kusta j

 



Kusta atau Morbus Hansen (MH), adalah infeksi kronis dari Mycobacterium lepraeyang 

sebagian besar mempengaruhi kulit dan system saraf, Mycrobacterium.leprae berbentuk basil dengan 

ukuran 3-8 Um x 0,5; tahan asam dan alcohol serta gram positif beberapa faktor yang mempengaruhi 

M. leprae antara lain: lama kontak, keeratan, status gizi , status imun, dan lingkungan Untuk 

menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu di lakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan 

khusus (sensibilitas dan saraf) dan pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) 

menggunakan 3 macam metode pewarnaan yaitu pewarnaan Tam Thian Hok, pewarnaan Zeihl 

Neelsen, pewarnaan Flourokrom. Tujuan: untuk dapat mengetahui dan melakukan pemeriksaan 

bakteriologi pada pasien dengan diagnosa klinik Morbus Hansen. Metode Penelitian: penelitian

merupakan penelitian deskriptif yang di lakukan di Poli penyakit Kulit dan Kelamin BLU RSUP Prof. 

Dr. R. D. Kandou. Pengelolaan Sampel di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran 

Universitas Sam Ratulangi Sulawesi Utara. Penelitian ini di lakukan pada bulan November 2013-

Januari 2014. Hasil dari 20 Sampel penelitian ditemukan sebagian besar sampel 13 sampel pria (65%)

sedangkan 7 sampel wanita (35%), dari 20 sampel yang di periksa di temukan jumlah pasien positif 11 

sampel (55%) dan 9 sampel negatif (45%), jadi dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pria lebih 

banyak di bandingkan Wanita, dari 20 sampel yang di periksa ditemukan 11 sampel menunjukan hasil 

positif dan 9 sampel negatif.Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang 

disebabkan oleh kuman Mycobaceterium 

leprae yang pertama kali menyerangsusunan 

syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang 

kulit,mukosa (mulut), saluran pernapasan 

bagian atas, system retikulo endotelial, 

mata, otot, tulang dan testis.

Data dari Organisasi Kesehatan Dunia 

(WHO) yang di terima dari bebearapa 

Negara melaporkan bahwa dari 105 negara 

dan wilayah, prevalensi kusta secara global 

pada awal tahun 2012 kasus yang terdafatar 

mencapai 181.941 kasus. Sedangkan jumlah 

kasus yang terdeteksi selama 2011 adalah 

219.075 dibandingkan dengan 228.474 

kasus pada tahun 2010. Daerah endemisitas 

tinggi masih tetap berada di beberapa daerah 

yaitu di Brazil, Indonesia, Filipina, Republik 

Demokratik Kongo, India, Madagaskar, 

Mozambik, Nepal, dan Republik Tanzania.

1

Menurut Menkes, Sejak tahun 2000. 

Program pengendalian penyakit kusta Nasi￾onal melaporkan 17,000-18,000 kasus baru 

setiap tahun dan belum ada kecenderungan 

menurun.Proporsi kasus baru kusta MB 

(Multi Basiler/kuman banyak). Indonesia 

masih merupakan negara ketiga di dunia dan 

kedua di Asia Tenggara sebagai negara 

dengan kasus baru kusta paling banyak.

2

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi 

Utara mencatat sepanajang tahun2012 ada 

400-an penderita kusta yang tersebar di 15 

kabupaten/kota. Kota Bitung adalah daerah 

dengan penderita kusta terbanyak yaitu seki￾tar 80-an orang. Kemudian disusul Manado 

dan Bolaang Mongondow. Kusta yang

ditemukan Tahun 2012 sebanyak 425 kasus, 

yang berobat sampai dengan sekarang 494 

orang dengan jenis kusta yang paling banyak

adalah tipe basah dengan jumlah 373 kasus.

3

M. Lepra yang solid atau utuh dianggap 

kuman yang hidup, sedangkan yang 

fragmented atau nonsolid dianggap kuman 

yang mati M. Leprae hidup di luar tubuh 

dapat hidup 2-9 hari.

4

Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) 

menggunakan 3 macam metode pewarnaan 

yaitu:Pewarnaan Tan Thiam Hok, 

Pewarnaan Zeihl Neelsen, Pewarnaan 

Flourokrom. Pada pemeriksaan dengan 

mengguanakan metode fluorokrom pada 

pemeriksaan di bawah mikroskop tidak 

memerlukan pembesaran 1000x hal ini 

sanggat bermanfaat pada laboratorium 

dengan jumlah sampel yang banyak. 

Penggunaan pewarnaan ini di laboratorium 

Indonesia tidak lah mudah karena memiliki 

biaya yang tinggi untuk penyediaan 

mikroskop fluoresens, sehingga DOTS 

(Direct Observed Treatment Shortcourse 

Chemotherapy) yang di rekomendasikan 

WHO dan telah di lakukan di Indonesia, 

selain adanya gejala khas di gunakan cara 

pewarnaan BTA Ziehl Neelsen untuk 

penentuan di mulainya pengobatan.

5

Kusta jika tidak ditanggani akan 

menyebabkan perubahan fisik, social, dan 

psikologis yang berupa ketidak mampuan 

dan keterbatasan. Keadaan ini secara 

epidemiologis terjadi peningkatan pre￾valensi kusta dari tahun ke tahun.Sehubung 

dengan hal tersebut penulis tertarik untuk 

meneliti mengenai Gambaran Pemeriksaan 

Mikroskopik Basil Tahan Asam pada pasien 

yang didiagnosa klinik Morbus Hansen di 

Manado.


Pasien Lepra atau Kusta yang 

didiagnosa klinik yang datang berobat di 

Poli Penyakit Kulit dan Kelamin Blu Prof 

Dr R D Kandou Manado sebanyak 20 

sampel kemudian di lakukan pengambilan 

sampel dari serum cuping telingga. 

Berdasrkan Jenis kelamin didapatkan hasil 

13 orang (65%) pria dan 7 orang (35%) 

wanita. Penelitian ini menunjukan 11 

sampel positif (55%) dan 9 sampel negatif

(45%)Penelitian ini di lakuakan pada pasien 

dengan diagnosa klinik lepra sebanyak 20 

sampel, yang di lakukan pada serum cuping 

telinga penderita Morbus Hansen di Poli 

Penyakit Kulit dan Kelamin di BLU RSUP 

Prof. Dr. R. D. Kandou, periode November 

2013 sampai Januari 2014 didapatkan 20

sampel penelitian. Adapun pemeriksaan 

yang di lakukan yaitu pemeriksaan dan 

pewarnaan Basil Tahan asam (BTA).

Dari Tabel 1 diistribusi sampel menurut 

jenis kelamin, penderita Morbus Hansen

terbanyak pada penelitian adalah Laki-Laki

yaitu 13sampel atau 65% dari total sampel. 

Sedangkan sampel Perempuan 7 sampel 

atau 35% dari total Sampel. Hasil ini sesuai 

dengan kepustakaan yang menyebutkan 

bahwa penderita kusta lebih banyak terjadi 

pada laki-laki, yaitu sebanyak 70,5%, 

sedangkan pada perempuan terdapat 29,5% 

yang dilakukan di Kecamatan Sarang 

Kabupaten Rembang. Hal ini bukan 

disebabkan lamanya masa sakit tapi 

perbedaan antara angka insidensi.

7

Keadaan tersebut kemungkinan di￾sebabkan karena laki-laki cenderung lebih 

sering beraktivitas di luar rumah sehingga 

sering terpapar dengan penderita yang 

menjadi sumber infeksi sehingga risiko ter￾tular kusta lebih besar dari pada laki-laki.

Hasil 

penelitian yang telah di lakukan ini juga di 

dukung oleh kepustakaan lain yang 

dilakukan di Divisi Kusta URJ Penyakit 

Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo 

Surabaya Periode 2004-2006 berdasarkan 

jenis kelamin, jumlah total penderita kusta 

baru pada laki-laki sebanyak 652 orang 

(69,2%). Jumlah ini juga mengalami sedikit 

peningkatan dibandingkan tahun 2001-2003 

yakni sebanyak 605 orang.Jumlah penderita 

kusta yang berjenis kelamin laki-laki pada 

penelitian ini hampir dua kali lipat lebih 

banyak daripada penderita kusta yang 

berjenis kelamin wanita yaitu sebanyak 299 

orang. Perbandingan itu sesuai dengan rasio 

prevalensi penderita kusta laki-laki diban￾dingkan wanita pada penelitian di negara￾negara endemik kusta yaitu kurang lebih 2:1.

Hasil ini juga di dukung oleh 

kepustakaan yang menyebutkan bahwa pada 

pasien lepra dewasa umumnya jumlah 

pasien laki-laki lebih banyak daripada 

wanita, dengan rasio 2:1.Distribusi tersebut kemungkinan di pengaruhi oleh faktor 

lingkungan atau biologi. Pola hidup laki-laki 

menyebabkan mereka memiliki risiko lebih 

tinggi untuk terpajan penyakit lepra.1

Pada pemeriksaan yang dilakukan 

terhadap 20 sampel yang di teliti, di temu￾kan bahwa 11 sampel pasien dengan 

diagnosa klinik lepra menunjukan hasil yang 

positif dan 9 sampel menunjukan hasil yang 

Negaitif. Dari 20 sampel yang di periksa di 

laborratorium dengan diagnosa klinik Lepra 

memiliki hasil yang kemungkinan berbeda 

dengan cara pemeriksaan secara labora￾torium, hasil negatif pada pemeriksaan 

mikroskopik mungkin saja dapt terjadi 

karena kesalahan pada saat pengambilan 

sampel dan pewarnaan. hal ini sesuai de￾ngan kepustakaan yang menyebutkan bahwa 

angka kesalahan baca adalah angka kesalah￾an laboratorium yang menyatakan persen￾tase kesalahan pembacaan slide/sediaan 

yang di lakukan oleh laboratorium rujukan 

lain. Angka kesalahan laboratorium peme￾riksaan pertama. Selain angka kesalahan 

laboratorium yang terjadi, kesalahan juga 

dapat berupa tidak memadainya kualitas 

sediaan, yaitu terlalu tebal atau tipisnya 

sediaan, pewarnaan, ukuran, kerataan, 

kebersihan dan kualitas specimen.




Kusta adalah salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, terutama di 

Indonesia sebagai negara dengan prevalensi tertinggi ketiga di dunia. Penyakit ini merupakan 

penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dengan gejala dan tanda klinis 

yang menyerupai penyakit kulit lainnya, sehingga sering disebut sebagai the great imitator. Diagnosis 

penyakit kusta umumnya sudah dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 

Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu dengan gejala dan tanda klinis yang meragukan misalnya 

pada kasus kusta awal, diperlukan pemeriksaan laboratorium seperti mikroskopis, histopatologis, 

serologis, dan molekular untuk membantu menegakkan diagnosis. Kusta merupakan penyakit menular yang 

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae 

yang bersifat intraselular obligat. Bakteri ini 

merupakan basil tahan asam yang ditemukan 

pada tahun 1873 oleh Gerhard Henrik 

Armauer Hansen.1 Kusta masih menjadi 

masalah kesehatan di dunia termasuk di 

Indonesia dengan jumlah kasus baru tercatat

14.540 orang pada tahun 2014, dengan 

distribusi yang lebih besar di wilayah 

Indonesia Bagian Tengah dan Timur.2

 Kusta dapat terjadi pada semua usia dengan 

puncak insiden pada usia 10-19 tahun dan 30 

tahun ke atas.3 Kusta lebih sering terjadi pada 

laki-laki dibandingkan perempuan dengan 

perbandingan 2:1.

4 Penyakit ini erat kaitannya 

dengan kemiskinan, walaupun dapat terjadi 

pada berbagai status sosial ekonomi. Cara 

penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti, namun sebagian besar teori meyakini 

melalui saluran pernapasan.

5

 Oleh karena penyakit ini merupakan 

penyakit kronik yang masih menjadi masalah 

kesehatan dan bersifat menular, penegakan 

diagnosis secara cepat dan tepat harus 

dilakukan, sehingga terapi dapat diberikan 

sesegera mungkin untuk memutus rantai 

penularan penyakit dari orang yang satu ke 

orang yang lain. Untuk itu, penulis ingin 

membahas mengenai beberapa pemeriksaan 

yang dapat membantu dalam penegakan 

diagnosis kusta.

Etiologi Kusta

 Mycobacterium leprae sebagai penyebab 

kusta merupakan basil tahan asam (BTA), 

gram positif, dan intraselular obligat dengan 

tropisme pada makrofag dan sel Schwann.

4,6

Basil ini menyukai lokasi tubuh yang relatif 

dingin dengan suhu optimal pertumbuhan 

30oC. Bakteri ini tidak dapat dibiak pada 

media buatan, tetapi dapat dibiakkan pada 

telapak kaki tikus dan binatang armadilo.7

Genom M. leprae berukuran 3.3 mega base 

pair (bp), terdiri atas 1.605 gen yang 

mengkode protein. Hanya setengah dari genom 

M. leprae ini yang merupakan coding 

sequence. Lebih dari setengah genom sisanya 

merupakan gen yang tidak fungsional dan 

digantikan oleh gen yang tidak aktif atau 

pseudogenes. Delesi dan rusaknya gen ini 

menjadikan M. leprae hanya memiliki 

beberapa enzim pernapasan. Hal inilah yang 

menjelaskan mengapa M. leprae tidak bisa 

dibiak pada media buatan dan bersifat obligat 

intraselular.4-6 Hilangnya gen termasuk gen 

yang berperan pada metabolisme energi 

menyebabkan bakteri ini bergantung pada 

kondisi intraselular untuk mendapatkan nutrisi 

yang esensial. Hal inilah yang menjelaskan 

masa belah diri M. leprae yang sangat lama 

dibandingkan dengan bakteri lain, yaitu 12-14 

hari.7 Karena itu masa tunas dari M. leprae

lama dengan rerata 3-10 tahun.5

 Pada dinding sel Mycobacterium terdapat 

komponen yang menjadi target penting pada 

respons imun pejamu. Komponen protein yang 

dikenal dengan PGL-1 menstimulasi respons

antibodi imunoglobulin M (IgM) pejamu. 

Komponen lain yaitu protein yang berperan 

dalam sintesis dinding sel dan 

lipoarabinomanan berperan dalam modulasi 

aktivitas makrofag.6 Adanya ikatan antara 

trisakarida pada bagian ujung yang spesifik 

dari PGL-1 dengan laminin-2 dari lamina basal 

sel Schwann menjelaskan tropisme penyakit 

ini pada saraf tepi.4,6

Diagnosis Kusta

Diagnosis kusta ditegakkan terutama 

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 

Kelainan kulit pada penyakit kusta secara 

klinis menyerupai banyak penyakit kulit lain.8

Bahkan ada istilah yang menyebutkan 

penyakit kusta sebagai peniru terhebat (the 

great imitator) dalam penyakit kulit, sehingga 

kadang sulit untuk mendiagnosis hanya 

berdasarkan gejala dan tanda klinis. 

Pemeriksaan lain yang digunakan sebagai 

pemeriksaan penunjang adalah secara 

mikroskopis, histopatologis, serologis, dan 

molekular.1 Menurut 8th WHO Expert 

Committee on Leprosy tahun 2012, diagnosis 

kusta ditegakkan bila ditemukan salah satu 

atau lebih tanda kardinal kusta.9 Tanda 

kardinal tersebut adalah :

1. Kelainan (lesi) kulit berbentuk bercak 

putih (hipopigmentasi) atau kemerahan 

(eritema) yang mati rasa,

2. Penebalan atau pembesaran saraf tepi 

yang disertai dengan hilangnya 

sensibilitas pada kulit dan/atau kelemahan 

otot yang dipersarafi saraf tersebut,

3. Ditemukannya BTA pada pemeriksaan 

mikroskopis dari kerokan jaringan kulit 

(slit skin smear).

Pemeriksaan Bakteriologis

 Pemeriksaan bakteriologis atau 

mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan 

tahan asam seperti Ziehl-Neelsen untuk 

mencari basil tahan asam. Pemeriksaan 

dilakukan dengan mengambil sampel dari 

kerokan jaringan kulit dengan cara melakukan 

irisan dan kerokan kecil pada kulit. 

Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada 

kasus yang meragukan untuk memercepat 

penegakkan diagnosis.8

Idealnya, dilakukan 

pengambilan sampel dari setidaknya enam 

lokasi, yaitu cuping telinga kanan dan kiri 

serta 2-4 lesi kulit lain yang aktif. Bila 

ditemukan basil yang solid, menandakan 

adanya mikroorganisme yang hidup dan dapat 

dengan mudah terlihat pada pasien baru yang 

belum diobati, atau pasien relaps. Pada 

pemeriksaan mikroskopik dinilai indeks bakterial (IB) dan indeks morfologi (IM). 

Indeks bakterial merupakan ukuran 

semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan 

apus, ini berguna untuk membantu 

menentukan tipe kusta dan memantau hasil 

pengobatan. Penilaian IB dilakukan menurut 

skala logaritma Ridley, yang dapat dilihat pada 

Tabel 1. Sedangkan IM merupakan persentase 

basil kusta, bentuk utuh (solid) terhadap 

seluruh BTA. Indeks morfologi berguna untuk 

mengetahui daya penularan kuman, menilai 

hasil pengobatan dan membantu menentukan 

resistensi terhadap obat.8

Pemeriksaan ini dilakukan dengan 

mengambil irisan lesi kulit atau saraf, lalu 

dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin 

(H&E) atau Faraco-Fite untuk mencari 

BTA.10 Fragmen lesi kulit yang diambil adalah 

bagian yang paling aktif (merah, terdapat 

infiltrat dan/atau pembesaran). Karakteristik 

histopatologis ditentukan berdasarkan kriteria 

dari Ridley dan Jopling. Walaupun 

pemeriksaan histopatologis ini spesifisitasnya 

tinggi, tetapi sulit membedakan kasus relaps 

dengan kasus reaksi pada pasien kusta

pausibasilar (PB) atau membedakan kusta dari 

penyakit granulomatosa lainnya seperti 

sarkoidosis, tuberkulosis, dan penyakit 

granulomatosa yang noninfeksi.11

Pemeriksaan Serologis

 Pemeriksaan lain yang dapat digunakan 

adalah pemeriksaan serologis. Pemeriksaan 

yang ideal masih terus diteliti sampai 

sekarang. Yang banyak dipelajari adalah 

pemeriksaan serologis untuk mendeteksi 

antibodi terhadap antigen M. leprae (PGL-1) 

dengan metode enzyme-linked immunosorbent 

assay (ELISA). Metode lain selain ELISA 

yang dapat digunakan adalah lateral flow test, 

dipstick, dan tes hemaglutinasi. Adanya 

antibodi anti PGL-1 dapat menunjukkan 

adanya bakteri, membantu menentukan tipe 

kusta dan memantau hasil terapi.10

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan 

terbaik untuk mendeteksi pasien dengan 

imunitas humoral yang baik dan imunitas 

selular yang rendah seperti pada kusta

multibasilar (MB). Sebaliknya pada kusta PB 

hasil pemeriksaan serologis sering negatif

karena imunitas humoralnya rendah.

7

Antibodi anti-PGL-1 yang positif dapat 

digunakan sebagai surrogate marker tingginya 

jumlah basil seperti pada kusta MB, dan untuk 

menentukan perlu tidaknya diberikan terapi 

yang lebih lama.7 Penurunan antibodi anti￾PGL-1 akan disertai dengan antigen clearance.

Antibodi anti-PGL-1 yang persisten dapat 

menjadi petanda resistensi terhadap terapi. 

Sebaliknya jika antibodi anti-PGL-1 

meningkat pada pasien yang sudah diterapi,

menunjukkan terjadinya kasus relaps. 

Pemeriksaan serologis lainnya yang banyak

dipelajari adalah pengukuran produksi interferon gamma dan indikator tidak langsung 

lainnya dari imunitas selular.7

Pemeriksaan Molekular

 Sejak berkembang metode molekular 

berbasis amplifikasi asam nukleat, yaitu PCR 

tahun 1989, pemeriksaan ini sudah digunakan 

untuk mendeteksi M. leprae,

10 yang sangat 

sensitif dan spesifik. Metode molekular ini 

dapat digunakan untuk mendeteksi, 

menghitung jumlah basil, dan menentukan 

viabilitas M. leprae. Selain itu, dapat juga 

digunakan untuk mengkonfirmasi kasus PB, 

mendeteksi infeksi subklinis yang terjadi pada 

seseorang yang kontak dengan penderita kusta, 

membantu memantau pengobatan, serta 

mengetahui resistensi obat.10

 Dasar dari pemeriksaan ini adalah 

amplifikasi sekuens tertentu dari genom M. 

leprae dan mengidentifikasi fragmen 

deoxyribonucleid acid (DNA) atau ribonucleic 

acid (RNA) yang diamplifikasi. Sampel dapat 

diambil dari berbagai tempat misalnya kerokan 

jaringan kulit, biopsi kulit, saliva, swab atau 

biopsi mukosa mulut, swab atau biopsi 

fragmen konka hidung, urin, saraf, darah, 

sputum, nodus limfatikus, dan rambut.10,12,13

Berbagai metode PCR yang bisa dilakukan 

adalah PCR konvensional, nested-PCR, 

reverse transcriptase-PCR (RT-PCR), dan 

real-time PCR.10

PCR Konvensional

 Teknik PCR adalah teknik molekular yang 

menggunakan prosedur enzimatik untuk 

mengamplifikasi sekuens asam nuklear 

spesifik secara in vitro, tanpa menggunakan 

organisme hidup.14 Teknik ini pertama kali 

dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 

1983. Metode ini memungkinkan sejumlah 

kecil molekul DNA untuk diamplifikasi 

beberapa kali secara eksponensial dan banyak 

digunakan dalam penelitian di bidang medis,

di antaranya dalam hal diagnosis penyakit 

infeksi.14 Metode PCR memungkinkan 

identifikasi pada mikroorganisme yang tidak 

dapat dibiakkan secara in vitro, atau 

mikroorganisme yang tumbuh lambat seperti 

Mycobacterium. Berbeda dengan organisme 

yang hidup, proses PCR dapat mengopi 

fragmen DNA yang pendek sampai 10 kb.14

Nested-PCR

 Nested-PCR berguna untuk mengurangi 

kontaminasi produk karena amplifikasi dari 

ikatan primer yang tidak diharapkan. Protokol 

PCR dilakukan dua tahap amplifikasi DNA. 

Dua set primer digunakan pada dua proses 

PCR secara berurutan. Sejumlah kecil produk 

PCR tahap pertama digunakan pada proses 

PCR tahap kedua dengan menggunakan reagen 

baru. Amplifikasi pada tahap kedua 

diharapkan dapat mengatasi uji PCR yang 

tidak optimal pada tahap pertama, sehingga 

dapat meningkatkan efisiensi dan kemampuan 

deteksi dari PCR. Nested-PCR mampu 

membedakan organisme sampai tingkat 

serovar.15 Kelebihan dari metode ini adalah 

reamplifikasi produk nonspesifik dari tahap 

pertama dapat diminimalisasi karena 

penggunaan primer yang berbeda pada tahap 

kedua. Penggunaan nested-PCR masih terbatas 

pada laboratorium yang sudah berpengalaman 

dan khusus. 

RT-PCR

 Metode RT-PCR merupakan metode PCR 

yang digunakan untuk mengamplifikasi, 

isolasi, dan identifikasi fragmen RNA. Tahap 

ini diawali dengan proses transkripsi oleh 

enzim reverse transcriptase yang mengubah 

RNA menjadi cDNA. Metode RT-PCR 

dikenal sebagai metode yang cepat dan sensitif 

untuk mendeteksi RNA dari M. leprae. 

Deteksi RNA relatif sulit karena RNA bersifat 

labil, karena turnover rate dari RNA tinggi.16

Pemeriksaan berbasis RNA ini 

menggambarkan asam nukleat hanya dari 

organisme yang hidup.

Real-time PCR

 Real-time PCR merupakan modifikasi dari 

PCR. Prinsip metode real-time PCR adalah 

mengamplifikasi DNA spesifik menggunakan 

sepasang primer spesifik. Real-time PCR 

mengamplifikasi sekuens target dengan 

menggunakan teknologi fluoresensi.17 Dalam 

mendeteksi M. leprae, metode real-time PCR 

dinilai juga memiliki sensitivitas yang lebih 

tinggi dibanding PCR konvensional (91,3% 

berbanding 82.6%) dengan spesifisitas yang 

sama (100%).18 Ambang batas DNA yang 

dapat dideteksi dengan real-time PCR sampai 

konsentrasi 8 femtogram (fg) atau setara 

dengan 240 bakteri.19 Angka ini lebih baik dibandingkan dengan PCR konvensional 

dengan sensitivitas hanya sampai 100 fg.18

Sensitivitas secara klinis dari real-time PCR 

pada pasien kusta PB juga lebih baik 

dibandingkan dengan PCR konvensional 

(79.2% berbanding 62.5%)18 dan pada sampel 

jaringan pasien kusta dengan hasil 

pemeriksaan mikroskopik yang negatif (100% 

berbanding 94.4%).20 Dibandingkan dengan 

pemeriksaan mikroskopis, metode real-time

PCR memiliki sensitivitas minimal 25 kali 

lebih baik.21 Walaupun tingkat kepositifan 

hasil real-time PCR untuk kusta PB lebih 

rendah dari tipe MB, tetapi karena jumlah basil 

yang ada juga lebih rendah, kemampuan real￾time PCR untuk deteksi DNA M. leprae pada 

sampel yang negatif secara bakteriologis dapat 

membantu membedakan kusta PB dari 

penyakit lain dengan gejala yang sama. Oleh 

karena itu, uji ini dapat digunakan untuk 

memastikan diagnosis dengan benar terutama 

pada kasus dengan gejala klinis yang tidak 

khas atau hasil pemeriksaan penunjang lain 

meragukan, dan juga dapat menjadi tolak ukur 

manajemen terapi yang tepat. 

 Kusta merupakan penyakit yang dikenal 

sebagai the great imitator. Gejala dan tanda 

klinis yang ada seringkali menyerupai 

penyakit kronis kulit lainnya. Diperlukan 

pemeriksaan penunjang untuk membantu 

menegakkan diagnosis pada kasus dengan 

gejala dan tanda klinis yang tidak jelas, seperti 

pemeriksaan mikroskopis, histopatologis, 

serologis, dan molekular. Pemeriksaan 

molekular dengan teknik real-time PCR 

mampu mendeteksi DNA M. leprae pada 

sampel yang negatif secara bakteriologis 

karena bersifat sensitif dan spesifik. Teknik ini 

juga dapat digunakan untuk memastikan 

diagnosis dengan benar pada kasus kusta 

dengan gejala klinis yang tidak khas atau hasil 

pemeriksaan penunjang lain meragukan.


Kusta merupakan penyakit menular yang masih ditakuti oleh masyarakat. Kusta dipercaya sebagai penyakit kutukan dari 

Tuhan, penyakit keturunan atau karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan, dianggap memalukan dan menimbulkan aib bagi keluarga. 

Perlakuan diskriminasi terhadap pasien kusta tidak terlepas dari masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kusta, sehingga perlu 

diketahui dan ditingkatkan. Peningkatan pengetahuan dengan penyebaran informasi seperti kegiatan penyuluhan tentang kusta dan 

komplikasinya merupakan salah satu upaya penting yang harus dapat dilakukan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat 

terhadap pasien kusta. Studi ini adalah pengabdian pada masyarakat (PPM) berupa penyuluhan di SMA Negeri Jatinangor, Kecamatan 

Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai tingkat pengetahuan siswa mengenai penyakit kusta dan 

komplikasinya sebelum dan setelah penyuluhan. Peserta penyuluhan yaitu siswa dengan total peserta 50 orang. Pengumpulan data 

dilakukan dengan pemberian kuesioner sebelum dan setelah penyuluhan. Setiap lembar kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan, yang 

meliputi etiologi, epidemiologi, penularan, tanda dan gejala, pengobatan, komplikasi, dan pencegahan kusta. Dari hasil kuesioner sebelum 

penyuluhan diketahui bahwa tingkat pengetahuan seluruh siswa SMA tentang kusta dan komplikasinya masih rendah. Pemberian 

materi penyuluhan diketahui meningkatkan pengetahuan siswa. Dari hasil kuesioner setelah penyuluhan diketahui bahwa 92% peserta 

penyuluhan memiliki pengetahuan tentang penyakit kusta yang tinggi dan hanya 8% peserta dengan tingkat pengetahuan yang rendah. 

Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) antara peningkatan pengetahuan sebelum dan setelah penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit 

kusta dan komplikasinya pada keluarga dan masyarakat oleh siswa SMA diharapkan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap 

pasien kusta.Kusta merupakan merupakan penyakit infeksi 

granulomatosa kronik yang disebabkan bakteri obligat 

intraseluler Mycobacterium leprae (M. leprae).

1,2 Penyakit 

ini berasal dari bahasa Latin “lepros” yang berarti skuama.

Kusta berasal dari India, 600 tahun sebelum masehi (SM).2

Penyakit ini ditemukan di Amerika pada tahun 1866, dan 

diduga dibawa oleh imigran dari Eropa.2 Pada tahun 1873, 

Armauer G. Hansen di Norwegia berhasil mengidentifikasi 

organisme penyebab kusta,3 sehingga penyakit ini disebut 

juga sebagai Hansen’s disease.4

Berdasarkan data World Health Organization

(WHO) tahun 2018 dilaporkan jumlah kasus baru kusta di 

dunia sebanyak 210.671 kasus, dengan angka penemuan 

kasus baru sebesar 2,77 per 100.000 penduduk.5 Indonesia 

menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai negara 

dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India dan 

Brazil.6

 Jumlah kasus baru kusta di Indonesia yang 

dilaporkan pada tahun 2017 sebesar 10.477 kasus. Dinas 

Kesehatan Provinsi Jawa Barat melaporkan kasus baru 

kusta di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2017 sebanyak 

1.716 kasus.7 Daerah endemis kusta di Jawa Barat antara 

lain yaitu Indramayu, Bekasi, Karawang, Cirebon, dan 

Subang. Sumedang juga merupakan salah satu daerah 

endemis kusta dengan angka prevalensi kasus kusta pada 

tahun 2017 yaitu <0,2/10.000 penduduk.8

Infeksi ini secara primer menyerang saraf perifer 

dan kulit,1

 secara sekunder menyerang organ lain seperti 

mata, mukosa saluran pernapasan atas, otot, sendi,2

tulang, kelenjar getah bening,1

 dan testis.2 Penyakit kusta 

ini ditularkan melalui saluran pernapasan bagian atas


dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Sebagian besar 

(95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil 

(5%) yang tertular kusta. Dari 5% yang tertular tersebut, 

sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang 

menjadi sakit.9

Tanda kardinal penyakit kusta yaitu terdapat bercak 

putih atau merah yang mati rasa, penebalan saraf tepi 

yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya 

basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit. 

Salah satu komplikasi penyakit ini adalah kecacatan yang 

disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama 

kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae dan 

kecacatan akibat adanya kerusakan saraf.9,10

Kusta adalah salah satu penyakit menular yang 

masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat 

dan menimbulkan permasalahan yang komplek. Masalah 

tersebut tidak hanya dari segi medis tetapi meluas 

sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan, 

dan ketahanan nasional.9

 Pada umumnya penyakit ini 

terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai 

akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam 

memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang 

kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi 

pada masyarakat.9,10

Penyakit ini masih merupakan penyakit yang 

ditakuti oleh masyarakat, bahkan oleh sebagian petugas 

kesehatan.9

 Selama ini di masyarakat berkembang 

stigma bahwa kusta merupakan penyakit kutukan Tuhan, 

penyakit keturunan atau karena ilmu gaib yang sulit 

disembuhkan, dianggap memalukan dan menimbulkan 

aib bagi keluarga. Dampaknya masyarakat cenderung 

bersikap negatif terhadap pasien kusta, seperti menolak, 

menjauhi, memandang rendah dan mencela.11,12 Stigma 

negatif tersebut mencerminkan tingkat pengetahuan 

masyarakat tentang kusta masih rendah. Stigma tersebut 

akan tetap melekat meskipun pasien secara medis telah 

dinyatakan sembuh.13

Perlakuan diskriminasi pada pasien kusta tidak 

terlepas dari masih rendahnya pengetahuan masyarakat 

tentang kusta. Tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat 

diketahui berkorelasi dengan dukungan terhadap pasien 

kusta.12,14 Bentuk dukungan masyarakat antara lain 

diwujudkan dengan tidak menjauhi, mencela, mengisolasi, 

maupun melakukan tindakan diskriminatif lainnya. 

Dukungan masyarakat dibutuhkan baik untuk pasien kusta 

maupun mantan penyandang kusta. Hal ini dimaksudkan 

untuk menghilangkan stigma negatif tentang kusta.13

Pengetahuan merupakan informasi yang diketahui 

atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan muncul ketika 

seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali 

benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau 

dirasakan sebelumnya.15 Faktor-faktor yang mempengaruhi 

tingkat pengetahuan yaitu pendidikan, pekerjaan, sosial, 

lingkungan, keyakinan, usia, sosial, budaya, dan ekonomi.16 

Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka 

semakin tinggi pula kemampuan individu tersebut di dalam 

melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. 

Penilaian tersebut inilah yang akan menjadi landasan 

seseorang untuk bertindak.15 Keterbatasan pengetahuan 

tentang kusta dapat menjadi pemicu sikap negatif dan 

berakhir dengan tindakan diskriminasi pada penyandang 

kusta. Pengertian diskriminasi adalah setiap pembatasan, 

pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tidak 

langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar 

agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, 

status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan 

politik.13

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PPM) 

ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 

Jatinangor, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. 

Lokasi ini dipilih karena berada di sekitar Kampus 

Universitas Padjadjaran Jatinangor dan di wilayah ini 

belum pernah dilakukan upaya peningkatan pengetahuan 

mengenai kusta dan komplikasinya pada siswa sekolah. 

Siswa SMA diharapkan dapat menjadi ujung tombak 

dalam penyebaran informasi penyuluhan pada keluarga 

dan masyarakat, sehingga dapat mengurangi stigma dan 

diskriminasi masyarakat terhadap pasien kusta. 

Penyuluhan ini bertujuan untuk menilai tingkat 

pengetahuan siswa tentang kusta dan komplikasinya. Hasil 

penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran 

mengenai pengetahuan masyarakat tentang penyakit 

kusta, serta dapat dimanfaatkan oleh instasi terkait dalam 

perencanaan dan pengambilan kebijakan tentang program 

eliminasi kusta.

METODE

Metode yang digunakan pada pengabdian masya￾rakat ini berupa penyuluhan mengenai kusta dan 

komplikasinya pada siswa SMA. Penyampaian materi 

dilakukan dengan pemutaran video, ceramah, dan diskusi. 

Jumlah peserta penyuluhan sebanyak 50 orang siswa yang 

dipilih secara acak. Pengambilan data dilakukan pada 

saat sebelum dan sesudah penyuluhan melalui kuesioner 

tentang pengetahuan peserta penyuluhan terhadap kusta 

dan komplikasinya. Kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan, 

yang meliputi etiologi, epidemiologi, penularan, tanda dan 

gejala, pengobatan, komplikasi, dan pencegahan kusta. 

Analisis statistik pada penelitian ini dilakukan dengan 

uji Wilcoxon. Seluruh data bersifat rahasia dan hanya 

digunakan untuk keperluan penelitian ini.

Kuesioner penyuluhan menggunakan modifikasi 

kuesioner Tesema dkk14 yang diterjemahkan dalam bahasa 

Indonesia dan ditambahkan tingkat pengetahuan mengenai 

daerah endemis kusta di Jawa Barat dan komplikasi kusta 

pada organ reproduksi laki-laki. Menurut Tesema dkk., 

tingkat pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu tingkat 

pengetahuan yang tinggi bila peserta penelitian dapat 

menjawab pertanyaan dengan benar ≥75% dan rendah bila 

peserta hanya menjawab pertanyaan yang benar <75%. 

Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik 

Universitas Padjadjaran (Persetujuan etik No. 1347/UN6.KEP/EC/2018). Keikutsertaan peserta bersifat sukarela dan 

peserta dapat mengundurkan diri setiap saat dari penelitian 

ini. Setiap informasi dan data penelitian akan diperlakukan 

secara rahasia, sehingga tidak memungkinkan untuk 

diketahui orang lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan PPM dilaksanakan pada hari Jumat, pada 

pukul 09.00-11.30 di SMA Negeri Jatinangor, Kecamatan 

Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Peserta penyuluhan 

terdiri atas 28 siswa kelas 10 dan 22 siswa kelas 11. 

Berdasarkan jenis kelamin, peserta penyuluhan tersebut 

terdiri dari 40 perempuan dan 10 laki-laki. Kegiatan 

penyuluhan bertempat di ruang kelas SMA Negeri 

Jatinangor. Penyuluhan dimulai dengan pengisian daftar 

hadir, pengisian kuesioner sebelum penyuluhan, kemudian 

pembukaan oleh Kepala Sekolah dan perwakilan 

dosen pembimbing lapangan (DPL). Kegiatan tersebut 

berlangsung lancar, tepat waktu, dan terlihat antusiasme 

dari peserta penyuluhan pada saat pemberian materi 

penyuluhan serta diskusi dan tanya jawab. Penyuluhan 

ditutup dengan pengisian kuesioner setelah penyuluhan 

dan foto bersama panitia dengan peserta penyuluhan.

Diketahui bahwa tingkat pengetahuan seluruh siswa 

tentang kusta dan komplikasinya sebelum dilakukan 

penyuluhan masih rendah dengan nilai rerata 42,6 ± 

4,04. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang 

dilakukan oleh Tesema dkk.14 Pada penelitian tersebut 

diketahui bahwa 80,7% tingkat pengetahuan masyarakat 

tentang kusta masih rendah. Tingkat pengetahuan 

masyarakat yang rendah dipengaruhi oleh tiga faktor utama 

yaitu tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya upaya 

penyebaran informasi tentang kusta, dan kepercayaan pada 

masyarakat yang bersifat turun temurun.14 Hal tersebut 

menjadi penghambat dalam program pengendalian 

penyakit kusta.9 Pemberian materi penyuluhan diketahui 

meningkatkan pengetahuan siswa. Dari hasil kuesioner 

setelah penyuluhan diketahui bahwa nilai rerata peserta 

naik menjadi 82 ± 9,26. Sekitar 92% peserta penyuluhan 

tersebut memiliki pengetahuan tentang penyakit kusta 

yang tinggi dan hanya 8% peserta dengan tingkat 

pengetahuan yang rendah. Terdapat perbedaan bermakna 

(p<0,05) antara peningkatan pengetahuan sebelum dan 

setelah penyuluhan. Penelitian serupa dilakukan oleh 

Subhan dkk.17 mengenai efektivitas promosi kesehatan 

tentang penyakit kusta dengan metode penyuluhan pada 

siswa SMA di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan 

Barat pada tahun 2015. Pada penelitian tersebut dilakukan 

pemberian kuesioner sebelum dan setelah penyuluhan. 

Tingkat pengetahuan yang baik diketahui hanya terdapat 

pada 6,25% peserta sebelum dilakukan penyuluhan dan 

persentase tersebut meningkat menjadi 92,5% setelah 

penyuluhan. 

Sebelum dilakukan penyuluhan, sebanyak 84% 

peserta penelitian sudah memiliki pengetahuan yang baik 

mengenai penyebab kusta, sedangkan setelah penyuluhan, 

persentase peserta yang dapat menyebutkan penyebab 

penyakit kusta dengan benar, naik menjadi 88% . Hasil dari 

penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian serupa 

yang dilakukan di tempat lain. Tesema dkk.14 melaporkan 

bahwa 48,31% peserta penelitian sudah memahami bahwa 

penyakit kusta disebabkan oleh bakteri. Penelitian lain 

oleh Stephen dkk.11 di India pada tahun 2014 diketahui 

bahwa hanya 32% peserta yang mengetahui bahwa kusta 

disebabkan oleh bakteri. 

Pada penelitian ini, diketahui sebanyak 48% peserta 

penelitian sudah mengetahui daerah-daerah endemis kusta 

di Jawa Barat seperti Indramayu, Bekasi, Karawang, dan 

Subang. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa 

48% peserta sudah memahami cara penularan penyakit 

kusta yaitu melalui udara dan kontak erat dengan pasien 

kusta, sedangkan 42% peserta percaya penyakit kusta 

ditularkan melalui penggunaan barang bersama yang 

dipakai oleh pasien kusta seperti handuk atau sikat gigi, 

dan 10% peserta percaya bahwa kusta ditularkan melalui 

hubungan seksual. Sebelum dilakukan penyuluhan, 

lebih dari 50% peserta masih belum memahami cara 

penularan penyakit kusta, sedangkan setelah penyuluhan 

96% peserta sudah menjawab dengan benar. Peserta 

pada penelitian Tesema dkk. percaya bahwa kusta dapat 

menular melalui melalui kontak erat (46,62%), berenang 

(33,78%), duduk berdekatan (13,51%), hubungan seksual 

(35,47%), penggunaan barang bersama milik pasien kusta 

(46,28%), dan udara (12,84%).14 Dari hasil penelitian 

yang dilakukan oleh Singh dkk.18 di India pada tahun 2012 

diketahui bahwa peserta penelitian percaya penyakit kusta 

ditularkan melalui makanan dan minuman, penggunaan 

barang bersama atau kontak dengan keringat pasien kusta, 

gigitan nyamuk atau serangga, dan hubungan seksual 

dengan pasien kusta.

Dari hasil penelitian ini diketahui hanya 44% peserta 

penelitian yang mengetahui bahwa M. leprae menyerang 

organ kulit dan saraf serta hanya 14% peserta yang 

mengerti tanda dan gejala kusta yaitu bercak kulit yang 

mati rasa. Setelah dilakukan penyuluhan, 96% peserta 

penelitian mengetahui M. leprae menyerang organ kulit 

dan saraf dan 96% peserta sudah memahami tanda dan 

gejala kusta.. Tesema dkk.14 menyebutkan 44,59% peserta 

penelitian memahami tanda dan gejala kusta berupa 

berkurangnya fungsi sensoris pada kulit. Penelitian 

lain oleh Nissar dkk.12 melaporkan bahwa hanya 10,7% 

peserta penelitian yang mengetahui tanda dan gejala kusta 

berupa bercak putih. 

Sekitar 52% peserta penelitian sudah mengetahui 

bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan dengan berobat 

ke puskesmas, sedangkan 32% peserta percaya bahwa 

kusta dapat disembuhkan dengan pengobatan alternatif, 

dan 14% peserta percaya kusta tidak dapat disembuhkan. 

Sekitar 78% peserta sudah memahami bahwa durasi 

pengobatan kusta minimal yaitu selama enam bulan. 

Setelah dilakukan penyuluhan, 90% peserta menjawab dengan benar bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan 

di puskesmas dan 92% peserta mengetahui durasi 

pengobatan penyakit kusta. Hasil penelitian ini berbeda 

dengan penelitian Tesema dkk. Pada penelitian tersebut 

diketahui bahwa sebagian besar (92,9%) peserta sudah 

memahami bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan 

dengan menggunakan obat dari dokter, sedangkan 5,41% 

peserta percaya kusta dapat disembuhkan dengan obat 

herbal dan 1,69% peserta akan berobat ke dukun.14 Dari 

hasil penelitian Shetty dkk.19 di India pada tahun 1985 

diketahui bahwa 79% peserta penelitian percaya bahwa 

penyakit kusta harus diobati di rumah sakit. Nisar dkk.12

dalam penelitiannya melaporkan bahwa seluruh peserta 

penelitian belum mengetahui durasi pengobatan kusta.

Sebagian besar (94%) peserta sudah memahami 

komplikasi kusta yaitu kecacatan pada mata, tangan, dan 

kaki, tetapi peserta belum mengetahui bahwa kusta juga 

dapat menyebabkan kerusakan pada organ reproduksi 

laki-laki. Setelah penyuluhan, seluruh peserta dapat 

menyebutkan dengan benar komplikasi penyakit kusta 

dan 38% peserta sudah mengetahui komplikasi pada organ 

reproduksi laki-laki. Tesema dkk.14 melaporkan 69,26% 

peserta penelitian sudah mengetahui bahwa penyakit 

kusta dapat menyebabkan kecacatan. Sekitar 56% peserta 

penelitian juga sudah memahami cara pencegahan kusta 

yaitu dengan melakukan pengobatan dini secara rutin pada 

pasien kusta agar tidak terjadi penularan. 

Dampak pengetahuan yang rendah tentang kusta 

menyebabkan masyarakat memiliki sikap dan perilaku 

negatif, seperti menolak, menjauhi, memandang rendah 

dan mencela pasien kusta.11,12 Meningkatkan pengetahuan 

masyarakat tentang kusta merupakan cara yang paling 

tepat untuk menghentikan diskriminasi terhadap pasien 

kusta. Peningkatan pengetahuan melalui pemberian 

informasi seperti penyuluhan oleh tenaga kesehatan 

merupakan suatu bentuk persuasi untuk memberikan 

fakta ilmiah dan pesan, sehingga membuka peluang 

terjadinya perubahan sikap dalam masyarakat. Hal ini 

dibuktikan melalui penelitian ini yaitu penyuluhan dapat 

meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya siswa 

SMA tentang penyakit kusta dan komplikasinya, sehingga 

rasa takut terhadap pasien kusta atau leprophobia yang 

berdampak pada timbulnya perlakuan diskriminasi dalam 

masyarakat dapat dihilangkan.

Kusta6



Kusta masih ada di berbagai negara 

dan wilayah endemik termasuk India, 

Brazil dan Indonesia. Survei WHO tahun 

2016 menetapkan target eliminasi kusta 

yang tertuang dalam SDGs 2016-2020 

yaitu 1/1.000.000 populasi. Kasus kusta 

secara global tahun 2016 berjumlah 

212.000 kasus dan tahun 2017 terjadi 

penurunan sebesar 192.713 kasus 

Banyak warga   yang menderita 

penyakit kusta selama puluhan tahun, 

dimana berbagai aspek menjadi 

permasalahan termasuk pemanfaatan 

dalam akses fasilitas kesehatan, 

keterlambatan dalam diagnosis serta 

manajemen pengobatan yang belum 

optimal. Ketika pengobatan diberikan 

pada tahap awal pajanan, penyakit kusta 

segera dapat disembuhkan, namun 

terlepas dari manfaat pengobatan ini  

kusta masih menjadi salah satu penyakit 

yang membawa dampak paling ditakuti, 

disalah pahami, dan menjadi stigma di 

warga   

Dampak dari stigma ini  

menyebabkan orang–orang dengan kusta 

tidak hanya menderita secara fisik tetapi 

juga psikologis karena dikucilkan dan 

diabaikan oleh anggota keluarga dan 

warga   sekitar 

Stigma yang ditujukan kepada 

penderita kusta menyebabkan seseorang 

mengalami frustasi, bahkan upaya bunuh 

diri dari orang dengan kusta (ODK). 

warga   telah menstigmatisasi orang 

yang terkena kusta sejak zaman kuno. Hal 

itu diwujudkan dalam berbagai bentuk, 

mulai dari ciri - ciri pasien kusta dengan 

pakaian khusus atau dengan 

membunyikan lonceng ketika mendekati 

orang lain dan pemisahan secara paksa 

untuk pengemis dalam lingkungan tempat 

tinggal . Pemisahan klien 

kusta dilakukan sejak abad ke - 13 ketika 

kejadian kusta pada perang salib. Di 

samping itu pengobatan dan perawatan pasien kusta yang terpisah terjadi di 

pelayanan kesehatan. Pengobatan Dapson 

pada tahun 1940, terjadi perubahan dalam 

pemberian pelayanan kesehatan. Tahun 

1982, Organisasi Kesehatan Dunia 

(WHO) menyatakan bahwa kusta dapat 

disembuhkan, meskipun terjadi pemisahan 

layanan kesehatan dan stigma masih 

tersebar luas di seluruh warga   dunia. 

Ketika didiagnosis dengan kusta, 

klien mencoba menyembunyikan 

penyakitnya, misalnya dengan mencari 

perawatan agak jauh dari rumah dengan 

tujuan untuk menghindari persepsi 

negatif, serta tidak berkomunikasi dengan 

anggota warga  . Selain isolasi diri 

yang dilakukan oleh klien kusta, anggota 

warga   juga bersikap negatif dengan 

menghindari, memaksa pergi, 

membicarakan dan menolak untuk pergi 

bersama dengan alat transportasi umum 

Perilaku ini  selain berdampak 

negatif pada fisik, juga berdampak status 

psikologis dan sosial ekonomi orang 

dengan kusta. Dampak psikologis bagi 

klien akan menderita tekanan mental dan 

kecemasan yang mengarah pada depresi 

bahkan sampai dengan bunuh diri dan 

dampak pada status ekonomi mereka 

menurun, terjadi penolakan untuk 

menikah dan pendidikan yang tidak tuntas 

Berdasarkan dampak yang 

ditimbulkan, untuk mencegah stigma dan 

mengurangi penderitaan individu dan 

keluarga klien dengan kusta, maka 

diperlukan intervensi yang efektif. Studi 

literatur ini bertujuan untuk 

mengidentifikasi intervensi yang telah 

digunakan untuk mengurangi stigma dan 

menilai tingkat keberhasilan nya. Hasil ini 

diharapkan dapat bermanfaat bagi tenaga 

kesehatan dan profesional lainnya yang 

ingin mengembangkan intervensi untuk 

mengatasi stigma terkait penyakit kusta.

HASIL PENELITIAN 

Strategi dalam mengurangi stigma 

dijelaskan dalam lima intervensi yaitu 

integrasi layanan kusta dalam perawatan 

kesehatan secara umum, program 

komunikasi, informasi dan Edukasi, 

rehabilitasi sosial ekonomi, perubahan 

nama penyakit kusta dan konseling.

Layanan Terintegrasi dengan 

Perawatan Kusta

Pada banyak negara, layanan kusta 

telah terintegrasi ke dalam layanan 

kesehatan yang bertujuan untuk 

memberikan perawatan bagi pasien kusta 

di sekitar lingkungan tempat tinggal dan 

untuk mengurangi perbedaan antara 

penderita kusta dan penderita penyakit 

lainnya. Studi penelitian yang dilakukan 

di Maharashtra, India 

membandingkan tingkat stigma antara 

area pendekatan dengan perawatan 

terintegrasi dan perawatan yang langsung 

diberikan pada pasien kusta. 

Hasilnya ditemukan bahwa ada 

sedikit stigmatisasi diri antara pasien 

kusta dan kurangnya stigma sosial di 

warga   apabila pasien kusta 

diintegrasikan dalam layanan kesehatan. 

Bahkan pasien kusta dan keluarga mampu 

terlibat dalam pengambilan keputusan 

dengan pendekatan terpadu, sementara 

perawatan yang langsung diberikan pada 

pasien kusta, tidak ada komunikasi. 

Perawatan kusta di Negara Thailand 

diintegrasikan ke dalam sistem perawatan 

kesehatan sejak tahun 1973 sampai tahun 

1998. Namun laporan perkembangan dan 

evaluasi dalam rencana eliminasi kusta 

(1994 – 1996) tidak menyebutkan apakah 

stigma terkait kusta telah menurun, 

meskipun fakta membuktikan bahwa 

orang dengan kusta dapat hidup “normal” 

di komunitas 

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi 

(KIE)

KIE merupakan pendekatan yang 

digunakan untuk meningkatkan kesadaran 

warga   tentang kusta yang bertujuan

untuk mengurangi stigma dan untuk 

membantu menemukan kasus penularan 

kusta sebelum terjadi kecacatan . Penyuluhan di warga   

yang dilakukan di Negara Srilangka 

adalah contoh dari intervensi KIE yang 

berhasil sejak tahun 1990. Intervensi 

ini  dengan menemukan kasus orang 

dengan lesi kulit untuk segera 

didiagnosis dan mencegah sikap negatif 

warga   terhadap orang dengan kusta. 

Tenaga kesehatan dilatih untuk 

mendiagnosis kusta dan melakukan 

perawatan secara intensif 

Informasi kesehatan dilakukan 

dengan media yang berbeda, dengan 

memberitahukan bahwa penyakit kusta 

adalah penyakit normal yang dapat 

disembuhkan dan tidak menyebabkan 

kecacatan jika dilakukan perawatan secara 

dini. Konten informasi yang akan dibuat, 

terlebih dahulu dilakukan survei berbasis 

warga   tentang pengetahuan, sikap 

dan perilaku terkait kusta serta berfokus 

untuk mengekplorasi persepsi warga   

tentang kusta. Survei berbasis warga   

menjelaskan bahwa warga   

menganggap kusta adalah penyakit sangat 

menular, tidak dapat disembuhkan dan 

menakutkan karena menyebabkan ruas jari 

– jari tangan dan kaki jatuh serta lepas. 

Informasi yang didapatkan ini , 

digunakan untuk mengembangkan materi 

KIE yang dibutuhkan. Informasi dalam 

KIE yang diberikan kurang dari satu tahun 

ini  menunjukkan hasil penemuan 

kasus yang baru terdeteksi sebesar 150% 

dengan pelaporan secara dini berdasarkan 

inisiatif warga   

Informasi dalam KIE selain 

menjelaskan penyakit kusta, juga 

mempromosikan pengobatan secara dini 

untuk tujuan mengurangi stigma di Uttar 

Pradesh, Madhya Pradesh, Orissa, Bihar 

dan Benggala Barat India. Intervensi 

dalam penyebaran informasi dengan 

menggunakan televisi, radio, teater, video 

dan acara publik lainnya. Hasil dari 

intervensi menjelaskan bahwa proporsi 

orang yang mengatakan tidak akan duduk 

di sebelah pasien kusta turun dari 44% 

menjadi 27%, demikian pula proporsi 

yang tidak mau makan makanan yang 

disiapkan oleh pasien kusta dari 68% 

menjadi 50%, serta proporsi yang percaya 

bahwa kusta yang disebabkan oleh 

perbuatan dosa dalam kehidupan 

sebelumnya turun dari 37% menjadi 12% 

Penelitian yang dilakukan di 

Bangladesh membandingkan antara 

kelompok yang menerima pendidikan 

kesehatan tentang kusta dengan kelompok 

yang belum menerima pendidikan tentang 

kusta. Hasil menunjukkan bahwa sekitar 

75% tidak akan membeli barang dari 

penjaga toko yang diketahui menderita 

kusta dibandingkan dengan 25% dari 

kelompok yang telah menerima 

pendidikan kesehatan 

Terlepas dari hasil positif ini, 

kegiatan KIE tidak selalu mengubah sikap 

terhadap kusta yang diinginkan, misal 

beberapa anak menjadi kurang toleran 

terhadap kusta setelah sesi pendidikan 

kesehatan tentang kusta di sekolah di 

India Selatan. Penelitian lain 

menunjukkan bahwa peningkatan 

pengetahuan tentang kemampuan untuk 

menyembuhkan penyakit tidak mengubah 

sikap negatif terhadap penderita kusta, 

dimana ketakutan dengan penyakit kusta 

membuat sulit mendidik warga   

tentang penyakit ini. Bahkan tokoh 

warga   menyampaikan bahwa

perubahan sikap terhadap penyakit kusta 

sangat sulit dan menjadi hal tabu di 

warga   karena dianggap penyakit 

yang mengganggu kehidupan sosial 

Program Kontrol Kusta di Negara 

Thailand melakukan kampanye kesehatan 

di antaranya untuk mendukung eliminasi 

kusta yang didukung oleh pemerintah 

kerajaan. Kampanye ini  berisi 

tentang MDT dan pengobatan secara 

gratis yang diharapkan dapat mengakhiri 

ketakutan warga   terhadap kusta dan 

deteksi kasus secara dini. Kampanye 

ini  dilakukan di tingkat nasional, 

provinsi dan daerah melalui leaflet, 

televisi, poster, radio, pertunjukkan teater 

dan majalah. Pemberian honor insentif 

diberikan untuk penemuan kasus baru dan 

menyarankan penderita untuk diperiksa 

dan didiagnosis sedini mungkin. Kegiatan 

kampanye yang telah dilakukan sebanyak 

tiga kali, menunjukkan bahwa jumlah 

kasus yang terdeteksi meningkat sebesar 

20%, sementara jumlah kasus yang baru 

terdeteksi dalam kampanye berikutnya 

menurun. Kesimpulan tidak ada catatan 

apakah stigma yang melekat pada kusta 

telah berubah sebagai akibat telah 

dilaksanakan kampanye 

Rehabilitasi Sosial Ekonomi

Strategi dalam megurangi stigma 

kusta dengan fokus pada proses 

rehabilitasi pasien disabilitas yang 

melibatkan warga   dan kebijakan 

pemerintah 

mengembangkan program STEP (Stigma 

Elimination Program) yang berfokus 

perawatan diri pada klien kusta yang 

sudah sembuh atau yang masih menjalani 

perawatan yang diharapkan dapat 

mengurangi kecacatan. Program STEP 

berupa pelatihan ketrampilan pada 

penderita kusta, dan pelatihan untuk 

membantu dalam menemukan kasus kusta 

di warga   sehingga diharapkan 

pemberantasan kusta dapat dilakukan 

secara aktif. 

Program SER (social economic 

rehabilitation) yang dilaksanakan 

merupakan strategi untuk menghilangkan 

hambatan antara klien kusta dan 

warga   dengan partisipasi aktif klien 

yang berfokus pada kemampuan klien 

dengan pemberdayaan sehingga klien 

dapat membuat dan mengambil 

keputusan. Program ini dapat membuka 

peluang dan dukungan bagi penyandang 

disabilitas klien kusta dengan memberi 

bantuan berkelanjutan, perlindungan dan 

kemitraan yang efektif dengan organisasi 

lain yang berkontribusi pada kegiatan 

yang bermanfaat bagi klien kusta 

Mengubah Istilah Penyakit Kusta

Perubahan istilah penyakit kusta 

telah dilakukan di berbagai Negara, tetapi 

hal ini belum menunjukkan 

keefektifannya. Di jepang kusta 

mempunyai kesan negatif dan 

menyebabkan diskriminasi dan stigma 

sosial di warga  . Asosiasi pasien 

dengan kusta ”Zen-Ryo-Kyo” di jepang 

mengubah nama kusta menjadi penyakit 

Hansen (Hosoda, 2010). Di Negara Brazil 

pasien penyakit kusta mengalami 

penolakan dan diskriminasi di lingkungan 

tempat tinggalnya. Pada tahun 1970 

pemerintah melakukan perubahan kusta 

menjadi ”Hanseniasis”. Perubahan istilah 

Hanseniasis dapat membantu mengurangi 

stigma sehingga perawatan dan 

manajemen MDT (Multi Drug Therapy)

berhasil. Hanseniasis yang terdapat di Alkitab mengacu pada penyakit 

dermatologi yang terpisah dari kusta 

Penyuluhan

Konseling dapat membantu pasien 

untuk mengatasi permasalahan fisik dan 

psikologis yang ditimbulkan oleh karena 

penyakit kusta.

dalam studi penelitian di Nepal konseling 

kelompok untuk orang-orang yang terkena 

kusta membagi dalam grup yang terdiri 

dari 5-7 orang bertemu 2 jam selama 5 

minggu. Mereka bertemu sebagai orang 

dewasa tunggal gender atau kelompok 

anak-anak. Pasien dimasukkan setelah 

penilaian psikologis di mana mereka telah 

menunjukkan setidaknya satu berikut ini: 

pengakuan bahwa rendahnya harga diri 

mereka disebabkan oleh stigmatisasi, 

penolakan oleh keluarga, atau merasa 

sedih tetapi tidak secara klinis tertekan. 

Peserta didorong untuk membagikan 

pengalaman hidup mereka dengan anggota 

kelompok lainnya. Hal ini akan 

menumbuhkan ikatan antara anggota 

kelompok ketika mereka mendengar orang 

lain menceritakan tentang pengalaman 

menyakitkan mereka sendiri dan bisa 

saling menghibur. 

Anggota kelompok saling belajar 

untuk memaafkan orang lain yang 

melukai mereka, dan bersiap pulang untuk 

mengatasi stigmatisasi yang terdapat di 

lingkungan warga  . Konseling untuk 

pasien kusta di Thailand hanya dilakukan 

di beberapa unit kesehatan misal rawat 

jalan di Organisasi Kusta Nasional, dan di 

beberapa daerah serta unit kesehatan 

provinsi. Tidak terdapat bukti yang 

menunjukkan sejauh mana konseling 

dapat membantu mengurangi stigmatisasi 

Dampak stigma terhadap efektifitas 

program pengendalian kusta semakin 

meningkat dalam upaya untuk menangani 

stigma. Integrasi program kusta ke dalam 

sistem perawatan kesehatan merupakan 

bagian penting dalam strategi WHO untuk 

menghilangkan kusta. Strategi ini 

dianggap sebagai pendekatan untuk 

mempromosikan aksesibilitas layanan 

kusta untuk orang yang terkena dampak 

dan mengurangi stigma kusta. Namun 

tidak semua Negara menerapkan 

pelayanan terintegrasi kusta, misal tingkat 

stigma tidak disebutkan dalam laporan 

evaluasi program kusta di Thailand 

Penerapan di India, investigasi hasil 

dalam hal stigma telah dilakukan, hasilnya 

terdapat sedikit stigmatisasi diri antara 

pasien kusta dan stigma sosial yang 

berkurang di warga   dengan 

pendekatan terintegrasi daripada 

pendekatan secara langsung. Sedangkan 

dalam hal pendekatan kesehatan jiwa, 

sejauh ini tidak ada bukti mengenai efek 

integrasi terhadap pengurangan stigma 

. Namun penelitian 

Mwape di Zambia menjeaskan bahwa 

penyedia pelayanan perawatan harus 

mengintegrasikan penyakit mental (jiwa) 

ke dalam perawatan kesehatan primer 

yang secara bertahap mengubah sikap 

warga   ketika mereka melihat bahwa 

pasien – pasien jiwa dirawat dan sembuh, 

bukan untuk dihina dan diasingkan 

KIE merupakan pendekatan yang 

digunakan untuk meningkatkan kesadaran 

warga   tentang kusta yang bertujuan 

untuk menemukan kasus secara dini dan 

mendiagnosis penyakit. Penyuluhan 

kesehatan yang dilakukan di Negara 

Srilangka adalah contoh dari intervensi KIE yang berhasil. Intervensi yang 

dilakukan memperomosikan pengobatan 

MDT (Multi Drug Therapy) dan 

mengurangi stigmatisasi seperti di India 

dan Bangladesh 

Hasilnya sikap akan stigma terhadap 

orang dengan kusta menurun secara 

signifikan. Hal ini juga dilakukan di Uttar 

Pradesh, Madhya Pradesh, Orissa, Bihar 

dan Benggala Barat India. Hasil dari 

intervensi menjelaskan bahwa proporsi 

orang yang mengatakan tidak akan duduk 

di sebelah pasien kusta turun dari 44% 

menjadi 27%, demikian pula proporsi 

yang tidak mau makan makanan yang 

disiapkan oleh pasien kusta dari 68% 

menjadi 50%. Di samping itu, proporsi 

yang percaya bahwa kusta yang 

disebabkan oleh perbuatan dosa dalam 

kehidupan sebelumnya turun dari 37% 

menjadi 12%.

Penelitian yang dilakukan di 

Bangladesh membandingkan antara 

kelompok yang menerima pendidikan 

kesehatan tentang kusta dengan kelompok 

yang belum menerima pendidikan tentang 

kusta. Hasil menunjukkan bahwa sekitar 

75% tidak akan membeli barang dari 

penjaga toko yang diketahui menderita 

kusta dibandingkan dengan 25% dari 

kelompok yang telah menerima 

pendidikan kesehatan.

Namun dalam beberapa kasus, 

kegiatan KIE tidak selalu berhasil 

merubah sikap terhadap kusta yang 

diinginkan. Studi penelitian di India 

Selatan tentang pengobatan kusta tidak 

merubah sikap negative warga   

terhadap penderita kusta dikarenakan 

takut terhadap dampak kusta. Alasan sikap 

tetap tidak berubah bahwa dalam 

penelitian ini tidak mengambil 

kepercayaan yang terdapat di kelompok 

sasaran, contoh beberapa anak menjadi 

kurang toleran terhadap kusta setelah sesi 

pendidikan kesehatan tentang kusta di 

sekolah di India Selatan. Penelitian lain 

menunjukkan bahwa peningkatan 

pengetahuan tentang kemampuan untuk 

menyembuhkan penyakit tidak mengubah 

sikap negatif terhadap penderita kusta, 

dimana ketakutan dengan penyakit kusta 

membuat sulit mendidik warga   

tentang penyakit ini. Bahkan tokoh 

warga   menyampaikan bahwa 

perubahan sikap terhadap penyakit kusta 

sangat sulit dan menjadi hal tabu di 

warga   karena dianggap penyakit 

yang mengganggu kehidupan sosial. 

Pada negara Srilangka, sebelum 

melakukan kegiatan KIE, dilakukan 

survey berbasis warga   tentang 

pengetahuan, sikap dan perilaku tentang 

kusta dengan diskusi kelompok terfokus 

untuk mengeksplorasi persepsi tentang 

kusta. Informasi ini digunakan untuk 

mengembangkan program KIE yang akan 

diberikan kepada warga  . Menurut 

Dalal (2006), sikap merupakan sistem 

interelasi yang kompleks di antara tiga 

komponen seperti kepercayaan, sikap 

yang mempengaruhi, dan kecenderungan 

perilaku. Untuk memahami sikap 

warga   yang buruk, maka penting 

untuk mempertimbangkan tiga komponen 

ini , yang mana perubahan dalam satu 

komponen akan mempengaruhi sikap 

secara keseluruhan.

Faktor keberhasilan lain yang terkait 

dengan KIE adalah menggabungkan KIE 

dengan kegiatan lain. Di Srilangka, 

mereka melatih petugas kesehatan untuk 

mendiagnosis kusta dan warga   untuk 

membantu melaporkan penemuan kusta 

apabila menjumpai orang dengan lesi pada 

kulit yang mencurigakan. Petugas 

kesehatan meningkatkan pelayanan 

kesehatan dengan menjalin kerjasama dengan Rumah Sakit. Pendekatan ini  

sesuai dengan rekomendasi Bollinger 

yang mempelajari stigma terkait dengan 

HIV/AIDs. Bollinger (2002), 

menyarankan bahwa KIE harus 

dipertimbangkan sebagai satu komponen 

intervensi dalam pengurangan stigma 

untuk mengatasi permasalahan fisik yang 

ditimbulkan oleh penyakit kusta, masalah 

komunikasi interpersonal dan adanya 

keterlibatan warga  . Intervensi KIE 

juga harus disesuaikan dengan area target 

dan kelompok sasaran. Hal ini sesuai 

dengan Dijker dan Kooman (2006), yang 

berpendapat bahwa intervensi yang 

bertujuan untuk mengurangi stigma 

seharusnya disesuaikan dengan kondisi, 

tipe warga   dan individu yang terlibat 

dikarenakan menjadi faktor yang 

menentukan motivasi untuk 

mempengaruhi respon seseorang terhadap 

persepsi yang menyimpang. 

SER adalah jenis intervensi lain 

yang telah dilaksanakan untuk 

mengurangi stigma. Di Nepal dan Nigeria, 

SER (Social Economi Rehabilitation)

telah berhasil membantu orang yang 

terkena dampak kusta untuk mendapatkan 

kembali hak mereka dalam kehidupan di 

warga  . Intervensi ini menghasilkan 

perubahan sikap yang positif dalam 

komunitas dan mengurangi stigma orang 

yang terkena kusta. SER secara efektif 

juga dapat mengubah sikap warga   

dan mengurangi stigma yang terkait 

dengan kondisi kesehatan lainnya seperti 

orang yang menderita kecacatan. Sikap 

terhadap orang dengan kecacatan fisik 

berubah karena perubahan sosial yang 

menciptakan hubungan yang harmonis 

dengan menunjukkan sikap saling 

membantu atau support di antara individu 

yang sebelumnya dipandang remeh oleh 

warga  . 

Mengubah istilah nama penyakit dan 

konseling adalah strategi lain yang 

bertujuan untuk mengurangi stigma. 

Sampai dengan saat ini belum ada laporan 

terkait efektifitas strategi ini .