Kelainan genetika 4

 











dup.

7. Peran Penilaian Kualitas Hidup 

Terkait Kesehatan pada Populasi 

PKVA

Ada empat aspek utama penilaian HRQoL 

terhadap PKVA:

1. Perbandingan pemberian terapi dalam uji 

klinis.

2. Sebagai panduan terapi setiap individu.

3. Penilaian antara HRQoL pasien dan sampel 

populasi umum sesuai dengan usia dan jenis 

kelamin.

4. Mempermudah evaluasi klinis dan ekonomi 

dalam menentukan pemakaian   sumber daya 

kesehatan terbaik yang melibatkan populasi 

pasien jantung.

110


PERAWATAN INTENSIF   Stres dan Faktor Psikososial

7.1 Penilaian HRQoL pada Pasien 

PKVA

Instrumen penilaian kualitas hidup secara umum 

yaitu   untuk penilaian kualitas hidup global, 

sedangkan penilaian secara khusus disesuaikan 

untuk mengatasi masalah atau penyakit tertentu. 

Kuesioner penilaian kualitas hidup umum yang 

paling sering digunakan pada PKVA meliputi:8

1. World Health Organization Quality of  Life 

Assessment Instrument (WHOQOL)

2. Medical Outcomes Study 36-item Short-Form Health 

Survey (SF-36)

3. Nottingham Health Profile (NHP)

4. Euro-Quality of  Life Questionnaire (EuroQoL, EQ-

5D)

Kuesioner yang khusus digunakan untuk PKVA:

1. MacNew Heart Disease Health–Related Quality of  

Life Questionnaire (MacNew)

2. Seattle Angina Questionnaire (SAQ)

3. Minnesota Living with Heart Failure (MLHF) 

questionnaire

4. Atrial Fibrillation Severity Scale (AFSS)

5. Cardiomyopathy questioner (Kansas City) (KCCQ-

12)

6. Heart Quality of  Life (Heart QoL)

8. Pencegahan dan Deteksi Dini 

Stres

Di tengah meningkatnya perhatian publik 

terhadap stres dan konsekuensinya, para ilmuwan 

telah meneliti efek berbagai teknik pengurangan 

stres dan memvalidasi kemanjuran dan efektivitas 

berbagai metode pengelolaan stres.10

Begitu diagnosis terhadap gangguan mental 

dapat ditegakkan, berbagai pilihan pengobatan 

tersedia, seperti antidepresan, psikoterapi, dan 

olahraga. Setiap pasien PKVA yang memenuhi 

syarat harus dirujuk ke rehabilitasi jantung 

untuk pengelolaan stres yang dialaminya. 

Relaksasi dan pendekatan manajemen stres juga 

bermanfaat untuk memperbaiki kondisi depresi 

sehingga memberikan perbaikan pada kondisi 

kardiovaskular.1

9.  Saran  Penanganan Aspek 

Psikososial PKVA

Berikut ini  Saran  penanganan aspek 

psikososial yang berkaitan dengan PKVA.11

  TABEL :  12.1  Saran  PKVA Terkait Stres dan Depresi

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Pasien PKVA dengan stres dapat dipertimbangkan untuk rujukan psikoterapi 

untuk mengelola stres untuk meningkatkan luaran kardiovaskular dan 

menurunkan gejala stres 

IIa

Pasien dengan penyakit jantung koroner dan depresi mayor sedang–berat dapat 

dipertimbangkan untuk pemberian antidepresan dengan SSRI

IIa

Pasien dengan gagal jantung dan depresi mayor, tidak disarankan  untuk 

diberikan SSRI, SNRI, dan antidepresan trisiklik

III

Keterangan: SSRI, selective serotonin reuptake inhibitors; SNRI, serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors

111

  

PERAWATAN INTENSIF   Stres dan Faktor Psikososial

  TABEL :  12.2  Saran  untuk Risiko yang Dapat Memodifikasi Kardiovaskular

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Gejala stres dan stresor psikososial memodifikasi risiko 

kardiovaskular. Pengkajian terhadap stresor dapat 

dipertimbangkan.

IIa B

Stres psikososial berhubungan dengan pola 

dosis-respons, seiring dengan perkembangan dan 

progresi PKVA dan juga berhubungan secara 

independen terhadap faktor risiko konvensional 

dan jenis kelamin. 

Stres psikososial dapat diakibatkan oleh 

stresor, seperti kesepian dan kejadian kehidupan 

yang kritis yang akan menimbulkan gejala stres, 

cemas, dan depresi. Indikator kesehatan mental 

seperti optimisme dan tujuan hidup yang kuat 

berhubungan dengan risiko yang lebih rendah. 

Stres psikososial memiliki efek biologis dan 

memiliki korelasi tinggi dengan faktor risiko 

sosioekonomi dan tingkah laku, misalnya merokok 

dan ketidaktaatan.

10. Pengkajian Psikososial

  TABEL :  12.3   TABEL :  Pengkajian Psikososial

Pengkajian Psikososial

Pengkajian diagnosis secara 

simultan

Satu dari lima pasien yang terdiagnosis gangguan mental, umumnya 

memiliki gejala fisik (seperti rasa berat di dada, sesak). Dokter 

sebaiknya mengkaji apakah gejala yang dialami pasien merupakan 

gejala somatis akibat stres emosional 

Skrining  Saran  untuk melakukan skrining dengan menggunakan 

instrumen dalam mendiagnosis depresi, kecemasan, dan insomnia 

(misalnya Patient Health Questionnaire 9, DASS 21, dan HADS)

Stresor Pertanyaan sederhana mengenai stresor yang signifikan: Apakah anda 

mengalami stres dalam bekerja, masalah finansial, kesulitan dalam 

hubungan keluarga, kesepian, atau ada kejadian yang membuat anda 

tertekan? 

Kebutuhan untuk dukungan 

kesehatan mental

Apakah anda tertarik dengan layanan kesehatan mental atau berminat 

untuk dirujuk ke psikiater?

Pengkajian Psikososial

Risiko kardiovaskular Pengkajian rutin terhadap stresor psikososial sebaiknya dilakukan pada 

orang dewasa dan dilanjutkan dengan pemberian konseling yang tepat

Obesitas dan overweight Konseling gaya hidup untuk penurunan berat badan memasukkan 

pengkajian dan  Saran  intervensi terhadap stresor psikososial, 

kebutuhan tidur, dan pembatasan kalori secara individual 

Diabetes mellitus Dalam peresepan intervensi terhadap DM tipe 2, diperlukan 

pengkajian terhadap faktor lingkungan dan psikososial, termasuk 

depresi, stres, kepercayaan diri, dan dukungan sosial, yang dapat 

meningkatkan kontrol glikemi dan kepatuhan pengobatan 

112


PERAWATAN INTENSIF   Stres dan Faktor Psikososial

11. Pengendalian Stres

Stress management training (SMT) bertujuan untuk 

mengubah respons tingkah laku dan kognitif  

seseorang terhadap stres. SMT terdiri dari:10,12

• Pemberian teknik relaksasi

Kemampuan relaksasi dapat dipelajari melalui 

tiga fase antara lain mempelajari kemampuan 

relaksasi dasar, monitoring tekanan di 

kehidupan sehari-hari, dan menggunakan 

teknik relaksasi saat stres. Contoh teknik 

relaksasi yaitu   meditasi dan melakukan 

pijatan pada otot yang mengalami ketegangan.

• Restrukturisasi kognitif

Restrukturisasi kognitif  dilakukan dengan 

mengidentifikasi stres dan cara menurunkannya. 

Identifikasi stres dapat dilakukan dengan 

eksplorasi stres dengan melakukan pencatatan 

harian. Apabila masalah berhasil teridentifikasi, 

dapat dilanjutkan dengan tindakan yang 

harus dilakukan untuk mengatasi stres dan 

bagaimana cara memfasilitasinya sebagai 

profesional kesehatan.

• Pelatihan respons tingkah laku terhadap stres

Intervensi dasar berupa relaksasi diajarkan oleh 

profesional kesehatan dengan menurunkan 

respons terhadap stres. Pada individu dengan 

tingkat stres yang tinggi diperlukan intervensi 

oleh ahli kejiwaan.

Pasien dengan PKVA memiliki kesulitan 

mengkomunikasikan rasa stres dan terdapat 

keterbatasan untuk mendapatkan bantuan 

profesional terkait stres. SMT sebaiknya ditawarkan 

kepada pasien secara individual atau kelompok 

kecil. Program rujukan kepada psikiatri diberikan 

kepada pasien dengan tingkat stres yang berat. 

SMT diperlukan untuk meningkatkan kualitas 

hidup dan prognosis pasien dengan PKVA.13

  TABEL :  12.4 Pernyataan Kesepakatan Ahli tentang Rujukan pada Pasien dengan Tingkat Stres 

Signifikan

Pernyataan Kesepakatan Ahli

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Pasien PKVA dengan tingkat stresor yang signifikan 

disarankan  untuk program rujukan kepada psikiater, 

psikolog klinis, atau konsultan psikosomatis.

I C

Angina dapat dipicu oleh stres emosional. 

Gejala angina berkurang secara signifikan pada 

pasien yang menjalani SMT. Insidensi reinfark 

juga berkurang pada pasien pasca revaskularisasi 

yang menjalani SMT.1 SMT umumnya tidak 

rutin dimasukkan ke dalam komponen program 

rehabilitasi kardiovaskular, walaupun bukti 

epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan 

stres memiliki asosiasi dengan risiko kematian 

dan kejadian kardiovaskular non fatal. Penelitian 

Ezetimibe and Simvastatin in Hypercholesterolemia 

Enhances Atherosclerosis Regression (ENHANCED) 

trial menyebutkan bahwa pada pasien dengan stres 

mental yang dipicu penyakit jantung aterosklerotik, 

kelompok yang diberikan SMT ataupun latihan 

fisik memiliki luaran klinis lebih baik dibandingkan 

kelompok yang tidak mendapatkan kedua program 

tersebut.13, 14

12. Edukasi dan Kepatuhan terhadap 

Pengobatan

Edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai 

tujuan rehabilitasi kardiovaskular dan prevensi 

sekunder tidak hanya berisi penyampaian fakta 

mengenai penyakit pasien, namun   juga menyangkut 

aspek sosial dan emosional yang dirasakan oleh 

113

  

PERAWATAN INTENSIF   Stres dan Faktor Psikososial

pasien dan keluarganya sehingga diperlukan 

komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan 

dan pasien beserta keluarganya sehingga terdapat 

pemahaman yang sama mengenai penyakit yang 

diderita pasien tersebut.12

Tujuan rehabilitasi kardiovaskular yaitu   

untuk pencegahan sekunder dan meningkatkan 

kualitas hidup yang berhubungan dengan 

kesehatan. Uuntuk mencapai tujuan ini, pasien 

disarankan  untuk melakukan hal-hal 

berikut:

1. Minum obat teratur sesuai dosis

2. Mengikuti  Saran  diet yang disarankan

3. Berhenti merokok

4. Berolahraga secara teratur

5. Mengelola stres dengan baik

6. Beradaptasi dengan pekerjaan

World Health Organization (WHO) 

mendefinisikan kepatuhan sebagai sejauh mana 

perilaku seseorang untuk meminum obat, 

mengikuti diet, dan/atau menjalankan modifikasi 

gaya hidup, sesuai dengan  Saran  yang 

disepakati dari penyedia layanan kesehatan.

Dukungan sosial yang baik dari keluarga 

memberikan prognosis yang baik bagi pasien 

PKVA, hal ini meliputi pemahaman emosional, 

telaah informasi, dan instrumental mengenai apa 

itu penyakit PKVA, faktor risiko, modifikasi gaya 

hidup dan PERAWATAN INTENSIF   yang menyeluruh dari 

penyakitnya. Untuk itu, diperlukan komunikasi 

dan kerja sama yang baik antara pasien dan 

keluarganya dengan tim yang ikut terlibat dalam 

rehabilitasi kardiovaskular dan prevensi sekunder, 

yaitu dokter, perawat, fisioterapi, ahli gizi, 

psikolog, pekerja sosial, dan lain-lain. Edukasi, 

perubahan sikap dan perilaku, serta pemulihan 

penyakit membutuhkan waktu yang cukup lama 

dan berkesinambungan.

Prevensi PKVA pada Populasi 





Lanjut Usia


1. Definisi Lanjut Usia dan Geriatri

Kemajuan sosioekonomi yang pesat dalam 50 tahun terakhir memicu   peningkatan usia harapan hidup secara 

signifikan. Fenomena ini memicu   terjadinya 

penuaan populasi dengan cepat di seluruh dunia, 

terutama di negara berkembang.1 Berdasarkan 

data Riskesdas tahun 2007, umur harapan hidup 

(UHH) di Indonesia mengalami peningkatan 

dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,6 

tahun pada tahun 2010 dan 72 tahun pada tahun 

2014. Kondisi tersebut memicu   terjadinya 

peningkatan jumlah penduduk lansia di Indonesia. 

Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 

2010, jumlah penduduk lansia Indonesia yaitu   

18,04 juta jiwa atau 7,6% dari total jumlah 

penduduk. Diprediksi bahwa jumlah penduduk 

lansia di Indonesia akan mengalami peningkatan 

menjadi 36 juta jiwa pada 2025.2

Berdasarkan kategori WHO, definisi 

elderly yaitu   individu berusia 65 tahun ke atas 

(kadang didefinisikan sebagai usia 60 tahun ke 

atas), sedangkan definisi oldest-old yaitu   individu 

berusia 80 tahun ke atas.4 Definisi lanjut usia 

(lansia) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan 

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2015 yaitu   

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun 

ke atas. Adapun definisi pasien lansia yaitu   

pasien lanjut usia dengan multimorbiditas dan/

atau gangguan akibat penurunan fungsi organ, 

psikologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang 

membutuhkan pelayanan kesehatan secara 

terpadu dengan pendekatan multidisiplin yang 

bekerja secara interdisiplin.3 Definisi sindrom 

lansia yaitu   kumpulan gejala atau masalah 

kesehatan yang sering dialami oleh seorang pasien 

lansia. Sindrom lansia ini juga dikenal dengan 

istilah 14 “I” yang meliputi hal-hal berikut:2

1. Imobilisasi (berkurangnya kemampuan gerak).

2. Instabilitas postural (jatuh dan patah tulang).

3. Inkontinensia urin (mengompol).

4. Infeksi.

5. Impairment of  senses (gangguan fungsi panca 

indera).

6. Inanition (gangguan gizi).

7. Insomnia (gangguan tidur).

8. Iatrogenik (masalah akibat tindakan medis).

9. Intellectual impairment (gangguan fungsi 

kognitif).

10. Isolasi (menarik diri).

11. Impecunity (berkurangnya kemampuan 

keuangan).

12. Impaction (konstipasi).

13. Immunodeficiency (gangguan sistem imun).

14. Impotence (gangguan fungsi seksual).

Enam komponen dari 14 “I” tersebut yaitu 

imobilisasi, instabilitas postural, intellectual impairment 

yang meliputi delirium dan demensia, isolasi 

sebab  depresi, dan inkontinesia urin merupakan 

kondisi yang paling sering memicu   pasien 

lansia harus dikelola dengan lebih intensif, suatu 

kondisi yang disebut dengan geriatric giants.2

116


Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia

2. Skor Prediksi Kejadian PKVA 

pada Populasi Lansia

Estimasi risiko PKVA tidak hanya penting untuk 

dilakukan pada subjek yang masih muda dan sehat 

saja, namun   juga pada populasi lansia, sehingga 

dapat memberikan informasi untuk memandu 

PERAWATAN INTENSIF   yang disesuaikan dengan tiap-tiap 

individu.5

Terdapat beberapa pertimbangan yang 

spesifik mengenai estimasi risiko PKVA pada 

populasi lansia, yaitu:

1. Menurunnya derajat hubungan antara faktor 

risiko klasik terjadinya PKVA (misalnya, lipid 

dan tekanan darah) terhadap risiko PKVA 

seiring dengan bertambahnya usia.

2. Terjadi ketimpangan  antara CVD-free survival 

dengan angka survival secara keseluruhan 

secara melebar seiring dengan bertambahnya 

usia, akibat peningkatan risiko mortalitas 

sebab  faktor non-kardiovaskular (“competing 

risk”).

Oleh sebab  itu, model risiko tradisional 

yang tidak mempertimbangkan pengaruh “competing 

risk” terhadap mortalitas non-kardiovaskular 

cenderung untuk overestimasi dalam memprediksi 

risiko PKVA dalam 10 tahun.

Algoritma SCORE2-OP (Systematic Coronary 

Risk Estimation 2-Older Persons) digunakan di negara-

negara Eropa untuk memperkirakan kejadian 

kardiovaskular yang fatal maupun nonfatal (infark 

miokard, strok) dalam 5 tahun dan 10 tahun, yang 

telah disesuaikan dengan “competing risk” pada 

individu berusia ≥70 tahun yang tampak sehat.5 

Sedangkan, panduan ini dibuat berdasarkan 

kesepakatan ahli bahwa untuk estimasi skor 

risiko PKVA pada populasi lansia digunakan skor 

prediksi WHO sebagaimana halnya pada populasi 

bukan lansia.

  TABEL :  13.1 Pernyataan Kesepakatan Ahli tentang pemakaian   Skor Prediksi Risiko WHO untuk 

Populasi Lanjut Usia 

Pernyataan Kesepakatan Ahli

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Pada lansia disarankan  untuk melakukan estimasi risiko PKVA 

yang fatal dan non-fatal menggunakan WHO cardiovascular risk charts 

seperti yang tercantum pada Bab 2 untuk region Asia Tenggara.

I C

Pada lansia yang berusia 75 tahun ke atas, perhitungan risiko pada WHO 

CVD risk charts dianggap sama dengan kelompok usia 70-74 tahun.

I C

Keterangan: PKVA = penyakit kardiovaskular aterosklerosis; PGK = penyakit ginjal kronik; 

DM = diabetes melitus

3. Frailty pada Populasi Lansia

Definisi frailty yaitu   suatu kondisi yang 

multidimensional, tidak tergantung dari usia dan 

multimorbiditas, yang membuat seorang individu 

lebih rentan terhadap efek dari stresor tertentu. 

Skrining untuk frailty diindikasikan pada seluruh 

pasien lansia, dan juga sebaiknya dilakukan pada 

setiap individu yang berisiko untuk terjadinya 

penuaan dini, tanpa memandang usia. Pengaruh 

frailty terhadap risiko penyakit kardiovaskular telah 

terbukti pada berbagai spektrum PKVA, termasuk 

pada pasien dengan faktor risiko PKVA, pasien 

dengan PKVA subklinis, PKVA stabil, sindrom 

koroner dan serebral akut, serta gagal jantung. 

Frailty juga dapat memengaruhi PERAWATAN INTENSIF  . 

Individu dengan frailty sering memiliki berbagai 

komorbid, polifarmasi, dan lebih rentan terhadap 

efek samping dan komplikasi serius akibat prosedur 

invasif  atau pembedahan.5

117

  

Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia

4. Latihan Fisik pada Populasi 

Lansia

Sebagian besar populasi lansia tidak membutuhkan 

uji latih jantung sebelum memulai program 

aktivitas fisik dengan intensitas sedang. Namun, 

apabila terdapat indikasi untuk dilakukan tindakan 

uji latih jantung, perlu untuk diperhatikan bahwa 

cek up  uji latih jantung menggunakan 

elektrokardiografi (EKG) memiliki sensitivitas 

yang lebih tinggi (84%) dan spesifisitas yang lebih 

rendah (70%) dibandingkan dengan kelompok 

umur yang lebih muda. Hal tersebut disebabkan 

oleh lebih tingginya prevalensi hipertrofi ventrikel 

kiri dan gangguan konduksi jantung pada lansia.6

Orang dewasa disarankan  untuk 

melakukan aktivitas fisik aerobik seperti berjalan, 

bersepeda, jogging, dan lain-lain dengan intensitas 

sedang minimal 150-300 menit per minggu, atau 

dengan intensitas tinggi minimal 75-150 menit per 

minggu, atau kombinasi dari keduanya. Apabila 

individu lansia tidak mampu untuk mencapai 

target aktivitas fisik aerobik intensitas sedang 

selama 150 menit, mereka disarankan  

untuk seaktif  mungkin sesuai kemampuan dan 

kondisi. Akumulasi aktivitas fisik singkat, bahkan 

hanya <10 menit berhubungan dengan luaran 

yang lebih baik, termasuk dalam hal mortalitas.5

Lansia juga disarankan  untuk 

melakukan latihan resistance, yang dapat dimulai 

dengan satu set yang terdiri dari 8-12 repetisi 

dengan intensitas 40-50%. Selain itu, lansia juga 

disarankan  untuk melakukan latihan fisik 

yang mengkombinasikan aerobik, penguatan otot, 

dan latihan keseimbangan untuk mengurangi 

risiko jatuh.5

Pada lansia dengan komorbid, program 

latihan yang sederhana dengan berjalan kaki dapat 

menjadi pilihan yang ideal. Sebagai tambahan 

terhadap program olahraga yang terstruktur, 

pasien sebaiknya disarankan untuk meningkatkan 

aktivitas fisik sepanjang hari secara general, 

contohnya naik tangga, berjalan kaki/bersepeda 

ke tempat kerja, mengurangi duduk dalam jangka 

waktu yang lama.8

Pada pasien lansia dengan muscle wasting 

disarankan  untuk melakukan olahraga 

aerobik yang dikombinasikan dengan resistance 

training ringan. untuk mencegah penyakit yang 

berhubungan dengan gaya hidup, dapat dimulai 

program “plus 10”, yaitu melakukan aktivitas 

fisik dengan peningkatan durasi selama 10 menit 

tiap harinya untuk membantu mencapai tujuan 

aktivitas fisik selama 30 menit pada lansia.7

  TABEL :  13.2  Saran  Latihan untuk Populasi Lansia dengan Menggunakan Prinsip FITT 

(Frequency, Intensity, Time, Type)6

Latihan Aerobik Latihan Resistance Latihan Flexibility

Frekuensi 

(hari/

minggu)

≥5 hari/minggu untuk intensitas 

sedang; ≥3 hari/minggu untuk 

intensitas tinggi; 3-5 hari/minggu 

untuk kombinasi intensitas sedang 

dan tinggi.

≥2 hari/minggu ≥2 hari/minggu

Intensitas Pada skala 0-10 untuk level aktivitas 

fisik, 5-6 untuk intensitas sedang 

dan 7-8 untuk intensitas tinggi.

Intensitas ringan (40-

50% 1-RM) untuk 

pemula, ditingkatkan 

hingga intensitas 

sedang-tinggi (60-80% 

1-RM).

Dilakukan peregangan hingga 

titik merasa kencang atau sedikit 

tidak nyaman.

118


Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia

Durasi 30-60 menit/hari pada intensitas 

sedang, 20-30 menit/hari pada 

intensitas tinggi; atau kombinasi 

yang ekuivalen antara intensitas 

sedang dan tinggi; dapat 

merupakan akumulasi dari aktivitas 

fisik selama minimal 10 menit. 

8-10 latihan yang 

melibatkan kelompok 

otot mayor sebanyak 

1-3 set dengan 8-12 

kali repetisi

Melakukan peregangan selama 

30-60 detik.

Tipe Modalitas apa pun yang tidak 

memicu   stres ortopedik 

yang tinggi, contohnya berjalan. 

Olahraga akuatik dan sepeda statis 

dapat bermanfaat pada individu 

dengan toleransi yang terbatas 

terhadap aktivitas fisik yang 

menopang berat badan

Program latihan 

beban yang bersifat 

progresif  atau latihan 

calisthenics, menaiki 

tangga, dan latihan 

penguatan lain yang 

melibatkan kelompok 

otot mayor.

Lebih dianjurkan untuk 

melakukan latihan fisik apapun 

yang mempertahankan atau 

meningkatkan fleksibilitas dengan 

melakukan gerakan lambat 

yang berakhir pada peregangan 

statis untuk tiap kelompok otot, 

dibandingkan dengan pergerakan 

balistik yang cepat. 

5. PERAWATAN INTENSIF   Diet dan Nutrisi 

pada Populasi Lansia

Nutrisi memegang peranan penting dalam 

pencegahan dan PERAWATAN INTENSIF   PKVA. Asupan 

nutrisi yang tidak adekuat dan seimbang dapat 

menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan 

mempengaruhi kualitas hidup termasuk pada 

golongan rentan lansia. Tidak sedikit pasien 

lansia yang masuk ke rumah sakit mengalami 

malnutrisi.10

Malnutrisi telah terbukti berhubungan 

dengan hasil klinis yang merugikan pada pasien 

dengan gagal jantung, hipertensi, fibrilasi atrium 

dan penyakit kardiovaskular lainnya.11 Malnutrisi 

pada lansia dapat menurunkan status fisik dan 

mental sehingga meningkatkan risiko morbiditas 

dan mortalitas, oleh sebab  itu diperlukan deteksi 

dini risiko malnutrisi, penentuan status gizi dan 

intervensi nutrisi multidisiplin sejak awal pada 

pasien lansia.12,13,14

Beberapa metode skrining dan penilaian 

status gizi yang disarankan pada pasien lanjut usia 

yaitu   MNA (Mini Nutritional Assessment), GNRI 

(Geriatric Nutritional Risk Index), CONUT (Controlling 

Nutritional Status), dan, yang terbaru, GLIM (Global 

Leadership Initiative on Malnutrition). Metode skrining 

yang paling sering digunakan di rumah sakit 

yaitu   MNA.

MNA terdiri dari dua tahap, yaitu tahap 

I (penapisan/skrining) dan tahap II (penilaian). 

Apabila skor pada tahap I kurang dari 11, akan 

dilanjutkan dengan tahap II. Selanjutnya pada 

tahap II, seseorang akan diklasifikasikan sebagai 

malnutrisi apabila jumlah total skor akhir <17 dan 

diklasifikasikan sebagai risiko malnutrisi apabila 

jumlah total skor akhir antara 17-23,5.2 Pada pasien 

yang didapatkan berisiko tinggi malnutrisi atau 

malnutrisi, perlu dilakukan asesmen gizi lanjutan, 

antara lain, riwayat pengobatan dan penyakit, 

cek up  fisik, antropometri, komposisi tubuh, 

serta status fungsional dan laboratorium oleh 

tim terapi gizi untuk memberikan intervensi gizi 

spesifik dalam mencegah penurunan status gizi 

serta mempertahankan atau meningkatkan berat 

badan, status fungsional, dan hasil klinis.10,13,14

Obesitas juga perlu untuk dideteksi 

secara dini pada lansia untuk mencegah masalah 

kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh kondisi 

tersebut. Obesitas sentral dapat dengan mudah 

diketahui menggunakan pengukuran lingkar 

pinggang. Apabila didapatkan nilai lingkar 

pinggang >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada 

perempuan, dapat dikategorikan sebagai obesitas 

sentral.2

119

  

Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia

Kebutuhan energi pada lansia lebih rendah 

sebab  penurunan massa otot dan aktivitas fisik. 

Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) 2019 

kebutuhan energi yang dianjurkan pada lansia sehat 

yaitu   31 kkal/kgbb (laki-laki usia 65-80 tahun), 

28 kkal/kgbb (laki-laki usia >80 tahun), 29 kkal/

kgbb (perempuan usia 65-80 tahun), dan 26 kkal/

kgbb (perempuan usia >80 tahun). Kebutuhan 

protein dibutuhkan lebih tinggi pada lansia untuk 

mempertahankan massa otot dan mencegah 

sarkopenia yaitu 1,1 g/kgbb atau sekitar 15% 

dari kebutuhan energi total.15 Asupan karbohidrat 

dianjurkan antara 50-60% dari energi total sehari, 

dengan asupan karbohidrat kompleks lebih tinggi 

dibandingkan karbohidrat sederhana. Konsumsi 

serat dianjurkan sebanyak 10-13 gram per 1.000 

kalori (25 gram/hari atau sekitar 5 porsi buah dan 

sayur. Asupan lemak dianjurkan sebanyak 25% 

dari energi total per hari dan diutamakan berasal 

dari lemak tidak jenuh, sedangkan asupan omega-3 

dianjurkan sekitar 1,6 g/hari.6 Pasien lansia dalam 

perawatan di rumah sakit memerlukan asupan 

nutrisi personal yang disesuaikan dengan status 

gizi, aktivitas fisik, kondisi klinis dan penyakitnya, 

serta toleransi.10

Pada pasien lansia, input cairan perlu 

diperhatikan sebab  terdapat perubahan 

mekanisme rasa haus dan menurunnya cairan tubuh 

total. Jumlah cairan masuk dianjurkan 1.500 ml/

hari untuk mencegah terjadinya dehidrasi, namun   

harus disesuaikan juga apabila terdapat penyakit 

yang membutuhkan pembatasan cairan seperti 

gagal jantung yang disertai edema. Berdasarkan 

angka kecukupan gizi (AKG) 2019 kebutuhan 

cairan pada lansia sama dengan kebutuhan kalori 

per hari.15

Pemberian vitamin perlu dipertimbangkan 

pada pasien lansia apabila asupan tidak adekuat, 

namun    pemberian megadosis harus dihindari.2 

Pada kasus sarkopenia dan malnutrisi pada lansia, 

pengaturan asupan energi total dan rasio asupan 

nutrisi yang sesuai harus diperhatikan.7

6. PERAWATAN INTENSIF   Hipertensi pada 

Populasi Lansia

Pada lansia, disarankan  untuk melakukan 

pengukuran tekanan darah sesudah   posisi berdiri 

selama 1 menit dan 3 menit dari posisi duduk 

untuk mendeteksi suatu hipotensi ortostatik yang 

berpotensi menimbulkan keluhan pusing hingga 

instabilitas postural dengan risiko jatuh dan fraktur. 

Pada kelompok pasien yang berusia 

sangat tua (>80 tahun) atau frailty, dapat sangat 

sulit untuk mencapai target tekanan darah yang 

disarankan  sebab  tolerabilitas yang buruk 

atau adanya efek samping, sehingga monitoring 

terhadap tolerabilitas dan efek samping terhadap 

pengobatan sangat penting pada populasi ini.2,5 

Target penurunan tekanan darah pada pasien 

lansia sebaiknya ditentukan secara individual, 

dengan mempertimbangkan activities of  daily living 

(ADL), fungsi kognitif, dan kualitas hidup.7

Terapi antihipertensi yang 

disarankan  yaitu   pemberian kombinasi 

ACE Inhibitor/ARB dan CCB dosis rendah. 

Akan namun  , dapat dipertimbangkan pemberian 

monoterapi pada kasus hipertensi derajat 1 risiko 

rendah pada pasien yang sangat tua (≥80 tahun) 

atau frailty. Target tekanan darah pada individu 

berusia ≥65 tahun yaitu   <140/90 mmHg 

apabila dapat ditoleransi, dengan target tekanan 

darah yang dapat tercapai dalam waktu 3 bulan.9

7. PERAWATAN INTENSIF   DM pada Populasi 

Lansia

Usia lanjut merupakan salah satu faktor risiko 

DM. Berdasarkan studi J-EDIT, sebuah penelitian 

di Jepang yang melibatkan juga lansia, kelompok 

dengan kadar HbA1c ≥ 8,5% memiliki risiko 

strok 2,63 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok 

dengan kadar HbA1c 7,0-8,4%. Di lain pihak, 

subjek dengan kadar HbA1C <7,0% juga memiliki 

risiko strok 2,35 kali lebih tinggi. Oleh sebab  itu, 

pasien lansia dengan DM memerlukan tindakan 

120


Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia

prevensi terhadap kondisi hiperglikemia, dengan 

tidak melakukan kontrol gula darah yang terlalu 

ketat dan berlebihan.7

8. PERAWATAN INTENSIF   Dislipidemia pada 

Populasi Lansia

Pada lansia berusia 65-74 tahun, kadar kolesterol 

LDL yang tinggi merupakan faktor risiko yang 

penting untuk PJK, dan terapi statin untuk prevensi 

PJK dan prevensi primer infark serebral non-

kardiogenik memberikan hasil yang menjanjikan. 

Namun, mengingat bahwa pengaruh terapi 

statin untuk prevensi primer pada lansia berusia 

≥75 tahun belum terbukti, sebaiknya dilakukan 

manajemen pasien secara individual, berdasarkan 

keputusan dokter yang merawat.7

Bukti terkini memperkuat peran kolesterol 

LDL sebagai faktor risiko PKVA pada lansia. 

Penelitian menunjukkan bahwa statin dan terapi 

penurun lipid yang lain dapat menurunkan 

kejadian kardiovaskular mayor secara signifikan 

pada semua kelompok umur. Pada usia ≥70 tahun, 

inisiasi terapi statin untuk prevensi primer dapat 

dipertimbangkan pada risiko tinggi dan sangat 

tinggi, namun   faktor-faktor lain juga sebaiknya 

diperhatikan, seperti risk modifiers, frailty, perkiraan 

manfaat jangka panjang, komorbid, dan preferensi 

pasien. Pada kasus gangguan fungsi ginjal atau 

terdapat risiko untuk interaksi obat, dosis statin 

sebaiknya dititrasi secara berhati-hati. Kondisi 

frailty, polifarmasi, dan efek samping pada otot 

merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan 

pada lansia.5

  TABEL :  13.3  Saran  PERAWATAN INTENSIF   Dislipidemia pada Individu Berusia ≥70 Tahun

 Saran 

Kelas 

 Saran 

Tingkat 

Bukti

Terapi menggunakan statin disarankan  untuk individu 

berusia ≥70 tahun dengan PKVA dengan cara yang sama seperti 

individu yang lebih muda. 

I A

Inisiasi terapi statin untuk prevensi primer pada individu berusia 

≥70 tahun dapat dipertimbangkan pada individu berisiko tinggi atau 

sangat tinggi. 

IIb B

disarankan  untuk memulai terapi statin pada dosis rendah 

apabila terdapat gangguan ginjal yang signifikan dan/atau terdapat 

potensi terjadinya interaksi obat. 

I C

9. PERAWATAN INTENSIF   Obesitas pada 

Populasi Lansia

Indeks Massa Tubuh (IMT) biasanya digunakan 

untuk skrining primer terhadap individu yang 

membutuhkan penurunan berat badan, namun   

interpretasinya harus dilakukan secara berhati-

hati pada populasi lansia.8 Obesitas sentral 

dapat dengan mudah diketahui menggunakan 

pengukuran lingkar pinggang. Lingkar pinggang 

>90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada 

perempuan dapat dikategorikan sebagai obesitas 

sentral.2 Berdasarkan hasil survey yang dilakukan 

pada orang Jepang berusia middle-aged dan lansia, 

subjek dengan akumulasi lemak visceral cenderung 

memiliki faktor risiko PJK multipel.7

Kehilangan berat badan berhubungan 

dengan penurunan morbiditas, namun   peningkatan 

mortalitas pada usia tua secara biologis (“the obesity 

paradox”).5 Intervensi untuk menurunkan berat 

badan harus diimplementasikan secara hati-hati 

dan disesuaikan dengan kebutuhan individu, 

terutama pada populasi lansia. Hal tersebut 

bertujuan untuk mencegah terjadinya efek 

samping yang merugikan, seperti hilangnya lean 

body mass/massa otot dan defisiensi nutrisi.8

121

  

Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia

10. PERAWATAN INTENSIF   Berhenti Merokok 

pada Populasi Lansia

Merokok masih merupakan faktor risiko yang 

kuat dan independen terhadap kejadian PKVA 

dan kematian prematur. Pada populasi lansia, 

berhenti merokok masih memiliki manfaat dalam 

menurunkan risiko tersebut.8

11. Pengendalian Stres dan Faktor 

Psikososial pada Populasi Lansia

Episode gangguan afektif  sering ditemukan 

pada lansia, sebab  terjadi peningkatan risiko 

terjadinya adverse life events. Masalah psikososial 

pada lansia berhubungan dengan ketergantungan 

terhadap perawatan, penurunan kualitas hidup, 

disabilitas, dan luaran kesehatan yang buruk.1 

Untuk menjaring masalah gangguan mental 

secara umum pada pasien lansia dapat digunakan 

metode 2 menit. Apabila terdapat indikasi adanya 

depresi, dapat dilanjutkan dengan menggunakan 

instrumen Geriatric Depression Scale (GDS), 

sedangkan apabila terdapat indikasi demensia 

dapat dilanjutkan dengan cek up  Mini 

Mental Status Examination (MMSE) untuk individu 

berpendidikan di atas SMP atau Abbreviate 

Mental Test (AMT) untuk individu berpendidikan 

SMP dan di bawahnya. Penatalaksanaan yang 

dapat diberikan berupa konseling dan edukasi 

kepada pasien dan keluarga. Konsultasi atau 

rujukan juga dapat dipertimbangkan apabila 

pasien menunjukkan adanya risiko bunuh diri atau 

bahaya terhadap orang lain secara bermakna/

menonjol, gejala psikotik, dan depresi bermakna 

yang menetap sesudah   tindakan konseling.



Prevensi penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVA)—yang meliputi penyakit jantung koroner, serebrovaskular, dan pembuluh 

darah perifer—sangat penting sebab  PKVA 

merupakan penyebab utama kematian di dunia 

dan Indonesia dan memicu   pengeluaran 

biaya yang besar.

Faktor risiko PKVA telah banyak diketahui, 

di antaranya yaitu   dislipidemia, hipertensi, 

merokok, diabetes melitus (DM), prediabetes, 

obesitas, usia, jenis kelamin, dan pola hidup 

sedenter. Selain faktor risiko tradisional, terdapat 

beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi 

luaran yang dikenal sebagai risk modifier. Beberapa 

risk modifier perlu dipertimbangkan dalam prediksi 

risiko PKVA, antara lain, faktor stres dan 

psikososial, etnisitas, pencitraan aterosklerosis 

(CAC, CCTA, USG karotis, Arterial Stiffness, 

Ankle Brachial Index), frailty, riwayat keluarga, 

sosial ekonomi, paparan lingkungan, indeks massa 

tubuh (IMT), serta beberapa biomarker dari darah 

dan urine.

PKVA secara klinis dapat asimtomatik 

maupun simtomatik, dan mulai bergejala ketika 

terjadi iskemia pada organ. Manifestasi klinis 

umumnya timbul pada usia dewasa dan lanjut 

usia walaupun proses aterosklerosis berupa fatty 

streak sudah mulai timbul sejak usia dini atau masa 

kanak-kanak.

Pokja Prevensi dan Rehabilitasi 

Kardiovaskular Perhimpunan Dokter Spesialis 

Kardiovaskular Indonesia (PERKI) menyepakati 

untuk menggunakan perhitungan risiko kejadian 

kardiovaskular dari World Health Organization 

(WHO) dan menetapkan menjadi 5 kategori risiko 

secara kualitatif, yaitu risiko rendah (<5%), risiko 

sedang (5%–10%), risiko tinggi (10% s.d. <20%), 

risiko sangat tinggi (20% s.d. <30%) dan risiko 

sangat sangat tinggi (>30%).

WHO Cardiovascular (CVD) Risk Chart 

Working Group 2019 memasukkan bagan khusus 

untuk Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Skor 

estimasi risiko WHO ini dibagi menjadi dua jenis, 

yaitu estimasi risiko berdasarkan hasil laboratorium 

(laboratory based) dan tanpa hasil laboratorium 

(nonlaboratory based) yang dapat digunakan di 

daerah yang belum memiliki fasilitas tersebut. Skor 

risiko WHO penting diterapkan pada masyarakat 

supaya masyarakat melakukan PERAWATAN INTENSIF   untuk 

menurunkan faktor risiko.

Penghitungan risiko PKVA dapat mulai 

dilakukan sesudah   usia dua puluh tahun, dan 

dapat diulang setiap empat hingga enam tahun. 

Penilaian risiko PKVA yang sistematis atau yang 

bersifat oportunistik dimulai pada laki-laki usia 

>40 tahun, dan perempuan usia >50 tahun atau 

pascamenopause. Dalam penilaian risiko PKVA 

pasien, harus selalu dilakukan anamnesis tentang 

riwayat penyakit pasien dan riwayat keluarga 

untuk menentukan risiko terjadinya PKVA dalam 

sepuluh tahun ke depan.

cek up  fisik dianjurkan untuk menilai 

risiko PKVA yang meliputi cek up  IMT, 

lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang-panggul, 

tekanan darah, serta inspeksi adanya tanda 

pseudoxanthoma elasticum, xanthelasma palpebrarum, 

124


Penutup

palpasi pulsasi arteri di kaki, dan auskultasi 

bruit vaskular. cek up  penunjang  yang 

dianjurkan untuk dilakukan meliputi cek up  

laboratorium kimia dasar (darah lengkap, kreatinin 

serum, profil lipid, gula darah), EKG saat istirahat, 

monitoring EKG ambulatori , ekokardiografi saat 

istirahat, dan foto rontgen toraks pada pasien 

tertentu.

Gaya hidup sedenter menurunkan tingkat 

kebugaran, memicu   obesitas, DM, dan 

hipertensi, serta menimbulkan gangguan penyakit 

metabolik, vaskular, muskuloskeletal, dan bahkan 

kematian. Prevensi primer berupa aktivitas fisik 

dianjurkan dimulai sejak dini dan dipertahankan 

seumur hidup serta harus didukung oleh gaya 

hidup yang aktif. Semua jenis latihan sebaiknya 

diukur dan direncanakan sesuai dengan individu. 

Terdapat lima komponen untuk menilai kebugaran 

fisik yang harus diperhatikan, yaitu kardiorespirasi, 

morfologi tubuh, otot, metabolik, dan motorik. 

Diperlukan penapisan sebelum olahraga pada 

populasi dengan faktor risiko.

Diet yaitu   salah satu faktor risiko utama 

yang dapat dimodifikasi untuk mencegah dan 

menurunkan risiko PKVA. Beberapa panduan 

diet yang dianjurkan yaitu   diet Mediterania, 

diet DASH, diet AHA, diet Asia, serta konsensus 

PERKI dan PDGKI, yang dapat diaplikasikan 

sesuai dengan komorbiditas pasien.

Peningkatan tekanan darah merupakan 

faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung 

koroner, gagal jantung, penyakit serebrovaskular, 

penyakit arteri perifer, gagal ginjal kronik, dan 

fibrilasi atrium. PERAWATAN INTENSIF   hipertensi ditentukan 

oleh kategori hipertensi (normal, normal-tinggi, 

atau stadium 1 dan 2). Program penapisan dan 

deteksi hipertensi disarankan  untuk semua 

pasien yang berusia >18 tahun. Prevensi hipertensi 

untuk mencegah timbulnya PKVA meliputi 

intervensi farmakologis dan nonfarmakologis 

seperti modifikasi gaya hidup. Strategi pengobatan 

yang dianjurkan pada PERAWATAN INTENSIF   hipertensi 

saat ini yaitu   dengan menggunakan terapi obat 

kombinasi untuk mencapai tekanan darah sesuai 

dengan target. Untuk memudahkan PERAWATAN INTENSIF  , 

dapat digunakan klasifikasi risiko hipertensi 

berdasarkan derajat tekanan darah, faktor risiko 

kardiovaskular, hypertension-mediated organ damage 

(HMOD), atau komorbiditas.

DM tipe 1, DM tipe 2, dan prediabetes 

merupakan faktor risiko independen untuk 

PKVA, yang meningkatkan risiko PKVA sekitar 

dua kali lipat dan juga meningkatkan angka 

kejadian penyakit non-PKVA. Pasien DM dapat 

diklasifikasikan dalam kategori risiko kematian 

kardiovaskular dalam sepuluh tahun ke depan, 

yaitu risiko sedang (<5%), risiko tinggi (5–10%), 

dan risiko sangat tinggi (>10%). Penilaian rutin 

mikroalbuminuria pada pasien DM diindikasikan 

untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai 

risiko mengalami disfungsi ginjal atau risiko tinggi 

PKVA di kemudian hari. cek up  EKG saat 

istirahat diindikasikan pada pasien DM yang 

mengalami hipertensi atau dicurigai mengidap 

PKVA. Obat yang dianjurkan untuk DM tipe 

2 dengan risiko PKVA sangat tinggi dan tinggi 

yaitu   agonis reseptor GLP-1 atau inhibitor 

SGLT-2.

Dislipidemia merupakan salah satu 

gangguan metabolisme lemak yang ditandai 

dengan peningkatan kadar serum kolesterol 

total, kolesterol LDL, atau trigliserida, atau 

penurunan kadar kolesterol HDL. Penapisan 

profil lipid disarankan  pada laki-laki di 

atas >40 tahun dan pada perempuan >50 tahun 

atau pascamenopause. PERAWATAN INTENSIF   farmakologis 

dan nonfarmakologis harus diterapkan untuk 

mencapai target penurunan kolesterol LDL, non-

HDL, ApoB, dan trigliserida. Pada pasien dengan 

PKVA, disarankan  pemberian terapi 

penurun lipid dengan target penurunan kolesterol 

LDL >50% dari baseline.

Obesitas meningkatkan risiko PKVA. 

Usahakan untuk mencapai klasifikasi IMT 

normal menurut standar Asia, yaitu 18,5–22,9. 

Pengobatan komorbiditas terkait obesitas menjadi 

125

  

Penutup

bagian PERAWATAN INTENSIF   komprehensif  pasien obesitas, 

termasuk peningkatan aktivitas fisik, kepatuhan 

diet, pengurangan gaya hidup sedenter, hingga 

penerapan farmakoterapi, seperti orlistat, 

liraglutide, dan kombinasi bupropion/naltrexone.

Sindrom kardiometabolik meliputi beberapa 

kondisi seperti resistensi insulin, obesitas sentral, 

dislipidemia, hipertensi, dan mikroalbuminuria. 

Penilaian risiko kardiometabolik, modifikasi pola 

hidup sehat, dan terapi farmakologis terhadap 

faktor risiko secara komprehensif  diharapkan 

mampu menekan peningkatan prevalensi 

terjadinya sindrom kardiometabolik.

Merokok aktif  atau pasif  meningkatkan 

risiko kejadian kardiovaskular. Penilaian 

ketergantungan nikotin disertai konseling 

pemberian saran, dukungan dan motivasi berhenti 

merokok, bahkan terapi farmakologis, seperti 

bupropion atau vareniklin, dapat dipertimbangkan 

sebagai upaya berhenti merokok sedini mungkin.

Kondisi psikososial seperti stres, cemas, atau 

depresi dapat berdampak pada perjalanan dan 

progresivitas penyakit kardiovaskular, demikian 

pula sebaliknya. Penilaian fungsi fisik, psikologis, 

dan sosial pasien secara holistik serta komunikasi 

efektif  antara tenaga medis dengan pasien dan 

keluarganya dapat membantu memberikan 

pemahaman dan edukasi dari penyakit yang 

dialami sehingga dapat meningkatkan kualitas 

hidup pasien.

Pada populasi lansia sering ditemukan 

gangguan multikondisi akibat penurunan fungsi 

organ, psikologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan 

yang perlu dikelola lebih intensif. Penilaian 

skor risiko PKVA pada lansia tetap digunakan 

sebagaimana pada populasi bukan lansia.

Pola hidup sehat—yang mencakup latihan 

fisik teratur, berhenti merokok, pengendalian stres, 

serta kontrol faktor risiko seperti berat badan, 

tekanan darah, kadar gula, dan lipid—tetap 

menjadi pilar utama dalam pencegahan primer 

dan sekunder terhadap penyakit kardiovaskular.

Lampiran