dup.
7. Peran Penilaian Kualitas Hidup
Terkait Kesehatan pada Populasi
PKVA
Ada empat aspek utama penilaian HRQoL
terhadap PKVA:
1. Perbandingan pemberian terapi dalam uji
klinis.
2. Sebagai panduan terapi setiap individu.
3. Penilaian antara HRQoL pasien dan sampel
populasi umum sesuai dengan usia dan jenis
kelamin.
4. Mempermudah evaluasi klinis dan ekonomi
dalam menentukan pemakaian sumber daya
kesehatan terbaik yang melibatkan populasi
pasien jantung.
110
PERAWATAN INTENSIF Stres dan Faktor Psikososial
7.1 Penilaian HRQoL pada Pasien
PKVA
Instrumen penilaian kualitas hidup secara umum
yaitu untuk penilaian kualitas hidup global,
sedangkan penilaian secara khusus disesuaikan
untuk mengatasi masalah atau penyakit tertentu.
Kuesioner penilaian kualitas hidup umum yang
paling sering digunakan pada PKVA meliputi:8
1. World Health Organization Quality of Life
Assessment Instrument (WHOQOL)
2. Medical Outcomes Study 36-item Short-Form Health
Survey (SF-36)
3. Nottingham Health Profile (NHP)
4. Euro-Quality of Life Questionnaire (EuroQoL, EQ-
5D)
Kuesioner yang khusus digunakan untuk PKVA:
1. MacNew Heart Disease Health–Related Quality of
Life Questionnaire (MacNew)
2. Seattle Angina Questionnaire (SAQ)
3. Minnesota Living with Heart Failure (MLHF)
questionnaire
4. Atrial Fibrillation Severity Scale (AFSS)
5. Cardiomyopathy questioner (Kansas City) (KCCQ-
12)
6. Heart Quality of Life (Heart QoL)
8. Pencegahan dan Deteksi Dini
Stres
Di tengah meningkatnya perhatian publik
terhadap stres dan konsekuensinya, para ilmuwan
telah meneliti efek berbagai teknik pengurangan
stres dan memvalidasi kemanjuran dan efektivitas
berbagai metode pengelolaan stres.10
Begitu diagnosis terhadap gangguan mental
dapat ditegakkan, berbagai pilihan pengobatan
tersedia, seperti antidepresan, psikoterapi, dan
olahraga. Setiap pasien PKVA yang memenuhi
syarat harus dirujuk ke rehabilitasi jantung
untuk pengelolaan stres yang dialaminya.
Relaksasi dan pendekatan manajemen stres juga
bermanfaat untuk memperbaiki kondisi depresi
sehingga memberikan perbaikan pada kondisi
kardiovaskular.1
9. Saran Penanganan Aspek
Psikososial PKVA
Berikut ini Saran penanganan aspek
psikososial yang berkaitan dengan PKVA.11
TABEL : 12.1 Saran PKVA Terkait Stres dan Depresi
Saran
Kelas
Saran
Pasien PKVA dengan stres dapat dipertimbangkan untuk rujukan psikoterapi
untuk mengelola stres untuk meningkatkan luaran kardiovaskular dan
menurunkan gejala stres
IIa
Pasien dengan penyakit jantung koroner dan depresi mayor sedang–berat dapat
dipertimbangkan untuk pemberian antidepresan dengan SSRI
IIa
Pasien dengan gagal jantung dan depresi mayor, tidak disarankan untuk
diberikan SSRI, SNRI, dan antidepresan trisiklik
III
Keterangan: SSRI, selective serotonin reuptake inhibitors; SNRI, serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors
111
PERAWATAN INTENSIF Stres dan Faktor Psikososial
TABEL : 12.2 Saran untuk Risiko yang Dapat Memodifikasi Kardiovaskular
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Gejala stres dan stresor psikososial memodifikasi risiko
kardiovaskular. Pengkajian terhadap stresor dapat
dipertimbangkan.
IIa B
Stres psikososial berhubungan dengan pola
dosis-respons, seiring dengan perkembangan dan
progresi PKVA dan juga berhubungan secara
independen terhadap faktor risiko konvensional
dan jenis kelamin.
Stres psikososial dapat diakibatkan oleh
stresor, seperti kesepian dan kejadian kehidupan
yang kritis yang akan menimbulkan gejala stres,
cemas, dan depresi. Indikator kesehatan mental
seperti optimisme dan tujuan hidup yang kuat
berhubungan dengan risiko yang lebih rendah.
Stres psikososial memiliki efek biologis dan
memiliki korelasi tinggi dengan faktor risiko
sosioekonomi dan tingkah laku, misalnya merokok
dan ketidaktaatan.
10. Pengkajian Psikososial
TABEL : 12.3 TABEL : Pengkajian Psikososial
Pengkajian Psikososial
Pengkajian diagnosis secara
simultan
Satu dari lima pasien yang terdiagnosis gangguan mental, umumnya
memiliki gejala fisik (seperti rasa berat di dada, sesak). Dokter
sebaiknya mengkaji apakah gejala yang dialami pasien merupakan
gejala somatis akibat stres emosional
Skrining Saran untuk melakukan skrining dengan menggunakan
instrumen dalam mendiagnosis depresi, kecemasan, dan insomnia
(misalnya Patient Health Questionnaire 9, DASS 21, dan HADS)
Stresor Pertanyaan sederhana mengenai stresor yang signifikan: Apakah anda
mengalami stres dalam bekerja, masalah finansial, kesulitan dalam
hubungan keluarga, kesepian, atau ada kejadian yang membuat anda
tertekan?
Kebutuhan untuk dukungan
kesehatan mental
Apakah anda tertarik dengan layanan kesehatan mental atau berminat
untuk dirujuk ke psikiater?
Pengkajian Psikososial
Risiko kardiovaskular Pengkajian rutin terhadap stresor psikososial sebaiknya dilakukan pada
orang dewasa dan dilanjutkan dengan pemberian konseling yang tepat
Obesitas dan overweight Konseling gaya hidup untuk penurunan berat badan memasukkan
pengkajian dan Saran intervensi terhadap stresor psikososial,
kebutuhan tidur, dan pembatasan kalori secara individual
Diabetes mellitus Dalam peresepan intervensi terhadap DM tipe 2, diperlukan
pengkajian terhadap faktor lingkungan dan psikososial, termasuk
depresi, stres, kepercayaan diri, dan dukungan sosial, yang dapat
meningkatkan kontrol glikemi dan kepatuhan pengobatan
112
PERAWATAN INTENSIF Stres dan Faktor Psikososial
11. Pengendalian Stres
Stress management training (SMT) bertujuan untuk
mengubah respons tingkah laku dan kognitif
seseorang terhadap stres. SMT terdiri dari:10,12
• Pemberian teknik relaksasi
Kemampuan relaksasi dapat dipelajari melalui
tiga fase antara lain mempelajari kemampuan
relaksasi dasar, monitoring tekanan di
kehidupan sehari-hari, dan menggunakan
teknik relaksasi saat stres. Contoh teknik
relaksasi yaitu meditasi dan melakukan
pijatan pada otot yang mengalami ketegangan.
• Restrukturisasi kognitif
Restrukturisasi kognitif dilakukan dengan
mengidentifikasi stres dan cara menurunkannya.
Identifikasi stres dapat dilakukan dengan
eksplorasi stres dengan melakukan pencatatan
harian. Apabila masalah berhasil teridentifikasi,
dapat dilanjutkan dengan tindakan yang
harus dilakukan untuk mengatasi stres dan
bagaimana cara memfasilitasinya sebagai
profesional kesehatan.
• Pelatihan respons tingkah laku terhadap stres
Intervensi dasar berupa relaksasi diajarkan oleh
profesional kesehatan dengan menurunkan
respons terhadap stres. Pada individu dengan
tingkat stres yang tinggi diperlukan intervensi
oleh ahli kejiwaan.
Pasien dengan PKVA memiliki kesulitan
mengkomunikasikan rasa stres dan terdapat
keterbatasan untuk mendapatkan bantuan
profesional terkait stres. SMT sebaiknya ditawarkan
kepada pasien secara individual atau kelompok
kecil. Program rujukan kepada psikiatri diberikan
kepada pasien dengan tingkat stres yang berat.
SMT diperlukan untuk meningkatkan kualitas
hidup dan prognosis pasien dengan PKVA.13
TABEL : 12.4 Pernyataan Kesepakatan Ahli tentang Rujukan pada Pasien dengan Tingkat Stres
Signifikan
Pernyataan Kesepakatan Ahli
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Pasien PKVA dengan tingkat stresor yang signifikan
disarankan untuk program rujukan kepada psikiater,
psikolog klinis, atau konsultan psikosomatis.
I C
Angina dapat dipicu oleh stres emosional.
Gejala angina berkurang secara signifikan pada
pasien yang menjalani SMT. Insidensi reinfark
juga berkurang pada pasien pasca revaskularisasi
yang menjalani SMT.1 SMT umumnya tidak
rutin dimasukkan ke dalam komponen program
rehabilitasi kardiovaskular, walaupun bukti
epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan
stres memiliki asosiasi dengan risiko kematian
dan kejadian kardiovaskular non fatal. Penelitian
Ezetimibe and Simvastatin in Hypercholesterolemia
Enhances Atherosclerosis Regression (ENHANCED)
trial menyebutkan bahwa pada pasien dengan stres
mental yang dipicu penyakit jantung aterosklerotik,
kelompok yang diberikan SMT ataupun latihan
fisik memiliki luaran klinis lebih baik dibandingkan
kelompok yang tidak mendapatkan kedua program
tersebut.13, 14
12. Edukasi dan Kepatuhan terhadap
Pengobatan
Edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai
tujuan rehabilitasi kardiovaskular dan prevensi
sekunder tidak hanya berisi penyampaian fakta
mengenai penyakit pasien, namun juga menyangkut
aspek sosial dan emosional yang dirasakan oleh
113
PERAWATAN INTENSIF Stres dan Faktor Psikososial
pasien dan keluarganya sehingga diperlukan
komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan
dan pasien beserta keluarganya sehingga terdapat
pemahaman yang sama mengenai penyakit yang
diderita pasien tersebut.12
Tujuan rehabilitasi kardiovaskular yaitu
untuk pencegahan sekunder dan meningkatkan
kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan. Uuntuk mencapai tujuan ini, pasien
disarankan untuk melakukan hal-hal
berikut:
1. Minum obat teratur sesuai dosis
2. Mengikuti Saran diet yang disarankan
3. Berhenti merokok
4. Berolahraga secara teratur
5. Mengelola stres dengan baik
6. Beradaptasi dengan pekerjaan
World Health Organization (WHO)
mendefinisikan kepatuhan sebagai sejauh mana
perilaku seseorang untuk meminum obat,
mengikuti diet, dan/atau menjalankan modifikasi
gaya hidup, sesuai dengan Saran yang
disepakati dari penyedia layanan kesehatan.
Dukungan sosial yang baik dari keluarga
memberikan prognosis yang baik bagi pasien
PKVA, hal ini meliputi pemahaman emosional,
telaah informasi, dan instrumental mengenai apa
itu penyakit PKVA, faktor risiko, modifikasi gaya
hidup dan PERAWATAN INTENSIF yang menyeluruh dari
penyakitnya. Untuk itu, diperlukan komunikasi
dan kerja sama yang baik antara pasien dan
keluarganya dengan tim yang ikut terlibat dalam
rehabilitasi kardiovaskular dan prevensi sekunder,
yaitu dokter, perawat, fisioterapi, ahli gizi,
psikolog, pekerja sosial, dan lain-lain. Edukasi,
perubahan sikap dan perilaku, serta pemulihan
penyakit membutuhkan waktu yang cukup lama
dan berkesinambungan.
Prevensi PKVA pada Populasi
Lanjut Usia
1. Definisi Lanjut Usia dan Geriatri
Kemajuan sosioekonomi yang pesat dalam 50 tahun terakhir memicu peningkatan usia harapan hidup secara
signifikan. Fenomena ini memicu terjadinya
penuaan populasi dengan cepat di seluruh dunia,
terutama di negara berkembang.1 Berdasarkan
data Riskesdas tahun 2007, umur harapan hidup
(UHH) di Indonesia mengalami peningkatan
dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,6
tahun pada tahun 2010 dan 72 tahun pada tahun
2014. Kondisi tersebut memicu terjadinya
peningkatan jumlah penduduk lansia di Indonesia.
Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun
2010, jumlah penduduk lansia Indonesia yaitu
18,04 juta jiwa atau 7,6% dari total jumlah
penduduk. Diprediksi bahwa jumlah penduduk
lansia di Indonesia akan mengalami peningkatan
menjadi 36 juta jiwa pada 2025.2
Berdasarkan kategori WHO, definisi
elderly yaitu individu berusia 65 tahun ke atas
(kadang didefinisikan sebagai usia 60 tahun ke
atas), sedangkan definisi oldest-old yaitu individu
berusia 80 tahun ke atas.4 Definisi lanjut usia
(lansia) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2015 yaitu
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas. Adapun definisi pasien lansia yaitu
pasien lanjut usia dengan multimorbiditas dan/
atau gangguan akibat penurunan fungsi organ,
psikologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang
membutuhkan pelayanan kesehatan secara
terpadu dengan pendekatan multidisiplin yang
bekerja secara interdisiplin.3 Definisi sindrom
lansia yaitu kumpulan gejala atau masalah
kesehatan yang sering dialami oleh seorang pasien
lansia. Sindrom lansia ini juga dikenal dengan
istilah 14 “I” yang meliputi hal-hal berikut:2
1. Imobilisasi (berkurangnya kemampuan gerak).
2. Instabilitas postural (jatuh dan patah tulang).
3. Inkontinensia urin (mengompol).
4. Infeksi.
5. Impairment of senses (gangguan fungsi panca
indera).
6. Inanition (gangguan gizi).
7. Insomnia (gangguan tidur).
8. Iatrogenik (masalah akibat tindakan medis).
9. Intellectual impairment (gangguan fungsi
kognitif).
10. Isolasi (menarik diri).
11. Impecunity (berkurangnya kemampuan
keuangan).
12. Impaction (konstipasi).
13. Immunodeficiency (gangguan sistem imun).
14. Impotence (gangguan fungsi seksual).
Enam komponen dari 14 “I” tersebut yaitu
imobilisasi, instabilitas postural, intellectual impairment
yang meliputi delirium dan demensia, isolasi
sebab depresi, dan inkontinesia urin merupakan
kondisi yang paling sering memicu pasien
lansia harus dikelola dengan lebih intensif, suatu
kondisi yang disebut dengan geriatric giants.2
116
Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia
2. Skor Prediksi Kejadian PKVA
pada Populasi Lansia
Estimasi risiko PKVA tidak hanya penting untuk
dilakukan pada subjek yang masih muda dan sehat
saja, namun juga pada populasi lansia, sehingga
dapat memberikan informasi untuk memandu
PERAWATAN INTENSIF yang disesuaikan dengan tiap-tiap
individu.5
Terdapat beberapa pertimbangan yang
spesifik mengenai estimasi risiko PKVA pada
populasi lansia, yaitu:
1. Menurunnya derajat hubungan antara faktor
risiko klasik terjadinya PKVA (misalnya, lipid
dan tekanan darah) terhadap risiko PKVA
seiring dengan bertambahnya usia.
2. Terjadi ketimpangan antara CVD-free survival
dengan angka survival secara keseluruhan
secara melebar seiring dengan bertambahnya
usia, akibat peningkatan risiko mortalitas
sebab faktor non-kardiovaskular (“competing
risk”).
Oleh sebab itu, model risiko tradisional
yang tidak mempertimbangkan pengaruh “competing
risk” terhadap mortalitas non-kardiovaskular
cenderung untuk overestimasi dalam memprediksi
risiko PKVA dalam 10 tahun.
Algoritma SCORE2-OP (Systematic Coronary
Risk Estimation 2-Older Persons) digunakan di negara-
negara Eropa untuk memperkirakan kejadian
kardiovaskular yang fatal maupun nonfatal (infark
miokard, strok) dalam 5 tahun dan 10 tahun, yang
telah disesuaikan dengan “competing risk” pada
individu berusia ≥70 tahun yang tampak sehat.5
Sedangkan, panduan ini dibuat berdasarkan
kesepakatan ahli bahwa untuk estimasi skor
risiko PKVA pada populasi lansia digunakan skor
prediksi WHO sebagaimana halnya pada populasi
bukan lansia.
TABEL : 13.1 Pernyataan Kesepakatan Ahli tentang pemakaian Skor Prediksi Risiko WHO untuk
Populasi Lanjut Usia
Pernyataan Kesepakatan Ahli
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Pada lansia disarankan untuk melakukan estimasi risiko PKVA
yang fatal dan non-fatal menggunakan WHO cardiovascular risk charts
seperti yang tercantum pada Bab 2 untuk region Asia Tenggara.
I C
Pada lansia yang berusia 75 tahun ke atas, perhitungan risiko pada WHO
CVD risk charts dianggap sama dengan kelompok usia 70-74 tahun.
I C
Keterangan: PKVA = penyakit kardiovaskular aterosklerosis; PGK = penyakit ginjal kronik;
DM = diabetes melitus
3. Frailty pada Populasi Lansia
Definisi frailty yaitu suatu kondisi yang
multidimensional, tidak tergantung dari usia dan
multimorbiditas, yang membuat seorang individu
lebih rentan terhadap efek dari stresor tertentu.
Skrining untuk frailty diindikasikan pada seluruh
pasien lansia, dan juga sebaiknya dilakukan pada
setiap individu yang berisiko untuk terjadinya
penuaan dini, tanpa memandang usia. Pengaruh
frailty terhadap risiko penyakit kardiovaskular telah
terbukti pada berbagai spektrum PKVA, termasuk
pada pasien dengan faktor risiko PKVA, pasien
dengan PKVA subklinis, PKVA stabil, sindrom
koroner dan serebral akut, serta gagal jantung.
Frailty juga dapat memengaruhi PERAWATAN INTENSIF .
Individu dengan frailty sering memiliki berbagai
komorbid, polifarmasi, dan lebih rentan terhadap
efek samping dan komplikasi serius akibat prosedur
invasif atau pembedahan.5
117
Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia
4. Latihan Fisik pada Populasi
Lansia
Sebagian besar populasi lansia tidak membutuhkan
uji latih jantung sebelum memulai program
aktivitas fisik dengan intensitas sedang. Namun,
apabila terdapat indikasi untuk dilakukan tindakan
uji latih jantung, perlu untuk diperhatikan bahwa
cek up uji latih jantung menggunakan
elektrokardiografi (EKG) memiliki sensitivitas
yang lebih tinggi (84%) dan spesifisitas yang lebih
rendah (70%) dibandingkan dengan kelompok
umur yang lebih muda. Hal tersebut disebabkan
oleh lebih tingginya prevalensi hipertrofi ventrikel
kiri dan gangguan konduksi jantung pada lansia.6
Orang dewasa disarankan untuk
melakukan aktivitas fisik aerobik seperti berjalan,
bersepeda, jogging, dan lain-lain dengan intensitas
sedang minimal 150-300 menit per minggu, atau
dengan intensitas tinggi minimal 75-150 menit per
minggu, atau kombinasi dari keduanya. Apabila
individu lansia tidak mampu untuk mencapai
target aktivitas fisik aerobik intensitas sedang
selama 150 menit, mereka disarankan
untuk seaktif mungkin sesuai kemampuan dan
kondisi. Akumulasi aktivitas fisik singkat, bahkan
hanya <10 menit berhubungan dengan luaran
yang lebih baik, termasuk dalam hal mortalitas.5
Lansia juga disarankan untuk
melakukan latihan resistance, yang dapat dimulai
dengan satu set yang terdiri dari 8-12 repetisi
dengan intensitas 40-50%. Selain itu, lansia juga
disarankan untuk melakukan latihan fisik
yang mengkombinasikan aerobik, penguatan otot,
dan latihan keseimbangan untuk mengurangi
risiko jatuh.5
Pada lansia dengan komorbid, program
latihan yang sederhana dengan berjalan kaki dapat
menjadi pilihan yang ideal. Sebagai tambahan
terhadap program olahraga yang terstruktur,
pasien sebaiknya disarankan untuk meningkatkan
aktivitas fisik sepanjang hari secara general,
contohnya naik tangga, berjalan kaki/bersepeda
ke tempat kerja, mengurangi duduk dalam jangka
waktu yang lama.8
Pada pasien lansia dengan muscle wasting
disarankan untuk melakukan olahraga
aerobik yang dikombinasikan dengan resistance
training ringan. untuk mencegah penyakit yang
berhubungan dengan gaya hidup, dapat dimulai
program “plus 10”, yaitu melakukan aktivitas
fisik dengan peningkatan durasi selama 10 menit
tiap harinya untuk membantu mencapai tujuan
aktivitas fisik selama 30 menit pada lansia.7
TABEL : 13.2 Saran Latihan untuk Populasi Lansia dengan Menggunakan Prinsip FITT
(Frequency, Intensity, Time, Type)6
Latihan Aerobik Latihan Resistance Latihan Flexibility
Frekuensi
(hari/
minggu)
≥5 hari/minggu untuk intensitas
sedang; ≥3 hari/minggu untuk
intensitas tinggi; 3-5 hari/minggu
untuk kombinasi intensitas sedang
dan tinggi.
≥2 hari/minggu ≥2 hari/minggu
Intensitas Pada skala 0-10 untuk level aktivitas
fisik, 5-6 untuk intensitas sedang
dan 7-8 untuk intensitas tinggi.
Intensitas ringan (40-
50% 1-RM) untuk
pemula, ditingkatkan
hingga intensitas
sedang-tinggi (60-80%
1-RM).
Dilakukan peregangan hingga
titik merasa kencang atau sedikit
tidak nyaman.
118
Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia
Durasi 30-60 menit/hari pada intensitas
sedang, 20-30 menit/hari pada
intensitas tinggi; atau kombinasi
yang ekuivalen antara intensitas
sedang dan tinggi; dapat
merupakan akumulasi dari aktivitas
fisik selama minimal 10 menit.
8-10 latihan yang
melibatkan kelompok
otot mayor sebanyak
1-3 set dengan 8-12
kali repetisi
Melakukan peregangan selama
30-60 detik.
Tipe Modalitas apa pun yang tidak
memicu stres ortopedik
yang tinggi, contohnya berjalan.
Olahraga akuatik dan sepeda statis
dapat bermanfaat pada individu
dengan toleransi yang terbatas
terhadap aktivitas fisik yang
menopang berat badan
Program latihan
beban yang bersifat
progresif atau latihan
calisthenics, menaiki
tangga, dan latihan
penguatan lain yang
melibatkan kelompok
otot mayor.
Lebih dianjurkan untuk
melakukan latihan fisik apapun
yang mempertahankan atau
meningkatkan fleksibilitas dengan
melakukan gerakan lambat
yang berakhir pada peregangan
statis untuk tiap kelompok otot,
dibandingkan dengan pergerakan
balistik yang cepat.
5. PERAWATAN INTENSIF Diet dan Nutrisi
pada Populasi Lansia
Nutrisi memegang peranan penting dalam
pencegahan dan PERAWATAN INTENSIF PKVA. Asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan seimbang dapat
menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan
mempengaruhi kualitas hidup termasuk pada
golongan rentan lansia. Tidak sedikit pasien
lansia yang masuk ke rumah sakit mengalami
malnutrisi.10
Malnutrisi telah terbukti berhubungan
dengan hasil klinis yang merugikan pada pasien
dengan gagal jantung, hipertensi, fibrilasi atrium
dan penyakit kardiovaskular lainnya.11 Malnutrisi
pada lansia dapat menurunkan status fisik dan
mental sehingga meningkatkan risiko morbiditas
dan mortalitas, oleh sebab itu diperlukan deteksi
dini risiko malnutrisi, penentuan status gizi dan
intervensi nutrisi multidisiplin sejak awal pada
pasien lansia.12,13,14
Beberapa metode skrining dan penilaian
status gizi yang disarankan pada pasien lanjut usia
yaitu MNA (Mini Nutritional Assessment), GNRI
(Geriatric Nutritional Risk Index), CONUT (Controlling
Nutritional Status), dan, yang terbaru, GLIM (Global
Leadership Initiative on Malnutrition). Metode skrining
yang paling sering digunakan di rumah sakit
yaitu MNA.
MNA terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
I (penapisan/skrining) dan tahap II (penilaian).
Apabila skor pada tahap I kurang dari 11, akan
dilanjutkan dengan tahap II. Selanjutnya pada
tahap II, seseorang akan diklasifikasikan sebagai
malnutrisi apabila jumlah total skor akhir <17 dan
diklasifikasikan sebagai risiko malnutrisi apabila
jumlah total skor akhir antara 17-23,5.2 Pada pasien
yang didapatkan berisiko tinggi malnutrisi atau
malnutrisi, perlu dilakukan asesmen gizi lanjutan,
antara lain, riwayat pengobatan dan penyakit,
cek up fisik, antropometri, komposisi tubuh,
serta status fungsional dan laboratorium oleh
tim terapi gizi untuk memberikan intervensi gizi
spesifik dalam mencegah penurunan status gizi
serta mempertahankan atau meningkatkan berat
badan, status fungsional, dan hasil klinis.10,13,14
Obesitas juga perlu untuk dideteksi
secara dini pada lansia untuk mencegah masalah
kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh kondisi
tersebut. Obesitas sentral dapat dengan mudah
diketahui menggunakan pengukuran lingkar
pinggang. Apabila didapatkan nilai lingkar
pinggang >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada
perempuan, dapat dikategorikan sebagai obesitas
sentral.2
119
Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia
Kebutuhan energi pada lansia lebih rendah
sebab penurunan massa otot dan aktivitas fisik.
Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) 2019
kebutuhan energi yang dianjurkan pada lansia sehat
yaitu 31 kkal/kgbb (laki-laki usia 65-80 tahun),
28 kkal/kgbb (laki-laki usia >80 tahun), 29 kkal/
kgbb (perempuan usia 65-80 tahun), dan 26 kkal/
kgbb (perempuan usia >80 tahun). Kebutuhan
protein dibutuhkan lebih tinggi pada lansia untuk
mempertahankan massa otot dan mencegah
sarkopenia yaitu 1,1 g/kgbb atau sekitar 15%
dari kebutuhan energi total.15 Asupan karbohidrat
dianjurkan antara 50-60% dari energi total sehari,
dengan asupan karbohidrat kompleks lebih tinggi
dibandingkan karbohidrat sederhana. Konsumsi
serat dianjurkan sebanyak 10-13 gram per 1.000
kalori (25 gram/hari atau sekitar 5 porsi buah dan
sayur. Asupan lemak dianjurkan sebanyak 25%
dari energi total per hari dan diutamakan berasal
dari lemak tidak jenuh, sedangkan asupan omega-3
dianjurkan sekitar 1,6 g/hari.6 Pasien lansia dalam
perawatan di rumah sakit memerlukan asupan
nutrisi personal yang disesuaikan dengan status
gizi, aktivitas fisik, kondisi klinis dan penyakitnya,
serta toleransi.10
Pada pasien lansia, input cairan perlu
diperhatikan sebab terdapat perubahan
mekanisme rasa haus dan menurunnya cairan tubuh
total. Jumlah cairan masuk dianjurkan 1.500 ml/
hari untuk mencegah terjadinya dehidrasi, namun
harus disesuaikan juga apabila terdapat penyakit
yang membutuhkan pembatasan cairan seperti
gagal jantung yang disertai edema. Berdasarkan
angka kecukupan gizi (AKG) 2019 kebutuhan
cairan pada lansia sama dengan kebutuhan kalori
per hari.15
Pemberian vitamin perlu dipertimbangkan
pada pasien lansia apabila asupan tidak adekuat,
namun pemberian megadosis harus dihindari.2
Pada kasus sarkopenia dan malnutrisi pada lansia,
pengaturan asupan energi total dan rasio asupan
nutrisi yang sesuai harus diperhatikan.7
6. PERAWATAN INTENSIF Hipertensi pada
Populasi Lansia
Pada lansia, disarankan untuk melakukan
pengukuran tekanan darah sesudah posisi berdiri
selama 1 menit dan 3 menit dari posisi duduk
untuk mendeteksi suatu hipotensi ortostatik yang
berpotensi menimbulkan keluhan pusing hingga
instabilitas postural dengan risiko jatuh dan fraktur.
Pada kelompok pasien yang berusia
sangat tua (>80 tahun) atau frailty, dapat sangat
sulit untuk mencapai target tekanan darah yang
disarankan sebab tolerabilitas yang buruk
atau adanya efek samping, sehingga monitoring
terhadap tolerabilitas dan efek samping terhadap
pengobatan sangat penting pada populasi ini.2,5
Target penurunan tekanan darah pada pasien
lansia sebaiknya ditentukan secara individual,
dengan mempertimbangkan activities of daily living
(ADL), fungsi kognitif, dan kualitas hidup.7
Terapi antihipertensi yang
disarankan yaitu pemberian kombinasi
ACE Inhibitor/ARB dan CCB dosis rendah.
Akan namun , dapat dipertimbangkan pemberian
monoterapi pada kasus hipertensi derajat 1 risiko
rendah pada pasien yang sangat tua (≥80 tahun)
atau frailty. Target tekanan darah pada individu
berusia ≥65 tahun yaitu <140/90 mmHg
apabila dapat ditoleransi, dengan target tekanan
darah yang dapat tercapai dalam waktu 3 bulan.9
7. PERAWATAN INTENSIF DM pada Populasi
Lansia
Usia lanjut merupakan salah satu faktor risiko
DM. Berdasarkan studi J-EDIT, sebuah penelitian
di Jepang yang melibatkan juga lansia, kelompok
dengan kadar HbA1c ≥ 8,5% memiliki risiko
strok 2,63 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok
dengan kadar HbA1c 7,0-8,4%. Di lain pihak,
subjek dengan kadar HbA1C <7,0% juga memiliki
risiko strok 2,35 kali lebih tinggi. Oleh sebab itu,
pasien lansia dengan DM memerlukan tindakan
120
Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia
prevensi terhadap kondisi hiperglikemia, dengan
tidak melakukan kontrol gula darah yang terlalu
ketat dan berlebihan.7
8. PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia pada
Populasi Lansia
Pada lansia berusia 65-74 tahun, kadar kolesterol
LDL yang tinggi merupakan faktor risiko yang
penting untuk PJK, dan terapi statin untuk prevensi
PJK dan prevensi primer infark serebral non-
kardiogenik memberikan hasil yang menjanjikan.
Namun, mengingat bahwa pengaruh terapi
statin untuk prevensi primer pada lansia berusia
≥75 tahun belum terbukti, sebaiknya dilakukan
manajemen pasien secara individual, berdasarkan
keputusan dokter yang merawat.7
Bukti terkini memperkuat peran kolesterol
LDL sebagai faktor risiko PKVA pada lansia.
Penelitian menunjukkan bahwa statin dan terapi
penurun lipid yang lain dapat menurunkan
kejadian kardiovaskular mayor secara signifikan
pada semua kelompok umur. Pada usia ≥70 tahun,
inisiasi terapi statin untuk prevensi primer dapat
dipertimbangkan pada risiko tinggi dan sangat
tinggi, namun faktor-faktor lain juga sebaiknya
diperhatikan, seperti risk modifiers, frailty, perkiraan
manfaat jangka panjang, komorbid, dan preferensi
pasien. Pada kasus gangguan fungsi ginjal atau
terdapat risiko untuk interaksi obat, dosis statin
sebaiknya dititrasi secara berhati-hati. Kondisi
frailty, polifarmasi, dan efek samping pada otot
merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan
pada lansia.5
TABEL : 13.3 Saran PERAWATAN INTENSIF Dislipidemia pada Individu Berusia ≥70 Tahun
Saran
Kelas
Saran
Tingkat
Bukti
Terapi menggunakan statin disarankan untuk individu
berusia ≥70 tahun dengan PKVA dengan cara yang sama seperti
individu yang lebih muda.
I A
Inisiasi terapi statin untuk prevensi primer pada individu berusia
≥70 tahun dapat dipertimbangkan pada individu berisiko tinggi atau
sangat tinggi.
IIb B
disarankan untuk memulai terapi statin pada dosis rendah
apabila terdapat gangguan ginjal yang signifikan dan/atau terdapat
potensi terjadinya interaksi obat.
I C
9. PERAWATAN INTENSIF Obesitas pada
Populasi Lansia
Indeks Massa Tubuh (IMT) biasanya digunakan
untuk skrining primer terhadap individu yang
membutuhkan penurunan berat badan, namun
interpretasinya harus dilakukan secara berhati-
hati pada populasi lansia.8 Obesitas sentral
dapat dengan mudah diketahui menggunakan
pengukuran lingkar pinggang. Lingkar pinggang
>90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada
perempuan dapat dikategorikan sebagai obesitas
sentral.2 Berdasarkan hasil survey yang dilakukan
pada orang Jepang berusia middle-aged dan lansia,
subjek dengan akumulasi lemak visceral cenderung
memiliki faktor risiko PJK multipel.7
Kehilangan berat badan berhubungan
dengan penurunan morbiditas, namun peningkatan
mortalitas pada usia tua secara biologis (“the obesity
paradox”).5 Intervensi untuk menurunkan berat
badan harus diimplementasikan secara hati-hati
dan disesuaikan dengan kebutuhan individu,
terutama pada populasi lansia. Hal tersebut
bertujuan untuk mencegah terjadinya efek
samping yang merugikan, seperti hilangnya lean
body mass/massa otot dan defisiensi nutrisi.8
121
Prevensi PKVA pada Populasi Lanjut Usia
10. PERAWATAN INTENSIF Berhenti Merokok
pada Populasi Lansia
Merokok masih merupakan faktor risiko yang
kuat dan independen terhadap kejadian PKVA
dan kematian prematur. Pada populasi lansia,
berhenti merokok masih memiliki manfaat dalam
menurunkan risiko tersebut.8
11. Pengendalian Stres dan Faktor
Psikososial pada Populasi Lansia
Episode gangguan afektif sering ditemukan
pada lansia, sebab terjadi peningkatan risiko
terjadinya adverse life events. Masalah psikososial
pada lansia berhubungan dengan ketergantungan
terhadap perawatan, penurunan kualitas hidup,
disabilitas, dan luaran kesehatan yang buruk.1
Untuk menjaring masalah gangguan mental
secara umum pada pasien lansia dapat digunakan
metode 2 menit. Apabila terdapat indikasi adanya
depresi, dapat dilanjutkan dengan menggunakan
instrumen Geriatric Depression Scale (GDS),
sedangkan apabila terdapat indikasi demensia
dapat dilanjutkan dengan cek up Mini
Mental Status Examination (MMSE) untuk individu
berpendidikan di atas SMP atau Abbreviate
Mental Test (AMT) untuk individu berpendidikan
SMP dan di bawahnya. Penatalaksanaan yang
dapat diberikan berupa konseling dan edukasi
kepada pasien dan keluarga. Konsultasi atau
rujukan juga dapat dipertimbangkan apabila
pasien menunjukkan adanya risiko bunuh diri atau
bahaya terhadap orang lain secara bermakna/
menonjol, gejala psikotik, dan depresi bermakna
yang menetap sesudah tindakan konseling.
Prevensi penyakit kardiovaskular aterosklerosis (PKVA)—yang meliputi penyakit jantung koroner, serebrovaskular, dan pembuluh
darah perifer—sangat penting sebab PKVA
merupakan penyebab utama kematian di dunia
dan Indonesia dan memicu pengeluaran
biaya yang besar.
Faktor risiko PKVA telah banyak diketahui,
di antaranya yaitu dislipidemia, hipertensi,
merokok, diabetes melitus (DM), prediabetes,
obesitas, usia, jenis kelamin, dan pola hidup
sedenter. Selain faktor risiko tradisional, terdapat
beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi
luaran yang dikenal sebagai risk modifier. Beberapa
risk modifier perlu dipertimbangkan dalam prediksi
risiko PKVA, antara lain, faktor stres dan
psikososial, etnisitas, pencitraan aterosklerosis
(CAC, CCTA, USG karotis, Arterial Stiffness,
Ankle Brachial Index), frailty, riwayat keluarga,
sosial ekonomi, paparan lingkungan, indeks massa
tubuh (IMT), serta beberapa biomarker dari darah
dan urine.
PKVA secara klinis dapat asimtomatik
maupun simtomatik, dan mulai bergejala ketika
terjadi iskemia pada organ. Manifestasi klinis
umumnya timbul pada usia dewasa dan lanjut
usia walaupun proses aterosklerosis berupa fatty
streak sudah mulai timbul sejak usia dini atau masa
kanak-kanak.
Pokja Prevensi dan Rehabilitasi
Kardiovaskular Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI) menyepakati
untuk menggunakan perhitungan risiko kejadian
kardiovaskular dari World Health Organization
(WHO) dan menetapkan menjadi 5 kategori risiko
secara kualitatif, yaitu risiko rendah (<5%), risiko
sedang (5%–10%), risiko tinggi (10% s.d. <20%),
risiko sangat tinggi (20% s.d. <30%) dan risiko
sangat sangat tinggi (>30%).
WHO Cardiovascular (CVD) Risk Chart
Working Group 2019 memasukkan bagan khusus
untuk Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Skor
estimasi risiko WHO ini dibagi menjadi dua jenis,
yaitu estimasi risiko berdasarkan hasil laboratorium
(laboratory based) dan tanpa hasil laboratorium
(nonlaboratory based) yang dapat digunakan di
daerah yang belum memiliki fasilitas tersebut. Skor
risiko WHO penting diterapkan pada masyarakat
supaya masyarakat melakukan PERAWATAN INTENSIF untuk
menurunkan faktor risiko.
Penghitungan risiko PKVA dapat mulai
dilakukan sesudah usia dua puluh tahun, dan
dapat diulang setiap empat hingga enam tahun.
Penilaian risiko PKVA yang sistematis atau yang
bersifat oportunistik dimulai pada laki-laki usia
>40 tahun, dan perempuan usia >50 tahun atau
pascamenopause. Dalam penilaian risiko PKVA
pasien, harus selalu dilakukan anamnesis tentang
riwayat penyakit pasien dan riwayat keluarga
untuk menentukan risiko terjadinya PKVA dalam
sepuluh tahun ke depan.
cek up fisik dianjurkan untuk menilai
risiko PKVA yang meliputi cek up IMT,
lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang-panggul,
tekanan darah, serta inspeksi adanya tanda
pseudoxanthoma elasticum, xanthelasma palpebrarum,
124
Penutup
palpasi pulsasi arteri di kaki, dan auskultasi
bruit vaskular. cek up penunjang yang
dianjurkan untuk dilakukan meliputi cek up
laboratorium kimia dasar (darah lengkap, kreatinin
serum, profil lipid, gula darah), EKG saat istirahat,
monitoring EKG ambulatori , ekokardiografi saat
istirahat, dan foto rontgen toraks pada pasien
tertentu.
Gaya hidup sedenter menurunkan tingkat
kebugaran, memicu obesitas, DM, dan
hipertensi, serta menimbulkan gangguan penyakit
metabolik, vaskular, muskuloskeletal, dan bahkan
kematian. Prevensi primer berupa aktivitas fisik
dianjurkan dimulai sejak dini dan dipertahankan
seumur hidup serta harus didukung oleh gaya
hidup yang aktif. Semua jenis latihan sebaiknya
diukur dan direncanakan sesuai dengan individu.
Terdapat lima komponen untuk menilai kebugaran
fisik yang harus diperhatikan, yaitu kardiorespirasi,
morfologi tubuh, otot, metabolik, dan motorik.
Diperlukan penapisan sebelum olahraga pada
populasi dengan faktor risiko.
Diet yaitu salah satu faktor risiko utama
yang dapat dimodifikasi untuk mencegah dan
menurunkan risiko PKVA. Beberapa panduan
diet yang dianjurkan yaitu diet Mediterania,
diet DASH, diet AHA, diet Asia, serta konsensus
PERKI dan PDGKI, yang dapat diaplikasikan
sesuai dengan komorbiditas pasien.
Peningkatan tekanan darah merupakan
faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung
koroner, gagal jantung, penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri perifer, gagal ginjal kronik, dan
fibrilasi atrium. PERAWATAN INTENSIF hipertensi ditentukan
oleh kategori hipertensi (normal, normal-tinggi,
atau stadium 1 dan 2). Program penapisan dan
deteksi hipertensi disarankan untuk semua
pasien yang berusia >18 tahun. Prevensi hipertensi
untuk mencegah timbulnya PKVA meliputi
intervensi farmakologis dan nonfarmakologis
seperti modifikasi gaya hidup. Strategi pengobatan
yang dianjurkan pada PERAWATAN INTENSIF hipertensi
saat ini yaitu dengan menggunakan terapi obat
kombinasi untuk mencapai tekanan darah sesuai
dengan target. Untuk memudahkan PERAWATAN INTENSIF ,
dapat digunakan klasifikasi risiko hipertensi
berdasarkan derajat tekanan darah, faktor risiko
kardiovaskular, hypertension-mediated organ damage
(HMOD), atau komorbiditas.
DM tipe 1, DM tipe 2, dan prediabetes
merupakan faktor risiko independen untuk
PKVA, yang meningkatkan risiko PKVA sekitar
dua kali lipat dan juga meningkatkan angka
kejadian penyakit non-PKVA. Pasien DM dapat
diklasifikasikan dalam kategori risiko kematian
kardiovaskular dalam sepuluh tahun ke depan,
yaitu risiko sedang (<5%), risiko tinggi (5–10%),
dan risiko sangat tinggi (>10%). Penilaian rutin
mikroalbuminuria pada pasien DM diindikasikan
untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai
risiko mengalami disfungsi ginjal atau risiko tinggi
PKVA di kemudian hari. cek up EKG saat
istirahat diindikasikan pada pasien DM yang
mengalami hipertensi atau dicurigai mengidap
PKVA. Obat yang dianjurkan untuk DM tipe
2 dengan risiko PKVA sangat tinggi dan tinggi
yaitu agonis reseptor GLP-1 atau inhibitor
SGLT-2.
Dislipidemia merupakan salah satu
gangguan metabolisme lemak yang ditandai
dengan peningkatan kadar serum kolesterol
total, kolesterol LDL, atau trigliserida, atau
penurunan kadar kolesterol HDL. Penapisan
profil lipid disarankan pada laki-laki di
atas >40 tahun dan pada perempuan >50 tahun
atau pascamenopause. PERAWATAN INTENSIF farmakologis
dan nonfarmakologis harus diterapkan untuk
mencapai target penurunan kolesterol LDL, non-
HDL, ApoB, dan trigliserida. Pada pasien dengan
PKVA, disarankan pemberian terapi
penurun lipid dengan target penurunan kolesterol
LDL >50% dari baseline.
Obesitas meningkatkan risiko PKVA.
Usahakan untuk mencapai klasifikasi IMT
normal menurut standar Asia, yaitu 18,5–22,9.
Pengobatan komorbiditas terkait obesitas menjadi
125
Penutup
bagian PERAWATAN INTENSIF komprehensif pasien obesitas,
termasuk peningkatan aktivitas fisik, kepatuhan
diet, pengurangan gaya hidup sedenter, hingga
penerapan farmakoterapi, seperti orlistat,
liraglutide, dan kombinasi bupropion/naltrexone.
Sindrom kardiometabolik meliputi beberapa
kondisi seperti resistensi insulin, obesitas sentral,
dislipidemia, hipertensi, dan mikroalbuminuria.
Penilaian risiko kardiometabolik, modifikasi pola
hidup sehat, dan terapi farmakologis terhadap
faktor risiko secara komprehensif diharapkan
mampu menekan peningkatan prevalensi
terjadinya sindrom kardiometabolik.
Merokok aktif atau pasif meningkatkan
risiko kejadian kardiovaskular. Penilaian
ketergantungan nikotin disertai konseling
pemberian saran, dukungan dan motivasi berhenti
merokok, bahkan terapi farmakologis, seperti
bupropion atau vareniklin, dapat dipertimbangkan
sebagai upaya berhenti merokok sedini mungkin.
Kondisi psikososial seperti stres, cemas, atau
depresi dapat berdampak pada perjalanan dan
progresivitas penyakit kardiovaskular, demikian
pula sebaliknya. Penilaian fungsi fisik, psikologis,
dan sosial pasien secara holistik serta komunikasi
efektif antara tenaga medis dengan pasien dan
keluarganya dapat membantu memberikan
pemahaman dan edukasi dari penyakit yang
dialami sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Pada populasi lansia sering ditemukan
gangguan multikondisi akibat penurunan fungsi
organ, psikologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan
yang perlu dikelola lebih intensif. Penilaian
skor risiko PKVA pada lansia tetap digunakan
sebagaimana pada populasi bukan lansia.
Pola hidup sehat—yang mencakup latihan
fisik teratur, berhenti merokok, pengendalian stres,
serta kontrol faktor risiko seperti berat badan,
tekanan darah, kadar gula, dan lipid—tetap
menjadi pilar utama dalam pencegahan primer
dan sekunder terhadap penyakit kardiovaskular.
Lampiran