kusta k

 



kusta39




Penyakit kusta merupakan salah 

satu penyakit menular, menahun dan 

disebabkan oleh Mycobacterium leprae

yang menimbulkan masalah yang 

kompleks.1,2 Permasalahan yang muncul 

karena penyakit lepra ini bukan hanya 

dari segi medis, tetapi meluas sampai 

masalah psikis, sosial ekonomi, dan 

budaya yang akan mempengaruhi 

kualitas hidup dari penderita kusta itu 

sendiri.

berdasar   World Health 

Organization (WHO) Weekly 

Epidemiological Record tahun 2016, dari 

143 negara yang terbagi dalam 6 regio, 

yakni regio Afrika, Amerika, Timur 

Tengah, Eropa, Asia Tenggara dan 

Pasifik Barat, dilaporkan 214.783 kasus 

kusta dengan rata-rata prevalensi 2,9 per 

100.000 populasi dengan kasus tertinggi 

di regio Asia Tenggara adalah 161.263 

kasus dengan rata-rata prevalensi 8,2 per 

100.000 populasi, diikuti regio Amerika 

dengan 27.356 kasus dan regio Afrika 

dengan 19.384 kasus.4

Prevalensi kasus kusta di Indonesia 

menunjukkan kondisi yang relatif statis 

sejak tercapainya status eliminasi kusta 

pada tahun 2000. Hal ini dapat dilihat dari angka penemuan kasus baru kusta 

selama lebih dari dua belas tahun yang 

menunjukkan kisaran angka antara enam 

hingga delapan per 100.000 penduduk 

dan angka prevalensi yang berkisar 

antara delapan hingga sepuluh per 

100.000 penduduk per tahunnya. Pada 

tahun 2015 dilaporkan 17.202 kasus baru 

kusta dengan 84,5% kasus di antaranya 

merupakan tipe Multi Basiler (MB).5

Hasil pengumpulan data Profil 

Kesehatan Kabupaten/Kota se-Provinsi 

NTT pada tahun 2013 dilaporkan bahwa 

jumlah penderita kusta sebanyak 479 

kasus. Pada Tahun 2014 dilaporkan 

bahwa jumlah penderita kusta sebanyak 

575 kasus. Sedangkan pada tahun 2015 

dilaporkan jumlah penderita kusta 

sebanyak 391 kasus, berarti terjadi 

penurunan pada tahun 2015.6

Pada tahun 2015 dilaporkan 

penderita baru kusta yang paling banyak 

di Kabupaten Flores Timur dengan 71 

kasus sedangkan yang paling rendah 

Kabupaten Kupang, Nagekeo, 

Manggarai Timur, Manggarai, 

Manggarai Barat dan Sumba Barat. 

Kabupaten Lembata berada pada urutan 

ke 6 dengan 26 kasus.6

Masyarakat cenderung takut 

dengan penyakit kusta karena dapat 

menyebabkan kecacatan dan 

deformitas.7 Risiko kecacatan akibat 

penyakit kusta cukup besar sehingga 

sangat diperlukan perawatan dan 

rehabilitasi karena keterlambatan 

penanganan menyebabkan perubahan 

fisik, sosial dan psikologis.8,9 Hal ini 

akan berdampak secara psikologis pada 

penurunan kepercayaan diri, merasa 

malu, kehilangan harapan dan memiliki 

gambaran diri yang buruk yang 

menyebabkan penurunan kualitas hidup 

penderita kusta.9

Kualitas hidup menurut WHO 

didefinisikan sebagai persepsi individu 

tentang posisinya dalam kehidupan 

dalam konteks budaya dan sistem nilai 

yang dianut, yang berhubungan dengan 

tujuan hidup, harapan, standar, dan 

minat. Hal ini  merupakan konsep 

yang luas yang melibatkan kesehatan 

fisik, keadaan psikologis, derajat 

ketidakbergantungan, hubungan sosial, 

kepercayaan, dan hubungannya dengan 

lingkungan. Definisi ini  

mencerminkan bahwa kualitas hidup 

mengacu pada penilaian subyektif, yang 

tertanam dalam konteks budaya, sosial, 

dan lingkungan.

Dengan demikian, kualitas hidup 

tidak dapat disamakan secara sederhana 

dengan status kesehatan, gaya hidup, 

kepuasan hidup, keadaan mental, atau 

keadaan sehat, melainkan merupakan 

konsep multidimensional yang 

menggabungkan persepsi individu akan 

hal ini  dan aspek lain dalam 

kehidupan

Faktor-faktor yang mempengaruhi 

kualitas hidup penderita kusta antara 

lain, jenis kusta yang diderita, derajat 

kecacatan akibat kusta, stres psikologis 

dan keterbatasan aktivitas akibat 

komplikasi kusta, kondisi tempat tinggal 

dan adanya isolasi dari lingkungan serta 

adanya stigma yang dialami oleh 

penderita.

Penderita kusta yang mengalami 

kecacatan cenderung hidup menyendiri 

dan mengurangi kegiatan sosial dengan 

lingkungan sekitar, penurunan 

kepercayaan diri sehingga mereka 

merasa bahwa dirinya tidak berguna dan 

bermanfaat dimasyarakat. Hal ini 

menyebabkan terjadinya perilaku 

menarik diri dari lingkungan sekitar 

sehingga mempengaruhi kualitas hidup 

penderita kusta.

Pada tahun 2008, Maria dkk, 

melakukan penelitian di Kabupten 

Lembata, didapatkan bahwa tingkat 

kecacatan berpengaruh terhadap kualitas 

hidup penderita kusta di bandingkan 

faktor lain, seperti tingkat pendidikan, 

status perkawinan, usia dan jenis 

kelamin. Selain itu, dilihat dari aspek 

sosial dan psikologis, masih di dapatkan hasil yang buruk.15 Hasil ini ini sejalan 

dengan penelitian oleh La Ode Hane dkk 

pada tahun 2017 yang menyatakan 

tingkat kecacatan dan depresi 

berpengaruh terhadap kualitas hidup 

penderita kusta.3 Berbanding terbalik 

dengan penelitian yang dilakukan oleh 

Elsya Siskawati Slamet dkk pada tahun 

2014, yang menyatakan bahwa kecacatan 

tidak berhubungan secara bermakna 

dengan kualitas hidup orang yang pernah 

mengalami kusta di Kabupaten 

CirebonPenelitian dilaksanakan di RS 

Lepra Damian yang terletak di 

Lewoleba, tepatnya di Woloklaus dengan 

luas 12,5 Ha. RS Lepra St. Damian 

menjadi satu-satunya Rumah Sakit Kusta 

di daratan Flores Timur dan Lembata 

sehingga sampai saat ini masih menjadi 

pusat rujukan dari berbagai Puskesmas di 

daerah pelosokberdasar   hasil ujiRank

Spearman pada penelitian ini, didapatkan 

nilai p = 0,008 atau (p < 0,05) dengan 

interval kepercayaan 95 % (CI = 0,000-

0,045) atau dapat disimpulkan bermakna 

secara statistik bahwa ada perbedaan 

antara tingkat kecacatan dengan kualitas 

hidup penderita kusta di RS St. Damian 

Lewoleba.berdasar   hasil uji Rank

Spearman pada penelitian ini, didapatkan 

nilai p = 0,008 atau (p < 0,05) dengan 

interval kepercayaan 95 % (CI = 0,000-

0,045) atau dapat disimpulkan bermakna 

secara statistik bahwa ada perbedaan 

antara tingkat kecacatan dengan kualitas 

hidup penderita kusta di RS St. Damian 

Lewoleba.

Hasil ini sejalan dengan penelitian 

yang dilakukan La Ode Hane dkk, 

tentang faktor yang mempengaruhi 

kualitas hidup penderita kusta di 

Kabupaten Maluku Tengah tahun 2017, 

bahwa tingkat kecacatan berpengaruh 

terhadap kualitas hidup penderita kusta 

karena nilai p =0,040 < 0,05.3

Penelitian yang sejalan dengan 

hasil ini adalah penelitian yang pernah 

dilakukan oleh Maria Imakulati Making 

dkk, yang menyatakan kualitas hidup 

penderita kusta berbeda secara signifikan 

dari segi kecacatan dengan hasil analisis 

Fisher’s Exact dengan nilai p = 0,035.(15)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh 

Rina Nur Hidayati dkk, penderita kusta 

dengan tingkat kecacatan 2 memiliki 

kualitas hidup tinggi dengan frekuensi 

67,5 %. Hal ini disebakan karena kualitas 

hidup penderita kusta dipengaruhi oleh 

faktor penting lain status pernikahan, 

tempat tinggal dan dukungan dari 

keluarga dan masyarakat. Selain itu, 

penderita kusta dengan tingkat cacat 2 

lebih menerima diri dan menikmati hidup 

yang sedang dijalani.

Sedangkan pada penelitian yang 

dilakukan oleh Elsya S Slamet dkk di 

Kabupaten Cirebon menyatakan bahwa 

tingkat kecacatan tidak berhubungan 

secara bermakna dengan kualitas hidup 

penderita kusta. Dalam penelitian 

ini  dikatakan adanya Multy Drug 

Therapy dan pemeriksaan Prevention of 

Disability secara rutin oleh petugas telah 

menimbulkan optimisme tentang 

prospek untuk menghilangkan penyakit 

dan mencegah kecacatan. Selain itu 

adanya Kelompok Perawatan Diri (KPD) 

yang mengajarkan cara-cara perawatan 

yang bertujuan mencegah kecacatan dan 

mengurangi cacat yang sudah ada 

membuat penderita kusta lebih percaya 

diri dengan kecacatannya

Penderita kusta yang mengalami 

kecacatan yang mana kodisi sakit yang 

ditimbulkan dari kecacatan kusta 

menyebabkan kondisi sakit yang 

menimbulkan ketidaknyamanan fisik, 

keluhan nyeri, perubahan suhu tubuh dan 

kelemahan sehingga menimbulkan 

perasaan cemas, gelisah, putus asa dan 

bisa berujung pada depresi yang 

mempengaruhi kualitas hidupnya.berdasar   hasil ujiRank

Spearman pada tabel di atas, didapatkan 

nilai p = 0, 019 atau (p < 0,05) dengan 

interval kepercayaan 95 % (CI = 0,000-

0,045) atau dapat disimpulkan bermakna 

secara statistik terdapat perbedaan 

tingkat depresi dengan kualitas hidup 

penderita kusta di RS St. Damian 

Lewoleba.

Hasil penelitian ini sejalan dengan 

La Ode Hane dkk, yang menyatakan 

depresi berpengaruh terhadap kualitas 

hidup karena nilai p = 0,000 < 0,05. 

Depresi dipandang sebagai suatu 

perilaku yang dapat menyebabkan 

seseorang kehilangan kontrol pada 

dirinya. Depresi merupakan keadaan 

dimana seseorang mengalami 

kemurungan (kesedihan, kepatahan 

semangat) yang ditandai dengan labilitas 

perasaan, kecemasan, perasaan bersalah 

dan keinginan bunuh diri. Depresi 

menyebabkan seseorang malas untuk 

mengikuti regiment pengobatan Multy 

Drug Therapy, nafsu makan yang 

kurang, keengganan berolahraga, dan 

kesulitan tidur sehingga dapat 

memperberat gangguan fisiknya dan 

pada akhirnya dapat memperburuk 

derajat kesehatannnya.3

Sedangkan pada penelitian yang 

dilakukan oleh Felda Andreane, 

menyatakan tidak ada hubungan depresi 

dengan kualitas hidup penderita kusta 

dengan p = 0,220 (p>0,05).


Terdapat hubungan yang bermakna 

secara statistik antara tingkat kecacatan 

dengan kualitas hidup penderita kusta di 

Rumah Sakit Lepra Damian Lewoleba.

Terdapat hubungan yang bermakna 

secara statistik antara tingkat depresi 

dengan kualitas hidup penderita kusta di 

Rumah Sakit Lepra Damian Lewoleba.



Selama ini penderita kusta dipandang sebagai penyakit kutukan, keturunan, akibat guna￾guna, penyakit aib, memiliki pola hidup yang kotor, dan penyakit menular hingga tidak bisa 

disembuhkan. Menurut berbagai penelitian pemberian stigma terhadap penderita kusta sudah 

umum terjadi. Namun jika ditelaah lebih dalam, mengenai proses pengobatan pada penderita 

kusta adanya spekulasi yang ada menyebabkan beberapa petugas medis memberikan stigma

terhadap penderita kusta. Dari latar belakang ini  fokus dalam penelitian ini adalah untuk 

mengetahui bentuk - bentuk stigma yang dialami penderita kusta selama proses pengobatan dan 

perawatan serta reaksi penderita kusta atas stigma yang diberikan oleh petugas medis. Studi ini 

dilakukan di Dusun Sumber Glagah, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.Menggunakan 

metode penelitian kualitatif, paradigma penelitian yang digunakan adalah Definisi sosial, 

menggunakan teori Stigma Erving Goffman. Teknik penentuan informan pada penelitian ini 

menggunakan teknik snowball. Informan yang diperoleh yakni sebanyak tujuh orang dengan 

latar belakang yang berbeda dan dua informan non subjek sebagai pendukung dalam penelitian. 

Hasil dari penelitian ini antara lain yakni (1) bentuk stigma yang diterima yakni mendapatkan 

perkataan sebagai penyakit menular, tidak bisa disembuhkan penyakit yang tidak steril, penyakit 

yang menakutkan pasien lain serta tulisan di dinding instasi kesehatan bahwa penderita kusta 

merupakan kutukan dari tuhan, selain itu menolak kehadirannya saat berkunjung di instasi 

kesehatan dan memandang rendah penderita kusta dan memperlakukan kekerasan saat 

periksa.(2) Kemudian reaksi dari penderita kusta hanya diam dan menunjukan sikap marah atas 

stigma yang di berikan petugas medis.Kusta merupakan penyakit kulit yang 

disebabkan oleh bakteri, bukan penyakit 

turunan maupun penyakit kutukan dari 

dosa. Penyakit yang telah menyerang tubuh 

manusia sudah ada dari zaman kuno 

ini  disebabkan oleh bakteri yang 

bernama Mycobacterium Leprae, dimana 

bakteri ini  menyerang kulit, saraf tepi 

dan jaringan lain, kecuali otak. Penyakit 

dengan nama lain lepra ini  sering 

dianggap sebagai penyakit keturunan, 

karena kutukan, guna-guna atau pada pola 

hidup yang kotor. (Depkes, 2018). Penyakit 

dengan spekulasi masyarakat sebagai 

penyakit yang menular, sehingga penderita 

kusta acapkali mendapat stigma yang 

negatif. Selain itu adanya perlakuan 

diskriminatif yang diterima penderita 

kusta, hal ini masyarakat menilai bahwa 

penderita kusta sebagai penyakit kutukan.

Prevalensi pada penyakit kusta di 

Indonesia pada tahun 2015-2017 tidak 

banyak mengalami perubahan. Pada tahun 

2017 banyak sekali penurunan dari tahun￾tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2015 

prevalensi sebanyak 6.73% menjadi 6,50% 

pada tahun 2016 terakhir pada tahun 2017 

mengalami penurunan sebanyak 6,08% 

pada tahun 2017. Indonesia merupakan 

salah satu Negara yang menduduki terkena penyakit kusta, yakni di Provinsi Jawa 

Timur, Papua dan Sulawesi Selatan yang 

memiliki jumlah kasus kusta 

terbanyak.Diketahui bahwa angka prevelasi 

kusta pada tahun 2015 di Jawa Timur 

sebanyak 4.013, Provinsi Papua sebanyak 

1084. Sedangkan di Sulawesi Selatan 

sebanyak 1.220 penderita. Dari data 

ini  diketahui bahwa prevalensi 

penyakit kusta di Jawa Timur masih berada 

diatas standart yang telah ditetapkan oleh 

World Health Organization (WHO). 

Sedangkan pada penderita kusta tertinggi 

di 14 provinsi pada tahun 2015, dan 9 

provinsi pada tahun 2016, dan sebanyak 11 

provinsi pada tahun 2017. Secara nasional 

presentase kasus baru kusta pada anak usia 

dibawah 20 tahun selama periode tahun 

2015-2017 mengalami penurunan, yaitu 

dari sebelumnya sebesar 11,22% tahun 

2015 menjadi 11,05% di tahun 2017 

(Depkes, 2018).

Salah satu masalah yang menghambat 

upaya penangulangan pada penyakit kusta 

adalah stigma yang melekat pada penyakit 

kusta. Fenomena stigma terhadap orang 

yang menderita kusta akan berdampak juga 

pada keluarga dari penderita kusta. Stigma 

ini  berupapandangan negatif dan 

perlakuan diskriminatif terhadap 

keluargapenderita kusta, sehingga 

menghambat upaya penderita kusta dan 

keluarganya untuk menikmati kehidupan 

sosial yang wajar seperti individu pada 

umumnya (Rahayu:2016). Dalam 

kehidupan sehari-hari, perlakuan 

diskrimnasi dapat terjadi dalam hal 

kesempatan mencari lapangan pekerjaan, 

di tempat ibadah, mendapatkan pasangan 

hidup, dan lain-lain. Keadaan ini 

berdampak negatif pada penderita kusta 

secara psikologis bagi mereka selain itu 

frustasi, bahkan ada yang melakukan upaya 

untuk bunuh diri (bakrie,2010). Dari sisi 

penanggulan penyakit, stigma penderita 

kusta dapat menyebabkan seseorang yang 

sudah terkena kusta enggan berobat karena 

takut keadaannya diketahui oleh 

masyarakat sekitar.Hal ini tentu saja 

disebabkan karena spekulasi masyarakat 

terhadap penyakit kusta sebagai penyakit 

yang menular, selain itu penyakit kusta 

juga terdapat timbulnya kecacatan pada 

yang bersangkutan sehingga terjadilah 

masalah yang tak terselesaikan.

Disamping merasakan sakit akibat 

penyakitnya, penderita kusta juga 

memperoleh perlakuan tidak nyaman, 

terutama terkait dengan stigma negatif 

yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini 

disebabkan penderita kusta selain 

menanggung beban moral dimana menderita secara fisik, tapi juga secara 

sosial harus menanggung beban sosial 

dalam bentuk perilaku diskriminatif dan 

pengucilan masyarakat sekitar. Beban 

moral yang tidak dapat dihindarkan, 

mengakibatkan perlakuan yang tidak 

berpihak pada penderita kusta. 

Di India penderita kusta seringkali 

memperoleh perlakuan yang tidak berpihak 

pada penderita kusta karena dianggap 

menodai manusia, menganggap orang yang 

memiliki dosa, ketakutan bahaya terjadinya 

penularan penyakit.Tidak hanya itu 

masyarakatnya menandai dengan 

membawa lonceng jika ada keluarga 

maupun penderita kusta, serta menandai 

rumah bagi penderita kusta (Tony, 

2017).Sama halnya dengan penderita yang 

tinggal Desa Sumberglagah Mojokerto 

penderita kusta juga mengalami perlakuan 

yang tidak adil dari daerah asalnya, 

kemudian mereka beralih pada tempat yang 

disediakan oleh pemerintah untuk tempat 

tinggal penderita kusta dan keluarganya.

Petugas medis (personal health) 

merupakan seseorang pelayanan kesehatan 

yang memiliki peran sebagai upaya 

penyembuhan derajat kesehatan 

masyarakat, seperti halnya menerima dan 

melayani pasien dengan berbagai macam 

karakteristik penyakit.Petugas medis atau 

yang dimaksud dengan penyedia jasa 

kesehatan yang berada di Rumah Sakit, 

Puskesmas atau pelayanan kesehatan 

lainnya, yang berfungsi sebagai 

meningkatkan kualitas pelayan pasien agar 

lebih baik. Tidak hanya pelayanan untuk 

menyembuhan penyakit pada pasien, 

petugas medis harus memberikan sikap 

peduli bagi konsumen selaku pengguna 

jasa kesehatan. Petugas medis harus selalu 

tanggap dan senantiasa untuk merawat 

pasien begitu juga dengan memberikan 

perilaku yang baik terhadap setiap 

keinginan pasien yang ingin berobat, 

apalagi dalam bidang kesehatan harapan 

konsumen sangat bergantung dengan 

prtugas medis (personal health). Maka 

dengan itu masyarakat akan 

mempercayakan dalam penyembuhan 

kesehatannya pada petugas medis, hal 

ini  betapa efektifnya petugas medis 

dalam pelayanan penyembuhan penyakit di 

semua kalangan masyarakat baik kalangan 

bawah maupun atas.

Berbagai stigma yang diberikan 

masyarakat, tentunya tidak luput stigma 

yang diberikan petugas medis dengan 

memberikan pelayanan secara tidak 

maksimal. Acapkali petugas medis masih 

memegang stereotip tentang penderia kusta 

karena mindset masyarakat terhadap penyakit kusta sebagai penyakit menular, 

penyakit yang tidak bisa disembuhkan 

dengan keterbatasan fasilitas pelayanan 

yang diberikan sehingga terjadinya proses 

stigma terhadap penderita kustaKerangka Teori

Stigma – Erving Goffman

Menurut Erving Goffman (Ritzer, 

2012) apabila seseorang memiliki 

karakteristik/atribut yang berbeda dari 

orang-orang yang berada dalam kategori 

sama dengan dia (seperti berbahaya, tidak 

sempurna kondisi fisiknya, lemah), maka ia 

akan diasumsikan sebagai orang yang 

ternodai. Atribut inilah yang disebut 

sebagai stigma. berdasar   hal ini , 

Goffman membedakan stigma menjadi 3 

jenis :

a. Abominations of the body

(ketimpangan fisik)

Stigma yang berhubungan 

dengan kerusakan karakter individu 

secara fisik, seperti tuli, bisu, 

pincang, dan sebagainya.

b. Blemishes of indivdual character

Stigma yang berhubungan 

dengan kerusakan karakter individu 

seperti homoseks, pemabuk, 

pecandu, dan sebagainya.

c. Tribal stigma

yaitu stigma yang 

berhubungan dengan suku, agama, 

dan bangsa (Goffman, 1963 dalam 

Ardianti, 2017)

Dalam penelitian ini teori stigma 

digunakan untuk menganalisis stigma 

sosial yang diberikan petugas medis

kepada petugas medis, serta aspek-aspek 

yang mendasari masyarakat untuk 

memberikan stigma terhadap penderita 

kusta. Ketiga konsep Goffman mengenai 

Self, Identity, dan Stigma memiliki 

hubungan antara satu dan yang lainnya 

dalam proses pemberian stigma. Konsep 

Self dalam penelitian ini dilakukan oleh 

penderita kusta dalam memaknai dirinya sendiri sebagai penyakit yang dideritanya. 

Mereka mendapatkan makna mengenai 

dirinya melalui pengkontruksian pikiran 

orang lain. Dari pengkontruksian pikiran 

orang lain yang diberikan terhadap 

penderita kusta ini  muncul sebuah 

Identity yang diperoleh dari masyarakat. 

Dengan adanya Identity yang telah 

diperoleh ini , maka petugas medis 

akan memberikan Stigma terhadap 

penderita kusta. 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam 

peneltian ini adalah metode penelitian 

kualitatif dengan menggunakan paradigma 

definisi sosial. Paradigma ini menjelaskan 

makna subjektif yang diberikan individu 

terhadap tindakan mereka. Paradigma ini 

menitik beratkan pada tindakan sosial yang 

dilakukan berdasar   kesadaran seseorang 

yaitu tindakan sosial yang dilakukan 

seseorang yang mengandung makna bagi 

dirinya sendiri. Data-data yang digunakan 

adalah data yang bersifat kualitatif dengan 

cara melakukan observasi atau pengamatan 

langsung mengenai kondisi sebenarnya di 

lingkungan sekitar, kegiatan yang 

dilakukan, proses interaksi, peneliti 

melakukan komunikasi dengan objek yang 

diteliti, memahami karakteristik mereka, 

sehingga peneliti mampu mendapatkan 

pemahaman mendalam mengenai subyek 

yang diteliti, dan memahami seberapa 

besar manfaat penelitian ini dilakukan 

untuk orang lain.

Informan Penelitian

Informan merupakan sumber 

informasi utama yang mendukung untuk 

menjawab fokus masalah dalam penelitian 

ini, maka dari itu informan merupakan 

salah satu elemen tepenting dalam suatu 

penelitian. Penelitian ini menggunakan 

teknik snowball (menggelinding), sebagai 

langkah awal peneliti menjadi volunteer 

komunitas peduli kusta yang menghabiskan 

waktu dengan warga Desa sumberglagah 

sambil melakukan obsevarsi serta 

pengambilan data. Metode snowball ini 

akan mempermudah dalam mencari data 

penelitian, alasan dipilihnya teknik 

penentuan informan ini karena informan 

yang akan digunakan sebagai sumber 

informasi hanyalah orang-orang yang 

sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. 

Disini peneliti juga mencari informan yang 

berlatar belakang berbeda-beda dalam 

proses terinfeksi mycobacterium Lepra

serta tingkat kecacatan yang terjadi pada 

penderita kusta.Dalam penelitian ini telah 

menetapkan tujuh informan subjek yang menderita penyakit kusta, ketujuh informan 

ini  terbuka dengan peneliti dan 

mampu menjelaskan informasi yang sesuai 

fokus penelitian ini.Serta dua informan 

sebagai pendukung dalam penelitian ini 

yang berprofresi sebagai petugas kesehatan 

guna melihat realitas yang ada dalam 

bidang kesehatan.

Hasil Penelitian 

a. Bentuk Stigma Yang Diberikan Oleh 

Petugas Medis (Personal Health)

berdasar   hasil temuan data 

terdapat berbagai macam penderita kusta 

mendapatkan stigma yang diberikan 

petugas kesehatan, baik dari stigma verbal 

maupun stigma non verbal hal ini  

terlihat dari keterangan informan. 

Pemberian stigma yang dilakukan tenaga 

medis terhadap penderita kusta mengacu 

pada karakteristik tertentu. Pemberian 

stigma yang dilakukan tenaga medis 

mencerminkan bahwa adanya tenaga medis 

yang belum benar-benar mengetahui 

pengetahuan tentang penyakit kusta. Selain 

itu terbawa dengan mindset masyarakat 

atau lingkungan. Hal yang lain dari 

individu petugas kesehatan yang dengan 

sendirinya ia tidak mau merawat penderita 

kusta karena takutnya ia akan tertular 

penyakit dari pasien. Dengan itu tenaga 

kesehatan kerap memberikan stigma 

terhadap penyakit dengan spekulasi sebagai 

penyakit yang tertular. berdasar   dari 

kutipan beberapa informan terdapat adanya 

stigma yang diberikan informan dari 

perlakuan yang tidak menyenangkan atau 

perkatan yang membuat sakit hati yang 

mengarah kondisi fisiknya, mencaci, tidak 

diterimanya dalam berobat, melakukan 

kekerasan ketika petugas medis tidak bias 

membenarkan infus, serta yang sering 

ditemui cacian berupa penyakit menular

namun ada juga tenaga medis melakukan 

secara terang-terangan yakni terdapatnya 

tulisan di dinding puskesmas kalau 

penderita kusta merupakan penyakit 

kutukan tuhan.

b. Sesudah Berobat di Layanan 

Kesehetan Khusus

Setelah menjalani berbagai proses 

pengobatan yang dilalui, terdapat informan 

yang berobat di layanan kesehatan umum 

yang memnyebabkan dirinya mendapatkan 

stigma dari petugas medis. Dari 

pengalaman yang dialami informan, 

dirinya melakukan suatu perubahan yang 

lebih baik yakni berobat di layanan 

kesehatan yang khusus menangani kusta 

guna tidak terjadinya stigma pada dirinya dan mendapat perawatan yang baik. Dari 

pemaparan beberapa informan dapat 

diketahui ketika ia memilih berobat di 

pelayan kesehatan yang khusus menangani 

kusta, dirinya merasa mendapat perawat 

yang baik yang dapat merawat kondisinya 

hingga sembuh. Serta adanya komunikasi 

dengan perawat dan pasien membuat orang 

yang menderita kusta akan merasakan 

perasaan yang tenang dan merasa 

terlindungi oleh petugas medis. Maka dari 

itu dapat diketahui bahwa penderita kusta 

jika berobat di pelayan kesehatan yang 

menangani khusus akan merasa lebih aman 

dan tenang perasaannya.

c. Dampak Dari Pemberian Stigma

berdasar   temuan data yang 

didapatkan, diketahui bahwa setiap 

penderita memiliki dampak yang 

didapatkan atas stigmanya. Dampak yang 

diperoleh dikarenakan stigma yang 

diberikan masih terbanyangkan dalam 

benak penderita. Sehingga menimbulkan 

enggannya untuk berobat atau berhubungan 

dengan tenaga kesehatan. Hal ini sesuai 

dengan informan yang mendapatkan stigma 

yang jelas tertera pada dinding puskesmas 

mengatakan penyakit kusta merupakan 

kutukan tuhan sehingga tidak mau berobat 

dan menimbulkan dampak semakin 

parahnya penyakit yang dideritanyadan 

kehilangan anggota tubuhnya. Selain itu

yang saat itu ditolak keadaanya saat 

berobat sehingga menimbulkan kanker 

pada luka yang dialami dan harus 

diamputasi pada kaki kanannya. Sama 

halnya stigma yang diperolehnya membuat 

enggan untuk berobat jika kondisi yang 

tidak parah, sehingga menimbulkan 

dampak harus mengalami kecacatan pada 

tubuhnya. Berbeda dengan informan 

sebelumnya, tidak percaya diri saat 

bertemu dengan petugas kesehatan. Selain 

itu menjadi tromah dan malu saat 

berhadapan dengan petugas kesehatan 

karena kondisinya yang sudah dilabelkan 

oleh masyarakat.

d. Reaksi Penderita Kusta Atas Stigma 

Yang diberikan Petugas Medis 

(Personal Health)

Penderita kusta umumnya 

memberikan beragam reaksi dalam 

menanggapi stimulus negatif yang 

diberikan kepada dirinya. berdasar   

temuan data yakni keterangan dari 

informan, ketika mendapatkan stigma ia 

menanggapi petugas kesehatan dengan 

pasrah dan hanya diam. Berbeda dengan ke 

empat informan yang memiliki keberanian 

justru menegur petugas kesehatan yang 

melakukan perlakuan yang tidak baik terhadap pasien. Selain itu informan 

melakukan complain terhadap petugas 

kesehatan yang melakukan perlakuan yang 

tidak baik. Reaksi yang dilaku untuk 

memberikan informan bersifat pasif hal 

ini  disadari bahwa keberadaan 

penderita kusta yang sudah di label dengan 

penyakit yang menular dan tidak ada 

obatnya, membuat penderita takut untuk 

memberontak atas perlakuan yang 

diterimanya.

Terdapat perlakuan yang ia terima, 

informan tetap merasa bahwa julukan atau 

pemberian anggapan negatif yang di 

peroleh. Informan harus lebih bijak dalam 

menyikapinya. Stigma yang diberikan oleh 

petugas medis terhadap penderita kusta, 

tergantung bagaimana masing-masing 

orang bereaksi dan menyikapinya. 

Kesimpulan

1. Munculnya penyakit kusta yang 

di dederita pada informan

dimaknai sebagai penyakit yang 

membuat malu, penyakit yang 

tidak diterima masyarakat serta 

penyakit yang dijauhi.

2. Munculnya penyakit kusta 

mayoritas informan 

diidentitaskan sebagai individu 

yang tidak berguna, hidup dengan 

stigma, serta memiliki penyakit 

yang membuat kehilangan 

anggota tubuh.

3. Dalam proses pengobatan 

diketahui bahwa informan 

mendapatkan stigma dari petugas 

medis ketika berobat di kampung 

halamannya di pelayanan 

kesehatan umum.

4. Bentuk stigma verbal yang 

diperoleh penderita kusta yaitu 

berupa julukan yang tidak baik 

seperti penyakit yang bisa 

menular, penyakit yang tidak 

steril, penyakit yang menakutkan 

orang lain selain itu perkataan 

berupa tulisan yang tertera di 

dinding instasi kesehatan yang 

mengacu pada penderita kusta 

merupakan penyakit kutukan 

tuhan.

5. Bentuk stigma non verbal yang 

diperoleh penderita kusta 

diantaranya orang yang menderita 

kusta dianggap seluruh badannya 

sudah mati rasa sehingga petugas 

medis memperlakukan penderita 

kusta secara kasar, serta 

memandang penderita kusta dari 

keluarga yang tidak mampu 

sehingga terjadinya manipulasi data yang dilakukan petugas 

medis.

6. Stigma yang dilakukan secara 

terang-terangan oleh petugas 

medis dari latar belakang 

lingkungan, faktor sosial budaya, 

serta faktor ekonomi.

7. Stigma yang diberikan 

berdasar   ketimpangan fisik, 

atas dasar anggota tubuh yang 

sudah cacat. serta ketimpangan 

karakter, atas dasar karakter yang 

menyakiti orang lain dan mindset 

masyarakat atas dasar pola 

pemikiran yang dimiliki 

masyarakat.

8. Pemberian stigma menimbulkan 

dampak pada informan yakni 

keadaan semakin parah, terkena 

kanker, kehilangan anggota 

tubuhnya, serta perasaan traumah 

dan tidak percaya diri ketika 

harus berhadapan dengan petugas 

medis.

9. Sikap reaksi terang-terangan 

berupa menunjukan sikap marah 

atas stigma yang diperoleh 

penderita kusta, dan sikap reaksi 

terselubung berupa diam dan 

membatin atas stigma yang 

diperoleh penderita kusta.

10. Informan ketika berobat di 

pelayan kesehatan yang khusus 

menangani penyakit kusta 

mendapatkan perawatan yang 

baik dan mendapatkan perhatian 

dari petugas medis.





Morbus Hansen (Kusta) merupakan masalah kesehatan 

kulit yang masih sering ditemukan di masyarakat Nusa Tenggara Barat. Kusta 

disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kebersihan diri, keadaan air, 

dan nutrisi atau gizi. Selain terifeksi oleh Micobacterium Leprae sendiri, faktor 

kebersihan dan terapi awal sangat menentukan keberhasilan pengobatan serta 

prognosis dari penyakit ini  yang kemudian akan meperngaruhi kesehatan 

dan kualitas hidup masyarakat. Pada penelitian yang telah dilakukan dikatakan 

bahwa penyakit kusta pada masyarakat Indonesia terutama Nusa Tenggara masih 

sangat banyak bahkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang 

penyakit ini  dan datang sudah dengan tingkat keparahan tertentu.

Analisis Situasi: Petugas Kesehatan memegang peranan penting dalam penyebaran pengetahuan kusta (Morbus Hansen) yang mulai banyak 

bermunculan pada tingkat keparahan tertentu, yang dapat mempengaruhi kualitas 

hidup penderita. Melalui kegiatan edukasi ini diharapkan dapat terjadi 

peningkatan pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini penyakit kusta yang 

mungkin muncul dengan prognosis yang sudah buruk dan komplikasi sehingga 

mempengaruhi keberhasilan terapi selanjutnya.

Metode Pendekatan: Tahapan pendekatan yang dilakukan dalam program ini

terdiri dari penyuluhan kepada masyarakat awam mengenai deteksi dini kusta 

(Morbus Hansen) pada masyarakat Sumbawa di RSUD Manambae.

Hasil dan Kesimpulan: Dari 20 lembar quisioner yang dibagikan hanya 3 yang 

mendapat skor 75 dan 17 lembar lainnya mendapatkan skor dibawah 50. Setelah 

dilakukan edukasi berupa menonton video secara bersamaan dan dilakukan 

penilaian Kembali 15 orang mendapatkan nilai diatas 50 dan 5 orang 

mendapatkan nilai dibawah 50. Pengunjung yang poli kulit dan kelamin serta poli 

umum RSUD Manambae memiliki pengetahuan yang sangat kurang tentang 

Morbus Hansen, hal ini dilihat dari hasil pengisian kuisioner yang dilakukan 

sebelum diberikan edukasi. Terlihat perbandingan yang sangat signifikan antara 

skor sebelum diberikan edukasi dan setelah diberikan edukasi. Dalam prinsip 

kedokteran mencegah lebih baik daripada mengobati sehingga menjadi pentingKusta adalah penyakit tertua di dunia, merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh 

infeksi Mycobacterium leprae memiliki sifat interseluler dan obligat. Saraf perifer adalah yang utama 

dalam infeksi kusta kemudian diikuti kulit mukosa dan organ – organ respirasi. Epidemiologi penyakit 

kusta sangat beragam dan masih belum diketahui hingga saat ini, para ahli kulit mengatakan 

infeksinya melalui sentuhan kulit dengan kulit. Faktor – faktor yang perlu dipertimbangkan dalam 

mencegah penyakit kusta adalah patogenesis dari kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial 

ekonomi dan lingkungan, perubahan imunitas, dan varian genetik yang berhubungan dengan 

kerentanan. Sumber infeksi dari kusta adalah manusia. Di Indonesia jumlah kasus awal terrekam 

adalah pada tahun 2009 21.538 orang dalam kasus ini  (FK UI, 2017).

Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti, karena dapat 

terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan hanya menderita karena penyakitnya, 

tetapi juga dapat dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini diakibatkan oleh kerusakan saraf besar 

yang bersifat irreversibel di wajah ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan 

yang berulang – ulang pada daerah anastetik disertai paralisis dan atrofi dari otot. Diagnosis dari kusta 

didasarkan gambaran klinis, bakterioskopik, histopatologis dan serologis (Fitzpatrick, 2012).

Kulit berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap pengaruh dari luar seperti bahan kimia, 

radiasi, faktor mekanik, dan invasi lingkungan. Kusta pada masyarakat Sumbawa adalah kasus yang 

sering dirujuk ke RSUDP NTB dikarenakan tidak adanya dokter spesialis kulit di RSUD Manambae, 

Kusta adalah kompetensi dokter umum dengan kurangnya pengetahuan masyarakat mengakibatkan 

pasien datang ke tenaga kesehatan sehingga perlu dirujuk. Hal ini  menjadi masalah dan dapat 

menjadi wabah jika dibiarkan sehingga sangat perlu pengetahuan masyarakat tentang Penyakit kusta, 

bagaimana penularannya, terapi gejala dan pencegahannya.

Organisasi profesi memegang peranan penting dalam penyebaran pengetahuan tentang kusta 

(Morbus Hansen) bagi masyarakat dan kalangan profesi kesehatan. Sehingga berdasar   latar 

belakang ini  Fakultas Kedokteran Universitas Mataram bekerjasama dengan pihak-pihak terkait 

bermaksud untuk melakukan penyuluhan edukasi dan deteksi dini dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai tindakan preventif dan kalangan profesi kesehatan tentang pentingnya 

deteksi penyakit kusta. 

Melalui kegiatan ini diharapkan dapat terjadi peningkatan pengetahuan masyarakat tentang 

penyakit kusta, sehingga kualitas hidup penderita dapat meningkat dan dapat melakukan pencegahan 

terhadap penyakit ini .Pemberian pengabdian masyarakat berupa edukasi melalui video dilakukan di RSUD 

Manambae Sumbawa, pada tanggal 15 Juni 2020. Sebelum dilakukan edukasi melalui video tentang 

kusta, maka dilakukan pengisian quisioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan pengunjung poli 

kulit dan kelamin dan poli umum di RSUD Manambae. Dikarenakan Pandemi sehingga jumlah peserta 

dibatasi menjadi 20 orang. Dari hasil pengisian quisioner didapatkan data dasar sebagai berikut:

10 orang laki – laki dan 10 orang perempuan, rata – rata usia 20-30 tahun, 30-40 tahun, 50-60 tahun. 

Pekerjaan dibagi menjadi swasta dan PNS. Latar belakang yang dimiliki pengunjung dibagi menjadi: 

SD, SMP, SMA dan S1.

Pada Gambar1: menjelaskan bahwa 3 yang mendapat skor 75 (>50) dan 17 lembar lainnya 

mendapatkan skor dibawah 50. Setelah dilakukan edukasi berupa menonton video secara bersamaan 

dan dilakukan penilaian Kembali 15 orang mendapatkan nilai diatas 50 dan 5 orang mendapatkan nilai 

dibawah 50.

Pengunjung Poli Umum terkhusus Poli Kulit di RSUD Manambae, Sumbawa, tidak banyak 

mengetahui info tentang penyakit kulit, yaitu Kusta. Dari 20 lembar quisioner yang dibagikan hanya 3 

yang mendapat skor 75 dan 17 lembar lainnya mendapatkan skor dibawah 50. Setelah dilakukan 

edukasi berupa menonton video secara bersamaan dan dilakukan penilaian Kembali 15 orang 

mendapatkan nilai diatas 50 dan 5 orang mendapatkan nilai dibawah 50. Pemberian edukasi secara 

gratis tentang kusta/lepra sangat membantu penambahan pengetahuan masyarakat tentang kusta/lepra, 

sehingga diharapkan dapat berkelanjutan dan dilakukan secara langsung dengan melakukan screening 

secara langsung. Sehingga kejadian infeksi kusta/lepra dapat dicegah





WHO mencatat jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2016 adalah sekitar 210.758. Dari jumlah

ini  paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (156.118). Data Profil Dinas Kesehatan Ogan

Komering Ulu menunjukkan bahwa angka kasus kusta di Kab. OKU pada 5 tahun terakhir yaitu <1/10.000

penduduk, dan angka kasus cacat >5% artinya melebihi target nasional. Dan secara program dengan angka

cacat yang tinggi ini  artinya masih banyak kasus kusta baru yang belum ditemukan sehingga

mempersulit untuk memutus mata rantai penularan kusta di KAB. OKU. Penelitian ini bertujuan

menganalisis faktor-faktor penderita kusta: peran penderita (pengetahuan, sikap dan kepercayaan); peran

keluarga; peran komunitas; dan peran petugas kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Batumarta II

Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2021. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan

pendekatan fenomenologis. Informan dalam penelitian ini sebanyak dua puluh satu informan yang terdiri dari

penderita kusta, keluarga penderita, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan. Cara pengumpulan data

diperoleh melalui wawancara dan observasi. Data dianalisis secara tematik. Hasil penelitian menunjukan

bahwa pengetahuan informan yang berbeda-beda mengenai penyakit kusta, Sikap penderita yang tidak aktif

dalam merespon reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya. Penderita cenderung sensitif bila penyakitnya

diketahui orang lain. Hambatan peran keluarga disebabkan mereka belum dipahami baik tentang PHBS dan

dianggap sebagai penyakit memalukan dan keturunan. Hambatan peran komunitas karena adanya stigma

masyarakat yang menilai penyakit kusta sebagai penyakit kutukan atau penyakit kulit. Hambatan peran

petugas kesehatan disebabkan seringnya sibuk dengan pekerjaan lain, sehingga pengobatan penderita

terkadang terabaikan dan adanya kontak serumah dengan penderita kusta yang terlambat berobat serta

penderita menolak dilakukan pemeriksaan di tempat tinggalnya sehingga dapat membuka penularan pada

oranglain.World Health Organization (WHO)

mencatat jumlah kasus baru kusta di dunia

pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758. Dari

jumlah ini  paling banyak terdapat di

regional Asia Tenggara (156.118) diikuti

regional Amerika (28.806) dan Afrika

(20.004) dan sisanya berada di regional lain

(Kemenkes RI, 2018a). Di Indonesia hanya 26 provinsi yang

mencapai eliminasi kusta dan 8 provinsi

belum mencapai eliminasi kusta antara lain

Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara,

Papua dan Papua Barat. Dan ditemukan kasus

baru 9.061 CDR 3,34 per 100.000 penduduk

dan dengan kasus terdaftar 16.704 PR 0,62

per 10.000 penduduk dengan angka cacat

TK2 sebesar 1,88 per 1.000.000 penduduk

proporsi kasus baru tanpa cacat 85,34% dan

proporsi kasus baru anak sebesar 9,14%

(Kemenkes RI, 2018a). Pada Tahun 2019 sebanyak 368

Kabupaten/Kota yang mencapai Eliminasi

Kusta, namun 146 Kabupaten/Kota yang

belum mencapai eliminasi kusta, oleh karena

itu kusta masih menjadi masalah kesehatan di

Indonesia karena menimbulkan masalah yang

sangat kompleks dan meluas hingga masalah

sosial, ekonomi, dan budaya karena masih

terdapat stigma di masyarakat terhadap kusta

dan disabilitas yang ditimbulkannya

(Kemenkes RI, 2019). Pengaruh Pandemi COVID-19

menyebabkan diberlakukannya pembatasan

kegiatan mengumpulkan masyarakat,

sehingga pelaksanaan surveilans kusta di

lapangan berjalan kurang maksimal, namun

terjadi penurunan kasus baru di tahun 2019

sebanyak 19.439 penduduk dan di tahun 2020

sebanyak 9.061 penduduk (Direktorat

Jenderal Pencegahan dan pengendalian

Penyakit, 2020). Kegiatan yang dilakukan dalam

penanggulangan kusta seperti promosi

kesehatan dengan cara memperdaya

masyarakat agar berperan aktif dalam

mendukung perubahan perilaku, tenaga

kesehatan melakukan surveilans agar

ditemukannya kasus baru kusta dan

penanganan secara dini, pemberian obat

kemofilaksis dan tatalaksana penderita seperti

penegakkan diagnosa dan pemberian obat

secara dini mulai ditemukannya kasus baru

(Direktorat Jenderal Pencegahan dan

pengendalian Penyakit, 2020). Pengobatan kepada penderita kusta

adalah salah satu cara pemutusan mata rantai

penularan. Kuman kusta di luar tubuh

manusia dapat hidup 24 – 48 jam dan ada

yang berpendapat hingga 7 – 9 hari,

tergantung dari suhu dan cuaca di luar tubuh

manusia ini . Makin panas cuaca makin

cepatlah kuman kusta mati. Sinar matahari

yang masuk ke dalam rumah dapat

menghindarkan adanya tempat-tempat yang

lembab. Ada beberapa obat yang dapat

menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita

tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta

kecuali masyarakat mengetahui ada obat

penyembuh kusta, dan mereka datang ke

Puskesmas untuk diobati. Hingga saat ini

tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta

(Direktorat Jenderal Pencegahan dan

pengendalian Penyakit, 2020). Adanya kekebalan tubuh menyebabkan

hanya sedikit orang yang akan terjangkit

kusta setelah kontak dengan pasien kusta.Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,

kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi

dapat meningkatkan perubahan klinis

penyakit kusta. Sebagian besar (95%)

manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian

kecil yang ditulari (5%). Dari 5% yang

tertular ini , sekitar 70% dapat sembuh

sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit

(Kemenkes RI, 2018a). Kuman kusta biasanya menyerang saraf

tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya. Sumber

penularan penyakit ini adalah penderita kusta

multibasiler atau kusta basah. Bila basil

Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh

seseorang dapat timbul gejala klinis sesuai

dengan kerentanan orang ini . Bentuk

tipe klinis tergantung pada sistem imunitas

seluler penderita. Sistem imunitas seluler baik

akan tampak gambaran klinis ke arah

tuberkuloid (termasuk dalam tipe kusta

pausibasiler), sebaliknya sistem imunitas

seluler rendah memberikan gambaran

lepromatosa (Noviastuti & Soleha, 2017). Belum diketahui secara pasti bagaimana

cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis

penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak

yang lama dengan penderita. Penyakit ini

dapat mengenai semua umur. Pada keadaan

epidemi, penyebaran hampir sama pada

semua umur. Namun yang terbanyak adalah

pada umur produktif (Kemenkes RI, 2018a). Kusta menimbulkan masalah yang sangat

kompleks tidak hanya dilihat dari segi medis

namun meluas sampai masalah sosial,

ekonomi dan budaya. Karena selain cacat

yang ditimbulkan, rasa takut yang berlebihan

terhadap kusta (leptophobia) akan

memperkuat persoalan sosial ekonomi

penderita kusta. Program Penanggulangan

Penyakit (P2) kusta yang dilaksanakan di

Indonesia mempunyai tujuan jangka panjang

yaitu eradikasi kusta di Indonesia (Kemenkes

RI, 2018a). berdasar   Data Dinas Kesehatan Ogan

Komering Ulu Tahun 2019 sampai 2020, Kabupaten OKU merupakan salah satu

kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang

termasuk kabupaten dengan jumlah kasus

kusta sebanyak 91 kasus dari 3 tahun

kebelakang (prevalensi kusta <1/10.000

jumlah penduduk), khususnya Puskesmas

Batumarta II dengan kasus kusta yang

semakin meningkat setiap tahunnya dan

masih berada di bawah target nasional yaitu

prevalensi rate >87%. Faktor risiko yang berhubungan dengan

kejadian kusta telah banyak teliti sebelumnya,

seperti penelitian Akbar ( 2020) menemukan

bahwa faktor yang berhubungan dengan

kejadian kusta adalah umur, jenis kelamin,

riwayat kontak, lama kontak, pendidikan,

status sosial, kepadatan anggota keluarga,

personal hygiene. Penelitian Amsikan et al (2019)

menunjukkan bahwa ada hubungan antara

tingkat pengetahuan; personal hygiene; jenis

pekerjaan dan tidak ada hubungan antara

tingkat pendidikan, lama kontak, suhu kamar

tidur, jarak rumah dan jenis kelamin dengan

kejadian kusta. Sedangkan Salju (2018) faktor

yang berhubungan adalah lama pengobatan

dan yang tidak ada hubungan adalah umur,

jenis kelamin, tipe kusta, jenis pekerjaan,

tingkat pendidikan.

berdasar   penelitian-penelitian

ini  dapat diketahui bahwa faktor faktor

yang berhubungan dengan penyakit kusta

sangat banyak.Selain itu beberapan hasil

penelitian terdapat perbedaan seperti pada

faktor umur, jenis pekerjaan dan jenis

kelamin, lama kontak, kepadatan hunian serta

personal hygiene. Atas dasar hal ini 

penulis tertarik untuk mengadakan penelitian.Analisis Data

Hasil analisis data dalam penelitian ini

disusun berdasar   hasil pengumpulan data

melalui wawancara mendalam dari 21

informan yang mengacu pada tujuan khusus

penelitian yang telah ditetapkan.

Pengetahuan

Selama melakukan penelitian

menunjukan bahwa pengetahuan informan

berbeda-beda tentang penyakit kusta.

Pengetahuan informan tentang penyakit kusta

sebagai berikut :

1. Pengertian Tentang Penyakit Kusta

Informan yang memberikan penjelasan

bahwa mereka tidak mengerti tentang

penyakit kusta. Hal ini terungkap dari hasil

kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Saya kurang paham ini penyakit, kalau bukan

kita yang bilang penyakit ini… Saya tidak tahu,

dan saya betul-betul tidak tahu, sepertinya saya

ingin bunuh diri, he he he...” (JN,40 thn; DA 11

thn; IN, 34 thn). “...kalau yang saya tahu… tidak mungkin saya

menderita begini… penyakit ini kan banyak juga

di dusun… Saya tidaktahu...” (JN 40 thn; DA 11

th,IN 34 thn). 2. Gejala atau Tanda Penyakit Kusta

Kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...itu Sudah lama saya dikena penyakit kusta tapi

awalnya saya kira bengkak, sebab baru datang

dari kebun... bercak merah dibadan sehingga

saya tidak perdulikan itu, lama kemudian baru

saya ke pak mantri tanya… bilang ke puskesmas

cepat…” (JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). Informan lain menjelaskan bahwa

mereka tidak memahami dengan jelas, sebab

awalnya kulitnya hanya merah tebal dan putih

seperti panu dan tidak merasakan ada

kelainan sehingga mereka beranggapan

“penyakit kulit” sebagai pantangan orang

yang mengkomsumsi alergi atau gatal.

“...Saya kira ″penyakit kulit″,2

...sudah lama itu

merah diperutku sehingga tidak diperhatikan...

sudah lama, kemudian tambah merah... baru

mama saya antar saya ke puskesmas... ”. 3. Penyebab Penyakit Kusta

Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Saya tidak tahu, sebab hanya merah... yang

keluar dan tidak sakit kurasa, tidak ada informasi

yang saya tahu seperti ini...” (JN, 40 thn; DA 11

thn; IN, 34 thn). 4. Cara Pengobatan

Wawancara mendalam sebagai berikut:

“...Saya melakukan pengobatan ″metappung″

yang dibuat oleh dukuni… sudah banyak

melakukan itu yang dikena penyakit ini disini…

semacam bedak lulur yang harus dipake setiap

hari, saya tidak tahu bahayanya...” (JN, 40 thn;

DA 11 thn; IN, 34 thn). Wawancara mendalam sebagai berikut:Saya pergi di dokter mau periksa kesehatanku

karena waktu itu saya lagi batuk- batuk… setelah

saya diperiksa dokter bilang… ada penyakitmu

yang lain ini… Ini namanya penyakit kusta… jadi

ke puskesmas cari petugas kusta namanya… agar

dikasi obat dan berobat cepat…” (JN, 40 thn; DA

11 thn; IN, 34 thn). 5. Cara Pencegahan

Peneliti menanyakan lebih lanjut tentang

pencegahan penyakit kusta. Informan yang

menjelaskan bahwa mereka mendapatkan

informasi dari petugas kesehatan sebelumnya

bahwa mereka dianjurkan agar tidak

menghirup nafas dengan penderita kusta yang

tidak melakukan pengobatan secara teratur.

Sementara Informan lain memberikan

penjelasan bahwa mereka belum bisa

memahami betul cara dan upaya pencegahan

penyakit kusta. Hal ini terungkap dari hasil

kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Pak mantri hanya mengatakan bahwa jangan

sampai orang lain menghirup nafas penderita

sebelum penderita minum obat secara teratur...

sebab katanya penularannya lewat pernapasan

sehingga kita disarankan melakukan pengobatan

dengan baik …” (JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34

thn). “...Saya kurang paham pencegahannya… belum

pernah… jadi minum obat saja yang saya

lakukan karena itu yang dibilang petugas…

pokoknya minum ini obat selama satu tahun dan

jangan putus-putus, saya minum saja obat …”

(JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). 6. Akibat jika tidak Berobat

Informan memberikan informasi bahwa

jika pengobatan tidak dilakukan maka

penderita tidak merasa nyaman dalam

berpikir melihat kondisi tubuhnya yang

mengalami pembengkakan. Hal ini terungkap

dari hasil kutipan wawancara mendalam

sebagai berikut: “...Ya saya takut, saya sudah terus terang ini,

tidak ada yang mau datang dirumah sebab

mereka takut sama kita… Sepupuku tidak mau

juga kesini...”. “...Jadi mau berbuat bagaimana sebab bukan

kita yang mau begini… Iya nyaman kurasakan,

nyaman tidur, kalau tidak berobat bisa tambah

rusak badan sebab pikiranku juga rusak

melihat...”. Sikap

1. Upaya Pengobatan

Sikap informan dalam melakukan

pengobatan dengan cara ″metappung″ yang

dibuat oleh dukun sehingga pengobatan

kesarana kesehatan mengalami kendala. Hal

ini terungkap dari hasil kutipan wawancara

mendalam sebagai berikut :

“...Beberapa orang yang sudah lakukan

pengobatan ″metappung″, waktu itu saya masuk

juga didukun itu minta dibuatkan juga… lama

saya metappung, kalau metappung tidak nampak

ada bengkak dikulit… tapi itu sudah lama...” (JN,

40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). Informan lain menuturkan lebih lanjut

bahwa pengobatan selama enam bulan sering

mereka tidak teratur mengkomsumsinya,

sehingga berakibat fatal yang semestinya

pengobatan enam bulan namun harus

menjalani pengobatan selama satu tahun. Hal

ini terungkap dari hasil kutipan wawancara

mendalam sebagai berikut:

“...Saya minum obat selama enam bulan tapi saya

lanjutkan lagi selama enam bulan... perna saya

berhenti makan obat, biasanya saya lupa minum

obat (JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). 2. Upaya Pencegahan

Informan lebih lanjut menjelaskan upaya

dilakukan dalam pencegahan penyakit kusta

adalah tidak bisa makan garam, minyak, cabe

akan tetapi dianjurkan untuk makan daging

karena dianggap kurang gizi, sementara

menurut informan lain mengunkapkan, tidak

bisa menghirup nafas penderita yang tidak

melakukan pengoabatan denga teratur. Hal ini

terungkap dari hasil kutipan wawancara

mendalam sebagai berikut:

“...Mencegah penyakit, iya itu saja saya minta

maaf pada Allah... tidak bisa makan garam,

minyak, cabe...”. “...Pak mantri hanya mengatakan bahwa jangan

sampai orang lain menghirup nafas... penderita

sebelum penderita meminum obat...”.

Peran Keluarga Penderita Kusta

1. Perlakuan KeluargaHasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut: “...Selama ini tidak saya pernah memperlakukan

lain, saya sama terus tidur dan tidak pernah pisah

tidur... karena dalam hati saya bertanya iya... ini

istriku... biasa juga dia dibilang jangan terlalu

dekat ke saya...saya selalu sama... biasa juga

jatuh air mataku kasian... (49 thn; NJ, 51 thn). “...Pergi sama teman-temannya boleh dibilang

tidak ditahu kalau dia dikena kusta sebab tidak

masuk akal kalau dikena... keluargaku tidak

membeda-bedakan sama saja... Bapaknya sama- sama anaknya pergi ambil makanan kambing,

dijaga juga adiknya dirumah...pergi atau disuruh

ke orang lain,biasa...” (ND 34 thn, YD, 60 thn;

NA, 36 thn; AI,39 thn). 2. Persepsi Keluarga Tentang Penyakit Kusta

Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Iya katanya penyakit keturunan, heran sekali

saya karena tidak ada yang kurasa keluarga

begitu... tidak baik dilihat kulitnya, tambah hitam

telinganya… iya tidak bagus di liat, ha ha ha ...”. “...Saya tidak tahu, itu saja saya suru minum

obatnya supaya kasian bisa sembuh dan tidak

dihindari orang lain… iya orang menghindar

karna takut… (AI, 39 thn; NA, 36 thn). 3. Dukungan Pengobatan ke Sarana

Kesehatan

Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut: “...Itu kan dikira dulu itu..″penyakit kulit...saya

bilang, saya sangat khawatir, makanya itu saya

langsung sama-sama masuk di puskesmas, pergi

di dokter sebab kita takut sekali... sudah lama dia

menderitakasian…”(RM, 49 thn; NJ, 51 thn). “...Kenapa jadi seperti ini... sehingga ada merah

yang muncul dibadannya... saya kira ″bercak

mati rasa″,tidak tahu, saya hanya di beri pil

suster, saya bilang ayo kita ke puskesmas...

mereka bilang bawah langsung ke RSUD,tapi

kita ke Puskesmas dulu untuk minta surat

rujukan, setibanya diatas mereka bilang tidak

usah pergi-pergi kalau penyakit itu ada juga obat

tersediadisini...”(YD, 60 thn; AI, 39 thn ; NA, 36

thn).Peneliti lebih lanjut menanyakan

mengapa sampai terlambat dukungan

keluarga dalam upaya pengobatan ke

Puskesmas. Penjelasan Informan bahwa tidak

cepat mengetahui dengan pasti bahwa ini

penyakit kusta sebab hanya sejenis ″bercak

mati rasa″ atau penyakit kulit. Hal ini

terungkap dari hasil kutipan wawancara

mendalam sebagai berikut: “...Sebenarnya ini kita berobat kampung dulu

sebab saya kira penyakit biasa... sehingga tidak

cepat tahu, iya dikira ″Bercak mati rasa

″pertamanya... saya juga bilang mungkin... makin

merah.... akhirnya pergi di puskesmas... merah- merah itu... tidak sakit ...”. “...Iya tadi saya sudah bilang mungkin ″penyakit

kulit″ dan kayaknya juga pengaruh daging... iya

dilihat saja karena...seperti inilah modelnya… ”

(NA 32thn).

Informan lain menjelaskan

keterlambatan dukungan keluarga pada

pengobatan kesarana kesehatan disebabkan

adanya keyakinan ″Bercak mati

rasa″sehingga melakukan pengobatan

dengan cara ″metappung″ dengan waktu

yang cukup lama. Hal ini terungkap dari

hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Keluarga kami punya keyakinan pada waktu

itu bahwa ini faktor ″penyakit kulit” orang lain

yamg berbuat jahat sebab bapak termasuk orang

sukses sebelum dia kasian sakit… jadi setelah

melakukanpengobatan ″metappung″tidak

sembuh-sembuh akhirnya saya cari dokter…”36

thn; AI, 39 thn). 4. Penerapan PHBS dalam Keluarga

Penerapan PHBS kaitannya dengan

penyakit kusta, maka informan

mengungkapkan bahwa Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat belum dipahami baik oleh

keluarga untuk melakukannya, sehingga

mereka berpendapat bahwa penyakit kusta

adalah kehendak Tuhan dan pasrah

menerima Hal ini terungkap dari hasil

kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut: “...Saya betul-betul pasrah sebab aku tidak tahu

harus berbuat bagaimana karena saya tidak tahu

apa itu PHBS… beginilah kasian kalau orang

bodoh jadi banyak yang tidak ditahu… tidak yang

perna saya kasi tahu yang begitu…’’.Peran Komunitas (Masyarakat)

1. Perlakuan Masyarakat Pada Penderita

Kusta

Tanggapan informan terhadap penderita

kusta tidak diperlakukan dengan baik karena

mereka merasa penderita kusta perlu

dihindari, agar tidak tertularkan dengan

penyakitnya sehingga masyarakat menjaga

jarak dengan penderita kusta. Hal ini

terungkap dari penjelasan Informan dari

hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“..Pernah saya sampaikan sama mantri kalau itu

orang yang menderita kusta kita tempatkan lain...

perna juga datang pak mantri menangis, sebab

saya mau pindahkan di daerah pegunungan tapi

itu hari mantri sampaikan sama saya kalau

dipindahkan kita melanggar HAM... sehingga

sekarang seperti ini...semakin menjadi-jadi...

seandainya langsung kita pindahkan mungkin

tidak menular sama oranglain...” (AW, 60thn). “...Memang dalam pergaulan tidak begitu dekat

sama mereka... untungnya masalah air kita pisah

karena masing-masing kita satu sumber air, tapi

memang dalam pergaulan tidak begitu dekat

sama mereka...” (MD, 41 thn; MY, 49 thn; SW,

40 thn; AM, 48 thn). 2. Persepsi dan Stigma Masyarakat Tentang

Penyakit Kusta

Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut :

“...Selama ini yang saya lihat orang yg dikena

jarang masyarakat mau berteman sama mereka

karna takut juga dia... jangan sampai kita

tertular…” (SW,40 thn; MY,49 thn; MD,41 thn). 3. Partispasi Masyarakat Dalam

Pencegahan Penyakit Kusta

Kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Tidak ada yang mau dekat sama mereka,

contohnya saja kalau kita shalat magrib tidak

ada yang mau dekat mereka...sebab mereka

takut… karna jangan sampai menular sama

kita…” (MD, 48 thn)

“...Masalah partisipasi masyarakat tidak ada

orang yang peduli… kalau petugas kabupaten

tidak ada juga perna kesini di kantor camat untuk

mensosioalisaikan penyakit kusta... seandainya

ada pasti ada pemberitahuan, kalau saya ingat￾ingat tidak ada...” (MY, 49 thn). Informan lain menjelaskan bahwa

masyarakat dalam mengatasi penyakit kusta

masih sulit sebab masyarakat merasa jijik

berdekatan dengan mereka, namun

masyarakat lebih mendesak ke petugas

kesehatan agar lebih memperhatikan

penderita kusta. Ketakutan yang berlebihan

pada masyarakat ini sehingga petugas yang

menjadi sasaran oleh masyarakat agar

petugas bisa lebih memperhatikan penderita

kusta, hal ini terungkap dari hasil kutipan

wawancara mendalam sebagai berikut:

“...Bagaimana bisa ada partisipasi sebab rata- rata masyarakat jijik kalau mau bicara... sama

orang yang dikena kusta... sehingga penderita

merasa bahwa mereka dijauhi oleh

masyarakat…” (AM, 48 thn; SW, 40 thn). “...Sudah banyak sekali saya sampaikan sama

petugas kesehatan, bagaimana caranya agar

penyakit kusta ini bisa hilang.... sebab petugas

kesehatan yang bisa ketemu langsung penderita

kusta sehingga dia yang kita desak... saya juga

sering sampaikan selama ini ke masyarakat kalau

sudah ada tanda-tandanya cepat ke puskesmas

untuk periksa...” (AW, 60 thn). 4. Dukungan Pengobatan ke Sarana

Kesehatan

Kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...kita sampaikan pada saudaranya, suruh pergi

berobat di puskesmas... dan juga kedukun... tapi

kami juga khawatir jangan sampai mereka

tersinggung, itupun kalau dia mau… kalau tidak

mau bagaimana… dan mereka juga khawatir…

bisa-bisa jualannya tidak laku...” (MD, 48 thn;

MY, 49 thn SW, 40 thn). “...Mereka marah, orang yang dikena penyakit

kusta, kalau kita mau berikan saran... marah...

tidak mau dikatakan kalau dia menderita

penyakit kusta... ini susanya karena mereka tidak

mauterbuka...” (AW, 60 thn; AM, 48 thn). Peran Institusi (Petugas Kesehatan)

1. Perlakuan Petugas Kesehatan

Informan mengemukakan bahwa

perlakuan petugas kesehatan terhadap

penderita kusta dilaksanakan dengan baik

tanpa membeda-bedakan. Hal ini terungkapdari hasil kutipan wawancara mendalam

sebagai berikut:

“...Iya ku layani dengan baik, kuantarkan biasa

obatnya... kerumahnya penderita... biasanya

penderita tidak mau ke puskesmas sehingga saya

antarkan obat kerumahnya… ” DJ, 34 thn; HR,

32 thn). “...Sebagai petugas kami perlakukan dengan baik

dan melayani kalau mereka datang di puskesmas

atau keluarga mereka yang datang, selama ini

kami tidak membeda-bedakan pesien kusta

semuanya sama...” (AS, 35 thn; WH, 41 thn). 2. Upaya Penemuan Kasus/ Pelacakan Kasus

Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Kita mengadakan penyuluhan tentang

kusta...perna kan di sekolah - sekolah kami

memeriksa dan ada juga penderita yang datang

sendiri... Mengadakan survei ke sekolah...” (HR,

32 thn). “...Pelayanan sesuai dengan kemanpuan

petugas,tapi memang kita juga menyadari bahwa

pasti banyak hal yang harus dilakukan

pengobatan segera pada penderita, tetapi

susahnya itu adalah kadangkala penderita nanti

mau datang pada saat atau kondisinya parah...”

(WH, 41 thn; AS, 35 thn; DJ, 34 thn).

Informan mengungkapkan bahwa

penemuan penderita kusta masih sulit

karena masyarakat tidak mau datang periksa

ke puskesmas. Informan lebih lanjut

menjelaskan bahwa penyebabnya adalah

penderita takut ketahuan dan efeknya

penderita tidak melakukan pengobatan ke

Puskesmas.

“...Sebenarnya kalau penderita kusta sangat

simpel sebenarnya karena masalah kita sudah

tahu kalau dia menderita kusta dan obatnya itu

sudah ada, Tipe MB pengobatannya sudah ada

obatnya, adablisterkhusus...”(DJ, 34 thn ;WH,

41thn)

“...Ini yang sulit... sebab kita mau turun

kelapangan biasanya masyarakat tidak ada yang

mau diperiksa... masyarakat kalau misalnya di

kena kusta dan dia sampaikan sama kita, tolong

jangan ada yang tahu kalau saya menderita

kusta... bilang saja penyakit biasa... karna kalau

ada yang tahu... biasanya penderita tidak mau

berobat...” (AS, 35 thn). Informan lebih menjelaskan bahwa

kurangnya dana dan tidak adanya kendaraan

petugas kusta di puskesmas, sehingga

menyebabkan kurangnya survei kontak ke

kelapangan. Hal ini terungkap dari hasil

kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Ya.. mungkin dikira penyakit kulit biasa, nanti

dia kesini baru dikasi pengertian, ya akhirnya

mengerti... saya petugas baru juga dan tidak ada

kendaraan, tidak ada juga dananya kelapangan

kecuali dana BOK itupun sedikit, hanya lima

ratus ribu...” (HR, 32 thn)

“...Itu tadi kesadaran masyarakat... Pertama

karena masyarakat masih menganggap bahwa

penyakit ini adalah penyakit keturunan dalam

artian... pengetahuan tentang penyakit ini masih

kurang...” (DJ, 34 thn). 3. Upaya Pengobatan

Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut :

“...Sering mereka datang ambil obat itu pada

kondisi petugas punya pekerjaan lain. Biasa

petugas ini, sebentar nah... nanti saya ambilkan

pak atau kenapa selalu datang jam seperti ini

kalimat-kalimat itu menurut saya itu petugas ini

tidak mengetahui justru ini yang bisa menjadi

faktor pencetus terjadiny areaksi...” (WH,

41thn). “...kalau kita melakukan pemeriksaan disekitar

penderita atau dilingkungan penderita biasanya

mereka tidak mau... jadi itu yang mempersulit

kita memberikan dukungan... kita sebagai

petugas...” (DJ, 34 thn; AS, 35 thn; HR, 35 thn).

Informan menjelaskan lebih lanjut

bahwa perlakuan pengobatan pada penderita

kusta tipe MB harus lebih diintensifkan

dikontrol minum obatnya karena akan

berisiko lebih parah apabila tidak dilakukan

secara teratur. Seringnya penderita tidak

rutin kepuskesmas periksa kesehatannya

sehingga masalah yang dihadapi kurang

jelas. Hal ini terungkap dari hasil kutipan

wawancara dibawah ini :

“...Kami memperlakukan penderita sama, tidak

di bedakan... hanya saja kalau tipe MB harus

intensif di kontrol sebab kita khawatirkan jangan

sampai dia tidak minumobatnya...” (AN, 32 thn).Pertama kali sesudah kita anggap sebagai

gejala... informasi harus lengkap... secara baik...

karena sebenarnya dia tidak menyadari potensi

masalah yang ada di dalam dirinya sendiri dan

kemudian tidak disampaikan ke petugas... atau

penderita ini tidak rutin datang memeriksakan

diri...” (WH, 41 thn; Dj, 34 thn). Informan lebih jauh menjelaskan

kendala yang sering ditemukan adalah

adanya kontak serumah dengan penderita

kusta yang tidak melakukan pengobatan dini

sehingga menjadi hambatan yang paling

besar bagi petugas kesehatan. Hal ini

terungkap dari hasil kutipan wawancara

mendalam sebagai berikut :

“...Tidak mudah menemukan penderita ini

disebabkan karna mereka tidak mau kalau ada

yang tahu... jadi sempat lagi menularkan dan

sudah parah baru kita temukan dan dia baru mau

berobat...” (AS, 35 thn; WH, 41 thn)

“...Hambatan yang paling besar juga itu dari

penderita karena.... sudah kita lakukan...

pengobatan sudah kita berikan tetapi masih saja

ada penderita yang tidak memperhatikan

pengobatannya...” (HR, 34 thn; DJ, 34 thn)

4. Upaya Pengontrolan Keteraturan

Pengobatan

Informan menuturkan bahwa petugas

kesehatan belum bisa memantau

pengontrolan dan keteraturan pengobatan

dengan baik pada penderita kusta. Hal ini

disebabkan kesibukan petugas atau

penderita yang malas berobat sehingga

petugas sering atau terkadang harus

mengantarkan obat kerumah pasien. Hal ini

terungkap dari hasil kutipan wawancara

mendalam sebagai berikut:

“...Itu biasa berdasar   pemantauan, memang

komunikasinya kurang bagus. Kemudian ketika

saya menggali masalahnya kependerita kemudian

ditanggapi oleh petugas sepertinya petugas

disalahkan jadi disitu saya bisa membaca ini

memang petugaskurangjeli... “ (DJ, 34 thn WH, 41thn). “...Prosesnya misalkan pengantaran langsung ke

rumah penderita ketika dia tidak datang ambil

obatnya... kita punya catatan pengambilan obat

itu setiap bulan, itu ada catatannya khususnya,

registernya...” (HR, 35 thn A 35 thn).

Informan lain mengemukakan bahwa

harus ada pengawasan dari keluarga yang

baik sehingga dapat mengontrol

pengobatannya sampai penderita dinyatakan

sembuh. Hal ini terungkap dari hasil kutipan

wawancara mendalam sebagai berikut: “...Harus ada keluarganya yang mau mengawasi

agar penderita betul-betul berobat dengan baik...

kalau petugas kesehatan kita ini tidak ada

masalah karna obatnya gratis dan tersedia di

puskesmas...” (AS, 35 thn; HR, 32 thn). “...Penderita itu tidak berobat secara teratur...

nah ini yang dia tidak lakukan kemudian tidak

ada upaya... otomotis... Kemungkinan besar juga

karena petugas kami itu belum lama juga... habis

dilatih...” (WH, 41 thn; Dj, 34 thn). 5. Upaya Promosi Kesehatan

Informan menjelaskan bahwa adanya

stigma masyarakat sehingga penyuluhan

tidak boleh terhenti. Hal ini terungkap dari

hasil kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...pernah kami lakukan kegiatan namanya Leg

itu semacam kampanye kusta, yang jadi masalah

sekarang itu… stigma di masyarakat ini memang

cenderung masih tinggi sekalipun sudah ada

upaya tetapi petugas harus melakukan

penyuluhan tidak boleh berhenti...” (WH, 41 thn;

HR, 32 thn). “...Itu juga masih banyak pandangan masyarakat

disini kalau kusta itu ditakuti dan mempercayai

kalau itu kutukan dari keturunan mereka...” (AS,

35 thn; DJ, 34 thn). Informan lain mengungkapkan bahwa

masa perjalanan atau inkubasi penyakit kusta

sangat lama yaitu, dua sampai lima tahun,

jadi terasa sulit untuk mendiagnosa penyakit

kusta bagi petugas kesehatan. Disamping itu

informan lain menambahkan kurangnya

pengetahuan dari masyarakat sehingga

penderita sudah tingkat MB. Hal ini

terungkap dari hasil kutipan wawancara

mendalam sebagai berikut:

“...Peningkatan itu ada… survei petugas melalui

kontak serumah baru ditemukan, oh… ternyata

ini kusta. Kemudian yang jadi persoalan...kalau

terjadi kasus pada anak...kusta tipe apa saja

pada usia di bawah lima belas tahun, nah kalaukasus ini ada berarti ini menandakan bahwa

tingkat penularannya tinggi...” (WH, 41 thn).

Informan lebih lanjut menjelaskan bahwa

pengetahuan masyarakat serta upaya promosi

tentang kusta yang masih sangat minim,

sehingga ini menjadi penghambat pengobatan

penyakit kusta. Hal ini terungkap dari hasil

kutipan wawancara mendalam sebagai

berikut:

“...Tidak terobati karena pengetahuan

masyarakat kurang karena upaya promosi masih

kurang itu yang jadi masalah... tidak segera

diketahui selain itu memang stigmanya

masyarakat dan juga rata-rata sebenarnya itu

ada kencenderungan karena ada riwayat kontak

penderita...” (WH, 41 thn). “...Karena penderita kurang percaya diri

melakukan pengobatan dengan penyakit itu...

masyarakat disini kalau penyakit kusta tidak mau

dikatakan kalau menderita... penderita biasa

datang malam hari kerumah... katanya supaya

tidak ada yang lihat...” (AS, 35 thn). Pembahasan

Pengetahuan

Pengetahuan penderita tentang penyakit

kusta belum dipahami baik, sehingga mereka

meyakini gejala ″Bercak Mati Rasa″ dengan

alasan bahwa mereka baru datang dari kebun,

bahkan mereka menganggap hanya ″Penyakit

Kulit″ atau pantangan bagi mereka yang

mengkomsumsi telur. Pengobatan tidak cepat

dilakukan dengan adanya anggapan ini .

Penderita mulai khawatir pada saat penyakit

yang mereka alami makin hari makin

bertambah parah sehingga kemudian

penderita memeriksakan diri ke puskesmas.

Pemahaman informan tentang penularan

penyakit kusta belum diketahui penyebabnya,

mereka menganggap bahwa itu adalah

takdirnya dan dianggap sebagai suatu

kesalahan yang pernah dia lakukan

sebelumnya. Sehingga informan berusaha dan

berupaya memohon ampunan dari

mahakuasa. Penderita kusta memahami

bahwa ada beberapa pantangan bagi mereka

yaitu penderita tidak bisa pergi ke laut, tidak

bisa makan garam, minyak dan cabe hal

dipahami agar terhindari timbulnya warna

merah pada kulit.

Upaya pengobatan yang dilakukan

penderita sebelumnya adalah ″metappung″,

penderita disini tidak merasakan adanya

perubahan selama ″metappung″, sehingga

penderita melakukan upaya pemeriksaan di

sarana kesehatan. Pengobatan dilakukan

selama enam bulan, akan tetapi sering mereka

tidak teratur mengkomsumsinya. Informan

yang lainnya justru mengeluhkan dari segi

pelayanan medis karena dianggap tidak

terbuka terhadap penderita mengenai

penyakitnya sehingga berakibat fatal yang

semestinya pengobatan enam bulan

menjadisetahun.

Penelitian ini sejalan dengan hasil yang

didapatkan Nicholls et al (2003) di Paraguay.

Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa

penyakit kusta disebabkan oleh yang

berkaitan dengan konteks keyakinan

kesehatan, kusta disebabkan sebab mereka

mencuci dalam air sungai yang dingin atau

terperangkap hujan lebat ketika bekerja di

luar ruangan, keturunan, infeksi, hukuman

atas dosa-dosa.

Sikap

Informan menjelaskan mengenai

tanggapannya pada sesama penderita penyakit

kusta, yang dinilai sebagai hal yang biasa- biasa saja, tetapi sebagian informan penderita

kusta yang tipe PB menjawab bahwa mereka

takut pada penderita kusta tipe MB dengan

alasan bahwa akan bertambah parah penyakit

yang mereka alami jika berdekatan dengan

penderita MB.

Penderita memahami bahwa langkah

yang harus dilakukan adalah pengobatan ke

puskesmas. Pengobatan ke puskesmas

terhadap penyakit kusta dianggap perlu

dilakukan untuk memperoleh kesembuhan

penyakitnya Penderita menyadari dampak

dari penyakit kusta apabila tidak ditangani

dengan baik karena akan membuat badannya

terasa bengkak atau sakit, mereka merasa

malu karena masyarakat dapat

menghindarinya jika tidak melakukan

pengobatan segera ke Puskesmas.

Sikap mereka yang tidak aktif dalam

merespon reaksi yang terjadi di dalamtubuhnya sehingga mereka melakukan

pengobatan dengan cara ″metappung″. Sikap

informan ini berkaitan dengan kesesuaian

sosial yang menolak untuk dilihat orang lain

serta sikap penderita yang tidak mau

dikatakan sebagai penderita kusta sehingga

mempersulit penemuan dan pengobatan dini.

Peran Keluarga

Interaksi yang dilakukan antara keluarga

dan penderita tetap berjalan normal

selayaknya tidak terjadi apa-apa, sehingga

penderitapun bisa beraktivitas dengan baik di

lingkungan keluarga mereka. Namun hasil

yang didapatkan bahwa perilaku hidup bersih

dan sehat (PHBS) belum dipahami baik oleh

keluarga penderita. Dalam PHBS ini

penderita belum menerapkan pola makan

sayur dan buah yang merupakan sumber gizi

yang lengkap sehingga kekebalan tubuh pada

anggota keluarga dapat terjamin sehingga

setiap anggota keluarga tidak mudah tertular

penyakit kusta ini .

Namun dalam proses pengobatan sangat

dibutuhkan keluarga dalam memberikan

dorongan dan perhatian pada penderita

kusta, salah satu yang dicontohkan atau

dijelaskan oleh informan adalah keluarga

harus mondar mandir ke kota dalam upaya

pencarian pengobatan penderita kusta.

Informan ini berusaha mencari pengobatan

diluar dengan maksud agar penderita tidak

ketahuan dari lingkunganya. Keluarga

menganggap tidak ada kelainan, tidak ada

yang dirasakan sakit, sehingga mereka

lambat memberikan dukungan pengobatan

padapenderita.

Keluarga penderita merasa cemas ketika

penderita kusta tambah parah dan pada

akhirnya diantar kepuskesmas. Informan

sangat mendukung anggota keluarganya

untuk melakukan pengobatan agar bisa

sembuh. Keluarga mereka berupaya

mendampingi ke fasilitas kesehatan untuk

memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih

baik.

Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Amrullah

(2016) yang menyatakan bahwa peran

keluarga dalam memelihara lingkungan

rumah yang sehat terhadap penyakit kusta

adalah sebagaian besar (56%) baik, artinya

keluarga mendukung adanya peran yang baik

terhadap penderita penyakit kusta.

Peran Komunitas (Masyarakat)

Interaksi yang dilakukan informan

terhadap penderita kusta dibatasi

pergaulannya dengan mereka, apakah dalam

kegiatan sosial ataupun aktivitasnya sehari- hari. Partisipasi masyarakat dalam mengatasi

penyakit kusta masih sulit dilakukan sebab

masyarakat merasa jijik berdekatan dengan

mereka.

Masyarakat tidak ada yang mau dekat

sama mereka sebab masyarakat menilai

penyakit kusta sebagai penyakit yang

menjijikan. Stigma negatif dari masyarakat

ini mempersulit penanganan pengobatan serta

penderita secara psikologis makin tertekan,

tidak percaya diri, malu, merasa diri tidak

berharga dan kekhawatiran akan dikucilkan.

Selain itu, stigma juga menyebabkan

penderita kusta dan keluarganya dijauhi dan

dikucilkan oleh masyarakat.

Stigma masyarakat yang berkembang

pada penyakit sehingga hal ini  menjadi

penghambat bagi masyarakat untuk

memberikan dorongan pengobatan ini .

Masyarakat kecenderungannya berkeinginan

agar penderita ditempatkan lain atau jauh dari

komunitas, sehingga petugas kesehatan

bertahan agar penderita tetap berada dalam

komunitas dengan alasan bahwa masyarakat

melanggar HAM. Timbulnya stigma pada

penderita, maupun masyarakat menyebabkan

keterbatasan penderita kusta, dan orang yang

pernah mengalami kusta untuk dapat

menerima hak asasinya secara penuh, sebagai

seorang manusia dan sebagai bagian dari

masyarakat.

Selain itu, sikap dan perilaku masyarakat

yang negatif akan menyebabkan penderita

kusta merasa tidak mendapatkan tempat di

lingkungan masyarakat. Rasa jijik dan takut

pada penderita kusta tanpa alasan yang

rasional yang kecenderungannya bahwa

masalah kusta telah beralih dari masalah

kesehatan ke masalah sosial.

Penelitian ini sejalan dengan hasilpenelitian Akbar (2020) yang menyatakan

bahwa stigma yang kuat yang melekat pada

penyakit kusta dan penderita kusta yang

sering didiskriminasi. Kusta dipandang

sebagai kutukan atau hukuman dibenarkan

bagi mereka yang telah melakukan dosa dan

disalah artikan sebagai sangat menular dan

ditularkan melalui sentuhan atau 'kontaminasi'

barang-barang umum seperti air atau

makanan.

Peran Insitusi Kesehatan (Petugas

Kesehatan)

Petugas kesehatan belum bisa memantau

pengontrolan keteraturan pengobatan

penderita kusta dengan baik, hal ini

disebabkan karena menutup diri. Petugas

kesehatan sering menyampaikan kependerita

tentang pentingnya pengobatan teratur akan

tetapi terkadang petugas harus mengantarkan

obat kerumah pasien.

Strategi yang dianggap efektif dalam

upaya pengobatan pada penderita kusta yang

dikemukakan oleh informan adalah adanya

pengawasan dari keluarga untuk

mengingatkan dan memperhatikan selama

dalam pengobatan. Disamping itu penderita

diharapkan dapat melakukan pengobatan ke

puskesmas secara teratur dan ini merupakan

salah satu yang anggap penting oleh

informan.

Petugas kesehatan menjelaskan bahwa

perlakuan pengobatan pada penderita kusta

tipe MB harus lebih diintensifkan dikontrol

selama proses pengobatan karena akan

beresiko lebih parah apabila tidak dilakukan

secara teratur. Disamping itu pemeriksaan

terhadap penderita harus dijelaskan apa

diagnosa penyakitnya serta bagaimana cara

pengobatannya. Informan mengungkapkan

bahwa ada sedikit kendala yang didapatkan

dilapangan untuk penemuan penderita kusta,

karena masyarakat tidak mau memeriksakan

kesehatannya dan takut ketahuan menderita

kusta dan efeknya penderita tidak mau

berobat.

Masyarakat berangapan penyakit kusta

suatu penyakit yang ditakuti dan

mempercayai bahwa itu adalah kutukan dari

keturunan mereka serta masa perjalanan

atau inkubasi penyakit kusta selama dua

sampai lima tahun, jadi terasa sulit untuk

mendiagnosa suatu penyakit oleh petugas

kesehatan. Penderita kusta berupaya ke

petugas kesehatan untuk memeriksakan diri

pada saat kondisi penderita yang sudah

menderita kusta tipe MB atau tipe menular.

Hal ini disebabkan karena penderita

menganggap hanya penyakit biasa sehingga

tidak memperdulikan penyakit ini . Ini

terbentuk di masyarakat membuat penderita

kusta sulit ditanggulangi sehingga membuat

petugas sulit menemukan kasus sedini

mungkin karena masih banyak masyarakat

yang menyembunyikan penyakitnya dan

menolak berobat. Penjelasan informan yang lain yang

mengatakan bahwa sering petugas kesehatan

dalam pelacakan kasus dilapangan, dan

biasanya masyarakat tidak ada yang mau

memeriksakan diri sehingga ini mempersulit

dukungan petugas kesehatan dalam

memberikan pelayanan pengobatan. Petugas

kesehatan lebih jauh menjelaskan bahwa ini

disebabkan masyarakat takut akan ketahuan

penyakit ini .

Petugas kesehatan menjelaskan bahwa

penderita sering memberikan tanggapan

tentang peran petugas kesehatan yang

menyatakan bahwa petugas kadang-kandang

tidak aktif mengontrol keteraturan

pengobatan pada penderita. Petugas

kesehatan diniai kurang komunikatif dalam

memberikan pelayanan pengobatan pada

penderita kusta sehingga komunikasi

terkadang yang menjadi masalah. Petugas

kusta mengungkapkan bahwa pengetahuan

masyarakat serta upaya promosi kesehatan

masih yang kurang sehingga menjadi

penghambat pengobatan penderita penyakit

kusta, disamping itu menambahkan bahwa

kurangnya rasa percaya diri pada penderita

sehingga ini menjadi kendala dalam

pengobatan ke Puskesmas.


Penderita menujukan pengetahuan yang

berbeda-beda tentang penyakit kusta, mereka

beranggapan gejala ″Bercak Mati Rasa”dan

″Penyakit Kulit″. Sikap penderita yang.cenderung sensitif bila penyakitnya diketahui

orang lain serta tidak memiliki kepercayaan

diri sehingga melakukan pengobatan dengan

cara ″metappung″. Perilaku hidup bersih dan

sehat belum dipahami baik oleh keluarga

penderita serta adanya stigma masyarakat

yang menilai penyakit kusta sebagai penyakit

yang menjijikkan. Petugas kusta sering sibuk

dengan pekerjaan lain, sehingga pengobatan

penderita terkadang terabaikan. Penderita

sering menolak dilakukan pemeriksaan

tempat tinggalnya serta adanya kontak

serumah dengan penderita kustayang

terlambatberobat sehingga dapat membuka

penularan lebih besar ke orang lain.kusta40





Iridocyclitis pada kusta dapat menyebabkan perubahan pada kelopak mata akibat 

gangguan saraf, otot kelopak mata, kelenjar lakrimal, kelainan pada kornea 

dan kerusakan iris. Diagnosis klinis gangguan kusta mata dapat ditegakkan atas 

dasar riwayat yang merupakan riwayat kontak dengan penderita kusta, Kusta 

adalah penyakit menular kronis yang meskipun dapat disembuhkan, tetap 

menjadi masalah kesehatan yang signifikan di banyak belahan dunia. Penyakit 

ini memiliki gejala klinis yang polar (kusta multibasiler lepromatosa dan kusta 

tuberkuloid paucibacillary), serta bentuk peralihan lainnya dengan karakteristik 

hibrid berdasarkan keadaan klinis dan status imun pasien. Penyakit kusta 

menyebabkan komplikasi pada mata dan kerusakan saraf yang berujung pada 

kelumpuhan, kelainan bentuk, dan kecacatan yang mempengaruhi kualitas 

hidup penderita. Kami menyajikan kasus kusta lepromatosa dengan ridosiklitis 

dan kecacatan tingkat dua pada seorang pria berusia 31 tahun yang mengalami 

hiperpigmentasi multipel, lesi anestesi pada wajah dan lengan dengan kedua 

tangan berbentuk cakar dan mati rasa sejak sepuluh bulan yang lalu. Pasien 

mengeluh mata merah nyeri tekan dan gangguan penglihatan selama satu 

bulan. Pemeriksaan slit skin smear untuk M. leprae dari lesi dan daun telinga 

menunjukkan indeks bakteriologis 3+ dan indeks morfologi 70%. Pasien dirawat 

dengan terapi multi-obat multi basiler selama 12 bulan , pengobatan mata dan 

fisioterapis untuk penatalaksanaan komprehensif.Kusta iadalah ipenyakit iinfeksi igranulomatosa

iyang idisebabkan ioleh ibakteri itahan iasam

iMycobacterium ileprae. iMekanisme ipenularan

ipatogen imasih ikurang idipahami, itetapi

ikemungkinan ibesar isaluran ipernapasan

imemainkan iperan ipenting idalam iinfeksi idroplet

imeskipun idapat iterjadi imelalui ikulit iyang

irusak.1,2 iKasus ikusta iterjadi ipada isemua iumur

ipada ipopulasi iendemik, ilebih isering ipada

ilaki-laki idaripada iperempuan, iyang imungkin

imencerminkan iperbedaan ijenis ikelamin idalam

irespon iimun. iMeskipun ifaktor igenetik iyang

itepat idapat idikaitkan idengan ikepadatan ikusta

iyang iberlebihan, ikontak iyang ilama, itidak iadanya

iriwayat ivaksinasi BCG idikenal isebagai ifaktor

irisiko ipenyakit.

Penyakit ikusta iditularkan ilangsung idari

ipenderita isecara iaktif ipada iorang ilain imelalui

isaluran ipernafasan idan ikulit. iPenyebaran ikuman

ikusta ike imata ipada iumumnya iterjadi isecara

ihematogen, inaik idari ihidung iatau iekstensi

ilangsung idari ikulit iwajah idan idahi iatau ipenularan

imelalui ikulit idan isaluran ipernafasan. iPenyakit

iperjalanan imata ipada ikusta iterjadi idalam idua

ibentuk, iyaitu ituberkuloid idan ilepromatosa.

 

iGangguan imata ipada ikusta idapat imenyebabkan

iperubahan ipada ikelopak imata iakibat igangguan

isaraf idan iotot ikelopak imata, ikelenjar ilakrimal,

ikelainan ikornea idan ikerusakan iiris. I4.5iDiagnosis

iklinis igangguan ikusta idan gangguanimata idapat

iditegakkan iatas idasar iriwayat iseperti iriwayat

ikontak idengan ipenderita ikusta, ipemeriksaan

ioftalmologi idan ipemeriksaan ipenunjang iyang

isesuai idengan igejala iklinis.

Jumlah ipenderita ikusta iyang iterdaftarimenurun idari i5 ijuta ipada itahun i1985 imenjadi

i0,7 ijuta ipada itahun i2001. iSelama iperiode i2000-

2005, ipenurunan iglobal idalam ipenemuan ikasus

isangat idramatis i(sekitar i58%) idan ijauh ilebih

iterbatas i(18%) iselama iperiode i2006- i2009. iPada

iawal itahun i2008, iWHO imelaporkan iprevalensi

ikusta iterdaftar isecara iglobal isebanyak i212.802

ikasus idan ikejadian i254.525 ikasus. iHanya itiga

inegara i(Brazil, iNepal, idan iTimor-Leste) iyang

imasih imelaporkan iangka iprevalensi idi iatas

itarget isatu iper i10.000 iPenduduk. iDi iAmerika

iSerikat, iada isekitar i150 ikasus ibaru ikusta isetiap

itahunnya, inamun isejak i2010 idilaporkan i72

ikasus, idan i19 ikasus iterjadi ipada i2015. iMenurut

iDinas iKesehatan iProvinsi iAceh, iangka iangka

ipenemuan ikasus ibaru ipada i2013 imencapai i9

iper i100.000 ipenduduk. iJuga, itotal ikasus iyang

ibaru iteridentifikasi ipada itahun i2011, iTahun i2012

idan i2013 iberturut-turut isebanyak i48 ikasus, i51

ikasus, idan i45 ikasus.

Kusta ididiagnosis iketika isetidaknya isatu

idari itanda-tanda iutama iberikut idimanifestasikan

isebagai ihilangnya isensasi iyang ipasti ipada ibercak

ikulit iyang ihipopigmentasi iatau ikemerahan, isaraf

itepi iyang imenebal iatau imembesar, idan iadanya

ibasil itahan iasam idalam iapusan ikulit icelah.

iRagam ibentuk iklinis ikusta iberkaitan idengan

ijenis idan ikekuatan irespon iimun, isehingga iada

iklasifikasi iyang ipaling ibanyak idigunakan isaat

iini iyaitu iRidley-Jopling idan iWHO. iBerdasarkan

ikriteria iWHO ipenyakit ikusta idibagi imenjadi

idua ikelompok itergantung ijumlah ilesi ikulit idan

ipemeriksaan ihapusan ilesi ikulit. iAda iPaucibacillary

i(PB) idan iMultibacillary i(MB). iKlasifikasi iRidley

idan iJopling idibagi imenjadi ibeberapa ikelompok

iberdasarkan ikekebalan ipasien, iyaitu iindeterminate

i(I), ituberculoid i(TT), iBorderline ituberculoid i(BT),

imid-borderline i(BB), iBorderline ilepromatous i(BL)

idan ilepromatous ileprosy i(LL).

Pengobatan ipenyakit ikusta iditujukan

iuntuk imenyembuhkan ipenderita, imenghindari

ikecacatan idan imenghilangkan iefek ipenularan.

iJika ipenderita itidak imengkonsumsi iobat isecara

iteratur, ijenis ipenyakit ikusta itersebut iakan ikebal

idan imenimbulkan igejala ipermanen iatau ibahkan

igejala ibaru iyang ilebih iburuk. iTiga iobat ilini

ipertama istandar iyaitu irifampisin, iklofazimin, idan

idapson itersedia iuntuk idigunakan idalam iterapi

imultidrug i(MDT) idengan idurasi itetap

Reaksi ikusta imempengaruhi i30 isampai

i50% ipenderita iyang isering imuncul ipada iawal

ipengobatan inamun idapat iterjadi ikapan isaja

iselama ipenyakit iberlangsung. iReaksi itersebut

idapat imempengaruhi ikulit daniorgan ilain iseperti

imata, reaksi ini juga dapat imenyebabkan ikerusakan

ipermanen ipada isaraf iyang iberisiko itinggi

imengalami ikecacatan. Gangguan imata ipada ikusta 

ialah salah satunya iridosiklitis yang dapat menjadi 

ikomplikasi ilain itermasuk ikebutaan, idan ihal iini

ibiasa iterjadi ipada ikusta ilepromatosa. iPenglihatan

iberkurang idan ilagophthalmos, ikerusakan iyang

iterlihat idan ihilangnya ijaringan ipada itangan idan

ikaki iadalah icacat itingkat idua ijuga icakar itangan

idan ikaki ijatuh. iManajemen ikecacatan iharus

imenjadi ibagian iintegral idari ilayanan iperawatan

irutin; iitu iharus imencakup ipenyediaan ialat ibantu

idan iperalatan, iperawatan imedis ispesialis, idan

ifasilitas irekonstruksi idan irehabilitasi ibedah.

Perjalanan ipenyakit imata ipada ipenyakit

ikusta iterbagi imenjadi idua ibentuk, iyaitu:

ituberkuloid idan ilepromatosa. iPada ibentuk

ituberkuloid, iterdapat isedikit ilesi ipada ikulit

idan isaraf, idan itidak imempengaruhi iorgan iyang

ilebih idalam.iBentuk iini ijarang ibermanifestasi

isecara iintraokular, itetapi ilebih isering iterjadi

ipada imata iluar iseperti ilagophtlamus i, ipaparan

ikeratitis idan ikekeruhan ikornea. iBentuk ilesi

iyang iditemukan ipada ikulit ipalpebra iberbatas

itegas, ihipopigmentasi idan ihipoanestesi. iBentuk

ilepromatosa isering ibermanifestasi isebagai

iuveitis iintraokular, iiritis, iatrofi iiris. iLesi ikulit

itidak iberbatas itegas, imenebal, imengalami

ihiperpigmentasi idan ianestesi. iKerusakan

isaraf iterjadi iakibat iinvasi idan iinfiltrasi ikuman

ikusta ike iserabut isaraf isehingga imenyebabkan

ipembengkakan iatau ipenebalan isaraf itepi. iKelainan

ipada ipalpebra ikelopak imata idan iotot ipalpebral

idikaitkan idengan igangguan isaraf itrigeminal idanisaraf iwajah. iKerusakan icabang izygomatik idan

itemporal isaraf iwajah imenyebabkan iparese iotot

iorbicularis ioculi, imengakibatkan ilagophthalmus.

iGangguan iini idiperparah ioleh ikekakuan ipalpebral,

iatrofi ikulit, idan iotot iorbicularis.

Gangguan imata iakibat iinfeksi ibakteri

iMycobacterium ileprae iada i4 icara iyaitu:

1. Infiltrasi ilangsung ikuman ikusta ipada imata

iatau ikelopak imata.

2. Paparan ilangsung ikusta ipada isaraf itrigeminal

idan isaraf iwajah. i

3. Radang imata isekunder iakibat iinfiltrasi ikuman

ikusta. i

4. Komplikasi isekunder iakibat iinfeksi ikuman idi

sekitar imata.

Kerusakan i cabang ioftalmikus isaraf

itrigeminal imenimbulkan ianestesi ikonjungtiva

idan ikornea iyang imengakibatkan ihilangnya

isensasi, ikekeringan, iperadangan idan iinfeksi ipada

ikornea.3,12 iKerusakan igabungan isaraf itrigeminal

idan isaraf iwajah idapat iterjadi ipada iawal ipenyakit

isehingga isering iterjadi ipaparan ikeratitis iyang

imenyebabkan ikekeruhan idan ikerusakan ikornea.

iUlserasi ikornea idapat imengakibatkan ikerusakan

ikornea.3,6,7,14iLesi ikornea idapat idisebabkan

ioleh idua ifaktor, ipertama isecara ilangsung

imelalui iperadangan ipada iiris idan ibadan isiliaris

iyang iberulang idan iberkepanjangan isehingga

imenyebabkan igangguan ifungsi iendotel ikornea

isehingga iterjadi iedema ikornea. iKedua, ilesi ikornea

iterjadi iberupa ierosi, ikeratitis idan iulkus ikornea

iyang idisebabkan ioleh ilagoftalmus idan ipenurunan

isensasi ikornea iakibat ikerusakan isaraf itrigeminal

idan isaraf ifasialis, imenyebabkan ipaparan ikeratitis

ipada ipermukaan ikornea.4,6,13iAnatomi iiris idan

itubuh isiliaris imemiliki ibanyak iserabut iotot ikecil

idan iserabut isaraf ibermielin. i12,16iLetak iiris idan

ibadan isiliaris ijuga imerupakan idaerah iyang icukup

itertutup idan ijaringan irelatif idingin, isehingga

imerupakan itempat ipredileksi imengembangkan

imycobacterium ileprae.


Seorang ilaki-laki iberumur i31 itahun idengan

iriwayat i10 itahun imati irasa, ikelainan ibentuk ipada

ikedua itangan idan ikakinya ijuga isering imuncul

ibenjolan imerah iterutama ipada ibagian iwajah idan

ilengan. iTerkadang ipasien imeminum iobat iherbal

idari itoko iobat iuntuk imeredakan igejalanya,

inamun itetap isaja ikambuh iapalagi ijika iterlalu

ilelah ibekerja. iTidak iada isatu ipun ikeluarga ipasien

iyang imemiliki ikeluhan iserupa, idan imenyangkal

imemiliki iriwayat iperjalanan ike idaerah iendemis

ikusta. iSelain iitu, idia isebelumnya itidak ipernah

ibersentuhan idengan ipenderita ikusta. iSejak isatu

ibulan ilalu, iia imengeluh ikemerahan idan inyeri idi

ikedua imatanya idengan ipenglihatan ikabur.

Pada pemeriksan fisik didapatkan kondisi 

umum pasien baik, tanda vital dalam batas normal 

dan status gizi adekuat dengan berat badan 44 kg. 

Penglihatan di mata kanan adalah 6/9 dan mata kiri 

adalah 6/12 diukur pada grafik Snellen chart. Terlihat 

adanya injeksi siliar dikedua mata. Pada pemeriksaan 

Slit lamp, segmen anterior menunjukkan adanya 

Keratik precipitat di kedua mata dan ruang anterior 

menunjukkan 2+ sel dan sel vitreus, pupil tidak 

teratur dan reaktif secara segmental dan sinekia 

posterior. Konjungtiva normal. Pemeriksaan fundus 

dilatasi menunjukkan adanya buram tepi diskus 

dan vena berliku-liku di mata kanan dan mata kiri 

menunjukkan adanya buram tepi diskus, vena berliku￾liku dan perdarahan sepanjang arcade superior dan 

inferior sugestif edema disk kronis. Pemeriksaan 

mata tidak menunjukkan adanya lagophthalmos, 

otot kelopak mata kuat.

Pada ipemeriksaan ifisik, ikulitnya imengering

idengan ibercak ihiperpigmentasi idan ibeberapa

iinfiltrasi idi iwajah idan iekstremitas iyang idibius

iuntuk idisentuh idan iditusuk. ditemuksn ianestesi

ipada iitangan idengan ikelumpuhan iotot itangan

iyang imenyebabkan ijari-jari imencakar idan

itidak idigunakannya iatrofi. iSaraf itepi ihanya

imenunjukkan ipembesaran isaraf iauricularis

imagnus, itetapi itidak iada isensasi inyeri idan

igoresan ikulit iapusan iditemukan iindeks ibakterii+3 idan iindeks imorfologi i70%.

Maka, ididiagnosa ipasien iini iadalah ikusta

ilepromatosa idengan isuspect iiridocyclitis. iPasien

idiberikan iregimen irifampisin iharian igabungan

i(600 img isetiap ibulan), idapson i(100 img isetiap

ihari) idan iclofazimine i(300 img isetiap ibulan

idan i50 img isetiap ihari) iselama i12 ibulan. iDia

ijuga imendapat ikortikosteroid isistemik idan

ilokal idengan itetes imydriatic i2-3 ikali isehari.

iDia imenanggapi iterapi idengan ibaik itanpa iefek

isamping iatau ireaksi iyang idimediasi isecara

iimunologis. iKeluhan imata imembaik idalam

iseminggu ipengobatan, isehingga ikortikosteroid

ioral idianggap iefektif dalam pengobatanisesuai

iprosedur idan ipengobatan ipada ikulit imendapat

iurea i10% iyang idioleskan idua ikali isehari isebagai

iterapi itopikal iuntuk ibercak ihiperpigmentasi idan

ikulit ikering. Pasien juga mendapatkan kortikosteroid 

sistemik dan lokal dengan tetes mydriatic 

kali sehari. mendorong pasien untuk menemui 

fisioterapis terkait kecacatannya.


Penyakit mata lebih isering iterjadi ipada ipasien

idengan ibentuk ilepromatosa idaripada ipada

ibentuk ituberkuloid. iKelainan imata ipada ipenyakit

ikusta ilebih isering imenyerang idaerah ianterior

imata idaripada ibagian iposterior.5,14iKeluhan iyang

isering itimbul ipada ipenderita isangat ibervariasi,

itergantung idari imanifestasi iyang itampak ipada

imata. iBeberapa ikeluhan imata iadalah irobekan

iatau ilakrimasi iyang iberlebihan, iepifora, irasa

iterbakar ipada imata, iterutama isaat iAnda

ibangun idi ipagi ihari. iPenderita isering imengeluh

itidak idapat imemejamkan imata ikarena iadanya

ilagoftlamus, imata imerah, isilau, iperasaan ilengket,

imata ikabur ihingga ipenurunan ipenglihatan iyang

iprogresif itajam.. iManifestasi igangguan

imata ilainnya ipada ipenyakit ikusta iadalah

ikeratitis,ipanus idan ipenebalan isaraf ikornea.

Gangguan imata ipada ikusta idapat iterjadi

iberupa iskleritis, iiridosiklitis, idan iepiskleritis.

iPatofisiologi iskleritis ibelum idiketahui isecara ipasti.

iTanda-tanda iutama iiridosiklitis iadalah iinjeksi

isiliaris idan iinjeksi ikonjungtiva, iedema ikornea,

isel idan iflare idi idepan imata, ipenyempitan ipupil

idan iatrofi iiris. iduktus inasolakrimalis iyang

iterjadi iakibat ikerusakan imukosa ihidung idan

iabsorpsi itulang ihidung.

Kusta iatau ipenyakit iHansen imenampilkan

ispektrum ikarakteristik iklinis, ibakteriologis,

iimunologis, idan idermatopatologis. iPresentasi

iklinisnya ibermacam-macam ikarena ikombinasi

idari isetiap ilesi ikulit iprimer iyang iberbeda

idengan iatau itanpa itanda-tanda iperadangan

idan igejala isisa ikerusakan isaraf tepi yang dapat 

menyebabkan ihilangnya ikemampuan iuntukimerasakan isentuhan,inyeri, dan icedera iseperti

iluka idan iluka ibakar.

Kulit iyang iterkena iberubah iwarna idan

imenjadi ilebih iterang iatau ilebih igelap, isering

ikali ikering iatau ibersisik, iatau ikemerahan ikarena

iperadangan ipada ikulit. iKlasifikasi iRidley-Jopling

imengenali ispektrum irespons iyang idimediasi isel

iterhadap iinfeksi iM. Ileprae, idengan idemikian

idapat idigunakan iuntuk imengidentifikasi ipasien

iyang idianggap itidak istabil isecara iimunologis

idan iberisiko imengalami ireaksi ikusta. iKusta. 

Penyakit ini iditandai idengan ipenyakit iyang ijauh

ilebih iumum, iketerlibatan ikulit iyang imenyebar,

ipenebalan ibanyak isaraf itepi, idan ikadang-kadang

iketerlibatan iorgan ilain, iseperti imata, ihidung,

itestis, idan itulang. iSubtipe iperantara iadalah

ituberkuloid igaris ibatas, igaris ibatas itengah, idan

ikusta ilepromatosa igaris ibatas. iKusta iperbatasan

idan isubtipe imemiliki iciri iyang ilebih iluas.

Dalam ikasus iini, iditemukan ikulit iyang isangat

ikering, ibanyak ibercak ihiperpigmentasi idan

iinfiltrat iyang imenyebar idi iwajah idan ilengannya

idengan isensasi ianestesi isaat idisentuh, inyeri

idan ipanas. Ipenderita juga imemiliki ianestesi

idan ikelainan ibentuk ipada itangan(stocking) atau 

ekstremitas iatas idan ibawah. iPada ipemeriksaan

isaraf iditemukan iadanya ipembesaran ipada isaraf

iauricularis imagnus. iKami imelakukan islit-skin

ismear, idan ihasilnya i3+ iuntuk iBacteriological

iIndex idan i70% iuntuk iMorphological iIndex.

iBerdasarkan ianamnesa itersebut, igambaran iklinis

idan itemuan ilaboratorium iyang imendukung

idugaan ikami ibahwa ipasien imenderita ikusta

ilepromatosa.

Penyakit mataiterlibat idalam ikusta idalam itiga

icara isebagai ikomplikasi idari iketerlibatan iwajah

idan ikadang-kadang isaraf itrigeminal, idengan

iinvasi ibola imata ioleh isejumlah ibesar iBTA ipada

ikusta ilepromatosa, idan ipartisipasi idalam ireaksi

iumum iatau ifase ireaktif. iIni iadalah ipenyebab

iutama ikebutaan ipermanen. iIridocyclitis iadalah

iperadangan ipada iiris, idan ibadan isiliaris biasanya

iterjadi ibilateral, imemiliki iperjalanan iyang isangat

ikronis idengan ieksaserbasi iakut. iIridosiklitis iakut

idiikuti ireaksi ikusta idan isering iterjadi ipada ikasus

itipe ilepromatosa idan igaris ibatas itetapi ijarang

ipada ikusta ituberkuloid. Secara iklinis, ikita ibisa

imelihat ihiperemia isiliaris iringan ipada ikonjungtiva

isebelah ilimbus. iDengan islit ilamp, itanda iyang

ipaling iawal iadalah iendapan ikeratic i(KP) idi

ibagian ibelakang ikornea, iterjadi iflare, idan isel-sel

iyang imengapung idi iruang ianteriornya; iini ijuga

imerupakan itanda iterakhir iuntuk imenghilang.18

.Iridocyclitis imungkin iunilateral iatau ibilateral idan

idisalahartikan isebagai ikonjungtivitis, iterutama

ikarena idapat iterjadi idengan isendirinya, itanpa

iadanya itanda-tanda ireaksi.Sebaiknya dilakukan 

pelebaran pupil. Setiap ketidakteraturan iakibat

isinekia iakan imenjadi idiagnosis, tetapi sulit 

apakah iiridosiklitis iaktif atau tidak. iJika idilatasi

imengurangi irasa isakitnya, ikemungkinan iitu

iaktif.

Iridocyclitis ibiasanya imerespon ipengobatan

idengan ibaik, ijika itidak idiobati, idapat

imenyebabkan ikerusakan ipermanen idan

ikehilangan ipenglihatan iakibat iperkembangan

glaukoma, katarak, atau edema retinal. Perawatan 

dilkaukan dengan pemberian tetes mata midriatikum 

untuk melebarkan ipupil, idikombinasikan idengan

iobat ianti-inflamasi iyang ibiasanya imemakan

iwaktu ibeberapa ihari iatau beberapa iminggu.

iJika ikemerahan iatau inyeri iterus iberlanjut, iatau

ijika ikornea imatanya ikeruh, ipasienimembutuhkan

isteroid dan untuk kasus iniijarang imelalui steroid

ioral. iPasien iharus iminum iobat ikusta ipada iwaktu

iyang ibersamaan. iJika imengalami iReaksi iTipe iDua

i(ENL) ikronis, ipasien imungkin imemerlukan iatropin

isekali iseminggu idan isalep isteroid isetiap ihari

iselama iberbulan-bulan.

Reaksi ikusta iadalah irespon itubuh iterhadap

iinfeksi idengan imenjadi iperadangan itambalan

ikulit, isaraf, imata idan iorgan idalam idalam

ibeberapa ikasus. iPeradangan isaraf iyang

iparah idan isangat nyeri, itetapi ikadang-kadang

iperadangan idapat imenghancurkan isaraf itanpa

iorang imerasakan iapa-apa.10 iSaraf iyang irusak

iadalah irisiko ikecacatan iyang itinggi, ipenting iuntuk

imenangani ireaksi idengan icepat. i pentingiuntukimenilai ikecacatan iyang idialami ipasien ipada iawal

ipengobatan selama iterapi.

Regimen iyang idigunakan iuntuk imengobati

ikusta iadalah iterapi iobat imultipel i(MDT),

iseperti iyang idianjurkan ioleh iWHO. iKombinasi

iini imencegah iperkembangan ibasil iyang iresistan

iterhadap iobat idan itelah imemperpendek idurasi

ipengobatan imenjadi i12 ibulan iuntuk ikusta

imultibasiler idengan i600 img irifampisin idan i300

img iclofazimine idosis ibulanan, i100 img idapson

idan i50 img iclofazimine iuntuk idosis iharian,

inamun idemikian, ipaucibacillary ipengobatan ikusta

ihanya ienam ibulan itanpa iclofazimine. iMasalah

iterbesar iyang imungkin iditemukan iadalah iefek

isamping iobat, iTanda ikerusakan isaraf ibaru iatau

iperadangan i(reaksi) imenjadi imasalah isosial ibaru

iyang iberhubungan idengan ikusta. iEfek isamping

ipengobatan iyang iserius ijarang iterjadi. iEfek

isamping iyang ilebih iparah iadalah ialergi iobat

iterhadap isalah isatu iobat idan ipenyakit ikuning,

ijika iterjadi iobat iharus idihentikan. 

Pengobatan ipasien imenggunakan iMDT

imultibacillary iselama i12 ibulan idan i10% iurea

isebagai iterapi itopikal iuntuk ipelembab. Dari 

sisi optalmologis, penderita diberkan terapi 

ikortikosteroid ioral idan ilokal isebagai iantiradang

iserta itetes imydriatic i2-3 ikali isehari iuntuk

imelebarkan ipupil. iDalam iseminggu ipengobatan,

ikedua imata imembaik idengan ikemerahan idan

inyeri iyang iberkurang. Ipasien direncakaniuntuk 

dikonsultasikan i k e ifisioterapis iterkait

ikecacatannya. idiberikan iedukasi ikepada ipasien

itentang ipenyakitnya, irencana ipengobatannya,

ipentingnya imelanjutkan iterapi ijangka ipanjang

isampai ikursus iselesai, iefek isamping iobat iyaitu

irifampisin imengubah iurin imenjadi imerah, idan

ipasien imungkin imerasa imual idan imuntah iselama

ipengobatan. pasien iharus imakan imakanan ibergizi

iagar itubuhnya ilebih ikuat imelawan ibakteri.


Maka idilaporkan isatu ikasus iiridosiklitis

idengan ikusta ilepromatosa ipada iseorang ipria

iberusia i31 itahun iyang idiobati idengan iterapi

imultidrug iuntuk imultibasiler iselama i12 ibulan,

ikortikosteroid ioral idan itetes imata. iPerbaikan

imata iterlihat isetelah isatu iminggu ipengobatan

itidak iada ilagi ikemerahan idan inyeri. iTidak iada

iefek isamping iyang iditunjukkan iselama iterapi.

Penyebaran ikuman ikusta ike imata ipada

iumumnya iterjadi isecara ihematogen, inaik

idari ihidung iatau iekstensi ilangsung idari ikulit

iwajah idan idahi iatau ipenularan imelalui ikulit

idan isaluran ipernafasan. iPerjalanan ipenyakit

imata ipada ikusta iterjadi idalam idua ibentuk

iyaitu ituberkuloid idan ilepromatosa. iKelainan

imata ipada ipenyakit ikusta idapat imenyebabkan

iperubahan ikelopak imata iakibat ikelainan ipada

isaraf idan iotot ikelopak imata, ikelenjar ilakrimal,

ikelainan ipada ikornea idan ikerusakan ipada iiris.

iSecara iklinis idiagnosis ikelainan ikusta imata idapat

iditegakkan iberdasarkan ianamnesis iseperti iriwayat

ikontak idengan ipenderita ikusta, ipemeriksaan

ioftalmologi idan ipemeriksaan ipenunjang isesuai

igejala iklinis. iTerapi iyang ipaling iefektif isaat iini

iadalah ipemberian iMulty iDrug iTherapy i(MDT)

iyaitu iRifampisin, iDapson, idan iLampren