Kusta atau Morbus Hansen (MH), adalah infeksi kronis dari Mycobacterium lepraeyang
sebagian besar mempengaruhi kulit dan system saraf, Mycrobacterium.leprae berbentuk basil dengan
ukuran 3-8 Um x 0,5; tahan asam dan alcohol serta gram positif beberapa faktor yang mempengaruhi
M. leprae antara lain: lama kontak, keeratan, status gizi , status imun, dan lingkungan Untuk
menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu di lakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
khusus (sensibilitas dan saraf) dan pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA)
menggunakan 3 macam metode pewarnaan yaitu pewarnaan Tam Thian Hok, pewarnaan Zeihl
Neelsen, pewarnaan Flourokrom. Tujuan: untuk dapat mengetahui dan melakukan pemeriksaan
bakteriologi pada pasien dengan diagnosa klinik Morbus Hansen. Metode Penelitian: penelitian
merupakan penelitian deskriptif yang di lakukan di Poli penyakit Kulit dan Kelamin BLU RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou. Pengelolaan Sampel di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Sulawesi Utara. Penelitian ini di lakukan pada bulan November 2013-
Januari 2014. Hasil dari 20 Sampel penelitian ditemukan sebagian besar sampel 13 sampel pria (65%)
sedangkan 7 sampel wanita (35%), dari 20 sampel yang di periksa di temukan jumlah pasien positif 11
sampel (55%) dan 9 sampel negatif (45%), jadi dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pria lebih
banyak di bandingkan Wanita, dari 20 sampel yang di periksa ditemukan 11 sampel menunjukan hasil
positif dan 9 sampel negatif.Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh kuman Mycobaceterium
leprae yang pertama kali menyerangsusunan
syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit,mukosa (mulut), saluran pernapasan
bagian atas, system retikulo endotelial,
mata, otot, tulang dan testis.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) yang di terima dari bebearapa
Negara melaporkan bahwa dari 105 negara
dan wilayah, prevalensi kusta secara global
pada awal tahun 2012 kasus yang terdafatar
mencapai 181.941 kasus. Sedangkan jumlah
kasus yang terdeteksi selama 2011 adalah
219.075 dibandingkan dengan 228.474
kasus pada tahun 2010. Daerah endemisitas
tinggi masih tetap berada di beberapa daerah
yaitu di Brazil, Indonesia, Filipina, Republik
Demokratik Kongo, India, Madagaskar,
Mozambik, Nepal, dan Republik Tanzania.
1
Menurut Menkes, Sejak tahun 2000.
Program pengendalian penyakit kusta Nasional melaporkan 17,000-18,000 kasus baru
setiap tahun dan belum ada kecenderungan
menurun.Proporsi kasus baru kusta MB
(Multi Basiler/kuman banyak). Indonesia
masih merupakan negara ketiga di dunia dan
kedua di Asia Tenggara sebagai negara
dengan kasus baru kusta paling banyak.
2
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Utara mencatat sepanajang tahun2012 ada
400-an penderita kusta yang tersebar di 15
kabupaten/kota. Kota Bitung adalah daerah
dengan penderita kusta terbanyak yaitu sekitar 80-an orang. Kemudian disusul Manado
dan Bolaang Mongondow. Kusta yang
ditemukan Tahun 2012 sebanyak 425 kasus,
yang berobat sampai dengan sekarang 494
orang dengan jenis kusta yang paling banyak
adalah tipe basah dengan jumlah 373 kasus.
3
M. Lepra yang solid atau utuh dianggap
kuman yang hidup, sedangkan yang
fragmented atau nonsolid dianggap kuman
yang mati M. Leprae hidup di luar tubuh
dapat hidup 2-9 hari.
4
Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA)
menggunakan 3 macam metode pewarnaan
yaitu:Pewarnaan Tan Thiam Hok,
Pewarnaan Zeihl Neelsen, Pewarnaan
Flourokrom. Pada pemeriksaan dengan
mengguanakan metode fluorokrom pada
pemeriksaan di bawah mikroskop tidak
memerlukan pembesaran 1000x hal ini
sanggat bermanfaat pada laboratorium
dengan jumlah sampel yang banyak.
Penggunaan pewarnaan ini di laboratorium
Indonesia tidak lah mudah karena memiliki
biaya yang tinggi untuk penyediaan
mikroskop fluoresens, sehingga DOTS
(Direct Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy) yang di rekomendasikan
WHO dan telah di lakukan di Indonesia,
selain adanya gejala khas di gunakan cara
pewarnaan BTA Ziehl Neelsen untuk
penentuan di mulainya pengobatan.
5
Kusta jika tidak ditanggani akan
menyebabkan perubahan fisik, social, dan
psikologis yang berupa ketidak mampuan
dan keterbatasan. Keadaan ini secara
epidemiologis terjadi peningkatan prevalensi kusta dari tahun ke tahun.Sehubung
dengan hal tersebut penulis tertarik untuk
meneliti mengenai Gambaran Pemeriksaan
Mikroskopik Basil Tahan Asam pada pasien
yang didiagnosa klinik Morbus Hansen di
Manado.
Pasien Lepra atau Kusta yang
didiagnosa klinik yang datang berobat di
Poli Penyakit Kulit dan Kelamin Blu Prof
Dr R D Kandou Manado sebanyak 20
sampel kemudian di lakukan pengambilan
sampel dari serum cuping telingga.
Berdasrkan Jenis kelamin didapatkan hasil
13 orang (65%) pria dan 7 orang (35%)
wanita. Penelitian ini menunjukan 11
sampel positif (55%) dan 9 sampel negatif
(45%)Penelitian ini di lakuakan pada pasien
dengan diagnosa klinik lepra sebanyak 20
sampel, yang di lakukan pada serum cuping
telinga penderita Morbus Hansen di Poli
Penyakit Kulit dan Kelamin di BLU RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou, periode November
2013 sampai Januari 2014 didapatkan 20
sampel penelitian. Adapun pemeriksaan
yang di lakukan yaitu pemeriksaan dan
pewarnaan Basil Tahan asam (BTA).
Dari Tabel 1 diistribusi sampel menurut
jenis kelamin, penderita Morbus Hansen
terbanyak pada penelitian adalah Laki-Laki
yaitu 13sampel atau 65% dari total sampel.
Sedangkan sampel Perempuan 7 sampel
atau 35% dari total Sampel. Hasil ini sesuai
dengan kepustakaan yang menyebutkan
bahwa penderita kusta lebih banyak terjadi
pada laki-laki, yaitu sebanyak 70,5%,
sedangkan pada perempuan terdapat 29,5%
yang dilakukan di Kecamatan Sarang
Kabupaten Rembang. Hal ini bukan
disebabkan lamanya masa sakit tapi
perbedaan antara angka insidensi.
7
Keadaan tersebut kemungkinan disebabkan karena laki-laki cenderung lebih
sering beraktivitas di luar rumah sehingga
sering terpapar dengan penderita yang
menjadi sumber infeksi sehingga risiko tertular kusta lebih besar dari pada laki-laki.
Hasil
penelitian yang telah di lakukan ini juga di
dukung oleh kepustakaan lain yang
dilakukan di Divisi Kusta URJ Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Surabaya Periode 2004-2006 berdasarkan
jenis kelamin, jumlah total penderita kusta
baru pada laki-laki sebanyak 652 orang
(69,2%). Jumlah ini juga mengalami sedikit
peningkatan dibandingkan tahun 2001-2003
yakni sebanyak 605 orang.Jumlah penderita
kusta yang berjenis kelamin laki-laki pada
penelitian ini hampir dua kali lipat lebih
banyak daripada penderita kusta yang
berjenis kelamin wanita yaitu sebanyak 299
orang. Perbandingan itu sesuai dengan rasio
prevalensi penderita kusta laki-laki dibandingkan wanita pada penelitian di negaranegara endemik kusta yaitu kurang lebih 2:1.
Hasil ini juga di dukung oleh
kepustakaan yang menyebutkan bahwa pada
pasien lepra dewasa umumnya jumlah
pasien laki-laki lebih banyak daripada
wanita, dengan rasio 2:1.Distribusi tersebut kemungkinan di pengaruhi oleh faktor
lingkungan atau biologi. Pola hidup laki-laki
menyebabkan mereka memiliki risiko lebih
tinggi untuk terpajan penyakit lepra.1
Pada pemeriksaan yang dilakukan
terhadap 20 sampel yang di teliti, di temukan bahwa 11 sampel pasien dengan
diagnosa klinik lepra menunjukan hasil yang
positif dan 9 sampel menunjukan hasil yang
Negaitif. Dari 20 sampel yang di periksa di
laborratorium dengan diagnosa klinik Lepra
memiliki hasil yang kemungkinan berbeda
dengan cara pemeriksaan secara laboratorium, hasil negatif pada pemeriksaan
mikroskopik mungkin saja dapt terjadi
karena kesalahan pada saat pengambilan
sampel dan pewarnaan. hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa
angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium yang menyatakan persentase kesalahan pembacaan slide/sediaan
yang di lakukan oleh laboratorium rujukan
lain. Angka kesalahan laboratorium pemeriksaan pertama. Selain angka kesalahan
laboratorium yang terjadi, kesalahan juga
dapat berupa tidak memadainya kualitas
sediaan, yaitu terlalu tebal atau tipisnya
sediaan, pewarnaan, ukuran, kerataan,
kebersihan dan kualitas specimen.
Kusta adalah salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, terutama di
Indonesia sebagai negara dengan prevalensi tertinggi ketiga di dunia. Penyakit ini merupakan
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dengan gejala dan tanda klinis
yang menyerupai penyakit kulit lainnya, sehingga sering disebut sebagai the great imitator. Diagnosis
penyakit kusta umumnya sudah dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu dengan gejala dan tanda klinis yang meragukan misalnya
pada kasus kusta awal, diperlukan pemeriksaan laboratorium seperti mikroskopis, histopatologis,
serologis, dan molekular untuk membantu menegakkan diagnosis. Kusta merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae
yang bersifat intraselular obligat. Bakteri ini
merupakan basil tahan asam yang ditemukan
pada tahun 1873 oleh Gerhard Henrik
Armauer Hansen.1 Kusta masih menjadi
masalah kesehatan di dunia termasuk di
Indonesia dengan jumlah kasus baru tercatat
14.540 orang pada tahun 2014, dengan
distribusi yang lebih besar di wilayah
Indonesia Bagian Tengah dan Timur.2
Kusta dapat terjadi pada semua usia dengan
puncak insiden pada usia 10-19 tahun dan 30
tahun ke atas.3 Kusta lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 2:1.
4 Penyakit ini erat kaitannya
dengan kemiskinan, walaupun dapat terjadi
pada berbagai status sosial ekonomi. Cara
penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti, namun sebagian besar teori meyakini
melalui saluran pernapasan.
5
Oleh karena penyakit ini merupakan
penyakit kronik yang masih menjadi masalah
kesehatan dan bersifat menular, penegakan
diagnosis secara cepat dan tepat harus
dilakukan, sehingga terapi dapat diberikan
sesegera mungkin untuk memutus rantai
penularan penyakit dari orang yang satu ke
orang yang lain. Untuk itu, penulis ingin
membahas mengenai beberapa pemeriksaan
yang dapat membantu dalam penegakan
diagnosis kusta.
Etiologi Kusta
Mycobacterium leprae sebagai penyebab
kusta merupakan basil tahan asam (BTA),
gram positif, dan intraselular obligat dengan
tropisme pada makrofag dan sel Schwann.
4,6
Basil ini menyukai lokasi tubuh yang relatif
dingin dengan suhu optimal pertumbuhan
30oC. Bakteri ini tidak dapat dibiak pada
media buatan, tetapi dapat dibiakkan pada
telapak kaki tikus dan binatang armadilo.7
Genom M. leprae berukuran 3.3 mega base
pair (bp), terdiri atas 1.605 gen yang
mengkode protein. Hanya setengah dari genom
M. leprae ini yang merupakan coding
sequence. Lebih dari setengah genom sisanya
merupakan gen yang tidak fungsional dan
digantikan oleh gen yang tidak aktif atau
pseudogenes. Delesi dan rusaknya gen ini
menjadikan M. leprae hanya memiliki
beberapa enzim pernapasan. Hal inilah yang
menjelaskan mengapa M. leprae tidak bisa
dibiak pada media buatan dan bersifat obligat
intraselular.4-6 Hilangnya gen termasuk gen
yang berperan pada metabolisme energi
menyebabkan bakteri ini bergantung pada
kondisi intraselular untuk mendapatkan nutrisi
yang esensial. Hal inilah yang menjelaskan
masa belah diri M. leprae yang sangat lama
dibandingkan dengan bakteri lain, yaitu 12-14
hari.7 Karena itu masa tunas dari M. leprae
lama dengan rerata 3-10 tahun.5
Pada dinding sel Mycobacterium terdapat
komponen yang menjadi target penting pada
respons imun pejamu. Komponen protein yang
dikenal dengan PGL-1 menstimulasi respons
antibodi imunoglobulin M (IgM) pejamu.
Komponen lain yaitu protein yang berperan
dalam sintesis dinding sel dan
lipoarabinomanan berperan dalam modulasi
aktivitas makrofag.6 Adanya ikatan antara
trisakarida pada bagian ujung yang spesifik
dari PGL-1 dengan laminin-2 dari lamina basal
sel Schwann menjelaskan tropisme penyakit
ini pada saraf tepi.4,6
Diagnosis Kusta
Diagnosis kusta ditegakkan terutama
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kelainan kulit pada penyakit kusta secara
klinis menyerupai banyak penyakit kulit lain.8
Bahkan ada istilah yang menyebutkan
penyakit kusta sebagai peniru terhebat (the
great imitator) dalam penyakit kulit, sehingga
kadang sulit untuk mendiagnosis hanya
berdasarkan gejala dan tanda klinis.
Pemeriksaan lain yang digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang adalah secara
mikroskopis, histopatologis, serologis, dan
molekular.1 Menurut 8th WHO Expert
Committee on Leprosy tahun 2012, diagnosis
kusta ditegakkan bila ditemukan salah satu
atau lebih tanda kardinal kusta.9 Tanda
kardinal tersebut adalah :
1. Kelainan (lesi) kulit berbentuk bercak
putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa,
2. Penebalan atau pembesaran saraf tepi
yang disertai dengan hilangnya
sensibilitas pada kulit dan/atau kelemahan
otot yang dipersarafi saraf tersebut,
3. Ditemukannya BTA pada pemeriksaan
mikroskopis dari kerokan jaringan kulit
(slit skin smear).
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis atau
mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan
tahan asam seperti Ziehl-Neelsen untuk
mencari basil tahan asam. Pemeriksaan
dilakukan dengan mengambil sampel dari
kerokan jaringan kulit dengan cara melakukan
irisan dan kerokan kecil pada kulit.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada
kasus yang meragukan untuk memercepat
penegakkan diagnosis.8
Idealnya, dilakukan
pengambilan sampel dari setidaknya enam
lokasi, yaitu cuping telinga kanan dan kiri
serta 2-4 lesi kulit lain yang aktif. Bila
ditemukan basil yang solid, menandakan
adanya mikroorganisme yang hidup dan dapat
dengan mudah terlihat pada pasien baru yang
belum diobati, atau pasien relaps. Pada
pemeriksaan mikroskopik dinilai indeks bakterial (IB) dan indeks morfologi (IM).
Indeks bakterial merupakan ukuran
semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
apus, ini berguna untuk membantu
menentukan tipe kusta dan memantau hasil
pengobatan. Penilaian IB dilakukan menurut
skala logaritma Ridley, yang dapat dilihat pada
Tabel 1. Sedangkan IM merupakan persentase
basil kusta, bentuk utuh (solid) terhadap
seluruh BTA. Indeks morfologi berguna untuk
mengetahui daya penularan kuman, menilai
hasil pengobatan dan membantu menentukan
resistensi terhadap obat.8
Pemeriksaan ini dilakukan dengan
mengambil irisan lesi kulit atau saraf, lalu
dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin
(H&E) atau Faraco-Fite untuk mencari
BTA.10 Fragmen lesi kulit yang diambil adalah
bagian yang paling aktif (merah, terdapat
infiltrat dan/atau pembesaran). Karakteristik
histopatologis ditentukan berdasarkan kriteria
dari Ridley dan Jopling. Walaupun
pemeriksaan histopatologis ini spesifisitasnya
tinggi, tetapi sulit membedakan kasus relaps
dengan kasus reaksi pada pasien kusta
pausibasilar (PB) atau membedakan kusta dari
penyakit granulomatosa lainnya seperti
sarkoidosis, tuberkulosis, dan penyakit
granulomatosa yang noninfeksi.11
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan
adalah pemeriksaan serologis. Pemeriksaan
yang ideal masih terus diteliti sampai
sekarang. Yang banyak dipelajari adalah
pemeriksaan serologis untuk mendeteksi
antibodi terhadap antigen M. leprae (PGL-1)
dengan metode enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA). Metode lain selain ELISA
yang dapat digunakan adalah lateral flow test,
dipstick, dan tes hemaglutinasi. Adanya
antibodi anti PGL-1 dapat menunjukkan
adanya bakteri, membantu menentukan tipe
kusta dan memantau hasil terapi.10
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
terbaik untuk mendeteksi pasien dengan
imunitas humoral yang baik dan imunitas
selular yang rendah seperti pada kusta
multibasilar (MB). Sebaliknya pada kusta PB
hasil pemeriksaan serologis sering negatif
karena imunitas humoralnya rendah.
7
Antibodi anti-PGL-1 yang positif dapat
digunakan sebagai surrogate marker tingginya
jumlah basil seperti pada kusta MB, dan untuk
menentukan perlu tidaknya diberikan terapi
yang lebih lama.7 Penurunan antibodi antiPGL-1 akan disertai dengan antigen clearance.
Antibodi anti-PGL-1 yang persisten dapat
menjadi petanda resistensi terhadap terapi.
Sebaliknya jika antibodi anti-PGL-1
meningkat pada pasien yang sudah diterapi,
menunjukkan terjadinya kasus relaps.
Pemeriksaan serologis lainnya yang banyak
dipelajari adalah pengukuran produksi interferon gamma dan indikator tidak langsung
lainnya dari imunitas selular.7
Pemeriksaan Molekular
Sejak berkembang metode molekular
berbasis amplifikasi asam nukleat, yaitu PCR
tahun 1989, pemeriksaan ini sudah digunakan
untuk mendeteksi M. leprae,
10 yang sangat
sensitif dan spesifik. Metode molekular ini
dapat digunakan untuk mendeteksi,
menghitung jumlah basil, dan menentukan
viabilitas M. leprae. Selain itu, dapat juga
digunakan untuk mengkonfirmasi kasus PB,
mendeteksi infeksi subklinis yang terjadi pada
seseorang yang kontak dengan penderita kusta,
membantu memantau pengobatan, serta
mengetahui resistensi obat.10
Dasar dari pemeriksaan ini adalah
amplifikasi sekuens tertentu dari genom M.
leprae dan mengidentifikasi fragmen
deoxyribonucleid acid (DNA) atau ribonucleic
acid (RNA) yang diamplifikasi. Sampel dapat
diambil dari berbagai tempat misalnya kerokan
jaringan kulit, biopsi kulit, saliva, swab atau
biopsi mukosa mulut, swab atau biopsi
fragmen konka hidung, urin, saraf, darah,
sputum, nodus limfatikus, dan rambut.10,12,13
Berbagai metode PCR yang bisa dilakukan
adalah PCR konvensional, nested-PCR,
reverse transcriptase-PCR (RT-PCR), dan
real-time PCR.10
PCR Konvensional
Teknik PCR adalah teknik molekular yang
menggunakan prosedur enzimatik untuk
mengamplifikasi sekuens asam nuklear
spesifik secara in vitro, tanpa menggunakan
organisme hidup.14 Teknik ini pertama kali
dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun
1983. Metode ini memungkinkan sejumlah
kecil molekul DNA untuk diamplifikasi
beberapa kali secara eksponensial dan banyak
digunakan dalam penelitian di bidang medis,
di antaranya dalam hal diagnosis penyakit
infeksi.14 Metode PCR memungkinkan
identifikasi pada mikroorganisme yang tidak
dapat dibiakkan secara in vitro, atau
mikroorganisme yang tumbuh lambat seperti
Mycobacterium. Berbeda dengan organisme
yang hidup, proses PCR dapat mengopi
fragmen DNA yang pendek sampai 10 kb.14
Nested-PCR
Nested-PCR berguna untuk mengurangi
kontaminasi produk karena amplifikasi dari
ikatan primer yang tidak diharapkan. Protokol
PCR dilakukan dua tahap amplifikasi DNA.
Dua set primer digunakan pada dua proses
PCR secara berurutan. Sejumlah kecil produk
PCR tahap pertama digunakan pada proses
PCR tahap kedua dengan menggunakan reagen
baru. Amplifikasi pada tahap kedua
diharapkan dapat mengatasi uji PCR yang
tidak optimal pada tahap pertama, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi dan kemampuan
deteksi dari PCR. Nested-PCR mampu
membedakan organisme sampai tingkat
serovar.15 Kelebihan dari metode ini adalah
reamplifikasi produk nonspesifik dari tahap
pertama dapat diminimalisasi karena
penggunaan primer yang berbeda pada tahap
kedua. Penggunaan nested-PCR masih terbatas
pada laboratorium yang sudah berpengalaman
dan khusus.
RT-PCR
Metode RT-PCR merupakan metode PCR
yang digunakan untuk mengamplifikasi,
isolasi, dan identifikasi fragmen RNA. Tahap
ini diawali dengan proses transkripsi oleh
enzim reverse transcriptase yang mengubah
RNA menjadi cDNA. Metode RT-PCR
dikenal sebagai metode yang cepat dan sensitif
untuk mendeteksi RNA dari M. leprae.
Deteksi RNA relatif sulit karena RNA bersifat
labil, karena turnover rate dari RNA tinggi.16
Pemeriksaan berbasis RNA ini
menggambarkan asam nukleat hanya dari
organisme yang hidup.
Real-time PCR
Real-time PCR merupakan modifikasi dari
PCR. Prinsip metode real-time PCR adalah
mengamplifikasi DNA spesifik menggunakan
sepasang primer spesifik. Real-time PCR
mengamplifikasi sekuens target dengan
menggunakan teknologi fluoresensi.17 Dalam
mendeteksi M. leprae, metode real-time PCR
dinilai juga memiliki sensitivitas yang lebih
tinggi dibanding PCR konvensional (91,3%
berbanding 82.6%) dengan spesifisitas yang
sama (100%).18 Ambang batas DNA yang
dapat dideteksi dengan real-time PCR sampai
konsentrasi 8 femtogram (fg) atau setara
dengan 240 bakteri.19 Angka ini lebih baik dibandingkan dengan PCR konvensional
dengan sensitivitas hanya sampai 100 fg.18
Sensitivitas secara klinis dari real-time PCR
pada pasien kusta PB juga lebih baik
dibandingkan dengan PCR konvensional
(79.2% berbanding 62.5%)18 dan pada sampel
jaringan pasien kusta dengan hasil
pemeriksaan mikroskopik yang negatif (100%
berbanding 94.4%).20 Dibandingkan dengan
pemeriksaan mikroskopis, metode real-time
PCR memiliki sensitivitas minimal 25 kali
lebih baik.21 Walaupun tingkat kepositifan
hasil real-time PCR untuk kusta PB lebih
rendah dari tipe MB, tetapi karena jumlah basil
yang ada juga lebih rendah, kemampuan realtime PCR untuk deteksi DNA M. leprae pada
sampel yang negatif secara bakteriologis dapat
membantu membedakan kusta PB dari
penyakit lain dengan gejala yang sama. Oleh
karena itu, uji ini dapat digunakan untuk
memastikan diagnosis dengan benar terutama
pada kasus dengan gejala klinis yang tidak
khas atau hasil pemeriksaan penunjang lain
meragukan, dan juga dapat menjadi tolak ukur
manajemen terapi yang tepat.
Kusta merupakan penyakit yang dikenal
sebagai the great imitator. Gejala dan tanda
klinis yang ada seringkali menyerupai
penyakit kronis kulit lainnya. Diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk membantu
menegakkan diagnosis pada kasus dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak jelas, seperti
pemeriksaan mikroskopis, histopatologis,
serologis, dan molekular. Pemeriksaan
molekular dengan teknik real-time PCR
mampu mendeteksi DNA M. leprae pada
sampel yang negatif secara bakteriologis
karena bersifat sensitif dan spesifik. Teknik ini
juga dapat digunakan untuk memastikan
diagnosis dengan benar pada kasus kusta
dengan gejala klinis yang tidak khas atau hasil
pemeriksaan penunjang lain meragukan.
Kusta merupakan penyakit menular yang masih ditakuti oleh masyarakat. Kusta dipercaya sebagai penyakit kutukan dari
Tuhan, penyakit keturunan atau karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan, dianggap memalukan dan menimbulkan aib bagi keluarga.
Perlakuan diskriminasi terhadap pasien kusta tidak terlepas dari masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kusta, sehingga perlu
diketahui dan ditingkatkan. Peningkatan pengetahuan dengan penyebaran informasi seperti kegiatan penyuluhan tentang kusta dan
komplikasinya merupakan salah satu upaya penting yang harus dapat dilakukan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat
terhadap pasien kusta. Studi ini adalah pengabdian pada masyarakat (PPM) berupa penyuluhan di SMA Negeri Jatinangor, Kecamatan
Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai tingkat pengetahuan siswa mengenai penyakit kusta dan
komplikasinya sebelum dan setelah penyuluhan. Peserta penyuluhan yaitu siswa dengan total peserta 50 orang. Pengumpulan data
dilakukan dengan pemberian kuesioner sebelum dan setelah penyuluhan. Setiap lembar kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan, yang
meliputi etiologi, epidemiologi, penularan, tanda dan gejala, pengobatan, komplikasi, dan pencegahan kusta. Dari hasil kuesioner sebelum
penyuluhan diketahui bahwa tingkat pengetahuan seluruh siswa SMA tentang kusta dan komplikasinya masih rendah. Pemberian
materi penyuluhan diketahui meningkatkan pengetahuan siswa. Dari hasil kuesioner setelah penyuluhan diketahui bahwa 92% peserta
penyuluhan memiliki pengetahuan tentang penyakit kusta yang tinggi dan hanya 8% peserta dengan tingkat pengetahuan yang rendah.
Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) antara peningkatan pengetahuan sebelum dan setelah penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit
kusta dan komplikasinya pada keluarga dan masyarakat oleh siswa SMA diharapkan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap
pasien kusta.Kusta merupakan merupakan penyakit infeksi
granulomatosa kronik yang disebabkan bakteri obligat
intraseluler Mycobacterium leprae (M. leprae).
1,2 Penyakit
ini berasal dari bahasa Latin “lepros” yang berarti skuama.
Kusta berasal dari India, 600 tahun sebelum masehi (SM).2
Penyakit ini ditemukan di Amerika pada tahun 1866, dan
diduga dibawa oleh imigran dari Eropa.2 Pada tahun 1873,
Armauer G. Hansen di Norwegia berhasil mengidentifikasi
organisme penyebab kusta,3 sehingga penyakit ini disebut
juga sebagai Hansen’s disease.4
Berdasarkan data World Health Organization
(WHO) tahun 2018 dilaporkan jumlah kasus baru kusta di
dunia sebanyak 210.671 kasus, dengan angka penemuan
kasus baru sebesar 2,77 per 100.000 penduduk.5 Indonesia
menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai negara
dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India dan
Brazil.6
Jumlah kasus baru kusta di Indonesia yang
dilaporkan pada tahun 2017 sebesar 10.477 kasus. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat melaporkan kasus baru
kusta di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2017 sebanyak
1.716 kasus.7 Daerah endemis kusta di Jawa Barat antara
lain yaitu Indramayu, Bekasi, Karawang, Cirebon, dan
Subang. Sumedang juga merupakan salah satu daerah
endemis kusta dengan angka prevalensi kasus kusta pada
tahun 2017 yaitu <0,2/10.000 penduduk.8
Infeksi ini secara primer menyerang saraf perifer
dan kulit,1
secara sekunder menyerang organ lain seperti
mata, mukosa saluran pernapasan atas, otot, sendi,2
tulang, kelenjar getah bening,1
dan testis.2 Penyakit kusta
ini ditularkan melalui saluran pernapasan bagian atas
dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Sebagian besar
(95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil
(5%) yang tertular kusta. Dari 5% yang tertular tersebut,
sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang
menjadi sakit.9
Tanda kardinal penyakit kusta yaitu terdapat bercak
putih atau merah yang mati rasa, penebalan saraf tepi
yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya
basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit.
Salah satu komplikasi penyakit ini adalah kecacatan yang
disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama
kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae dan
kecacatan akibat adanya kerusakan saraf.9,10
Kusta adalah salah satu penyakit menular yang
masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat
dan menimbulkan permasalahan yang komplek. Masalah
tersebut tidak hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan,
dan ketahanan nasional.9
Pada umumnya penyakit ini
terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai
akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi
pada masyarakat.9,10
Penyakit ini masih merupakan penyakit yang
ditakuti oleh masyarakat, bahkan oleh sebagian petugas
kesehatan.9
Selama ini di masyarakat berkembang
stigma bahwa kusta merupakan penyakit kutukan Tuhan,
penyakit keturunan atau karena ilmu gaib yang sulit
disembuhkan, dianggap memalukan dan menimbulkan
aib bagi keluarga. Dampaknya masyarakat cenderung
bersikap negatif terhadap pasien kusta, seperti menolak,
menjauhi, memandang rendah dan mencela.11,12 Stigma
negatif tersebut mencerminkan tingkat pengetahuan
masyarakat tentang kusta masih rendah. Stigma tersebut
akan tetap melekat meskipun pasien secara medis telah
dinyatakan sembuh.13
Perlakuan diskriminasi pada pasien kusta tidak
terlepas dari masih rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang kusta. Tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat
diketahui berkorelasi dengan dukungan terhadap pasien
kusta.12,14 Bentuk dukungan masyarakat antara lain
diwujudkan dengan tidak menjauhi, mencela, mengisolasi,
maupun melakukan tindakan diskriminatif lainnya.
Dukungan masyarakat dibutuhkan baik untuk pasien kusta
maupun mantan penyandang kusta. Hal ini dimaksudkan
untuk menghilangkan stigma negatif tentang kusta.13
Pengetahuan merupakan informasi yang diketahui
atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan muncul ketika
seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali
benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
dirasakan sebelumnya.15 Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan yaitu pendidikan, pekerjaan, sosial,
lingkungan, keyakinan, usia, sosial, budaya, dan ekonomi.16
Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka
semakin tinggi pula kemampuan individu tersebut di dalam
melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian tersebut inilah yang akan menjadi landasan
seseorang untuk bertindak.15 Keterbatasan pengetahuan
tentang kusta dapat menjadi pemicu sikap negatif dan
berakhir dengan tindakan diskriminasi pada penyandang
kusta. Pengertian diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tidak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan
politik.13
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PPM)
ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri
Jatinangor, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Lokasi ini dipilih karena berada di sekitar Kampus
Universitas Padjadjaran Jatinangor dan di wilayah ini
belum pernah dilakukan upaya peningkatan pengetahuan
mengenai kusta dan komplikasinya pada siswa sekolah.
Siswa SMA diharapkan dapat menjadi ujung tombak
dalam penyebaran informasi penyuluhan pada keluarga
dan masyarakat, sehingga dapat mengurangi stigma dan
diskriminasi masyarakat terhadap pasien kusta.
Penyuluhan ini bertujuan untuk menilai tingkat
pengetahuan siswa tentang kusta dan komplikasinya. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai pengetahuan masyarakat tentang penyakit
kusta, serta dapat dimanfaatkan oleh instasi terkait dalam
perencanaan dan pengambilan kebijakan tentang program
eliminasi kusta.
METODE
Metode yang digunakan pada pengabdian masyarakat ini berupa penyuluhan mengenai kusta dan
komplikasinya pada siswa SMA. Penyampaian materi
dilakukan dengan pemutaran video, ceramah, dan diskusi.
Jumlah peserta penyuluhan sebanyak 50 orang siswa yang
dipilih secara acak. Pengambilan data dilakukan pada
saat sebelum dan sesudah penyuluhan melalui kuesioner
tentang pengetahuan peserta penyuluhan terhadap kusta
dan komplikasinya. Kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan,
yang meliputi etiologi, epidemiologi, penularan, tanda dan
gejala, pengobatan, komplikasi, dan pencegahan kusta.
Analisis statistik pada penelitian ini dilakukan dengan
uji Wilcoxon. Seluruh data bersifat rahasia dan hanya
digunakan untuk keperluan penelitian ini.
Kuesioner penyuluhan menggunakan modifikasi
kuesioner Tesema dkk14 yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dan ditambahkan tingkat pengetahuan mengenai
daerah endemis kusta di Jawa Barat dan komplikasi kusta
pada organ reproduksi laki-laki. Menurut Tesema dkk.,
tingkat pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu tingkat
pengetahuan yang tinggi bila peserta penelitian dapat
menjawab pertanyaan dengan benar ≥75% dan rendah bila
peserta hanya menjawab pertanyaan yang benar <75%.
Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik
Universitas Padjadjaran (Persetujuan etik No. 1347/UN6.KEP/EC/2018). Keikutsertaan peserta bersifat sukarela dan
peserta dapat mengundurkan diri setiap saat dari penelitian
ini. Setiap informasi dan data penelitian akan diperlakukan
secara rahasia, sehingga tidak memungkinkan untuk
diketahui orang lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan PPM dilaksanakan pada hari Jumat, pada
pukul 09.00-11.30 di SMA Negeri Jatinangor, Kecamatan
Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Peserta penyuluhan
terdiri atas 28 siswa kelas 10 dan 22 siswa kelas 11.
Berdasarkan jenis kelamin, peserta penyuluhan tersebut
terdiri dari 40 perempuan dan 10 laki-laki. Kegiatan
penyuluhan bertempat di ruang kelas SMA Negeri
Jatinangor. Penyuluhan dimulai dengan pengisian daftar
hadir, pengisian kuesioner sebelum penyuluhan, kemudian
pembukaan oleh Kepala Sekolah dan perwakilan
dosen pembimbing lapangan (DPL). Kegiatan tersebut
berlangsung lancar, tepat waktu, dan terlihat antusiasme
dari peserta penyuluhan pada saat pemberian materi
penyuluhan serta diskusi dan tanya jawab. Penyuluhan
ditutup dengan pengisian kuesioner setelah penyuluhan
dan foto bersama panitia dengan peserta penyuluhan.
Diketahui bahwa tingkat pengetahuan seluruh siswa
tentang kusta dan komplikasinya sebelum dilakukan
penyuluhan masih rendah dengan nilai rerata 42,6 ±
4,04. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang
dilakukan oleh Tesema dkk.14 Pada penelitian tersebut
diketahui bahwa 80,7% tingkat pengetahuan masyarakat
tentang kusta masih rendah. Tingkat pengetahuan
masyarakat yang rendah dipengaruhi oleh tiga faktor utama
yaitu tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya upaya
penyebaran informasi tentang kusta, dan kepercayaan pada
masyarakat yang bersifat turun temurun.14 Hal tersebut
menjadi penghambat dalam program pengendalian
penyakit kusta.9 Pemberian materi penyuluhan diketahui
meningkatkan pengetahuan siswa. Dari hasil kuesioner
setelah penyuluhan diketahui bahwa nilai rerata peserta
naik menjadi 82 ± 9,26. Sekitar 92% peserta penyuluhan
tersebut memiliki pengetahuan tentang penyakit kusta
yang tinggi dan hanya 8% peserta dengan tingkat
pengetahuan yang rendah. Terdapat perbedaan bermakna
(p<0,05) antara peningkatan pengetahuan sebelum dan
setelah penyuluhan. Penelitian serupa dilakukan oleh
Subhan dkk.17 mengenai efektivitas promosi kesehatan
tentang penyakit kusta dengan metode penyuluhan pada
siswa SMA di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan
Barat pada tahun 2015. Pada penelitian tersebut dilakukan
pemberian kuesioner sebelum dan setelah penyuluhan.
Tingkat pengetahuan yang baik diketahui hanya terdapat
pada 6,25% peserta sebelum dilakukan penyuluhan dan
persentase tersebut meningkat menjadi 92,5% setelah
penyuluhan.
Sebelum dilakukan penyuluhan, sebanyak 84%
peserta penelitian sudah memiliki pengetahuan yang baik
mengenai penyebab kusta, sedangkan setelah penyuluhan,
persentase peserta yang dapat menyebutkan penyebab
penyakit kusta dengan benar, naik menjadi 88% . Hasil dari
penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian serupa
yang dilakukan di tempat lain. Tesema dkk.14 melaporkan
bahwa 48,31% peserta penelitian sudah memahami bahwa
penyakit kusta disebabkan oleh bakteri. Penelitian lain
oleh Stephen dkk.11 di India pada tahun 2014 diketahui
bahwa hanya 32% peserta yang mengetahui bahwa kusta
disebabkan oleh bakteri.
Pada penelitian ini, diketahui sebanyak 48% peserta
penelitian sudah mengetahui daerah-daerah endemis kusta
di Jawa Barat seperti Indramayu, Bekasi, Karawang, dan
Subang. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa
48% peserta sudah memahami cara penularan penyakit
kusta yaitu melalui udara dan kontak erat dengan pasien
kusta, sedangkan 42% peserta percaya penyakit kusta
ditularkan melalui penggunaan barang bersama yang
dipakai oleh pasien kusta seperti handuk atau sikat gigi,
dan 10% peserta percaya bahwa kusta ditularkan melalui
hubungan seksual. Sebelum dilakukan penyuluhan,
lebih dari 50% peserta masih belum memahami cara
penularan penyakit kusta, sedangkan setelah penyuluhan
96% peserta sudah menjawab dengan benar. Peserta
pada penelitian Tesema dkk. percaya bahwa kusta dapat
menular melalui melalui kontak erat (46,62%), berenang
(33,78%), duduk berdekatan (13,51%), hubungan seksual
(35,47%), penggunaan barang bersama milik pasien kusta
(46,28%), dan udara (12,84%).14 Dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Singh dkk.18 di India pada tahun 2012
diketahui bahwa peserta penelitian percaya penyakit kusta
ditularkan melalui makanan dan minuman, penggunaan
barang bersama atau kontak dengan keringat pasien kusta,
gigitan nyamuk atau serangga, dan hubungan seksual
dengan pasien kusta.
Dari hasil penelitian ini diketahui hanya 44% peserta
penelitian yang mengetahui bahwa M. leprae menyerang
organ kulit dan saraf serta hanya 14% peserta yang
mengerti tanda dan gejala kusta yaitu bercak kulit yang
mati rasa. Setelah dilakukan penyuluhan, 96% peserta
penelitian mengetahui M. leprae menyerang organ kulit
dan saraf dan 96% peserta sudah memahami tanda dan
gejala kusta.. Tesema dkk.14 menyebutkan 44,59% peserta
penelitian memahami tanda dan gejala kusta berupa
berkurangnya fungsi sensoris pada kulit. Penelitian
lain oleh Nissar dkk.12 melaporkan bahwa hanya 10,7%
peserta penelitian yang mengetahui tanda dan gejala kusta
berupa bercak putih.
Sekitar 52% peserta penelitian sudah mengetahui
bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan dengan berobat
ke puskesmas, sedangkan 32% peserta percaya bahwa
kusta dapat disembuhkan dengan pengobatan alternatif,
dan 14% peserta percaya kusta tidak dapat disembuhkan.
Sekitar 78% peserta sudah memahami bahwa durasi
pengobatan kusta minimal yaitu selama enam bulan.
Setelah dilakukan penyuluhan, 90% peserta menjawab dengan benar bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan
di puskesmas dan 92% peserta mengetahui durasi
pengobatan penyakit kusta. Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian Tesema dkk. Pada penelitian tersebut
diketahui bahwa sebagian besar (92,9%) peserta sudah
memahami bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan
dengan menggunakan obat dari dokter, sedangkan 5,41%
peserta percaya kusta dapat disembuhkan dengan obat
herbal dan 1,69% peserta akan berobat ke dukun.14 Dari
hasil penelitian Shetty dkk.19 di India pada tahun 1985
diketahui bahwa 79% peserta penelitian percaya bahwa
penyakit kusta harus diobati di rumah sakit. Nisar dkk.12
dalam penelitiannya melaporkan bahwa seluruh peserta
penelitian belum mengetahui durasi pengobatan kusta.
Sebagian besar (94%) peserta sudah memahami
komplikasi kusta yaitu kecacatan pada mata, tangan, dan
kaki, tetapi peserta belum mengetahui bahwa kusta juga
dapat menyebabkan kerusakan pada organ reproduksi
laki-laki. Setelah penyuluhan, seluruh peserta dapat
menyebutkan dengan benar komplikasi penyakit kusta
dan 38% peserta sudah mengetahui komplikasi pada organ
reproduksi laki-laki. Tesema dkk.14 melaporkan 69,26%
peserta penelitian sudah mengetahui bahwa penyakit
kusta dapat menyebabkan kecacatan. Sekitar 56% peserta
penelitian juga sudah memahami cara pencegahan kusta
yaitu dengan melakukan pengobatan dini secara rutin pada
pasien kusta agar tidak terjadi penularan.
Dampak pengetahuan yang rendah tentang kusta
menyebabkan masyarakat memiliki sikap dan perilaku
negatif, seperti menolak, menjauhi, memandang rendah
dan mencela pasien kusta.11,12 Meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang kusta merupakan cara yang paling
tepat untuk menghentikan diskriminasi terhadap pasien
kusta. Peningkatan pengetahuan melalui pemberian
informasi seperti penyuluhan oleh tenaga kesehatan
merupakan suatu bentuk persuasi untuk memberikan
fakta ilmiah dan pesan, sehingga membuka peluang
terjadinya perubahan sikap dalam masyarakat. Hal ini
dibuktikan melalui penelitian ini yaitu penyuluhan dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya siswa
SMA tentang penyakit kusta dan komplikasinya, sehingga
rasa takut terhadap pasien kusta atau leprophobia yang
berdampak pada timbulnya perlakuan diskriminasi dalam
masyarakat dapat dihilangkan.
Kusta6
Kusta masih ada di berbagai negara
dan wilayah endemik termasuk India,
Brazil dan Indonesia. Survei WHO tahun
2016 menetapkan target eliminasi kusta
yang tertuang dalam SDGs 2016-2020
yaitu 1/1.000.000 populasi. Kasus kusta
secara global tahun 2016 berjumlah
212.000 kasus dan tahun 2017 terjadi
penurunan sebesar 192.713 kasus
Banyak warga yang menderita
penyakit kusta selama puluhan tahun,
dimana berbagai aspek menjadi
permasalahan termasuk pemanfaatan
dalam akses fasilitas kesehatan,
keterlambatan dalam diagnosis serta
manajemen pengobatan yang belum
optimal. Ketika pengobatan diberikan
pada tahap awal pajanan, penyakit kusta
segera dapat disembuhkan, namun
terlepas dari manfaat pengobatan ini
kusta masih menjadi salah satu penyakit
yang membawa dampak paling ditakuti,
disalah pahami, dan menjadi stigma di
warga
Dampak dari stigma ini
menyebabkan orang–orang dengan kusta
tidak hanya menderita secara fisik tetapi
juga psikologis karena dikucilkan dan
diabaikan oleh anggota keluarga dan
warga sekitar
Stigma yang ditujukan kepada
penderita kusta menyebabkan seseorang
mengalami frustasi, bahkan upaya bunuh
diri dari orang dengan kusta (ODK).
warga telah menstigmatisasi orang
yang terkena kusta sejak zaman kuno. Hal
itu diwujudkan dalam berbagai bentuk,
mulai dari ciri - ciri pasien kusta dengan
pakaian khusus atau dengan
membunyikan lonceng ketika mendekati
orang lain dan pemisahan secara paksa
untuk pengemis dalam lingkungan tempat
tinggal . Pemisahan klien
kusta dilakukan sejak abad ke - 13 ketika
kejadian kusta pada perang salib. Di
samping itu pengobatan dan perawatan pasien kusta yang terpisah terjadi di
pelayanan kesehatan. Pengobatan Dapson
pada tahun 1940, terjadi perubahan dalam
pemberian pelayanan kesehatan. Tahun
1982, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) menyatakan bahwa kusta dapat
disembuhkan, meskipun terjadi pemisahan
layanan kesehatan dan stigma masih
tersebar luas di seluruh warga dunia.
Ketika didiagnosis dengan kusta,
klien mencoba menyembunyikan
penyakitnya, misalnya dengan mencari
perawatan agak jauh dari rumah dengan
tujuan untuk menghindari persepsi
negatif, serta tidak berkomunikasi dengan
anggota warga . Selain isolasi diri
yang dilakukan oleh klien kusta, anggota
warga juga bersikap negatif dengan
menghindari, memaksa pergi,
membicarakan dan menolak untuk pergi
bersama dengan alat transportasi umum
Perilaku ini selain berdampak
negatif pada fisik, juga berdampak status
psikologis dan sosial ekonomi orang
dengan kusta. Dampak psikologis bagi
klien akan menderita tekanan mental dan
kecemasan yang mengarah pada depresi
bahkan sampai dengan bunuh diri dan
dampak pada status ekonomi mereka
menurun, terjadi penolakan untuk
menikah dan pendidikan yang tidak tuntas
Berdasarkan dampak yang
ditimbulkan, untuk mencegah stigma dan
mengurangi penderitaan individu dan
keluarga klien dengan kusta, maka
diperlukan intervensi yang efektif. Studi
literatur ini bertujuan untuk
mengidentifikasi intervensi yang telah
digunakan untuk mengurangi stigma dan
menilai tingkat keberhasilan nya. Hasil ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi tenaga
kesehatan dan profesional lainnya yang
ingin mengembangkan intervensi untuk
mengatasi stigma terkait penyakit kusta.
HASIL PENELITIAN
Strategi dalam mengurangi stigma
dijelaskan dalam lima intervensi yaitu
integrasi layanan kusta dalam perawatan
kesehatan secara umum, program
komunikasi, informasi dan Edukasi,
rehabilitasi sosial ekonomi, perubahan
nama penyakit kusta dan konseling.
Layanan Terintegrasi dengan
Perawatan Kusta
Pada banyak negara, layanan kusta
telah terintegrasi ke dalam layanan
kesehatan yang bertujuan untuk
memberikan perawatan bagi pasien kusta
di sekitar lingkungan tempat tinggal dan
untuk mengurangi perbedaan antara
penderita kusta dan penderita penyakit
lainnya. Studi penelitian yang dilakukan
di Maharashtra, India
membandingkan tingkat stigma antara
area pendekatan dengan perawatan
terintegrasi dan perawatan yang langsung
diberikan pada pasien kusta.
Hasilnya ditemukan bahwa ada
sedikit stigmatisasi diri antara pasien
kusta dan kurangnya stigma sosial di
warga apabila pasien kusta
diintegrasikan dalam layanan kesehatan.
Bahkan pasien kusta dan keluarga mampu
terlibat dalam pengambilan keputusan
dengan pendekatan terpadu, sementara
perawatan yang langsung diberikan pada
pasien kusta, tidak ada komunikasi.
Perawatan kusta di Negara Thailand
diintegrasikan ke dalam sistem perawatan
kesehatan sejak tahun 1973 sampai tahun
1998. Namun laporan perkembangan dan
evaluasi dalam rencana eliminasi kusta
(1994 – 1996) tidak menyebutkan apakah
stigma terkait kusta telah menurun,
meskipun fakta membuktikan bahwa
orang dengan kusta dapat hidup “normal”
di komunitas
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
(KIE)
KIE merupakan pendekatan yang
digunakan untuk meningkatkan kesadaran
warga tentang kusta yang bertujuan
untuk mengurangi stigma dan untuk
membantu menemukan kasus penularan
kusta sebelum terjadi kecacatan . Penyuluhan di warga
yang dilakukan di Negara Srilangka
adalah contoh dari intervensi KIE yang
berhasil sejak tahun 1990. Intervensi
ini dengan menemukan kasus orang
dengan lesi kulit untuk segera
didiagnosis dan mencegah sikap negatif
warga terhadap orang dengan kusta.
Tenaga kesehatan dilatih untuk
mendiagnosis kusta dan melakukan
perawatan secara intensif
Informasi kesehatan dilakukan
dengan media yang berbeda, dengan
memberitahukan bahwa penyakit kusta
adalah penyakit normal yang dapat
disembuhkan dan tidak menyebabkan
kecacatan jika dilakukan perawatan secara
dini. Konten informasi yang akan dibuat,
terlebih dahulu dilakukan survei berbasis
warga tentang pengetahuan, sikap
dan perilaku terkait kusta serta berfokus
untuk mengekplorasi persepsi warga
tentang kusta. Survei berbasis warga
menjelaskan bahwa warga
menganggap kusta adalah penyakit sangat
menular, tidak dapat disembuhkan dan
menakutkan karena menyebabkan ruas jari
– jari tangan dan kaki jatuh serta lepas.
Informasi yang didapatkan ini ,
digunakan untuk mengembangkan materi
KIE yang dibutuhkan. Informasi dalam
KIE yang diberikan kurang dari satu tahun
ini menunjukkan hasil penemuan
kasus yang baru terdeteksi sebesar 150%
dengan pelaporan secara dini berdasarkan
inisiatif warga
Informasi dalam KIE selain
menjelaskan penyakit kusta, juga
mempromosikan pengobatan secara dini
untuk tujuan mengurangi stigma di Uttar
Pradesh, Madhya Pradesh, Orissa, Bihar
dan Benggala Barat India. Intervensi
dalam penyebaran informasi dengan
menggunakan televisi, radio, teater, video
dan acara publik lainnya. Hasil dari
intervensi menjelaskan bahwa proporsi
orang yang mengatakan tidak akan duduk
di sebelah pasien kusta turun dari 44%
menjadi 27%, demikian pula proporsi
yang tidak mau makan makanan yang
disiapkan oleh pasien kusta dari 68%
menjadi 50%, serta proporsi yang percaya
bahwa kusta yang disebabkan oleh
perbuatan dosa dalam kehidupan
sebelumnya turun dari 37% menjadi 12%
Penelitian yang dilakukan di
Bangladesh membandingkan antara
kelompok yang menerima pendidikan
kesehatan tentang kusta dengan kelompok
yang belum menerima pendidikan tentang
kusta. Hasil menunjukkan bahwa sekitar
75% tidak akan membeli barang dari
penjaga toko yang diketahui menderita
kusta dibandingkan dengan 25% dari
kelompok yang telah menerima
pendidikan kesehatan
Terlepas dari hasil positif ini,
kegiatan KIE tidak selalu mengubah sikap
terhadap kusta yang diinginkan, misal
beberapa anak menjadi kurang toleran
terhadap kusta setelah sesi pendidikan
kesehatan tentang kusta di sekolah di
India Selatan. Penelitian lain
menunjukkan bahwa peningkatan
pengetahuan tentang kemampuan untuk
menyembuhkan penyakit tidak mengubah
sikap negatif terhadap penderita kusta,
dimana ketakutan dengan penyakit kusta
membuat sulit mendidik warga
tentang penyakit ini. Bahkan tokoh
warga menyampaikan bahwa
perubahan sikap terhadap penyakit kusta
sangat sulit dan menjadi hal tabu di
warga karena dianggap penyakit
yang mengganggu kehidupan sosial
Program Kontrol Kusta di Negara
Thailand melakukan kampanye kesehatan
di antaranya untuk mendukung eliminasi
kusta yang didukung oleh pemerintah
kerajaan. Kampanye ini berisi
tentang MDT dan pengobatan secara
gratis yang diharapkan dapat mengakhiri
ketakutan warga terhadap kusta dan
deteksi kasus secara dini. Kampanye
ini dilakukan di tingkat nasional,
provinsi dan daerah melalui leaflet,
televisi, poster, radio, pertunjukkan teater
dan majalah. Pemberian honor insentif
diberikan untuk penemuan kasus baru dan
menyarankan penderita untuk diperiksa
dan didiagnosis sedini mungkin. Kegiatan
kampanye yang telah dilakukan sebanyak
tiga kali, menunjukkan bahwa jumlah
kasus yang terdeteksi meningkat sebesar
20%, sementara jumlah kasus yang baru
terdeteksi dalam kampanye berikutnya
menurun. Kesimpulan tidak ada catatan
apakah stigma yang melekat pada kusta
telah berubah sebagai akibat telah
dilaksanakan kampanye
Rehabilitasi Sosial Ekonomi
Strategi dalam megurangi stigma
kusta dengan fokus pada proses
rehabilitasi pasien disabilitas yang
melibatkan warga dan kebijakan
pemerintah
mengembangkan program STEP (Stigma
Elimination Program) yang berfokus
perawatan diri pada klien kusta yang
sudah sembuh atau yang masih menjalani
perawatan yang diharapkan dapat
mengurangi kecacatan. Program STEP
berupa pelatihan ketrampilan pada
penderita kusta, dan pelatihan untuk
membantu dalam menemukan kasus kusta
di warga sehingga diharapkan
pemberantasan kusta dapat dilakukan
secara aktif.
Program SER (social economic
rehabilitation) yang dilaksanakan
merupakan strategi untuk menghilangkan
hambatan antara klien kusta dan
warga dengan partisipasi aktif klien
yang berfokus pada kemampuan klien
dengan pemberdayaan sehingga klien
dapat membuat dan mengambil
keputusan. Program ini dapat membuka
peluang dan dukungan bagi penyandang
disabilitas klien kusta dengan memberi
bantuan berkelanjutan, perlindungan dan
kemitraan yang efektif dengan organisasi
lain yang berkontribusi pada kegiatan
yang bermanfaat bagi klien kusta
Mengubah Istilah Penyakit Kusta
Perubahan istilah penyakit kusta
telah dilakukan di berbagai Negara, tetapi
hal ini belum menunjukkan
keefektifannya. Di jepang kusta
mempunyai kesan negatif dan
menyebabkan diskriminasi dan stigma
sosial di warga . Asosiasi pasien
dengan kusta ”Zen-Ryo-Kyo” di jepang
mengubah nama kusta menjadi penyakit
Hansen (Hosoda, 2010). Di Negara Brazil
pasien penyakit kusta mengalami
penolakan dan diskriminasi di lingkungan
tempat tinggalnya. Pada tahun 1970
pemerintah melakukan perubahan kusta
menjadi ”Hanseniasis”. Perubahan istilah
Hanseniasis dapat membantu mengurangi
stigma sehingga perawatan dan
manajemen MDT (Multi Drug Therapy)
berhasil. Hanseniasis yang terdapat di Alkitab mengacu pada penyakit
dermatologi yang terpisah dari kusta
Penyuluhan
Konseling dapat membantu pasien
untuk mengatasi permasalahan fisik dan
psikologis yang ditimbulkan oleh karena
penyakit kusta.
dalam studi penelitian di Nepal konseling
kelompok untuk orang-orang yang terkena
kusta membagi dalam grup yang terdiri
dari 5-7 orang bertemu 2 jam selama 5
minggu. Mereka bertemu sebagai orang
dewasa tunggal gender atau kelompok
anak-anak. Pasien dimasukkan setelah
penilaian psikologis di mana mereka telah
menunjukkan setidaknya satu berikut ini:
pengakuan bahwa rendahnya harga diri
mereka disebabkan oleh stigmatisasi,
penolakan oleh keluarga, atau merasa
sedih tetapi tidak secara klinis tertekan.
Peserta didorong untuk membagikan
pengalaman hidup mereka dengan anggota
kelompok lainnya. Hal ini akan
menumbuhkan ikatan antara anggota
kelompok ketika mereka mendengar orang
lain menceritakan tentang pengalaman
menyakitkan mereka sendiri dan bisa
saling menghibur.
Anggota kelompok saling belajar
untuk memaafkan orang lain yang
melukai mereka, dan bersiap pulang untuk
mengatasi stigmatisasi yang terdapat di
lingkungan warga . Konseling untuk
pasien kusta di Thailand hanya dilakukan
di beberapa unit kesehatan misal rawat
jalan di Organisasi Kusta Nasional, dan di
beberapa daerah serta unit kesehatan
provinsi. Tidak terdapat bukti yang
menunjukkan sejauh mana konseling
dapat membantu mengurangi stigmatisasi
Dampak stigma terhadap efektifitas
program pengendalian kusta semakin
meningkat dalam upaya untuk menangani
stigma. Integrasi program kusta ke dalam
sistem perawatan kesehatan merupakan
bagian penting dalam strategi WHO untuk
menghilangkan kusta. Strategi ini
dianggap sebagai pendekatan untuk
mempromosikan aksesibilitas layanan
kusta untuk orang yang terkena dampak
dan mengurangi stigma kusta. Namun
tidak semua Negara menerapkan
pelayanan terintegrasi kusta, misal tingkat
stigma tidak disebutkan dalam laporan
evaluasi program kusta di Thailand
Penerapan di India, investigasi hasil
dalam hal stigma telah dilakukan, hasilnya
terdapat sedikit stigmatisasi diri antara
pasien kusta dan stigma sosial yang
berkurang di warga dengan
pendekatan terintegrasi daripada
pendekatan secara langsung. Sedangkan
dalam hal pendekatan kesehatan jiwa,
sejauh ini tidak ada bukti mengenai efek
integrasi terhadap pengurangan stigma
. Namun penelitian
Mwape di Zambia menjeaskan bahwa
penyedia pelayanan perawatan harus
mengintegrasikan penyakit mental (jiwa)
ke dalam perawatan kesehatan primer
yang secara bertahap mengubah sikap
warga ketika mereka melihat bahwa
pasien – pasien jiwa dirawat dan sembuh,
bukan untuk dihina dan diasingkan
KIE merupakan pendekatan yang
digunakan untuk meningkatkan kesadaran
warga tentang kusta yang bertujuan
untuk menemukan kasus secara dini dan
mendiagnosis penyakit. Penyuluhan
kesehatan yang dilakukan di Negara
Srilangka adalah contoh dari intervensi KIE yang berhasil. Intervensi yang
dilakukan memperomosikan pengobatan
MDT (Multi Drug Therapy) dan
mengurangi stigmatisasi seperti di India
dan Bangladesh
Hasilnya sikap akan stigma terhadap
orang dengan kusta menurun secara
signifikan. Hal ini juga dilakukan di Uttar
Pradesh, Madhya Pradesh, Orissa, Bihar
dan Benggala Barat India. Hasil dari
intervensi menjelaskan bahwa proporsi
orang yang mengatakan tidak akan duduk
di sebelah pasien kusta turun dari 44%
menjadi 27%, demikian pula proporsi
yang tidak mau makan makanan yang
disiapkan oleh pasien kusta dari 68%
menjadi 50%. Di samping itu, proporsi
yang percaya bahwa kusta yang
disebabkan oleh perbuatan dosa dalam
kehidupan sebelumnya turun dari 37%
menjadi 12%.
Penelitian yang dilakukan di
Bangladesh membandingkan antara
kelompok yang menerima pendidikan
kesehatan tentang kusta dengan kelompok
yang belum menerima pendidikan tentang
kusta. Hasil menunjukkan bahwa sekitar
75% tidak akan membeli barang dari
penjaga toko yang diketahui menderita
kusta dibandingkan dengan 25% dari
kelompok yang telah menerima
pendidikan kesehatan.
Namun dalam beberapa kasus,
kegiatan KIE tidak selalu berhasil
merubah sikap terhadap kusta yang
diinginkan. Studi penelitian di India
Selatan tentang pengobatan kusta tidak
merubah sikap negative warga
terhadap penderita kusta dikarenakan
takut terhadap dampak kusta. Alasan sikap
tetap tidak berubah bahwa dalam
penelitian ini tidak mengambil
kepercayaan yang terdapat di kelompok
sasaran, contoh beberapa anak menjadi
kurang toleran terhadap kusta setelah sesi
pendidikan kesehatan tentang kusta di
sekolah di India Selatan. Penelitian lain
menunjukkan bahwa peningkatan
pengetahuan tentang kemampuan untuk
menyembuhkan penyakit tidak mengubah
sikap negatif terhadap penderita kusta,
dimana ketakutan dengan penyakit kusta
membuat sulit mendidik warga
tentang penyakit ini. Bahkan tokoh
warga menyampaikan bahwa
perubahan sikap terhadap penyakit kusta
sangat sulit dan menjadi hal tabu di
warga karena dianggap penyakit
yang mengganggu kehidupan sosial.
Pada negara Srilangka, sebelum
melakukan kegiatan KIE, dilakukan
survey berbasis warga tentang
pengetahuan, sikap dan perilaku tentang
kusta dengan diskusi kelompok terfokus
untuk mengeksplorasi persepsi tentang
kusta. Informasi ini digunakan untuk
mengembangkan program KIE yang akan
diberikan kepada warga . Menurut
Dalal (2006), sikap merupakan sistem
interelasi yang kompleks di antara tiga
komponen seperti kepercayaan, sikap
yang mempengaruhi, dan kecenderungan
perilaku. Untuk memahami sikap
warga yang buruk, maka penting
untuk mempertimbangkan tiga komponen
ini , yang mana perubahan dalam satu
komponen akan mempengaruhi sikap
secara keseluruhan.
Faktor keberhasilan lain yang terkait
dengan KIE adalah menggabungkan KIE
dengan kegiatan lain. Di Srilangka,
mereka melatih petugas kesehatan untuk
mendiagnosis kusta dan warga untuk
membantu melaporkan penemuan kusta
apabila menjumpai orang dengan lesi pada
kulit yang mencurigakan. Petugas
kesehatan meningkatkan pelayanan
kesehatan dengan menjalin kerjasama dengan Rumah Sakit. Pendekatan ini
sesuai dengan rekomendasi Bollinger
yang mempelajari stigma terkait dengan
HIV/AIDs. Bollinger (2002),
menyarankan bahwa KIE harus
dipertimbangkan sebagai satu komponen
intervensi dalam pengurangan stigma
untuk mengatasi permasalahan fisik yang
ditimbulkan oleh penyakit kusta, masalah
komunikasi interpersonal dan adanya
keterlibatan warga . Intervensi KIE
juga harus disesuaikan dengan area target
dan kelompok sasaran. Hal ini sesuai
dengan Dijker dan Kooman (2006), yang
berpendapat bahwa intervensi yang
bertujuan untuk mengurangi stigma
seharusnya disesuaikan dengan kondisi,
tipe warga dan individu yang terlibat
dikarenakan menjadi faktor yang
menentukan motivasi untuk
mempengaruhi respon seseorang terhadap
persepsi yang menyimpang.
SER adalah jenis intervensi lain
yang telah dilaksanakan untuk
mengurangi stigma. Di Nepal dan Nigeria,
SER (Social Economi Rehabilitation)
telah berhasil membantu orang yang
terkena dampak kusta untuk mendapatkan
kembali hak mereka dalam kehidupan di
warga . Intervensi ini menghasilkan
perubahan sikap yang positif dalam
komunitas dan mengurangi stigma orang
yang terkena kusta. SER secara efektif
juga dapat mengubah sikap warga
dan mengurangi stigma yang terkait
dengan kondisi kesehatan lainnya seperti
orang yang menderita kecacatan. Sikap
terhadap orang dengan kecacatan fisik
berubah karena perubahan sosial yang
menciptakan hubungan yang harmonis
dengan menunjukkan sikap saling
membantu atau support di antara individu
yang sebelumnya dipandang remeh oleh
warga .
Mengubah istilah nama penyakit dan
konseling adalah strategi lain yang
bertujuan untuk mengurangi stigma.
Sampai dengan saat ini belum ada laporan
terkait efektifitas strategi ini .