Kedokteran ilmu bedah 3

 




kstrimitas dan 

gangguan autonom 

3. Pemeriksaan Fisik -  Lingkar kepala membesar pada bayi 

-  Papiledema  

- Parinaud Syndrome (paralisis of upgaze/convergence, retractory nystagmus, light-near 

pupillary dissociation) 

-  Pubertas dini 

-  Radikulopati dan myelopati 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. WĞmĞriksaaŶ labŽraƚŽrium͗ ƚumŽr markĞr ;A&W͕ ɴ-hCG, PLAP) 

4. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 

5. Patologi anatomi 

5. Diagnosis Kerja Penentuan diagnosa awal ditegakkan dengan imaging dan tumor marker. Diagnosa pasti 

ditegakkan dengan patologi anatomi. 

6. Diagnosis Banding Diagnosa banding tumor di regio pineal ditegakkan berdasar skema berikut: 

146 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

Pemeriksaan Radiologis: 

- MRI kepala dengan kontras. Jika dicurigai suatu neoplasma, maka dilakukan screening 

pada cervical, thoracal, dan lumbal spine untuk mencari adanya drop metastasis.  

 

Jika pada pemeriksaan radiologis mencurigai suatu germ sel tumor, maka dilakukan 

pemeriksaan tumor marker berupa: 

- WĞŶiŶŐkaƚaŶ ɴ-hCG biasanya berhubungan dengan choriocarcinoma, namun dapat juga 

muncul pada lebih dari 50% germinoma (yang lebing sering terjadi). 

- Peningkatan AFP terjadi pada tumor endodermal, embrional carcinoma dan kadang pada 

teratoma. 

- Peningkatan Placental Alkaline Phosphatase (PLAP) pada serum atau LCS terjadi pada 

germinoma intrakranial. 

8. Terapi Penatalaksanaan Tumor Pineal 

No. Terapi Keterangan GR Ref 

1 Pembedahan 

 Tujuannya mendapatkan jaringan untuk 

diagnosa PA 

 Beberapa tipe pembedahan seperti 

kraniotomi reseksi, biopsy endoscope, atau 

stereotaksis biopsi. 

 Diindikasikan untuk tumor yang : 

radioresisten, jinak, berbatas tegas 

2B 1,2 

147 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

2 Radioterapi 

 Pilihan utama untuk jenis 

germinomakarena sangat radiosensitif 

 Dapat pula diberikan untuk jenis 

malignant tumor yang lain setelah 

pembedahan 

 Jika didapatkan seeding pada spinal aksis, 

dapat dilakukan radioterapi kraniospinal 

dengan booster pada jaringan tumor 

2B 3,4 

3 Kemoterapi 

Diberikan pada anak usia kurang dari 3 tahun 

hingga anak cukup dewasa untuk toleransi 

efek radioterapi 

2C 

4 Gabungan Kemoradioterapi 2B 3, 4, 5 

Keterangan : 

GR : Grade Rekomendasi 

 

Rekomendasi teknik operasi: 

1. Midline infratentorial-supracerebellar appoach (paling sering digunakan). Keuntungan 

resiko minimal pada deep vein. Tidak bisa digunakan bila sudut tentorium terlalu curam. 

Dapat digunakan dalam posisi duduk atau concorde. 

2. Transtentorial occipital: Disarankan untuk lesi di tengah atau superior dari tepi tentorial 

atau diatas vena galen. 

3. Transventricular: untuk massa yang besar disertai dilatasi ventrikel. Biasanya melalui 

insisi kortikal pada posterior dari girus temporalis superior. Resiko: defek visual, kejang. 

4. Lateral infratentorial paramedian  

5. Transcallosal: jarang digunakan kecuali tumor ektensi ke dalam corpus callosum dan 

ventrikel tiga 

6. Infratentorial-supracerebellar paramedian. 

9. Edukasi Kebanyakan kasus terjadi gejala dan gangguan yang berhubungan dengan kenaikan tekanan 

intra kranial (TIK) akibat hidrocephalus non komunikan (ICD10 : G91.1), seperti nyeri kepala, 

mual/muntah, ataxia, vertigo, papiledema, pandangan kabur. 

10. Prognosis Prognosis bergantung pada hasil patologi anatomi. 

Prognosis baik: 

1. Pure germinoma 

2. Mature teratoma 

Prognosis sedang: 

1. 'ĞrmiŶŽma ĚĞŶŐaŶ ƉĞŶiŶŐkaƚaŶ ɴ-hCG 

2. Ekstensif/multifocal germinoma 

3. Immature terratoma 

4. Teratoma dengan transformasi malignant 

5. Tumor dengan komposisi campuran antara germinoma atau teratoma 

Prognosis jelek: 

1. Choriocarcinoma 

2. Yolk sac tumor 

3. Embrional carcinoma 

4. Tumor dengan komposisi campuran antara choriocarcinoma, yolk sac tumor, atau 

embrional tumor 


 

Algoritme Adenoma Hipofise 

ICD-10: D35.2 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

Pilihan 1 

Adenoma Hipofise 

Non-sekretori Acromegali Penyakit Cushing Prolaktinoma 

Pilihan 2 

Pilihan 4 

Pilihan 3 

Reseksi 

bedah 

Radiosurgery 

Pembedahan 

kedua 

Radiosurgery 

kedua 

Reseksi 

bedah 

Reseksi 

bedah 

Agonis 

Dopamin 

Radiosurgery Radiosurgery Reseksi 

bedah 

Octreotide 

Agonis 

Dopamin 

Ketokonazole 

Adrenalectomy 

Radiosurgery 

 151 

 

PNPK Divisi Neuropediatri 

 

1. Abses otak    ICD 10: G06.0 

2. Chiari Malformation   ICD 10: Q07.0 

3. Encephalocele     ICD 10: Q01.9 

4. Ependimoma    ICD 10: C71 

5. Hidrocephalus kongenital  ICD 10: Q03.0 

6. Infeksi pasca shunt   ICD 10: T85.7 

7. Craniopharingioma   ICD 10: D44.4 

8. Craniosinostosis   ICD 10: Q75.0 

9. Medulloblastoma   ICD 10: C71.6 

10. Spina Bifida    ICD 10: Q05 

 

   

 

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Abses Otak 

ICD-10 : G06.0 

1. Pengertian (Definisi) 

Proses supuratif fokal dalam parenkim otak yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur atau 

protozoa. 

2. Anamnesis - Gejala umum : demam, nafsu makan turun, BB turun 

- Gejala neurologis : Penurunan kesadaran, nyeri kepala,  mual, muntah, kejang 

- Sumber infeksi : riwayat trauma tembus otak, paska kraniotomi, infeksi telinga dan 

mastoid, infeksi hidung dan sinus paranasal, infeksi gigi, pneumonia. 

- Faktor predisposisi : kelainan jantung bawaan, kencing manis, pemakaian kemoterapi, 

pemakaian kortikosteroid, pemakaian implan, pemakaian antibiotik spektrum 

3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan fisik meliputi :  

 tanda vital 

 status generalis (head to toe) untuk mencari sumber infeksi 

 status neurologis : kesadaran, tanda rangsang meningeal, nn cranialis, motorik, 

sensorik, refleks fisiologis dan patologis, fungsi otonom 

4. Kriteria Diagnosis 

1. Anamnesis  

2. Pemeriksaan klinis  

3. Pemeriksaan penunjang : laboratorium dan radiologi 

 

5. DiagnosisKerja Abses otak ( ICD 10: G06.0) 

6. Diagnosis Banding 1. Tumor otak (astrositoma) 

2. Infark serebri 

3. Tuberkuloma 

4. Kista arachnoid 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No 

Pemeriksaa

Rekomendasi Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 Laboratory 

Kultur Spesimen diperoleh dari 

aspirasi dengan bantuan CT guiding 

pada Strereotaktik dan Operasi 

 

2B 1 

 153 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

2 Radiologis 

- CT Scan dengan kontras merupakan 

pemeriksaan standar untuk abses 

serebri 

- Berdasar CT Scan kontras abses 

serebri dapat dibagi 4 fase yaitu : 

Fase I : 

(early cerebritis) hari pertama sampai 

ke tiga, tampak gambaran hipoden 

batas tidak tegas dan sedikit tepi 

yang menyerap kontras. 

Fase II : 

(late cerebritis) hari ke 4 sampai ke 9 

mulai tampak cincin yang menyerap 

kontras melingkari daerah yang 

hipodens yang lebih luas. 

Fase III : 

(early capsule formation) hari ke 10 

sampai ke 13, tampak daerah 

hipoden yang dilingkari oleh cincin 

yang menyerap kontras. 

Fase IV : 

(late capsule formation) lebih dari 14 

hari, terlihat daerah hipodens 

dengan terbentuk cincin hiperden 

yang utuh dan tebal baik dengan 

maupun tanpa kontras. 

 MRI 

 Lebih sensitive pada fase early 

cerebritis 

 Lebih sensitive dalam mendeteksi 

lesi satelit 

 Lebih akurat dalam mengestimasi 

perpanjangan nekrosis sentral, 

perbesaran cincin area dan edema 

serebral 

1B 2,3,4,5 

 154 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

 Lebih baik dalam mendeteksi edema 

serebral 

 

 

8. Terapi  

 

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekomendas

Ref 

1 Operasi(01.24) 

1. Tekanan intrakranial yang 

meningkat  

2. Efek pendesakan masa yang 

signifikan pada gambaran CT Scan 

3. Abses akibat trauma, operasi atau 

terdapat benda asing 

4. Abses akibat jamur 

5. Abses yang multilokulated 

6. Tidak mampu dilakukan serial CT-

scan setiap 1 – 2 minggu 

7. Lokasi dekat ventrikel 

1B 2,3,4 

2 Medikamentosa 

Paling baik harus berdasar 

pengecatan gram dan kultur.  

1. Terapi empirik: bila belum 

diketahui kultur dan 

sensitivitasnya. Cephalosporin 

generasi III 

a. Cefotaxime 

- dewasa : 1 gram tiap 8 jam, iv 

bila sangat berat dapat 

dinaikkan 2 gram tiap 4 jam iv 

- Anak : 50 mg/kg iv setiap 6 

jam 

b. Ceftriaxone 

- Dewasa : 2 gram iv tiap 12 

jam 

- Anak : 75 mg/kg dosis inisial 

dilanjutkan 100mg/kg/hari 

dibagi setiap 12 jam 

Ditambah dengan salah satu 

dari dibawah ini : 

- Metronidazole : Dewasa

 : 30 

mg/kg/hari iv dibagi setiap 12 

jam 

                Anak :10 mg/kg iv setiap 8 jam 

atau 

- Chloramphenicol 

- Dewasa:1gr iv tiap 6 jam 

- Anak:15 – 25 mg/kg iv setiap 

6jam 

Bila paska trauma : Rifampin 9 

1B 2,3,4 

 155 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

mg/kg/hari satu dosis 

2. Terapeutik: bila telah ada hasil 

kultur, maka antibiotika 

disesuaikan dengan sensitivitasnya 

dan kemampuannya menembus 

sawar arah otak. 

3. Bila ada riwayat trauma atau 

operasi kepala diberikan tambahan 

Vancomycin (melawan MRSA) 

:Dewasa:1 gr iv setiap 12 jam 

Anak:15 mg/kg setiap 8 jam iv 

 

 

 

Medikamentosa 

tambahan 

 

1. Kortikosteroid: hanya diberikan 

bila terdapat edema yang hebat 

yang  menimbulkan deteriorasi 

neurologis. Syarat lainnya yaitu   

sensitivitas kuman telah diketahui. 

Dewasa: dexamethasone 10-12 mg 

loading dose diikuti 4 mg setiap 6 

jam iv atau PO. 

Anak: 0,5 mg/kg setiap hari dosis 

terbagi tak lebih 16 mg perhari. 

Kortokosteroid segera di tapering 

off setelah keadaan membaik. 300 

– 600 mg per hari dibagi 2 – 3 

dosis. 

2. Manitol (dosis dapat dilihat pada 

bagian Cedera kepala) 

3. Lasix 

4. Anti-konvulsan: phenytoin 300-600 

mg per hari dibagi 2-3 dosis atau 5 

– 8 mm/kg BB selama 1-2 tahun. 

2C 

 

2,3,4 

 

 

9. Edukasi a. Penyakit 

b. Sumber infeksi utama dan eradikasinya 

c. Pilihan terapi sesuai fase abses otak dan indikasi operasi 

d. Komplikasi penyakit 

e. Komplikasi tindakan operasi 

10. Prognosis Hasil luaran pada abses otak : 

 Kematian : 0-10 % 

 Cacat neurologis : 45 % 

 Kejang late focal atau general : 27 % 

 Hemiparesis : 29 % 

Prognosa buruk berhubungan dengan fungsi awal neurologis buruk, abses pecah 

intraventrikel, dan kematian 100 % pada infeksi jamur paska implan. 


 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Malformasi Chiari 

ICD-10 : Q07.0 

1. Pengertian (Definisi) Abnormalitas pada hubungan craniocervical yang melibatkan bagian caudal cerebellum, 

medulla oblongata, dan regio cervical bagian atas. Kelainan ini umumnya disertai dengan 

adanya hidrosefalus dan syringomielia dengan beberapa tingkat keparahan gejala.  

2. Anamnesis Gejala yang timbul umumnya bervariasi berdasarkan beratnya kelainan yang timbul, mulai 

dari nyeri kepala belakang, gangguan sensorik dan motorik, hingga yang terberat apneu.   

3. PemeriksaanFisik  Nystagmus horizontal/vertical 

 Spastik paralisis ekstremitas atas dan bawah 

 Gangguan sensorik terutama rasa nyeri dan suhu 

 Tanda-tanda akibat peningkatan TIK akibat hidrosefalus 

4. Kriteria Diagnosis 4. Anamnesis  

5. Pemeriksaan klinis  

6. Pemeriksaan radiologis 

5. DiagnosisKerja Arnold-Chiari syndrome (ICD 10: Q07.0) 

6. Diagnosis Banding 1. Multiple Sclerosis 

2. Fibromialgia dan chronic fatique syndrome 

3. Gangguan Psikogenik 

4. Migrain 

5. Hipertensi Intrakranial Idiopatik 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 USG 

Pada Kasus fetal ventriculomegaly, 

Malformasi Chiari dapat dilihat ketika  

dalam kandungan dengan USG 

2B 4 

2 CT Scan 

Keunggulan CT dapat meilihat 

abnormalitas dari tulang. 

2B 2 

3 MRI Kepala  

MRI kepala. Merupakan gold standard 

untuk menegakkan diagnosis  

1B 3 

 

 

8. Terapi  

 

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekomenda

si 

Ref 

1 Operasi 

8. Decompresi fossa posterior dan 

cervical bagian atas (01.24): 

untuk CM-I yang menunujukan 

1B 5 

 158 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

gejala yang jelas dari kelainan saraf 

kranialis, syringomyelia, 

myelopathy, ganguan serebelum, 

nyeri leher berat atau nyeri kepala 

bagian oksipital 

9. Shunt apabila terjadi syring dan 

hidrosefalus (02.3) 

 

 

9. Edukasi  Tindakan operasi tidak selalu memberikan perbaikan hasil, kadang justru bisa 

memperberat keluhan.  

 Komplikasi tindakan pembedahan dapat berupa: perdarahan, perembesan cairan otak, 

meningitis, pseudomeningocele dan lain-lain. 

10. Prognosis ƒ Prognosis bayi dengan Arnold-Chiari Malformation ditentukan oleh status pre-operatif dan 

progresivitas dari penurunan status neurologis.  

 Bayi dengan cardiopulmonary arrest, paralisis pita suara atau kelemahan ekstremitas atas 

pada pre-operatif memiliki tingkat mortalitas 71%.  

1

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Encephalocele 

 ICD 10: Q01.9 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Suatu kantung berisi komponen ruang intrakranial (cairan otak dan / atau jaringan otak) 

akibat herniasi melalui suatu defek tulang kranium karena kelainan kongenital 

2. Anamnesis 

Benjolan yang ada di kepala sejak lahir dan cenderung membesar. Bila menangis, mengejan 

semakin membesar, keras.  

3. Pemeriksaan Fisik  Tampak kantung ensefalokel berbungkus kulit normal, membranous ataupun kulit yang 

mengalami maserasi.  

 Pada umumnya terletak pada garis tengah 

 Konsistensi tergantung pada isi kantung, pada umumnya kistous dan kenyal. Bila isi 

kantung telah mengalami gliosis, maka konsistensinya akan lebih padat. 

 Isi kantung berhubungan dengan ruang intrakranial, sehingga dapat mengempis dan 

menegang, tergantung tekanan intrakranial. Kadang-kadang dapat terlihat pulsasi 

intrakranial. 

 Pada ensefalokel frontoethmoidal, dapat disertai deformitas tulang kraniofasial, 

penekanan bulbus okuli dengan keratitis exposure, penekanan duktus nasolakrimalis, 

obstruksi jalan nafas. 

4. Pemeriksaan 

Penunjang 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 CT Scan 

 CT scan kepala bone window untuk 

menunjukkan gambaran defek 

tulang 

 CT scan 3D rekontruksi memberikan 

gambaran  defek tulang 3 dimensi 

yang bagus untuk menentukan 

rencana tindakan  

 CT scan juga berguna untuk 

identifikasi adanya jaringan otak 

yang herniasi dan deteksi 

hidrosefalus 

2C 1,2,3 

2 MRI 

MRI terutama digunakan untuk 

membedakan  struktur yang herniasi 

dengan jaringan disekitarnya 

2C 1,2,3 

 

5. Kriteria Diagnosis 

1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas  

 160 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

3. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 

6. Diagnosis 

Pembagian Encephalocele (ICD 10: Q01) 

 Frontal encephalocele (Q01.0) 

 Nasofrontal encephalocele (Q01.1) 

 Occipital encephalocele (Q01.2) 

 Encephalocele of other sites (Q01.8) 

 Encephalocele, unspecified (Q01.9) 

7. Diagnosis Banding  Kista dermoid 

 Mucocele sinus paranasalis 

 Hemangioma 

 Fibroma 

8. Terapi  Operasi eksisi ensefalokel disertai penutupan defek tulang kranium (ICD 9 : 02.12) 

 Operasi subfrontal osteotomi pada kasus ensefalokel frontoethmoidal. (ICD 9: 76.91) 

 Operasi dikerjakan sesegera mungkin, kecuali pada kasus yang progresifitasnya lambat 

dengan isi kantung yang lebih padat, dapat ditunda hingga usia 5 – 6 bulan.  

 Bila pecah, dirujuk kurang dari 48 jam: rawat lokal, tutup steril, antibiotik. 

 

Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekomendasi 

Ref 

Operasi 

 Operasi eksisi ensefalokel disertai 

penutupan defek tulang kranium (ICD 9 : 

02.12) 

 Operasi subfrontal osteotomi pada kasus 

ensefalokel frontoethmoidal. (ICD 9: 

76.91) 

 Postoperative hydrocephalus should be 

managed through ventriculoperitoneal 

(VP) shunts as one or two-stage 

procedures 

2B 4,5,6 

 

9. Edukasi  Komplikasi pasca operasi :  

o Hidrosefalus 

o Pseudotumor cerebri 

o Leakage LCS 

10. Prognosis 

Encephalocele anterior mempunyai prognosis lebih baik daripada encephalocele posterior 

11. Indikator Medis  Perbaikan dari deformitas 

 Tidak ada kebocoran cairan LCS 


PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Ependimoma  

(ICD 10 : C71) 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Tumor yang berasal dari sel ependim yang melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis medulla 

spinalis. Dapat menyebar melalui cairan serebrospinalis sepanjang neuroaksis (seeding dan 

drop mets) Paling banyak terjadi pada dasar ventrikel IV, menyebabkan hidrosefalus 

(peningkatan TIK) dan parese saraf kranial VI dan VII 

 

2. Anamnesis Umumnya  berupa gejala yang berhubungan dengan massa di fossa posterior yang 

menyebabkan peningkatan Tekanan intrakranial dan penekanan pada saraf kranialis. Gejala 

peningkatan TIK bisa berupa : nyeri kepala, mual muntah, ataxia/vertigo,kejang, dan perubahan 

kondisi mental. 

3. Pemeriksaan 

Fisik 

Gejala umum dapat berupa : 

 Nyeri kepala 

 Muntah  

 Drowsiness (mengantuk) 

 Gangguan penglihatan  

 Perubahan kepribadian 

 

Gejala Fokal dapat berupa : 

 Kejang 

 Hemiparesis 

 Parestesia 

 Perubahan kognitif 

 Gangguan koordinasi 

 Diplopia 

 Gangguan menelan 

 

4. Kriteria 

Diagnosis 

 

1. Anamnesis  

2. Pemeriksaan klinis  

3. Pemeriksaan laboratorium  

4. Patologi anatomi  

5. Diagnosis Ependimoma  (ICD.10 : C71) 

 Klasifikasi patologi ependimoma menurut WHO 

 WHO grade 1: Myxopapillary ependimoma, Subependimoma 

 WHO grade 2: varian: Cellular, pappilary, clear cell, tanycytic 

 WHO grade 3: Anaplastic ependimoma 

6. Diagnosis 

Banding 

- Arteriovenous Malformations 

- Astrocytoma 

- Choroid Plexus Papilloma 

- Glioblastoma Multiforme 

- Tumors of the Conus and Cauda Equina 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

PEMERIKSAAN PENUNJANG 

Pemeriksaan Rekomendasi 

Derajat 

Rekomendasi 

Ref 

 163 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

MRI 

Pencitraan yang paling dipilih dilakukan 

sepanjang neuroaksis untuk mendeteksi 

kemungkinan penyebaran tumor  

1C 1, 2, 3 

CT Scan 

Dapat dilakukan untuk pemeriksaan tumor di 

supratentorial namun kurang detail untuk 

evaluasi fossa posterior 

2B 1, 2, 3 

Myelografi 

Dengan kontras yang larut air, sama 

sensitifnya dengan MRI gadolinium dalam 

mĞŶĚĞƚĞksi ͞drop mets  ͟

1C 1, 2, 3 

LCS Pemeriksaan sitologi cairan serebrospinal 2B 4 

 

8. Terapi Rekomendasi Keterangan 

Derajat 

Rekomendasi 

Ref 

Pembedahan 

(ICD 9 CM: 01.53) 

Semua pasien dengan ependymoma di 

otak, direkomendasikan dilakukan reseksi 

total dibanding biopsi atau reseksi subtotal 

apabila dinilai tanpa morbiditas yang 

berlebihan. Studi observasional 

mengindikasikan bahwa reseksi total 

berhubungan dengan perbaikan survival 

dibanding reseksi yang lebih sedikit. 

1C 

5, 6, 

7, 8, 

9, 10, 

11 

Radioterapi (ICD 

9 CM: V58.0) 

Pasien yang berusia lebih dari 3 tahun 

direkomendasikan mendapat radioterapi 

adjuvant setelah reseksi total daripada 

observasi bila terjadi relaps. Observasi 

setelah pembedahan dapat menjadi 

alternatif untuk pasien dengan 

ependymoma supratentorial non-

anaplastik yang menjalani reseksi total 

dengan margin insisi lebar. 

1C 11, 12 

Kemoterapi (ICD 

9 CM: V58.11) 

Anak-anak dengan usia.kurang dari 1 

sampai 3 tahun yang menjalani reseksi total 

ependymoma, kami merekomendasikan 

radioterapi adjuvant tiga dimensi 

konfirmasi setelah pembedahan. 

Kemoterapi dapat menjadi alternatif 

radioterapi setelah pembedahan untuk 

menghindari komplikasi neurologis dari 

terapi radiasi, namun hal ini hanya 

dilakukan dalam konteks uji klinis formal. 

2C 

13, 

14, 

15, 

16, 

17, 18 

 

9. Edukasi 

Observasi ketat dan follow up jangka panjang direkomendasikan untuk semua pasien dengan 

ependimoma, karena adanya efek radioterapi dan metastase pada pasien yang bertahan hidup 

dalam jangka waktu yang lama.  

Dapat terjadi komplikasi, adanya defisit  neurologis yang berhubungan dengan lokasi tumor 

10. Prognosis 

Prognosis lebih buruk pada anaplastik ependymoma WHO grade III daripada WHO grade II 

Resiko rekurensi lebih besar pada reseksi subtotal.  

Reseksi total diikuti Radioterapi  kraniospinal mencapai 41 % 5 year survival rate 

11. Indikator Medis Tujuan operasi yaitu   eksisi total dimana pada pemeriksaan imaging pasca operasi tidak 

ditemukan sisa  tumor dan tidak didapatkan defisit neurologis pada pasien. 

12.  

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Hidrosefalus Kongenital 

ICD-10 : Q03.0 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Penumpukan aktif cairan serebrospinal dalam ventrikel otak 

2. Anamnesis 

A. Pada bayi usia 2 tahun dengan sutura yang terbuka: 

- kepala membesar dengan disproporsi kraniofasial 

B. Pada anak-anak dan usia dewasa dengan sutura yang sudah menutup: 

- sakit kepala, mual/muntah, kejang, hiperrefleksi, penurunan visus, gangguan    

perkembangan fisik dan mental, penurunan kesadaran, dementia, ataxia, dan 

inkontinensia urin 

3. Pemeriksaan 

Fisik 

A. Pada bayi usia 2 tahun dengan sutura yang terbuka:  

- Sutura melebar 

- Ubun-ubun besar cembung dan melebar 

- Bola mata: sunset phenomenon (+), nistagmus horizontal 

- Perkusi kepala: tanda pot retak 

- Transiluminasi: penyebaran cahaya di regio frontal 2,5 cm, regio oksipital 1 cm 

- Lingkar kepala: > 2 SD batas normal 

B. Pada anak-anak dan usia dewasa dengan sutura yang sudah menutup: 

- Upgaze Palsy dan/atau Abdusen Palsy 

- Gangguan gaya berjalan 

- Funduskopi: papil edema/papil atrofi 

4. Pemeriksaan 

penunjang 

a. Radiologis: 

- Foto polos kepala: tulang tipis, sutura dan fontanella melebar, disproporsi 

kraniofasial, impresio digitati dan pelebaran sella tursica 

- USG kepala (dengan syarat sutura atau fontanela masih terbuka): pelebaran 

ventrikel dan penipisan mantel otak 

- CT scan kepala (gold standard). Keuntungan CT scan yaitu   gambaran yang 

diperoleh lebih jelas, non traumatik, kemungkinan etiologi dapat dilihat, prediksi 

prognosa penderita. 

- MRI kepala. Hasil lebih bagus dari CT scan terutama pada kasus hidrosefalus dengan 

penyebab tumor otak, tetapi biaya lebih mahal dan kadang-kadang diperlukan 

tindakan pembiusan. 

 167 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

b. Laboratoris:  

- pemeriksaan cairan serebrospinal dengan cara aseptik melalui punksi ventrikel, 

fontanela mayor ataupun chamber selang. Tujuannya yaitu   menghitung jumlah sel 

PMN, eritrosit, kultur kuman dan uji kepekaan antibiotika. 

- TORCH: untuk mencari penyebab hidrosefalus kongenital 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 CT Scan 

 CT scan kepala (gold standard). 

gambaran yang diperoleh lebih jelas, 

non traumatik, kemungkinan etiologi 

dapat dilihat, prediksi prognosa 

penderita. 

2B 2,3,7 

2 MRI 

 MRI digunakan terutama pada kasus 

hidrosefalus obstruktif  

2B 2,3,7 

3. TORCH 

 Pemeriksaan TORCH terutama untuk 

skrinning penyebab hidrosefalus 

kongenital 

2C 

2,3,7,

 

 

5. Kriteria 

Diagnosis 

1.  Anamnesis  

2. Pemeriksaan klinis  

3. Pemeriksaan imaging (radiologis) 

 

6. Diagnosis 

Pembagian Hidrocephalus Kongenital (ICD 10: Q03.0) 

 Malformations of aqueduct of Sylvius (Q03.0) 

 Atresia of foramina of Magendie and Luschka: Dandy-Walker syndrome (Q03.1) 

 Other congenital hydrocephalus (Q03.8) 

 Congenital hydrocephalus, unspecified (Q03.9) 

7. Diagnosis 

Banding 

1. Makrosefali familial 

2. Proses intrakranial: 

- subarakhnoid: kista 

- subdural: higroma, emfiema, hematoma kronis 

- intraserebral: abses, tumor 

8. Terapi 

Prinsipnya yaitu   mengalirkan cairan serebrospinal dengan mempertahankan tekanan otak 

dalam batas tertentu dan menghilangkan penyebab hidrosefalus.  

a. Kasus non infeksi :  

Drain ventrikulo peritoneal atau ventrikulo atrial.  

Kontraindikasi : infeksi cairan serebrospinal, infeksi kulit daerah operasi, kelainan 

jantung bawaan atau endokarditis bakterial pada pemasangan drain ventrikulo atrial. 

b. Kasus infeksi :  

 168 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

   - Drainase ventrikel eksternal. 

- Omaya drain 

 

Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekomendasi 

Ref 

Operasi 

ETV merupakan pilihan utama pada kasus 

hidrosefalus obstruktif. (ICD 9: 02.2) 

 

Shunting merupakan pilihan pembedahan 

efektif kasus hidrosefalus obstruktif atau 

komunikan. (ICD 9: 02.34) 

2B 1,4,5,6 

Medikamentosa 

Terapi medikamentosa meliputi :  

3. Diuretik 

4. Fibrinolisis 

5. Serial lumbal punksi 

Terapi ini tidak direkomendasikan pada bayi 

prematur dengan Posthemorrhagic 

Hydrocephalus (PHH) 

 

2B 8,9 

 

 

9. Edukasi 1. Penyakit 

2. Pilihan terapi sesuai fase abses otak dan indikasi operasi 

3. Komplikasi penyakit : gangguan tumbuh kembang 

4. Komplikasi tindakan operasi 

10. Prognosis 

Prognosis hidrosefalus tergantung dari beberapa faktor : 

1. Tingkat berat ringan hidrosefalus 

2. Usia terdiagnosis  

3. Waktu mulai penanganan 

11. Indikator 

Medis 

Indikator kesembuhan:  

 Klinis  

 Radiologis : MRI/ CT kepala kontrol 

1

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Infeksi Pasca Pemasangan Shunt 

 ICD 10: T.85.7 

1. Pengertian (Definisi) Infeksi yang terjadi setelah pemasangan shunt cairan serebrospinal baik yang terjadi 

hanya pada kulit (externa) maupun mengakibatkan infeksi pada cairan serebrospinal 

(internal) 

2. Anamnesis 

Gejala yang timbul pada infeksi pasca pemasangan shunt, dapat berupa : 

- Demam  

- Letargi 

- Iritabilitas 

- Tanda inflamasi (kemerahan,panas,bengkak,nyeri) pada shunt track 

3. Pemeriksaan Fisik 

- Episode apnea 

- Kaku kuduk (pada anak-anak) 

- Akut abdomen  

- Pemeriksaan fungsi shunt  

- Status lokalis pada shunt track, didapatkan tanda-tanda inflamasi sepanjang jalur shunt 

4. Kriteria Diagnosis 

5. Anamnesis sesuai diatas 

6. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

7. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, LCS 

8. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 

5. Diagnosis 

Infection and inflammatory reaction due to other internal prosthetic devices, implants 

and grafts (ICD 10: T85.7)  

6. Diagnosis 

Banding 

Diagnosa banding Infeksi Pemasangan Shunt meliputi: 

- Malfungsi shunt 

- Septisemia 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

No Pemeriksaan Rekomendasi 

Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 Cek darah 

- Leukositosis   

- Laju endap darah meningkat 

- Kultur darah  

- C-reactive protein (CRP) 

2A 10 

Cairan LCS 

dari shunt 

tap 

- Pengecatan gram 

- Pemeriksaan jumlah sel, kadar 

glukosa dan protein 

- Kultur dan sensitivitas antibiotika 

1B 10 

3 Imaging 

CT Scan kepala 1C 1 

USG Abdomen atau CT scan abdomen 

bila dicurigai terdapat kiste atau proses 

supuratif 

2A 2 

 

 171 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

8. Terapi No Terapi Rekomendasi 

Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 Pembedahan 

 Aff shunt (ICD 9CM 02.43) 1B 3,4,5 

 EVD (ICD 9CM 01.26) 1C 3,4,5 

 Pemasangan shunt ulang bila LCS 

telah steril (ICD 9CM 02.34) 

1C 3,4,5 

Pemberian 

antibiotika 

intravena 

 Pada kasus dewasa, dapat 

diberikan:  

 Vancomycin (15 - 20 mg/kg iv 

tiap 8 - 12 jam maks 2 g per 

dose) 

 Ceftazidime 2 g IV tiap 8 jam 

 Cefepime 2 g IV tiap 8 jam 

 Meropenem 2 g IV tiap 8 jam 

 

 Pada kasus anak dapat diberikan 

terapi empiris: 

 vancomycin (15 mg/kg 

IV/pemberian tiap 6 jam, 

maks 1 g per dosis) 

 cefotaxime (200 mg/kg IV per 

hari dibagi dalam 4 

pemberian, maximum 12 

g/hari) 

 meropenem (40 mg/kg 

IV/pemberian tiap 8 jam; 

maximum 2 gr/dosis atau 6 

gram/hari) 

1C 6,7,8 

Pemberian 

antibiotika 

intraventrikel 

Pilihan terapi yang dapat diberikan 

antara lain: 

 Vancomycin (5 – 20 mg/hari) 

 Gentamysin (1 – 2 mg/hari pada 

anak, 4 – 8 mg/hari pada 

dewasa) 

 Tobramycin (5 – 20 mg/hari) 

 Amikacyn (5 – 50 mg/hari) 

 Colistin 3.75 mg colistin base 

activity sekali sehari atau dibagi 

dalam 2 dosis tiap 12 jam 

 Amphotericin B (0,1 – 1 

mg/hari) 

2C 9 

 

   

 

 

 

 

Bila kultur liquor telah steril 3 kali berturut-turut, gejala klinis infeksi hilang, antibiotik 

dilanjutkan 10-14 hari, dilakukan tes dependensi shunt, bila masih memerlukan maka, 

shunt baru di pasang kembali 

 

Bagan penanganan infeksi pasca pemasangan shunt: 

 

 

 


 

 

9. Edukasi 

Infeksi pasca pemasangan infeksi shunt harus ditangani secara tuntas baik dengan obat-

obatan maupun dengan tindakan pembedahan. Dapat terjadi infeksi ulang pada pasien 

dengan penanganan yang tidak baik.  

10. Prognosis 

Angka kejadian  infeksi ulang sebesar 26%. Angka mortalitas anak dengan infeksi pasca 

pemasangan shunt sebesar 10-15%. Dengan penanganan pembedahan dan 

medikamentosa, mortalitas infeksi shunt pada pasien anak sebesar 17%.   

11. Indikator Medis 

Perbaikan kondisi klinis dan kualitas hidup pasien. 

1

 

Infeksi Shunt 

Infeksi hingga abdomen? 

Eksternalisasi peritoneal end  

dengan drainase pseudocyst 

Lepas Shunt dan ganti dengan 

ventriculostomy 

Pengobatan empiris dengan 

spektrum gram positif dan negatif 

Pengobatan sesuai kultur 

Kultur LCS setiap hari 

Kultur LCS steril 3 kali berturut-turut 

dalam 72 jam? 

Pemasangan VP Shunt baru 

dengan antibiotik post-op selama 

48 jam 

Pertimbangkan antibiotik 

intratechal 

Ya 

Ya 

Tidak 

Tidak 

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Kraniofaringioma  

ICD-10 : D44.4 

1. Pengertian (Definisi) Tumor tumbuh dari ZatŚŬe’s ƉŽƵĐŚ mulai nasofaring hingga diencephalon, biasanya 

campuran solid-kistik, merupakan 1-3% dari tumor otak. Muncul dari batas anterior 

superior dari kelenjar hipofise, bisa disebut tumor Rathke pouch atau tumor kelenjar 

hypofise 

2. Anamnesis 1. Efek masa lokal: 

 Pre-chiasma : atrofi N.II – visus turun, gangguan lapang pandang 

 Retro-chiasma : hydrocephalus dan TIK meningkat 

 Intrasellae: nyeri kepala dan endokrinopathy 

2. Efek endokrin – hipoadrenalism/defisit endokrin 

 hormon pertumbuhan : hambatan tumbuh kembang, pada orang dewasa gejala 

tidak spesifik, dapat berupa penurunan berat badan, obesitas sentripetal, mudah 

lelah 

 hipogonadism : amenore, penurunan libido, infertilitas 

 hipotiroidism : intoleransi dingin, gangguan daya ingat, konstipasi, banyak tidur 

3. Pemeriksaan Fisik Evaluasi fungsi penglihatan (visus, lapang pandang, dan gerak bola mata), funduskopi. 

Evaluasi kelainan fisik karena kelainan hormonal  

4. Kriteria diagnosis 1. Anamnesis efek masa lokal dan efek hormone endokrin 

2. Pemeriksaan klinis fungsi penglihatan dan kelainan fisik karena kelainan hormonal 

3. Pemeriksaan imaging (radiologis) massa suprasella, 60-80% pasien terdapat 

gambaran kalsifikasi, 75% kistik 

4. Patologi anatomi 

5. Diagnosis Diagnosa berdasarkan histopatologi dibagi menjadi 3 : 

 Tipe Adamantinous (66%) 

 Tipe papillary squamosa (28%) 

 Tipe mixed 

6. Diagnosis Banding 

 

- Tubeculum sellae meningioma              - Rathke cyst 

- Aneurisma                                              - Sarcoidosis 

- Pituitary macroadenoma                        - Systemic histiocytosis                                                                       

- Tumor metastase 

- Optic glioma 

- Germinoma 

- Teratoma 

- Lymphoma 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

No Pemeriksaan Rekomendasi 

Grade 

Rekomendasi 

Ref 

Lapang 

pandang 

 Humphrey visual field 1C 1, 2  

2 Hormonal 

 Kortisol jam 8 pagi dan kortisol 

bebas di urine 24 jam 

 T4 bebas, TSH (alternative: total 

T4) 

 Prolaktin 

 Gonadotropin (FSH, LH) dan sex 

steroid (wanita: estradiol; pria: 

1B 2, 3 

 175 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

testosterone) 

 Insulin like growth factor-1 (IGF-1) 

atau somatomedin-C 

 Glukosa darah puasa 

3 Radiologi 

CT scan : melihat kondisi tulang dasar 

tengkorak, gambaran tumor berupa 

masa kistik dan solid seringkali disertai 

kalsifikasi 

1B 2 

MRI: melihat gambaran tumor berupa 

masa kistik dan solid lebih jelas, serta 

batas-batasnya terhadap organ otak 

penting sekitarnya. Dengan kontras, 

didapatkan gambaran tumor 

menyengat kontras pada bagian solid 

dan dinding kista 

1C 2 

Cerebral angiogafi : vaskularisasi tumor 

yang berasal dari sirkulasi anterior. 

2B 2 

  

8. Terapi Modalitas terapi yang diberikan berupa : pembedahan dan radioterapi.  

Manajemen preoperative :  

- koreksi fungsi endokrin 

- atasi edema peritumoral dan kontrol TIK 

- EVD atau VP shunt untuk hidrosefalus 

- aspirasi kista bila lesi kistik dominan 

No Terapi Rekomendasi 

Grade 

Rekomendasi 

Ref 

Pembedahan 

(ICD 9: 01.24) 

Tindakan ideal untuk kraniofaringioma 

yaitu   ekstirpasi total tumor. Bila 

ekstirpasi total berdasar ukuran, lokasi, 

dan perluasan tumor, serta korelasinya 

dengan jaringan sekitar, tidak mungkin 

untuk dilakukan, tindakan operatif 

dibatasi pada pengangkatan tumor 

subtotal 

 

Pilhan tehnik tindakan bedah : 

- Frontotemporal 

- Transphenoidal 

- Transcallosal 

- Kombinasi subfrontal-pterional 

1B 6, 7 

Radioterapi 

(ICD 9: V.58.0) 

 

Bila eksisi radikal tidak mungkin, 

radioterapi menunjukkan keuntungan 

tambahan dalam mencegah rekurensi 

tumor 

1B 5 

 

9. Edukasi Informasi yang harus disampaikan kepada pasien sebelum operasi : 

1. Komplikasi operasi : gangguan hormonal pasca operasi (DI, hipoadrenal), dll 

2. Perbaikan klinis: visus tergantung kondisi awal. Jika belum papil atrofi,visus diharapkan 

akan membaik bertahap. Jika telah buta sebelumnya, umunya tidak dapat membaik. 

3. Kemungkinan rekurensi  

10. Prognosis Ten year survival rate : 90%. Mortalitas 5-10% akibat cedera hipotalamus 

 

11. Indikator Medis Eksisi tumor semaksimal mungkin dengan preservasi struktur penting disekitarnya, bila 

total reseksi tidak dapat dilakukan radiotherapy 

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Kraniosinostosis 

 ICD 10: Q75.0 

1. Pengertian (Definisi) 

Kondisi penutupan dini/prematur dari satu atau lebih sutura tulang kepala pada infant  

2. Anamnesis Gejala yang timbul disebabkan kraniosinostosis, dapat berupa : 

i. Bentuk kepala tidak normal 

ii. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan  

iii. Nyeri kepala persistent 

iv. Kejang berulang 

3. PemeriksaanFisik i. Deformitas tulang kepala 

ii. Ukuran kepala (lingkar kepala) tidak tumbuh atau lambat pertumbuhannya tidak sesuai 

dengan pertumbuhan anak 

iii. Tidak didapatkan fontanella pada bayi baru lahir 

iv. Ambliopia 

v. Peningkatan TIK 

vi. Papil edema 

vii. Retardasi mental 

viii. Sindaktili yang menyertai ( pada sindrom kraniosinotosis) 

4. Kriteria Diagnosis 9. Anamnesis sesuai diatas 

10. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

11. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 

5. DiagnosisKerja Craniosynostosis (ICD 10: Q75.0) 

6. Diagnosis Banding i. Deformitas Plagiosefali 

ii. Mikrosefali Primer 

 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekomendasi 

Ref 

 

 

Foto polos 

kepala  

i. Dapat menunjukkan 

kraniosinostosis yang 

tunggal  

ii. Pada sutura kepala daerah 

sentral didapatkan 

gambaran lucens yang 

berkurang / menghilang 

iii. Diastasis sutura dan erosi 

pada sella didapatkan pada 

kasus dengan peningkatan 

TIK 

 

1B 2,3 

2 CT Scan 

iv. Dapat menunjukkan 

penebalan dan atau  

pendataran tulang kepala 

1B 2,3 

 178 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

pada daerah sinostosis 

v. Menggambarkan bentukan 

dari tulang kepala yang lebih 

jelas daripada Foto polos 

kepala 

vi. Memperlihatkan 

abnormalitas intrakranial ( 

contoh : Kraniosinotosis 

disertai dengan hidrosefalus) 

 

 

8. Terapi  

 

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 Operasi 

 Tujuannya mengurangi tekanan pada 

kepala dan mengkoreksi  deformitas 

tulang kepala 

 Pada umumnya dilakukan 

pembedahan (calvarial vault 

remodeling) (ICD 9 : 02.01):  

Unuk mencegah peningkatan tekanan 

inttrakranial dan meningkakan fungsi 

sosial dengan memperbaiki tampilan 

wajah dan kepala 

 Diindikasikan terutama pada usia 8-12 

bulan 

 

1B 3,4 

 

 

9. Edukasi Edukasi kepada keluarga pasien tentang komplikasi paska pembedahan yang berupa : 

i. Demam 

ii. Muntah 

iii. Nyeri Kepala 

iv. Irritabilitas 

v. Penurunan kesadaran 

vi. Pembengkakan dan kemerahan di area insisi 

10. Prognosis Tergantung dari : 

- Jenis craniosynostosis, jenis yang tunggal lebih baik. 

- Usia saat terdiagnosis 

- Usia saat penanganan 

- Kelainan intracranial lain yang menyertai 


 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Meduloblastoma pada Pediatri 

 ICD 10: C71.6 

1. Pengertian (Definisi) Tumor yang berasal dari sel embrional. Muncul dari vermis serebellum di daerah apex 

dinding ventrikel IV (fastigium). Lebih dari 70% meduloblastoma terjadi pada anak-anak. 

2. Anamnesis Umumnya  berupa gejala yang berhubungan dengan massa di fossa posterior yang 

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial karena hidrocephalus akibat penekanan 

ventrikel IV dan gangguan fungsi cerebellum. Gejala peningkatan TIK bisa berupa nyeri 

kepala, mual, muntah, gejala gangguan cerebellum dapat berupa ataksia, inkoordinasi 

lengan dan tugkai, vertigo. Pada bayi dengan hidrocephalus biasanya rewel, pembesaran 

lingkar kepala, dan letargi.  

Metastase ke spinal  dapat menyebabkan nyeri punggung, retensi urine atau gangguan 

motorik tungkai bawah. 

3. Pemeriksaan Fisik  Papil edema 

 Diplopia 

 Penurunan visus 

 Penurunan kesadaran 

 Pembesaran lingkar kepala pada bayi akibat hidrocephalus 

 Nistagmus 

 Ataxia  

 dismetria 

4. Kriteria Diagnosis 

1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas  

3. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 

4. Patologi anatomi sesuai di atas 

5. Diagnosis 

Diagnosis tegak berdasarkan konfirmasi histopatologis setelah reseksi total tumor. 

Berdasarkan histopatologi, seluruh medulloblastoma yaitu   WHO grade IV. Terdapat tiga 

subtipe, yaitu: 

1. Classic (90%):bentuk  sel kecil, dibedakan sel padat dengan inti hyperchromatic, 

sitoplasma sedikit (dan sel klaster tidak konstan di Homer-Wright rosettes 

(kadang-kadang disebut "blue tumor") (penampilan monoton). 

2. Desmoplastic (6%): bentuk sel mirip dengan tipe klasik dengan "glomeruli" 

(kolagen bundel dan tersebar, daerah yang kurang seluler). Ditandai 

kecenderungan diferensiasi saraf. Lebih sering terjadi pada orang dewasa. 

Prognosis kontroversial: mungkin sama atau tidak seagresif medulloblastoma 

klasik. 

3. Large cell (4%): bentuk sel besar, bulat, dan / atau pleomorfik inti, aktivitas 

mitosis yang lebih tinggi. Dalam beberapa laporan kasus, semua pasien laki-laki. 

Lebih agresif dibanding tipe klasik. menyerupai tumor teratoid / rhabdoid atipikal 

otak, tetapi memiliki fenotipe yang berbeda dan fitur cytogenic. 

 

Modifikasi Chang untuk staging Medulloblastoma berdasarkan perluasan tumor dan 

metastase: 

 

Perluasan tumor 

T1 Diameter tumor berukuran kurang dari 3 cm. 

 181 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

T2 Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm. 

T3a 

Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm, dengan perluasan ke aquaductus 

Sylvii dan atau foramen Luschka 

T3b 

Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm, dengan perluasan tegas ke batang 

otak 

T4 

Diameter tumor berukuran lebih dari 3 cm, dengan perluasan melewati 

aquaductus Sylvii dan atau ke inferior melewati foramen Magnum 

Tidak ada pertimbangan mengenai jumlah struktur-struktur yang terinvasi atau adanya 

hydrosefalus. 

T3b dapat didefinisikan saat intraoperatif (adanya perluasan ke batang otak), 

walaupun tidak ada bukti radiologi. 

 

Derajat metastasis 

M0 Tidak ada bukti metastasis subarachnoid atau hematogen yang bermakna. 

M1 Sel-sel tumor secara mikroskopis ditemukan pada LCS. 

M2 Penyebaran nodular yang signifikan pada spatium subarachnoid serebri, atau 

cerebellum atau pada ventrikel ketiga atau ventrikel lateral. 

M3 Penyebaran nodular yang signifikan pada spatium subarachnoid spinal 

M4 Metastasis diluar aksis serebrospinal 

 

 

6. Diagnosis Banding 

- Cerebellar astrocytoma 

- Brain stem glioma 

- Ependymoma 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

No Rekomendasi Keterangan 

Grade 

Rekomendasi 

Ref 

1 MRI 

Magnetic resonance imaging (MRI) 

secara umum memperlihatkan 

massa cerebellar di midline atau 

para median yang enhanced 

setelah pemberian kontras dan 

kadang menekan ventrikel 

keempat. Dilatasi ventrikel 

disebabkan karena hidrosefalus 

obstruktif dapat terlihat. 

1C 1, 2 

2 CT Scan 

Medulloblastoma dapat luput dari 

CT Scan. Temuan klasik CT Scan 

yaitu   massa hiperdens pada CT 

Scan tanpa kontras dan massa 

contrast enhanced  pada CT Scan 

dengan kontras. 

2A 2 

3 CSF 

Sepertiga dari medulloblastoma 

bermetastasis di sistem saraf pusat 

melalui cairan serebrospinal. Pada 

kasus ini, pemeriksaan 

sitopatologik dari cairan 

serebrospinal dapat menunjukkan 

sel-sel neoplastik. Peningkatan 

protein dan pleocytosis ringan 

seringkali berhubungan dengan 

sitologi positif, namun temuan ini 

tidaklah spesifik. Hasil positif 

2B 3, 4 

 182 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

sitopatologi baik preoperatif atau 

postoperatif dapat memprediksi 

kemungkinan relaps dan luaran 

buruk. 

  

8. Terapi No Rekomendasi Keterangan 

Grade 

Rekomendasi 

Ref 

Average-risk 

disease 

Rata-raƚa aŶak usia ш ϯ ƚaŚuŶ LJaŶŐ 

menjalani reseksi total atau hampir 

total memiliki hasil sitologi cairan 

serebrospinal yang negatif dan tidak 

ada bukti metastasis jauh. Jika hal 

tersebut tidak dilakukan, maka 

direkomendasikan modalitas kombinasi 

radioterapi kraniospinal dan adjuvan 

kemoterapi. 

1B 

5, 6, 

7, 8, 

9, 10 

High-risk 

disease 

Tatalaksana optimal untuk anak dengan 

meduloblastoma metastasis, 

unresectable atau rekuren belum jelas. 

Disarankan radioterapi kraniospinal 

dengan concomitant kemoterapi. 

2B 5, 8 

Infant and 

young 

children 

Bayi dan anak – usia < 3 tahun dengan 

meduloblastoma memiliki risiko tinggi 

mengalami defisit neurologis berat jika 

diberikan initial terapi yaitu   

radioterapi kraniospinal. Kami 

merekomendasikan tatalaksana dalam 

kelompok usia ini mengikuti protokol 

yang menggunakan kombinasi 

kemoterapi serta menunda atau 

mengurangi penggunaan radioterapi 

kraniospinal. 


 

Pilihan teknik operasi: 

1. Transvermian  

2. Telovellar 

 

Komplikasi radioterapi: gangguan neurokognitif, perlambatan pertumbuhan skeleton, 

hypothyroidism, hypogonadism, insufusiensi adrenal.  

 

Kemoterapi dapat meningkatkan survival pada beberapa pasien, dan berperan dalam 

memungkinkan penggunaan dosis radiasi yang lebih rendah 

 

Treatment group berdasarkan stratifikasi risiko : 

1. AŶak шϯ ƚaŚuŶ ĚĞŶŐaŶ risikŽ raƚa-rata ( reseksi tumor total dan subtotal) tanpa 

penyebaran penyakit  dalam otak maupun spine (MRI) dan LCS.  

Pada kelompok ini pembedahan dilanjutkan dengan radiasi dan kemoterapi, karena 

dapat meningkatkan 10 year survival rate dan 10 year event free hingga 76 dan 81%, 

dibandingkan dengan radioterapi saja.   

 

Ϯ. AŶak шϯ ƚaŚuŶ ĚĞŶŐaŶ risikŽ ƚiŶŐŐi LJaiƚu aĚaŶLJa rĞsiĚu ƚumŽr шϭ͕ϱĐm aƚau bukƚi 

adanya sebaran penyakit. 5 year event free survival hanya 36%. Kemoterapi dosis 

 183 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

tinggi dengan autologus Hematopoeietic Cell Transplantation (HCT) dapat 

meningkatkan 5 year event free survival hingga 70%. 

 

ϯ. aŶak ч ϯ ƚaŚuŶ. iberikan kemoterapi tanpa radiasi karena memperburuk 

progresifitas neurologis.  

 

Posterior fossa syndrome: 

Atau cerebellar mutism, disebabkan cedera pada vermis atau nucl dentatus, berupa 

gangguan memulai bicara/bahasa, memulai gerakan, emosi tidak stabil. Dapat muncul 

dalam satu atau dua hari paska operasi, biasanya membaik dalam beberapa minggu 

atau beberapa bulan.  

9. Edukasi 

i. Resiko rekurensi tumor 

ii. Perlunya terapi multimodalitas 

iii. Komplikasi pasca operasi 

10. Prognosis 

Prognosis buruk pada: 

i. Usia muda (< 3tahun) 

ii. Adanya metastase 

iii. Ketidakmampuan untuk eksisi total (terutama bila sisa > 1.5cm2) 

iv. Laki-laki 

v. Histology large cell dan anaplastic 

vi. Amplifikasi MYC 

vii. Mutasi TP53 dan SHH tumor 

11. Indikator Medis 

Evaluasi radikalitas eksisi tumor dengan pemeriksaan radiologis. Targetnya yaitu   total 

eksisi. 


 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Spina Bifida 

 ICD 10 : Q.05 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Suatu kantung berisi komponen sistem saraf spinalis akibat herniasi melalui suatu defek 

pada prosesus spinosus vertebra akibat kelainan kongenital 

2. Anamnesis 

Gejala yang timbul disebabkan spina bifida, dapat berupa : 

- Benjolan yang ada sejak lahir dan cenderung membesar 

- Gangguan motorik: kelemahan anggota bawah 

- Gangguan sensorik 

- Gangguan otonom: inkontinensia uri atau inkontinensia alvi 

3. Pemeriksaan 

Fisik 

- Status lokalis lesi: 

- Tampak kantung mielokel berbungkus kulit normal, membran ataupun kulit yang 

mengalami maserasi.  

- Pada umumnya terletak pada garis tengah 

- Konsistensi tergantung pada isi kantung, pada umumnya kistik dan kenyal.  

- Isi kantung berhubungan dengan ruang spinal, sehingga dapat mengempis dan 

menegang, tergantung tekanan intraspinal. Kadang-kadang dapat terlihat pulsasi. 

- Pada mielokel, dapat disertai hidrosefalus dan kelainan intrakranial lain, defisit 

neurologis yang berat, deformitas tulang spinal dan ekstremitas. Defisit neurologis yang 

terjadi berupa gangguan sensibilitas dan motorik distal dari level anatomis mielokel. 

Dapat juga terjadi inkontinensia urin dan alvi. 

- Status neurologis mencakup: kekuatan motorik, refleks fisiologis, refleks patologis, 

sensorik, otonom 

4. Pemeriksaan 

Penunjang 

Pemeriksaan Radiologis: 

i.MRI Spinal 

ii.CT Scan kepala atau USG kepala untuk melihat kelainan intrakranial lainnya, termasuk 

adanya hidrosefalus  

Pemeriksaan Laboratorium: 

- TORCH 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekomendasi 

Ref 

CT Scan 

kepala/USG 

Prenatal 

 CT Scan kepala untuk melihat 

kelainan intrakranial lainnya, 

termasuk adanya hidrosefalus 

(skrinning) 

 USG Prenatal untuk skrinning 

awal 

2C 4,    6,8 

MRI 

Lumbosacral 

 

 MRI terutama digunakan 

untuk membedakan  struktur yang 

herniasi dengan jaringan 

disekitarnya 

2C 4,   6,9 

 187 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

 MRI dapat digunakan untuk 

evaluasi adanya tethered cord  

syndrome  

( Q06.8) 

3 TORCH 

 Skrinning infeksi TORCH 

untuk penyebab kelainan kongenital 

susunan saraf pusat 

2C 10,11 

 

5. Kriteria Diagnosis 

1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan laboratorium: TORCH 

4. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 

6. Diagnosis 

Pembagian Spina Bifida : 

 Spina bifida occulta (Q76.0) 

 Spina bifida aperta (Q05) 

o Cervical spina bifida with 

hydrocephalus (Q05.0) 

o Thoracic spina bifida with 

hydrocephalus (Q05.1) 

o Lumbar spina bifida with 

hydrocephalus (Q05.2) 

o Sacral spina bifida with 

hydrocephalus (Q05.3) 

o Unspecified spina bifida with 

hydrocephalus (Q05.4) 

o Cervical spina bifida without 

hydrocephalus (Q05.5) 

o Thoracic spina bifida without 

hydrocephalus (Q05.6) 

o Lumbar spina bifida without 

hydrocephalus (Q05.7) 

o Sacral spina bifida without 

hydrocephalus (Q05.8) 

o Spina bifida, unspecified (Q05.9) 

o spina bifida dengan tethered cord 

(Q06.8) 

7. Diagnosis 

Banding 

Diagnosa banding Spina Bifida meliputi: 

- Mielosistokel   

- Lipomielomeningokel  

- Teratoma 

- Duplikasi rektum  

- Abses spinal 

- Hemangioma  

- Malformasi / tumor tulang  

- Epidermoid / dermoid  

- Kista pilonidal 

- Kondroma  

- Neuroblastoma 

- Glioma  

- Kordoma 

- Hamartoma  

8. Terapi 

Penatalaksanaan Spina Bifida 

1. Bedah : 

 Penutupan defek duramater dan kulit 

 pembedahan dianjurkan 72 jam pertama sejak lahir bila pasien stabil, beberapa   

minggu berikutnya dianjurkan untuk serial CT scan kepala atau USG kepala     setiap 1-3 

minggu 

 Bila pecah, pembedahan dikerjakan kurang dari 48 jam: rawat lokal, tutup steril, 

    tengkurap, antibiotik. 

 Pembedahan tidak memperbaiki kelainan neurologis yang sudah terjadi 

 

Komplikasi pembedahan : 

 188 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf  

 

- Deformitas vertebra 

- Kebocoran cairan serebrospinal 

- Infeksi 

 

 

2. Rehabilitasi : 

Pembedahan diikuti tindakan multi-disiplin yang melibatkan bidang psikiatri, rehabilitasi 

medik, ortopaedi dan urologi. 

3. Konservatif 

 Evaluasi klinis serial pasien spina bifida harus dilakukan, terutama gejala dan tanda 

adanya kompresi pada medula spinalis dan batang otak 

 pasien myelomeningocele dengan neurogennic bladder, segera dilatih CIC, 

antibiotik profilaksis dan medikasi anticholinergic untuk mencegah disfungsi renal 

 evaluasi adanya komplikasi scoliosis 

 

Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekomendasi 

Ref 

Operasi 

 Penutupan defek duramater dan 

kulit (pembedahan sebaiknya dilakukan 

dalam 48-72 jam sejak lahir) (03.59) 

 Release tethered cord 

 Pasien myelocele dengan 

hidrosefalus perlu dilakukan diversi LCS ( 

Ventriculo Shunt) (02.34) 

2B 

1,3,4

,5 

 

 

9. Edukasi 

Tindakan pembedahan yang dilakukan tidak memperbaiki kelainan neurologis yang sudah 

terjadi. Orang tua pasien harus memahami bahwa penanganan akan berlangsung jangka 

panjang (long-term care) dan memerlukan tindak lanjut multidisiplin yang melibatkan 

bidang psikiatri, rehabilitasi medik, ortopaedi dan urologi 

10.  Prognosis 

Survival rate neonatus yang lahir dengan spina bifida (meningomyelocele) lebih dari 95%. 

Sekitar 10% sampai 15% anak dengan spina bifida meninggal sebelum usia 6 tahun 

walaupun dengan tindakan yang agresif.  

11.  Indikator Medis 

Perbaikan kondisi klinis , status lokalis dan kualitas hidup pasien. 

12

PNPK Divisi Neurovascular  

 

1. Aneurisma + SAH    ICD 10: I67.1 

2. AVM     ICD 10: I67.1 

3. Stenosis arteri carotis   ICD 10: I65.2 

4. CCF     ICD 10: Q28.2 

5. Moya moya disease   ICD 10: I67.5 

6. Normal Pressure Hidrocephalus ICD 10: G91.2 

7. Stroke ICH    ICD 10: I61.0 

8. Stroke infark    ICD 10: I63.0 

9. Dural AVF    ICD 10: I67.1 

 

 

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Aneurisma + SAH  

ICD-10 : I 67.1  

1. Pengertian 

(Definisi) 

 Aneurisma : kelainan cerebrovascular berupa kelemahan dinding arteri atau vena 

cerebri yang menyebabkan dilatasi lokal atau balooning pembuluh darah. 

        Etiologi : 

- trauma kepala  

- atherosklerosis atau hipertensi 

- emboli : atrial myxoma 

- infeksi : mycotic aneurisma 

- kongenital 

 Jika terjadi ruptur aneurisma akan menyebabkan terjadi SAH. SAH yaitu   perdarahan di 

rongga subarachnoid. 

       Etiologi :  

- Trauma : paling sering 

- Spontan : ruptur aneurisma (75-80%), AVM (4-5%), vaskulitis, tumoral bleeding, 

cerebral artery dissection, ruptur arteri superficial kecil dan infudibulum, gangguan 

pembekuan darah, dural sinus trombosis, spinal AVM, dll 

2. Anamnesis - Jika aneurisma kecil, sering asimptomatik. 

- efek masa karena giant aneurisma :  

1. penekanan batang otak : hemiparese 

2. cranial neuropathy : pandangan ganda, gangguan visus,nyeri wajah 

3. penekanan kelenjar hipofise dan stalk karena aneurisma intra-suprasella : 

ganggauan hormonal. 

- Jika terjadi ruptur aneurisma menyebabkan perdarahan SAH : 

1. nyeri kepala berat tiba-tiba (97%), muntah, syncope, nyeri leher(meningismus), 

photophobia, sampai penurunan kesadaran 

2. Jika disertai ICH, didapatkan kelemahan anggota badan, gangguan berbahasa, 

kejang, dan gangguan visus  

3. Low back pain 

 

Terdapat klasifikasi Hunt and Hest untuk menilai derajat gejala klinis pada ruptur aneurisma 

Klasifikasi Hunt and Hess  

 

 

Derajat Dekripsi 

1 Asimptomatis, atau nyeri kepala ringan dan kaku kuduk ringan 

2 palsy nervus cranialis (III,VI).nyeri kepala sedang hingga berat,kaku kuduk 

3 Deficit fokal ringan,lethargy, kebingungan 

4 Stupor, hemiparese sedang hingga berat, deserbrasi  

5 Koma dalam, deserebrasi 

  

 

Klasifikasi ini digunakan sebagai salah satu indikator prognosis dan pemilihan manajemen 

ruptur aneurisma. 

Grade 1 dan 2 dioperasi segera setelah aneurisma didiagnosa. 

'raĚĞ ш ϯ ĚiƚuŶĚa ƚiŶĚakaŶ ŽƉĞrasi samƉai kliŶis mĞmbaik ;ŐraĚĞ ϭ aƚau ϮͿ 

Pengecualian penentuan waktu operasi jika terjadi ICH yang mengancam nyawa. 

 192 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

 

 

 

3. Pemeriksaan Fisik SAH :  

- Meningismus disertai reflek patologis 

- Hipertensi 

- penurunan kesadaran karena : TIK meningkat, ICH, hidrocephalus, iskemia diffuse, 

kejang 

- ocular hemorrhage 

4. Kriteria Diagnosis Klinis  

Radilologis 

5. Diagnosis kerja Aneurysma unruptured (I67.1) 

Aneurysma ruptured (I60.7) 

a-SAH (I60) 

6. Diagnosis Banding  AVM 

 Perdarahan otak karena hipertensi 

 Cerebral vein trombosis 

 SAH karena trauma 

 Intratumoral bleeding 

 Pitutiary tumor 

 Moyamoya disease 

 Vein of gallen malformation 

7. Pemeriksaan 

penunjang 

Lumbar puncture : paling sensitif terhadap SAH (opening pressure meningkat), 

xantocrom, jumlah sel > 100.000, protein meningkat, glukosa normal atau menurun 

        False positif : traumatik taps 

Radiologis : 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 CT scan 

Mendeteksi >90% SAH bila onset bleeding 

terjadi pada 24 jam 

1C 5 

2 MRI 

tidak sensitif terhadap SAH 24-48 jam, lebih 

baik 4-7 hari Flair MRI imaging paling sensitif  

untuk mendeteksi SAH 

2C 6 

3 MRA 

sensitifitas 95% untuk aneurysma ukuran > 3-

5 mm 

2A 7 

4 CTA 

mendeteksi aneurisma 97%. Dapat 

menggambarkan bentuk aneurisma 3D yang 

penting untuk perencanaan operasi 

2A 

 

Cerebral 

angiogram 

1) gold standar evaluasi eneurisma 

cerebral. 

 

1A 7,11 

 

Fisher Grade 

Grade CT scan 

1 Tidak tampak perdarahan 

2 SAH tebal < 1 mm 

3 SAH tebal > 1 mm (resiko tinggi terjadi vasospasme) 

4 SAH + IVH/ICH 

 

8. Terapi  

 193 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

Penatalaksanaan aneurisma, bergantung pada ruptur atau unruptur : 

1. Penatalakasanaan ruptur aneurisma 

 Penatalaksanaan ruptur aneurisma, memperhatikan potensial problem pada SAH, 

diantaranya : 

1. Rebleeding 

2. Hidrocephalus 

3. Delayed Ischemic Neurologic Deficit (DIND) oleh karena vasospasme 

4. hiponatremia dan hipovolemia 

5. DVT dan emboli pulmo 

6. Kejang 

7. Menentukan lokasi sumber perdarahan/ruptur aneurisma 

 

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 medikamentosa 

a) Mempertahankan CBF  

meningkatkan CPP, memperbaiki 

reologi darah, pertahankan 

euvolemia, pertahankan ICP 

b) Neuroprotektan : belum ada obat 

yang efektif 

c) Observasi ketat di ICU(dengan 

monitor VS), bedrest dengan posisi 

tidur head up 30°,  

d) Diet : NPO (greenberk hlm 1041) 

e) Cairan infus (mencegah cerebral salt 

wasting): NS + 20 mEq KCL/L ~ 2 

ml/kg/jam. Jika HCT < 40 %, albumin 

5% 500cc  

f) Obat : 

 Antikejang profilaksis  

 Sedasi 

 Analgesia 

 Dexametasone, mengurangi nyeri 

kepala dan leher. Umunya diberikan 

pre-op 

 Obat pencahar 

 Anti muntah 

 Vasospasme treatment pada kasus 

perdarahan SAH :  

- Calcium channel blocker : 

nomidipin (nimotop) 4x60mg dlm 

96 jam setelah SAH. Tablet dan I.V 

sama efektif. (Grade 1A)9 

- Intra arterial vasospasme 

treatment secara endovasculer  

g) Oksigenasi : 2 lpm jika diperlukan 

h) Tekanan darah : pertahankan TDS 

120-150mmHg (Hipertensi ekstrem 

pada unclipped aneurisma 

meningkat 

 

hipotensi  iskemia) 

i) Laboratorium :  DL, elektrolit, 

BGA,PTT/APTT, HCT 

j) Ragiologis: Rontgen thorax serial 

sampai kondisi stabil (evaluasi 

pengobatan triple H), transcranial 

doppler. 

 

Operasi dan 

intervensi 

a) Hidrocephalus  

1. Akut :  

 50 % membaik spontan 

 sisanya dengan grade H&H IV-V: 

ventrikulostomi dengan ICP 15-25 

mmHg. Cegah penurunan TIK secara 

cepat, resiko rebleeding meningkat. 

2. Kronis : kontroversi 

 

b) Aneurisma : Pembedahan cliping dan 

coiling endovascular dilakukan untuk 

mengurangi terjadinya rebleeding.  

1. Endovascular 

a) Trombosing aneurisma :  

2. Coiling simpel 

3. Stent assisted coiling menggunakan 

intracranial stenting (Leo stent, 

solitair stent, enterprise stent, dll) 

4. Coiling menggunakan compliant 

balloon (hyperform, hyperglide 

balloon, dll) pada saat pemasangan 

coil 

5. Flow diverter (pipe line, dll) pada 

kasus aneurysma ukuran besar 

(Giant Aneurysm) 

b) Trapping dengan didahului Ballon 

Occlusion Test menggunakan Compliant 

Ballon 

c) ligasi proksimal (hunterian ligation) 

untuk giant aneurisma 

2. Pembedahan 

 Clipping : Gold standar. Memasang clip 

pada leher aneurisma untuk menutup 

hubungan antara aneurisma dari 

sirkulasi tanpa membuntu pembulih 

darah normal lainnya.  

 Wrapping atau coating menggunakan 

otot, cotton atau muslin, plastik resin, 

teflon dan fibrin glue 

 Kombinasi pada kasus sulit dilakukan 

pembedahan dan endovaskuler. Contoh 

: Giant aneurysma dilakukan trapping 

dan surgical bypass 

 ligasi proksimal (hunterian ligation) 

untuk giant aneurisma 

 

2B 

 

 

 

1B 

 

10 

 

 

 

2,3 

 195 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

  

Coilling (ICD-9:39.52) Clipping (ICD-9:39.51) 

Umur tua (> 75 th) Umur muda 

Grade klinis jelek Aneurisma MCA 

Ruptur aneurisma yg sulit diakses Giant aneurisma (diameter> 20mm) 

Aneurisma dg morfologi : rasio dome-neck 

> 2, diameter neck < 5 mm 

Gejala efek massa aneurisma 

Aneurisma dari sirkulasi posterior Aneurisma kecil (diameter 1,5-2mm) 

Konsumsi obat plavix Leher aneurisma lebar 

Gagal di clipping atau sulit secara tehnik Aneurisma residual post coiling  

 

Pemilihan waktu tindakan pembedahan : 

1) Early (< 48-96 jam) 

 Menurunkan resiko rebleeding 

 Memfasilitasi terapi vasospasme 

 Lavage clot yang potensial sebagai agen spasmogenik 

 Mortalitas rendah 

 Syarat :  

o Kondisi medis baik 

o Hunt&Hess grade d 3 

o SAH yang tebal yang berpotensi vasospasme 

o Kondisi yang akan menyulitkan management, ex : TD yg tdk stabil, kejang 

o SAH yang tebal dengan efek masa 

o Rebleeding dini 

o Indikasi imminent rebleeding 

2) Late (>10-14 hari post SAH) 

 Kondisi klinis jelek dan atau umur pasien yang tua 

 Kondisi neurologis jelek (Hunt&Hess t 4) kontroversi 

 Aneurisma yang sulit di clip karena ukuran dan lokasi 

 Edema cerebri yang berat 

 Vasospasme aktif 

 

 Pada terapi pembedahan, ada beberapa approach yang digunakan berdasarkan lokasi 

dan morfologi aneurisma. Diantaranya : 

a) Pterional 

b) Subfrontal 

c) Anterior interhemispheric  

d) Transcallosal 

e) Transylvian atau superior temporal gyrus  MCA aneurisma 

f) Subocipital atau subtermporal-trantentorial 

2. Penatalaksanaan unruptur aneurisma 

 Indikasi manajemen pada unruptur aneurisma : 

a. Simptomatis : nyeri yg intolerable, gangguan visus 

b. Giant aneurisma di daerah cincin clinoid 

c. Aneurisma yang membesar pada imaging serial 

 Pilihan terapi pada non ruptur yaitu   non medikamentosa ( clipping atau coiling) 

9. Edukasi  Faktor resiko terjadinya aneurisma 

 Perjalanan penyakit 

 Komplikasi  

 Terapi 

 prognosa 

10. Prognosis  Prognosis bergantung pada beberapa hal : 

1. Lokasi dan luasnya aneurisma 

 196 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

2. Umur 

3. Kondisi klinis umum 

4. Status neurologis menggunakan grade Hunt and Hess 

Hunt and Hess 1 dan 2 outcome baik, grade t 3 outcome jelek, meningaal ataupun 

kelumpuhan permanen. 

 mortalitas secara keseluruhan ~ 45 %, sebagian membaik dg sedikit atau tanpa 

neurologis. 

 morbiditas : kelumpuhan sedang – berat ~ 30%, 66% post clipping tidak membaik kualitas 

hidupnya 

 Sebelum tindakan operasi : rebleeding merupakan penyebab utama morbiditas dan 

mortalitas ~ 15-20% dalam 2 minggu pertama.  

 Setelah tindakan operasi : vasospasme menyebabkan kematian (7%), dan defisit 

neurologis (7%) 


PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

AVM  

ICD-10 : I 67.1  

1. Pengertian 

(Definisi) 

- Arteriovenous malformation/AVM yaitu   kelainan kongenital dilatasi abnormal 

pembuluh darah disebabkan aliran darah arteri langsung berhubungan dengan draining 

vein tanpa mealui jaringan kapier normal . Tidak didapatkan jaringan parenkim otak 

didalam nidus. 

- Seringkali ditemukan karena terjadi komplikasi perdarahan (resiko terjadi perdarahan 

spontan 2-4%/tahun), jarang ditemukan kejang 

- Aliran darah dalam AVM berubah dari tekanan rendah pada saat lahir,menjadi tekanan 

sedang - tinggi pada saat dewasa sehingga lesi AVM cenderung membesar. 

2. Anamnesis Gejala yang dapat timbul : 

1. gejala TIK meningkat oleh karena perdarahan(paling sering): 50%. Puncak kejadian 

umur 15-20 tahun 

2. Kejang 

3. Efek masa, ex : trigeminal neuralgia karena CPA AVM 

4. Iskemia : steal effect 

5. Sakit kepala 

3. Pemeriksaan Fisik Tanda yang tampak  

 Tanda TIK meningkat 

 cranial nerve palsy karena efek masa 

 kelemahan anggota badan karena iskemia 

 Bruit(terutama AVM dura) 

4. Pemeriksaan 

penunjang 

Radiologis : 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 CT scan 

'ambaraŶ ͚ĨlŽǁ ǀŽiĚ’͕ sĞŶsiƚiǀiƚas d sĐaŶ 

akan meningkat bila disertai CT angiografi 

2B 4 

2 MRI 

MRI sangat sensitif untuk identifikasi nidus 

AVM 

2A 3 

 

Angiografi 

Gold standar diagnosis 

1C 4 

 

1) CT scan : kualitas baik mendeteksi perdarahan dan kalsifikasi 

2) MRI : melihat morfologi AVM dan menyingkirkan Ddx 

3) Angiografi : tampak tangle of vessels, feeding artery, draining vein yang tampak 

pada fase arteri 

 

5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging sesuai di atas  

6. Diagnosis   

Grading AVM berdasarkan klasifikasi berikut ini, 

Spetzler Martin AVM grading system 

 199 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

Graded Feature Points 

Size 

Small (<3 cm) 

Medium (3-6 cm) 

Large (>6 cm) 

 

Eloquence of adjacent brain 

Non eloquent 

Eloquent 

 

 

Pattern of venous drainage 

Superficial only 

Deep 

 

 

Grading ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan prognosa dan pemilihan terapi 

 

7. Diagnosis Banding  Cavernous hemangioma 

 Dural arteriovenous fistula 

 Amyloid angiopathy 

 Cerebral aneurysm 

 Cerebral venous trombosis 

 Perdarahan otak 

 Moyamoya disease 

 Vein of gallen malformation 

 Tumor 

8. Terapi  

 Ada 4 pilihan manajemen AVM,diperimbangkan diberdasarkan grade Spetzler-Martin. 

Tindakan pembendahan merupakan gold standar, yang diindikasikan pada grade 1-3. 

Terapi yang multimodalitas dipertimbangkan untuk AVM dengan grade III-IV. Untuk 

grade V-VI konservatif.diutamakan untuk AVM pecah atau riwayat pecah untuk 

dilakukan tindakan bedah 

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 Operasi Pembedahan pilihan utama 1B 4 

2 Radiasi 

 Efektif pada ~20%kasus 

 Stereotaktik radiosurgery (SRS) ukuran 

kecil<2,5-3 cm nidus, letak dalam  

 

1B 5 

 

 

Endovascular 

Embolisasi sebagai terapi tambahan 

- embolisasi dengan menggunakan glue 

(hystoacryl lipiodol atau EVOH (Onyx, etc) 

- embolisasi transvena (TRENSH) 

menggunakan EVOH dan balloon assisted 

(compliant balloon) 

Kombinasi embolisasi untuk mengecilkan 

nidus, dilanjutkan stereotaktik 

2B 6 

 

9. Edukasi  Faktor resiko terjadinya AVM 

 Perjalanan penyakit 

 Komplikasi  

 Terapi 

 prognosa 

 200 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

10. Prognosis  Prognosis bergantung pada beberapa hal : 

o Jika terjadi perdarahan spontan, mortalitas 30-50% 

o Ukuran makin kecil, makin mematikan karena resiko perdarahan makin 

besar 

o Ukuran besar berhubungan dengan morbiditas, yaitu resiko kejang makin 

besar 

 Berdasarkan grade Spetzler-Martin : 

 

 

11. Indikator Medis Perbaikan status neurologis 


 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Stenosis Arteri Karotis 

I65.2 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Kondisi dimana terjadi penyempitan atau kontriksi dari arteri karotis oleh karena 

atherosklerosis   

2. Anamnesis - didapatkan risk faktor antara lain : merokok, obesitas, dislipidemia, hipertensi, 

diabetes melitus 

- didapatkan gejala neurologis mulai dari Transient ischemic attack (TIA) sampai denag 

stroke 

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 

Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari epilepsi. 

Pada saat kejang, pasien harus diperiksa dan ditatalaksana sesuai prinsip gawat darurat 

yaitu: amankan Airway, Breathing, Circulation  

 

Pemeriksaan Neurologis 

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 

 Pemeriksaan saraf kranial satu sampai duabelas 

 Pemeriksaan motorik menyeluruh 

 Pemeriksaan sensorik menyeluruh 

 Pemeriksaan refleks fisiologis 

 Pemeriksaan refleks patologis 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan penunjang  

5. Diagnosis Kerja Stenosis Arteri Kartis( I65,2) 

6. Diagnosis Banding - Nyeri kepala 

- Herpes zoster 

- Transient iskhemic attack 

- Stroke 

- Oklusi retina 

- Trauma leher 

- Sub arachnoid hemorrhage 

- Diseksi arteri vertebralis 

7. Pemeriksaan 

Penunjang No Pemeriksaan Rekomendasi 

Grade 

Rekomend

asi 

Ref 

1 CTA 

- Untuk mengetahui letak anatomi 

dari carotid stenosis dan hubungan 

nya dengan truktur tulang 

disekitarnya 

 

1B 1,2,3 

2 MRA 

- Untuk mengevaluasi arteri karotis 

dengan menggunanakn 3D TOF 

(time of flight) atau CEMRA 

(contrast enhnced MRA) 

1B 4,5,6,7,8 

3  

Carotid duplex 

USG 

- Mendeteksi kecepatan aliran darah 

pada carotid stenosis dengan 

1B 

9,10,11,1

2,13 

 203 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

mengukur Peak systolic velocity 

(PSV), end-diastolic velocity (EDV), 

carotid index (peak Iinternal 

carotid artery velocity dan common 

carotid artery velocity)  

Transcranial 

doppler 

- Mengevaluasi hubungan carotid 

stenosis dengan arteri intracerebral 

yang menuju parenkim otak 

1B 14,15,16 

Cerebral 

Angigoaphy 

- Merupakan gold standar untuk 

diagnostik carotid stenosis 

1A 17,18,19 

 

8. Terapi 

No Terapi Prosedur (ICD 9) 

Grade 

Rekomend

asi 

Ref 

1 Medika mentosa 

- Tatalaksana dengan statin, anti 

platelet, terapi hipertensi dan 

diabetes, mengubah pola hidup 

sehat  

2A 

20,21,22,

23 

Carotid end 

arterectomy 

(CEA) 

- Merupakan pilihan terapi untuk 

carotid stenosis 1A 

24,25,26,

27,28 

3. 

Carotid Artery 

Angioplasty and 

Stenting (CAS) 

- Pilihan terapi untuk carotid 

stenosis jika tidak memungkinkan 

untuk dilakukan operasi. 

Menggunakan balloon untuk 

dilatasi dilanjutkan pemasangan 

stent karotis permanen.  

- Digunakan juga alat proteksi 

terhadap emboli (Embolic 

Protection Device) bisa berupa 

payung (umbrella) yang dipasang 

sementara di distal dari stenosis 

dan atau balloon catheter yang 

dipasang sementara di proximal 

dari stenosis 

1A 

29,30,31,

32,33 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)  : Ad bonam 

Ad Sanationam (sembuh) : Dubia ad bonam 

Ad Fungsionam (fungsi)  : Dubia ad bonam 

 

Prognosis carotid stenosis akan meningkat bila terdapat perbaikan klinis pada pasca 

tindakan CEA atau CAS 

1

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

CAROTID CAVERNOUS FISTULA  

ICD-10: Q28.2  

1. Pengertian  

(Definisi) 

Hubungan abnormal antara arteri karotis dengan sinus kavernosus, yang dapat terjadi 

secara spontan atau didapat (trauma), CCF dikelompokkan berdasarkan etiologi (trauma vs 

spontan), kecepatan aliran darah ( high flow vs low flow), antomi (direct vs dural, internal 

carotid vs external carotid vs keduanya) 

2. Anamnesis 

 Ada riwayat trauma sebelumnya 

 Didapatkan ptosis 

 Didapatkan adanya bruit 

 Didapatkan nyeri kepala 

3. Pemeriksaan Fisik High flow : 

- Bruit (80 %), biasanya traba diatas boal mata 

- Pandangan mata kabur (25- 59 %) 

- Sakit kepala (53- 75 %) 

- Diplopia (50-85 %) 

- Nyeri bola mata dan orbita (35 %) 

- Proptosis (72-87%) 

- Chemosis dan konjungtival injection 955-89 %) 

- Oftalmoplegia ( N VI palsy 50-85 %, N III palsy 67%, N IV palsy 49%) 

 

Low flow : 

- Anterior draining dural, gejalanya : khemosis, conjuntival injection, proptosis 

- Dural ccf yang mengalir ke posterior ke sinus petrosus inferior atau superior, gejalanya 

: painfull diplopia, N III palsy, N IV palsy, N VI palsy 

 

Kehilangan penglihatan merupakan masalah utama kasus anterior driaing dural dengan 

persentasi 33%. Penyebab gangguan penglihatan 

- Peningkatan tekanan intraocular sejunder sehingga menyebabkan kongesti vena dan 

glaucoma 

- Venous stasis retinopathy 

- Perdarahan vitreus 

- Retinopathy proliferasi 

- Ischemic optic neuropathy 

- Exudative retinal detachment 

- Komplikasi yang jarang seperti choroidal effusion dan glaukoma sudut tertutup 

4. Kriteria Diagnosis 5. 1. Anamnesis sesuai diatas 

6. 2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging sesuai diatas 

7. Diagnosis Carotid cavernous Fistula (ICD-10: Q28,2) 

8.  Diagnosis Banding - Tumor intrakranial, limfoma, metastatic 

- Aneurisma 

- Cavernous sinus trombosis 

- Infeksi 

- Tolosa hunt syndrome 

- Pseudotumor orbita 

- Vaskulitis 

 207 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

- Sarcoidosis 

9. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 CT Scan 

melihat proptosis, ekspansi sinus kavernosus 

dan vena oftalmika superior, pelebaran 

muskulus ekstraokuler yang berhubungan 

dengan fraktur dasar tengkorak. CTA bisa 

melihat adanya CCF terutama pada daerah 

proksimal dari sinus cavernosus 

 

2A 1, 2, 3 

 

 

MRI 

 

melihat proptosis, ekspansi sinus cavernous 

dan vena oftalmik superior, dan pelebaran 

otot-otot ekstraokuler. Bisa juga melihat flow 

void sinus cavernous. 

1C 4, 5, 6, 7 

 

 

Transcranial 

Doppler USG 

 

melihat peningkatan kecepatan aliran darah 

dan penurunan pusatif index pada siphon 

carotis pada pasien dengan CCF 

1C 4, 8, 9 

 

 

TFCA 

(Trannsfermoral 

Cerebral 

Angiography) 

 

merupakan gold standar untuk diagnosa dan 

terapi utama untuk CCF 1C 10, 11 

 

10. Terapi - Terapi optimal CCF yaitu   menutup hubungan abnormal antara arteri carotid 

internal dengan sinus cavernosus dengan tetap memelihara patensi arteri carotid 

interna 

- Beberapa prosedur yang digunakan :  

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

Endovaskuler  

 

Menggunakan akses arteri atau vena.  

Embolisasi transarteri  merupakan pilihan 

utama untuk kebanyakan kasus CCF terutama 

high flow.  

Untuk kasus CCF low flow, embolisasi 

transarteri susah oleh karena arterinya kecil, 

tortuous (berlekuk-lekuk), dan kadang 

multpel. Pilihannya kombinasi embolisasi 

transarteri dan transvena.  

Bahan yang dipakai : detachable ballon, koil 

platinum, intracerebral stenting, partikel 

polivinil akhohol, Ethylen Vinil Alcohol/EVOH 

( ONYX etc ) dan adhesive-liquid yang 

digunakan untuk menutup fistula dengan 

mikrokateter superselektif. 

Komplikasi embolisasi transarteri meliputi :  


 

- migrasi embolan ke sirkulasi intrakranial 

sehingga menyebabkan iskemia atau infark 

serebral. Oleh karena itu, penggunaan 

antikoagulan selama prosedur tindakan 

dan antiplatelet pasca tindakan 

mengurangi rsiko iskemia atau infark 

serebral 

- Pseudoaneurisma oleh karena perlukaan 

dinding arteri 

 

Komplikasi embolisasi transvena meliputi : 

- iskemia atau infark serebri 

- subarakhnoid hemorrhage 

- ruptur sinus 

- ekstravasasi ekstradura oleh karena 

kontras 

- parese nervus kranialis 

 

2 Surgery 

Tindakan bedah dilakukan jika endovaskuler 

tidak berhasil. Tindakan nya meliputi packing 

di sinus cavernous untuk membuntu fistula, 

menjahit atau klipping siftula, menyegel 

fistula dengan fascia atau lem, dan atau ligasi 

arteri karotis interna. 

 

2A 

12, 15 

17, 25 

 

 

Stereotaktik 

Radiosurgery  

 

Radiosurgery diindikasikan ketika 

pendekatan endovaskuler tidak aksessibel 

dan intervensi pembedahan menimbulkan 

resiko morbiditas yang tinggi.  

Radioterapi menghasilkan obliterasi dural 

CCF sekitar 75-100 % walaupun 

membutuhkan waktu beberapa bulan. 

Dose yang dibutuhkan 10-40 Gy. 

Sebelum dilakukan radiasi, penetuan ukuran 

lesi harus dilakukan dengan pendekatan 

endovaskuler (TFCA) untuk mengurangi dosis 

radiasi yang diperlukan 

1C 

26, 27,  

28 

 

Kompresi 

Manual Vaskuler  

 

Kompresi manual bertujuan mengurangi 

aliran darah sehingga terbentuk trombus 

didalam sinus cavernous. 

Kompresi dilakukan selama 30 detik 

ipsilateral arteri karotis beberapa kali perhari 

selama 4- 6 minggu. 

1C 

29, 30, 

31 

 

 

Penanganan 

oftalmologi  

 

Pasien dengan proptosis perlu diberikan 

lubrican ocular untuk menghindari keratitis 

eksposure 

Peningkatan intraokular bisa diberikan obat-

oba untuk mengurangi tekanan intraokular 

seperti asetazolamid, kortikosteroid iv, b 

2A 32, 33 

 209 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

blocker topikal 

 

11. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

12. Prognosis Prognosis tergantung: 

1. Simptom dari penyakit 

2. derajat keparahan dan patogenesa penyakit 

3. Penyakit yang menyertai 

13. Indikator Medis Perbaikan status neurologis  

1

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

MOYA-MOYA DISEASE  

ICD-10: I 67.5  

1. Pengertian 

(Definisi) 

Gangguan vaskuler yang jarang terjadi, ditandai dengan penyempitan progresif dari 

pembuluh darah di lingkaran arteri di dasar otak (circle of willisi) . Ditandai dengan 

stenosis atau oklusi bilateral pada arteri di sirkulus willisi sehingga sirkulasi kolateral lebih 

menonjol.  

2. Anamnesis Gejala-gejala dan perjalanan klinis bervariasi : 

- Tanpa gejala hingga yang mengakibatkan deficit neurologis berat yang 

sementara.  

- Orang dewasa lebih seiring mengalami perdarahan;  

- kejadian iskemik serebral lebih sering terjadi pada anak-anak.  

- Anak dapat mengalami hemiparesis, monoparesis, gangguan sensorik, gerakan 

involunter, sakit kepala, pusing, atau kejang. Keterbelakangan mental atau defisit 

neurologis persisten.  

- Intraventrikular, subarachnoid, atau perdarahan intraserebral onset mendadak 

lebih sering terjadi pada orang dewasa.  

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 

 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways) , B 

(breathing) , dan C (circulation )  

 

Pemeriksaan Neurologis 

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 

 Temuan pemeriksaan fisik tergantung pada lokasi dan keparahan dari perdarahan 

atau iskemik. 

4. Pemeriksaan 

Penunjang 

- CT Scan 

- Angiografi :  

- Angiografi serebral yaitu   kriteria standar untuk diagnosis penyakit Moyamoya. 

Temuan berikut dapat mendukung diagnosis: 

- Stenosis atau oklusi pada bagian terminal dari arteri karotis interna atau bagian 

proksimal arteri serebral media atau anterior. 

- Jaringan pembuluh darah abnormal di sekitar wilayah oklusif atau stenosis.  

- Temuan didapati bilateral (meskipun beberapa pasien mungkin dengan 

keterlibatan unilateral dan kemudian progresif). Magnetic resonance 

angiography (MRA) dapat dilakukan.  

SPECT (single photon emission computerized tomography) 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 CT scan 

Gambaran infark pada kortikal dan 

subkortikal, dijumpai pada early stage MMD 

Suzuki 1 atau 2 

2B 4 

2 MRI 

Pada T1 kontras atau T1 flair didapatkan 

ŐambaraŶ ͚ivy sign’ 

2A 5 

 angiografi MRA dapat memeberikan gambaran stenosis 1C 6 

 213 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

3 atau oklusi pada distal ICA, CTA menunjukkan 

abnormal vessel atau collateral vessel di 

basal ganglia 

 

5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksaan klinis (sesuai di atas) 

2. CT Scan Kepala 

3. TFCA (angiografi) 

6. Diagnosis  Moya moya disease I67.5 

7. Diagnosis Banding Dari anamnesis: 

Anterior Circulation Stroke 

Basilar Artery Thrombosis 

Blood Dyscrasias and Stroke  

Cavernous Sinus Syndromes 

Cerebral Aneurysms 

Dissection Syndromes 

Fabry Disease 

Fibromuscular Dysplasia 

Intracranial Hemorrhage 

8. Terapi -  

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 Medikamentosa 

Diberikan aspirin pada pasien moya-

moya anak atau dewasa yang 

nonsimptomatik maupun simptomatik 

iskemik moya-moya 

 

Tidak dianjurkan penggunaan 

antikoagulan lama 

 

2C 

 

1C 

2 Operasi 

Tindakan revaskularisasi 

 Superficial temporal artery–middle 

cerebral artery (STA-MCA) anastomosis 

 EMS (encephalomyosynangiosis)  

 Encephaloduroarteriosynangiosis (EDAS) 

 Encephaloduroarteriomyosynangiosis 

(EDAMS) (ICD-9: 437.5) 

 Pial synangiosis 

 Omental transplantation 

 

1C 8 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

 Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 

terganggu, melalui program rehabilitasi medik 

10. Prognosis Prognosis dipengaruhi: 

- Perbaikan klinis dapat terlihat setelah dilakukan prosedur operasi dengan segera 

dengan kemungkinan 6-12 bulan akan terbentuk pembuluh darah baru sebagai 

supply.  

11. Indikator Medis Perbaikan status neurologis dan penyakit dasar penyebab moya-moya 

1

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Normal Pressure Hydrocephalus (NPH) 

G91.2 

3. Pengertian 

(Definisi) 

Kondisi dimana terjadi pembesaran ventrikel otak secara patologis dengan tekanan awal 

(Opening pressure) pada lumbal pungsi yang normal.  

4. Anamnesis  Secara klasik didapatkan trias: 

Inkontinensia urin 

Dementia 

Gangguan berjalan (gait disturbance) 

Gejala tersebut muncul sebagian dan perlahan-lahan (gradual) 

5. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 

Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari epilepsi. 

Pada saat kejang, pasien harus diperiksa dan ditatalaksana sesuai prinsip gawat darurat 

yaitu: amankan Airway, Breathing, Circulation  

 

Pemeriksaan Neurologis 

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 

 Pemeriksaan saraf kranial satu sampai duabelas 

 Pemeriksaan motorik menyeluruh 

 Pemeriksaan sensorik menyeluruh 

 Pemeriksaan refleks fisiologis 

 Pemeriksaan refleks patologis 

 Pemeriksaan fungsi kognitif (MMSE) 

6. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan penunjang  

7. Diagnosis Kerja Normal Pressure Hydrocephalus (G91.2) 

8. Diagnosis Banding - Penyakit prakinson 

- Vascular Dementia 

- Alzheimer 

- Sindrom Lobus Frontal 

- Gangguan sistem urinaria 

- Tumor/lesi serebelum 

9. Pemeriksaan 

Penunjang No Pemeriksaan Rekomendasi 

Grade 

Rekomend

asi 

Ref 

1 CT Scan Kepala 

- Didapatkan pembesaran di semua 

sistem ventrikel TANPA adanya 

tanda-tanda obstruksi atau infeksi 

- Adanya periventrikular edema 

(ejection) 

- ǀaŶ’s raƚiŽ хϬ.ϯ 

 

1A 1,2,3,4,5 

2 MRI Kepala 

- Didapatkan pembesaran semua 

sistem ventrikel 

- Adanya peningkatan sinyal di 

periventrikel (pada sekuens FLAIR) 

1B 1,2,3,4,5 

 216 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

- ǀaŶ’s raƚiŽ хϬ.ϯ 

3  Cysternografi 

- Dengan menggunakan isotop 

dengan lumbal pungsi. NPH 

ditegakkan ketika isotop hilang dari 

cysterna pada 72 jam 

2B 1,2,3,4,5 

Lumbal 

Pungsi/ 

Lumbal tap 

test 

- Pada Lumbal pungsi/ lumbal tap 

test, dikeluarkan LCS sebanyak 30-

50 cc kemudain evaluasi dari klinis. 

Perbaikan klinis akan memberikan 

hasil yang baik bila dilakukan 

shunting 

- Lumbal tap test dilakukan bisa 

hingga 3 kali untuk dapat melihat 

perbaikan klinis yang nyata 

1A 1,2,3,4,5 

External 

Lumbal 

Drainage 

- External LD juga mengeluarkan LCS 

akan tetapi dipertahankan 3-6 hari 

(LCS dapat dikeluarkan hingga 40 

cc),  

- Perbaikan klinis akan memberikan 

hasil yang baik bila dilakukan 

shunting 

1A 1,2,3,4,5 

 

10. Terapi 

No Terapi Rekomendasi 

Grade 

Rekomend

asi 

Ref 

Programmable 

VP shunt 

- Programmable VP s

hunt 
memberikan hasil yang lebih baik 
darpada VP shunt dengan fixed 
pressure karena kemampuan 
untuk memodifikasi dan 
menyesuaikan dengan tekanan 
ventrikel  
1A 1,2,3,4,5 
VP Shunt fixed 
pressure 
- VP shunt yang digunakan dapat 
beruap medium dan low pressure 
akan tetapi risiko terjadinya 
komplikasi overshunting sangat 
tinggi 
2A 1,2,3,4,5 
 
11. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
12. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
 
Prognosis operasi NPH akan meningkat bila terdapat perbaikan klinis pada diversi LCS 
pre-operasi (Dengan Lumbal tap test atau ELD) 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
HEMATOMA INTRASEREBRAL SPONTAN 
ICD-10: I61.0 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Kumpulan darah, dalam parenkim otak. Ini dapat merupakan perdarahan-perdarahan 
kecil yang menyatu, atau cedera pembuluh darah yang cukup besar. 
2. Anamnesis  Didapatkan nyeri kepala 
 Didapatkan gangguan neurologis (amnesia, penurunan kesadaran, kejang, dll.) 
 Didapatkan faktor resiko : hipertensi, diabetese mellitus 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways) , B 
(breathing) , dan C (circulation )  
Pemeriksaan lain 
 Darah tinggi. Gangguan Jantung. Gangguan Ginjal 
 
Pemeriksaan Neurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Saraf II-III, lesi saraf VII perifer  
 Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment 
 Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah  
 Autonomis 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan imaging sesuai di bawah 
5. Diagnosis Kerja Hematoma Intraserebral (ICD 10: I61.0) 
6. Diagnosis Banding - Trauma  
- Epileptic fits  
- Keracunan obat 
- Penyakit metabolik 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan 
Rekomendasi Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 CT scan 
CT tanpa kontras secara luas digunakan 
untuk mengevaluasi ICH akut,CT scan mampu 
mengevaluasi lokasi dan besar hematom juga 
mengevaluasi adanya ekstensi ventrikel, 
herniasi, edema sekitar,. 
 
1C 1,2,3 
2 CTA CTA maupun MRA dapat digunakan untuk 2A 4,5 
 219 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
screening adanya kelainan vaskuler seperti 
aneurysma, AVM 
 
3 MRI 
Sequence GRE-T2 untuk menilai perdarahan 
hiperakut, subakut, kronik 
2A 6 
4 DSA 
Untuk screening kelainan vaskuler seperti 
AVM. aneurysma 
1C 9 
 
X-foto thoraks: 
 Mencari kemungkinan kelainan jantung 
CT Scan Kepala: 
 Gambaran hiperedens berbentuk bikonveks 
 Bisa disertai dengan gambaran perdarahan di ventrikel 
X-foto lain-lain menurut keperluan 
8. Terapi 
No Terapi 
Rekomendasi Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
Regulasi 
tekanan 
darah 
Bila SBP>200 mmHg atau MAP>150 mmHg 
maka dianjurkan reduksi cepat tekanan 
darah menggunakan OAH intravena kontinyu 
dan monitoring setiap 5 menit 
 
Bila SBP >180 mmHg atau MAP >130 mmHg 
disertai tanda-tanda peningkatan TIK maka 
pemberian OAH secara intermitten atau 
kontinyu dengan target CPP 61-80 mmHg 
 
Bila SBP>180 mmHg atau MAP>130 mmHg 
tanpa disertai tanda-tanda penongkatan TIK 
maka target BP yaitu   160/90 menggunakan 
OAH intravena secara intermitten atau 
kontinyu dengan observasi setiap 15 menit 
 
 
 
 
 
1A 
 
 
 
7,8 
2 Operatif 
EVD (ICD-9 : 02.21) 
Indikasi untuk pasien dengan 
intraventrikular haemmorhage dengan 
defisit neurologis. EVD bilateral bisa saja 
dikerjakan bila perdarahan membuntu 
1B 8 
 220 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
foramen monroe. 
EVD untuk Hidrocephalus karena SAH 
pada pasien dengan penurunan kesadaran 
dan terbukti ada peningkatan TIK. Pasien 
dengan hidrocephalus yang tidak 
membaik dalam waktu 24 jam. 
ICH fossa Posterior (ICD 9-01.24) 
diameter > 3 cm dengan deteriosisasi 
neurologis atau kompresi brain stem 
dan/atau hidrosephalus karena obstruksi 
ventrikel direkomendasikan untuk 
dilakukan evakuasi perdarahan (Grade 1B) 
ICH Supratentorial (ICD 9-01.24) 
Volume > 30cc dengan jarak 1 cm dari 
permukaan. Evakuasi berikutnya dalam 96 
jam setelah operasi pertama tidak 
direkomendasikan. Tindakan bedah tidak 
disarankan pada pasien dengan kesadaran 
penuh atau koma dalam, pasien dalam 
intermediete level/stupor merupakan 
kandidat operasi. Hal lain yang 
mendukung tindakan pembedahan 
 Kejadian baru 
 Deteriorisasi neurlogis progresif 
 Lokasi dari perdaran dekat 
dengan permukaan korteks 
 Lokasi di hemisfer non dominan. 
 
3 Non operatif 
Hematoma yang kecil dan tidak 
memberikan efek masa (midlineshift< 
0,5 cm), juga tidak memberikan gejala 
klinik. 
Cedera difus tersebar 
- Perawatan di ruangan 
- Observasi GCS, pupil, lateralisasi, 
dan faal vital. 
- Optimalisasi, stabilisasi faal vital, 
menjaga mantapnya suplai O2 ke 
otak.  
- Sirkulasi : cairan infus berimbang 
NaCl-glukosa, dicegah terjadinya 
overhidrasi, bila sudah stabil secara 
bertahap di ganti cairan / nutrisi 
enteral / pipa lambung. 
- Penderita stroke perdarahan 
dengan lesi yang tidak memerlukan 
evakuasi dan penderita dengan 
gangguan analisa gas darah dirawat 
dalam respirator. 
- Mempertahankan perfusi otak, 
memposisikan kepala head up 
sekitar 30, dengan menghindari 
fleksi leher. 
  
 221 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
- Kateter buli-buli diperlukan untuk 
mencatat produksi urine, 
mencegah retensi urine, mencegah 
tempat tidur basah (dengan 
demikian mengurangi risiko 
dekubitus). 
- Cairan hipertonik (mannitol 20%), 
bila tampak edema atau cedera 
yang tidak operable pada CT Scan. 
Manitol dapat diberikan sebagai 
bolus 0,5 – 1 g/kg. BB pada 
keadaan tertentu, atau dosis kecil 
berulang, misalnya (4-6) x 100 cc 
manitol 20% dalam 24 jam. 
Penghentian secara gradual. 
- Analgesik, anti inflamasi, 
antipiretika : asam mefenamat, 
paracetamol 3-4 kali sehari 500 mg 
atau Na diklofenac 2-3 x sehari 50 
mg pada dewasa atau. 
- Antisida dan atau antagonis H2 
- Antiepileptikum  
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
 Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Prognosis dipengaruhi: 
- Usia (< 50 tahun) 
- GCS awal 
- Jarak antara kejadian dan tindakan bedah 
- Edema cerebri 
- Lokasi hematom 
- Faktor ekstrakranial 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
STROKE INFARK 
ICD-10: I63.0 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Defisit neurologis fokal yang terjadi akibat sumbatan pada pembuluh darah otak. 
2. Anamnesis Defisit neurologis fokal 
Wajah asimetris, bicara pelo, lumpuh separuh badan. 
Lama terjadinya 
Pingsan 
Kejang  
Nyeri kepala 
Penurunan kesadaran 
Alloanamnesis bila pasien tidak sadar 
Riwayat obat-obatan 
Riwayat sakit DM, jantung, epilepsi, obat-obatan tertentu 
3. PemeriksaanFisikk PemeriksaanFisikUmum 
 Pemeriksaanfisikpertama kali diutamakanpadaevaluasi  
 A (airways) mencegah lidah jatuh menghalangai jalan nafas. Stridor?,  
 B (breathing) , evaluasi suara nafas normal. Ada ronkhi, whezing, tanda-tanda 
efusi 
 C (circulation )  tekanan darah, denyut nadi isi, regularitas, perfusi ke jaringan 
perifer. Evaluasi suara tambahan jantung.  
 Kulit harus dievaluasi apakah ada tanda-tanda yang mengarah pada endokarditis, 
emboli kolesterol, ekimosis purpura, atau tanda-tanda adanya tindakan  prosedur 
invasif 
 
PemeriksaanNeurologis 
 Tingkat kesadaranGlasgow Coma Scale (GCS) 
 Saraf II-III,  
 Saraf-saraf cranialis terutama lesi saraf VII perifer/central 
 Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment 
 Motoris&sensoris, bandingkankanandankiri, atasdan bawah apakah ada 
Hempiparesis 
 Autonomis 
 
4. Kriteria Diagnosis Defisit neurologis Fokal 
Penemuan daerah iskemik/infark pada CT scan dan/atau MRI 
5. Diagnosis Kerja Stroke Infark (I63.0) 
6. Diagnosis Banding Hipoglikemia 
Hiperglikemia 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
 Diwajibkan untuk dilakukan pemeriksaan CT scan dan/atau MRI pada seluruh 
pasien dengan stroke akut baik iskemik maupun hemoragic 
 CTA/ MRA 
 DSA 
No Pemeriksaan 
Rekomendasi Grad
Reko
mend
Ref 
 224 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
asi 
CT scan- CTA- CT 
perfusi 
Pada fase hyperakut CT scan dapat 
digunakan untuk mengeksklusi stroke 
perdarahan. Sensitifitas CT non kontras pada 
stroke infark meningkat setelah 24 jam onset 
serangan.  
2A 6 
2 MRI 
MRI sekuens T1 dan T2 DWI, PWI, GRE dapat 
mendiagnosa stroke akut iskemik. DWI 
superior dalam mendiagnosa akut stroke 
iskemik dalam 12 jam onset  
1B 7 
 
 
MR Angiografi 
MRA untuk medeteksi adanya stenosis 
vaskuler atau oklusi. 
2B 8 
 
 Dilakukan juga pemeriksaan  
 Darah Lengkap 
 GDA 
 BGA 
 SE 
 BUN/SK 
 EKG 
 Cardiac enzymes 
 FH dan INR 
 LFT 
 Screening toxicology 
 Tes kehamilan pada wanita terduga hami 
 Foto Thorax 
 EEG 
8. Terapi 1. Bila pasien tidak ada resiko untuk terjadi peningktan TIK, aspirasi, atau 
kondisi Kardipulmonary yang mencurigakan disarankan head flat 0-15 
derajat 
2. Pada pasien dengan kecurigaan adanya tanda-tanda peningkatan TIK, 
penurunan kesadran, aspirasi, dekompensasi cordis, atau desatuari 
maka disarankan head up 30 derajat. 
 
No Terapi 
Prosedur  (ICD 9 CM) Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 rTPA 
1. Disarankan alteplase secara intravena 
pada onset kurang dari 3 jam (Grade 
1B),  Anti trombotik (contoh : aspirin) 
dapat diberikan dalam 48 jam sejak 
onset terjadi (Grade 1A) 
2. Pencegahan serangan kedua stroke 
pada pasien dengan noncardioembolic 
stroke atau riwayat TIA, lacunar infark 
direkomendasikan penggunaan 
antiplatelet clopidogrel (Grade 1) 
3. Penggunaan aspirin pada pasien 
dengan perdarahan GIT dianjurkan 50-
100 mg/hari untuk pencegahan 
serangan stroke kedua (Grade 1B) 
1A 9 
 225 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
4. Tidak dianjurkan penggunaan 
kombinasi aspirin dan clopidogrel pada 
pasien noncardioembolik stroke atau 
TIA (Grade 1A) 
 
2 OAH 
Pemberian obat anti hipertensi diberikan 
pada systole >220 atau diastole >120 
atauterdapat indikasi belum jelas (PJK, gagal 
jantung, diseksi aorta, ensefalopati 
hipertensi, GGA, atau pre eclampsia/ 
eclampsia). Target penurunan tekanan darah 
yaitu   15% dari tensi awal 
1C 10 
3 Endovasculer 
Prosedur mechanical thrombectomy dengan 
stent retriever (solitaire, dll) 
1A 11 
 
 
3. Anti piretik juga disarankan diberikan pada pasien demam yang 
biasanya terjadi pada fase akut strok iskemik 
4. Pencegahan untuk terjadinya penyulit terapi yakni 
- IMA 
- Gagal Jantung 
- Disfagi 
- Aspirasi Pneumonia 
- UTI 
- DVT 
- Malnutrisi 
- Dehidarsi 
- Ulkus decubitus 
- Kontraktur 
   
9. Edukasi 
Rutin minum obat antitrombotik 
Inisisasi obat anti lipid 
Setelah fase akut terlewati dapat dimulai manajemen penurunan terkanan darah 
Perubahan gaya hidup  
Olah raga, tidak merokok, diet sehat 
10. Prognosis Konsis pasien yang baik dengan terapi yang adekuat dalam onset kurang dari 4 jam 
menghasilkan prognosis yang baik. 
1
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
DURAL ARTERIOVENOUS FISTULA  
ICD-10: I67.1  
1. Pengertian 
(Definisi) 
Dural arteriovenous fistula (DAVf) yaitu   kondisi patologis dimana ditemukan adanya 
fistula (hubungan) antara cabang arteri duralis dengan vena duralis atau sinus venosus 
2. Anamnesis - Pasien dengan DAVf dapat tidak menunjukkan gejala sama sekali 
- Gejala pada pasien DAVf biasanya terjadi tergantung lokasi fistula dapat berupa: 
gangguan visus, ophtlamoplegi, diplopia, atupun perdarahan. 
- Pasien dapat mengalami gejala mendengar suara bruit, tinnitus, diplopia, proptosis 
sampai dengan gejala berat yaitu defisit neurologis 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways) , B 
(breathing) , dan C (circulation )  
 Pemeriksaan auskultasi pada orbita, lateral orbita, supra-orbita, mastoid, dan 
daerah lain sesuai sinus venosus 
 
Pemeriksaan Neurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Meningeal sign 
 Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah  
 Autonomis 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksaan klinis (sesuai di atas) 
2. Pemeriksaan penunjang (sesuai di atas) 
5. Diagnosis Kerja Dural Arterio-Venous Fistula  I67.1 
6. Diagnosis Banding - Dural AVM 
- Tumor Intrakranial 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan Keterangan Grade of 
Recommendat
ion 
Pustaka 
1. CT Scan Kepala CT Scan kepala non-
kontras harus dilakukan 
sebelum pemeriksaan 
invasif untuk 
menyingkirkan adanya 
perdarahan 
1A 1,2,3,4 
2. CTA CT Angiografi 
diperlukan untuk 
mengetahui anatomi 
pembuluhdarah 
intrakranial 
1A 1,2,3,4 
3. MRI MRI pada DAVf 
menunjukkan adanya 
pelebaran vena kortikal 
tanpa adanya 
parenchymal nidus, 
selain itu MRI juga 
menunjukkan 
1B 1,2,3,4 
 228 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
penebalan lapisan dura, 
hipertrofi arteri 
parenkimal, pelebaran 
vena, turtous vena, 
trombosis vena 
4 Angiografi 
(Trans-Femoral 
Cerebral Angiografi) 
Angiografi yaitu   gold 
standar untuk DVAf. 
Tujuan Angiografi 
yaitu   untuk identifikasi 
arterial feeders, lokasi 
fistula, dan pola dan 
arah drainase vena  
1A 1,2,3,4 
 
8. Terapi No Terapi Keterangan Grade of 
Recommendat
ion 
Pustaka 
1. Endovaskular Terapi endovaskuler 
pada DAVf yaitu   lini 
pertama, dapat melalui 
beberapa macam 
metode baik 
transarterial, transvena 
ataupun kombinasi 
menggunakan : 
- Embolisasi partikel 
- Injeksi glue (n-
buthylcyanoacrylate 
atau Ethylenvenyl 
Alcohol/  EVOH ) melalui 
rute vena atau arteri 
- Coiling melalui vena 
untuk menutup fistula 
(packing transvenous) 
- Stenting arteri karotis 
1A 1,2,3,4 
2. Operasi 
(pembedahan) 
Operasi dilakukan pada 
beberapa kasus, seperti 
DAVf pada fossa cranii 
anterior 
1A 1,2,3,4 
3. Terapi Radiasi Terapi radiasi dilakukan 
dengan cara sterotaktik, 
dan biasanya efektif 
apabila kombinasi 
dengan endovaskular 
atau operasi tidak 
optimal. 
2B 1,2,3,4 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
 Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Prognosis dipengaruhi oleh derajat gejala dan derajat disfungsi neurologis 
11. Indikator Medis Perbaikan status klinis dan perbaikan gambaran radiologis 

 
PNPK Divisi Neurospine 
 
1. Fraktur vertebra cervical      ICD 10: S12.2 
2. Herniasi discus intervertebral Lumbosacral dengan radiculopathy ICD 10: M54.16 
3. Herniasi discus intervertebral Cervical dengan radiculopathy  ICD 10: M50.10 
4. Neoplasma jinak kolumna vertebra     ICD 10: C16.6 
5. Neoplasma jinak spinal cord      ICD 10: D33.4 
6. Neoplasma maligna kolumna vertebra     ICD 10: C41.2 
7. Spondilosis cervical dengan myelopathy     ICD 10: M47.12 
8. Spondilosis lumbosacral dengan radiculopathy     ICD 10: M47.27 
9. Spondilitis TB        ICD 10: M49.0 
10. Spondilosis lumbosacral dengan myelopathy    ICD 10: M47.16 
 
 
  
 
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Fraktur Vertebra Servikal  
ICD 10: S12.2 
1. Pengertian (Definisi) Fraktur yang melibatkan satu atau lebih dari tujuh tulang belakang daerah leher, dengan 
atau tanpa komplikasi neurologis 
2. Anamnesis - Riwayat trauma 
- Nyeri leher 
- Kelemahan keempat anggota gerak, extremitas inferior dengan gejala UMN, extremitas 
superior dengan gejala UMN/LMN tergantung segmen yang terlibat 
- Gangguan sensorik 
- Gangguan autonom (BAK, BAB) 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum: 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
- Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airway), B (breathing) 
dan C (circulation) 
Pemeriksaan Lokalis Tulang Belakang 
- Mencari kelainan bentuk susunan tulang belakang (deformitas) 
- Mencari nyeri ketuk spinal, spasme/ketegangan otot spinal/paraspinal 
Pemeriksaan Neurologis: 
- Pemeriksaan fungsi motoris 
- Pemeriksaan fungsi Sensoris 
- Pemeriksaan fungsi otonom 
- Pemeriksaan tanda-tanda radikulopati dan instabilitas tulang belakang 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan radiologis sesuai diatas 
5. DiagnosisKerja Fraktur Vertebra Servikal (ICD 10: S12.2) 
6. Diagnosis Banding - Sindroma Guillain Barre 
- Canal Stenosis degeneratif 
- Infeksi spinal 
- Neoplasma spinal 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 X-foto Servikal 
AP, cross-table 
Lateral, dan 
open mouth 
odontoid 
Sensitifitas tinggi untuk evaluasi stabilitas 
tulang belakang 
1C 1 
2 CT scan Servikal Lebih unggul dibandingkan X-foto sebagai 
skrining kelainan tulang servikal pada kasus 
risiko tinggi cedera servikal: 
- KLL kecepatan tinggi  
- Jatuh dari ketinggian >3m 
1C 2,3 
 232 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
- Cedera kepala dengan adanya 
gambaran perdarahan intrakranial 
pada CT scan 
- Defisit neurologis sesuai dengan 
cedera servikal 
- Fraktur pelvis atau ekstremitas 
multipel 
3 MRI Spine - MRI diperlukan bila didapatkan nyeri 
servikal tanpa didapatkan kelainan pada 
pemeriksaan X-foto maupun CT Scan 
- MRI secara luas digunakan untuk evaluasi 
spinal kord, root, struktur ligamen, 
jarungan lunak sekitar diskus 
1C 4 
 
8. Terapi 
No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) 
Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 Pembedahan Pembedahan dilakukan pada kompresi spinal 
kord yang signifikan dengan deficit 
neurologis, terutama yang bersifat progresif, 
unstable, atau dislokasi 
 
Teknik pembedahan yang dilakukan: 
Laminekomi, Laminotomi, laminoplasti, 
foraminotomi  (03.09) 
Disektomi/corpectomi (80.51) 
Fusi dengan bone graft (84.52) 
Lateral Mass Screw (84.82) 
1C 5 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
1. Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
2. Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugiannya 
3. Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
4. Tipe perdarahan yang memberikan hasil pasca operasi paling baik diantara tipe 
perdarahan lainnya jika segera dilakukan tindakan evakuasi 
5. Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisi umum 
- Kelainan penyerta 
11. 
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Herniasi Diskus Intervertebra  Lumbosakral Dengan Radikulopati 
ICD 10: M54.16 
1. Pengertian (Definisi) Kelainan degeneratif progresif yang melibatkan perubahan struktur pada diskus 
intervertebra daerah lumbal yang menyebabkan penyempitan kanalis 
2. Anamnesis - Nyeri pinggang yang menjalar ke tungkai hingga kaki 
- Rasa tebal dan parastesi pada tungkai atau kaki  
- Kelemahan ekstrimitas inferior disertai dengan gejala LMN  
 Disfungsi kandung kemih 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Neurologis: 
- Pemeriksaan fungsi motoris 
- Pemeriksaan fungsi Sensoris 
- Pemeriksaan fungsi otonom 
- Pemeriksaan tanda-tanda radikulopati dan instabilitas tulang belakang 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan radiologis sesuai klinis 
5. DiagnosisKerja Herniasi Diskus Intervertebra Lumbosakral Dengan Radikulopati (ICD 10: M54.16) 
6. Diagnosis Banding - Spinal stenosis 
- Sindroma cauda equina 
- Amiotropik diabetic 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 X-foto Vertebra 
Lumbosacral 
Mencari kelainan bentuk susunan tulang 
belakang 
1B 1 
CT scan Spine 
Lumbosacral 
Dilakukan bila terdapat kontraindikasi 
penggunaan MRI 1B 1 
3 MRI Spine 
Gambaran disc buldging atau disc protursi 
yang menyebabkan kompresi nerve root / 
stenosis pada foramen 
1B 1 
 
8. Terapi No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) Grad
Reko
men
dasi 
Ref 
 235 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
1 Pembedahan Laminekomi, Laminotomi, laminoplasti, 
foraminotomi  (03.09) 
Disektomi (80.51) 
Fusi Lumbosacral (81.07) 
TLIF, PLIF (81.08) 
Fusi dengan bone graft (84.52) 
Pedicle Screw (84.82) 
1C 2;3 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
1. Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
2. Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugiannya 
3. Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
4. Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
Faktor ekstrakranial 
1
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Herniasi Diskus Intervertebra  Servikalis  Dengan Radikulopati 
ICD 10: M50.10 
1. Pengertian (Definisi) Kelainan degeneratif progresif yang melibatkan perubahan struktur pada diskus 
intervertebral daerah servikal menyebabkan penyempitan foramen 
2. Anamnesis - Nyeri leher, nyeri subscapular, nyeri bahu dan nyeri punggung yang semakin memberat 
dan terkadang menjalar ke tangan 
- Rasa tebal dan parastesi pada tangan 
 Kelemahan ekstrimitas superior disertai dengan gejala LMN 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Neurologis: 
- Pemeriksaan fungsi motoris 
- Pemeriksaan fungsi Sensoris 
- Pemeriksaan fungsi otonom 
- Pemeriksaan tanda-tanda radikulopati dan instabilitas tulang belakang 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan radiologis sesuai klinis 
5. DiagnosisKerja Herniasi Diskus Intervertebra Servikalis Dengan Radikulopati (ICD 10: M50.10) 
6. Diagnosis Banding - Spinal stenosis 
- Amyotrophic Lateral Sclerosis 
- Amiotropik diabetic 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 X-foto Vertebra 
Servikal 
Mencari kelainan bentuk susunan tulang 
belakang 
1C 1 
CT scan Spine 
Lumbosacral 
- Gambaran spondilosis 
- Bisa disertai dengan gambaran destruksi 
tulang belakang 
1B 1 
3 MRI Spine 
Gambaran disc buldging atau disc protursi 
yang menyebabkan kompresi nerve root / 
stenosis pada foramen 
1B 1;2 
 
8. Terapi 
No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) 
Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 Pembedahan Laminekomi, Laminotomi, laminoplasti, 
foraminotomi  (03.09) 
Disektomi (80.51) 
Fusidengan bone graft (84.52) 
1B 3;4 
 237 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
Lateral Mass Screw (84.82) 
ACDF (81.32) 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
1. Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
2. Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugiannya 
3. Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
4. Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisi umum 
- Kelainan penyerta 
1
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Neoplasma Jinak Kolumna Vertebralis  
ICD 10: C16.6 
1. Pengertian (Definisi) Tumor tulang belakang yaitu   neoplasma yang terletak di sumsum tulang belakang. Insiden 
tumor sumsum tulang belakang primer yaitu   2-4% dari semua tumor system saraf pusat 
primer. 1/3 dari keseluruhannya yaitu   tumor ekstramedula. 
2. Anamnesis Gejala yang paling sering muncul yaitu   nyeri sangat yang menyebabkan pasien terbangun 
di tengah malam. Pasien sering menggambarkan rasa sakit ini sebagai nyeri yang 
menggerogoti dan tak henti-henti.Meskipun manifestasi neurologis mungkin mulai di satu 
sisi, pada perkembangannya dapat berkembang pada kedua sisi dan dengan demikian 
menghasilkan gejala bilateral. 
Tulang belakang yaitu   tempat metastasis umum bagi banyak jenis tumor. Riwayat kanker 
dapat lebih mengarahkan diagnosis metastasis ke tulang belakang. 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan fisik menyeluruh termasuk kekuatan motorik, reflex fisiologis, reflex patologis, 
sensorik, dan otonom diperlukan untuk menentukan kemungkinan letak  tumor. 
Keterlibatan komponen saraf dan defisit neurologis sebelum operasi harus diperhitungkan 
untuk menentukan prognosa dan derajat neurologis kerusakan. 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan laboratorium: Tumor Marker 
4. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 
5. DiagnosisKerja Neoplasma Jinak Kolumna Vertebralis (ICD 10: C16.6) 
6. Diagnosis Banding a. Intramedulla Tumor:  
Ependymoma 
Astrocytoma 
Oligodendroglioma 
Mix 
Metastase 
b. Ekstramedulla Tumor:  
Meningioma 
Schwannoma 
Neurofibroma 
c. Ekstra dura Tumor : 
Metastase 
Chordoma 
Lymphoma 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 MRI dengan 
kontras  
MRI merupakan studi diagnostik terpilih. 
Memberikan gambaran spinal kord dan 
struktur sekitar dengan sangat baik.  
2C 1 
 
8. Terapi No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) Grad Ref 
 239 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
Reko
mend
asi 
1 Pembedahan Reseksi Tumor  
Stabilisasi spinal 
Pembedahan yang dilakukan: 
Biopsi tumor vertebra (03.32) 
Eksisi tumor vertebra (03.4) 
Laminekomi, Laminotomi, laminoplasti, 
foraminotomi  (03.09) 
Disektomi (80.51) 
Fusi Lumbosacral (81.07) 
FusiCraniocervical (81.01) 
TLIF, PLIF (81.08) 
Fusidengan bone graft (84.52) 
Pedicle Screw (84.82) 
1C 
1C 
 
9. Edukasi Pasien harus memahami bahwa penanganan akan berlangsung jangka panjang (long-term 
care) dan memerlukan tindak lanjut multidisiplin yang melibatkan bidang bedah saraf, 
rehabilitasi medik, dan urologi 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisiumum 
- Encase tumor dengan sumsum tulang 
1
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Neoplasma Jinak Spinal Kord  
ICD 10 : D33.4 
1. Pengertian (Definisi) Tumor tulang belakang yaitu   neoplasma yang terletak di sumsum tulang belakang. Insiden 
tumor sumsum tulang belakang primer yaitu   2-4% dari semua tumor system saraf pusat 
primer. 1/3 dari keseluruhannya yaitu   tumor ekstramedula. 
2. Anamnesis Gejala yang paling sering muncul yaitu   nyeri sangat yang menyebabkan pasien terbangun 
di tengah malam. Pasien sering menggambarkan rasa sakit ini sebagai nyeri yang 
menggerogoti dan tak henti-henti.Meskipun manifestasi neurologis mungkin mulai di satu 
sisi, pada perkembangannya dapat berkembang pada kedua sisi dan dengan demikian 
menghasilkan gejala bilateral. 
Tulang belakang yaitu   tempat metastasis umum bagi banyak jenis tumor. Riwayat kanker 
dapat lebih mengarahkan diagnosis metastasis ke tulang belakang. 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan fisik menyeluruh termasuk kekuatan motorik, reflex fisiologis, reflex patologis, 
sensorik, dan otonom diperlukan untuk menentukan kemungkinan letak  tumor. 
Keterlibatan komponen saraf dan defisit neurologis sebelum operasi harus diperhitungkan 
untuk menentukan prognosa dan derajat neurologis kerusakan. 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan laboratorium: Tumor Marker 
4. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 
5. DiagnosisKerja NeoplasmaJinak Spinal Cord (ICD 10: D33.4) 
6. Diagnosis Banding a. Intramedulla Tumor: -    Ependymoma 
- Astrocytoma 
- Oligodendroglioma 
- Mix 
- Metastase 
b. Ekstramedulla Tumor: -   Meningioma 
- Schwannoma 
- Neurofibroma 
c. Ekstra dura Tumor : - Metastase 
- Chordoma 
- Lymphoma 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 MRI dengan 
kontras  
MRI merupakan studi diagnostik terpilih. 
Memberikan gambaran spinal kord dan 
struktur sekitar dengan sangat baik. Hampir 
semua tumor intrinsik spinal kord menyangat 
dengan kontras gadolinium 
1C 1 
 
8. Terapi 
No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) 
Grad
Ref 
 242 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
Reko
mend
asi 
1 Pembedahan Reseksi Total Tumor 
 
Pembedahan yang dilakukan: 
Biopsi tumor vertebra (03.32) 
Eksisi tumor vertebra (03.4) 
Laminekomi, Laminotomi, laminoplasti, 
foraminotomi  (03.09) 
Disektomi (80.51) 
Fusi Lumbosacral (81.07) 
Fusi Craniocervical (81.01) 
TLIF, PLIF (81.08) 
Fusidengan bone graft (84.52) 
Pedicle Screw (84.82) 
1C 
 
 
2,3,4,10 
2 Radioterapi Radioterapi diberikan tergantung jenis 
tumor, pada kasus inoperable, atau subtotal 
reseksi 
1C 5,6,7,8,9,
11,12  
 
9. Edukasi Pasien harus memahami bahwa penanganan akan berlangsung jangka panjang (long-term 
care) dan memerlukan tindak lanjut multidisiplin yang melibatkan bidang bedah saraf, 
rehabilitasi medik, dan urologi 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisiumum 
- Encase tumor dengan sumsum tulang 
1
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Neoplasma Malignan Kolumna Vertebralis  
ICD 10: C41.2 
1. Pengertian (Definisi) Tumor tulang belakang yaitu   neoplasma yang terletak di sumsum tulang belakang.  Insiden 
tumor sumsum tulang belakang primer yaitu   2-4% dari semua tumor sistem saraf pusat 
primer. 1/3 dari keseluruhannya yaitu   tumor ekstramedula 
2. Anamnesis Gejala yang paling sering muncul yaitu   nyeri sangat yang menyebabkan pasien terbangun 
di tengah malam. Pasien sering menggambarkan rasa sakit ini sebagai nyeri yang 
menggerogoti dan tak henti-henti. Meskipun manifestasi neurologis mungkin mulai di satu 
sisi, pada perkembangannya dapat berkembang pada kedua sisi dan dengan demikian 
menghasilkan gejala bilateral. 
Tulang belakang yaitu   tempat metastasis umum bagi banyak jenis tumor. Riwayat kanker 
dapat lebih mengarahkan diagnosis metastasis ke tulang belakang. 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik menyeluruh termasuk kekuatan motorik, refleks fisiologis, reflex patologis, 
sensorik, dan otonom diperlukan untuk menentukan kemungkinan letak  tumor. 
Keterlibatan komponen saraf dan defisit neurologis sebelum operasi harus diperhitungkan 
untuk menentukan prognosa dan derajat neurologis kerusakan. 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan laboratorium: Tumor Marker 
4. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 
5. Diagnosis Kerja Neoplasma Malignan Kolumna Vertebralis (ICD 10 : C41.2) 
6. Diagnosis Banding - Abses epidural spinal 
- Abses psoas 
- Penyakit degeneratif 
- HNP  
- Tumor metastase 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan 
Rekomendasi Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 X-ray  
X-ray vertebra servikal/thoraks/lumbosacral 
untuk mencari kelainan bentuk susunan 
tulang belakang  
1B 3 
Magnetic 
resonance 
imaging (MRI) 
vertebra 
merupakan gold standart diagnostik, 
memberikan penggambaran yang sangat baik 
dari sumsum tulang belakang dan struktur di 
sekitarnya 
1B 3 
 
8. Terapi 
No Terapi 
Prosedur  (ICD 9 CM) Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 Bedah 
Biopsi tumor vertebra (03.32) 
Eksisi tumor vertebra (03.4) 
Laminekomi, Laminotomi, laminoplasti, 
foraminotomi  (03.09) 
1B 2, 4, 8 
 245 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
Disektomi (80.51) 
Fusi Lumbosacral (81.07) 
Fusi Craniocervical (81.01) 
TLIF, PLIF (81.08) 
Fusi dengan bone graft (84.52) 
Pedicle Screw (84.82) 
2 Radioterapi 
Radioterapi postoperasi meningkatkan 
kemungkinan hidup pasien dengan 
astrositoma infiltratif tetapi tidak pada tumor 
pilositik 
dosis yang sering digunakan yaitu   45 Gy 
dalam fraksi terbagi 
IC 6 
3 Kemoterapi 
kemoterapi memiliki tempat dalam 
pengelolaan lesi high grade astrositoma  , 
baik dalam mengubah natural history 
perkembangan tumor tersebut atau 
berpotensi dsebagai obat utama 
1C 7 
 
9. Edukasi Pasien harus memahami bahwa penanganan akan berlangsung jangka panjang (long-term 
care) dan memerlukan tindak lanjut multidisiplin yang melibatkan bidang bedah saraf, 
rehabilitasi medik, dan urologi. 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad malam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad malam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad malam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisi umum 
- Kelainan penyerta 
1
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Spondilosis Servikalis Dengan Myelopati  
ICD 10: M47.12  
1. Pengertian (Definisi) Kelainan degeneratif progresif yang melibatkan perubahan struktur pada korpus vertebra 
daerah cervikal, diskus intervertebra, osifikasi/ hipertrofi ligament (PLL dan flavum), dan 
osteofit yang menyebabkan penyempitan kanalis cervikalis dan menimbulkan sindroma 
disfungsi spinal kord  
2. Anamnesis - Nyeri leher, nyeri subscapular, nyeri bauh dan nyeri punggung yang semakin memberat 
dan terkadang menjalar ke tangan 
- Rasa tebal dan parastesi pada tangan  
- Kesulitan melakukan gerakan halus 
- Gangguan Gait, spastik, dan kadang muncul klonus 
- Kelemahan ekstrimitas inferior disertai dengan gejala UMN  
- Kelemahan ekstrimitas superior disertai dengan gejala LMN 
- Disfungsi kandung kemih, tanda lhermite 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum: 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
- Pemeriksaan fisik pertamakali diutamakan pada evaluasi A (airway), B (breathing) 
dan C (circulation) 
Pemeriksaan Lokalis Tulang Belakang 
- Mencari kelainan bentuk susunan tulang belakang (deformitas) 
- Mencari nyeri ketuk spinal, spasme/ketegangan otot spinal/paraspinal 
Pemeriksaan Neurologis: 
- Pemeriksaan fungsi motoris 
- Pemeriksaan fungsi Sensoris 
- Pemeriksaan fungsi otonom 
- Pemeriksaan tanda-tanda radikulopati dan instabilitas tulang belakang 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan radiologis sesuai diatas 
5. Diagnosis Kerja Spondilosis Servikalis Dengan Myelopati (ICD 10: M47.12) 
6. Diagnosis Banding - Amyotrophic Lateral Sclerosis 
- Sindroma Guillain Barre  
- Normal Pressure Hydrocephalus 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan 
Rekomendasi Grade 
Rekom
endasi 
Ref 
2 CT scan 
CT scan Spine (sesuai lesi) 
- Gambaran spondilosis 
- Bisa disertai dengan gambaran 
destruksi tulang belakang. 
1C 1 
 248 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
 
MRI 
 
MRI Spine (sesuai lesi) (1B) 
- Gambaran destruksi tulang 
(hipointens pada korpus vertebral 
disertai hilangnya batas endplate 
- Spondilosis 
- Bisa disertai gambaran epidural 
abses pada MRI dengan kontras 
- Sangat baik dalam memvisualisasi 
detail intramedular dari kelainan 
spinal 
san 
1B 
 
1,2,3 
 
8. Terapi 
No Terapi 
Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 
Rekom
endasi 
Ref 
1 Operasi 
 Pembedahan diindikasikan pada 
1. Munculnya defisit neurologis 
2. Adanya kompresi pada kord 
3. Perburukan kondisi dengan riwayat 
perawatan non operatif sebelumnya 
 Jenis Pembedahan Yang Dikerjakan: 
Laminekomi, Laminotomi, 
laminoplasti, foraminotomi  (03.09) 
Disektomi (80.51) 
Fusi dengan bone graft (84.52) 
Lateral Mass Screw (84.82) 
IC 4,5,6 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
1. Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
2. Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugiannya 
3. Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
4. Tipe perdarahan yang memberikan hasil pasca operasi paling baik diantara tipe 
perdarahan lainnya jika segera dilakukan tindakan evakuasi 
5. Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)               : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisi umum 
- Kelainan penyerta 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Spondilosis Lumbosakral Dengan Radikulopati 
ICD 10: M47.27  
1. Pengertian (Definisi) Kelainan degeneratif progresif yang melibatkan perubahan struktur pada diskus 
intervertebra daerah lumbal yang menyebabkan penyempitan kanalis 
2. Anamnesis - Nyeri pinggang yang menjalar ke tungkai hingga kaki 
- Rasa tebal dan parastesi pada tungkai atau kaki  
- Kelemahan ekstrimitas inferior disertai dengan gejala LMN  
- Disfungsi kandung kemih 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Lokalis Tulang Belakang 
- Mencari kelainan bentuk susunan tulang belakang (deformitas) 
- Mencari nyeri ketuk spinal, spasme/ketegangan otot spinal/paraspinal 
Pemeriksaan Neurologis: 
- Pemeriksaan fungsi motoris 
- Pemeriksaan fungsi Sensoris 
- Pemeriksaan fungsi otonom 
- Pemeriksaan tanda-tanda radikulopati dan instabilitas tulang belakang 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan radiologis sesuai diatas 
5. Diagnosis Kerja Spondilosis Lumbosakral Dengan Radikulopati (ICD 10: M47.27) 
6. Diagnosis Banding - Spinal stenosis 
- Sindroma cauda equina 
- Amiotropik diabetic 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan 
Rekomendasi Grade 
Rekomen
dasi 
Ref 
1 MRI 
MRI Spine (sesuai lesi) (1B) 
Gambaran disc buldging atau disc 
protursi yang menyebabkan kompresi 
nerve root / stenosis pada foramen 
1B 1,2,3,4 
2 CT scan 
CT scan Spine (sesuai lesi) 
- Gambaran spondilosis 
- Bisa disertai dengan gambaran 
destruksi tulang belakang. 
- Namun tidak bisa 
memvisualisasi cabang-cabang 
spinal dan penjalarannya 
1C 1,5,6 
 
CT 
Myelography 
CT Myelography 
- Dapat memvisualisasi cabang-
cabang spinal dan perjalarannya 
melalui foramen  
- Bisa disertai dengan gambaran 
destruksi tulang belakang. 
1B 
 
1,5,6 
 
8. Terapi No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) Grad Ref 
 251 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
Reko
mend
asi 
1 Operasi 
 Pembedahan diindikasikan pada 
4. Munculnya radikulopati akut disertai 
defisit neurologis 
5. Munculnya radikulopati akut disertai 
retensi urin, anestesia sadle, dan 
defisit neurologis bilateral 
6. Curiga suatu neoplasma 
7. Curiga suatu epidural abses 
8. Perburukan kondisi dengan riwayat 
perawatan non operatif sebelumnya 
 Jenis Pembedahan yang dilakukan: 
Laminekomi, Laminotomi, 
laminoplasti, foraminotomi  (03.09) 
Disektomi (80.51) 
Fusi Lumbosacral (81.07) 
TLIF, PLIF (81.08) 
Fusi dengan bone graft (84.52) 
Pedicle Screw (84.82) 
IC 7 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
1. Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
2. Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugiannya 
3. Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
4. Tipe perdarahan yang memberikan hasil pasca operasi paling baik diantara tipe 
perdarahan lainnya jika segera dilakukan tindakan evakuasi 
5. Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisi umum 
- Kelainan penyerta 

 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
SpondilitisTB 
ICD 10:M49.0 
1. Pengertian (Definisi) Infeksi pada satu atau lebih korpus vertebra/diskus akibat kuman tuberculosis 
2. Anamnesis Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis Kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat  
- Nyeri leher, nyeri punggungatau nyeri pinggang yang semakin memberat 
- Didapatkan gangguan neurologis yang semakin memberat (kelemahan motorik, defisit 
sensoris, radikulopati, gangguan otonom dll.) 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum: 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
- Pemeriksaan fisik pertamakali diutamakan pada evaluasi A (airway), B (breathing) 
dan C (circulation) 
Pemeriksaan Lokalis Tulang Belakang 
- Mencari kelainan bentuk susunan tulang belakang (deformitas) 
- Mencari nyeri ketuk spinal, spasme/ketegangan otot spinal/paraspinal 
Pemeriksaan Neurologis: 
- Pemeriksaan fungsi motoris 
- Pemeriksaan fungsi Sensoris 
- Pemeriksaan fungsi otonom 
- Pemeriksaan tanda-tanda radikulopati dan instabilitas tulang belakang 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan radiologis sesuai klinis 
4. Pemeriksaan mikrobiologis sesuai diatas 
5. Diagnosis Kerja Spondilosis TB (ICD 10: M49.0) 
6. Diagnosis Banding - Abses epidural spinal 
- Abses psoas 
- Penyakit degeneratif 
- HNP  
- Tumor metastase 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
 
No Pemeriksaan 
Rekomendasi Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
X-ray vertebra 
servikal/thoraks/
lumbosacral 
X-ray untuk mencari kelainan bentuk susunan 
tulang belakang  1C 1,3 
2 CT scan 
CT scan Spine (sesuai lesi) 
- Gambaran spondilosis 
- Bisa disertai dengan gambaran 
destruksi tulang belakang, 
resolusijaringan yang tinggi.  
1C         1,3 
 254 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
 
MRI 
 
MRI Spine (sesuai lesi)  
- Gambaran destruksi tulang 
(hipointens pada korpus vertebral 
disertai hilangnya batas endplate 
- Spondilosis 
- Bisa disertai gambaran epidural abses 
pada MRI dengan 
kontras 
1B 
 
        1,3 
 
8. Terapi 
No Terapi 
Prosedur  (ICD 9 CM) Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
1 Antibiotik Pemberian antibiotik sesuai hasil kultur 1B 1,2,4 
2 Operasi 
 
debridement  (86.2) 
Laminekomi, Laminotomi, 
laminoplasti, foraminotomi  (03.09) 
Disektomi (80.51) 
Fusi Lumbosacral (81.07) 
Fusi Craniocervical (81.01) 
TLIF, PLIF (81.08) 
Fusi dengan bone graft (84.52) 
Pedicle Screw, Lateral mass screw 
(84.82) 
 
IC 1,2,4,6 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
1. Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
2. Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugiannya 
3. Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang terganggu, 
melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)  : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisi umum 
- Kelainan penyerta 
11
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Spondilosis Lumbosakral Dengan Mielopati 
ICD 10: M47.16  
1. Pengertian (Definisi) Kelainan degeneratif progresif yang melibatkan perubahan struktur pada diskus 
intervertebra daerah lumbal yang menyebabkan penyempitan kanalis  
2. Anamnesis - Nyeri pinggang yang menjalar ke tungkai hingga kaki 
- Rasa tebal dan parastesi pada tungkai atau kaki  
- Kelemahan ekstrimitas inferior disertai dengan gejala LMN  
- Disfungsi kandung kemih 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Lokalis Tulang Belakang 
- Mencari kelainan bentuk susunan tulang belakang (deformitas) 
- Mencari nyeri ketuk spinal, spasme/ketegangan otot spinal/paraspinal 
Pemeriksaan Neurologis: 
- Pemeriksaan fungsi motoris 
- Pemeriksaan fungsi Sensoris 
- Pemeriksaan fungsi otonom 
- Pemeriksaan tanda-tanda radikulopati dan instabilitas tulang belakang 
 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan radiologis sesuai diatas 
5. Diagnosis Spondilosis Lumbosakral Dengan Mielopati(ICD 10: M47.16) 
6. Diagnosis Banding - Spinal stenosis 
- Sindroma cauda equina 
- Amiotropik diabetic 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
No Pemeriksaan 
Rekomendasi Grad
Reko
mend
asi 
Ref 
X-ray vertebra 
servikal/thoraks/
lumbosacral 
X-ray untuk mencari kelainan bentuk susunan 
tulang belakang 1C 1,2,3,10 
2 CT scan - Gambaran spondilosis 1B 1,4,5, 10 
 
 
MRI 
 
- Gambaran disc buldging atau disc 
protursi yang menyebabkan kompresi 
nerve root / stenosis pada foramen 
1B 
 
4, 6, 10 
 
8. Terapi 
No Terapi 
Prosedur  (ICD 9 CM) Grad
Reko
Ref 
 257 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
mend
asi 
1 Pembedahan 
 Laminekomi, Laminotomi, laminoplasti, 
foraminotomi  (03.09) 
 Disektomi (80.51) 
 Fusi Lumbosacral (81.07) 
 TLIF, PLIF (81.08) 
 Fusi dengan bone graft (84.52) 
 Pedicle Screw (84.82) 
1C 
10, 11, 
12, 13, 
14 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
1. Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
2. Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugiannya 
3. Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
4. Tipe perdarahan yang memberikan hasil pasca operasi paling baik diantara tipe 
perdarahan lainnya jika segera dilakukan tindakan evakuasi. 
5. Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
Prognosis dipengaruhi: 
- Usia 
- Status Neurologis awal 
- Kondisi umum 
- Kelainan penyerta 
11
PNPK Divisi Neurofungsional 
 
1. Carpal tunnel syndrome      ICD 10: G56.0 
2. Epilepsi        ICD 10: G40 
3. Glossofaringeal neuralgia     ICD 10: G52.1 
4. Hemifacial spasme      ICD 10: G51.3 
5. Parkinson        ICD 10: G20 
6. Trigeminal neuralgia      ICD 10: G50.0 
7. Essensial tremor      ICD 10: G25.0 
8. Low back pain sub acute dan kronik     ICD 10: M54 
 
 
 
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANANKEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
CARPAL TUNNEL SYNDROME 
G56.0 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Carpal tunnel syndrome yaitu   suatu kompleks gejala dan tanda yang diakibatkan oleh 
jepitan dari saraf medianus yang berjalan melewati carpal tunnel 
2. Anamnesis  Didapatkan nyeri pada telapak tangan yang dipersarafi oleh saraf medianus 
 Didapatkan rasa tebal pada telapak tangan yang dipersarafi saraf medianus 
 didapatkan rasa tingling (seperti tersengat listrik) 
 Biasanya bertambah parah pada malam hari 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari trigeminal neuralgia 
 
PemeriksaanNeurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Pemeriksaan seluruh saraf kranialis yang dititikberatkan pada saraf kranial kelima 
(trigeminal) meliputi: 
 Sensorik: pemeriksaan sensasi (nyeri – raba – tekan/pressure  – suhu) pada 
masing-masing distribusi cabang saraf di tangan (nervus medinus, ulnaris, 
radialis) dan lengan 
 Motorik: pemeriksaan meliputi kekuatan, tonus, trofi. Pada CTS akan didapatkan 
atrofi otot thenar 
 Tes Phalen: pasien diminta untuk gerakan fleksi telapak tangan dengan siku full 
ekstensi untuk memberikan regangan penuh pada nervus medianus. Dikatakan 
POSITIF apabila dapatkan nyeri atau paresthesia setelah 1 menit fleksi telapak tangan. 
 Tes Tinel: pemeriksa melakukan perkusi pada daerah proksimal atau tepat di atas 
carpal tunnel. Dikatakan POSITIF apabila didapatkan nyeri atau parestesi dari telapak 
tangan 
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 
2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
3. Pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi lokasi kelainan 
5. DiagnosisKerja Carpal Tunnel Syndrome (G56.0) 
6. Diagnosis Banding - Cervical radiculopathy 
- Cervical spondylotic myelopathy 
- Cervical polyradiculopathy 
- Brachial plexopathy 
- Median neuropathy 
- Motor neuron disease (ALS) 
- Fibromyalgia 
- Nyeri ligamentum 
- Kompartemen syndrome  
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
- Nerve conduction test (NCS) (Grade 2A) 
- Electromyography (EMG) (Grade 2) 
- MRI carpal tunnel (Grade 3) 
 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
 261 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
Nerve 
Conduction 
Test (NCS) 
NCS akan memberikan hasil adanya 
cedera atau gangguan konduksi pada 
saraf medianus 
 
2A 1,2 
Electromyogra
phy (EMG) 
EMG tidak wajib dilakukan pada 
pasien dengan CTS yang memiliki 
gejala khas. EMG berguna untuk 
eksklusi penyakit lain, misalnya 
cervical radiculopathy,plexopathy, 
dan lain-lain  
 
2A 1,2 
Magnetic 
Resonance 
Imaging (MRI) 
MRI bukan merupakan pemeriksaan 
rutin. MRI dilakukan bilamana pasien 
mengalami deformitas terutama 
struktur anatomi jaringan lunak di 
sekitar carpal tunnel 
2A 1,2 
 
8. Terapi  Operatif: (1B) 
Carpal tunnel release dengan teknik: 
- Open technique (04.43) 
dengan menggunakan insisi pada carpal tunnel. Dapat berupa insisi standar 
atau small palmar incision 
- Endoscopic technique: 
dengan menggunakan endoskopi dapat berupa one portal approach atau two 
portal approach 
 
No Terapi Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
1 Operatif 
Carpal tunnel release dengan teknik: 
- Open technique (04.43) 
 dengan menggunakan insisi pada 
carpal tunnel. Dapat berupa insisi 
standar atau small palmar incision 
- Endoscopic technique: 
 dengan menggunakan endoskopi 
dapat berupa one portal 
approach atau two portal 
approach 
1B 5,6,7,8 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
 
Re-open CTS release dapatterjadipada 49% pasien. Tingkat keberhasilan (pain-free) 
antara 73-90%. 
1
  
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANANKEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
EPILEPSI 
G40 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Epilepsi yaitu   serangkaian gejala neurologis yang ditandai dengan serangan epileptik 
yaitu episode kejang berulang yang tidak dipicu oleh sebab langsung ( Intermediate 
cause) . 
2. Anamnesis  Didapatkan riwayat serangan kejang epileptik 
 Semiologi kejang meliputi:  
 aura kejang,  
 tipe kejang (absans, fokal, general, focal secondary general),  
 onset kejang,  
 durasi kejang,  
 frekuensi kejang, 
 gejala post-ictal. 
 Dapat didapatkan riwayat keluarga dengan epilepsi, riwayat trauma, riwayat kejang 
demam. 
 Kejang dapat dipicu ( seizure precipitants ): kondisi emosional, latihan/aktivitas berat, 
suara keras, cahaya/sinar yang menyilaukan 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari epilepsi. 
Pada saat kejang, pasien harus diperiksa dan ditatalaksana sesuai prinsip gawat darurat 
yaitu: amankan Airway, Breathing, Circulation  
 
PemeriksaanNeurologis 
 Tingkat kesadaranGlasgow Coma Scale (GCS) 
 Pemeriksaan saraf kranial satu sampai dua belas 
 Pemeriksaan motoric menyeluruh 
 Pemeriksaan sensorik menyeluruh 
 Pemeriksaan reflex fisiologis 
 Pemeriksaan reflex patologis 
4. Kriteria Diagnosis 4. Anamnesis sesuai diatas 
5. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
6. Pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi penyebab kejang 
5. Diagnosis Kerja Epilepsi (G40) 
6. Diagnosis Banding - Kejang demam ( febrile convulsion ) 
- Non -epileptic convulsion  
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
Pemeriksaan Laboratorium (Grade 1B): untuk mengkonfirmasi penyebab metabolik: 
- Hematologi rutin 
- Serum elektrolit (Natrium, Kalium) 
- Kalsium dan Magnesum 
- Glukosa darah 
- Fungsi Ginjal 
- Fungsi hepar 
- Screening toksikologi 
 
 264 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
Pemeriksaan Elektroensefalografi/EEG (Grade 1A) 
Merupakan pemeriksaan utama pada pasien epilepsi: 
- EEG Rutin/ interiktal 
- EEG Longterm Intrakranial 
 
MRI Kepala (Grade 1B) 
Pada epilepsy dapat ditemukan abnormalitas struktur berupa: 
- Abnormalitas mesial temporal, berupa Mesial temporal sclerosis, hipocampal 
sclerosis, vascular lesion  
- Abnormalitas struktur korteks (cortical dysplasia ) 
Pemeriksaan MRI dapat juga menyingkirkan penyebab lain dari kejangnya itu adanya 
massa yang mengakibatkan lesi desak ruang (space occupying lesion ) 
 
Apabila didapatkan lesi struktur yang meragukan, dapat dilanjutkan pemeriksaan (Grade 
2B): 
- PET / FDG-PET 
- SPECT 
- MEG 
8. Terapi  Non Operatif: (Grade 1A) 
Pasien epilepsi yang baru saja didiagnosis diberikan manajemen non-operatif 
berupa: 
1. Medikamentosa 
Obat anti-epilepsi dapat digunakan disesuaikan dengan gambaran klinis kejang 
dari pasien 
 Epilepsi dengan kejang fokal 
- Iamtorigine 
- Oxcarbazepine 
- Carbamazepine 
- Gabapentin 
- Topimirat 
 Epilepsi dengan kejang general 
- Valproat 
- Iamotrigine 
- Topiramate 
- Fenitoin 
 
2. Konseling 
Pasien epilepsi harus mendapatkan konseling yang berkaitan dengan kualitas 
hidup dan keselamatan diri, meliputi: ijin berkendara, asuransi jiwa, dan 
konseling psikososial yang terkait  
 
 Operatif: (Grade 1B) 
 Pasien dengan epilepsy dapat ditatalaksana dengan manajemen operatif 
dengan kandidat tertentu yaitu pasien dengan: 
o Mesial Temporal Epilepsi (MTE)  
Konfirmasi MTE yaitu   dengan pemeriksaan menyeluruh hingga EEG dan MRI 
yang membuktikan adanya focus epileptogenic pada amygdala dan 
hippocampus 
o Lesional Epilepsy 
Pasien dengan struktur patologi yang jelas mengakibatkan kejang misalnya 
ditemukan tumor low grade glioma, cavernous malformation, malformation 
cortical development,  
o Focal epilepsy dengan riwayat drug-resistant 
Harus diketahui focus epileptogenic dengan EEG Longterm intracranial dan 
 265 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
MRI 
 
Tindakan operatif (terutama pada MTE) didahului dengan prosedur WADA test 
(intracarotid amobarbital test ) yaitu injeksi amobarbital intrakarotis untuk 
mengetahui lokasi dominasi hemisfer untuk fungsi bahasa dan memori. 
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk memprediksi outcome postoperasi 
 
Teknik operasi epilepsi dapat berupa: 
- Anterior temporal lobectomy  (01.53) 
- Selective amygadalohippocampectomy (01.53) 
- Focal cortical resective surgery  (01.5) 
- Lesionectomy    (01.5) 
- Radiosurgery (Gamma-knife)                (01.59) 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
 
Prognosis operasi MTE sangat baik dengan tingkat mortalitas 0% dan morbiditas 10.8%. 
Komplikasi pembedahan dapat berupa gangguan kognitif dan gangguan lapangan 
pandang. 
11. 
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
GLOSOFARINGEAL NEURALGIA 
G52.1 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Glossopharyngeal neuralgia yaitu   nyeri paroksismal yang terdistribusi sesuai saraf 
kranial kesembilan (glosofaring) dan sepuluh (vagus) 
2. Anamnesis  Lokasi nyeri: telinga, fossa tonsilar, dasar lidah, sudut rahang 
 Nyeri bersifat khas yaitu paroksismal, berat, seperti ditusuk-tusuk atau seperti 
tersengat listrik, berulang (episodik) 
 Seringkali unilateral, dapat terjadi bilateral (12%) 
 Nyeri dapat dipicu oleh gerakan mengunyah, menelan, batuk, bicara, menguap, 
sentuhan pada telinga,  
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari glosofaringeal 
neuralgia 
 
Pemeriksaan Neurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Pemeriksaan seluruh saraf kranialis yang dititikberatkan pada saraf kranial 
kesembilan (glosofaring) dan sepuluh (vagus) meliputi: 
 Sensorik: pemeriksaan sensasi (nyeri – raba – tekan/pressure  – suhu) pada 
masing-masing distribusi cabang saraf kranial Sembilan dan sepuluh (lokasi 
seperti pada anamnesis). Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing distribusi 
cabang saraf dan dibandingkan kanan dan kiri. 
 Motorik: pemeriksaan motoric saraf Sembilan sepuluh dengan cara pasien 
diminta untuk menelan, dan batuk. Diperiksa juga apakah pemeriksaan tersebut 
memicu nyeri glosofaringeal atau tidak. 
4. Kriteria Diagnosis 7. Anamnesis sesuai diatas 
8. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
9. Pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi lokasi kelainan 
5. DiagnosisKerja Glosofaringeal Neuralgia (G52.1) 
6. Diagnosis Banding - Penyakit local pada faring  
- Osifikasi ligament stilohyoid 
- Multiple sclerosis 
- Tumor pada saraf glosofaring dan vagus atau sekitar saraf tersebut 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
MRI Kepala + MRA (Grade 1B) 
 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
MRI Kepala + 
MRA  
- Sensitivitas mencapai 95%, dengan 
spesifisitas 86% 
- Ditemukan adanya neuro -vascular 
contact antara saraf glosofaring dan 
vagus pada root entry zone  dengan 
struktur pembuluh darah (biasanya 
arteri posterior inferior serebelaris) 
- MRI dan MRA disertai dengan 
1B 1,2,3,4 
 268 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
sekuens FIESTA untuk mengetahui 
arah dan lokasi neuro -vascular 
contact 
 
8. Terapi  
No Terapi Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
1 Operatif 
- Microvascular Decompression 
(04.42) 
Yaitu suatu tindakan pembedahan 
kraniotomi yang memisahkan 
(dekompresi) struktur pembuluh 
darah yang menempel pada root 
entry zone  saraf glosofaringeal 
 
1B 1,2,3,4 
2 Non Operatif 
Pada glosofaringeal neuralgia dapat 
diberikan medika mentosa yaitu: 
- Carbamazepine  
- Oxcarbazepine 
- Baclofen 
- Lamotrigine 
- Topical lidocaine. 
1b 1,2,3,4 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
 
Pembedahan Microvascular Decompression memiliki tingkat keberhasilan 95% bebas 
nyeri. Komplikasi dapat berupa paresis saraf glosofaringeal (8%). 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
HEMIFACIAL SPASM 
G51.3 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Hemifacial spasm yaitu   gerakan sinkron yang tidak disadari (involunter) pada salah satu 
sisi dari wajah. 
2. Anamnesis  Gerakan tidak disadari pada salah satu sisi wajah 
 Lokasi : salah satu sisi wajah, biasanya bermula dari otot sekitar kelopak mata (otot 
orbicularis okuli, berkedip-kedip) 
 Spasme bersifat singkat, klonik ireguler, bias bersifat tonik 
 Seringkali unilateral, dapat terjadi bilateral (5%),  
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari glosofaringeal 
neuralgia 
 
Pemeriksaan Neurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Pemeriksaan seluruh saraf kranialis yang dititikberatkan pada saraf kranial 
ketujuh (nervus facialis) meliputi: 
 Motorik: pemeriksaan motoric saraf tujuh dengan cara pasien diminta untuk 
menutup kelopak mata, mengernyitkan dahi, mengangkat alis, tersenyum 
memperlihatkan gigi, menggembungkan pipi dan bersiul. Kemudian dibandingkan 
kanan dan kiri. 
 Sensorik diperiksa sesuai indikasi, ada atau tidak kelainan pada pengecapan lidah 
duapertiga anterior. 
4. Kriteria Diagnosis 10. Anamnesis sesuai diatas 
11. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
12. Pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi lokasi kelainan 
5. DiagnosisKerja Hemifacial Spasm (G51.3) 
6. Diagnosis Banding - Blefarospasme 
- Meige syndrome 
- Tumor pada nervus kranial tujuh atau sekitar nervus tersebut 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
MRI Kepala + 
MRA 
- Ditemukan adanya neuro -vascular 
contact antara saraf facial pada root 
exiting zone  dengan struktur 
pembuluh darah (biasanya arteri 
anterior inferior serebelaris, 88-
93%) 
MRI dan MRA disertai dengan sekuens 
FIESTA untuk mengetahui arah dan 
lokasi neuro -vascular contact 
1B 1,2,3,4 
 
8. Terapi  
 271 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
No Terapi Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
1 Operatif 
 Microvascular Decompression 
(04.42) 
Yaitu suatu tindakan pembedahan 
kraniotomi yang memisahkan 
(dekompresi) struktur pembuluh 
darah yang menempel pad aroot 
exiting zone  saraf fasial 
 
1B 1,2,3,4 
2 Non Operatif 
Pada hemifacial spasm dapat 
diberikan medikamentosa yaitu 
injeksi Botulinum toxin . 
 
2C 4 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
1
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
PARKINSON 
G20 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Penyakit parkinson yaitu   suatu penyakit neuro degeneratif progresif yang 
bermanifestasi terutama pada gangguan motorik 
2. Anamnesis Terdapat tanda cardinal yaitu: 
1. Tremor 
Tremor pada penyakit Parkinson yaitu   tremor at rest  (tremor pada saat tidak 
aktivitas). Tremor biasanya terjadi secara intermiten, lokasi tremor termasuk kaki, 
bibir, rahang, lidah, dan jarang melibatkan kepala. 
2. Bradykinesia 
yaitu   kelambatan gerakan secara umum. Tanda yang sering muncul yaitu   
menyeret kaki, langkah yang pendek, kesulitan berdiri dari kursi. 
3. Rigidity 
yaitu   peningkatan tahanan pada gerakan pasif, terjadi pada 90% pasien parkinson. 
Dapat terjadi cogwheel rigidity . 
4.Postural instability 
Adanya gangguan refleks postural-sentral yang menyebabkan perasaan 
ketidakseimbangan yang menyebabkan kecenderungan untuk jatuh 
 
Dapat juga ditemukan gejala lain yaitu 
- Gangguan penglihatan 
- Myoclonus 
- Short-stepped gait, festinating gait 
- Disfungsi kognitif dan demensia 
- Psikosis dan halusinasi 
- Gangguan tidur 
- Disfungsi otonom 
- Gangguan mood: depresi, kecemasan,  
 
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala parkinson 
 
Pemeriksaan Neurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Pemeriksaan motoric meliputi: kekuatan motorik, tonus, trofi, dan refleks. 
Diperiksa juga tipe dari rigiditas apabila ditemukan harus diperhatikan tremor 
dari pasien. 
 Pemeriksaan sensorik sesuai dengan gejala dan indikasi 
 Pemeriksaan inspeksi dari gait (didapatkan short-stepped atau festinating gait) 
  
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis Penyakit Parkinson Parkinson Disease(PD) secara klinis : 
1. Tidak boleh ada kriteria eksklusi absolut 
2. Minimal ada DUA kriteria penunjang 
3. Tidak ada red flags  
 273 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
Diagnosis mungkin (probable) Parkinson : 
1 Tidak boleh ada kriteria eksklusi absolut 
2 Ada red flags yang diimbangi oleh kriteria penunjang 
3 Apabila ada SATU redflag, harus ada minimal SATU kriteria penunjang 
4 Apabila ada DUA redflags, harus ada minimal DUA kriteria penunjang 
5 Tidak boleh ada lebih dari DUA red flags  
Kriteria Penunjang 
  
1. Adanya bukti nyata dan jelas bahwa terapi dopamine memberikan respon. 
Selama terapi awal, fungsi klinis pasien kembali normal atau mendekati normal. 
Apabila tidak ada dokumentasi yang jelas mengenai respon terapi awal ini, maka 
respon yang nyata dapat diklasifikasikan sebagai: 
a. Adanya perbaikan yang nyata apabila dosis dinaikkan atau perburukan apabila 
dosis diturunkan. Perubahan ringan tidak dimasukkan. Dokumentasi bias secara 
objektif (perubahan>30% dengan pemeriksaan UPDRS III) atau subjektif 
(pencatatan yang jelas oleh pasien atau perawat pasien yang dipercaya) 
b. Fluktuasi ĨĞŶŽmĞŶa ͞KEͬK&&͟ LJaŶŐ ũĞlas dan nyata, harus ada prediksi end -of -
dose wearing off  
  
2. Adanya diskinesia yang dipengaruhi levodopa (levodopa -induced dyskinesia ) 
 
3. Tremor at rest  dari ekstremitas, yang terdokumentasi pada pemeriksaan fisik 
(baik riwayat pemeriksaan fisik dahulu atau yang sekarang)  
  
4.Hilangnya sensasi penghidu atau denervasi simpatis pada jantung pada MIBG 
scintigraphy 
Kriteria Eksklusi Absolut  : Adanya gejala atau tanda berikut maka BUKAN 
merupakan penyakit Parkinson 
  
1.Abnormalitas serebelum yang tegas seperti cerebellar gait , limb ataxia , atau 
cerebellar oculomotor abnormalities  (eg, nystagmus yang berkelanjutan, macro 
square wave jerks , hypermetric saccades ) 
  
2. Downward vertical supranuclear gaze palsy , atau selective slowing of 
downward vertical saccades  
  
3. Diagnosis kemungkinan demensia frontotemporal behavioral, atau primary 
progressive aphasia , berdasarkan dari kriteria diagnosis penyakit tersebut selama 
5 tahun. 
  
4. Gejala Parkinson hanya pada ekstremitas inferior pada tiga tahun terakhir. 
  
5. Terapi dengan obat dopamine receptor blocker  atau dopamine -depleting agent  
pada waktu dan dosis tertentu yang konsisten dengan drug -induced parkinsonism  
  
6. Tidak adanya respon terhadap levodopa high-dose meskipun tingkat 
keparahannya rendah. 
  
7. Kehilangan sensasi sensorik kortikal yang jelas (graphesthesia , stereognosis  
dengan sensorik primer yang intak), apraksia ideomotor ekstremitas yang jelas, 
atau afasia yang progresif 
  
8. Pencitraan (neuroimaging) normal pada system dopaminergic presinaptik. 
 274 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
  
9. Adanya dokumentasi pada kondisi alternatif yang diketahui menyebabkan 
Parkinson dan secara masuk akal terkait dengan gejala dari pasien, atau dokter 
yang memeriksa pasien tersebut, berdasarkan modalitas diagnostik, merasa 
bahwa diagnosis alternative lebih mungkin daripada penyakit parkinson. 
Red flags 
  
1. Progresivitas yang cepat dari kelainan berjalan (gait impairment) yang 
membutuhkan kursi roda pada 5 tahun setelah onset. 
  
2. Tidak adanya progresivitas gejala motoric setelah lebih dari 5 tahun, kecuali 
ada pengaruh dari obat. 
  
3. Early bulbar dysfunction : Disfonia dan Disartria berat (bicara tidak bias 
dimengerti) or Disfagia berat (membutuhkan makanan halus, NG tube, atau 
gastrostomy feeding ) dalam 5 tahun 
  
4. Disfungsi inspirasi-ekspirasi: dapat diurnal atau nokturnal stridor atau sighs  
  
5. Kegagalan fungsi otonom berat dalam 5 tahun terakhir. Termasuk: 
a. Hipertensi ortostatik-Penurunan tekanan darah secara ortostatik dalam tiga 
menit setelah berdiri, minimal 30 mmHg sistolik atau 15 mmHg diastolik, tanpa 
adanya dehidrasi, obat-obatan, atau penyakit lain yang mempengaruhi 
b. Retensi dan inkontinensi urine yang berat dalam 5 tahun (tidak termasuk stress 
inkontinensia pada wanita), yang bukan merupakan inkontinensia fungsional 
sederhana. Pada pria, retensi urine tidak boleh berkaitan dengan penyakit prostat 
dan disfungsi ereksi 
  
6. Jatuh berulang (> 1 kali per tahun) karena gangguan keseimbangan dalam 3 
tahun setelah onset. 
  
7. Disproportionate anterocollis  (distonia) atau kontraktur dari tangan atau kaki 
dalam 10 tahun pertama 
  
8. Tidak adanya gejala penyakit non-motorik dalam durasi 5 tahun. Termasuk di 
dalamnya gangguan fungsi tidur sleep (sleep -maintenance insomnia , excessive 
daytime somnol ence, gejala REM sleep behavior disorder ), gangguan fungsi 
otonom(konstipasi, urgensi urine siang hari, ortostatik simtomatik), hiposmia, 
atau gangguan fungsi psikiatrik (depresi, kecemasan, atau halusinasi) 
  
9. Gejala traktus ekstrapiramidal lain yang tidak bias dijelaskan, yaitu kelemahan 
pyramidal atau hiperefleksia patologis yang jelas (tidak termasuk asimetri reflex 
ringan, and respons extensor plantar isolated) 
  
10. Parkinsonisme simetris bilateral. Pasien atau perawat pasien melaporkan 
gejala bilateral dimana tidak ada kecenderungan pada satu sisi, dan tidak ada 
dokumentasi predominasi salah satu sisi. 
 
5. DiagnosisKerja Parkinson (G20) 
6. Diagnosis Banding - Essential tremor 
- Dementia dengan Lewi bodies 
- Degenerasi kortikobasal 
- Parkinsonisme sekunder 
7. Pemeriksaan MRI Kepala + advanced MRI (Grade 2B) 
 275 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
Penunjang PET Scan (Grade 3) 
Pemeriksaan olfaktori 
Pemeriksaan otonomik 
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
MRI Kepala + 
advanced MRI 
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, 
hanya apabila kecurigaan terhadap 
kelainan structural atau persiapan 
pre-operasi 
 
2B 1,2,3,4 
2 PET Scan 
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, 
hanya konfirmasi atau menyingkirkan 
diagnosis banding 
3 1,2,3,4 
 
8. Terapi  
No Terapi Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
1 Operatif 
 Deep Brain Stimulation (02.93) 
 Thalamotomy dan Pallidotomy 
(01.41 + 01.42) 
 Subthalamotomy 
 GDNF infusion (99.75) 
 
1B 1,2,3,4 
2 Non Operatif 
Manajemen non-operatif Parkinson 
meliputi 
- Medikamentosa 
-Levodopa 
-MAO B Inhibitor 
-Rasagiline 
-Selegiline 
-Bromocriptine 
- Edukasi 
Edukasi terutama ditujukan pada 
keluarga pasien dimana pasien 
tersebut tinggal. Pasien Parkinson 
membutuhkan perawatan ekstra 
dan penghindaran terhadap 
aktivitas yang membahayakan. 
- Fisioterapi 
- Terapi wicara 
- Nutrisi 
1B 1,2,3,4 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad malam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad malam 
 
1
  
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
TRIGEMINAL NEURALGIA 
G50.0 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Trigeminal neuralgia yaitu   nyeri yang terdistribusi sesuai saraf kranial kelima 
(trigeminal) yang disebabkan oleh adanya kontak sarar-pembuluh darah (neuro -vascular 
contact) pada root entry zone .  
2. Anamnesis  Didapatkan nyeri pada separuh atau seluruh wajah, sesuai dengan distribusi saraf dari  
salah satu atau seluruh cabang saraf kranial kelima (trigeminal). 
 Nyeri bersifat khas yaitu tiba-tiba, seperti ditusuk-tusuk atau seperti tersengat listrik, 
berulang (episodik) 
 Dapat disertai dengan penurunan sensasi (hipestesi) 
 Nyeri dapat dipicu oleh gerakan senyum, perubahan temperatur (minum air dingin, 
terkena angin dingin), gerakan mengunyah, menyikat gigi 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
Pemeriksaan menyeluruh untuk menyingkirkan penyebab lain dari trigeminal neuralgia 
 
Pemeriksaan Neurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Pemeriksaan seluruh saraf kranialis yang dititikberatkan pada saraf kranial kelima 
(trigeminal) meliputi: 
 Sensorik: pemeriksaan sensasi (nyeri – raba – tekan/pressure  – suhu) pada 
masing-masing distribusi cabang saraf kranial kelima (ophtalmic, maxillaris, 
mandibularis ). Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing distribusi cabang 
saraf trigeminal dan dibandingkan kanan dan kiri. 
 Motorik: pemeriksaan motoric saraf trigeminal dengan cara tes otot mastikasi 
(pengunyah), pasien diminta untuk menggigit, kemudian dicek tonus dari otot 
temporalis dan otot masseter, kemudian dibandingkan kanan dan kiri. Diperiksa 
juga apakah pemeriksaan tersebut memicu nyeri trigeminal atau tidak. 
4. Kriteria Diagnosis 13. Anamnesis sesuai diatas 
14. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
15. Pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi lokasi kelainan 
5. DiagnosisKerja Trigeminal Neuralgia (G50.0) 
6. Diagnosis Banding - Post-herpetic trigeminal neuropathy/neuralgia 
- Trauma saraf trigeminal 
- Multiple sclerosis 
- Tumor padasaraf trigeminal atau sekitar saraf trigeminal 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
MRI Kepala + MRA (Grade 1B) 
-  
No Pemeriksaan Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
MRI Kepala + 
MRA 
- Sensitivitas mencapai 95%, dengan 
spesifisitas 86% 
- Ditemukan adanya neuro -vascular 
contact antara saraf trigeminal pada 
1B 1,2,3,4,5 
 278 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
root entry zone  dengan struktur 
pembuluh darah (biasanya arteri 
serebelaris superior) 
MRI dan MRA disertai dengan 
sekuens FIESTA untuk mengetahui 
arah da nlokasi neuro -vascular 
contact 
 
8. Terapi  Operatif: (1B) 
 Microvascular Decompression (04.41) 
Yaitu suatu tindakan pembedahan kraniotomi yang memisahkan (dekompresi) 
struktur pembuluh darah yang menempel pada root entry zone  saraf trigeminal 
 Rhizotomy (03.1) 
Yaitu suatu tindakan pembedahan dengan cara membuat lesi pada ganglion 
trigeminal melalui foramen ovale dengan salah satu modalitas berikut: 
radiofrequency thermocoagulation, mechanical balloon compression, chemical 
(glycerol) rhizolysis.  
 Peripheral neuroectomy (03.1) 
Yaitu suatu tindakan memotong cabang dari saraf trigeminal (nervus 
supraorbita, infraorbita, alveolar, dan lingual) dengan salah satu modalitas 
berikut: insisi, injeksi alkohol, radiofrekuensi, atau cryotherapy . 
 Non Operatif: (1B) 
Pada trigeminal neuralgia dapat diberikan medika mentosa yaitu: 
- Carbamazepine  
- Oxcarbazepine 
- Baclofen 
- Lamotrigine 
- Topical lidocaine. 
No Terapi Rekomendasi 
Grade 
Rekomend
asi 
Ref 
1 Operatif 
 Microvascular Decompression 
(04.41) 
Yaitu suatu tindakan pembedahan 
kraniotomi yang memisahkan 
(dekompresi) struktur pembuluh 
darah yang menempel pada root 
entry zone  saraf trigeminal 
 Rhizotomy (03.1) 
Yaitu suatu tindakan pembedahan 
dengan cara membuat lesi pada 
ganglion trigeminal melalui 
foramen ovale dengan salah satu 
modalitas berikut: radiofrequency 
thermocoagulation, mechanical 
balloon compression, chemical 
(glycerol) rhizolysis.  
 Peripheral neuroectomy (03.1) 
Yaitu suatu tindakan memotong 
cabang dari saraf trigeminal (nervus 
supraorbita, infraorbita, alveolar, 
dan lingual) dengan salah satu 
modalitas berikut: insisi, injeksi 
alkohol, radiofrekuensi, atau 
cryotherapy . 
1B 1,2,3,4,5 
 279 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
 
2 Non Operatif 
Pada trigeminal neuralgia dapat 
diberikan medikamentosa yaitu: 
 Carbamazepine  
 Oxcarbazepine 
 Baclofen 
 Lamotrigine 
 Topical lidocaine 
1B 2 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Ad bonam 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 
 
Pembedahan Microvascular Decompression memiliki tingkat keberhasilan 90% hilang 
nyeri. Periode bebas nyeri akan berkurang pada satu, tiga dan lima tahun berikutnya yang 
berkisar antara 80, 75 dan 73% bebas nyeri. 
1
 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
ESSENTIAL TREMOR 
ICD-10: G25.0 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Tremor esensial yaitu   gangguan gerak yang berupa gerakan ritmis pada sekelompok 
otot dan merupakan bentuk tersering dari tremor abnormal 
2. Anamnesis Anamnesis meliputi: 
- Identitas lengkap termasuk usia 
- Riwayat penyakit sekarang  
- Riwayat trauma 
- Riwayat penggunaan obat-obatan 
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 
 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways) , B 
(breathing) , dan C (circulation )  
 
Pemeriksaan Neurologis 
 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 
 Saraf II-III, lesi saraf VII perifer 
 Motoris&sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah 
 Autonomis 
 Pemeriksaan cara berjalan (gait) 
4. Kriteria Diagnosis 16. Anamnesis sesuai diatas 
17. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 
18. Pemeriksaan imaging sesuai klinis 
5. DiagnosisKerja Essential Tremor (ICD 10: G25.0) 
6. Diagnosis Banding - Parkinson Disease 
- Gangguan cerebellum 
- Distonia 
- Drug-induced tremor 
- Toxin-related tremor 
7. Pemeriksaan 
Penunjang 
 
No Pemeriksaan Rekomendasi GR Ref 
1 MRI Kepala 
MRI Kepala dilakukan untuk menyingkirkan 
adanya penyebab lain dari tremor  
1B 1,2,4 
2. SPECT 
Single-photon emission CT (SPECT) digunakan 
terutama untuk membedakan dengan 
Parkinson disease  
2A 1,2,3,4 
 
8. Terapi No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) GR Ref 
1 Operatif 
Pilihan terapi operatif: 
- Thalamotomy:  
Thalamotomy dikerjakan secara 
stereotactic dan didahului dengan studi 
1B 
6,7,8,9, 
10 
 281 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
MRI yang dikaitkan dengan klinis 
- Deep brain stimulation: 
Dreep brain stimulation dilakukan untuk 
mengurangi gejala tremor 
 
Pemilihan thalamotomy atau DBS 
didasarkan pada kekurangan dan 
kelebihan serta ketersediaan alat.  
2 Non Operatif 
Terapi non-operatif pada Essential tumor 
meliputi: 
- Medikamentosa 
Propanolol 
Primidone 
Topiramate 
Alkohol 
1B 4,5,6 
 
9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 
 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 
 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 
 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 
 Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 
terganggu, melalui program rehabilitasi medik 
10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia 
Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 
Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia 
Prognosis essential tumor terutama berkaitan dengan kecacatan. Tercatat sebanya 15% 
memiliki kecacatan seumur hidup berupa tidak dapat bekerja 
Pasien dengan essential tumor juga memiliki penurunan kualitas hidup karena hambatan 
pekerjaan. 

 
PEDOMAN NASIONAL PELAYANANKEDOKTERAN 
ILMU BEDAH SARAF 
2016 
 
Low back pain subakut & kronik  
ICD-10: M54 
1. Pengertian 
(Definisi) 
Nyeri punggung bawah dengan onset subakut (4 s/d 12 minggu ) dan kronik ( lebih dari 
12 minggu) 
2. Anamnesis  Riwayat nyeri punggung  dengan tingkat nyeri yang mengganggu aktifitas. 
 Sifat nyeri menjalar sampai tungkai atau ujung kaki 
 Nyeri memberat saat berdiri atau berjalan  
 Gagal dengan terapi konservatif medikamentosa 
 
3. Pemeriksaan Fisik Status generalis: 
 Kondisi umum 
 Tanda vital 
 Pemeriksaan kepala leher, thoraks, abdomen, ekstrimitas. 
Status Lokalis 
 Nyeri aksial 
 Nyeri radikular 
 Motorik 
 Sensoris 
 Autonom 
4. Pemeriksaan 
Penunjang 
 X ray (sentrasi vertebra)  
 CT Scan Spinal 
 MRI Spinal 
Spinal/foraminal stenosis ec Degenerative Disc Disease (DDD) 
 Diagnostik intervensi 
Diskografi: nerve root, facet joint, dll 
Dilanjutkan terapi intervensi nonsurgical (keterangan lanjutan dibawah) 
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis 
2. Pemeriksaan fisik 
3. Diagnosis penunjang 
6. Diagnosis LBP Subakut dan kronik 
7. Diagnosis Banding LBP karena organic non spinal 
8. Terapi Injeksi Glukokortik
oid 
- Injeksi Epidural  
- Injeksi intradiskal 
- Injeksi lokal/trigger point 
- Injeksi facet joint  dan medial branch block  
 
Terapi Electrothermal dan Radiofrekuensi 
- Intradiskal 
- Denervasi radiofrekuensi 
- Scleroterapi 
 
9. Edukasi  Nyeri akan muncul kembali dengan onset 2-3 bulan 
 Terapi disarankan berulang 
 Terapi bisa gagal, disarankan untuk terapi operasi definitif penyebab nyeri 
 Modalitas exercise  dioptimalkan 
 Edukasi untuk pencegahan nyeri kronik dengan perubahan pola hidup 
 284 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 
 
10. Prognosis Baik dengan evaluasi dan terapi optimal