyebutkan 

ada keterkaitan. Resiko akibat paparan frekuensi 

radio pada penggunaan ponsel masih menjadi 

kontroversi. Pada suatu studi kasus kontrol, 

penggunaan interphone tidak menjadi faktor 

resiko pada penggunaan jangka pendek, tetapi 

pada jangka panjang belum diketahui. 

 

Gambaran Klinik  

Setiap gangguan pendengaran unilateral 

sensorineural yang disebabkan oleh AN sudah 

terbukti. Pertimbangan diagnosis pasien AN dengan :  

- Kehilangan pendengaran unilateral/tinnitus da-

lam onset progresif atau akut. 

 

- Gangguan sensasi wajah. 

 

- Gangguan keseimbangan dengan penjelasan 

lainnya. 

 

Gambaran klinis klasik dari AN terbatas pada kanalis 

auditoris, melibatkan kehilangan pendengaran unilateral 

secara progresif, disfungsi vestibuler dan tinnitus.  

- 90% kasus kehilangan pendengaran dan tinnitus.  

- Sekitar 5% kasus menunjukkan onset mendadak 

dan disertai kehilangan pendengaran unilateral.  

- Pendengaran bisa juga berubah-ubah.  

- 3% menunjukkan pendengaran yang normal.  

- Kebanyakan pasien menunjukkan gangguan 

keseimbangan.  

Oleh karena penyebaran tumor, gangguan pendengaran 

dan keseimbangan memburuk dan gejala yang 

mengarah pada kompresi struktur lain dapat timbul :  

- Nyeri fasial atau baal pada trigeminal neuralgia.  

- Sakit telinga.  

- Kelemahan otot wajah akibat tekanan pada 

N.VII (fasialis).  

- Ataksia  

- Kompresi pada batang otak dapat menyebabkan 

hidrosefalus dengan gangguan penglihatan dan 

nyeri kepala persisten.  

Pasien yang dirujuk ke ahli THT dengan gangguan pen-

dengaran unilateral, 3-7,5% disertai dengan AN. 

Dengan meningkatnya penggunaan pencitraan otak, AN 

seringkali dapat terdiagnosis lebih awal secara 

insidental. 

 

35 

 

Penyakit Penyerta  

AN bilateral ada   pada neurofibromatosis type 2 

(NF2). Penyakit NF2 adalah autosomal dominan. 

Sebanyak 7% pasien dengan AN juga disertai NF2. 

Penderita NF2 cenderung tak hanya disertai dengan AN 

tetapi juga Schwannoma saraf kranial lain. 

 

Diagnosis Banding  

AN merupakan bagian dari 85% kejadian CPA. Adapun 

tumor CPA lainnya :  

- Meningioma  

- Epidermoid  

- Lower cranial nerve schwanoma  

- Kista arakhnoid 

 

 

 

Pemeriksaan 

Audiologi.  

Semua pasien dengan kehilangan pendengaran unilat-

eral harus mendapatkan pemeriksaan audiologi untuk 

menentukan kuantitas dan jenis dari gangguan sensori-

neural. 

 

Pencitraan Diagnostik  

MRI telah menggantikan CT  Scan sebagai pencitraan 

terpilih untuk kejadian AN. 

 

Penatalaksanaan  

ada   3 pilihan terapi bagi penderita AN : observasi, 

pembedahan dan stereotactic radiosurgery. Belum ada 

penelitian yang membandingkan modalitas pengobatan 

yang berbeda.  

Sangat penting untuk memberikan konseling pada pen-

derita mengenai program pengobatan yang akan mereka 

jalani.  

Pertimbangan juga perlu memperhitungkan kualitas 

hidup dan meredanya gejala. 

 

Tindakan Konservatif  

Perjalanan AN tidak sepenuhnya diketahui. Dalam sua-

tu penelitian neuroma, yang diamati selama 40 bulan, 66% 

tidak berkembang, 24% tumbuh lambat, 4% tum-buh 

cepat dan 3% mengalami regresi.  

Pada penderita neuroma kecil, dengan fungsi pen-

dengaran yang baik, tindakan terbaik adalah konservatif 

dengan pemeriksaan scan serial untuk memonitor per-

tumbuhannya..  

Ketika dijumpai pertumbuhan tumor, tindakan yang 

lebih aktif sangat dianjurkan mengingat resiko kom-

plikasi operasi dan kemampuan untuk mempertahankan 

pendengaran sangat berkaitan dengan ukuran tumor. 

 

36 

Pembedahan  

Di Inggris, mayoritas penderita AN mendapatkan bedah 

mikro. Pendekatan bedah diambil berdasarkan lokasi 

tumor, ukuran dan fungsi pendengaran.Pengangkatan 

tumor sangat dimungkinkan pada 95% kasus.  

Resiko pembedahan meliputi :  

- Kematian  

- Kebocoran cairan otak dan meningitis  

- Stroke  

- Cedera serebelum  

- Epilepsi  

- Paralisis fasial  

- Kehilangan pendengaran  

- Gangguan keseimbangan  

- Nyeri kepala persisten 

 

Stereotactic radiosurgery  

Tindakan stereotaktik ditujukan pada tumor dengan 

memberikan dosis besar radiasi menggunakan sinar X-

ray energi tinggi konvergen atau partikel bermu-

atan.Tindakan stereotaktik sangat dianjurkan oleh be-

berapa senter.Kebanyakan tindakan ini bukan untuk 

menghilangkan neuroma, tetapi untuk mengontrol per-

tumbuhannya.  

Dalam suatu studi kohort prospektif, suatu tumor 

berukuran kecil (<3 cm) memberikan hasil awal yang 

 

baik pada tindakan radiosurgeri stereotaktik dibanding-

kan dengan reseksi bedah. 

 

Pengawasan jangka panjang sangat diperlukan untuk 

mengidentifikasi progresivitas tumor. Resiko jangka 

panjang yang berhubungan dengan stereotaktik meliputi  

:  

- Nekrosis otak  

- Cedera saraf kranial  

- Keganasan  


.Tumor Hipofisis 

 

Tumor hipofisis biasanya jinak dan dapat disembuhkan. 

Tumor hipofisis dapat menyebabkan masalah akibat:  

Produksi hormon yang 

berlebihan Efek lokal dari tumor 

 

Produksi hormon yang inadekuat dari 

kelenjar hipofisis yang tersisa. 

 

Tipe-tipe Tumor  

Berdasarkan urutan frekuensinya, yang termasuk 

tumor hipofisis adalah:  

Adenoma non 

fungsional Prolaktinoma 

 

Tumor yang mensekresi GH (growth hormone) 

yang berlebihan 

 

Tumor yang mensekresi ACTH 

(adrenocorticotrophic hormone ) yang berlebi-

han 

 

Tumor yang menghasilkan sekresi tiroid 

 

Tumor pensekresi LH/FSH (leutinising hor-

mone/follicle-stimulating hormone) 

 

Produksi Hormon  

Tumor yang aktif secara  hormonal adalah ade- 

 

noma penghasil GH (growth hormone) eosino-

filik, adenoma penghasil ACTH 

(adrenocorticotrophic hormone) basofilik dan 

adenoma penghasil prolaktin. Tumor-tumor ini 

bisa menonjol keluar fossa hipofisis ( sella 

tursica ) 

 

✓ Tumor penghasil ACTH 

(adrenocorticotrophic hormone ) 

 

Adenoma basofilik, muncul dengan 

gejala Cushing Syndrome. Pembesaran 

tumor biasanya progresif lambat. Awal-

nya hanya terbatas pada sella tursica, 

namun dapat membesar dan menjadi in-

vasif setelah adrenalektomi bilateral 

( Sindrom Nelson). 

 

✓ Adenoma penghasil prolaktin: biasanya 

intrasellar; kecil ( kurang dari 10 mm) 

namun dapat menjadi cukup besar untuk 

mengakibatkan pembesaran sella tursica. 

 

✓ Tumor penghasil GH (growth hormone) : 

eosinofilik –menyebabkan gigantisme 

pada anak dan akromegali pada dewasa. 

Pembesaran ke supra sella jarang terjadi. 

 

 

39 

 

Pembesaran tumor biasanya 

progresif lambat. 

 

Tumor non fungsional: 

 

Dapat menimbulkan gejala akibat pembesaran 

keluar sella, mengakibatkan tekanan pada 

struktur sekitar. Gejala endokrin tidak ada, bi-

asanya manifestasi awal berupa gangguan 

lapangan pandang dan ketajaman penglihatan. 

 

Epidemiologi  

Insiden tahunan dari tumor hipofisis fungsional secara 

klinis diperkirakan sekitar 1-2 per 100.000 popu-

lasi.Angka ini kemungkinan lebih rendah dari jumlah 

kasus sebenarnya karena adanya kecendrungan tumor 

ini tidak terdiagnosis. 

 

Manifestasi klinik  

Tergantung pada hormon yang disekresikan oleh tumor 

dan pola pertumbuhan tumor dalam sella tursica.  

Efek lokal yang diakibatkan pendesakan 

massa tumor. 

 

Massa yang membesar dalam fossa hipofisis dapat men-

imbulkan sakit kepala, defek neurooftalmologi atau 

nyeri trigeminal tergantung pada ukuran dan arah pem- 

besaran. 

 

o Sakit kepala; biasanya retroorbita atau bitem-

poral. Cenderung memburuk ketika bangun. Sa-

kit kepala katastropik mendadak bisa disebabkan 

oleh apopleksi hipofisis. Tumor hipofisis yang 

sangat besar dapat mengakibatkan obstruksi 

cairan otak, menyebabkan hidrosefalus. 

 

o Defek lapangan pandang : umum namun sering-

kali asimptomatik. Hemianopia bitemporal ada-

lah kelainan klasik namun dapat juga timbul 

defek lapangan pandang bilateral atau unilateral. 

 

o Pembesaran ekstensif ke hipotalamus dapat 

mengakibatkan gangguan selera makan, haus, 

dan gangguan regulasi suhu serta kesadaran. 

 

Defisiensi hormonal hipofisis anterior 

 

✓ Panhipopituitarism atau penurunan satu atau 

lebih dari keenam hormon dalam berbagai derajat 

dapat terjadi. 

 

✓ Manifestasi pada dewasa cenderung 

berupa infertilitas, oligo/amenorrhea, 

penurunan libido dan disfungsi ereksi. 

Defisiensi LH dan GH dapat mengaki- 

 

40 

 

batkan penurunan massa otot, jumlah bu-

lu pada tubuh, obesitas sentral dan testis 

yang kecil dan lunak. 

 

✓ Pada anak-anak, gejala hipopituitarisme 

seringkali muncul dalam bentuk puber-

tas yang terlambat atau gangguan per-

tumbuhan. 

 

✓ Diabetes insipidus merupakan tampilan 

yang jarang namun dapat muncul setelah 

operasi adenoma hipofisis. 

 

Hiperseksresi dari hormone hipofisis yang terli-

bat, seperti acromegali, prolaktinemia, sindrom 

Cushing, tirotoksikosis. 

 

Pemeriksaan  

Pemeriksaan endokrin untuk menilai hiposekresi 

atau hipersekresi hormon. 

 

Rontgen tengkorak lateral : secara insidental 

dapat menunjukkan pelebaran fossa namun 

bukan merupakan pemeriksaan definitif. 

 

Lapangan pandang: defek yang umum adalah 

quadrantanopia temporal atas dan hemianopia 

bitemporal. 

MRI merupakan pemeriksaan pilihan dan lebih 

unggul dibanding CT scan. Namun lesi kecil da-

lam fossa posterior pada MRI yang sesuai 

mikroadenoma hipofisis kecil dapat ditemukan 

sebanyak 10% pada individu normal. 

 

Differential Diagnosis  

Tumor lain di dalam regio sella termasuk 

kraniofaringioma, kista Rathke’s cleft, dan yang 

lebih jarang, meningioma, germinoma, dan 

hamartoma. 

 

Kraniofaringioma merupakan tumor jinak, kistik 

dan ditemukan diatas sella tursica. Biasanya 

muncul dengan gejala sakit kepala, defek lapan-

gan pandang dan hipopituitarisme (termasuk 

kegagalan pertumbuhan, sering muncul pada 

masa kanak-kanak atau remaja). 

 

Penyebab lain dari sakit kepala, defek lapangan 

pandang, gangguan penglihatan dan disfungsi 

endokrin. 

 

Terapi  

Terapinya tergantung pada tipe tumor hipofisis dan 

apakah ada   perluasan ke sekitar hipofisis.  

Tumor penghasil hormon dapat ditangani dengan 

operasi, terapi radiasi atau dengan obat-obatan seperti  

40 

 

bromokriptin ( adenoma penghasil prolaktin) atau ana-

log somastatin (adenoma penghasil GH) 

 

3.5.7. 1 Operasi  

Operasi transphenoid merupakan terapi pilihan untuk 

lesi yang terbatas pada sella tursica dan adenoma 

penghasil ACTH (adrenocorticotrophic hor-

mone).Kraniotomi frontal jarang diperlukan.Lesi yang 

meluas keluar fossa sella seringkali merupakan jenis 

adenoma kromofob nonfungsional dan membutuhkan 

terapi radiasi tambahan. 

 

Radioterapi  

Radioterapi perlu disiapkan untuk pasien yang tu-

mornya telah direseksi secara inkomplit atau yang tetap 

mengalami hipersekresi setelah operasi. 

 

Analog somatostatin  

Analog seperti sandostatin merupakan terapi medikal 

utama untuk tumor penghasil GH (growth hormone) 

dan juga digunakan untuk tumor penghasil TSH ( thy-

roid-stimulating hormone). Ocreotide dan lareotide 

akan mengontrol sekresi GH pada mayoritas pasien 

dengan akromegali dan pada beberapa pasien men-

yebabkan penyusutan tumor. 

3.5.7.2 Bromokriptin  

Terapi obat-obatan dengan bromokriptin telah ber-

hasil digunakan pada pasien dengan tumor penghasil 

prolaktin. Agonis dopamin quinagolide telah 

berhasil digunakan dengan efek samping min-imal 

pada kasus relaps atau refraktor setelah gagal 

dengan bromokriptin. Selama menunggu efek radio-

terapi, inhibitor produksi steroid adrenal seperti mi-

totane, ketokonazol, bisa diindikasikan. 

 

Tumor hipofisis rekuren  

Pasien yang mengalami rekurensi setelah 

operasi reseksi dapat ditangani dengan terapi 

radiasi. 

 

Radiasi ulangan dari adenoma hipofisis 

rekuren pada beberapa pasien dilaporkan 

mendapatkan perbaikan atau stabilisasi 

gejala visual dengan kontrol lokal jangka 

panjang. 

 

Komplikasi  

Apopleksi hipofisis–hipopituitarism onset men-

dadak disebabkan infark akut dari adenoma hipofisis. 

 

Prognosis  

41 

 

Remisi didapatkan hingga 90% pasien dengan mikroad-

enoma dan sekitar 50% - 60% pada pasien dengan mak-

roadenoma. 

Algoritma Diagnosis dan Tata Laksana 

 

Meduloblastoma 

 

 

Tumor yang berasal dari sel embrional. Muncul dari 

vermis cerebellum di daerah apex dinding ventrikel IV 

(fastigium). Lebih dari 70% meduloblastoma terjadi pa-

da anak-anak.  

Tipe Histopatologi 

 

Berdasarkan histopatologi, seluruh medulloblastoma 

adalah WHO grade IV. ada   tiga subtipe, yaitu:  

1. Classic (90%):bentuk sel kecil, dibedakan sel 

padat dengan inti hyperchromatic, sitoplasma 

sedikit (dan sel klaster tidak konstan di Homer-  

Wright rosettes (kadang-kadang disebut "blue 

tumor") (penampilan monoton). 

 

2. Desmoplastic (6%): bentuk sel mirip dengan 

tipe klasik dengan "glomeruli"(kolagen bundel 

dan tersebar, daerah yang kurang seluler). 

Ditandai kecenderungan diferensiasi saraf. 

Lebih sering terjadi pada orang dewasa. Prog-

nosis kontroversial: mungkin sama atau tidak 

seagresif medulloblastoma klasik. 

 

3. Large cell (4%): bentuk sel besar, bulat, 

dan/atau pleomorfik inti, aktivitas mitosis yang 

 

lebih tinggi. Dalam beberapa laporan kasus, 

semua pasien laki-laki. Lebih agresif dibanding 

tipe klasik. menyerupai tumor tera-

toid/rhabdoid atipikalotak, tetapi memiliki fe-

notipe yang berbeda dan fitur cytogenic. 

 

Staging 

 

Modifikasi Chang untuk staging Medulloblastoma ber-

dasarkan perluasan tumor dan metastase:  

Perluasan tumor 

 

T1 Diameter tumor berukuran kurang dari 3 cm. 

 

T2 Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm. 

 

Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm, dengan 

T3a perluasan ke aquaductus Sylvii dan atau foramen 

Luschka 

 

Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm, dengan 

T3b 

perluasan tegas ke batang otak 

 

Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm, dengan 

T4 perluasan melewati aquaductus Sylvii dan atau ke 

inferior melewati foramen Magnum 

 

Tidak ada pertimbangan mengenai jumlah struktur-

struktur yang terinvasi atau adanya hydrosefalus. 

 

48 

T3b dapat didefinisikan saat intraoperatif (adanya perlua-

san ke batang otak), walaupun tidak ada bukti radiologi. 

 

 

 

 

Derajat metastasis  

M0 Tidak ada bukti metastasis subarachnoid atau 

 hematogen yang bermakna. 

  

M1 Sel-sel tumor secara mikroskopis ditemukan 

 pada LCS. 

  

M2 Penyebaran nodular yang signifikan pada spati- 

 um subarachnoid serebri, atau cerebellum atau 

 pada ventrikel ketiga atau ventrikel lateral. 

  

M3 Penyebaran nodular yang signifikan pada spati- 

 um subarachnoid spinal 

  

M4 Metastasis diluar aksis serebrospinal 

  

 

 

Diagnosis Banding  

Tumor lain yang dapat menyerupai medulloblastoma 

antara lain adalah cerebellar astrocytoma, brain stem 

glioma, dan ependymoma. 

 

Investigasi  

Kriteria diagnosis meliputi: anamnesis, pemeriksaan 

klinis, pemeriksaan imaging, dan patologi anatomi  

Anamnesis: Umumnya berupa gejala yang 

berhubungan dengan massa di fossa posterior 

yang menyebabkan peningkatan tekanan 

intrakranial karena hidrocephalus akibat 

penekanan ventrikel IV. Gejala peningkatan TIK 

bisa berupa nyeri kepala, mual, muntah, ataksia. 

Pada bayi dengan hidrocephalus biasanya rewel, 

pembesaran lingkar kepala, dan letargi. 

 

Metastase ke spinal dapat menyebabkan nyeri 

punggung, retensi urine atau gangguan motorik 

tungkai bawah 

Pemeriksaan Fisik: 

 

1. Papil edema  

2. Diplopia  

3. Penurunan visus  

4. Penurunan kesadaran  

5. Pembesaran lingkar kepala pada bayi akibat 

hydrocephalus  

6. Nistagmus  

7. Ataxia 

 

49 

Imaging : 

 

Pada pemeriksaan radiologis umumnya berupa 

massa solid, menyerap kontras pada CT atau 

MRI, lokasi pada midline di regio ventrikel 4, 

disertai hidrosefalus  

1. CT scan kepala: nonkontras tampak hiper-

dense dan pada pemberian kontras tampak 

menyerap kontras. Pada 20% kasus ada   

kalsifikasi.  

2. MRI: T1W1 tampak hipo hingga isointense 

sedangkan T2W1 tampak heterogen karena 

kista, pembuluh darah dan kalsifikasi 

 

Spinal imaging: MRI dengan injeksi gadolinium atau 

CT/myelography dengan kontras water-soluble untuk 

melihat adanya “drop mets 

 

 

 

Terapi  

Terapi medulloblastoma pada bayi  

Terapi medulloblastoma pada anak-anak 


50 

Terapi medulloblastoma dewasa 

 

51 

Keterangan  

TP : Tingkat Pembuktian 

DR : Derajat Rekomendasi 

 

Pilihan teknik operasi:  

Transvermian Telovellar  

Hal yang perlu diedukasi pada pasien meliputi: risiko 

rekurensi tumor, perlunya terapi multimodalitas, dan 

komplikasi pasca operasi. 

 

Prognosis  

Prognosis medulloblastoma buruk pada: usia muda (<3 

tahun), adanya metastasis, ketidakmampuan untuk ek-

sisi total (terutama bila sisa > 1,5 cm), dan laki-laki 

52 

Algoritma Diagnosis dan Tata Laksana 

 

 

 

 

 

Reseksi aman maksimal       Reseksi aman maksimal  

memungkinkan 

 

 

 

 

Pemeriksaan MRI 

dengan kontras 

menyangat yang 

sesuai dengan tu-  

mor otak  Biopsi stereotaktik    

 

 Reseksi aman maksimal 

Biopsi terbuka 

 

 tidak memungkinkan  

  

 

  Reseksi parsial 

 

 

TUMOR OTAK SEKUNDER 

 

Epidemiologi  

Metastasis otak adalah tumor otak sekunder yang 

jumlahnya empat kali melebihi jumlah tumor otak pri-

mer.Di Amerika Utara ada   98.000-170.000 kasus 

baru metastasis otak per tahunnya. Angka ini akan terus 

bertambah dengan meningkatnya populasi lanjut usia 

serta meningkatnya perawatan intensif   diagnostik yang lebih 

baik dan kemajuan terapi mutakhir pada keganasan lokal 

dan sistemik. Tumor primer dapat berasal dari kanker 

paru (50%), payudara (15-25%), melanoma (5-20%), 

kolorektal dan ginjal.Sebanyak 15% paien metastasis 

otak tidak diketahui lokasi tumor primernya. 

 

Lesi metastasis dapat tumbuh di parenkim otak (sekitar 

75%) maupun di leptomeningeal.Sebanyak 80% 

metastasis soliter berada di hemisfer serebri.Lokasi otak 

dengan insidens tertinggi berada di posterior dari 

fissuraSylvii dekat pertemuan antara lobus temporal, 

parietal dan oksipital. Banyak metastasis tumbuh di 

daerah perbatasan antara substansiagrisea dan alba. 

Sebanyak 16% metastasis soliter berada di serebellum. 

 

Diagnosis  

Diagnosis tumor otak sekunder ditegakkan berdasarkan 

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penun-

jang. 

 

4.2.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik  

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dijumpai 

ttanda dan gejala seperti pada tumor otak primer, yang 

dapat berupa:  

1. Tanda peningkatan tekanan intrakranial  

a. Sakit kepala  

b. Mual/muntah  

2. Gejala fokal  

a. Kelumpuhan/paresis tanpa gangguan 

sen-sorik  

b. Penekanan saraf kranialis  

3. Kejang  

4. Perubahan perilaku, letargi, penurunan kesadaran 

 

4.2.2   Pemeriksaan penunjang  

4.2.2.1 CT scan otak  

Pada  50% kasus pemeriksaan CT  scan otak ada   

 

 

59 

 

gambaran lesi metastasis soliter (tunggal) sejak pasien 

pertama kali mendapatkan gangguan klinis neurologis. 

Gambaran CT scan umumnya dapat berupa lesi bulat, 

berbatas tegas dengan peritumoral edema yang lebih 

luas (fingersof edema). Bila ada   lesi multipel maka 

jumlah lesi terbanyak yang tampak adalah jumlah yang 

paling benar (Chamber’srule). 

 

4.2.2.1 MRI otak  

Bila dilanjutkan dengan MRI otak hanya <30% pasien 

didapatkan lesi soliter. Pemeriksaan MRI lebih sensitif 

daripada CT scan terutama di daerah fossa posterior. 

 

Work-up diagnostik tumor primer  

Sebelum dilakukan pengambilan sampel tumor 

metastasis di otak, dilakukan pencarian lokasi tumor 

primer antara lain:  

1. Foto toraks atau CT scan toraks untuk menying-

kirkan tumor paru  

2. Mammografi pada wanita  

3. Tumor marker 

 

perawatan intensif   

 

Pembedahan  

Konfirmasi diagnosis merupakan langkah penting dalam 

terapi metastasis otak, oleh karena itu apabila tumor 

primer tidak diketahui maka perlu dilakukan 

pengambilan sampel tumor di otak. 

 

Pada metastasis soliter dapat dilakukan operasi kraniot-

omi dan eksisi tumor apabila:  

1. Lokasi dapat dicapai melalui operasi terbuka  

2. ada   efek massa desak ruang (defisit fokal, 

peningkatan tekanan intrakranial)  

3. Diagnosis tidak diketahui 

 

Pada metastasis otak multipel operasi kraniotomi dapat 

dipertimbangkan bila:  

1. Satu lesi dapat dicapai dengan operasi terbuka 

dan lesi tersebut menyebabkan gejala klinis yang 

jelas dan atau mengancam jiwa  

2. Bila semua lesi dapat dambil semua saat operasi  

3. Diagnosis tidak diketahui 

 

Operasi biopsi stereotaktik dapat  dipertimbangkan 

 

 

60 

apabila:  

1. Lesi letak dalam  

2. Lesi multipel berukuran kecil  

3. Toleransi pasien kurang baik  

4. Penyakit sistemik yang berat  

5. Diagnosis tidak diketahui 

 

Class I evidence menunjukkan bahwa operasi reseksi 

tumor metastasis kemudian dilanjutkan dengan WBRT 

memberikan hasil yang baik dibandingkan operasi saja. 

 

Radiasi eksterna 

 

4.3.2.1 Wholebrainradiotherapy (WBRT)  

4.3.2.1.1 Indikasi  

WBRT dapat diberikan sebagai terapi utama, kombinasi 

dengan SRS, atau setelah operasi. 

 

Teknik dan target radiasi  

WBRT dapat diberikan dengan teknik konvensional 2D 

lapangan opposing lateralatau dengan radioeterapikon-

formal 3D. Lapangan radiasi harus mencakup kese-

luruhan isi intrakranial. Pastikan bahwa fossakraii ante- 

 

rior, fossakranii media, dan basis kranii masuk ke dalam 

lapangan. 

 

Dosis radiasi  

Sampai saat ini masi belum ada kesepakatan mengenai 

dosis dan fraksinasi paling optimal untuk WBRT. Na-

mun umumnya digunakan dosis adalah 30 Gy dalam 10 

fraksi diberikan selama 2 minggu.Untuk pasien dengan 

performa yang buruk, 20 Gy/5 fraksi merupakan pilihan 

yang baik untuk dapat dipertimbangkan 

 

 

 

Stereotacticradiosurgery (SRS)  

SRS sebagai alternatif dari pembedahan melalui 

pemberian radiasi dengan konformalitas sangat tinggi 

dengan rapiddosefall-offsehingga dapat diiberikan dosis 

tinggi pada tumor. 

 

Indikasi  

Stereotacticradiosurgery (SRS) dapat dilakukan sebagai 

terapi tunggal atau sebagai terapi kombinasi dengan 

wholebrainradiotherapy (WBRT), dengan atau tanpa 

operasi. 

 

 

61 

 

Teknik radiasi  

SRS dapat dilakukan dengan linear accelerator(linac-

basedSRS), gamma knife(Cobalt-based SRS), atau 

proton. Untuk SRS dengan streotacticheadframe(frame-

basedSRS), GTV merupakan lesi yang menyangat pasca 

kontras yang terlihat di MRI, tanpa penambahan margin 

baik untuk CTV maupun PTV. Sementara untuk SRS 

tanpa frame (frameless SRS), ditambahkan margin 1-2 

mm untuk PTV. 

 

Dosis radiasi  

Dosis biasanya dipreskripsikan pada isodosis 50% untuk 

gamma knife, dan 80% untuk linac-basedSRS. Dosis 

marginal maksimal adalah 24, 18 atau 15 gy sesuai 

dengan volume tumor yang direkomedasikan 

 

Tabel 4.1. Panduan dosis SRS RTOG 

 

Terapi medikamentosa  

Terapi medikamentosa yang dapat diberikan pada tumor 

otak sekunder, antara lain:  

1. Pemberian kortikosteroid untuk gejala klinis aki-

bat edema otak. Dosis awal deksametason 10-20 

mg iv, kemudian 4x5 mg iv selama 2-3 hari sam-

pai gejala klinis membaik. Tapperingoffdimulai 

setelah gejala klinis terkontrol. 

 

2. Pemberian H2 antagonis seperti ranitidine 2x150 

mg 

 

3. Pemberian anti konvulsan seperti fenitoin 

 

 

 

 

7

PANDUAN RADIOTERAPI 

 

Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting da-

lam perawatan intensif   kanker otak. Radioterapi dalam 

perawatan intensif   kanker otak dapat diberikan sebagai terapi 

kuratif definitif, ajuvan post-operasi, dan paliatif. 

 

Low-Grade Gliomas (Grade I dan II)  

Volume tumor ditentukan dengan menggunakan 

imejing pre dan post-operasi, menggunakan MRI 

(T2 dan FLAIR) untuk gross tumor volume 

(GTV) 

 

Clinical Target Volume (CTV) = GTV ditambah 

margin 1-2 cm, mendapatkan dosis 45-54 Gy 

dengan 1,8 – 2Gy/fraksi 

 

 

High-Grade Gliomas (Grade III dan IV)  

Volume tumor ditentukan menggunakan imejing 

pre dan post-operasi, menggunakan MRI (T1 dan 

FLAIR/T2) untuk gross tumor volume (GTV) 

CTV = GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup 

infiltrasi tumor yang sub-diagnostik 

 

Lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase 

 

Dosis yang direkomendasikan adalah 60 Gy 

dengan 2 Gy/fraksi atau 59.4 Gy dengan 1,8 

Gy/fraksi, dosis yang sedikit lebih kecil seperti 

55,8 – 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy 

dengan 1,9 Gy/fraksi dapat dilakukan jika vol-

ume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk 

astrositoma grade III 

 

Pada pasien dengan KPS yang buruk atau pada pasien 

usia tua, hipofraksinasi yang diakselerasi dapat dil-

akukan dengan tujuan  

menyelesaikan terapi dalam 2-4 minggu. Fraksi-

nasi yang digunakan antara lain 34 Gy/10 fraksi, 

40.5 Gy/15 fraksi, 50 Gy/20 fraksi 

 

 

Ependymoma  

Volume tumor ditentukan dengan menggunakan 

imejing pre dan post-operasi, menggunakan MRI 

(T1 dan FLAIR/T2) untuk gross tumor volume 

 

 

 

74 

(GTV). 

 

CTV merupakan area anatomis tempat tumor 

primer preoperasi ditambah dengan abnormalitas 

signal yang ditemukan pada MRI post-operasi 

(CTV = GTV + 1-2 cm), mendapatkan dosis 54-

59,4 Gy dengan 1,8-2 Gy per fraksi 

 

Craniospinal : Whole Brain Radiotherapy 

(WBRT) dan spinal (sampai dengan bawah the-

cal sac) mendapatkan dosis 36 Gy/1,8 Gy per 

fraksi diikuti dengan lapangan terbatas pada spi-

nal sampai dengan 45 Gy. Lokasi primer di otak 

harus mendapatkan dosis total 54-59,4 Gy dalam 

1,8 – 2Gy per-fraksi 

 

 

Medulloblastoma(dewasa) dan Supratentorial  

PNET  

Risiko standar untuk rekurensi 

 

➢ Dosis konvensional : 30-36 Gy CSI 

kemudian booster pada tumor otak primer 

sampai dengan 54-55,8 Gy dengan atau 

tanpa kemoterapi ajuvan 

 

➢ Untuk dewasa muda pertimbangan untuk 

mengurangi dosis radiasi dengan ajuvan 

kemoterapi : 23.4 Gy CSI dan booster 

pada lokasi primer otak sampai dengan 

54-55,8 Gy 

 

 

Risiko tinggi untuk rekurensi 

 

➢ 36 Gy CSI diikuti booster pada lokasi 

primer otak sampai dengan 54 – 55,8 Gy 

dengan kemoterapi ajuvan 

 

 

CNS Lymphoma Primer  

WBRT dapat dilakukan pada pasien primer yang 

mendapatkan kemoterapi. Jika menggunakan 

WBRT, dosis sebaiknya dibatasi 23,4 Gy dengan 

1,8 Gy per-fraksi mengikuti Complete Respons 

(CR) kemoterapi. Untuk yang kurang dari CR, 

pertimbangkan dosis WBRT yang sama diikuti 

dengan lapangan terbatas pada gross tumor sam-

pai dengan 45 Gy untuk radiasi fokal pada resid-

ual diasease 

 

 

 

75 

Untuk pasien yang bukan kandidat kemoterapi, 

diberikan WBRT dosis 24-36 Gy diikuti dengan 

booster pada gross disease sampai dengan total 

dosis 45 Gy 

 

 

Tumor Medulla Spinalis Primer  

Dosis 45-54 Gy direkomendasikan dengan 

menggunakan 1,8 Gy/fraksi. 

 

Untuk tumor dibawah conus medularis, dapat 

diberikan dosis yang lebih tinggi sampai dengan 

total dosis 60 Gy 

 

 

Meningioma  

Meningioma WHO grade I diterapi dengan radiasi 

konformal terfraksinasi, dosis 45-54 Gy 

 

Meningioma WHO grade II yang diradiasi, terapi 

langsung pada gross tumor (jika ada) atau pada tumor 

bed dengan margin 1-2 cm, dosis 54-60 Gy dalam 

fraksi 1,8-2 Gy. Pertimbangkan pembatasan ekspansi 

margin pada parenkim otak jika tidak ada bukti adan-

ya invasi otak. 

Meningioma WHO grade III diterapi seperti tumor 

ganas, langsung pada gross tumor (jika ada) dan sur-

gical bed dengan margin 2-3 cm , dosis 59,4 Gy da-

lam 1,8-2 Gy/fraksi 

 

Meningioma WHO grade I juga dapat diterapi dengan 

SRS dosis 12-16 Gy dalam fraksi tunggal. 

 

 

Metastasis Otak  

WBRT dengan dosis bervariasi antara 20-40 Gy 

dalam 5-20 fraksi. 

 

Regimen standar adalah 30 Gy dalam 10 fraksi 

atau 37,5 Gy dalam 15 fraksi. Untuk pasien 

dengan performa yang buruk, 20 Gy/5 fraksi 

merupakan pilihan yang baik untuk dapat diper-

timbangkan 

 

SRS : dosis marginal maksimal adalah 24, 18 

atau 15 gy sesuai dengan volume tumor yang 

direkomdasikan 

 

 

 

 

 

 

 

76 

Metastasis Leptomeningeal  

Dosis dan volume bergantung pada sumber pri-

mer dan lokasi yang memerlukan paliasi 

 

Metastasis Spinal  

Dosis pada metastasis vertebral body bergantung 

pada performa pasien, stabilitas spinal, lokasi 

yang berhubungan dengan medulla spinalis dan 

histologi primer. 

 

Dosis umum yang diberikan adalah 15-40 Gy da-

lam 1-15 fraksi selama 1 hari – 3 minggu. 

 

Harus mempertimbangkan dosis kritis pada spi-

nal dan rute saraf. Pada kasus tertentu atau kasus 

rekurensi setelah radiasi sebelumnya, stereotactic 

radiotherapy dapat dipertimbangkan 

 

Secara umum, waktu antar terapi yang direk-

omendasikan adalah lebih dari 6 bulan. 

 

 

 


TATA LAKSANA REHABILITASI MEDIK 

 

Rehabilitasi Pasien Kanker Otak 

 

Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengopti-

malkan pengembalian gangguan kemampuan fungsi dan 

aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan 

kualitas hidup pasien dengan cara aman & efektif, sesuai 

kemampuan yang ada. 

 

Pendekatan rehabilitasi medik dapat diberikan sedini 

mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan 

dan dapat dilakukan pada berbagai tahapan & 

pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan 

penanganan rehabilitasi kanker : preventif, restorasi, su-

portif atau paliatif.1-3 

 

Disabilitas pada Pasien Kanker Otak 

 

Kedokteran fisik dan rehabilitasi memerlukan kon- 

 

sep fungsi dan keterbatasan dalam penanganan pasien. 

Pada kanker otak, penyakit dan penanganannya dapat 

menimbulkan gangguan fungsi pada manusia sebagai 

makhluk hidup yang dapat berpotensi mengakibatkan 

terjadinya keterbatasan dalam melakukan aktivitas (dis-

abilitas) dan partisipasi sosial dalam kehidupan sehari-

hari.1-4. Gangguan fungsi tersebut dapat berupa 

gangguan kognisi (80%), kelemahan (78%), gangguan 

persepsi visual (53%), dan berbagai disfungsi otak 

lainnya.4,5 

 

Intervensi rehabilitasi diberikan sesuai dengan 

gangguan fungsi yang terjadi yang berkaitan dengan lo-

kasi tumor dan luasnya area operasi. Program rehabili-

tasi yang diberikan prinsipnya tidak jauh berbeda dengan 

rehabilitasi pasien stroke dan cedera kepala (stroke like 

syndrome).4 

 

 

 

 

 

78 

 

Keterbatasan Aktifitas 

 

1. Gangguan kognitif dan perilaku, perubahan 

kepribadian dan emosi6-9 

 

2. Gangguan mobilisasi, akibat6,9 :  

- Gejala peningkatan tekanan intra kranial 

(sakit kepala, mual, muntah), kejang 

 

- Gangguan kekuatan otot sesuai dengan lokasi tu-

mor (hemiparesis / plegi) 

 

- Gangguan koordinasi dan keseimbangan 

 

- Gangguan visual 

 

- Distonia, diskinesia, ataksia 

 

- Tirah baring lama 

 

3. Gangguan komunikasi6,9  

4. Gangguan menelan / Kesulitan makan6,9  

5. Gangguan persepsi 

 

6. Gangguan pemrosesan sensoris akibat hendaya otak6,9  

7. Impending / sindrom dekondisi akibat tirah baring 

lama6 

8. Disfungsi saraf kranial selain di atas 

 

9. Gangguan fungsi psiko-sosial-spiritual5  

Hambatan Partisipasi  

1. Gangguan aktivitas sehari-hari 

 

2. Gangguan prevokasional dan okupasi 

 

3. Gangguan leisure 

 

4. Gangguan seksual pada disabilitas1-3 

 

Pemeriksaan Asesmen 

 

- Uji fungsi komunikasi 

 

- Uji fungsi kognisi 

 

- Uji fungsi kekuatan otot 

 

- Uji fleksibilitas, lingkup gerak sendi 

 

- Uji fungsi sensibilitas 

 

- Uji motorik halus 

 

- Asesmen nyeri 

 

- Uji dekondisi 

 

- Uji fungsi kardiorespirasi 

 

 

 

79 

- Uji kontrol postur 

 

- Uji fungsi integrasi sensori motor 

 

- Uji keseimbangan statis dan dinamis 

 

- Uji fungsi lokomotor 

 

- Uji pola jalan 

 

- Uji fungsi eksekusi gerak 

 

- Uji fungsi menelan 

 

- Uji fungsi berkemih 

 

- Uji fungsi defekasi 

 

- Uji kemampuan fungsional dan perawatan 

 

(Barthel Index, Karnofsky Performance Scale) 

 

- Asesmen psikospiritual 

 

- Evaluasi kondisi sosial dan perilaku rawat 

 

- Evaluasi ortosis 

 

- Evaluasi alat bantu jalan10 

 

Pemeriksaan penunjang 

 

- Rontgen (toraks, kepala) 

- EEG 

 

- CT scan / MRI (sesuai indikasi) 

 

Tujuan perawatan intensif   

 

- Mengatasi gangguan kognisi, perilaku, 

perubahan kepribadian dan emosi 

 

- Memaksimalkan pengembalian fungsi komunikasi 

 

- Memaksimalkan pengembalian dan pemeliharaan 

fungsi gerak 

 

- Memaksimalkan pengembalian kemampuan 

mobi-lisasi 

 

- Mengatasi gangguan menelan / kesulitan makan 

 

- Memperbaiki fungsi pemrosesan sensoris dan motorik 

 

- Mencegah dan meminimalisir sindrom dekondisi 

 

- Memperbaiki fungsi berkemih 

 

- Mengembalikan, memelihara dan atau meningkatkan 

fungsi psiko-sosial-spiritual 

 

- Meningkatkan kualitas hidup dengan perbaikan ke- 

 

 

 

80 

mampuan aktivitas fungsional1-3 

 

 

perawatan intensif   Kedokteran Fisik dan Rehabili- 

 

tasi Pasien Kanker Otak 

 

A. Sebelum Tindakan (radioterapi, operasi, dan kemot-

erapi) 

 

2. Promotif 

 fungsi fisik dan psiko-sosio-

spiritual serta kualitas hidup 

 

3. Preventif terhadap keterbatasan/ gangguan 

fungsi yang dapat timbul9 

4. Penanganan terhadap keterbatasan/ gangguan 

fungsi yang sudah ada3,11-12 

B. Pascatindakan (radioterapi, operasi, dan kemoterapi) 

 

1. Preventif terhadap gangguan fungsi otak yang 

dapat terjadi pasca tindakan dan efek sindrom 

dekondisi pada tirah baring lama9 

 

2. Penanganan gangguan fungsi/ disabilitas yang ada 

(lihat butir C) 1-4, 11-13 

 

C. perawatan intensif   Gangguan Fungsi/ Disabilitas  

1. perawatan intensif   Gangguan Kognisi 

 

Gangguan kognitif dan perilaku, perubahan 

kepribadian dan emosi. 

 

perawatan intensif   persepsi kognisi sesuai hendaya yang 

ada (LEVEL 1) 14,15 

 

2. Terapi edukasi sesuai disabilitas16  

3. perawatan intensif   Gangguan Mobilisasi : 

 

perawatan intensif   bertujuan untuk mengoptimalkan 

pengembalian fungsi mobilisasi bertahap sesuai 

hendaya dan kondisi pasien : latihan fleksibilitas, 

kekuatan otot; terapi latihan pada kelemahan 

umum & efek tirah baring lama; latihan koordina-

si, keseimbangan dan ambulasi dengan atau tanpa 

alat bantu.6,16 

4. Gangguan Fungsi Otak Lainnya sesuai lokasi tu- 

 

mor (gangguan : menelan/ makan, komunikasi, 

persepsi, pemrosesan sensori dan gangguan saraf 

 

 

81 

 kranial lainnya) 

 perawatan intensif   sesuai 

disfungsi yang ada (stroke like syndrome).6,16  

5. Gangguan Fungsi Kardiorespirasi Pasca Tindakan 

 

(radioterapi, operasi, dan kemoterapi) 

 

perawatan intensif   : mengoptimalkan pengembalian 

fungsi kardiorespirasi sesuai gangguan fungsi pa-

ru dan jantung.16  

6. perawatan intensif   Pencegahan/ Sindrom Dekondisi17  

7. Evaluasi dan perawatan intensif   Kondisi Sosial dan 

Per-ilaku Rawat9 

 

8. perawatan intensif   Masalah Psikospiritual, termasuk 

peru-bahan : perilaku, kepribadian dan emosi9,18 

9. Adaptasi Aktivitas Kehidupan Sehari-hari 

 

10. Rehabilitasi Prevokasional dan Rehabilitasi Okupasi16 

 

 

11. Rehabilitasi Medik Paliatif17 


DUKUNGAN NUTRISI 

 

Status gizi merupakan salah satu faktor yang berperan 

penting pada kualitas hidup pasien kanker. Salah satu 

masalah nutrisi yang perlu mendapat perhatian pada 

pasien kanker adalah kaheksia. Kaheksia berkaitan erat 

pula dengan kondisi malnutrisi. Malnutrisi, yang biasa 

terjadi terlebih dahulu; adalah suatu kondisi di mana ada 

komponen nutrisi yang asupannya tidak sesuai anjuran, 

baik lebih ataupun kurang. Malnutrisi merupakan kondi-

si yang umum ditemukan pada pasien kanker, mencakup 

hingga 85% pasien.Secara umum World Health Organi-

zation (WHO) mendefinisikan malnutrisi berdasarkan 

IMT <18,5 kg/m2, namun menurut European Society of 

Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN) diagnosis 

malnutrisi dapat ditegakkan berdasarkan kriteria:  

- Pilihan 1: IMT <18,5 kg/m2 

 

- Pilihan 2: 

 

Penurunan berat badan yang tidak direncanakan >10% 

dalam kurun waktu tertentu atau penurunan berat 

badan >5% dalam waktu 3 bulan, disertai dengan salah 

satu 

pilihan berikut  

1. IMT <20 kg/m2 pada usia <70 tahun atau IMT 

<22 kg/m2 pada usia ≥70 tahun 

 

2. Fat free mass index (FFMI) <15 kg/m2 untuk 

perempuan atau FFMI <17 kg/m2 untuk laki-laki 

 

Jika tidak ditangani dengan baik, malnutrisi dapat 

berkembang menjadi kaheksia. Kaheksia didefinisikan 

sebagai kehilangan massa otot, dengan ataupun tanpa 

lipolisis, yang tidak dapat dipulihkan dengan dukungan 

nutrisi konvensional. Ditinjau dari gejalanya, kaheksia 

merupakan suatu sindrom yang ditandai tidak nafsu 

makan (anoreksia), cepat merasa kenyang, dan kelema-

han tubuh secara umum.  

Diagnosis kaheksia ditegakkan berdasarkan:  

1. Salah satu di antara kriteria berikut: 

 

a. Penurunan berat badan 5% atau lebih yang ter-

jadi dalam 12 bulan terakhir 

 

b. Indeks massa tubuh kurang dari 20 kg/m2 

 

2. Tiga dari lima kriteria berikut: 

 

 

 

 

85 

a. Penurunan kekuatan otot 

 

b. Kelelahan (fatigue): Keterbatasan fisik dan 

mental setelah aktivitas fisik, atau ketidakmam-

puan untuk terus melakukan aktivitas fisik 

dengan intensitas sama yang disertai penurunan 

performa. 

 

c. Anoreksia: Keterbatasan asupan makanan se-

hingga asupan kalori <20 kkal/kgBB/hari, atau 

kurangnya nafsu makan. 

 

d. Indeks massa bebas lemak yang rendah (dici-

rikan dengan lingkar lengan atas kurang dari per-

sentil 10 untuk umur dan jenis kelaminnya, in-  

deks otot rangka DEXA <5,45 kg/m2 (wanita) 

atau <7,25 kg/m2 (pria). 

 

e. Salah satu parameter laboratorium yang tidak 

normal: 

 

i. Peningkatan penanda inflamasi (C-

reactive protein/CRP, interleukin/IL-6) 

 

ii. Anemia (Hb < 12 g/dL) 

 

iii. Kadar albumin serum yang rendah (<3,2 

g/dL) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1. Syarat Pasien Kanker Yang Membutuhkan Ter-

api Dukungan Nutrisi  

Kaheksia dan malnutrisi dapat terjadi pada pasien 

kanker di stadium mana saja, baik pada saat baru didi-

agnosis, setelah dibedah, maupun setelah mengalami 

efek toksisitas kemoterapi. European Partnership for Ac-

tion Against Cancer (EPAAC) dan The European Socie-

ty for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN 

menyatakan bahwa pasien kanker perlu dilakukan skrin-

ing gizi untuk mendeteksi gangguan nutrisi, asupan nu-

trisi, penurunan berat badan, dan indeks makssa tubuh 

sedini mungkin sejak pasien didiagnosis kanker. Pada 

pasien yang mengalami hasil skrining abnormal, perlu 

dilakukan penilaian objektif dan kuantitatif asupan nu- 

 

 

 

86 

 

trisi, kapasitas fungsional, dan derajat inflamasi sistem-

ik. 

 

 

Diluar syarat tersebut, terapi dukungan nutrisi masih 

menunjukkan manfaat yang tidak konsisten menurut da-

ta uji klinis. Menurut ASPEN (2009), sebagian studi 

menunjukkan bahwa pemberian terapi dukungan nutrisi 

kepada pasien kanker kepala dan leher membantu mem-

perlambat penurunan berat badan, namun sebagian studi 

lainnya gagal memperlihatkan hasil serupa. Sementara 

itu, terapi dukungan nutrisi yang diberikan secara paren-

teral dapat meningkatkan risiko infeksi. Oleh karena itu- 

lah terapi dukungan nutrisi untuk pasien kanker tidak 

diberikan secara rutin, melainkan harus disesuaikan 

dengan kondisi pasien secara individual.1  

Seperti halnya kemoterapi, pemberian terapi dukungan 

nutrisi kepada pasien yang menjalani pembedahan 

terkait kanker juga tidak dianjurkan secara rutin. Na-

mun, pemberian terapi dukungan nutrisi secara individ-

ual masih dapat disesuaikan, khususnya pada pasien-

pasien yang mengalami malnutrisi sedang dan berat. 

Waktu terbaik untuk memberikan terapi dukungan nutri-

si adalah mulai dari 7-14 hari sebelum pembedahan dil-

akukan, dan dapat dilanjutkan sampai setidaknya 7 hari 

setelah pembedahan selesai.,  

Terapi dukungan nutrisi paliatif kepada pasien kanker 

stadium akhir juga masih menjadi kontroversi. Terapi 

paliatif secara umum ditujukan untuk mempertahankan 

kualitas hidup pasien. Namun sayangnya nutrisi paren-

teral dapat memperburuk kualitas hidup pasien, khu-

susnya yang kondisi umumnya sudah kurang baik. Mes-

kipun demikian, tetap masih ada sejumlah pasien yang 

dapat hidup lebih lama dengan bantuan nutrisi parenteral 

ini. Kriteria pasien yang diharapkan dapat hidup lebih 

lama dengan bantuan nutrisi parenteral yaitu:1 

 

 

87 

1. Performance status baik (skor Karnofsky di atas 

50) 

 

2. Pasien yang mengalami obstruksi usus inoper-

abel 

 

3. Pasien yang gejala keterlibatan sel kanker pada 

sistem saraf pusat, hati, dan parunya relatif min-

imal 

 

4. Pasien dengan gejala nyeri relatif minimal 

 

 

DUKUNGAN TERAPI PADA PASIEN KANKER  

Pasien kaheksia kanker memerlukan multimodalitas ter-

api. Selain terapi pembedahan, kemoterapi, dan terapi 

radiasi, beberapa hal dapat memberikan manfaat bagi 

pasien kanker, utamanya untuk mencegah kondisi ka-

heksia refrakter, yaitu: 

 

A. FARMAKOTERAPI 

 

1.Progestin 

 

Dua jenis progestin dapat bermanfaat dalam mengurangi 

kaheksia pada pasien kanker, yaitu megesterol asetat(MA) 

 

 

88 

 

dan medroksiprogesteron asetat (MPA). Menurut studi 

meta-analisis MA bermanfaat dalam meningkatkan selera 

makan dan meningkatkan berat badan pada kanker kahek-

sia, namun tidak memberikan efek dalam peningkatan 

massa otot dan kualitas hidup penderita.,Dosis optimal 

penggunaan MA adalah sebesar 480–800 mg/hari. 

Penggunaan dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan 

bertahap apabila selama dua minggu tidak memberikan 

efek optimal. Efek samping penggunaan MA dan MPA ada-

lah tromboemboli, hiperglikemia, hipertensi, impotensi, 

vaginal spotting, edema perifer, alopesia, dan insufisiensi 

adrenal.9 

 

 

2. Kortikosteroid 

 

Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling 

banyak digunakan. Berbagai penelitian menunjukkan 

bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien kaheksia 

dapat meningkatkan selera makan dan kualitas hidup 

pasien. Pada pasien kanker terminal, kortikosteroid 

diberikan sebagai terapi paliatif untuk memberi rasa  

“lebih segar” yang tidak berefek menurunkan tingkat 

mortalitas. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang 

 

dapat menimbulkan berbagai efek samping, sehingga 

sebaiknya pemberian kortikosteroid tidak lebih dari dua 

minggu dan hanya untuk pasien kanker preterminal.,, 

 

3. Siproheptadin 

 

Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT, yang 

dapat memperbaiki selera makan dan meningkatkan be-

rat badan pasien dengan tumor karsinoid. Efek samping 

yang sering timbul adalah mengantuk dan pusing. 

Umumnya digunakan pada pasien anak dengan kaheksia 

kanker, dan tidak direkomendasikan pada pasien de-

wasa.10 

1.  Moisturising spray/moisturizing gel 

 

Formula untuk membantu keseimbangan cairan oral dan 

memberikan sensasi basah pada mukosa mulut. 

 

2.  Chlorhexidine 0,2% 

 

Obat kumur yang dapat digunakan untuk mengurangi 

rasa nyeri pada mulut 

 

3.  Antiemetik 

 

 

 

89 

 

Obat ini digunakan sebagai anti mual dan muntah pada 

pasien kanker, tergantung sediaan yang digunakan, 

misalnya golongan antagonis reseptor serotonin (5HT3), 

antihistamin, kortikosteroid, antagonis reseptor neuro-

kinin-1 (NK1), antagonis reseptor dopamin, dan benzo-

diazepin. 

 

4.  Vitamin B, D, K, asam folat, dan kalsium 

 

Pasien kanker otak seringkali memerlukan obat anti 

kejang yang memiliki interaksi dengan vitamin dan 

mineral, yaitu vitamin D, K, asam folat, dan kalsium, 

yang dapat menyebabkan gangguan mineralisasi tulang 

dan osteoporosis serta gangguan profil lipid. Pasien 

harus mendapatkan suplementasi vitamin dan mineral 

tersebut, misalnya pada pasien yang mendapat fenitoin, 

disarankan pemberian asam folat sebesar 1 mg/hari. 

Perlu diperhatikan bahwa kalsium dapat menurunkan 

bioavailabilitas fenitoin, sehingga suplementasi harus 

diberikan dua jam sebelum atau setelah pemberian 

fenitoin. 

 

A. NUTRISI 

Kebutuhan energi:  

Pasien ambulatori : 30-35 kkal/kg BB 

Pasien bed ridden : 20-25 kkal/kg BB  

Pasien obesitas: menggunakan berat badan 

aktual Kebutuhan protein: 1.2-2 g/kgBB/perhari 

Kebutuhan lemak: 25-30% dari kalori total  

Kebutuhan karbohidrat: Sisa dari perhitungan protein 

dan lemak 

 

JALUR PEMBERIAN NUTRISI14 

Pilihan pertama pemberian nutrisi melalui jalur oral. 

Pemberian nutrisi oral merupakan pilihan pertama 

setelah pembedahan. Apabila asupan belum adekuat 

dapat diberikan oral nutritional supplementation hingga 

asupan optimal. 

 

Bila 10-14 hari asupan kurang dari 60% dari kebutuhan, 

maka indikasi pemberian enteral. Pemberial enteral 

jangka pendek(<4-6 minggu) dapat menggunakan pipa 

nasogastrik (NGT). Pemberian enteral jangka panjang 

(>4-6 minggu) menggunakan percutaneus endoscopic 

gastrostomy (PEG). Penggunaan pipa nasogastrik tidak 

memberikan efek terhadap respons tumor maupun efek 

 

 

90 

 

negatif berkaitan dengan kemoterapi. Pemasangan pipa 

nasogastrik tidak harus dilakukan rutin, kecuali apabila 

ada   ancaman ileus atau asupan nutrisi yang tidak 

adekuat. 

 

Nutrisi parenteral digunakan apabila nutrisi oral dan en-

teral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, atau bila 

saluran cerna tidak berfungsi normal misalnya perdara-

han masif saluran cerna, diare berat, obstruksi usus total 

atau mekanik, malabsorbsi berat. 

 

Pemberian edukasi nutrisi dapat meningkatkan kualitas 

hidup dan memperlambat toksisitas radiasi pada pasien 

kanker kolorektal dibandingkan pemberian diet biasa 

dengan atau tanpa suplemen nutrisi. 

 

NUTRIEN SPESIFIK  

1. Branched-chain amino acids (BCAA)  

BCAA merupakan kumpulan tiga asam amino esensial 

yang memiliki struktur berupa rantai cabang; yaitu leu-

sin, isoleusin, dan valin. BCAA merupakan regulator 

sintesis dan degradasi protein, sekaligus merupakan 

prekursor sumber energi kunci untuk jaringan otot, 

 

dengan berperan sebagai prekursor sintesis glutamin dan 

alanin. Oksidasi BCAA merupakan proses yang penting 

untuk menyediakan energi bagi otot, dan berfungsi se-

bagai mekanisme kompensasi atas konsumsi energi yang 

tinggi untuk mengimbangi imbang protein yang negatif 

akibat proses inflamasi kronis akibat kanker. Da-lam 

keadaan normal oksidasi BCAA memberikan 6-7% 

energi bagi otot, namun pada kondisi katabolik berat 

suplai energi ini dapat mencapai 20%. Oleh karena itu, 

penyediaan BCAA yang cukup sangat penting untuk 

pasien kanker.  

BCAA juga sudah pernah diteliti manfaatnya untuk 

memperbaiki nafsu makan pada pasien kanker yang 

mengalami anoreksia, lewat sebuah penelitian acak 

berskala kecil dari Cangiano (1996).  

Bahan makanan sumber BCAA yaitu putih telur, protein 

hewani, kacang kedelai. 

 

2. Omega-3 fatty acids (asam lemak omega-3)  

Asam lemak omega-3 dapat mendorong produksi pros-

taglandin PGE3 dan leukotriene LTE5, sehingga kondisi 

imunitas pasien membaik dan respons inflamasi akan 

berkurang. Asam lemak omega-3 juga menurunkan 

 

 

91 

produksi PGE3 dan LTE4. Secara keseluruhan, efek 

asam lemak omega-3 adalah menurunkan jumlah sitokin 

proinflamasi pada pasien kanker yang mengalami ka-

heksia. Efek ini tetap ada pada saat asam lemak omega-3 

dikombinasikan dengan obat penghambat cyclooxygen-

ase (COX)-2. Suplementasi asam lemak omega-3 secara 

enteral terbukti mampu mempertahankan berat badan 

dan memperlambat kecepatan penurunan berat badan, 

meskipun tidak menambah berat badan pasien. Konsum-

si harian asam lemak omega-3 yang dianjurkan untuk 

pasien kanker adalah setara dengan 2 gram asam eikosa-

pentaenoat (eicosapentaenoic acid, EPA).1,17 

 

Bahan makanan sumber Omega-3 fatty acids yaitu 

minyak dari ikan laut dan suplemen yang mengandung 

Omega-3. 

 

 

3. Arginin, glutamin, dan asam nukleat  

Makanan formula khusus yang mengandung arginin, 

RNA (ribonucleic acid, asam ribonukleat), dan asam 

lemak omega-3 telah terbukti dapat memperbaiki daya 

tahan tubuh dan prognosis dari pasien kanker., Mes-

kipun demikian, penelitian yang membuktikan hal terse-

but tidak dimaksudkan untuk menilai seberapa besar 

perbaikan yang dihasilkan; melainkan lebih ditujukan 

untuk menentukan kapan waktu yang paling baik untuk 

memulai terapi nutrisi enteral yang dimaksud.1  

Menurut panduan ASPEN 2009, the U.S. Summit on 

Immune-Enhancing Enteral Therapy telah membuat 

suatu rekomendasi terkait dengan penggunaan makanan 

formula khusus yang mengandung arginin, glutamin, 

RNA, dan kombinasinya dengan asam lemak omega-3 

untuk pasien yang menjalani pembedahan. Jika pasien 

sudah mengalami malnutrisi sebelum menjalani pem-

bedahan pada kepala dan leher, maka suplementasi nu-

trisi yang diberikan 5-7 hari sebelum pembedahan dapat 

memberikan manfaat.Sedangkan untuk suplemen yang 

diberikan secara tunggal, penelitian terhadap pemberian 

suplemen arginintunggal atau glutamintunggal masih 

terbatas, sehingga belum dapat dibuat rekomendasi un-

tuk suplemen tersebut.20,  

Bahan makanan sumber Arginin yaitu kacang– 

kacangan. 

 

 

4. Fructooligosaccharide (FOS) dan probiotik  

FOS merupakan suatu prebiotik yang merupakan bahan 

 

 

 

92 

makanan untuk probiotik (bakteri flora normal usus). 

Beberapa penelitian in vitro dan penelitian pada hewan 

membuktikan bahwa sejumlah mikroorganisme dari 

bakteri flora normal usus dapat memengaruhi karsino-

genesis (bersifat protektif bagi tubuh pejamu terhadap 

aktivitas zat-zat karsinogenik). Mekanisme bagaimana 

efek ini dapat timbul masih dalam tahap hipotesis. 

Diduga bahwa efek protektif ini terjadi lewat inhibisi 

bakteri secara langsung, ataupun karena bakteri tertentu 

dapat menginaktivasi sejumlah zat karsinogen. Namun 

efek ini belum terbukti secara klinis. 

 

 

 

Bahan makanan yang mengandung FOS dan 

probiotik yaitu yogurt. 

 

ANJURAN ASUPAN GIZI UNTUK PASIEN KANKER  

Menurut European Society for Parenteral and Enteral 

 

 

93 

Nutrition, berikut adalah anjuran asupan gizi untuk 

 

 

 

96 

kanker




Penyakit kanker ditandai dengan kelainan siklus sel, dimana sel-sel tubuh 
tumbuh tidak terkendali (pembelahan
sel melebihi batas normal) dan menyerang jaringan sehat di dekatnya. Sel-sel kanker yang aktif membelah peka terhadap
paparan radiasi, sehingga penyakit kanker dapat diterapi menggunakan radiasi dosis tinggi yang biasa disebut dengan
radioterapi. Radiasi dosis tinggi bersifat merusak jaringan, oleh karena itu radioterapi harus direncanakan dengan
cermat. Dosis pada sel-sel kanker harus tepat dan organ-organ berbahaya (organ at risk) tidak boleh mendapat dosis
yang tinggi. Contouring merupakan proses penentuan volume kanker dan organ lain yang berisiko. Penelitian tentang
contouring dilakukan dengan mengembangkan tahap demi tahap algoritma yang mampu melokalisasi area yang dideteksi
sebagai kanker dan juga batas tepi kanker, sehingga secara visual dapat dikenali karakteristik dan bentuk kanker.
Segmentasi citra metode active contour digunakan untuk memisahkan dan mengenali sel-sel kanker dengan sel-sel sehat.
Active contour mampu mengenali batas-batas tepi secara otomatis, sehingga dapat diketahui batas antara sel-sel kanker
dengan sel-sel sehat. Penentuan volume dan visualisasi kanker dilakukan dengan mensegmentasi tiap potongan citra,
selanjutnya tiap potongan citra dilakukan proses rekonstruksi hingga mendapatkan visualisasi volume kanker dan organ
berbahaya secara tiga dimensi. Hasil penelitian menunjukan bahwa metode segmentasi active contour dapat melakukan
segmentasi untuk citra dengan objek multi region, objek yang saling berdekatan namun sensitif terhadap citra berderau.Kanker merupakan salah satu penyebab
kematian utama dunia dan terhitung sekitar 7,6
juta (13%) angka kematian di tahun 2008. Di
Amerika Serikat dan beberapa negara berkembang
lainnya, kanker bertanggung jawab untuk sekitar
25% dari seluruh kematian. Dalam setahun, sekitar
0,5% dari populasi terdiagnosa kanker. Di
Indonesia, kanker menjadi penyumbang kematian
ketiga terbesar setelah penyakit jantung. Penyebab
utama kanker di negara Indonesia adalah pola
hidup yang tidak sehat, seperti kurang olahraga,
merokok, dan pola makan yang tak sehat [1]. Deteksi tepi (edge detection) pada suatu
citra merupakan suatu proses yang
menghasilkan tepi-tepi dari objek-objek citra,
tujuan dari deteksi tepi yaitu untuk menandai
bagian yang menjadi detail citra dan atau untuk
memperbaiki detail dari citra yang kabur, yang
terjadi karena error atau adanya efek dariproses akuisisi citra. Suatu titik (x,y) dikatakan
sebagai tepi (edge) dari suatu citra bila titik
tersebut mempunyai perbedaan yang tinggi
dengan tetangganya [2]. Metode segmentasi active
contour merupakan jenis deteksi tepi namun
berbeda dengan deteksi tepi pada umumnya.
Perbedaan tersebut diantaranya karakteristik dari
active contour yang dapat melebar atau
menyempit, selain itu active contour mampu
mensegmentasi daerah sesuai yang telah
dilokalisasi. Segmentasi citra merupakan proses
membagi suatu citra menjadi wilayah wilayah
yang homogen berdasarkan kriteria keserupaan
tertentu antara tingkat keabuan suatu piksel
dengan tingkat keabuan piksel-piksel tetangganya
[3]. Metode segmentasi active contour dapat
diaplikasikan untuk segmentasi kanker pada citra
medis, proses penentuan volume kanker dan organ
lain yang berisiko, dinamakan proses contouring. Penelitian tentang contouring dilakukan dengan
mengembangkan tahap demi tahap algoritma yang
mampu melokalisasi area yang dideteksi sebagai
kanker payudara dan juga batas tepi payudara
sehingga secara visual dapat dikenali karakteristik
bentuk kanker payudara [4]. Kemudian penelitian
tentang contouring kanker dilanjutkan dengan
melakukan deteksi tepi citra pada CT scan untuk
membedakan bagian otak yang normal dan
abnormal [5]. Sedangkan pengembangan
segmentasi citra secara otomatis menggunakan
metode DRLSE [6]. Kanker merupakan penyakit yang ditandai
dengan kelainan siklus sel, dimana sel memiliki
kemampuan tumbuh tidak terkendali (pembelahan
sel melebihi batas normal) menyerang jaringan
biologis di dekatnya, bermigrasi ke jaringan tubuh
yang lain melalui sirkulasi darah atau sistem
limfatik (metastasis). Peningkatan jumlah sel tak
normal umumnya membentuk benjolan yang
disebut tumor ganas atau kanker. Tidak semua
tumor bersifat kanker. Tumor yang bersifat kanker
disebut tumor ganas, sedangkan yang bukan
kanker disebut tumor jinak. Tumor jinak
berbentuk gumpalan yang terbungkus dalam suatu
wadah yang menyerupai kantong, sel tumor jinak
tidak menyebar ke bagian lain pada tubuh
penderita [7]. Sel-sel kanker yang aktif membelah peka
terhadap paparan radiasi, sehingga penyakit
kanker dapat diterapi menggunakan radiasi
dosis tinggi yang biasa disebut dengan
radioterapi. Radiasi pengion akan merusak sel- sel kanker sehingga proses multiplikasi ataupun
pembelahan sel-sel kanker akan terhambat [8]. Radiasi dosis tinggi bersifat merusak jaringan,
oleh karena itu radioterapi harus direncanakan
dengan cermat. Dosis pada sel-sel kanker harus
tepat dan organ-organ berbahaya (organ at risk)
tidak boleh mendapat dosis yang tinggi.
Pelaksanaan perlakuan radiasi untuk sel kanker
harus tepat dan tidak mengenai jaringan sehat,
untuk perencanaan radioterapi membutuhkan
perlakuan khusus yang disebut dengan
Treatment Planning System (TPS) [9]. Proses TPS diawali dengan mendapatkan
citra pasien dengan proses imaging, selanjutnya, citra medis dari pasien dilakukan
penentuan volume kanker dan volume organ
tubuh yang mungkin terpapar radiasi. Target
volume dalam radioterapi ada beberapa jenis,
yaitu Gross Tumour Volume (GTV), Clinical
Target Volume (CTV), Internal Target Volume
(ITV) dan Planning Target Volume (PTV). Hal
ini dilakukan untuk memperoleh hasil terapi
yang optimal dan distribusi dosis yang merata
[10]. Penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya merupakan pembuatan kontur citra
untuk 2D dan 3D secara manual. Padahal
volume kanker dapat dipastikan berupa 3D dan
memiliki sebaran yang tidak merata [11]. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan
untuk menentukan volume kanker dengan
merepresentasikan lokasi dan bentuk kanker
secara 3D baik untuk GTV, CTV, PTV dan
organ at risk dengan menggunakan metode
segmentasi active contour, sehingga hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif
penentuan target volume yang akan
memudahkan pelaksaan radioterapi dalammenentukan luas lapangan dan besarnya dosis
radioterapi.
LANDASAN TEORI
Kanker
Kanker terjadi saat sel-sel dalam tubuh
membelah diri secara tidak terkendali. Sel-sel
abnormal ini kemudian menyerang jaringan
terdekat, atau berpindah ke daerah yang jauh
dengan cara masuk ke dalam pembuluh darah atau
sistem limpatik [1]. Agar tubuh manusia berfungsi secara
normal, setiap organ tubuh harus memiliki
sejumlah sel tertentu. Sel-sel ini dalam sebagian
besar organ, memiliki usia yang pendek, dan untuk
menjaga fungsi tubuh, sel-sel ini harus digantikan
melalui proses pembelahan sel. Pembelahan sel
dikendalikan oleh gen yang terletak pada inti sel.
Gen berfungsi seperti buku instruksi yang
memerintahkan sel, protein apa yang harus dibuat,
bagaimana cara sel membelah dan berapa lama
usia mereka. Kode genetik ini bisa rusak akibat
beberapa faktor yang kemudian menimbulkan
cacat dalam buku instruksi tersebut. Cacat ini
dapat secara dramatis mengubah fungsi sel.
Bukannya berhenti, namun bisa saja sel terus
menerus membelah diri, bukannya mati, sel
tersebut bisa saja terus bertahan hidup [1]. Jenis Volume
Definisi Volume merupakan prasyarat untuk
rencana perawatan secara 3-D untuk memperoleh
dosis yang akurat. ICRU Report No 50 dan 62
menjelaskan beberapa sasaran dan volume struktur
kritis yang membantu dalam proses perencanaan
pengobatan dan memberikan dasar untuk
perbandingan hasil pengobatan. Volume berikut
telah didefinisikan sebagai volume utama yang
berkaitan dengan perencanaan perawatan 3-D:
GTV, CTV, ITV dan PTV. Gambar 1
menunjukkan bagaimana volume yang berbeda
terkait satu sama lain [9].
Gambar 1. Representasi grafis volume kanker [9]. Dari Gambar 1 menjelaskan 5 jenis volume,
yaitu Gross Tumor Volume (GTV) merupakan
ukuran seberapa besar kanker terlihat atau dapat
dibuktikan luas dan lokasi pertumbuhan kanker
tersebut. Clinical Target Volume (CTV) adalah
volume jaringan yang berisi GTV yang telah
dibuktikan atau penyakit ganas mikroskopis
sub-klinis yang harus dihilangkan. Internal
Target Volume (ITV), ITV terdiri dari CTV
ditambah marjin internal, volume ITV dapat
bervariasi karena gerakan organ seperti
pernapasan dan kandung kemih. Planning
Target Volume (PTV) merupakan konsep
geometris yang didefinisikan untuk peradiasian
volume kanker yang tepat, dengan
mempertimbangkan efek bersih dari semua
variasi geometris, dalam rangka untuk
memastikan bahwa dosis yang ditentukan untuk
membunuh kanker diserap. Organ at risk atau
organ yang beresiko merupakan organ yang
memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi,
mudah mengalami kerusakan bila terpapar oleh
radiasi [9]. Representasi Kontur
Representasi kontur dapat berupa senarai
tepi (edge list) atau berupa kurva. Senarai tepi
terdiri dari himpunan terurut piksel-piksel tepi.
Representasi kontur ke dalam kurva merupakan
representasi yang kompak dan mangkus untuk
analisis citra. Misalnya, rangkaian piksel tepi
yang membentuk garis dapat direpresentasikan
hanya dengan sebuah persamaan garis lurus.
Representasi tersebut menyederhanakanperhitungan selanjutnya seperti arah dan panjang
garis [12]. Derau pada Citra
Pada saat proses akuisisi data (pengambilan
citra), ada beberapa gangguan yang dapat terjadi,
seperti kamera tidak fokus atau munculnya bintik- bintik yang bisa jadi disebabkan oleh proses
capture yang tidak sempurna. Gangguan pada
timbul pada citra dinamakan dengan derau (noise). Derau pada citra tidak hanya terjadi karena
ketidak-sempurnaan dalam proses akuisisi, tetapi
juga bisa dikarenakan oleh kotoran-kotoran yang
terjadi pada citra. Berdasarkan bentuk dan
karakteristiknya, derau pada citra dibedakan
menjadi beberapa macam yaitu gaussian, speckle
dan salt & pepper [13]. Metode Active Contour
Active contour merupakan metode segmentasi
menggunakan model kurva tertutup yang dapat
bergerak melebar ataupun menyempit. Active
contour mula-mula diperkenalkan oleh Kass, et al
dan diberi nama snakes. Active contour dapat
bergerak melebar ataupun menyempit dengan cara
meminimumkan energi citra menggunakan tenaga
eksternal, serta dipengaruhi juga oleh ciri citra
tersebut seperti garis ataupun tepi (edge), energi
yang mempengaruhi active contour
diformulasikan seperti pada persamaan 1 [3]:

di mana Eint adalah energi internal yang
dipengaruhi oleh lekuk obyek, sedangkan Eext
adalah energi eksternal yang akan menarik contour
baik melebar ataupun menyempit menuju ke
obyek yang dikehendaki.  (s) adalah sebuah
kurva dalam ruang dua dimensi yaitu
2  (s) :[0,1]   . Energi internal dituliskan
sebagai formula:

Nilai (s)serta  (s) menentukan pergerakan
kurva di mana suku pertama menyebabkan kurva
bergerak seperti membran dan suku kedua

menyebabkan kurva bergerak seperti plat yang
tipis. Sedangkan energi eksternal
diformulasikan:


di mana G adalah citra yang hendak
disegmentasi. Sistem ini terdiri dari
sekumpulan titik yang saling berhubungan dan
terkontrol oleh garis lurus, seperti tampak pada
Gambar 2.4. Active contour digambarkan
sebagai sejumlah titik terkendali yang
berurutan satu sama lain. Penentuan obyek
dalam citra melalui active contour merupakan
proses interaktif. Pengguna harus
memperkirakan initial kontur, seperti tampak
pada gambar 2, kontur yang ditentukan hampir
mendekati bentuk fitur objek, kontur akan
tertarik kearah fitur di dalam citra karena
pengaruh energi internal yang menghasilkan
citra [3]


Sensitivitas Segmentasi
Sensitivitas edge detector terhadap
derau dapat diukur dengan menggunakan
parameter error rate sebagai berikut: =
| | (4)
di mana: = jumlah piksel yang dinyatakan sebagai
edge pada citra referensi = jumlah piksel yang dinyatakan sebagai
edge pada citra noisy
Nilai P yang besar menyatakan sensitivitas
edge detector yang tinggi terhadap noise [14].




Kontur Citra
Kontur citra 2D merupakan proses lokalisasi
target volume yang menjadi bagian dari
perencanaan radioterapi, sehingga target volume
memperoleh dosis yang homogen dan organ di
sekitar target volume yang mempunyai sensitivitas
terhadap radiasi mendapatkan dosis yang serendah
mungkin.
Proses kontur citra 2D ini terdiri dari
penentuan daerah volume, yaitu Gross Tumor
Volume (GTV), C linical Target Volume (CTV),
Planning Target Volume (PTV) dan organ at risk
(OR). Beberapa proses kontur citra yaitu
menampilkan citra asli, segmentasi, menampilkan
dan visualisasi kontur secara 3D.

Kontur 2D GTV, CTV dan PTV
Proses kontur 2D dimulai dengan
segmentasi Gross Tumor Volume (GTV) pada
target volume utama dari tumor primer pada
setiap slice citra aksial. Gross Tumor Volume
(GTV) merupakan ukuran seberapa besar tumor
terlihat atau dapat dibuktikan luas dari tumor
tersebut dan lokasi pertumbuhan tumor yang
ganas. Clinical Target Volume (CTV)
merupakan volume jaringan yang berisi GTV
yang telah dibuktikan atau penyakit ganas
mikroskopis sub-klinis yang harus dihilangkan.
CTV biasanya meliputi wilayah yang
berbatasan langsung dengan GTV, yang
mungkin mengandung penyakit mikroskopis
dan daerah lain dianggap berisiko dan
memerlukan pengobatan (akar kanker pada
jaringan sehat).
Kontur PTV dimulai dengan proses
segmentasi GTV, luasan dari GTV dijadikan
inisialisasi masking untuk penentan CTV pada
tiap slice selanjutnya PTV didapat dari
inisialisasi masking menggunakan CTV (PTV=
CTV + 2 piksel) 


Gambar 4. merupakan proses contouring
pada slice enam belas. Dimulai dengan
memanggil citra pada Gambar 4.4 (a)
Menampilkan citra kanker, (b) Menampilkan
segmentasi GTV, (c) Menampilkan segmentasi
CTV dan (d) Menampilkan hasil kontur PTV.
Pada penelitian didapatkan luasan GTV


sebesar 150 piksel, CTV sebesar 241 piksel dan
PTV sebesar 345 piksel dengan resolusi spasial 2
piksel / cm.
Kontur 2D Organ at Risk
Proses pembuatan kontur organ at risk ini
sama dengan proses contouring PTV. Berikut
proses contouring pada mata (lens of eye)
ditunjukkan pada Gambar 5

Gambar 5 menjelaskan tentang proses
contouring organ at risk. Diawali dengan
memanggil citra mri, dilanjutkan dengan
mengkontur bagian organ a risk yang terletak
dekat kanker, kontur menggunakan segmentasi
metode active contour, sehingga batas objek
terpilih secara otomatis dan selanjutnya proses
menampilkan hasil kontur 2D organ at risk. Pada
posisi axial organ at risk dilakukan contouring
pada slice dua sampai slice enam (2-6), pada posisi
sagittal pada slice tujuh sampai slice tiga belas dan
slice dua puluh tiga sampai slice dua puluh
sembilan (7-13 dan 23-29), sedangkan posisi
coronal pada slice empat puluh satu sampai slice
empat puluh lima (41-45).
Organ at risk tersebut merupakan organ
yang sensitif terhadap radiasi, sehingga
memungkinkan dosis yang diterima akan lebih
berpengaruh secara signifikan apabila melebihi
batas toleransi. Oleh karena itu diperlukan
planning terhadap organ yang berbahaya terhadap
radiasi dan menimbulkan efek yang merusak organ
yang berbahaya tersebut, sehingga batas toleransi
yang diterima mata tidak boleh melebihi batas
ambang yang telah ditetapkan (10 Gy) [15]. Kontur Citra 3D
Proses kontur citra 3D diawali dengan
memanggil data kontur 2D yang disimpan,
dimana data kontur sebelumnya merupakan
hasil dari segmentasi menggunakan active
contour. Namun sebelum melakukan proses
kontur citra mri 3D pada kepala akan
ditampilkan dalam bentuk kepala manusia
secara menyeluruh, sehingga dapat ditampilkan
kontur 3D Gross Tumor Volume (GTV),
Clinical Target Volume (CTV) dan Planning
Target Volume (PTV) secara keseluruhan.
Kontur 3D GTV, CTV dan PTV
Proses pembentukan kontur 3D Planning
Target Volume (PTV) merupakan salah satu
bagian dari proses perencanaan radioterapi,
yang dilakukan untuk mengetahui data pasien,
koreksi dan set up dalam proses pengobatan
radioterapi. PTV didapat dari CTV dijumlah
dengan GTV dan faktor koreksinya (PTV =
GTV + CTV + 4 piksel). Penentuan target
volume Planning Target Volume (PTV) dapat
dilakukan dengan melihat potongan dari setiap
slice, sehingga dapat diketahui volume kanker
yang akan dilakukan pengobatan. Berikut
tampilan kontur 3D posisi axial, sagittal dan
coronal PTV ditunjukkan pada Gambar 6.Berdasarkan proses kontur 3D PTV yang
ditunjukkan pada Gambar 6, dapat diketahui lokasi
dan volume tumor serta menunjukkan hasil kontur
dan visualisasi 3D PTV yang digabung dengan
citra kepala secara keseluruhan.
Kontur 3D Organ at risk
Perencanaan kontur 3D organ at risk perlu
dilakukan agar organ yang berbahaya terhadap
radiasi dapat terlokalisasi sehingga dosis yang
diterima tetap bisa diterima serta tidak
menimbulkan gangguan ataupun kerusakan pada
organ tersebut. Organ at risk pada kanker otak
meliputi kedua mata (lens of eye) kanan dan kiri. Berikut hasil kontur 3D dari organ at risk yang
terdapat pada kanker otak pada posisi axial, sagittal dan coronal ditunjukkan pada Gambar 7.
(a)
(b) (c)
Gambar 7. Citra hasil kontur 3D organ at risk
(a) posisi axial OR, (b) posisi sagittal OR dan (c)
posisi coronal OR
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui
organ at risk yang terdapat di kepala. Hasil kontur
3D organ at risk dapat dijadikan sebagai proses
perencanaan radioterapi, sehingga organ yang
berbahaya tersebut mendapat dosis radiasi yang
tidak melebihi batas toleransi yang telah
ditetapkan. Berikut kontur citra 3D GTV, CTV,
PTV dan organ at risk ditampilkan pada Gambar
4.8.
(a) (b)
(c)
Gambar 8. Citra hasil kontur 3D CTV, GTV
PTV dan organ at risk (a) posisi axial OR, (b)
posisi sagittal OR dan (c) posisi coronal OR
Gambar 8 menunjukkan volume kanker
pada PTV dan organ at risk. Pada gambar
tersebut menunjukkan bagian organ yang harus
memperoleh dosis yang tinggi dan bagian organ
yang harus memperoleh dosis yang rendah,
sehingga dapat diketahui batas antara organ
yang harus memperoleh dosis yang tinggi yaitu
pada bagian PTV serta meminimalkan dosis
pada organ at risk. Karena volume kanker dapat
dilokalisasi dengan tepat dan organ yang
berbahaya di sekitar kanker memperoleh dosis
yang tidak melebihi batas toleransi yang telah
ditetapkan.

Metode segmentasi active contour dapat
melakukan segmentasi untuk berbagai jenis
sampel citra. Active contour mampu melakukan
segmentasi citra pada objek multi region dan
objek yang saling berdekatan namun sensitif
terhadap derau. Hasil aplikasi metode segmentasi active
contour untuk segmentasi kanker dan
visualisasi jenis volume didapatkan hasil kontur
4D empat jenis volume, yaitu organ at risk
(OR), Gross Tumor Volume (GTV), Clinical
Target Volume (CTV), Planning Target Volume
(PTV) menghasilkan keluaran berupa
rekonstruksi target volume dalam bentuk 3D
sehingga penentuan dosis radioterapi menjadi
lebih akurat.