i dari beberapa abnormalitas
tersebut.1 Berdasarkan studi Global Burden Disease
2019 tentang faktor risiko utama kematian
global di 204 negara, kolesterol LDL yang tinggi
menyumbang 4,4 juta kematian di seluruh dunia.
Laporan tren kolesterol total di 199 negara
menunjukkan bahwa antara tahun 1980 hingga
2008, rata-rata tingkat kolesterol total menurun di
negara maju namun rata-rata tingkat kolesterol total
meningkat di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia
Pasifik.2
Berdasarkan data Riskesdas 2013,
sebanyak 15,9% penduduk Indonesia berusia
15 tahun ke atas memiliki kadar kolesterol LDL
tinggi dan sangat tinggi dan 60,3% memiliki
kadar LDL near optimal dan borderline tinggi.
Prevalensi kolesterol LDL abnormal juga lebih
tinggi pada jenis kelamin perempuan (60,9%)
dan tempat tinggal pedesaan (60,7%). Sebanyak
35,9% dari penduduk Indonesia berusia 15
tahun ke atas memiliki kolesterol total abnormal,
dengan prevalensi lebih tinggi pada jenis kelamin
perempuan (39,6%) dan tempat tinggal perkotaan
(39,5%). Proporsi kolesterol HDL rendah terjadi
pada 22,9% penduduk Indonesia berusia 15 tahun
ke atas, dengan prevalensi lebih tinggi pada jenis
kelamin laki-laki (34,6%) dan bertempat tinggal di
pedesaan (24,4%).3
2. Definisi Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu gangguan
metabolisme lemak yang ditandai dengan
peningkatan kadar serum kolesterol total,
kolesterol LDL, trigliserida atau penurunan
kadar kolesterol HDL.4,5 Lipid, seperti kolesterol
atau trigliserida, diserap dari usus dan dibawa ke
seluruh tubuh melalui lipoprotein untuk sumber
energi, produksi steroid, atau pembentukan asam
empedu. Kontributor utama jalur ini yaitu
kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, dan
HDL. Ketidakseimbangan pada salah satu faktor
ini, baik dari penyebab organik atau nonorganik,
dapat memicu dislipidemia.6
Dislipidemia berhubungan dengan
peningkatan risiko PKVA. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) mendefiniskan PKVA yaitu yang
meliputi: penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskular, penyakit jantung rematik, infark
miokard, angina pektoris stabil, angina tidak stabil,
dan kondisi lainnya.5
3. Etiologi Dislipidemia
Beberapa perilaku kesehatan dapat memiliki efek
dan meningkatkan kadar lipid plasma. Contohnya
termasuk merokok, aktivitas fisik yang rendah,
nutrisi yang tidak seimbang, dan obesitas. Secara
spesifik, faktor risiko nutrisi meliputi kurangnya
konsumsi buah, kacang/biji-bijian, sayuran, atau
konsumsi lemak jenuh yang tinggi. Dislipidemia
juga dapat disebabkan oleh gangguan genetik.
Mutasi dominan autosomal memicu sebagian
76
PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia sebagai Prevensi PKVA
besar kasus hiperkolesterolemia familial pada
reseptor LDL, yang memicu peningkatan
kadar kolesterol LDL.6
4. Skrining Dislipidemia
Berdasarkan data panduan dislipidemia yang
dikeluarkan ESC (2019), skrining profil lipid
disarankan pada laki-laki di atas >40
tahun dan pada perempuan >50 tahun atau
pascamenopause.7 Panduan dislipidemia yang
dikeluarkan Canadian Cardiovascular Society
(CCS) me Saran kan skrining dapat dilakukan
pada kelompok populasi dengan beberapa risiko
seperti di bawah ini:8
TABEL : 8.1 Target Skrining Dislipidemia8
Laki-laki di atas > 40 tahun, perempuan di atas >50 tahun atau pascamenopause:
Dipertimbangkan skrining lebih awal pada wilayah dengan risiko yang lebih tinggi
misalnya di Asia Tenggara.
Semua populasi dengan risiko di bawah ini, berapa pun usianya:
• Bukti klinis adanya aterosklerosis
• Diabetes melitus
• Hipertensi arterial
• Perokok aktif
• Stigmata dislipidemia (Arkus kornea, Xantelasma, Xantoma)
• Riwayat keluarga dengan PKVA dini
• PGK (eGFR <60 ml/menit/1,73 m2 atau ACR >3 mg/mmol)
• Obesitas
• Penyakit inflamasi sistemik (lupus, artritis rheumatoid, inflammatory bowel disease)
• Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
• Disfungsi ereksi
• Penyakit paru obstruktif kronik
• Riwayat hipertensi pada kehamilan
PGK: penyakit ginjal kronik; eGFR: estimated glomerular filtration rate; ACR: albumin-
creatinine ratio; PKVA: penyakit kardiovaskular
5. Penghitungan Skor Risiko PKVA
pada Kondisi Dislipidemia
Dislipidemia berhubungan dengan peningkatan
risiko kejadian PKVA, oleh sebab itu, prediksi
risiko kejadian PKVA dalam 10 tahun banyak
dikembangkan, dalam hal ini bertujuan untuk
menilai risiko terjadinya infark miokard fatal,
kematian akibat penyakit jantung koroner,
serangan strok baik fatal dan non-fatal.5
Saat ini banyak dikembangkan model
skoring untuk menilai risiko PKVA seperti
SCORE-2 yang dikeluarkan oleh ESC, Pooled
cohort equation yang dikeluarkan oleh AHA, Qrisk
yang dikeluarkan oleh NICE 2014, Framingham
risk score, ataupun skor risiko yang dikeluarkan
WHO. Panduan PERAWATAN INTENSIF dislipidemia di
Indonesia (PERKENI,2021) menggunakan skor
risiko Framingham risk score dan panduan dari
PERKI tahun 2017 menggunakan SCORE risk
chart yang digunakan negara Eropa dengan risiko
tinggi untuk menilai stratifikasi risiko PKVA pada
10 tahun mendatang.
77
PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia sebagai Prevensi PKVA
Pada panduan ini, kesepakatan ahli
me Saran kan pemakaian skor risiko WHO
untuk stratifikasi risiko PKVA. Hal tersebut sebab
skor WHO memberikan skoring khusus untuk
kelompok populasi Asia Tenggara, termasuk
Indonesia9 (lihat BAB 2). cek up lipid yang
diperlukan untuk melakukan estimasi stratifikasi
risiko ditampilkan pada TABEL : 8.2.
TABEL : 8.2 Saran cek up Lipid untuk Estimasi Risiko PKVA8
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Kolesterol total digunakan untuk estimasi risiko PKVA dengan skor
prediksi risiko.
I C
Kolesterol LDL disarankan sebagai cek up lipid
primer/utama untuk skrining, diagnosis dan manajemen.
I C
cek up trigliserida disarankan sebagai bagian dari
proses cek up analisis lipid rutin.
I C
Penilaian kolesterol non-HDL disarankan untuk penilaian
risiko, terutama pada pasien dengan kadar TG tinggi, DM, obesitas
atau kadar kolesterol LDL sangat rendah.
I C
cek up ApoB disarankan untuk penilaian risiko,
terutama pada pasien dengan kadar TG tinggi, DM, obesitas,
sindrom metabolik atau kadar kolesterol LDL sangat rendah.
cek up ApoB dapat digunakan sebagai alternatif dari
kolesterol LDL, jika tersedia sebagai pengukuran primer/utama
untuk skrining, diagnosis dan manajemen dan lebih disukai di atas
kolesterol non-HDL pada pasien dengan kadar TG tinggi, DM,
obesitas atau kadar kolesterol LDL sangat rendah.
I C
6. Gambaran Klinis Terkait
Dislipidemia
Dislipidemia tidak memiliki gejala spesifik, keluhan
dan temuan klinis umumnya terkait komplikasi
dari dislipidemia itu sendiri seperti keluhan
akibat penyakit jantung koroner, penyakit strok,
kadar trigliserida yang tinggi dapat menimbulkan
gejala pankreatitis akut, hepatosplenomegali, dan
kadar kolesterol LDL yang sangat tinggi dapat
memicu xanthelasma pada kelopak mata,
xantoma pada siku dan lutut.5
Kadar lipid plasma penting untuk diketahui
sebab perannya dalam progresi PKVA. Selain
untuk skrining dan kalkulasi risiko PKVA, kadar
lipid plasma juga sebagai target terapi seperti
terdapat dalam TABEL : 8.3.5
TABEL : 8.3 Klasifikasi Kadar Lipid Plasma
Kolesterol Total (mg/dL)
Target diinginkan < 200
Sedikit tinggi (borderline) 200-239
Tinggi >240
Kolesterol LDL (mg/dL)
Optimal <100
Mendekati optimal 100-129
Sedikit tinggi (borderline) 130-159
Tinggi 160-189
Sangat tinggi >190
Kolesterol HDL (mg/dL)
Rendah <40
Tinggi >60
Trigliserida (mg/dL)
Normal <150
Sedikit tinggi (borderline) 150-199
Tinggi 200-499
Sangat tinggi >500
78
PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia sebagai Prevensi PKVA
7. PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia
PERAWATAN INTENSIF dislipidemia penting sebagai prevensi
primer untuk menurunkan risiko kejadian PKVA
atau pencegahan sekunder untuk mencegah
komplikasi pada pasien dengan PKVA. Target
pengendalian lipid merupakan bagian dari strategi
TABEL : 8.4 Target dan Tujuan Terapi Dislipidemia untuk Prevensi PKVA8
Target Tujuan
Merokok Tidak ada paparan rokok sama sekali
Diet Diet sehat dan seimbang: diet rendah lemak jenuh, asupan tinggi akan produk
gandum/biji-bijian, sayur, ikan dan buah.
Aktivitas fisik 3.5–7 jam aktivitas fisik intensitas sedang perminggu atau 30-60 menit perhari
Berat badan IMT 20-25 kg/m2, lingkar pinggang < 90 cm pada laki-laki dan <80 cm pada
perempuan
Tekanan darah <140/90 mmHg
Kolesterol LDL
(target primer/
utama)
Risiko sangat tinggi pada prevensi primer maupun sekunder:
• Mencapai penurunan >50% kolesterol LDL dari awal/baseline dan
kolesterol LDL <55 mg/dL
• Bukan pengguna statin: memerlukan terapi penurunan kolesterol
LDL high-intensity
• Pengguna terapi penurun kolesterol LDL: diperlukan peningkatan
intensitas terapi
Risiko tinggi:
• Mencapai reduksi >50% kolesterol LDL dari baseline dan kolesterol
LDL < 70 mg/dL
Risiko sedang:
• Target LDL < 100 mg/dL
Risiko rendah:
• Target LDL < 116 mg/dL
Kolesterol non-HDL
(target sekunder/
tambahan)
Risiko sangat tinggi pada prevensi primer maupun sekunder:
• Target kolesterol non-HDL <85 mg/dL
Risiko tinggi:
• Target kolesterol non-HDL <100 mg/dL
Risiko sedang:
• Target kolesterol non-HDL <130 mg/dL
Apo B (target
sekunder/tambahan)
Risiko sangat tinggi pada prevensi primer maupun sekunder:
• Target apo B <65 mg/dL
Risiko tinggi:
• Target apo B <80 mg/dL
Risiko sedang:
• Target apo B <100 mg/dL
Trigliserida Target trigliserida <150 mg/dL
Diabetes HbA1c < 7%
penurunan risiko PKVA secara komprehensif.
Terapi dislipidemia bukan hanya berfokus pada
terapi farmakologi namun juga meliputi non-
farmakologi yang terangkum dalam TABEL : 8.4.8
79
PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia sebagai Prevensi PKVA
7.1 Terapi Nonfarmakologi
Terapi farmakologi dislipidemia perlu ditunjang
dengan terapi nonfarmakologinya untuk
meningkatkan keberhasilan terapi. Adapun terapi
nonfarmakologi yang perlu dilakukan pada pasien
dislipidemia yaitu sebagai berikut:
• Modifikasi gaya hidup yaitu
fondasi penurunan risiko PKVA dan
disarankan untuk semua pasien,
termasuk mereka yang menerima obat
penurun lipid.
• Berat badan dan indeks massa tubuh (IMT)
harus diukur pada setiap kunjungan dan pola
gaya hidup harus didiskusikan dengan orang
yang kelebihan berat badan atau obesitas
untuk memicu penurunan berat badan 5%
sampai 10%.
• Aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi
disarankan tiga hingga empat kali per
minggu dengan durasi 40 menit setiap sesinya.
• Semua pasien diedukasi untuk berhenti
merokok dan menghindari produk tembakau
sama sekali.
• Sarankan pasien untuk mengurangi
persentase kalori dari lemak jenuh dan
trans dengan mengikuti pola makan yang
mengutamakan sayur-sayuran, buah-buahan,
biji-bijian, susu rendah lemak, unggas, ikan,
kacang-kacangan, dan kacang-kacangan;
sambil membatasi konsumsi makanan manis,
minuman manis, dan daging merah.
• Peningkatan asupan serat larut air dalam
bentuk serbuk gandum, pektin, dan produk
psyllium dapat mengurangi kolesterol total
dan kolesterol LDL. Serat larut mengikat
kolesterol dan asam empedu dalam usus halus,
yang menurunkan absorpsi dan reabsorpsi.
Jumlah asupan serat harian yang dianjurkan
yaitu sekitar 25 g/hari
• Konsumsi suplemen minyak ikan menurunkan
TG dan kolesterol VLDL, namun tidak berefek
bagi kolesterol total dan LDL (beberapa data
menunjukkan kenaikan).
• minum 2–3 g plant sterol menurunkan
6- 15 % kolesterol LDL. (Ada di minyak sayur,
kacang, margarin, biji-bijian). Jika seluruh diet
sehat terpenuhi, reduksi kolesterol LDL dapat
menurun hingga 20–30 %
7.2 Terapi Farmakologi
Tujuan terapi farmakologi pada dislipidemia
yaitu sebagai berikut:1
• Memperbaiki kadar kolesterol total,
trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol
HDL dalam darah
• Mencegah kejadian dan progresi PKVA
• Mencegah morbiditas dan mortalitas terkait
PKVA: revaskularisasi, infark miokard, dan
strok iskemik
80
PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia sebagai Prevensi PKVA
TABEL : 8.5 Saran Terapi Farmakologi dengan Target Penurunan Kolesterol LDL8
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Statin intensitas-tinggi disarankan untuk diberikan sampai
dosis tertinggi yang bisa ditoleransi untuk mencapai target kolesterol
LDL yang ditentukan untuk kelompok risiko spesifik.
I A
Pada pasien dengan PKVA, disarankan pemberian terapi
penurun lipid dengan target penurunan kolesterol LDL > 50% dari
awal/baseline
I A
Jika target tidak dicapai dengan dosis statin tertinggi yang bisa
ditoleransi, kombinasi dengan ezetimibe disarankan .
I A
Untuk prevensi sekunder pada pasien yang tidak mencapai target
meskipun telah mendapat dosis statin dan ezetimibe tertinggi yang
bisa ditoleransi, disarankan terapi kombinasi termasuk
dengan penghambat PCSK9 .
I A
Untuk pasien familial hypercholesterolemia dengan risiko sangat
tinggi (yaitu dengan PKVA atau faktor risiko mayor lain) yang tidak
mencapai target pada terapi statin dan ezetimibe dosis tertinggi
yang dapat ditoleransi, disarankan terapi kombinasi
termasuk dengan penghambat PCSK9.
I A
Terapi statin disarankan sebagai terapi pilihan pertama
untuk menurunkan risiko PKVA pada pasien dengan risiko tinggi
dan hipertrigliseridemia [trigliserida >200 mg/dL).
I A
Terapi statin disarankan pada pasien lanjut usia > 70 tahun
dengan PKVA, sama halnya dengan pasien yang lebih muda.
I A
Pasien DM tipe II dengan risiko sangat tinggi (misalnya dengan
PKVA dan/atau kerusakan organ target berat) disarankan
untuk diberi terapi penurunan lipid secara intensif dengan target
penurunan kolesterol LDL >50% dari awal/baseline dan kolesterol
LDL <55 mg/dL.
I A
pemakaian statin atau kombinasi statin/ezetimibe
disarankan pada pasien CKD stage 3-5 yang tidak
menjalanidialisis.
I A
Obat-obatan yang digunakan untuk terapi
dislipidemia yaitu sebagai berikut.
A. Inhibitor HMG-CoA reduktase
Obat-obat inhibitor HMG-CoA reduktase
dikenal sebagai golongan statin. Obat golongan
ini menghambat tahap yang menentukan laju
biosintesis kolesterol, yaitu konversi HMG-CoA
menjadi mevalonat. Oleh sebab itu, diduga
mekanisme utama statin yaitu mengurangi sintesis
droplet lipid dan meningkatkan katabolisme
LDL.10
Efek samping statin yang umum yaitu
konstipasi, yang terjadi pada kurang dari 10% pasien
yang minum statin. Efek samping lainnya
antara lain: peningkatan alanin aminotransferase
dan kadar kreatin kinase; miopati; dan komplikasi
yang sangat jarang yaitu rhabdomyolisis.10
81
PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia sebagai Prevensi PKVA
TABEL : 8.6 Obat-Obatan Golongan Statin untuk Terapi Dislipidemia
Intensitas-Tinggi Intensitas-Sedang Intensitas-Rendah
Penurunan
kolesterol LDL
≥50% 30%-49% <30%
Statin Atorvastatin 40 mg–80 mg
Rosuvastatin 20 mg–40 mg
Atorvastatin 10 mg -20 mg
Rosuvastatin 5 mg–10 mg
Simvastatin 20 mg -40 mg
Pravastatin 40 mg -80 mg
Lovastatin 40 mg
Fluvastatin XL 80 mg
Fluvastatin 40 mg, 2dd
Pitavastatin 2 mg–4 mg
Simvastatin 10 mg
Pravastatin 10 mg–20 mg
Lovastatin 20 mg
Fluvastatin 20 mg–40 mg
Pitavastatin 1 mg
hipertrigliseridemia pada pasien dengan
dislipidemia campuran. Contoh obat pengikat
asam empedu antara lain kolestiramin, kolestipol,
dan kolesevelam.10
Efek samping yang umum sebab konsumsi
pengikat asam empedu antara lain gangguan
saluran cerna, yang terdiri dari konstipasi,
kembung, rasa penuh pada epigastrium, dan
mual. Efek samping pada saluran cerna dapat
diatasi dengan meningkatkan konsumsi cairan,
meningkatkan konsumsi serat, dan menggunakan
pencahar. Efek samping lain yang mungkin terjadi
antara lain: gangguan absorpsi vitamin larut lemak
(A, D, E, K); hipernatremia dan hiperkloremia;
obstruksi saluran cerna; dan penurunan
bioavailabilitas obat-obat yang bersifat asam
seperti warfarin, asam nikotinat, parasetamol,
tiroksin, hidrokortison, hidroklortiazid, loperamid,
dan zat besi. Interaksi obat dapat dihindari dengan
menjeda waktu pemberian antar obat dengan
interval 2 jam.10
D. Inhibitor PCSK9
Pada kondisi hiperkolesterolemia familial, terjadi
peningkatan signifikan kolesterol total dan LDL
yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular
dini. Salah satu penyebabnya yaitu mutasi
pada gen proprotein convertase subtilisin/kexin type 9
(PCSK9). Overekspresi gen PCSK9 pada mencit
B. Ezetimibe
Ezetimibe menurunkan absorpsi kolesterol dari
usus halus, sehingga cocok digunakan sebagai
terapi tambahan. Ketika digunakan sebagai terapi
tunggal, ezetimibe menurunkan kolesterol LDL
hingga 18%. Ketika dikombinasikan dengan
statin, ezetimibe menurunkan kolesterol LDL lebih
jauh 12 hingga 20%. Ezetimibe hanya digunakan
ketika pasien tidak dapat mentolerir statin atau
tidak mencapai penurunan lipid yang memuaskan
dengan terapi tunggal statin. Ezetimibe cenderung
ditoleransi dengan baik oleh pasien; sekitar 4%
pasien dapat mengalami gangguan saluran cerna.10
C. Pengikat asam empedu
Pengikat asam empedu mengikat asam empedu
dalam lumen usus danmenghambat sirkulasi
enterohepatik asam empedu. Akibatnya, total
asam empedu berkurang dan hepar terstimulasi
untuk mensintesis asam empedu dari kolesterol.
Berkurangnya total asam empedu juga
meningkatkan biosintesis kolesterol dan jumlah
reseptor kolesterol LDL pada membran hepatosit,
sehingga uptake kolesterol LDL dari plasma
meningkat dan kadar kolesterol LDL plasma
menurun. Akan namun , peningkatan produksi
VLDL oleh hati yang mengikuti peningkatan
biosintesis kolesterol hati dapat memperparah
82
PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia sebagai Prevensi PKVA
transgenik mengurangi fungsi reseptor LDL
dan meningkatkan kadar LDL plasma. Saat
ini, terdapat dua obat inhibitor PCSK9, yaitu
alirocumab dan evolocumab. Kedua obat ini
merupakan antibodi monoklonal. Efek samping
yang dapat timbul antara lain reaksi ringan pada
tempat penyuntikan dan nasofaringitis.11
E. Asam fibrat
Monoterapi fibrat efektif menurunkan VLDL,
namun peningkatan resiprokal pada LDL dapat
terjadi, sehingga nilai total kolesterol mungkin
relatif tidak berubah. Efek samping yang umum
terjadi yaitu gangguan saluran cerna. Ruam,
pusing, dan peningkatan sesaat kadar transaminase
dan alkalin fosfatase dapat terjadi. Gejala
miositis seperti mialgia, lemah, kaku, kelelahan,
serta kenaikan kreatin kinase dan aspartat
aminotransferase dapat terjadi, terutamapada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Fibrat
dapat meningkatkan efek antikoagulan oral,
sehingga pemantauan ketat INR diperlukan jika
diberikan bersamaan. Gemfibrozil dan fenofibrat
juga dapat meningkatkan pembentukan batu
empedu, walaupun langka.10
F. Niasin
Niasin atau asam nikotinat alias vitamin B3
mengurangi sintesis kolesterol VLDL di hati,
sehingga mengurangi sintesis kolesterol LDL.
Selain itu niasin dapat menurunkan katabolisme
kolesterol HDL sehingga kadar HDL darah
meningkat. Niasin umumnya digunakan sebagai
terapi lini pertama atau alternatif pada pengobatan
hipertrigliseridemia dan dislipidemia diabetik.10
Niasin juga dapat digunakan untuk dislipidemia
campuran, atau sebagai terapi lini kedua dalam
terapi kombinasi untuk hiperkolesterolemia.
Efek samping umum niasin yaitu
kemerahan pada kulit serta gatal-gatal. Hal
ini dapat diatasi dengan minum aspirin
325 mg sesaat sebelum niasin, minum
niasin bersama makanan, atau peningkatan
dosis perlahan. Minuman panas atau beralkohol
sebaiknya tidak diminum bersama niasin sebab
dapat memperparah kemerahan dan gatal pada
kulit. Abnormalitas hasil laboratorium dapat terjadi
berupa peningkatan uji fungsi liver, hiperurisemia,
dan hiperglisemia. Niasin dikontraindikasikan
pada pasien dengan penyakit hepar aktif. Niasin
juga dapat memperparah gout dan diabetes yang
sudah ada.10
TABEL : 8.7 Rangkuman Dosis Obat-Obatan Dislipidemia Non-Statin
Nama Obat Dosis Lazim
Dosis Maksimum
per Hari
Ezetimibe 10 mg 1x sehari 10 mg
Kolestiramin 8 g 3x sehari 32 g
Kolestipol HCl 10 g 2x sehari 30 g
Kolesevelam 1875 mg 2x sehari 4375 mg
Alirocumab (injeksi) 75 mg tiap 2 minggu atau
300 mg tiap 4 minggu
150 mg tiap 2 minggu
Evolocumab (injeksi) 140 mg tiap 2 minggu atau 420 mg
tiap bulan
-
Fenofibrat 54 mg atau 67 mg 201 mg
Gemfibrozil 600 mg 2x sehari 1,5 g
Niasin 0,5–1 g 3x sehari 6 g
83
9
PERAWATAN INTENSIF Obesitas dalam
Rangka Prevensi PKVA
1. Prevalensi Obesitas
World Health Organization (WHO) menyatakan obesitas sebagai salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas, yang tidak hanya memengaruhi orang
dewasa namun juga anak-anak dan remaja di seluruh
dunia.1 Saat ini diperkirakan 69% orang dewasa
kelebihan berat badan dan 35% di antaranya
tergolong obesitas.2 Diperkirakan pada tahun
2030, masalah berat badan akan berdampak pada
3,3 miliar orang (60% dari populasi dunia), dimana
2,2 miliar orang akan mengalami kelebihan berat
badan dan 1,1 miliar orang mengalami obesitas.1
2. Definisi dan Klasifikasi
Obesitas merupakan penyakit kronis yang kompleks
yaitu kondisi kelebihan lemak tubuh (adipositas)
yang dapat mengganggu kesehatan tubuh dan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit.3 Obesitas
dapat diketahui dengan menghitung indeks massa
tubuh (IMT) yaitu berat badan dalam kilogram
dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat.
Klasifikasi IMT pada orang Asia dewasa (usia
di atas 18 tahun) dapat dilihat pada TABEL : 9.1.
Obesitas ditegakkan jika IMT mencapai 25 kg/
m2 atau lebih dan disubklasifikasikan menjadi
Obesitas I jika IMT 25–29,9 dan Obesitas II jika
nilai IMT > 30.2,4
TABEL : 9.1 Kategori Berat Badan Berdasarkan
IMT pada Orang Asia2
Kategori IMT, kg/m2
Underweight <18,5
Normal 18,5–22,9
Overweight >23,0
At Risk 23-24,9
Obesitas I 25,0–29,9
Obesitas II > 30
3. Obesitas sebagai Faktor Risiko
PKVA
Obesitas merupakan faktor risiko independen
untuk PKVA, dan dikaitkan dengan peningkatan
risiko semua penyebab dan mortalitas penyakit
kardiovaskular.2,5 Oleh sebab itu, faktor risiko
terjadinya PKVA harus dinilai pada pasien dengan
kelebihan berat badan atau obesitas.6 Obesitas dan
peningkatan jaringan adiposa berkontribusi pada
patogenesis aterosklerosis. Jaringan adiposa terdiri
dari jaringan adiposa putih dan coklat yang terkait
dengan sistem metabolisme dan inflamasi, dengan
efek perlindungan pada homeostasis energi.
Adipositas viseral meningkatkan inflamasi sistemik
dan vaskular, yang merupakan dasar terjadinya
aterosklerosis.7
86
PERAWATAN INTENSIF Obesitas dalam Rangka Prevensi PKVA
Pada obesitas terjadi penurunan
kemampuan untuk menghambat proses inflamasi
yang berkontribusi pada komplikasi metabolik dan
kerusakan pembuluh darah yang memicu
perubahan kardiometabolik. Selain itu,
obesitas memicu disfungsi endotel sebab
pembentukan produk metabolisme yang berasal
dari lipid, hormon dan sitokin proinflamasi.
Disfungsi endotel tersebut dikaitkan dengan
terjadinya penyakit kardiovaskular, seperti
aterosklerosis, hipertensi, hiperlipidemia, dan
resistensi insulin. Obesitas juga berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah.
4. Penilaian dan Analisis
Evaluasi klinis meliputi riwayat obesitas pasien,
cek up fisik, penilaian kebiasaan gaya hidup,
status psikologis dan penilaian laboratorium.
4.1 Anamnesis
Anamnesis pasien dengan obesitas meliputi
representasi pasien, harapan dan motivasi untuk
berubah. Anamnesis pasien obesitas mencakup
hal-hal sebagai berikut:
a. Mengeksplorasi faktor genetik, rangsangan
eksogen dan peristiwa yang memicu
penambahan berat badan atau variasi berat
badan yang signifikan, sehingga dapat
ditentukan apakah obesitas berasal dari masa
kanak-kanak atau kenaikan berat badan baru
terjadi
b. Mengidentifikasi alasan kenaikan berat badan
seperti aspek fisiologis (kehamilan), obat-
obatan, penurunan aktivitas fisik, gangguan
makan, masalah psikologis, dan lainnya
c. Evaluasi pengobatan yang pernah dilakukan
baik menanyakan kegagalan dan keberhasilan
serta sikap keluarga dan teman
d. Menilai tingkat motivasi untuk pengobatan
dan alasannya
e. Mengetahui harapan dalam hal penurunan
berat badan dan lingkar pinggang.
f. Menanyakan mengenai aktivitas fisik
g. Eksplorasi riwayat keluarga obesitas dan
penyakit kardiometabolik
h. Pengkajian dampak psikologis pada pasien
i. Penilaian gangguan makan, depresi,
kecemasan, stres, kualitas tidur yang buruk,
profil psikologis dan aspek sosial
j. Eksplorasi asupan makanan
k. Evaluasi sensasi fisiologis lapar dan kenyang
mencakup kecepatan makan, kesenangan
saat makan, ngemil, pesta makan, hiperfagia,
bulimia, sindrom makan malam dan lainnya.
l. Penilaian terhadap masalah medis lainnya.8
Teknik anamnesis yang baik yaitu
anamnesis yang efisien, dengan gaya diskusi
yang kolaboratif sehingga tidak menghakimi
pasien dan melibatkan pasien menuju perubahan
perilaku yang lebih baik. Wawancara motivasi
bertujuan untuk mengembangkan suasana yang
menyenangkan dan hangat berdasarkan rasa
saling percaya sehingga pasien merasa rileks dan
nyaman, serta membangun hubungan terapeutik
yang kuat.8
4.2 cek up Fisik
4.2.1 Berat badan dan Tinggi Badan
Berat badan diukur menggunakan timbangan yang
sudah dikalibrasi, selain itu dilakukan pengukuran
tinggi badan pasien tanpa menggunakan alas
kaki. Dari hasil pengukuran berat badan dan
tinggi badan, dapat dihitung IMT (kg/m2) pasien.
Obesitas didefinisikan sebagai IMT > 25 kg/
m2 sesuai dengan TABEL : 9.1. Nilai cut-off ini tidak
berlaku untuk anak-anak dan remaja sebab nilai
tersebut tergantung dari usia dan jenis kelamin.8
87
PERAWATAN INTENSIF Obesitas dalam Rangka Prevensi PKVA
4.2.2 Lingkar Pinggang
Lingkar pinggang merupakan indikator yang
cukup baik untuk mengetahui kuantitas lemak
viseral dan dapat digunakan untuk mengevaluasi
risiko kardiometabolik terkait dengan distribusi
lemak tubuh. Lingkar pinggang diukur pada
akhir ekspirasi normal pada bidang horizontal,
pertengahan antara krista iliaka superior dan tepi
bawah iga terakhir, menggunakan pita pengukur
tanpa menekan kulit. Lingkar pinggang normal
yaitu <80 cm untuk perempuan dan <90 cm
untuk laki-laki.
4.2.3 Status Komorbiditas
Penilaian terhadap komorbiditas diperlukan
pada pasien dengan obesitas, seperti cek up
tekanan darah, untuk mengetahui apakah pasien
disertai hipertensi atau tidak.7 Selanjutnya, pasien
yang menunjukkan sindrom metabolik, rentan
untuk terjadinya penyakit kardiometabolik,
sehingga perlu ditegakkan apakah pasien
termasuk sindrom metabolik atau tidak. Lima
kriteria untuk sindrom metabolik yaitu lingkar
pinggang >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada
perempuan ditambah 2 kriteria lainnya seperti
kadar trigliserida > 150 mg/dL atau pengobatan
khusus untuk kelainan lipid ini, kolesterol HDL <
40 mg/dL pada laki-laki dan < 50 mg/dL pada
perempuan, tekanan darah sistolik > 130 mmHg
atau tekanan darah diastolik >85 mmHg atau
pengobatan sebelumnya terdiagnosis hipertensi,
serta kadar glukosa >100 mg/dL atau DM tipe 2
yang terdiagnosis sebelumnya.4, 8
4.3 cek up Penunjang
cek up penunjang pada obesitas yaitu
cek up laboratorium, yaitu glukosa darah
puasa, profil lipid (kolesterol total, kolesterol HDL,
kolesterol LDL, trigliserida), fungsi hepar (SGOT,
SGPT, gamma GT), fungsi ginjal (kreatinin),
asam urat, fungsi tiroid, penilaian kardiovaskular
(ergometri dan ekokardiografi) jika diindikasikan,
serta cek up endokrin (Cushing, penyakit
hipotalamus) jika ada indikasi klinis.8
5. PERAWATAN INTENSIF
5.1 Target dan Tujuan Terapi
Tujuan utama dalam manajemen obesitas yaitu
untuk mencegah komplikasi dengan menjaga
metabolisme pasien tetap sehat, mencegah
atau mengobati penyakit penyerta jika sudah
ada, melawan stigmatisasi dan meningkatkan
kepercayaan diri pasien. Penurunan berat badan
yang disarankan yaitu 5-10% dari berat badan
awal dengan perubahan gaya hidup, yang
juga akan memengaruhi komposisi tubuh dan
menurunkan lingkar pinggang. Edukasi pasien juga
penting dalam terapi. Pendekatan terapi meliputi
pengaturan nutrisi, perilaku makan, aktivitas
fisik, pengurangan stres, terapi perilaku kognitif,
konseling atau terapi psikologis, pengobatan
gangguan makan, kecemasan dan depresi.8
5.2 PERAWATAN INTENSIF Komorbiditas
Pengobatan komorbiditas terkait obesitas
yaitu bagian manajemen komprehensif pasien
obesitas. Manajemen komplikasi obesitas yang
tepat selain manajemen berat badan mencakup
penatalaksanaan dislipidemia, mengoptimalkan
kontrol glikemik pada penderita diabetes tipe
2, menormalkan tekanan darah pada penderita
hipertensi, perhatian terhadap kontrol nyeri
dan kebutuhan mobilitas pada osteoartritis dan
penatalaksanaan gangguan psikososial, termasuk
gangguan afektif, gangguan makan, merasa harga
diri rendah dan gangguan dismorfik tubuh.2
Adanya obesitas dan efek pengobatan
terhadap berat badan, komposisi tubuh atau
status metabolisme harus dipertimbangkan
dalam pemilihan obat yang digunakan untuk
mengobati penyakit penyerta yang berhubungan
dengan obesitas atau bahkan penyakit yang tidak
88
PERAWATAN INTENSIF Obesitas dalam Rangka Prevensi PKVA
berhubungan dengan obesitas. Obat-obatan yang
meningkatkan berat badan dan/atau dengan
efek metabolik negatif sebaiknya dihindari atau
diganti.3 Target penurunan berat badan pada
pasien obesitas dengan penyakit penyerta seperti
pada TABEL : 9.2.8
TABEL : 9.2 Target Penurunan Berat Badan Pasien
Obesitas dengan Penyakit Penyerta8
Diagnosa Penurunan BB (%)
Sindrom Metabolik 10
Diabetes Melitus Tipe 2 5-15
Dislipidemia 5-15
Hipertensi 5-15
Polycystic ovarian
syndrome (PCOS)
5-15
Sleep apnoe 7-11
Asma 7-8
5.3 Nutrisi dan Kebiasaan Makan
Prediktor keberhasilan terapi terbaik yaitu
kepatuhan diet. Dengan demikian, disarankan
untuk me Saran kan diet sesuai dengan
preferensi pasien untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sehingga dapat dilakukan pengurangan
asupan kalori dan penurunan berat badan.
Diet yang disarankan terdapat pada bab 5 buku
panduan ini. Target penurunan asupan nutrisi
yaitu 500-1000 kkal/hari.
5.4 Aktivitas Fisik
disarankan peningkatan aktivitas fisik
aerobik dengan durasi lebih dari 150 menit per
minggu (>30 menit/hari, hampir setiap hari
dalam seminggu).9 Aktivitas fisik yang teratur
memobilisasi lemak viseral dan menurunkan
risiko komorbiditas. Beberapa contoh olahraga
yang disesuaikan untuk pasien obesitas yaitu
berenang, senam air, olahraga Nordic, bersepeda,
menari, dan latihan kardio di bawah pengawasan.
Namun, jalan kaki tetap merupakan aktivitas fisik/
olahraga terbaik untuk pasien dengan obesitas.8
Aktivitas fisik secara teratur, dengan dan
tanpa penurunan berat badan, dapat menurunkan
risiko kardiometabolik pada orang dewasa yang
memiliki kelebihan berat badan atau obesitas,
termasuk hiperglikemia dan resistensi insulin,
tekanan darah tinggi dan dislipidemia.9 Selain itu,
aktivitas fisik secara teratur dapat meningkatkan
kualitas hidup terkait kesehatan, gangguan
mood (yaitu, depresi, kecemasan) dan gangguan
dismorfik pada orang dewasa dengan kelebihan
berat badan atau obesitas.9
5.5 Intervensi Gaya Hidup
Komprehensif
Sejumlah pasien obesitas tidak lagi mengenali
sensasi fisiologis lapar dan kenyang yang berperan
dalam mengontrol asupan makanan. Oleh
sebab itu, langkah pertama yang paling penting
dilakukan yaitu memulihkan sensasi fisiologis
lapar dan kenyang melalui latihan. Ini akan
menentukan asupan makanan dan energi dan
membantu menjaga keseimbangan metabolisme.
Sangat penting untuk mengenali sensasi lapar
yang muncul kembali secara bertahap 4-5 jam
sesudah makan “normal” disertai dengan suara
bising pada perut. Menunggu terlalu lama
dapat menjadi kontraproduktif sebab dapat
memicu konsumsi kalori yang berlebihan.
Penting untuk makan dengan tenang tanpa
gangguan atau terlibat dalam hal lain seperti
menonton televisi, menggunakan smartphone atau
tablet, mendengarkan radio, berjalan, membaca
majalah dan lainnya.8, 10
5.6 Farmakoterapi
Obat antiobesitas diberikan pada pasien dengan
IMT >30 kg/m2 atau dengan IMT >27 kg/m2
dengan penyakit penyerta.11 Obat penurun berat
badan tidak boleh digunakan pada kehamilan,
menyusui dan masa kanak-kanak.11 Obat-obatan
yang dapat digunakan yaitu orlistat, liraglutide,
dan kombinasi bupropion/naltrexone.11
89
PERAWATAN INTENSIF Obesitas dalam Rangka Prevensi PKVA
Orlistat yaitu penghambat lipase
pankreas yang poten dan selektif yang mengurangi
penyerapan lemak di usus dengan dosis 60 mg/
hari–120 mg/hari diminum sebelum makan. Efek
samping yang ditimbulkan yaitu diare berlemak
dan dapat memicu penurunan vitamin
yang larut dalam lemak sehingga perlu tambahan
pemberian suplemen multivitamin.8
Liraglutide yaitu Glucagon-Like peptide-1
(GLP-1), hormon inkretin yang disekresikan oleh
ileum sebagai respons terhadap makanan yang
menginduksi peningkatan sekresi insulin oleh
pankreas dan mengirimkan pesan kenyang ke otak.
Liraglutide dapat disuntikkan dan berlangsung
sekitar 24 jam dengan dosis 3 mg. Efek samping
seperti mual dan muntah yang mungkin terjadi
pada awal pengobatan.8
Bupropion/naltrexone bekerja secara
sentral. Efek anoreksia dari kombinasi bupropion/
naltrexone sebab aktivasi dari neuron
anoreksigenik di hipotalamus. Pemberian dosis
yaitu 16 mg naltrexone atau 180 mg bupropion
yang diberikan dua kali sehari, dengan penurunan
berat badan 5% sesudah 12 minggu pengobatan.
Jika pasien tidak mencapai target ini, obat harus
dihentikan. Efek samping yang umum terjadi
yaitu mual, sakit kepala, pusing, insomnia dan
muntah.8, 10
5.7 Terapi Bedah
Bedah Bariatrik dipertimbangkan ketika
pengobatan konvensional selama jangka waktu
tertentu telah gagal dan jika IMT >40 kg/m2 atau
IMT >35 kg/m2 dengan penyakit penyerta, atau
jika IMT >30 kg/m2 dengan Diabetes Tipe 2.
Operasi ini memicu penurunan berat badan
jangka panjang yang substansial dan mengurangi
kematian.8
5.8 Algoritma PERAWATAN INTENSIF pada
Obesitas
Berikut yaitu algoritma penilaian dan tata
laksana pasien obesitas.3 Catatan: IMT = indeks
massa tubuh; LP = lingkar pinggang.
90
PERAWATAN INTENSIF Obesitas dalam Rangka Prevensi PKVA
Gambar 9.1 Algoritma Penilaian dan Manajemen Pasien Obesitas
91
PERAWATAN INTENSIF Obesitas dalam Rangka Prevensi PKVA
6. Pemeliharaan
Obesitas dianggap sebagai penyakit kronis dengan
kecenderungan kekambuhan yang tinggi, tindakan
yang sesuai untuk stabilisasi berat badan jangka
panjang harus disarankan kepada pasien di
luar fase penurunan berat badan. Langkah-langkah
stabilisasi berat badan untuk mencegah obesitas
termasuk pengaturan asupan nutrisi, olahraga,
perilaku, dan mungkin juga farmakoterapi.12 Diet
yang disarankan yaitu makanan tinggi protein,
rendah gula dan banyak sayuran dan serat.12
Nutrisi yang disarankan untuk
stabilisasi berat badan tercantum pada bab 5
buku panduan ini. Diet yang disarankan
dalam fase stabilisasi berat badan didasarkan
pada komposisi yaitu rendah karbohidrat,
banyak asam lemak tak jenuh tunggal, dan
banyak serat. Keuntungan dari diet ini yaitu
efek anti-inflamasinya dalam mencegah penyakit
kardiometabolik.12
Selain itu, aktivitas fisik juga berperan
dalam pemeliharaan terhadap penurunan berat
badan.12 Untuk meningkatkan motivasi dan
kepatuhan, individu yang mengalami masalah
selama pemeliharaan penurunan berat badan
dapat diarahkan ke program aktivitas fisik rekreasi
seperti menari dengan stimulasi akustik dan
musik yang dapat memengaruhi fungsi kognitif.
Pendekatan lain yaitu menambahkan terapi obat
jangka panjang pada pasien yang tidak berhasil
dengan diet dan olahraga saja.
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
PERAWATAN INTENSIF Sindrom
Kardiometabolik
Pada tahun 1988, Reaven memperkenalkan istilah sindrom X yang merupakan kumpulan berbagai kondisi seperti resistensi insulin,
obesitas sentral, dislipidemia, dan hipertensi.
Sindrom X dikenal sebagai sindrom yang
meningkatkan risiko kejadian diabetes melitus dan
penyakit kardiovaskular aterosklerotik.1 Sindrom
X juga dikenal dengan berbagai nama seperti: “the
deadly quartet”, sindrom resistensi insulin, sindrom
metabolik, dan sindrom kardiometabolik. Saat ini
sindrom X telah diakui sebagai entitas penyakit
oleh World Health Organization (WHO) dan lebih
dikenal sebagai sindrom kardiometabolik.
Sindrom kardiometabolik diketahui
meningkatkan risiko kematian akibat penyakit
jantung koroner (PJK) sebanyak dua kali lipat
dan meningkatkan risiko terhadap kejadian
infark miokard dan strok sebanyak tiga kali
lipat dibandingkan orang tanpa sindrom
kardiometabolik.1
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa
sekitar 25% orang dewasa di dunia menderita
sindrom kardiometabolik. Terdapat banyak
tantangan dalam pengendalian sindrom metabolik.
Saat ini modalitas terapi utama berfokus pada
perubahan perilaku untuk memaksimalkan
keberhasilan dalam mengurangi faktor risiko
kardiometabolik, yaitu kombinasi dari pengaturan
diet dan olahraga . Program-program ini memiliki
Saran khusus terkait asupan kalori, nutrisi,
dan penilaian kognitif dan psikologis tentang
kebiasaan dan perilaku yang tidak sehat.2
2. Individu yang Berisiko Sindrom
Kardiometabolik
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan
kejadian sindrom kardiometabolik secara global.
Di Amerika Serikat, lebih dari 34% orang dewasa
mengalami sindrom kardiometabolik. Meskipun
beberapa orang secara genetik rentan terhadap
sindrom kardiometabolik, gaya hidup juga menjadi
faktor penting yang memicu meningkatnya
kejadian sindrom kardiometabolik.1
Beberapa hal yang meningkatkan risiko
seseorang terhadap sindrom kardiometabolik
antara lain sebagai berikut:
1. Obesitas/kelebihan berat badan: Lemak
viseral yang berlebihan di dalam dan di
sekitar perut berkaitan erat dengan sindrom
kardiometabolik.
2. Resistensi insulin: Ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan
glukosa secara efisien. Beberapa orang secara
genetik memiliki kecenderungan terhadap
resistensi insulin.
3. Ras dan gender: Diketahui bahwa laki-laki
kulit putih lebih rentan mengidap sindrom
kardiometabolik dibandingkan laki-laki
kulit hitam. Sebaliknya, perempuan kulit
hitam lebih berisiko mengidap sindrom
kardiometabolik dibandingkan perempuan
kulit putih.
4. Usia: Risiko sindrom kardiometabolik
meningkat seiring dengan peningkatan usia.2
94
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
3. Definisi Sindrom Kardiometabolik
Terdapat beberapa definisi dan kriteria sindrom
metabolik, antara lain menurut WHO (1998),
NCEP ATPIII (2001), dan IDF (2005). Berdasarkan
rujukan tersebut, diagnosis ditegakkan jika
memenuhi kriteria wajib ditambah dua atau lebih
kriteria lainnya sebagai berikut.3,4,5
Kriteria diagnosis: kriteria wajib + 2 atau
lebih kriteria lainnya.
• Kriteria wajib: obesitas sentral (spesifik
populasi).
• Kriteria lainnya:
◊ Trigliserida ≥150 mg / dL;
◊ Kolesterol HDL <40 mg / dL pada laki-
laki atau <50 mg / dL pada perempuan;
◊ Tekanan darah ≥130 / ≥85 mmHg atau
dalam pengobatan antihipertensi;
◊ Glukosa darah puasa ≥100 mg / dL atau
dalam pengobatan diabetes mellitus.
4. Prevalensi Sindrom
Kardiometabolik
Sindrom kardiometabolik telah menjadi masalah
kesehatan utama di Amerika Serikat dan negara
lain di seluruh dunia sebab prevalensinya yang
meningkat pesat. Data dari National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) III (1988-
1994) menunjukkan bahwa prevalensi sindrom
kardiometabolik yang ditegakkan dengan kriteria
ATP III mencapai 24% pada populasi orang
dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi sindrom
kardiometabolik meningkat secara linear seiring
pertambahan usia, yaitu sekitar 7% pada mereka
yang berusia 20 - 29 tahun dan mencapai 45%
pada mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Selain itu, data terbaru NHANES menunjukkan
peningkatan prevalensi sindrom kardiometabolik
pada baik laki-laki maupun perempuan di semua
kelompok usia.6
5. Faktor Risiko Sindrom
Kardiometabolik
Faktor risiko penyakit kardiovaskular yang
umumnya diketahui yaitu usia, jenis kelamin,
riwayat keluarga, hipertensi, disglikemia,
dislipidemia, dan merokok. Faktor risiko
kardiovaskular terbaru menambahkan obesitas
sentral (diukur dengan lingkar pinggang), resistensi
insulin, inflamasi yang diukur dengan kadar high-
sensitivity C-reactive protein (hsCRP), kurangnya
konsumsi buah dan sayur, gaya hidup inaktif
(sedentary lifestyle), dan stres psikososial. Dalam
praktik sehari-hari, selain faktor risiko umum
yang telah secara rutin diperiksa, perlu dilakukan
juga cek up lingkar pinggang untuk evaluasi
rutin risiko kardiovaskular danpasien dengan
kadar trigliserida yang meningkat, pengukuran
apolipoprotein B dapat menggantikan kolesterol
LDL untuk menilai risiko dan pengelolaan risiko
kardiometabolik.2
6. Gejala dan Tanda Sindrom
Kardiometabolik
Sebagian besar faktor risiko kardiometabolik tidak
memiliki tanda atau gejala selain peningkatan
lingkar pinggang. Beberapa pasien dengan
diabetes melitus mungkin menunjukkan gejala
hiperglikemia seperti peningkatan rasa haus,
peningkatan frekuensi urinasi terutama di malam
hari, kelelahan, dan penglihatan kabur.
7. Penilaian Risiko Sindrom
Kardiometabolik
Penilaian risiko kardiometabolik disarankan
untuk semua individu berusia 40 tahun ke atas dan
untuk individu yang berusia 18 hingga 39 tahun
dengan salah satu kriteria berikut:
• Latar belakang etnis berisiko tinggi (aborigin,
Asia Selatan, dan kulit hitam);
• Riwayat penyakit kardiovaskular dini pada
keluarga inti (<55 tahun pada laki-laki dan
<65 tahun pada perempuan); dan
95
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
• Setidaknya 1 faktor risiko tradisional atau
faktor risiko baru yang muncul.
Adanya hipertensi dan obesitas abdominal
merupakan indikasi skrining pada semua kelompok
usia <18 tahun.7
Penilaian risiko yang komprehensif harus
mencakup dokumentasi lengkap mengenai riwayat
pasien (usia, etnis, status merokok, tingkat aktivitas
fisik, diet, riwayat keluarga PKVA prematur atau
diabetes tipe 2, dan komorbiditas), cek up fisik
(indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan tekanan
darah), dan cek up penunjang (glukosa
plasma puasa, kreatinin atau perkiraan laju filtrasi
glomerulus, dan profil lipid puasa). Jika dicurigai
risiko tinggi, anjurkan cek up laboratorium
lebih lanjut (HbA1c, elektrokardiogram, uji latih
jantung, apolipoprotein B, dan hsCRP).
Skoring risiko digunakan untuk mengukur
risiko absolut kemungkinan terjadinya penyakit
kardiovaskular dalam jangka waktu tertentu.
Sindrom kardiometabolik dianggap sebagai
subkelompok dari faktor risiko kardiovaskular
dan menandakan adanya risiko relatif. Sindrom
kardiometabolik tidak meningkatkan risiko
absolut terhadap penyakit kardiovaskular, namun
meningkatkan risiko relatif dibandingkan seseorang
yang tidak memiliki sindrom kardiometabolik. Jika
terdapat sindrom kardiometabolik, risiko absolut
yang dihitung harus dikalikan dengan 1,5 hingga
2 sebagai perhitungan terhadap risiko relatif
tersebut (Gambar 10.2). Hal ini memberikan
representasi yang lebih baik dari risiko sebenarnya
dan memungkinkan intervensi perilaku dan
farmakoterapi yang sesuai kebutuhan.
Gambar 10.1 Penilaian dan Kuantifikasi Risiko Kardiometabolik
96
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
AHA: American Heart Association SBP: tekanan
darah sistolik; CMR: cardiometabolic risk; CV:
cardiovascular; CVD: cardiovascular disease; DBP:
tekanan darah diastolik; DM: diabetes melitus;
FPG: fasting plasma glucose; IDF: International
Diabetes Federation; TG: trigliserida .
8. PERAWATAN INTENSIF Terpadu Sindrom
Kardiometabolik
Strategi PERAWATAN INTENSIF multimodalitas harus diambil
untuk manajemen pasien dengan sindrom
kardiometabolik. Perubahan gaya hidup termasuk
kontrol berat badan, diet jantung sehat dan latihan
teratur merupakan lini pertama untuk mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular pada individu
dengan sindrom kardiometabolik. Selain itu,
memperbaiki resistensi insulin dan metabolisme
glukosa, mengendalikan tekanan darah, serta
menangani dislipidemia juga dapat memperlambat
perkembangan atau bahkan memulihkan penyakit
kardiovaskular pada sindrom metabolik.
PERAWATAN INTENSIF utama peningkatan risiko
kardiometabolik yaitu modifikasi gaya hidup. Hal
ini termasuk konseling simultan tentang aktivitas
fisik, asupan kalori, komposisi diet, dan berhenti
merokok. PERAWATAN INTENSIF pertama yaitu olahraga
teratur (3 sampai 5 hari per minggu; 30 hingga
60 menit/hari), ditambah dengan peningkatan
kualitas diet dan pengurangan 500 kkal per
hari. Pertimbangan nutrisi yang paling penting
dalam mengurangi risiko kardiometabolik yaitu
penurunan berat badan melalui pembatasan
kalori terlepas dari komposisi dietnya. Tujuannya
yaitu mencapai penurunan berat badan yang
berkelanjutan tidak lebih dari 0,5 kg per minggu
pada mereka yang kelebihan berat badan.
Olahraga teratur intensitas sedang telah
dikaitkan dengan penurunan positif lingkar
pinggang, berat badan, dan lemak visceral.
Pembatasan kalori menunjukkan penurunan
lingkar pinggang yang konsisten untuk individu
overweight dan obesitas, dan bukti menunjukkan
bahwa setiap kilogram berat badan yang hilang
sebab pembatasan kalori saja dikaitkan dengan
penurunan lingkar pinggang sekitar 1 cm.
Resistensi insulin diperbaiki dengan
olahraga dan pembatasan kalori. Latihan fisik
dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL dengan
sedikit efek pada kadar kolesterol LDL, sedangkan
pembatasan kalori dapat mengurangi kolesterol
LDL dengan sedikit efek pada kolesterol HDL.
Tekanan darah dapat diturunkan secara efektif
dengan olahraga, sementara pembatasan kalori
memiliki efek terbatas dan sederhana. Meskipun
demikian, risiko kardiometabolik dapat diperbaiki
bahkan dengan sedikit penurunan tekanan darah.
Modifikasi gaya hidup harus dilakukan selama
3 hingga 6 bulan pada semua pasien sebelum
mempertimbangkan tambahan terapi obat obatan
(farmakoterapi) kecuali pada pasien dengan
risiko tinggi. Perubahan perilaku kesehatan
yang berkelanjutan harus ditekankan kepada
pasien bahkan ketika sudah dimulai pemberian
farmakoterapi.8
Pemberian statin dilakukan bersamaan
dengan inisiasi perilaku modifikasi gaya hidup
pada pasien dengan risiko tinggi (lebih dari 20%
risiko penyakit kardiovaskular selama 10 tahun
ke depan) dan pasien risiko intermediat dengan
kadar kolesterol LDL >3,5 mmol/L (>135 mg/
dL) atau hsCRP >2,0 mg/L pada laki-laki >50
tahun atau perempuan >60 tahun. Pasien risiko
rendah dengan kadar kolesterol LDL >200 mg/
dL juga harus diberikan statin apabila modifikasi
gaya hidup saja tidak berhasil menurunkan kadal
kolesterol LDL. Target dari pemberian statin
yaitu kadar kolesterol LDL <135 mg/dL atau
penurunan tingkat kolesterol LDL sebesar ≥50%
dari nilai awal atau kadar apolipoprotein B <0,8
g/L.
Pada pasien dengan prediabetes (gangguan
glukosa puasa atau gangguan toleransi glukosa),
penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas
fisik yaitu pendekatan utama untuk mencegah
atau menunda munculnya diabetes meskipun
farmakoterapi juga dapat dipertimbangkan.
Metformin yaitu terapi farmakologis utama
97
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
untuk pasien dengan pradiabetes atau diabetes
sesudah modifikasi perilaku 3 sampai 6 bulan
gagal mencapai target yang diinginkan. Terapi
hiperglikemia yang agresif diperlukan untuk
kadar glukosa darah optimal pada pasien dengan
diabetes. Terapi antihipertensi harus dimulai
sesudah penilaian yang tepat sesuai Saran
oleh panduan PERAWATAN INTENSIF hipertensi.
Gambar 10.2 Intervensi Farmakologi untuk Menurunkan Risiko Kardiometabolik
CDA: Canadian Diabetes Association;
CHEP: Canadian Hypertension Education
Program; CKD: chronic kidney disease; CMR:
cardiometabolic risk; CPG: clinical practice
guidelines; CRP: C-reactive protein; DM: diabetes
melitus; HbA1c: hemoglobin A1c; kolesterol LDL.
Dalam kasus obesitas berat (kelas 3 atau
kelas 2 plus kondisi komorbid) dengan penurunan
berat badan yang tidak mencukupi meskipun sudah
diberikan intervensi perilaku atau farmakologis,
operasi bariatrik dapat dipertimbangkan. Operasi
bariatrik telah terbukti menurunkan kematian
semua penyebab yang lebih rendah sebesar 24%
hingga 40%, meningkatkan kualitas hidup, dan
memperbaiki metabolisme glukosa abnormal
termasuk diabetes, namun komplikasi mungkin
timbul dari defisiensi nutrisi dan perubahan
perilaku.
9. Saran untuk Pengobatan
sesudah diagnosis sindrom kardiometabolik
ditegakkan, maka perlu PERAWATAN INTENSIF faktor risiko
yang agresif dengan tujuan untuk mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular. Pasien harus
menjalani penilaian risiko kardiovaskular
komprehensif (termasuk status merokok) untuk
menentukan intervensi yang dapat berupa:
98
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
9.1 Intervensi Primer
Manajemen utama untuk sindrom kardiometabolik
yaitu adopsi gaya hidup sehat yang meliputi:
• Pembatasan kalori moderat (target kehilangan
5-10 persen dari berat badan di tahun
pertama),
• Peningkatan moderat dalam aktivitas fisik,
serta
• Perubahan komposisi diet.
9.2 Intervensi Sekunder
Pada orang yang memiliki risiko tinggi untuk
penyakit kardiovaskular dan perbaikan faktor
risikonya tidak cukup melalui perubahan gaya
hidup, obat-obatan diperlukan untuk menangani
sindrom kardiometabolik.
9.3 PERAWATAN INTENSIF pada Dislipidemia
Lihat bab 8 tentang dislipidemia.
9.4 PERAWATAN INTENSIF pada Hipertensi
Lihat bab 6 tentang hipertensi.
9.5 PERAWATAN INTENSIF Peningkatan Kadar
Glukosa Darah dan DM
Lihat bab 7 tentang diabetes melitus.
9.6 PERAWATAN INTENSIF pada Pasien
dengan Prothrombotic State
Pasien dengan risiko tinggi dapat diberikan
aspirin dosis rendah, sedangkan pasien dengan
risiko sedang-tinggi dapat dipertimbangkan untuk
diberikan aspirin profilaksis dosis rendah.9
TABEL : 10.1 Saran pemakaian Terapi Antiplatelet sebagai Prevensi Primer pada Pasien
dengan Diabetes
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Pada pasien DM dengan risiko kardiovaskular tinggi atau sangat
tinggi, aspirin (75-100 mg/hari) dapat dipertimbangkan untuk
prevensi primer dalam kondisi tidak ada kontraindikasi yang jelasa.
IIb A
Pada pasien DM dengan risiko kardiovaskular sedang, aspirin untuk
prevensi primer tidak disarankan .
III B
Perlindungan lambung
Ketika aspirin dosis rendah digunakan, penghambat pompa proton
harus dipertimbangkan untuk mencegah perdarahan saluran cerna.
IIa A
a perdarahan gastrointestinal, ulkus peptikum dalam 6 bulan terakhir, penyakit hepar aktif, atau
riwayat alergi aspirin
9.7 PERAWATAN INTENSIF pada Pasien
dengan Proinflammatory State
Pada pasien dengan sindrom metabolik dapat terjadi
kondisi proinflamasi yang ditunjukkan dengan
peningkatan kadar sitokin, CRP, dan fibrinogen.
Kadar CRP >3 mg/L dapat menjadi acuan untuk
menegakkankondisi proinflamasi. Tidak ada terapi
spesifik pada kondisi ini.7 Statin, yang secara luas
digunakan untuk menangani hiperkolesterolemia,
memiliki efek anti-inflamasi dan anti-oksidan.
Berdasarkan beberapa studi, statin memiliki efek
anti-inflamasi, termasuk mengurangi konsentrasi
C-reactive protein (CRP). Efek reduksi kolesterol
99
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
LDL, yaitu dengan pemakaian statin dapat
memicu aksi anti-inflamasi sebab kolesterol
LDL itu sendiri berperan penting dalam memacu
inflamasi. Terlebih lagi, statin mengurangi laju
produksi tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan
interferon gamma (IFNγ) pada limfosit T terstimulasi,
dan menghambat respons imun sel T helper (Th-
1).
TABEL : 10.2 Saran Terapi Anti Inflamasi8
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Colchicine dosis rendah (0,5 mg sekali sehari) dapat dipertimbangkan
untuk prevensi sekunder penyakit kardiovaskular, khususnya jika
faktor faktor risiko lainnya tidak terkontrol secara memadai atau
jika kejadian kardiovaskular berulang terjadi pada kondisi terapi
optimal .
PERAWATAN INTENSIF Sindrom Kardiometabolik
101
PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
BAB
11
PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
Abdul Halim Raynaldo dan Tuko Srimulyo
1. Merokok sebagai Faktor Risiko
PKVA
Prevalensi merokok pada orang dewasa masih belum menunjukkan penurunan selama periode 2013–2018, sementara prevalensi
merokok pada remaja usia 10-19 tahun meningkat
dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% pada 2018.
Data terbaru dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS)
tahun 2019 menunjukkan bahwa 2 dari 3 anak
laki-laki dan hampir 1 dari 5 anak perempuan
sudah pernah menggunakan produk tembakau.
Selain itu, 19,2% dari pelajar saat ini merokok
dan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok
secara eceran.1
Merokok, baik aktif maupun pasif,
dapat memicu penyakit kardiovaskular
aterosklerosis (PVKA) melalui serangkaian proses
yang saling berhubungan, seperti stres oksidatif,
perubahan hemodinamik dan otonom, disfungsi
endotel, trombosis, inflamasi, hiperlipidemia,
atau penyakit lainnya. Individu yang merokok
sekitar satu batang rokok per hari memiliki
risiko 48% lebih tinggi terkena penyakit jantung
koroner dibandingkan dengan bukan perokok.
Penelitian juga menunjukkan bahwa individu
yang menganggap dirinya perokok ringan, yaitu
merokok hanya satu sampai lima batang rokok
per hari, memiliki risiko penyakit jantung koroner
yang lebih tinggi.2, 3
Asap rokok mengandung lebih dari 4000
zat kimia yang memiliki efek berbahaya pada
fungsi kardiovaskular. Beberapa bahan kimia
dalam asap tembakau dapat memicu
pembentukan reactive oxygen species (ROS) yang
berlebihan dan memicu proliferasi sel otot polos,
kerusakan DNA, inflamasi, yang semuanya
mengarah pada penyakit jantung koroner. Salah
satu zat dalam tembakau yang memiliki dampak
langsung terhadap organ jantung yaitu nikotin.
Nikotin tergolong senyawa kelas alkaloid (seperti
morfin dan kokain) dan memenuhi kriteria zat
yang sangat adiktif. Satu batang rokok berisi 1,2-
2,9 mg nikotin, dan perokok satu bungkus per
hari menyerap 20-40 mg nikotin setiap harinya.
Nikotin memiliki 2 efek yang sangat kuat, yaitu
sebagai stimulan dan depresan. Kerusakan single-
nucleotide polymorphism (SNP) pada kromosom
15q25 yang terletak di gen reseptor nicotinic
CHRNA (rs1051730) berhubungan dengan
penyakit jantung koroner. Selain itu, nikotin
juga menderegulasi fungsi otonom jantung,
meningkatkan aktivasi simpatis, meningkatkan
detak jantung, memicu vasokonstriksi
koroner dan perifer, meningkatkan beban kerja
miokard, dan menstimulasi pelepasan katekolamin
adrenal dan neuronal, yang memicu penyakit
jantung koroner.3, 4
102
PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
2. Metode Penulisan Panduan
Berhenti Merokok
Bahwa panduan berhenti merokok ini ditulis
oleh kelompok kerja Prevensi dan Rehabilitasi
Kardiovaskular PERKI dengan sebagian besar
mengadopsi dari panduan American College of
Cardiology dengan judul “2018 ACC Expert Consensus
Alur penghentian perokok
Gambar 11.1 Rangkuman Konsensus ACC 2018 untuk Decision Pathway for Tobacco Cessation
Treatment
Decision Pathway on Tobacco Cessation Treatment”
dengan memodifikasi dan menyesuaikan dengan
keadaan di Asia Tenggara khususnya di Indonesia,
sehingga didalam panduan ini memuat istilah
istilah yang dikeluarkan dan data-data yang dimuat
oleh American College of Cardiology (ACC).
Tanyakan
pemakaian
Tembakau
Penilaian
Anjuran
Tindakan
Pengobatan
Tindak
Lanjut
103
PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
3. Deskripsi dan Metode
3.1 Saran Berhenti Merokok
Berdasarkan pedoman ESC 2019 yang ditujukan
untuk mendiagnosis dan mengelola sindroma
koroner kronis (SKK) atau chronic coronary syndrome
(CCS), tindakan berhenti merokok meningkatkan
prognosis baik pada pasien dengan CCS dan
TABEL : 11.1 Merokok sebagai Faktor Risiko PKVA6
Pernyataan
Tingkat
Bukti
Merokok merupakan faktor risiko untuk CAD, strok, aneurisma
aorta abdominalis, dan PAD
1a
Merokok pasif merupakan faktor risiko CAD dan strok 1a
3.2 Gambaran Pengambilan
Keputusan untuk Pengobatan
Pemberhentian Merokok
Konsensus ACC untuk menghentikan kebiasaan
merokok merupakan panduan sistematis untuk
mencegah merokok secara efisien dan efektif
selama konsultasi rutin di ruangan praktek klinik.7
Konsensus untuk penghentian merokok
bergantung pada kerja tim. Lima langkah dasar
yang ditujukan sebagai tanggung jawab dari tim
yaitu sebagai berikut.
mengurangi risiko mortalitas sebesar 36%.
Berdasarkan pedoman ESC 2019 tentang DM,
pra-diabetes, dan penyakit kardiovaskular, perilaku
merokok dapat meningkatkan risiko DM, PKVA,
dan kematian dini dan hal ini harus dihindari
termasuk oleh perokok pasif.5
Jika saran, dorongan, dan motivasi
diberikan tidak mencukupi, terapi obat harus
dipertimbangkan sejak dini, termasuk terapi
penggantian nikotin diikuti dengan bupropion
atau varenicline. Rokok elektronik (e-rokok) yaitu
alatberhenti merokok yang muncul di seluruh
dunia, namun konsensus mengenai kemanjuran dan
keamanannya belum tercapai. Program berhenti
merokok memiliki tingkat kepatuhan yang rendah
pada 12 bulan.
TABEL : 11.2 Saran Berhenti Merokok sebagai Prevensi PKVA6
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Berhenti merokok dan mencegah merokok pasif merupakan
upaya untuk prevensi primer dan sekunder PKVA
I B
1. Tanyakan dan dokumentasikan status
pemakaian tembakau setiap pasien dan
paparan terhadap asap rokok setiap bertemu
menggunakan metode asesmen standar.
2. Nilai tingkat adiksi nikotin perokok, tingkat
kambuh mantan perokok dan semua paparan
terhadap asap rokok bagi yang bukan
perokok.
3. Sarankan kepada semua pengguna tembakau
untuk berhenti, menekankan kepada efek
yang baik untuk kesehatan jika berhenti
daripada kerugian jika terus merokok,
dan menyarankan juga kepada yang tidak
merokok untuk menjauhi paparan asap rokok.
104
PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
4. Berikan dan salurkan keinginan merokok
dengan opsi pengobatan.
5. Follow-up dengan pasien pada saat visit
untuk memonitor status merokoknya dan
mempertahankan kepatuhan kepada
pengobatan penghentian merokok.
3.3 Algoritma untuk Perokok Aktif
Terdapat 4 tahapan manajemen pada perokok
aktif, yaitu:
1. Penilaian untuk ketergantungan nikotin.
Kekuatan dari ketergantungan nikotin
seorang individu yaitu kunci untuk
memprediksi seberapa mungkin seseorang
untuk kambuh sesudah berhenti merokok.
Skrining sederhana untuk ketergantungan
nikotin yaitu dengan menanyakan apakah
seseorang merokok setiap hari atau beberapa
hari saja. Mereka juga harus disarankan untuk
berhenti merokok sepenuhnya dan ditawarkan
bantuan untuk melakukannya.7
2. Saran untuk berhenti merokok. Langkah
kedua yaitu untuk memberikan saran
yang jelas dan personal kepada perokok
agar menghentikan pemakaian tembakau
secepatnya, dengan kalimat yang membantu
seperti, ”Sebagai dokter, saya ingin Anda
tahu jika berhenti merokok sekarang yaitu
salah satu cara agar diri Anda sehat.” Untuk
perokok yang telah melewati infark miokard
(MI), dokter dapat mengatakan, “Berhenti
merokok sekarang yaitu cara terbaik buat
kamu terhindar dari serangan jantung lagi.”7
3. Memberikan dan menyediakan pengobatan.7
• Farmakoterapi: Farmakoterapi seharusnya
diberikan kepada tiap pasien yang bersedia
menerima. Farmakoterapi bisa dimulai
saat pasien belum siap untuk berhenti
merokok dalam waktu dekat, sebab dapat
memotivasi pasien untuk mengurangi
merokok dan meningkatkan kemungkinan
mereka akan mencoba untuk berhenti.
• Dukungan perilaku: Dokter atau staf
tim berhenti merokok harus secara
proaktif memberikan dukungan berhenti
merokok kepada para perokok dan
me Saran kan terapi perilaku yang
dapat dilakukan sesuai dengan keinginan
perokok.
4. Follow-up. Oleh sebab risiko kambuh perokok
sangat tinggi di beberapa hari dan minggu
awal sesudah berhenti merokok, pertemuan
untuk melakukan follow-up kepada pasien
harus terjadi antara 2-4 minggu dari jumpa
pertama. Kegiatan yang harus dilakukan
saat melakukan follow-up termasuk menilai
status merokok, bertanya tentang respons
terhadap pengobatan, memberikan dukungan
dan memberi semangat untuk tetap berhenti
merokok, dan menyelesaikan segala masalah
yang muncul.7
4. Pilihan Pengobatan Saran
BPOM
Panduan terapi program berhenti merokok
me Saran kan bahwa terapi sulih nikotin
dan bupropion hanya diberikan bagi perokok
yang berkomitmen untuk berhenti merokok
dalam target waktu tertentu. Perokok sebaiknya
ditawarkan bantuan saran dan dukungan dalam
membantu usaha berhenti merokok.8
A. Nikotin
Nikotin diberikan untuk membantu penghentian
merokok pada individu dengan ketergantungan
nikotin. Kontraindikasi obat ini antara lain yaitu
penyakit kardiovaskular berat, strok, dan hamil.
Serta beberapa efek samping antara lain mual,
pusing, nyeri kepala, gejala mirip influenza,
palpitasi, dispepsia, insomnia, mialgia.
Dosis dan cara pemakaian untuk patches
yaitu tempelkan pada kulit yang kering, tak
berambut, di badan atau lengan atas. Lepas sesudah
24jam, gantikan di tempat yang lain. Jangan
105
PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
tempel di tempat yang sama untuk beberapa hari.
Dosis awal 21 mg patch/hari, biasanya untuk 4
minggu, kemudian 14 mg patch selama 2 minggu.
Jumlah rokok yang diisap perhari ikut menentukan
dosisnya. Tidak dianjurkan untuk diberikan pada
anak anak.8
B. Vereniklin Tartrat
Vereniklin Tartrat yaitu obat yang digunakan
sebagai alternatif terapi berhenti merokok pada
orang dewasa. Perlu dihindari penghentian obat
secara tiba-tiba sebab dapat memicu
insomnia dan depresi. Obat ini dikontraindikasikan
pada kehamilan, hipersensitif terhadap vareniklin
tartrat dan semua komponen yang terkandung
dalam sediaan. Vereniklin Tartrat memiliki
efek samping seperti gangguan saluran cerna,
perubahan nafsu makan, mulut kering, sakit kepala,
mengantuk, pusing, gangguan tidur, hipertonia,
gelisah, hipoestesia, gangguan pengaturan
suhu, menoragia, vaginal discharge, disfungsi
seksual, disuria, artralgia, kejang otot, gangguan
penglihatan, nyeri mata, lakrimasi, tinitus, jerawat,
berkeringat, ruam, dan pruritus.
Dosis dan cara pemakaian oleh pasien
sebaiknya disesuaikan dengan target tanggal untuk
benar-benar berhenti merokok. Terapi dimulai 1-2
minggu sebelum tanggal yang ditentukan. Dosis
yang dianjurkan yaitu pada minggu pertama
diberikan dosis titrasi: Hari 1-3: 0,5 mg 1 kali
sehari; Hari 4-7: 0,5 mg 2 kali sehari; sesudah 7
hari pertama (hari 8-akhir terapi) diberikan dosis
1 mg dua kali sehari. Terapi dilakukan selama 12
minggu. Pasien yang tidak dapat mentoleransi efek
samping obat, secara berkala dapat diberikan dosis
yang lebih rendah atau seterusnya diberikan dosis
0,5 mg 2 kali sehari.8
5. Intervensi Perilaku
Intervensi nonfarmakologi untuk ketergantungan
tembakau termasuk pelatihan kemampuan
perilaku menggunakan metode terapi perilaku
kognitif, wawancara motivasional, dan insentif
untuk memotivasi dan memperkuat perubahan
perilaku. Saran dari dokter untuk berhenti merokok
dan bimbingan singkat dapat dibuat lebih efektif
dengan cara menghubungkan perokok dengan
sumber daya yang tersedia, termasuk konsultasi
dengan tim berhenti merokok.7
6. Algoritma Pengobatan untuk
Mantan Perokok
Mantan perokok menerima pengobatan sesuai
risiko mereka untuk kembali merokok seperti
ditunjukkan dalam algoritma untuk mantan
perokok. Menentukan risiko kekambuhan merokok
yaitu langkah penilaian kunci untuk mantan
perokok. Risiko kekambuhan dinilai dengan
menanyakan berapa lama waktu berlalu sejak
individu tersebut terakhir menggunakan produk
tembakau. Sebagian besar kekambuhan terjadi
dalam berhari-hari hingga berminggu-minggu
sesudah memulai upaya berhenti merokok. Risiko
kekambuhan tetap tinggi untuk bulan pertama dan
menurun dengan cepat selama 3 bulan sesudah nya,
namun kekambuhan masih dapat terjadi bahkan
sesudah 1 tahun berhenti merokok.7
Pasien yang berpantang rokok pada setiap
pertemuan lanjutan layak mendapat pujian
atas keberhasilan mereka. untuk pasien yang
memiliki “sifat kumat” (yaitu, merokok beberapa
batang) atau kambuh (yaitu, kembali ke kebiasaan
merokok), dokter harus membingkai ulang persepsi
diri perokok sebagai kegagalan, memberi petunjuk
bahwa berhenti merokok bahkan untuk waktu
yang singkat, merupakan bagian dari keberhasilan,
sehingga perokok mendapat pembelajaran
untuk berhenti di masa depan. Penting bagi tim
berhenti merokok untuk mendiskusikan faktor-
faktor yang mungkin telah memicu kekambuhan,
menilai kembali pilihan pengobatan, dan menilai
kesediaan untuk upaya berhenti merokok.7
106
PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
7. Pelatihan dan Implementasi
Pengobatan Penghentian Tembakau
Dukungan dari pemangku kepentingan dalam
sistem kesehatan merupakan komponen penting
untuk membantu membangun konsensus dan
memfasilitasi layanan pengobatan tembakau.
Dukungan kuat dari para pemimpin sistem
kesehatan sangat penting agar perubahan sistem
dapat terjadi. Praktisi klinis (misalnya dokter,
perawat, asisten dokter, terapis pernapasan,
apoteker, koordinator perawatan) dapat
memberikan pendampingan selama masa
pelaksanaan.7
Adopsi kebijakan bebas rokok di seluruh
sistem perawatan kesehatan, termasuk area
outdoor, dapat mendukung implementasi intervensi
berhenti merokok dalam praktek klinis. Sistem
umpan balik yang memberikan informasi tentang
kinerja kepada penyedia layanan dan sistem
kesehatan akan membantu untuk memastikan
penerapan perubahan dalam praktik klinis.
PERAWATAN INTENSIF Stres dan Faktor
Psikososial
I
1. Definisi Faktor Psikososial
Banyak keadaan dan faktor psikososial yang berpengaruh pada perjalanan maupun perburukan penyakit kardiovaskular.
Perilaku tidak sehat seperti gaya hidup yang
sedenter (kurang aktivitas fisik), makan berlebihan,
merokok, dan konsumsi alkohol berat juga
menambah risiko penyakit jantung, terutama
penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVA)
koroner.
Stres psikososial bisa menjadi pemicu
penyakit jantung demikian juga sebaliknya
penyakit jantung yang dialami bisa menimbulkan
gangguan kejiwan khususnya gangguan cemas,
depresi dan gangguan fungsi kognitif, baik sebab
penyakitnya maupun sebab pengobatannya.
Intervensi psikoedukasi dan PERAWATAN INTENSIF stres dapat
mencakup berbagai komponen termasuk saran
diet dan nutrisi, mengontrol emosi/kemarahan,
latihan relaksasi dan meditasi, bantuan berhenti
merokok, konseling aktivitas seksual, dan olahraga
yang disupervisi, yang akan berdampak pada
membaiknya kualitas hidup pasien.1,2
2. Stres Akut dan Kronis sebagai
Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular
Stres akut mengacu pada reaksi sistemik nonspesifik
yang terjadi ketika tubuh dirangsang oleh berbagai
faktor negatif internal dan eksternal dalam waktu
yang lama. Respons fisiologis terhadap paparan
stres telah lama dikenal sebagai modulator kuat
dalam terjadinya aterosklerosis.
Berbagai penelitian telah mengonfirmasi
korelasi antara aterosklerosis dan kejadian
penyakit kardiovaskular. Stres yang terpendam
secara tidak sadar akibat peristiwa negatif dalam
kehidupan dapat memicu pembentukan
plak. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan
bahwa stres merupakan faktor risiko independen
untuk perkembangan penyakit kardiovaskular
serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang
sudah ada sebelumnya. Salah satu mekanisme yang
diduga terjadi pada proses ini yaitu bahwa stres
kronis memicu cedera endotel, yang secara
langsung mengaktifkan makrofag, mendorong
pembentukan foam cell, dan menghasilkan
pembentukan plak aterosklerotik. Mekanisme ini
melibatkan banyak variabel, termasuk inflamasi,
metabolisme lipid, dan fungsi endotel.1,2
Stres kronis psikologis dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian akibat PKVA. Baik
depresi maupun gangguan stres pasca-trauma
telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan prognosis yang lebih buruk,
namun mekanismenya belum diketahui secara
pasti, dan kemungkinan bersifat multifaktorial.
Stres dikaitkan dengan disfungsi otonom, yang
ditandai penurunan heart rate variability (HRV).
Penurunan HRV juga diidentifikasi sebagai
prediktor independen kematian kardiovaskular.
HRV mengukur aktivitas simpatis dan parasimpatis
yang berfluktuasi sebagai respons terhadap aktivitas
seperti pernapasan, posisi tubuh, dan aktivitas fisik.
HRV telah diamati sebagai indeks dampak fisiologis
stres pada tubuh, sebab menangkap rangsangan
108
PERAWATAN INTENSIF Stres dan Faktor Psikososial
simpatik dan defisit parasimpatis, yang merupakan
kunci dalam respons stres neurobiologis. Meskipun
HRV tampak menjanjikan sebagai metrik fisiologis
stres, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
memahami potensinya sebagai penanda klinis
stres.3
3. Dampak Faktor Psikososial
(Stres, Cemas, dan Depresi) terhadap
Fisik
Stres, cemas, depresi dapat memiliki dampak
sebagai berikut: menurunkan imunitas,
memperlambat penyembuhan, menurunkan
kepatuhan pengobatan, menganggu pengambilan
keputusan, serta menurunkan kualitas hidup.
Terdapat hubungan dua arah antara gangguan
mood dan penyakit kardiovaskular. Individu dengan
gangguan mood menanggung beban morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular yang lebih besar
daripada rata-rata populasi umum. Mereka yang
mengalami depresi memiliki risiko dua kali lipat
terkena PKVA. Peningkatan serupa dalam risiko
telah didokumentasikan untuk pasien dengan
gangguan bipolar. Sebaliknya, individu dengan
PKVA berada pada risiko yang lebih besar untuk
mengalami depresi berat—suatu perkembangan
yang dapat menimbulkan implikasi prognostik
yang penting. Sekitar 20% pasien dengan penyakit
kardiovaskular memenuhi kriteria gangguan
depresi mayor.
Berbagai mekanisme diperkirakan
menjembatani hubungan antara depresi dan
PKVA. Hubungan biologis yang diusulkan
termasuk disfungsi sistem saraf otonom, disfungsi
sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal, keadaan
pro-koagulasi, disfungsi vaskular, fungsi imunitas
yang berubah, dan inflamasi. Hubungan perilaku
dan psikososial termasuk pola makan yang
buruk, aktivitas fisik, ketidakpatuhan pengobatan,
merokok, dan isolasi sosial. Individu dengan
depresi berat juga lebih mungkin memiliki faktor
risiko penyakit jantung seperti diabetes mellitus,
hiperlipidemia, hipertensi, obesitas, dan merokok.1
Depresi secara independen berhubungan
dengan sejumlah penyakit kardiovaskular.
Beberapa penelitian telah menemukan kejadian
depresi dengan onset paska sindrom koroner
akut atau infark miokard meningkatkan prognosis
yang kurang baik secara signifikan. Depresi yang
resisten terhadap pengobatan juga berhubungan
dengan risikoterjadinya PKVA yang sangat tinggi.
Selain dampak pada gangguan
kardiovaskular, depresi juga memiliki efek samping
seperti gangguan fungsi, penurunan kualitas
hidup, peningkatan pengeluaran sumber daya,
dan peningkatan kejadian penyakit secara umum.
sebab nya pemberian pengobatan depresi secara
umum relevan secara klinis, meskipun diperlukan
perhatian khusus pada individu dengan PKVA.
Pada penderita PKVA, depresi seringkali
tidak dikenali dan terlambat diobati. Skrining
untuk depresi telah disarankan untuk
individu dengan PKVA. sebab hubungan dua
arah antara depresi dan PKVA, individu dengan
depresi harus dipantau secara ketat dan diobati
untuk faktor risiko PKVA.1
4. cek up Penunjang terhadap
Depresi, Cemas, dan Stres
Berdasarkan estimasi global, sekitar 615 juta orang
diduga menderita depresi dan/atau kecemasan
yang membebani individu terdampak (misalnya,
fungsi yang buruk di tempat kerja atau sekolah)
dan masyarakat secara keseluruhan (misalnya,
biaya medis).
Pencegahan, pengenalan, dan deteksi dini
terhadap stres atau gangguan psikososial sebagai
penyebab primer atau sekunder sangat penting
untuk dikenali pada penderita PKVA. Stres bisa
mencetuskan PKVA begitu juga sebaliknya PKVA
bisa membuat seseorang menjadi stres/cemas/
depresi. Beberapa tool yang sering dipakai untuk
deteksi dini/skrining awal stres, cemas, dan depresi
antara lain Depression Anxiety Stress Scale (DASS) dan
Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS). HADS
109
PERAWATAN INTENSIF Stres dan Faktor Psikososial
merupakan suatu alat yang digunakan untuk
mengidentifikasi ada atau tidaknya kecemasan
dan/atau depresi pada seseorang.
Banyak instrumen yang telah dilaporkan
dan dikembangkan untuk skrining awal atau
penilaian individu dengan masalah kesehatan
mental yang umum, seperti DASS-21 yang telah
digunakan secara luas, relatif pendek, dan tersedia
secara bebas untuk publik.4
Wawancara mendalam dan cek up
klinis diperlukan untuk penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan lebih lanjut.
5. Kualitas Hidup Terkait Kesehatan
pada Pasien PKVA
Menurut Pusat Nasional untuk Pencegahan
Penyakit Kronis dan Promosi Kesehatan Amerika
Serikat, Kualitas hidup terkait kesehatan (health-
related quality of life/HRQoL) telah terbukti
memengaruhi kesehatan, dan mencakup persepsi
kesehatan fisik dan mental dan korelasinya
pada tingkat individu.1 Pengukuran kualitas
hidup terkait kesehatan (HRQoL) yaitu luaran
kesehatan penting yang berpusat pada pasien dan
berguna untuk menilai dampak beban penyakit
dan efektivitas intervensi pengobatan.6
Kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL)
dianggap sebagai ukuran tolok ukur penyakit
kronis, khususnya PKVA, yang diketahui terkait
dengan gangguan HRQoL. Kualitas hidup
terkait kesehatan yang lebih rendah telah terbukti
memprediksi risiko yang lebih tinggi untuk
rehospitalisasi dan kematian pada pasien dengan
PKVA.7
Pendekatan pasien secara interdisipliner
dapat berkontribusi pada peningkatan
kualitas hidup, sehingga dokter tidak hanya
mengevaluasi kondisi biologis pasien, namun
juga mempertimbangkan dampak penyakit dan
pengobatan yang digunakan terhadap kualitas
hidup pasien.8
6. Definisi Health-Related Quality of
Life (HRQoL)
Kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL) yaitu
konsep multi-dimensi yang mencakup domain
yang terkait dengan fungsi fisik, mental, emosional,
dan sosial. Hal tersebut melampaui ukuran
langsung kesehatan populasi, harapan hidup, dan
penyebab kematian, dan berfokus pada dampak
status kesehatan terhadap kualitas hidup individu.9
Konsep HRQoL yaitu kesejahteraan,
yaitukeadaan relatif ketika seseorang
memaksimalkan fungsi fisik, mental, dan sosialnya
dalam konteks lingkungan yang mendukung
untuk menjalani kehidupan yang seutuhnya,
memuaskan, dan produktif.9 Konsep ini diterapkan
dalam HRQoL dengan menilai aspek positif dari
kehidupan seseorang, seperti emosi positif dan
kepuasan hi