kusta39
Penyakit kusta merupakan salah
satu penyakit menular, menahun dan
disebabkan oleh Mycobacterium leprae
yang menimbulkan masalah yang
kompleks.1,2 Permasalahan yang muncul
karena penyakit lepra ini bukan hanya
dari segi medis, tetapi meluas sampai
masalah psikis, sosial ekonomi, dan
budaya yang akan mempengaruhi
kualitas hidup dari penderita kusta itu
sendiri.
berdasar World Health
Organization (WHO) Weekly
Epidemiological Record tahun 2016, dari
143 negara yang terbagi dalam 6 regio,
yakni regio Afrika, Amerika, Timur
Tengah, Eropa, Asia Tenggara dan
Pasifik Barat, dilaporkan 214.783 kasus
kusta dengan rata-rata prevalensi 2,9 per
100.000 populasi dengan kasus tertinggi
di regio Asia Tenggara adalah 161.263
kasus dengan rata-rata prevalensi 8,2 per
100.000 populasi, diikuti regio Amerika
dengan 27.356 kasus dan regio Afrika
dengan 19.384 kasus.4
Prevalensi kasus kusta di Indonesia
menunjukkan kondisi yang relatif statis
sejak tercapainya status eliminasi kusta
pada tahun 2000. Hal ini dapat dilihat dari angka penemuan kasus baru kusta
selama lebih dari dua belas tahun yang
menunjukkan kisaran angka antara enam
hingga delapan per 100.000 penduduk
dan angka prevalensi yang berkisar
antara delapan hingga sepuluh per
100.000 penduduk per tahunnya. Pada
tahun 2015 dilaporkan 17.202 kasus baru
kusta dengan 84,5% kasus di antaranya
merupakan tipe Multi Basiler (MB).5
Hasil pengumpulan data Profil
Kesehatan Kabupaten/Kota se-Provinsi
NTT pada tahun 2013 dilaporkan bahwa
jumlah penderita kusta sebanyak 479
kasus. Pada Tahun 2014 dilaporkan
bahwa jumlah penderita kusta sebanyak
575 kasus. Sedangkan pada tahun 2015
dilaporkan jumlah penderita kusta
sebanyak 391 kasus, berarti terjadi
penurunan pada tahun 2015.6
Pada tahun 2015 dilaporkan
penderita baru kusta yang paling banyak
di Kabupaten Flores Timur dengan 71
kasus sedangkan yang paling rendah
Kabupaten Kupang, Nagekeo,
Manggarai Timur, Manggarai,
Manggarai Barat dan Sumba Barat.
Kabupaten Lembata berada pada urutan
ke 6 dengan 26 kasus.6
Masyarakat cenderung takut
dengan penyakit kusta karena dapat
menyebabkan kecacatan dan
deformitas.7 Risiko kecacatan akibat
penyakit kusta cukup besar sehingga
sangat diperlukan perawatan dan
rehabilitasi karena keterlambatan
penanganan menyebabkan perubahan
fisik, sosial dan psikologis.8,9 Hal ini
akan berdampak secara psikologis pada
penurunan kepercayaan diri, merasa
malu, kehilangan harapan dan memiliki
gambaran diri yang buruk yang
menyebabkan penurunan kualitas hidup
penderita kusta.9
Kualitas hidup menurut WHO
didefinisikan sebagai persepsi individu
tentang posisinya dalam kehidupan
dalam konteks budaya dan sistem nilai
yang dianut, yang berhubungan dengan
tujuan hidup, harapan, standar, dan
minat. Hal ini merupakan konsep
yang luas yang melibatkan kesehatan
fisik, keadaan psikologis, derajat
ketidakbergantungan, hubungan sosial,
kepercayaan, dan hubungannya dengan
lingkungan. Definisi ini
mencerminkan bahwa kualitas hidup
mengacu pada penilaian subyektif, yang
tertanam dalam konteks budaya, sosial,
dan lingkungan.
Dengan demikian, kualitas hidup
tidak dapat disamakan secara sederhana
dengan status kesehatan, gaya hidup,
kepuasan hidup, keadaan mental, atau
keadaan sehat, melainkan merupakan
konsep multidimensional yang
menggabungkan persepsi individu akan
hal ini dan aspek lain dalam
kehidupan
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup penderita kusta antara
lain, jenis kusta yang diderita, derajat
kecacatan akibat kusta, stres psikologis
dan keterbatasan aktivitas akibat
komplikasi kusta, kondisi tempat tinggal
dan adanya isolasi dari lingkungan serta
adanya stigma yang dialami oleh
penderita.
Penderita kusta yang mengalami
kecacatan cenderung hidup menyendiri
dan mengurangi kegiatan sosial dengan
lingkungan sekitar, penurunan
kepercayaan diri sehingga mereka
merasa bahwa dirinya tidak berguna dan
bermanfaat dimasyarakat. Hal ini
menyebabkan terjadinya perilaku
menarik diri dari lingkungan sekitar
sehingga mempengaruhi kualitas hidup
penderita kusta.
Pada tahun 2008, Maria dkk,
melakukan penelitian di Kabupten
Lembata, didapatkan bahwa tingkat
kecacatan berpengaruh terhadap kualitas
hidup penderita kusta di bandingkan
faktor lain, seperti tingkat pendidikan,
status perkawinan, usia dan jenis
kelamin. Selain itu, dilihat dari aspek
sosial dan psikologis, masih di dapatkan hasil yang buruk.15 Hasil ini ini sejalan
dengan penelitian oleh La Ode Hane dkk
pada tahun 2017 yang menyatakan
tingkat kecacatan dan depresi
berpengaruh terhadap kualitas hidup
penderita kusta.3 Berbanding terbalik
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Elsya Siskawati Slamet dkk pada tahun
2014, yang menyatakan bahwa kecacatan
tidak berhubungan secara bermakna
dengan kualitas hidup orang yang pernah
mengalami kusta di Kabupaten
CirebonPenelitian dilaksanakan di RS
Lepra Damian yang terletak di
Lewoleba, tepatnya di Woloklaus dengan
luas 12,5 Ha. RS Lepra St. Damian
menjadi satu-satunya Rumah Sakit Kusta
di daratan Flores Timur dan Lembata
sehingga sampai saat ini masih menjadi
pusat rujukan dari berbagai Puskesmas di
daerah pelosokberdasar hasil ujiRank
Spearman pada penelitian ini, didapatkan
nilai p = 0,008 atau (p < 0,05) dengan
interval kepercayaan 95 % (CI = 0,000-
0,045) atau dapat disimpulkan bermakna
secara statistik bahwa ada perbedaan
antara tingkat kecacatan dengan kualitas
hidup penderita kusta di RS St. Damian
Lewoleba.berdasar hasil uji Rank
Spearman pada penelitian ini, didapatkan
nilai p = 0,008 atau (p < 0,05) dengan
interval kepercayaan 95 % (CI = 0,000-
0,045) atau dapat disimpulkan bermakna
secara statistik bahwa ada perbedaan
antara tingkat kecacatan dengan kualitas
hidup penderita kusta di RS St. Damian
Lewoleba.
Hasil ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan La Ode Hane dkk,
tentang faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup penderita kusta di
Kabupaten Maluku Tengah tahun 2017,
bahwa tingkat kecacatan berpengaruh
terhadap kualitas hidup penderita kusta
karena nilai p =0,040 < 0,05.3
Penelitian yang sejalan dengan
hasil ini adalah penelitian yang pernah
dilakukan oleh Maria Imakulati Making
dkk, yang menyatakan kualitas hidup
penderita kusta berbeda secara signifikan
dari segi kecacatan dengan hasil analisis
Fisher’s Exact dengan nilai p = 0,035.(15)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Rina Nur Hidayati dkk, penderita kusta
dengan tingkat kecacatan 2 memiliki
kualitas hidup tinggi dengan frekuensi
67,5 %. Hal ini disebakan karena kualitas
hidup penderita kusta dipengaruhi oleh
faktor penting lain status pernikahan,
tempat tinggal dan dukungan dari
keluarga dan masyarakat. Selain itu,
penderita kusta dengan tingkat cacat 2
lebih menerima diri dan menikmati hidup
yang sedang dijalani.
Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Elsya S Slamet dkk di
Kabupaten Cirebon menyatakan bahwa
tingkat kecacatan tidak berhubungan
secara bermakna dengan kualitas hidup
penderita kusta. Dalam penelitian
ini dikatakan adanya Multy Drug
Therapy dan pemeriksaan Prevention of
Disability secara rutin oleh petugas telah
menimbulkan optimisme tentang
prospek untuk menghilangkan penyakit
dan mencegah kecacatan. Selain itu
adanya Kelompok Perawatan Diri (KPD)
yang mengajarkan cara-cara perawatan
yang bertujuan mencegah kecacatan dan
mengurangi cacat yang sudah ada
membuat penderita kusta lebih percaya
diri dengan kecacatannya
Penderita kusta yang mengalami
kecacatan yang mana kodisi sakit yang
ditimbulkan dari kecacatan kusta
menyebabkan kondisi sakit yang
menimbulkan ketidaknyamanan fisik,
keluhan nyeri, perubahan suhu tubuh dan
kelemahan sehingga menimbulkan
perasaan cemas, gelisah, putus asa dan
bisa berujung pada depresi yang
mempengaruhi kualitas hidupnya.berdasar hasil ujiRank
Spearman pada tabel di atas, didapatkan
nilai p = 0, 019 atau (p < 0,05) dengan
interval kepercayaan 95 % (CI = 0,000-
0,045) atau dapat disimpulkan bermakna
secara statistik terdapat perbedaan
tingkat depresi dengan kualitas hidup
penderita kusta di RS St. Damian
Lewoleba.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
La Ode Hane dkk, yang menyatakan
depresi berpengaruh terhadap kualitas
hidup karena nilai p = 0,000 < 0,05.
Depresi dipandang sebagai suatu
perilaku yang dapat menyebabkan
seseorang kehilangan kontrol pada
dirinya. Depresi merupakan keadaan
dimana seseorang mengalami
kemurungan (kesedihan, kepatahan
semangat) yang ditandai dengan labilitas
perasaan, kecemasan, perasaan bersalah
dan keinginan bunuh diri. Depresi
menyebabkan seseorang malas untuk
mengikuti regiment pengobatan Multy
Drug Therapy, nafsu makan yang
kurang, keengganan berolahraga, dan
kesulitan tidur sehingga dapat
memperberat gangguan fisiknya dan
pada akhirnya dapat memperburuk
derajat kesehatannnya.3
Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Felda Andreane,
menyatakan tidak ada hubungan depresi
dengan kualitas hidup penderita kusta
dengan p = 0,220 (p>0,05).
Terdapat hubungan yang bermakna
secara statistik antara tingkat kecacatan
dengan kualitas hidup penderita kusta di
Rumah Sakit Lepra Damian Lewoleba.
Terdapat hubungan yang bermakna
secara statistik antara tingkat depresi
dengan kualitas hidup penderita kusta di
Rumah Sakit Lepra Damian Lewoleba.
Selama ini penderita kusta dipandang sebagai penyakit kutukan, keturunan, akibat gunaguna, penyakit aib, memiliki pola hidup yang kotor, dan penyakit menular hingga tidak bisa
disembuhkan. Menurut berbagai penelitian pemberian stigma terhadap penderita kusta sudah
umum terjadi. Namun jika ditelaah lebih dalam, mengenai proses pengobatan pada penderita
kusta adanya spekulasi yang ada menyebabkan beberapa petugas medis memberikan stigma
terhadap penderita kusta. Dari latar belakang ini fokus dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui bentuk - bentuk stigma yang dialami penderita kusta selama proses pengobatan dan
perawatan serta reaksi penderita kusta atas stigma yang diberikan oleh petugas medis. Studi ini
dilakukan di Dusun Sumber Glagah, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.Menggunakan
metode penelitian kualitatif, paradigma penelitian yang digunakan adalah Definisi sosial,
menggunakan teori Stigma Erving Goffman. Teknik penentuan informan pada penelitian ini
menggunakan teknik snowball. Informan yang diperoleh yakni sebanyak tujuh orang dengan
latar belakang yang berbeda dan dua informan non subjek sebagai pendukung dalam penelitian.
Hasil dari penelitian ini antara lain yakni (1) bentuk stigma yang diterima yakni mendapatkan
perkataan sebagai penyakit menular, tidak bisa disembuhkan penyakit yang tidak steril, penyakit
yang menakutkan pasien lain serta tulisan di dinding instasi kesehatan bahwa penderita kusta
merupakan kutukan dari tuhan, selain itu menolak kehadirannya saat berkunjung di instasi
kesehatan dan memandang rendah penderita kusta dan memperlakukan kekerasan saat
periksa.(2) Kemudian reaksi dari penderita kusta hanya diam dan menunjukan sikap marah atas
stigma yang di berikan petugas medis.Kusta merupakan penyakit kulit yang
disebabkan oleh bakteri, bukan penyakit
turunan maupun penyakit kutukan dari
dosa. Penyakit yang telah menyerang tubuh
manusia sudah ada dari zaman kuno
ini disebabkan oleh bakteri yang
bernama Mycobacterium Leprae, dimana
bakteri ini menyerang kulit, saraf tepi
dan jaringan lain, kecuali otak. Penyakit
dengan nama lain lepra ini sering
dianggap sebagai penyakit keturunan,
karena kutukan, guna-guna atau pada pola
hidup yang kotor. (Depkes, 2018). Penyakit
dengan spekulasi masyarakat sebagai
penyakit yang menular, sehingga penderita
kusta acapkali mendapat stigma yang
negatif. Selain itu adanya perlakuan
diskriminatif yang diterima penderita
kusta, hal ini masyarakat menilai bahwa
penderita kusta sebagai penyakit kutukan.
Prevalensi pada penyakit kusta di
Indonesia pada tahun 2015-2017 tidak
banyak mengalami perubahan. Pada tahun
2017 banyak sekali penurunan dari tahuntahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2015
prevalensi sebanyak 6.73% menjadi 6,50%
pada tahun 2016 terakhir pada tahun 2017
mengalami penurunan sebanyak 6,08%
pada tahun 2017. Indonesia merupakan
salah satu Negara yang menduduki terkena penyakit kusta, yakni di Provinsi Jawa
Timur, Papua dan Sulawesi Selatan yang
memiliki jumlah kasus kusta
terbanyak.Diketahui bahwa angka prevelasi
kusta pada tahun 2015 di Jawa Timur
sebanyak 4.013, Provinsi Papua sebanyak
1084. Sedangkan di Sulawesi Selatan
sebanyak 1.220 penderita. Dari data
ini diketahui bahwa prevalensi
penyakit kusta di Jawa Timur masih berada
diatas standart yang telah ditetapkan oleh
World Health Organization (WHO).
Sedangkan pada penderita kusta tertinggi
di 14 provinsi pada tahun 2015, dan 9
provinsi pada tahun 2016, dan sebanyak 11
provinsi pada tahun 2017. Secara nasional
presentase kasus baru kusta pada anak usia
dibawah 20 tahun selama periode tahun
2015-2017 mengalami penurunan, yaitu
dari sebelumnya sebesar 11,22% tahun
2015 menjadi 11,05% di tahun 2017
(Depkes, 2018).
Salah satu masalah yang menghambat
upaya penangulangan pada penyakit kusta
adalah stigma yang melekat pada penyakit
kusta. Fenomena stigma terhadap orang
yang menderita kusta akan berdampak juga
pada keluarga dari penderita kusta. Stigma
ini berupapandangan negatif dan
perlakuan diskriminatif terhadap
keluargapenderita kusta, sehingga
menghambat upaya penderita kusta dan
keluarganya untuk menikmati kehidupan
sosial yang wajar seperti individu pada
umumnya (Rahayu:2016). Dalam
kehidupan sehari-hari, perlakuan
diskrimnasi dapat terjadi dalam hal
kesempatan mencari lapangan pekerjaan,
di tempat ibadah, mendapatkan pasangan
hidup, dan lain-lain. Keadaan ini
berdampak negatif pada penderita kusta
secara psikologis bagi mereka selain itu
frustasi, bahkan ada yang melakukan upaya
untuk bunuh diri (bakrie,2010). Dari sisi
penanggulan penyakit, stigma penderita
kusta dapat menyebabkan seseorang yang
sudah terkena kusta enggan berobat karena
takut keadaannya diketahui oleh
masyarakat sekitar.Hal ini tentu saja
disebabkan karena spekulasi masyarakat
terhadap penyakit kusta sebagai penyakit
yang menular, selain itu penyakit kusta
juga terdapat timbulnya kecacatan pada
yang bersangkutan sehingga terjadilah
masalah yang tak terselesaikan.
Disamping merasakan sakit akibat
penyakitnya, penderita kusta juga
memperoleh perlakuan tidak nyaman,
terutama terkait dengan stigma negatif
yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini
disebabkan penderita kusta selain
menanggung beban moral dimana menderita secara fisik, tapi juga secara
sosial harus menanggung beban sosial
dalam bentuk perilaku diskriminatif dan
pengucilan masyarakat sekitar. Beban
moral yang tidak dapat dihindarkan,
mengakibatkan perlakuan yang tidak
berpihak pada penderita kusta.
Di India penderita kusta seringkali
memperoleh perlakuan yang tidak berpihak
pada penderita kusta karena dianggap
menodai manusia, menganggap orang yang
memiliki dosa, ketakutan bahaya terjadinya
penularan penyakit.Tidak hanya itu
masyarakatnya menandai dengan
membawa lonceng jika ada keluarga
maupun penderita kusta, serta menandai
rumah bagi penderita kusta (Tony,
2017).Sama halnya dengan penderita yang
tinggal Desa Sumberglagah Mojokerto
penderita kusta juga mengalami perlakuan
yang tidak adil dari daerah asalnya,
kemudian mereka beralih pada tempat yang
disediakan oleh pemerintah untuk tempat
tinggal penderita kusta dan keluarganya.
Petugas medis (personal health)
merupakan seseorang pelayanan kesehatan
yang memiliki peran sebagai upaya
penyembuhan derajat kesehatan
masyarakat, seperti halnya menerima dan
melayani pasien dengan berbagai macam
karakteristik penyakit.Petugas medis atau
yang dimaksud dengan penyedia jasa
kesehatan yang berada di Rumah Sakit,
Puskesmas atau pelayanan kesehatan
lainnya, yang berfungsi sebagai
meningkatkan kualitas pelayan pasien agar
lebih baik. Tidak hanya pelayanan untuk
menyembuhan penyakit pada pasien,
petugas medis harus memberikan sikap
peduli bagi konsumen selaku pengguna
jasa kesehatan. Petugas medis harus selalu
tanggap dan senantiasa untuk merawat
pasien begitu juga dengan memberikan
perilaku yang baik terhadap setiap
keinginan pasien yang ingin berobat,
apalagi dalam bidang kesehatan harapan
konsumen sangat bergantung dengan
prtugas medis (personal health). Maka
dengan itu masyarakat akan
mempercayakan dalam penyembuhan
kesehatannya pada petugas medis, hal
ini betapa efektifnya petugas medis
dalam pelayanan penyembuhan penyakit di
semua kalangan masyarakat baik kalangan
bawah maupun atas.
Berbagai stigma yang diberikan
masyarakat, tentunya tidak luput stigma
yang diberikan petugas medis dengan
memberikan pelayanan secara tidak
maksimal. Acapkali petugas medis masih
memegang stereotip tentang penderia kusta
karena mindset masyarakat terhadap penyakit kusta sebagai penyakit menular,
penyakit yang tidak bisa disembuhkan
dengan keterbatasan fasilitas pelayanan
yang diberikan sehingga terjadinya proses
stigma terhadap penderita kustaKerangka Teori
Stigma – Erving Goffman
Menurut Erving Goffman (Ritzer,
2012) apabila seseorang memiliki
karakteristik/atribut yang berbeda dari
orang-orang yang berada dalam kategori
sama dengan dia (seperti berbahaya, tidak
sempurna kondisi fisiknya, lemah), maka ia
akan diasumsikan sebagai orang yang
ternodai. Atribut inilah yang disebut
sebagai stigma. berdasar hal ini ,
Goffman membedakan stigma menjadi 3
jenis :
a. Abominations of the body
(ketimpangan fisik)
Stigma yang berhubungan
dengan kerusakan karakter individu
secara fisik, seperti tuli, bisu,
pincang, dan sebagainya.
b. Blemishes of indivdual character
Stigma yang berhubungan
dengan kerusakan karakter individu
seperti homoseks, pemabuk,
pecandu, dan sebagainya.
c. Tribal stigma
yaitu stigma yang
berhubungan dengan suku, agama,
dan bangsa (Goffman, 1963 dalam
Ardianti, 2017)
Dalam penelitian ini teori stigma
digunakan untuk menganalisis stigma
sosial yang diberikan petugas medis
kepada petugas medis, serta aspek-aspek
yang mendasari masyarakat untuk
memberikan stigma terhadap penderita
kusta. Ketiga konsep Goffman mengenai
Self, Identity, dan Stigma memiliki
hubungan antara satu dan yang lainnya
dalam proses pemberian stigma. Konsep
Self dalam penelitian ini dilakukan oleh
penderita kusta dalam memaknai dirinya sendiri sebagai penyakit yang dideritanya.
Mereka mendapatkan makna mengenai
dirinya melalui pengkontruksian pikiran
orang lain. Dari pengkontruksian pikiran
orang lain yang diberikan terhadap
penderita kusta ini muncul sebuah
Identity yang diperoleh dari masyarakat.
Dengan adanya Identity yang telah
diperoleh ini , maka petugas medis
akan memberikan Stigma terhadap
penderita kusta.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
peneltian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan paradigma
definisi sosial. Paradigma ini menjelaskan
makna subjektif yang diberikan individu
terhadap tindakan mereka. Paradigma ini
menitik beratkan pada tindakan sosial yang
dilakukan berdasar kesadaran seseorang
yaitu tindakan sosial yang dilakukan
seseorang yang mengandung makna bagi
dirinya sendiri. Data-data yang digunakan
adalah data yang bersifat kualitatif dengan
cara melakukan observasi atau pengamatan
langsung mengenai kondisi sebenarnya di
lingkungan sekitar, kegiatan yang
dilakukan, proses interaksi, peneliti
melakukan komunikasi dengan objek yang
diteliti, memahami karakteristik mereka,
sehingga peneliti mampu mendapatkan
pemahaman mendalam mengenai subyek
yang diteliti, dan memahami seberapa
besar manfaat penelitian ini dilakukan
untuk orang lain.
Informan Penelitian
Informan merupakan sumber
informasi utama yang mendukung untuk
menjawab fokus masalah dalam penelitian
ini, maka dari itu informan merupakan
salah satu elemen tepenting dalam suatu
penelitian. Penelitian ini menggunakan
teknik snowball (menggelinding), sebagai
langkah awal peneliti menjadi volunteer
komunitas peduli kusta yang menghabiskan
waktu dengan warga Desa sumberglagah
sambil melakukan obsevarsi serta
pengambilan data. Metode snowball ini
akan mempermudah dalam mencari data
penelitian, alasan dipilihnya teknik
penentuan informan ini karena informan
yang akan digunakan sebagai sumber
informasi hanyalah orang-orang yang
sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan.
Disini peneliti juga mencari informan yang
berlatar belakang berbeda-beda dalam
proses terinfeksi mycobacterium Lepra
serta tingkat kecacatan yang terjadi pada
penderita kusta.Dalam penelitian ini telah
menetapkan tujuh informan subjek yang menderita penyakit kusta, ketujuh informan
ini terbuka dengan peneliti dan
mampu menjelaskan informasi yang sesuai
fokus penelitian ini.Serta dua informan
sebagai pendukung dalam penelitian ini
yang berprofresi sebagai petugas kesehatan
guna melihat realitas yang ada dalam
bidang kesehatan.
Hasil Penelitian
a. Bentuk Stigma Yang Diberikan Oleh
Petugas Medis (Personal Health)
berdasar hasil temuan data
terdapat berbagai macam penderita kusta
mendapatkan stigma yang diberikan
petugas kesehatan, baik dari stigma verbal
maupun stigma non verbal hal ini
terlihat dari keterangan informan.
Pemberian stigma yang dilakukan tenaga
medis terhadap penderita kusta mengacu
pada karakteristik tertentu. Pemberian
stigma yang dilakukan tenaga medis
mencerminkan bahwa adanya tenaga medis
yang belum benar-benar mengetahui
pengetahuan tentang penyakit kusta. Selain
itu terbawa dengan mindset masyarakat
atau lingkungan. Hal yang lain dari
individu petugas kesehatan yang dengan
sendirinya ia tidak mau merawat penderita
kusta karena takutnya ia akan tertular
penyakit dari pasien. Dengan itu tenaga
kesehatan kerap memberikan stigma
terhadap penyakit dengan spekulasi sebagai
penyakit yang tertular. berdasar dari
kutipan beberapa informan terdapat adanya
stigma yang diberikan informan dari
perlakuan yang tidak menyenangkan atau
perkatan yang membuat sakit hati yang
mengarah kondisi fisiknya, mencaci, tidak
diterimanya dalam berobat, melakukan
kekerasan ketika petugas medis tidak bias
membenarkan infus, serta yang sering
ditemui cacian berupa penyakit menular
namun ada juga tenaga medis melakukan
secara terang-terangan yakni terdapatnya
tulisan di dinding puskesmas kalau
penderita kusta merupakan penyakit
kutukan tuhan.
b. Sesudah Berobat di Layanan
Kesehetan Khusus
Setelah menjalani berbagai proses
pengobatan yang dilalui, terdapat informan
yang berobat di layanan kesehatan umum
yang memnyebabkan dirinya mendapatkan
stigma dari petugas medis. Dari
pengalaman yang dialami informan,
dirinya melakukan suatu perubahan yang
lebih baik yakni berobat di layanan
kesehatan yang khusus menangani kusta
guna tidak terjadinya stigma pada dirinya dan mendapat perawatan yang baik. Dari
pemaparan beberapa informan dapat
diketahui ketika ia memilih berobat di
pelayan kesehatan yang khusus menangani
kusta, dirinya merasa mendapat perawat
yang baik yang dapat merawat kondisinya
hingga sembuh. Serta adanya komunikasi
dengan perawat dan pasien membuat orang
yang menderita kusta akan merasakan
perasaan yang tenang dan merasa
terlindungi oleh petugas medis. Maka dari
itu dapat diketahui bahwa penderita kusta
jika berobat di pelayan kesehatan yang
menangani khusus akan merasa lebih aman
dan tenang perasaannya.
c. Dampak Dari Pemberian Stigma
berdasar temuan data yang
didapatkan, diketahui bahwa setiap
penderita memiliki dampak yang
didapatkan atas stigmanya. Dampak yang
diperoleh dikarenakan stigma yang
diberikan masih terbanyangkan dalam
benak penderita. Sehingga menimbulkan
enggannya untuk berobat atau berhubungan
dengan tenaga kesehatan. Hal ini sesuai
dengan informan yang mendapatkan stigma
yang jelas tertera pada dinding puskesmas
mengatakan penyakit kusta merupakan
kutukan tuhan sehingga tidak mau berobat
dan menimbulkan dampak semakin
parahnya penyakit yang dideritanyadan
kehilangan anggota tubuhnya. Selain itu
yang saat itu ditolak keadaanya saat
berobat sehingga menimbulkan kanker
pada luka yang dialami dan harus
diamputasi pada kaki kanannya. Sama
halnya stigma yang diperolehnya membuat
enggan untuk berobat jika kondisi yang
tidak parah, sehingga menimbulkan
dampak harus mengalami kecacatan pada
tubuhnya. Berbeda dengan informan
sebelumnya, tidak percaya diri saat
bertemu dengan petugas kesehatan. Selain
itu menjadi tromah dan malu saat
berhadapan dengan petugas kesehatan
karena kondisinya yang sudah dilabelkan
oleh masyarakat.
d. Reaksi Penderita Kusta Atas Stigma
Yang diberikan Petugas Medis
(Personal Health)
Penderita kusta umumnya
memberikan beragam reaksi dalam
menanggapi stimulus negatif yang
diberikan kepada dirinya. berdasar
temuan data yakni keterangan dari
informan, ketika mendapatkan stigma ia
menanggapi petugas kesehatan dengan
pasrah dan hanya diam. Berbeda dengan ke
empat informan yang memiliki keberanian
justru menegur petugas kesehatan yang
melakukan perlakuan yang tidak baik terhadap pasien. Selain itu informan
melakukan complain terhadap petugas
kesehatan yang melakukan perlakuan yang
tidak baik. Reaksi yang dilaku untuk
memberikan informan bersifat pasif hal
ini disadari bahwa keberadaan
penderita kusta yang sudah di label dengan
penyakit yang menular dan tidak ada
obatnya, membuat penderita takut untuk
memberontak atas perlakuan yang
diterimanya.
Terdapat perlakuan yang ia terima,
informan tetap merasa bahwa julukan atau
pemberian anggapan negatif yang di
peroleh. Informan harus lebih bijak dalam
menyikapinya. Stigma yang diberikan oleh
petugas medis terhadap penderita kusta,
tergantung bagaimana masing-masing
orang bereaksi dan menyikapinya.
Kesimpulan
1. Munculnya penyakit kusta yang
di dederita pada informan
dimaknai sebagai penyakit yang
membuat malu, penyakit yang
tidak diterima masyarakat serta
penyakit yang dijauhi.
2. Munculnya penyakit kusta
mayoritas informan
diidentitaskan sebagai individu
yang tidak berguna, hidup dengan
stigma, serta memiliki penyakit
yang membuat kehilangan
anggota tubuh.
3. Dalam proses pengobatan
diketahui bahwa informan
mendapatkan stigma dari petugas
medis ketika berobat di kampung
halamannya di pelayanan
kesehatan umum.
4. Bentuk stigma verbal yang
diperoleh penderita kusta yaitu
berupa julukan yang tidak baik
seperti penyakit yang bisa
menular, penyakit yang tidak
steril, penyakit yang menakutkan
orang lain selain itu perkataan
berupa tulisan yang tertera di
dinding instasi kesehatan yang
mengacu pada penderita kusta
merupakan penyakit kutukan
tuhan.
5. Bentuk stigma non verbal yang
diperoleh penderita kusta
diantaranya orang yang menderita
kusta dianggap seluruh badannya
sudah mati rasa sehingga petugas
medis memperlakukan penderita
kusta secara kasar, serta
memandang penderita kusta dari
keluarga yang tidak mampu
sehingga terjadinya manipulasi data yang dilakukan petugas
medis.
6. Stigma yang dilakukan secara
terang-terangan oleh petugas
medis dari latar belakang
lingkungan, faktor sosial budaya,
serta faktor ekonomi.
7. Stigma yang diberikan
berdasar ketimpangan fisik,
atas dasar anggota tubuh yang
sudah cacat. serta ketimpangan
karakter, atas dasar karakter yang
menyakiti orang lain dan mindset
masyarakat atas dasar pola
pemikiran yang dimiliki
masyarakat.
8. Pemberian stigma menimbulkan
dampak pada informan yakni
keadaan semakin parah, terkena
kanker, kehilangan anggota
tubuhnya, serta perasaan traumah
dan tidak percaya diri ketika
harus berhadapan dengan petugas
medis.
9. Sikap reaksi terang-terangan
berupa menunjukan sikap marah
atas stigma yang diperoleh
penderita kusta, dan sikap reaksi
terselubung berupa diam dan
membatin atas stigma yang
diperoleh penderita kusta.
10. Informan ketika berobat di
pelayan kesehatan yang khusus
menangani penyakit kusta
mendapatkan perawatan yang
baik dan mendapatkan perhatian
dari petugas medis.
Morbus Hansen (Kusta) merupakan masalah kesehatan
kulit yang masih sering ditemukan di masyarakat Nusa Tenggara Barat. Kusta
disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kebersihan diri, keadaan air,
dan nutrisi atau gizi. Selain terifeksi oleh Micobacterium Leprae sendiri, faktor
kebersihan dan terapi awal sangat menentukan keberhasilan pengobatan serta
prognosis dari penyakit ini yang kemudian akan meperngaruhi kesehatan
dan kualitas hidup masyarakat. Pada penelitian yang telah dilakukan dikatakan
bahwa penyakit kusta pada masyarakat Indonesia terutama Nusa Tenggara masih
sangat banyak bahkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang
penyakit ini dan datang sudah dengan tingkat keparahan tertentu.
Analisis Situasi: Petugas Kesehatan memegang peranan penting dalam penyebaran pengetahuan kusta (Morbus Hansen) yang mulai banyak
bermunculan pada tingkat keparahan tertentu, yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup penderita. Melalui kegiatan edukasi ini diharapkan dapat terjadi
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini penyakit kusta yang
mungkin muncul dengan prognosis yang sudah buruk dan komplikasi sehingga
mempengaruhi keberhasilan terapi selanjutnya.
Metode Pendekatan: Tahapan pendekatan yang dilakukan dalam program ini
terdiri dari penyuluhan kepada masyarakat awam mengenai deteksi dini kusta
(Morbus Hansen) pada masyarakat Sumbawa di RSUD Manambae.
Hasil dan Kesimpulan: Dari 20 lembar quisioner yang dibagikan hanya 3 yang
mendapat skor 75 dan 17 lembar lainnya mendapatkan skor dibawah 50. Setelah
dilakukan edukasi berupa menonton video secara bersamaan dan dilakukan
penilaian Kembali 15 orang mendapatkan nilai diatas 50 dan 5 orang
mendapatkan nilai dibawah 50. Pengunjung yang poli kulit dan kelamin serta poli
umum RSUD Manambae memiliki pengetahuan yang sangat kurang tentang
Morbus Hansen, hal ini dilihat dari hasil pengisian kuisioner yang dilakukan
sebelum diberikan edukasi. Terlihat perbandingan yang sangat signifikan antara
skor sebelum diberikan edukasi dan setelah diberikan edukasi. Dalam prinsip
kedokteran mencegah lebih baik daripada mengobati sehingga menjadi pentingKusta adalah penyakit tertua di dunia, merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae memiliki sifat interseluler dan obligat. Saraf perifer adalah yang utama
dalam infeksi kusta kemudian diikuti kulit mukosa dan organ – organ respirasi. Epidemiologi penyakit
kusta sangat beragam dan masih belum diketahui hingga saat ini, para ahli kulit mengatakan
infeksinya melalui sentuhan kulit dengan kulit. Faktor – faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
mencegah penyakit kusta adalah patogenesis dari kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial
ekonomi dan lingkungan, perubahan imunitas, dan varian genetik yang berhubungan dengan
kerentanan. Sumber infeksi dari kusta adalah manusia. Di Indonesia jumlah kasus awal terrekam
adalah pada tahun 2009 21.538 orang dalam kasus ini (FK UI, 2017).
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti, karena dapat
terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan hanya menderita karena penyakitnya,
tetapi juga dapat dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini diakibatkan oleh kerusakan saraf besar
yang bersifat irreversibel di wajah ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan
yang berulang – ulang pada daerah anastetik disertai paralisis dan atrofi dari otot. Diagnosis dari kusta
didasarkan gambaran klinis, bakterioskopik, histopatologis dan serologis (Fitzpatrick, 2012).
Kulit berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap pengaruh dari luar seperti bahan kimia,
radiasi, faktor mekanik, dan invasi lingkungan. Kusta pada masyarakat Sumbawa adalah kasus yang
sering dirujuk ke RSUDP NTB dikarenakan tidak adanya dokter spesialis kulit di RSUD Manambae,
Kusta adalah kompetensi dokter umum dengan kurangnya pengetahuan masyarakat mengakibatkan
pasien datang ke tenaga kesehatan sehingga perlu dirujuk. Hal ini menjadi masalah dan dapat
menjadi wabah jika dibiarkan sehingga sangat perlu pengetahuan masyarakat tentang Penyakit kusta,
bagaimana penularannya, terapi gejala dan pencegahannya.
Organisasi profesi memegang peranan penting dalam penyebaran pengetahuan tentang kusta
(Morbus Hansen) bagi masyarakat dan kalangan profesi kesehatan. Sehingga berdasar latar
belakang ini Fakultas Kedokteran Universitas Mataram bekerjasama dengan pihak-pihak terkait
bermaksud untuk melakukan penyuluhan edukasi dan deteksi dini dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai tindakan preventif dan kalangan profesi kesehatan tentang pentingnya
deteksi penyakit kusta.
Melalui kegiatan ini diharapkan dapat terjadi peningkatan pengetahuan masyarakat tentang
penyakit kusta, sehingga kualitas hidup penderita dapat meningkat dan dapat melakukan pencegahan
terhadap penyakit ini .Pemberian pengabdian masyarakat berupa edukasi melalui video dilakukan di RSUD
Manambae Sumbawa, pada tanggal 15 Juni 2020. Sebelum dilakukan edukasi melalui video tentang
kusta, maka dilakukan pengisian quisioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan pengunjung poli
kulit dan kelamin dan poli umum di RSUD Manambae. Dikarenakan Pandemi sehingga jumlah peserta
dibatasi menjadi 20 orang. Dari hasil pengisian quisioner didapatkan data dasar sebagai berikut:
10 orang laki – laki dan 10 orang perempuan, rata – rata usia 20-30 tahun, 30-40 tahun, 50-60 tahun.
Pekerjaan dibagi menjadi swasta dan PNS. Latar belakang yang dimiliki pengunjung dibagi menjadi:
SD, SMP, SMA dan S1.
Pada Gambar1: menjelaskan bahwa 3 yang mendapat skor 75 (>50) dan 17 lembar lainnya
mendapatkan skor dibawah 50. Setelah dilakukan edukasi berupa menonton video secara bersamaan
dan dilakukan penilaian Kembali 15 orang mendapatkan nilai diatas 50 dan 5 orang mendapatkan nilai
dibawah 50.
Pengunjung Poli Umum terkhusus Poli Kulit di RSUD Manambae, Sumbawa, tidak banyak
mengetahui info tentang penyakit kulit, yaitu Kusta. Dari 20 lembar quisioner yang dibagikan hanya 3
yang mendapat skor 75 dan 17 lembar lainnya mendapatkan skor dibawah 50. Setelah dilakukan
edukasi berupa menonton video secara bersamaan dan dilakukan penilaian Kembali 15 orang
mendapatkan nilai diatas 50 dan 5 orang mendapatkan nilai dibawah 50. Pemberian edukasi secara
gratis tentang kusta/lepra sangat membantu penambahan pengetahuan masyarakat tentang kusta/lepra,
sehingga diharapkan dapat berkelanjutan dan dilakukan secara langsung dengan melakukan screening
secara langsung. Sehingga kejadian infeksi kusta/lepra dapat dicegah
WHO mencatat jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2016 adalah sekitar 210.758. Dari jumlah
ini paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (156.118). Data Profil Dinas Kesehatan Ogan
Komering Ulu menunjukkan bahwa angka kasus kusta di Kab. OKU pada 5 tahun terakhir yaitu <1/10.000
penduduk, dan angka kasus cacat >5% artinya melebihi target nasional. Dan secara program dengan angka
cacat yang tinggi ini artinya masih banyak kasus kusta baru yang belum ditemukan sehingga
mempersulit untuk memutus mata rantai penularan kusta di KAB. OKU. Penelitian ini bertujuan
menganalisis faktor-faktor penderita kusta: peran penderita (pengetahuan, sikap dan kepercayaan); peran
keluarga; peran komunitas; dan peran petugas kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Batumarta II
Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2021. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis. Informan dalam penelitian ini sebanyak dua puluh satu informan yang terdiri dari
penderita kusta, keluarga penderita, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan. Cara pengumpulan data
diperoleh melalui wawancara dan observasi. Data dianalisis secara tematik. Hasil penelitian menunjukan
bahwa pengetahuan informan yang berbeda-beda mengenai penyakit kusta, Sikap penderita yang tidak aktif
dalam merespon reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya. Penderita cenderung sensitif bila penyakitnya
diketahui orang lain. Hambatan peran keluarga disebabkan mereka belum dipahami baik tentang PHBS dan
dianggap sebagai penyakit memalukan dan keturunan. Hambatan peran komunitas karena adanya stigma
masyarakat yang menilai penyakit kusta sebagai penyakit kutukan atau penyakit kulit. Hambatan peran
petugas kesehatan disebabkan seringnya sibuk dengan pekerjaan lain, sehingga pengobatan penderita
terkadang terabaikan dan adanya kontak serumah dengan penderita kusta yang terlambat berobat serta
penderita menolak dilakukan pemeriksaan di tempat tinggalnya sehingga dapat membuka penularan pada
oranglain.World Health Organization (WHO)
mencatat jumlah kasus baru kusta di dunia
pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758. Dari
jumlah ini paling banyak terdapat di
regional Asia Tenggara (156.118) diikuti
regional Amerika (28.806) dan Afrika
(20.004) dan sisanya berada di regional lain
(Kemenkes RI, 2018a). Di Indonesia hanya 26 provinsi yang
mencapai eliminasi kusta dan 8 provinsi
belum mencapai eliminasi kusta antara lain
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara,
Papua dan Papua Barat. Dan ditemukan kasus
baru 9.061 CDR 3,34 per 100.000 penduduk
dan dengan kasus terdaftar 16.704 PR 0,62
per 10.000 penduduk dengan angka cacat
TK2 sebesar 1,88 per 1.000.000 penduduk
proporsi kasus baru tanpa cacat 85,34% dan
proporsi kasus baru anak sebesar 9,14%
(Kemenkes RI, 2018a). Pada Tahun 2019 sebanyak 368
Kabupaten/Kota yang mencapai Eliminasi
Kusta, namun 146 Kabupaten/Kota yang
belum mencapai eliminasi kusta, oleh karena
itu kusta masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia karena menimbulkan masalah yang
sangat kompleks dan meluas hingga masalah
sosial, ekonomi, dan budaya karena masih
terdapat stigma di masyarakat terhadap kusta
dan disabilitas yang ditimbulkannya
(Kemenkes RI, 2019). Pengaruh Pandemi COVID-19
menyebabkan diberlakukannya pembatasan
kegiatan mengumpulkan masyarakat,
sehingga pelaksanaan surveilans kusta di
lapangan berjalan kurang maksimal, namun
terjadi penurunan kasus baru di tahun 2019
sebanyak 19.439 penduduk dan di tahun 2020
sebanyak 9.061 penduduk (Direktorat
Jenderal Pencegahan dan pengendalian
Penyakit, 2020). Kegiatan yang dilakukan dalam
penanggulangan kusta seperti promosi
kesehatan dengan cara memperdaya
masyarakat agar berperan aktif dalam
mendukung perubahan perilaku, tenaga
kesehatan melakukan surveilans agar
ditemukannya kasus baru kusta dan
penanganan secara dini, pemberian obat
kemofilaksis dan tatalaksana penderita seperti
penegakkan diagnosa dan pemberian obat
secara dini mulai ditemukannya kasus baru
(Direktorat Jenderal Pencegahan dan
pengendalian Penyakit, 2020). Pengobatan kepada penderita kusta
adalah salah satu cara pemutusan mata rantai
penularan. Kuman kusta di luar tubuh
manusia dapat hidup 24 – 48 jam dan ada
yang berpendapat hingga 7 – 9 hari,
tergantung dari suhu dan cuaca di luar tubuh
manusia ini . Makin panas cuaca makin
cepatlah kuman kusta mati. Sinar matahari
yang masuk ke dalam rumah dapat
menghindarkan adanya tempat-tempat yang
lembab. Ada beberapa obat yang dapat
menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita
tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta
kecuali masyarakat mengetahui ada obat
penyembuh kusta, dan mereka datang ke
Puskesmas untuk diobati. Hingga saat ini
tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta
(Direktorat Jenderal Pencegahan dan
pengendalian Penyakit, 2020). Adanya kekebalan tubuh menyebabkan
hanya sedikit orang yang akan terjangkit
kusta setelah kontak dengan pasien kusta.Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,
kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi
dapat meningkatkan perubahan klinis
penyakit kusta. Sebagian besar (95%)
manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian
kecil yang ditulari (5%). Dari 5% yang
tertular ini , sekitar 70% dapat sembuh
sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit
(Kemenkes RI, 2018a). Kuman kusta biasanya menyerang saraf
tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya. Sumber
penularan penyakit ini adalah penderita kusta
multibasiler atau kusta basah. Bila basil
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh
seseorang dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang ini . Bentuk
tipe klinis tergantung pada sistem imunitas
seluler penderita. Sistem imunitas seluler baik
akan tampak gambaran klinis ke arah
tuberkuloid (termasuk dalam tipe kusta
pausibasiler), sebaliknya sistem imunitas
seluler rendah memberikan gambaran
lepromatosa (Noviastuti & Soleha, 2017). Belum diketahui secara pasti bagaimana
cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis
penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak
yang lama dengan penderita. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur. Pada keadaan
epidemi, penyebaran hampir sama pada
semua umur. Namun yang terbanyak adalah
pada umur produktif (Kemenkes RI, 2018a). Kusta menimbulkan masalah yang sangat
kompleks tidak hanya dilihat dari segi medis
namun meluas sampai masalah sosial,
ekonomi dan budaya. Karena selain cacat
yang ditimbulkan, rasa takut yang berlebihan
terhadap kusta (leptophobia) akan
memperkuat persoalan sosial ekonomi
penderita kusta. Program Penanggulangan
Penyakit (P2) kusta yang dilaksanakan di
Indonesia mempunyai tujuan jangka panjang
yaitu eradikasi kusta di Indonesia (Kemenkes
RI, 2018a). berdasar Data Dinas Kesehatan Ogan
Komering Ulu Tahun 2019 sampai 2020, Kabupaten OKU merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang
termasuk kabupaten dengan jumlah kasus
kusta sebanyak 91 kasus dari 3 tahun
kebelakang (prevalensi kusta <1/10.000
jumlah penduduk), khususnya Puskesmas
Batumarta II dengan kasus kusta yang
semakin meningkat setiap tahunnya dan
masih berada di bawah target nasional yaitu
prevalensi rate >87%. Faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian kusta telah banyak teliti sebelumnya,
seperti penelitian Akbar ( 2020) menemukan
bahwa faktor yang berhubungan dengan
kejadian kusta adalah umur, jenis kelamin,
riwayat kontak, lama kontak, pendidikan,
status sosial, kepadatan anggota keluarga,
personal hygiene. Penelitian Amsikan et al (2019)
menunjukkan bahwa ada hubungan antara
tingkat pengetahuan; personal hygiene; jenis
pekerjaan dan tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan, lama kontak, suhu kamar
tidur, jarak rumah dan jenis kelamin dengan
kejadian kusta. Sedangkan Salju (2018) faktor
yang berhubungan adalah lama pengobatan
dan yang tidak ada hubungan adalah umur,
jenis kelamin, tipe kusta, jenis pekerjaan,
tingkat pendidikan.
berdasar penelitian-penelitian
ini dapat diketahui bahwa faktor faktor
yang berhubungan dengan penyakit kusta
sangat banyak.Selain itu beberapan hasil
penelitian terdapat perbedaan seperti pada
faktor umur, jenis pekerjaan dan jenis
kelamin, lama kontak, kepadatan hunian serta
personal hygiene. Atas dasar hal ini
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian.Analisis Data
Hasil analisis data dalam penelitian ini
disusun berdasar hasil pengumpulan data
melalui wawancara mendalam dari 21
informan yang mengacu pada tujuan khusus
penelitian yang telah ditetapkan.
Pengetahuan
Selama melakukan penelitian
menunjukan bahwa pengetahuan informan
berbeda-beda tentang penyakit kusta.
Pengetahuan informan tentang penyakit kusta
sebagai berikut :
1. Pengertian Tentang Penyakit Kusta
Informan yang memberikan penjelasan
bahwa mereka tidak mengerti tentang
penyakit kusta. Hal ini terungkap dari hasil
kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Saya kurang paham ini penyakit, kalau bukan
kita yang bilang penyakit ini… Saya tidak tahu,
dan saya betul-betul tidak tahu, sepertinya saya
ingin bunuh diri, he he he...” (JN,40 thn; DA 11
thn; IN, 34 thn). “...kalau yang saya tahu… tidak mungkin saya
menderita begini… penyakit ini kan banyak juga
di dusun… Saya tidaktahu...” (JN 40 thn; DA 11
th,IN 34 thn). 2. Gejala atau Tanda Penyakit Kusta
Kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...itu Sudah lama saya dikena penyakit kusta tapi
awalnya saya kira bengkak, sebab baru datang
dari kebun... bercak merah dibadan sehingga
saya tidak perdulikan itu, lama kemudian baru
saya ke pak mantri tanya… bilang ke puskesmas
cepat…” (JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). Informan lain menjelaskan bahwa
mereka tidak memahami dengan jelas, sebab
awalnya kulitnya hanya merah tebal dan putih
seperti panu dan tidak merasakan ada
kelainan sehingga mereka beranggapan
“penyakit kulit” sebagai pantangan orang
yang mengkomsumsi alergi atau gatal.
“...Saya kira ″penyakit kulit″,2
...sudah lama itu
merah diperutku sehingga tidak diperhatikan...
sudah lama, kemudian tambah merah... baru
mama saya antar saya ke puskesmas... ”. 3. Penyebab Penyakit Kusta
Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Saya tidak tahu, sebab hanya merah... yang
keluar dan tidak sakit kurasa, tidak ada informasi
yang saya tahu seperti ini...” (JN, 40 thn; DA 11
thn; IN, 34 thn). 4. Cara Pengobatan
Wawancara mendalam sebagai berikut:
“...Saya melakukan pengobatan ″metappung″
yang dibuat oleh dukuni… sudah banyak
melakukan itu yang dikena penyakit ini disini…
semacam bedak lulur yang harus dipake setiap
hari, saya tidak tahu bahayanya...” (JN, 40 thn;
DA 11 thn; IN, 34 thn). Wawancara mendalam sebagai berikut:Saya pergi di dokter mau periksa kesehatanku
karena waktu itu saya lagi batuk- batuk… setelah
saya diperiksa dokter bilang… ada penyakitmu
yang lain ini… Ini namanya penyakit kusta… jadi
ke puskesmas cari petugas kusta namanya… agar
dikasi obat dan berobat cepat…” (JN, 40 thn; DA
11 thn; IN, 34 thn). 5. Cara Pencegahan
Peneliti menanyakan lebih lanjut tentang
pencegahan penyakit kusta. Informan yang
menjelaskan bahwa mereka mendapatkan
informasi dari petugas kesehatan sebelumnya
bahwa mereka dianjurkan agar tidak
menghirup nafas dengan penderita kusta yang
tidak melakukan pengobatan secara teratur.
Sementara Informan lain memberikan
penjelasan bahwa mereka belum bisa
memahami betul cara dan upaya pencegahan
penyakit kusta. Hal ini terungkap dari hasil
kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Pak mantri hanya mengatakan bahwa jangan
sampai orang lain menghirup nafas penderita
sebelum penderita minum obat secara teratur...
sebab katanya penularannya lewat pernapasan
sehingga kita disarankan melakukan pengobatan
dengan baik …” (JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34
thn). “...Saya kurang paham pencegahannya… belum
pernah… jadi minum obat saja yang saya
lakukan karena itu yang dibilang petugas…
pokoknya minum ini obat selama satu tahun dan
jangan putus-putus, saya minum saja obat …”
(JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). 6. Akibat jika tidak Berobat
Informan memberikan informasi bahwa
jika pengobatan tidak dilakukan maka
penderita tidak merasa nyaman dalam
berpikir melihat kondisi tubuhnya yang
mengalami pembengkakan. Hal ini terungkap
dari hasil kutipan wawancara mendalam
sebagai berikut: “...Ya saya takut, saya sudah terus terang ini,
tidak ada yang mau datang dirumah sebab
mereka takut sama kita… Sepupuku tidak mau
juga kesini...”. “...Jadi mau berbuat bagaimana sebab bukan
kita yang mau begini… Iya nyaman kurasakan,
nyaman tidur, kalau tidak berobat bisa tambah
rusak badan sebab pikiranku juga rusak
melihat...”. Sikap
1. Upaya Pengobatan
Sikap informan dalam melakukan
pengobatan dengan cara ″metappung″ yang
dibuat oleh dukun sehingga pengobatan
kesarana kesehatan mengalami kendala. Hal
ini terungkap dari hasil kutipan wawancara
mendalam sebagai berikut :
“...Beberapa orang yang sudah lakukan
pengobatan ″metappung″, waktu itu saya masuk
juga didukun itu minta dibuatkan juga… lama
saya metappung, kalau metappung tidak nampak
ada bengkak dikulit… tapi itu sudah lama...” (JN,
40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). Informan lain menuturkan lebih lanjut
bahwa pengobatan selama enam bulan sering
mereka tidak teratur mengkomsumsinya,
sehingga berakibat fatal yang semestinya
pengobatan enam bulan namun harus
menjalani pengobatan selama satu tahun. Hal
ini terungkap dari hasil kutipan wawancara
mendalam sebagai berikut:
“...Saya minum obat selama enam bulan tapi saya
lanjutkan lagi selama enam bulan... perna saya
berhenti makan obat, biasanya saya lupa minum
obat (JN, 40 thn; DA 11 thn; IN, 34 thn). 2. Upaya Pencegahan
Informan lebih lanjut menjelaskan upaya
dilakukan dalam pencegahan penyakit kusta
adalah tidak bisa makan garam, minyak, cabe
akan tetapi dianjurkan untuk makan daging
karena dianggap kurang gizi, sementara
menurut informan lain mengunkapkan, tidak
bisa menghirup nafas penderita yang tidak
melakukan pengoabatan denga teratur. Hal ini
terungkap dari hasil kutipan wawancara
mendalam sebagai berikut:
“...Mencegah penyakit, iya itu saja saya minta
maaf pada Allah... tidak bisa makan garam,
minyak, cabe...”. “...Pak mantri hanya mengatakan bahwa jangan
sampai orang lain menghirup nafas... penderita
sebelum penderita meminum obat...”.
Peran Keluarga Penderita Kusta
1. Perlakuan KeluargaHasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut: “...Selama ini tidak saya pernah memperlakukan
lain, saya sama terus tidur dan tidak pernah pisah
tidur... karena dalam hati saya bertanya iya... ini
istriku... biasa juga dia dibilang jangan terlalu
dekat ke saya...saya selalu sama... biasa juga
jatuh air mataku kasian... (49 thn; NJ, 51 thn). “...Pergi sama teman-temannya boleh dibilang
tidak ditahu kalau dia dikena kusta sebab tidak
masuk akal kalau dikena... keluargaku tidak
membeda-bedakan sama saja... Bapaknya sama- sama anaknya pergi ambil makanan kambing,
dijaga juga adiknya dirumah...pergi atau disuruh
ke orang lain,biasa...” (ND 34 thn, YD, 60 thn;
NA, 36 thn; AI,39 thn). 2. Persepsi Keluarga Tentang Penyakit Kusta
Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Iya katanya penyakit keturunan, heran sekali
saya karena tidak ada yang kurasa keluarga
begitu... tidak baik dilihat kulitnya, tambah hitam
telinganya… iya tidak bagus di liat, ha ha ha ...”. “...Saya tidak tahu, itu saja saya suru minum
obatnya supaya kasian bisa sembuh dan tidak
dihindari orang lain… iya orang menghindar
karna takut… (AI, 39 thn; NA, 36 thn). 3. Dukungan Pengobatan ke Sarana
Kesehatan
Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut: “...Itu kan dikira dulu itu..″penyakit kulit...saya
bilang, saya sangat khawatir, makanya itu saya
langsung sama-sama masuk di puskesmas, pergi
di dokter sebab kita takut sekali... sudah lama dia
menderitakasian…”(RM, 49 thn; NJ, 51 thn). “...Kenapa jadi seperti ini... sehingga ada merah
yang muncul dibadannya... saya kira ″bercak
mati rasa″,tidak tahu, saya hanya di beri pil
suster, saya bilang ayo kita ke puskesmas...
mereka bilang bawah langsung ke RSUD,tapi
kita ke Puskesmas dulu untuk minta surat
rujukan, setibanya diatas mereka bilang tidak
usah pergi-pergi kalau penyakit itu ada juga obat
tersediadisini...”(YD, 60 thn; AI, 39 thn ; NA, 36
thn).Peneliti lebih lanjut menanyakan
mengapa sampai terlambat dukungan
keluarga dalam upaya pengobatan ke
Puskesmas. Penjelasan Informan bahwa tidak
cepat mengetahui dengan pasti bahwa ini
penyakit kusta sebab hanya sejenis ″bercak
mati rasa″ atau penyakit kulit. Hal ini
terungkap dari hasil kutipan wawancara
mendalam sebagai berikut: “...Sebenarnya ini kita berobat kampung dulu
sebab saya kira penyakit biasa... sehingga tidak
cepat tahu, iya dikira ″Bercak mati rasa
″pertamanya... saya juga bilang mungkin... makin
merah.... akhirnya pergi di puskesmas... merah- merah itu... tidak sakit ...”. “...Iya tadi saya sudah bilang mungkin ″penyakit
kulit″ dan kayaknya juga pengaruh daging... iya
dilihat saja karena...seperti inilah modelnya… ”
(NA 32thn).
Informan lain menjelaskan
keterlambatan dukungan keluarga pada
pengobatan kesarana kesehatan disebabkan
adanya keyakinan ″Bercak mati
rasa″sehingga melakukan pengobatan
dengan cara ″metappung″ dengan waktu
yang cukup lama. Hal ini terungkap dari
hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Keluarga kami punya keyakinan pada waktu
itu bahwa ini faktor ″penyakit kulit” orang lain
yamg berbuat jahat sebab bapak termasuk orang
sukses sebelum dia kasian sakit… jadi setelah
melakukanpengobatan ″metappung″tidak
sembuh-sembuh akhirnya saya cari dokter…”36
thn; AI, 39 thn). 4. Penerapan PHBS dalam Keluarga
Penerapan PHBS kaitannya dengan
penyakit kusta, maka informan
mengungkapkan bahwa Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat belum dipahami baik oleh
keluarga untuk melakukannya, sehingga
mereka berpendapat bahwa penyakit kusta
adalah kehendak Tuhan dan pasrah
menerima Hal ini terungkap dari hasil
kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut: “...Saya betul-betul pasrah sebab aku tidak tahu
harus berbuat bagaimana karena saya tidak tahu
apa itu PHBS… beginilah kasian kalau orang
bodoh jadi banyak yang tidak ditahu… tidak yang
perna saya kasi tahu yang begitu…’’.Peran Komunitas (Masyarakat)
1. Perlakuan Masyarakat Pada Penderita
Kusta
Tanggapan informan terhadap penderita
kusta tidak diperlakukan dengan baik karena
mereka merasa penderita kusta perlu
dihindari, agar tidak tertularkan dengan
penyakitnya sehingga masyarakat menjaga
jarak dengan penderita kusta. Hal ini
terungkap dari penjelasan Informan dari
hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“..Pernah saya sampaikan sama mantri kalau itu
orang yang menderita kusta kita tempatkan lain...
perna juga datang pak mantri menangis, sebab
saya mau pindahkan di daerah pegunungan tapi
itu hari mantri sampaikan sama saya kalau
dipindahkan kita melanggar HAM... sehingga
sekarang seperti ini...semakin menjadi-jadi...
seandainya langsung kita pindahkan mungkin
tidak menular sama oranglain...” (AW, 60thn). “...Memang dalam pergaulan tidak begitu dekat
sama mereka... untungnya masalah air kita pisah
karena masing-masing kita satu sumber air, tapi
memang dalam pergaulan tidak begitu dekat
sama mereka...” (MD, 41 thn; MY, 49 thn; SW,
40 thn; AM, 48 thn). 2. Persepsi dan Stigma Masyarakat Tentang
Penyakit Kusta
Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut :
“...Selama ini yang saya lihat orang yg dikena
jarang masyarakat mau berteman sama mereka
karna takut juga dia... jangan sampai kita
tertular…” (SW,40 thn; MY,49 thn; MD,41 thn). 3. Partispasi Masyarakat Dalam
Pencegahan Penyakit Kusta
Kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Tidak ada yang mau dekat sama mereka,
contohnya saja kalau kita shalat magrib tidak
ada yang mau dekat mereka...sebab mereka
takut… karna jangan sampai menular sama
kita…” (MD, 48 thn)
“...Masalah partisipasi masyarakat tidak ada
orang yang peduli… kalau petugas kabupaten
tidak ada juga perna kesini di kantor camat untuk
mensosioalisaikan penyakit kusta... seandainya
ada pasti ada pemberitahuan, kalau saya ingatingat tidak ada...” (MY, 49 thn). Informan lain menjelaskan bahwa
masyarakat dalam mengatasi penyakit kusta
masih sulit sebab masyarakat merasa jijik
berdekatan dengan mereka, namun
masyarakat lebih mendesak ke petugas
kesehatan agar lebih memperhatikan
penderita kusta. Ketakutan yang berlebihan
pada masyarakat ini sehingga petugas yang
menjadi sasaran oleh masyarakat agar
petugas bisa lebih memperhatikan penderita
kusta, hal ini terungkap dari hasil kutipan
wawancara mendalam sebagai berikut:
“...Bagaimana bisa ada partisipasi sebab rata- rata masyarakat jijik kalau mau bicara... sama
orang yang dikena kusta... sehingga penderita
merasa bahwa mereka dijauhi oleh
masyarakat…” (AM, 48 thn; SW, 40 thn). “...Sudah banyak sekali saya sampaikan sama
petugas kesehatan, bagaimana caranya agar
penyakit kusta ini bisa hilang.... sebab petugas
kesehatan yang bisa ketemu langsung penderita
kusta sehingga dia yang kita desak... saya juga
sering sampaikan selama ini ke masyarakat kalau
sudah ada tanda-tandanya cepat ke puskesmas
untuk periksa...” (AW, 60 thn). 4. Dukungan Pengobatan ke Sarana
Kesehatan
Kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...kita sampaikan pada saudaranya, suruh pergi
berobat di puskesmas... dan juga kedukun... tapi
kami juga khawatir jangan sampai mereka
tersinggung, itupun kalau dia mau… kalau tidak
mau bagaimana… dan mereka juga khawatir…
bisa-bisa jualannya tidak laku...” (MD, 48 thn;
MY, 49 thn SW, 40 thn). “...Mereka marah, orang yang dikena penyakit
kusta, kalau kita mau berikan saran... marah...
tidak mau dikatakan kalau dia menderita
penyakit kusta... ini susanya karena mereka tidak
mauterbuka...” (AW, 60 thn; AM, 48 thn). Peran Institusi (Petugas Kesehatan)
1. Perlakuan Petugas Kesehatan
Informan mengemukakan bahwa
perlakuan petugas kesehatan terhadap
penderita kusta dilaksanakan dengan baik
tanpa membeda-bedakan. Hal ini terungkapdari hasil kutipan wawancara mendalam
sebagai berikut:
“...Iya ku layani dengan baik, kuantarkan biasa
obatnya... kerumahnya penderita... biasanya
penderita tidak mau ke puskesmas sehingga saya
antarkan obat kerumahnya… ” DJ, 34 thn; HR,
32 thn). “...Sebagai petugas kami perlakukan dengan baik
dan melayani kalau mereka datang di puskesmas
atau keluarga mereka yang datang, selama ini
kami tidak membeda-bedakan pesien kusta
semuanya sama...” (AS, 35 thn; WH, 41 thn). 2. Upaya Penemuan Kasus/ Pelacakan Kasus
Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Kita mengadakan penyuluhan tentang
kusta...perna kan di sekolah - sekolah kami
memeriksa dan ada juga penderita yang datang
sendiri... Mengadakan survei ke sekolah...” (HR,
32 thn). “...Pelayanan sesuai dengan kemanpuan
petugas,tapi memang kita juga menyadari bahwa
pasti banyak hal yang harus dilakukan
pengobatan segera pada penderita, tetapi
susahnya itu adalah kadangkala penderita nanti
mau datang pada saat atau kondisinya parah...”
(WH, 41 thn; AS, 35 thn; DJ, 34 thn).
Informan mengungkapkan bahwa
penemuan penderita kusta masih sulit
karena masyarakat tidak mau datang periksa
ke puskesmas. Informan lebih lanjut
menjelaskan bahwa penyebabnya adalah
penderita takut ketahuan dan efeknya
penderita tidak melakukan pengobatan ke
Puskesmas.
“...Sebenarnya kalau penderita kusta sangat
simpel sebenarnya karena masalah kita sudah
tahu kalau dia menderita kusta dan obatnya itu
sudah ada, Tipe MB pengobatannya sudah ada
obatnya, adablisterkhusus...”(DJ, 34 thn ;WH,
41thn)
“...Ini yang sulit... sebab kita mau turun
kelapangan biasanya masyarakat tidak ada yang
mau diperiksa... masyarakat kalau misalnya di
kena kusta dan dia sampaikan sama kita, tolong
jangan ada yang tahu kalau saya menderita
kusta... bilang saja penyakit biasa... karna kalau
ada yang tahu... biasanya penderita tidak mau
berobat...” (AS, 35 thn). Informan lebih menjelaskan bahwa
kurangnya dana dan tidak adanya kendaraan
petugas kusta di puskesmas, sehingga
menyebabkan kurangnya survei kontak ke
kelapangan. Hal ini terungkap dari hasil
kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Ya.. mungkin dikira penyakit kulit biasa, nanti
dia kesini baru dikasi pengertian, ya akhirnya
mengerti... saya petugas baru juga dan tidak ada
kendaraan, tidak ada juga dananya kelapangan
kecuali dana BOK itupun sedikit, hanya lima
ratus ribu...” (HR, 32 thn)
“...Itu tadi kesadaran masyarakat... Pertama
karena masyarakat masih menganggap bahwa
penyakit ini adalah penyakit keturunan dalam
artian... pengetahuan tentang penyakit ini masih
kurang...” (DJ, 34 thn). 3. Upaya Pengobatan
Hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut :
“...Sering mereka datang ambil obat itu pada
kondisi petugas punya pekerjaan lain. Biasa
petugas ini, sebentar nah... nanti saya ambilkan
pak atau kenapa selalu datang jam seperti ini
kalimat-kalimat itu menurut saya itu petugas ini
tidak mengetahui justru ini yang bisa menjadi
faktor pencetus terjadiny areaksi...” (WH,
41thn). “...kalau kita melakukan pemeriksaan disekitar
penderita atau dilingkungan penderita biasanya
mereka tidak mau... jadi itu yang mempersulit
kita memberikan dukungan... kita sebagai
petugas...” (DJ, 34 thn; AS, 35 thn; HR, 35 thn).
Informan menjelaskan lebih lanjut
bahwa perlakuan pengobatan pada penderita
kusta tipe MB harus lebih diintensifkan
dikontrol minum obatnya karena akan
berisiko lebih parah apabila tidak dilakukan
secara teratur. Seringnya penderita tidak
rutin kepuskesmas periksa kesehatannya
sehingga masalah yang dihadapi kurang
jelas. Hal ini terungkap dari hasil kutipan
wawancara dibawah ini :
“...Kami memperlakukan penderita sama, tidak
di bedakan... hanya saja kalau tipe MB harus
intensif di kontrol sebab kita khawatirkan jangan
sampai dia tidak minumobatnya...” (AN, 32 thn).Pertama kali sesudah kita anggap sebagai
gejala... informasi harus lengkap... secara baik...
karena sebenarnya dia tidak menyadari potensi
masalah yang ada di dalam dirinya sendiri dan
kemudian tidak disampaikan ke petugas... atau
penderita ini tidak rutin datang memeriksakan
diri...” (WH, 41 thn; Dj, 34 thn). Informan lebih jauh menjelaskan
kendala yang sering ditemukan adalah
adanya kontak serumah dengan penderita
kusta yang tidak melakukan pengobatan dini
sehingga menjadi hambatan yang paling
besar bagi petugas kesehatan. Hal ini
terungkap dari hasil kutipan wawancara
mendalam sebagai berikut :
“...Tidak mudah menemukan penderita ini
disebabkan karna mereka tidak mau kalau ada
yang tahu... jadi sempat lagi menularkan dan
sudah parah baru kita temukan dan dia baru mau
berobat...” (AS, 35 thn; WH, 41 thn)
“...Hambatan yang paling besar juga itu dari
penderita karena.... sudah kita lakukan...
pengobatan sudah kita berikan tetapi masih saja
ada penderita yang tidak memperhatikan
pengobatannya...” (HR, 34 thn; DJ, 34 thn)
4. Upaya Pengontrolan Keteraturan
Pengobatan
Informan menuturkan bahwa petugas
kesehatan belum bisa memantau
pengontrolan dan keteraturan pengobatan
dengan baik pada penderita kusta. Hal ini
disebabkan kesibukan petugas atau
penderita yang malas berobat sehingga
petugas sering atau terkadang harus
mengantarkan obat kerumah pasien. Hal ini
terungkap dari hasil kutipan wawancara
mendalam sebagai berikut:
“...Itu biasa berdasar pemantauan, memang
komunikasinya kurang bagus. Kemudian ketika
saya menggali masalahnya kependerita kemudian
ditanggapi oleh petugas sepertinya petugas
disalahkan jadi disitu saya bisa membaca ini
memang petugaskurangjeli... “ (DJ, 34 thn WH, 41thn). “...Prosesnya misalkan pengantaran langsung ke
rumah penderita ketika dia tidak datang ambil
obatnya... kita punya catatan pengambilan obat
itu setiap bulan, itu ada catatannya khususnya,
registernya...” (HR, 35 thn A 35 thn).
Informan lain mengemukakan bahwa
harus ada pengawasan dari keluarga yang
baik sehingga dapat mengontrol
pengobatannya sampai penderita dinyatakan
sembuh. Hal ini terungkap dari hasil kutipan
wawancara mendalam sebagai berikut: “...Harus ada keluarganya yang mau mengawasi
agar penderita betul-betul berobat dengan baik...
kalau petugas kesehatan kita ini tidak ada
masalah karna obatnya gratis dan tersedia di
puskesmas...” (AS, 35 thn; HR, 32 thn). “...Penderita itu tidak berobat secara teratur...
nah ini yang dia tidak lakukan kemudian tidak
ada upaya... otomotis... Kemungkinan besar juga
karena petugas kami itu belum lama juga... habis
dilatih...” (WH, 41 thn; Dj, 34 thn). 5. Upaya Promosi Kesehatan
Informan menjelaskan bahwa adanya
stigma masyarakat sehingga penyuluhan
tidak boleh terhenti. Hal ini terungkap dari
hasil kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...pernah kami lakukan kegiatan namanya Leg
itu semacam kampanye kusta, yang jadi masalah
sekarang itu… stigma di masyarakat ini memang
cenderung masih tinggi sekalipun sudah ada
upaya tetapi petugas harus melakukan
penyuluhan tidak boleh berhenti...” (WH, 41 thn;
HR, 32 thn). “...Itu juga masih banyak pandangan masyarakat
disini kalau kusta itu ditakuti dan mempercayai
kalau itu kutukan dari keturunan mereka...” (AS,
35 thn; DJ, 34 thn). Informan lain mengungkapkan bahwa
masa perjalanan atau inkubasi penyakit kusta
sangat lama yaitu, dua sampai lima tahun,
jadi terasa sulit untuk mendiagnosa penyakit
kusta bagi petugas kesehatan. Disamping itu
informan lain menambahkan kurangnya
pengetahuan dari masyarakat sehingga
penderita sudah tingkat MB. Hal ini
terungkap dari hasil kutipan wawancara
mendalam sebagai berikut:
“...Peningkatan itu ada… survei petugas melalui
kontak serumah baru ditemukan, oh… ternyata
ini kusta. Kemudian yang jadi persoalan...kalau
terjadi kasus pada anak...kusta tipe apa saja
pada usia di bawah lima belas tahun, nah kalaukasus ini ada berarti ini menandakan bahwa
tingkat penularannya tinggi...” (WH, 41 thn).
Informan lebih lanjut menjelaskan bahwa
pengetahuan masyarakat serta upaya promosi
tentang kusta yang masih sangat minim,
sehingga ini menjadi penghambat pengobatan
penyakit kusta. Hal ini terungkap dari hasil
kutipan wawancara mendalam sebagai
berikut:
“...Tidak terobati karena pengetahuan
masyarakat kurang karena upaya promosi masih
kurang itu yang jadi masalah... tidak segera
diketahui selain itu memang stigmanya
masyarakat dan juga rata-rata sebenarnya itu
ada kencenderungan karena ada riwayat kontak
penderita...” (WH, 41 thn). “...Karena penderita kurang percaya diri
melakukan pengobatan dengan penyakit itu...
masyarakat disini kalau penyakit kusta tidak mau
dikatakan kalau menderita... penderita biasa
datang malam hari kerumah... katanya supaya
tidak ada yang lihat...” (AS, 35 thn). Pembahasan
Pengetahuan
Pengetahuan penderita tentang penyakit
kusta belum dipahami baik, sehingga mereka
meyakini gejala ″Bercak Mati Rasa″ dengan
alasan bahwa mereka baru datang dari kebun,
bahkan mereka menganggap hanya ″Penyakit
Kulit″ atau pantangan bagi mereka yang
mengkomsumsi telur. Pengobatan tidak cepat
dilakukan dengan adanya anggapan ini .
Penderita mulai khawatir pada saat penyakit
yang mereka alami makin hari makin
bertambah parah sehingga kemudian
penderita memeriksakan diri ke puskesmas.
Pemahaman informan tentang penularan
penyakit kusta belum diketahui penyebabnya,
mereka menganggap bahwa itu adalah
takdirnya dan dianggap sebagai suatu
kesalahan yang pernah dia lakukan
sebelumnya. Sehingga informan berusaha dan
berupaya memohon ampunan dari
mahakuasa. Penderita kusta memahami
bahwa ada beberapa pantangan bagi mereka
yaitu penderita tidak bisa pergi ke laut, tidak
bisa makan garam, minyak dan cabe hal
dipahami agar terhindari timbulnya warna
merah pada kulit.
Upaya pengobatan yang dilakukan
penderita sebelumnya adalah ″metappung″,
penderita disini tidak merasakan adanya
perubahan selama ″metappung″, sehingga
penderita melakukan upaya pemeriksaan di
sarana kesehatan. Pengobatan dilakukan
selama enam bulan, akan tetapi sering mereka
tidak teratur mengkomsumsinya. Informan
yang lainnya justru mengeluhkan dari segi
pelayanan medis karena dianggap tidak
terbuka terhadap penderita mengenai
penyakitnya sehingga berakibat fatal yang
semestinya pengobatan enam bulan
menjadisetahun.
Penelitian ini sejalan dengan hasil yang
didapatkan Nicholls et al (2003) di Paraguay.
Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa
penyakit kusta disebabkan oleh yang
berkaitan dengan konteks keyakinan
kesehatan, kusta disebabkan sebab mereka
mencuci dalam air sungai yang dingin atau
terperangkap hujan lebat ketika bekerja di
luar ruangan, keturunan, infeksi, hukuman
atas dosa-dosa.
Sikap
Informan menjelaskan mengenai
tanggapannya pada sesama penderita penyakit
kusta, yang dinilai sebagai hal yang biasa- biasa saja, tetapi sebagian informan penderita
kusta yang tipe PB menjawab bahwa mereka
takut pada penderita kusta tipe MB dengan
alasan bahwa akan bertambah parah penyakit
yang mereka alami jika berdekatan dengan
penderita MB.
Penderita memahami bahwa langkah
yang harus dilakukan adalah pengobatan ke
puskesmas. Pengobatan ke puskesmas
terhadap penyakit kusta dianggap perlu
dilakukan untuk memperoleh kesembuhan
penyakitnya Penderita menyadari dampak
dari penyakit kusta apabila tidak ditangani
dengan baik karena akan membuat badannya
terasa bengkak atau sakit, mereka merasa
malu karena masyarakat dapat
menghindarinya jika tidak melakukan
pengobatan segera ke Puskesmas.
Sikap mereka yang tidak aktif dalam
merespon reaksi yang terjadi di dalamtubuhnya sehingga mereka melakukan
pengobatan dengan cara ″metappung″. Sikap
informan ini berkaitan dengan kesesuaian
sosial yang menolak untuk dilihat orang lain
serta sikap penderita yang tidak mau
dikatakan sebagai penderita kusta sehingga
mempersulit penemuan dan pengobatan dini.
Peran Keluarga
Interaksi yang dilakukan antara keluarga
dan penderita tetap berjalan normal
selayaknya tidak terjadi apa-apa, sehingga
penderitapun bisa beraktivitas dengan baik di
lingkungan keluarga mereka. Namun hasil
yang didapatkan bahwa perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) belum dipahami baik oleh
keluarga penderita. Dalam PHBS ini
penderita belum menerapkan pola makan
sayur dan buah yang merupakan sumber gizi
yang lengkap sehingga kekebalan tubuh pada
anggota keluarga dapat terjamin sehingga
setiap anggota keluarga tidak mudah tertular
penyakit kusta ini .
Namun dalam proses pengobatan sangat
dibutuhkan keluarga dalam memberikan
dorongan dan perhatian pada penderita
kusta, salah satu yang dicontohkan atau
dijelaskan oleh informan adalah keluarga
harus mondar mandir ke kota dalam upaya
pencarian pengobatan penderita kusta.
Informan ini berusaha mencari pengobatan
diluar dengan maksud agar penderita tidak
ketahuan dari lingkunganya. Keluarga
menganggap tidak ada kelainan, tidak ada
yang dirasakan sakit, sehingga mereka
lambat memberikan dukungan pengobatan
padapenderita.
Keluarga penderita merasa cemas ketika
penderita kusta tambah parah dan pada
akhirnya diantar kepuskesmas. Informan
sangat mendukung anggota keluarganya
untuk melakukan pengobatan agar bisa
sembuh. Keluarga mereka berupaya
mendampingi ke fasilitas kesehatan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih
baik.
Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Amrullah
(2016) yang menyatakan bahwa peran
keluarga dalam memelihara lingkungan
rumah yang sehat terhadap penyakit kusta
adalah sebagaian besar (56%) baik, artinya
keluarga mendukung adanya peran yang baik
terhadap penderita penyakit kusta.
Peran Komunitas (Masyarakat)
Interaksi yang dilakukan informan
terhadap penderita kusta dibatasi
pergaulannya dengan mereka, apakah dalam
kegiatan sosial ataupun aktivitasnya sehari- hari. Partisipasi masyarakat dalam mengatasi
penyakit kusta masih sulit dilakukan sebab
masyarakat merasa jijik berdekatan dengan
mereka.
Masyarakat tidak ada yang mau dekat
sama mereka sebab masyarakat menilai
penyakit kusta sebagai penyakit yang
menjijikan. Stigma negatif dari masyarakat
ini mempersulit penanganan pengobatan serta
penderita secara psikologis makin tertekan,
tidak percaya diri, malu, merasa diri tidak
berharga dan kekhawatiran akan dikucilkan.
Selain itu, stigma juga menyebabkan
penderita kusta dan keluarganya dijauhi dan
dikucilkan oleh masyarakat.
Stigma masyarakat yang berkembang
pada penyakit sehingga hal ini menjadi
penghambat bagi masyarakat untuk
memberikan dorongan pengobatan ini .
Masyarakat kecenderungannya berkeinginan
agar penderita ditempatkan lain atau jauh dari
komunitas, sehingga petugas kesehatan
bertahan agar penderita tetap berada dalam
komunitas dengan alasan bahwa masyarakat
melanggar HAM. Timbulnya stigma pada
penderita, maupun masyarakat menyebabkan
keterbatasan penderita kusta, dan orang yang
pernah mengalami kusta untuk dapat
menerima hak asasinya secara penuh, sebagai
seorang manusia dan sebagai bagian dari
masyarakat.
Selain itu, sikap dan perilaku masyarakat
yang negatif akan menyebabkan penderita
kusta merasa tidak mendapatkan tempat di
lingkungan masyarakat. Rasa jijik dan takut
pada penderita kusta tanpa alasan yang
rasional yang kecenderungannya bahwa
masalah kusta telah beralih dari masalah
kesehatan ke masalah sosial.
Penelitian ini sejalan dengan hasilpenelitian Akbar (2020) yang menyatakan
bahwa stigma yang kuat yang melekat pada
penyakit kusta dan penderita kusta yang
sering didiskriminasi. Kusta dipandang
sebagai kutukan atau hukuman dibenarkan
bagi mereka yang telah melakukan dosa dan
disalah artikan sebagai sangat menular dan
ditularkan melalui sentuhan atau 'kontaminasi'
barang-barang umum seperti air atau
makanan.
Peran Insitusi Kesehatan (Petugas
Kesehatan)
Petugas kesehatan belum bisa memantau
pengontrolan keteraturan pengobatan
penderita kusta dengan baik, hal ini
disebabkan karena menutup diri. Petugas
kesehatan sering menyampaikan kependerita
tentang pentingnya pengobatan teratur akan
tetapi terkadang petugas harus mengantarkan
obat kerumah pasien.
Strategi yang dianggap efektif dalam
upaya pengobatan pada penderita kusta yang
dikemukakan oleh informan adalah adanya
pengawasan dari keluarga untuk
mengingatkan dan memperhatikan selama
dalam pengobatan. Disamping itu penderita
diharapkan dapat melakukan pengobatan ke
puskesmas secara teratur dan ini merupakan
salah satu yang anggap penting oleh
informan.
Petugas kesehatan menjelaskan bahwa
perlakuan pengobatan pada penderita kusta
tipe MB harus lebih diintensifkan dikontrol
selama proses pengobatan karena akan
beresiko lebih parah apabila tidak dilakukan
secara teratur. Disamping itu pemeriksaan
terhadap penderita harus dijelaskan apa
diagnosa penyakitnya serta bagaimana cara
pengobatannya. Informan mengungkapkan
bahwa ada sedikit kendala yang didapatkan
dilapangan untuk penemuan penderita kusta,
karena masyarakat tidak mau memeriksakan
kesehatannya dan takut ketahuan menderita
kusta dan efeknya penderita tidak mau
berobat.
Masyarakat berangapan penyakit kusta
suatu penyakit yang ditakuti dan
mempercayai bahwa itu adalah kutukan dari
keturunan mereka serta masa perjalanan
atau inkubasi penyakit kusta selama dua
sampai lima tahun, jadi terasa sulit untuk
mendiagnosa suatu penyakit oleh petugas
kesehatan. Penderita kusta berupaya ke
petugas kesehatan untuk memeriksakan diri
pada saat kondisi penderita yang sudah
menderita kusta tipe MB atau tipe menular.
Hal ini disebabkan karena penderita
menganggap hanya penyakit biasa sehingga
tidak memperdulikan penyakit ini . Ini
terbentuk di masyarakat membuat penderita
kusta sulit ditanggulangi sehingga membuat
petugas sulit menemukan kasus sedini
mungkin karena masih banyak masyarakat
yang menyembunyikan penyakitnya dan
menolak berobat. Penjelasan informan yang lain yang
mengatakan bahwa sering petugas kesehatan
dalam pelacakan kasus dilapangan, dan
biasanya masyarakat tidak ada yang mau
memeriksakan diri sehingga ini mempersulit
dukungan petugas kesehatan dalam
memberikan pelayanan pengobatan. Petugas
kesehatan lebih jauh menjelaskan bahwa ini
disebabkan masyarakat takut akan ketahuan
penyakit ini .
Petugas kesehatan menjelaskan bahwa
penderita sering memberikan tanggapan
tentang peran petugas kesehatan yang
menyatakan bahwa petugas kadang-kandang
tidak aktif mengontrol keteraturan
pengobatan pada penderita. Petugas
kesehatan diniai kurang komunikatif dalam
memberikan pelayanan pengobatan pada
penderita kusta sehingga komunikasi
terkadang yang menjadi masalah. Petugas
kusta mengungkapkan bahwa pengetahuan
masyarakat serta upaya promosi kesehatan
masih yang kurang sehingga menjadi
penghambat pengobatan penderita penyakit
kusta, disamping itu menambahkan bahwa
kurangnya rasa percaya diri pada penderita
sehingga ini menjadi kendala dalam
pengobatan ke Puskesmas.
Penderita menujukan pengetahuan yang
berbeda-beda tentang penyakit kusta, mereka
beranggapan gejala ″Bercak Mati Rasa”dan
″Penyakit Kulit″. Sikap penderita yang.cenderung sensitif bila penyakitnya diketahui
orang lain serta tidak memiliki kepercayaan
diri sehingga melakukan pengobatan dengan
cara ″metappung″. Perilaku hidup bersih dan
sehat belum dipahami baik oleh keluarga
penderita serta adanya stigma masyarakat
yang menilai penyakit kusta sebagai penyakit
yang menjijikkan. Petugas kusta sering sibuk
dengan pekerjaan lain, sehingga pengobatan
penderita terkadang terabaikan. Penderita
sering menolak dilakukan pemeriksaan
tempat tinggalnya serta adanya kontak
serumah dengan penderita kustayang
terlambatberobat sehingga dapat membuka
penularan lebih besar ke orang lain.kusta40
Iridocyclitis pada kusta dapat menyebabkan perubahan pada kelopak mata akibat
gangguan saraf, otot kelopak mata, kelenjar lakrimal, kelainan pada kornea
dan kerusakan iris. Diagnosis klinis gangguan kusta mata dapat ditegakkan atas
dasar riwayat yang merupakan riwayat kontak dengan penderita kusta, Kusta
adalah penyakit menular kronis yang meskipun dapat disembuhkan, tetap
menjadi masalah kesehatan yang signifikan di banyak belahan dunia. Penyakit
ini memiliki gejala klinis yang polar (kusta multibasiler lepromatosa dan kusta
tuberkuloid paucibacillary), serta bentuk peralihan lainnya dengan karakteristik
hibrid berdasarkan keadaan klinis dan status imun pasien. Penyakit kusta
menyebabkan komplikasi pada mata dan kerusakan saraf yang berujung pada
kelumpuhan, kelainan bentuk, dan kecacatan yang mempengaruhi kualitas
hidup penderita. Kami menyajikan kasus kusta lepromatosa dengan ridosiklitis
dan kecacatan tingkat dua pada seorang pria berusia 31 tahun yang mengalami
hiperpigmentasi multipel, lesi anestesi pada wajah dan lengan dengan kedua
tangan berbentuk cakar dan mati rasa sejak sepuluh bulan yang lalu. Pasien
mengeluh mata merah nyeri tekan dan gangguan penglihatan selama satu
bulan. Pemeriksaan slit skin smear untuk M. leprae dari lesi dan daun telinga
menunjukkan indeks bakteriologis 3+ dan indeks morfologi 70%. Pasien dirawat
dengan terapi multi-obat multi basiler selama 12 bulan , pengobatan mata dan
fisioterapis untuk penatalaksanaan komprehensif.Kusta iadalah ipenyakit iinfeksi igranulomatosa
iyang idisebabkan ioleh ibakteri itahan iasam
iMycobacterium ileprae. iMekanisme ipenularan
ipatogen imasih ikurang idipahami, itetapi
ikemungkinan ibesar isaluran ipernapasan
imemainkan iperan ipenting idalam iinfeksi idroplet
imeskipun idapat iterjadi imelalui ikulit iyang
irusak.1,2 iKasus ikusta iterjadi ipada isemua iumur
ipada ipopulasi iendemik, ilebih isering ipada
ilaki-laki idaripada iperempuan, iyang imungkin
imencerminkan iperbedaan ijenis ikelamin idalam
irespon iimun. iMeskipun ifaktor igenetik iyang
itepat idapat idikaitkan idengan ikepadatan ikusta
iyang iberlebihan, ikontak iyang ilama, itidak iadanya
iriwayat ivaksinasi BCG idikenal isebagai ifaktor
irisiko ipenyakit.
Penyakit ikusta iditularkan ilangsung idari
ipenderita isecara iaktif ipada iorang ilain imelalui
isaluran ipernafasan idan ikulit. iPenyebaran ikuman
ikusta ike imata ipada iumumnya iterjadi isecara
ihematogen, inaik idari ihidung iatau iekstensi
ilangsung idari ikulit iwajah idan idahi iatau ipenularan
imelalui ikulit idan isaluran ipernafasan. iPenyakit
iperjalanan imata ipada ikusta iterjadi idalam idua
ibentuk, iyaitu ituberkuloid idan ilepromatosa.
iGangguan imata ipada ikusta idapat imenyebabkan
iperubahan ipada ikelopak imata iakibat igangguan
isaraf idan iotot ikelopak imata, ikelenjar ilakrimal,
ikelainan ikornea idan ikerusakan iiris. I4.5iDiagnosis
iklinis igangguan ikusta idan gangguanimata idapat
iditegakkan iatas idasar iriwayat iseperti iriwayat
ikontak idengan ipenderita ikusta, ipemeriksaan
ioftalmologi idan ipemeriksaan ipenunjang iyang
isesuai idengan igejala iklinis.
Jumlah ipenderita ikusta iyang iterdaftarimenurun idari i5 ijuta ipada itahun i1985 imenjadi
i0,7 ijuta ipada itahun i2001. iSelama iperiode i2000-
2005, ipenurunan iglobal idalam ipenemuan ikasus
isangat idramatis i(sekitar i58%) idan ijauh ilebih
iterbatas i(18%) iselama iperiode i2006- i2009. iPada
iawal itahun i2008, iWHO imelaporkan iprevalensi
ikusta iterdaftar isecara iglobal isebanyak i212.802
ikasus idan ikejadian i254.525 ikasus. iHanya itiga
inegara i(Brazil, iNepal, idan iTimor-Leste) iyang
imasih imelaporkan iangka iprevalensi idi iatas
itarget isatu iper i10.000 iPenduduk. iDi iAmerika
iSerikat, iada isekitar i150 ikasus ibaru ikusta isetiap
itahunnya, inamun isejak i2010 idilaporkan i72
ikasus, idan i19 ikasus iterjadi ipada i2015. iMenurut
iDinas iKesehatan iProvinsi iAceh, iangka iangka
ipenemuan ikasus ibaru ipada i2013 imencapai i9
iper i100.000 ipenduduk. iJuga, itotal ikasus iyang
ibaru iteridentifikasi ipada itahun i2011, iTahun i2012
idan i2013 iberturut-turut isebanyak i48 ikasus, i51
ikasus, idan i45 ikasus.
Kusta ididiagnosis iketika isetidaknya isatu
idari itanda-tanda iutama iberikut idimanifestasikan
isebagai ihilangnya isensasi iyang ipasti ipada ibercak
ikulit iyang ihipopigmentasi iatau ikemerahan, isaraf
itepi iyang imenebal iatau imembesar, idan iadanya
ibasil itahan iasam idalam iapusan ikulit icelah.
iRagam ibentuk iklinis ikusta iberkaitan idengan
ijenis idan ikekuatan irespon iimun, isehingga iada
iklasifikasi iyang ipaling ibanyak idigunakan isaat
iini iyaitu iRidley-Jopling idan iWHO. iBerdasarkan
ikriteria iWHO ipenyakit ikusta idibagi imenjadi
idua ikelompok itergantung ijumlah ilesi ikulit idan
ipemeriksaan ihapusan ilesi ikulit. iAda iPaucibacillary
i(PB) idan iMultibacillary i(MB). iKlasifikasi iRidley
idan iJopling idibagi imenjadi ibeberapa ikelompok
iberdasarkan ikekebalan ipasien, iyaitu iindeterminate
i(I), ituberculoid i(TT), iBorderline ituberculoid i(BT),
imid-borderline i(BB), iBorderline ilepromatous i(BL)
idan ilepromatous ileprosy i(LL).
Pengobatan ipenyakit ikusta iditujukan
iuntuk imenyembuhkan ipenderita, imenghindari
ikecacatan idan imenghilangkan iefek ipenularan.
iJika ipenderita itidak imengkonsumsi iobat isecara
iteratur, ijenis ipenyakit ikusta itersebut iakan ikebal
idan imenimbulkan igejala ipermanen iatau ibahkan
igejala ibaru iyang ilebih iburuk. iTiga iobat ilini
ipertama istandar iyaitu irifampisin, iklofazimin, idan
idapson itersedia iuntuk idigunakan idalam iterapi
imultidrug i(MDT) idengan idurasi itetap
Reaksi ikusta imempengaruhi i30 isampai
i50% ipenderita iyang isering imuncul ipada iawal
ipengobatan inamun idapat iterjadi ikapan isaja
iselama ipenyakit iberlangsung. iReaksi itersebut
idapat imempengaruhi ikulit daniorgan ilain iseperti
imata, reaksi ini juga dapat imenyebabkan ikerusakan
ipermanen ipada isaraf iyang iberisiko itinggi
imengalami ikecacatan. Gangguan imata ipada ikusta
ialah salah satunya iridosiklitis yang dapat menjadi
ikomplikasi ilain itermasuk ikebutaan, idan ihal iini
ibiasa iterjadi ipada ikusta ilepromatosa. iPenglihatan
iberkurang idan ilagophthalmos, ikerusakan iyang
iterlihat idan ihilangnya ijaringan ipada itangan idan
ikaki iadalah icacat itingkat idua ijuga icakar itangan
idan ikaki ijatuh. iManajemen ikecacatan iharus
imenjadi ibagian iintegral idari ilayanan iperawatan
irutin; iitu iharus imencakup ipenyediaan ialat ibantu
idan iperalatan, iperawatan imedis ispesialis, idan
ifasilitas irekonstruksi idan irehabilitasi ibedah.
Perjalanan ipenyakit imata ipada ipenyakit
ikusta iterbagi imenjadi idua ibentuk, iyaitu:
ituberkuloid idan ilepromatosa. iPada ibentuk
ituberkuloid, iterdapat isedikit ilesi ipada ikulit
idan isaraf, idan itidak imempengaruhi iorgan iyang
ilebih idalam.iBentuk iini ijarang ibermanifestasi
isecara iintraokular, itetapi ilebih isering iterjadi
ipada imata iluar iseperti ilagophtlamus i, ipaparan
ikeratitis idan ikekeruhan ikornea. iBentuk ilesi
iyang iditemukan ipada ikulit ipalpebra iberbatas
itegas, ihipopigmentasi idan ihipoanestesi. iBentuk
ilepromatosa isering ibermanifestasi isebagai
iuveitis iintraokular, iiritis, iatrofi iiris. iLesi ikulit
itidak iberbatas itegas, imenebal, imengalami
ihiperpigmentasi idan ianestesi. iKerusakan
isaraf iterjadi iakibat iinvasi idan iinfiltrasi ikuman
ikusta ike iserabut isaraf isehingga imenyebabkan
ipembengkakan iatau ipenebalan isaraf itepi. iKelainan
ipada ipalpebra ikelopak imata idan iotot ipalpebral
idikaitkan idengan igangguan isaraf itrigeminal idanisaraf iwajah. iKerusakan icabang izygomatik idan
itemporal isaraf iwajah imenyebabkan iparese iotot
iorbicularis ioculi, imengakibatkan ilagophthalmus.
iGangguan iini idiperparah ioleh ikekakuan ipalpebral,
iatrofi ikulit, idan iotot iorbicularis.
Gangguan imata iakibat iinfeksi ibakteri
iMycobacterium ileprae iada i4 icara iyaitu:
1. Infiltrasi ilangsung ikuman ikusta ipada imata
iatau ikelopak imata.
2. Paparan ilangsung ikusta ipada isaraf itrigeminal
idan isaraf iwajah. i
3. Radang imata isekunder iakibat iinfiltrasi ikuman
ikusta. i
4. Komplikasi isekunder iakibat iinfeksi ikuman idi
sekitar imata.
Kerusakan i cabang ioftalmikus isaraf
itrigeminal imenimbulkan ianestesi ikonjungtiva
idan ikornea iyang imengakibatkan ihilangnya
isensasi, ikekeringan, iperadangan idan iinfeksi ipada
ikornea.3,12 iKerusakan igabungan isaraf itrigeminal
idan isaraf iwajah idapat iterjadi ipada iawal ipenyakit
isehingga isering iterjadi ipaparan ikeratitis iyang
imenyebabkan ikekeruhan idan ikerusakan ikornea.
iUlserasi ikornea idapat imengakibatkan ikerusakan
ikornea.3,6,7,14iLesi ikornea idapat idisebabkan
ioleh idua ifaktor, ipertama isecara ilangsung
imelalui iperadangan ipada iiris idan ibadan isiliaris
iyang iberulang idan iberkepanjangan isehingga
imenyebabkan igangguan ifungsi iendotel ikornea
isehingga iterjadi iedema ikornea. iKedua, ilesi ikornea
iterjadi iberupa ierosi, ikeratitis idan iulkus ikornea
iyang idisebabkan ioleh ilagoftalmus idan ipenurunan
isensasi ikornea iakibat ikerusakan isaraf itrigeminal
idan isaraf ifasialis, imenyebabkan ipaparan ikeratitis
ipada ipermukaan ikornea.4,6,13iAnatomi iiris idan
itubuh isiliaris imemiliki ibanyak iserabut iotot ikecil
idan iserabut isaraf ibermielin. i12,16iLetak iiris idan
ibadan isiliaris ijuga imerupakan idaerah iyang icukup
itertutup idan ijaringan irelatif idingin, isehingga
imerupakan itempat ipredileksi imengembangkan
imycobacterium ileprae.
Seorang ilaki-laki iberumur i31 itahun idengan
iriwayat i10 itahun imati irasa, ikelainan ibentuk ipada
ikedua itangan idan ikakinya ijuga isering imuncul
ibenjolan imerah iterutama ipada ibagian iwajah idan
ilengan. iTerkadang ipasien imeminum iobat iherbal
idari itoko iobat iuntuk imeredakan igejalanya,
inamun itetap isaja ikambuh iapalagi ijika iterlalu
ilelah ibekerja. iTidak iada isatu ipun ikeluarga ipasien
iyang imemiliki ikeluhan iserupa, idan imenyangkal
imemiliki iriwayat iperjalanan ike idaerah iendemis
ikusta. iSelain iitu, idia isebelumnya itidak ipernah
ibersentuhan idengan ipenderita ikusta. iSejak isatu
ibulan ilalu, iia imengeluh ikemerahan idan inyeri idi
ikedua imatanya idengan ipenglihatan ikabur.
Pada pemeriksan fisik didapatkan kondisi
umum pasien baik, tanda vital dalam batas normal
dan status gizi adekuat dengan berat badan 44 kg.
Penglihatan di mata kanan adalah 6/9 dan mata kiri
adalah 6/12 diukur pada grafik Snellen chart. Terlihat
adanya injeksi siliar dikedua mata. Pada pemeriksaan
Slit lamp, segmen anterior menunjukkan adanya
Keratik precipitat di kedua mata dan ruang anterior
menunjukkan 2+ sel dan sel vitreus, pupil tidak
teratur dan reaktif secara segmental dan sinekia
posterior. Konjungtiva normal. Pemeriksaan fundus
dilatasi menunjukkan adanya buram tepi diskus
dan vena berliku-liku di mata kanan dan mata kiri
menunjukkan adanya buram tepi diskus, vena berlikuliku dan perdarahan sepanjang arcade superior dan
inferior sugestif edema disk kronis. Pemeriksaan
mata tidak menunjukkan adanya lagophthalmos,
otot kelopak mata kuat.
Pada ipemeriksaan ifisik, ikulitnya imengering
idengan ibercak ihiperpigmentasi idan ibeberapa
iinfiltrasi idi iwajah idan iekstremitas iyang idibius
iuntuk idisentuh idan iditusuk. ditemuksn ianestesi
ipada iitangan idengan ikelumpuhan iotot itangan
iyang imenyebabkan ijari-jari imencakar idan
itidak idigunakannya iatrofi. iSaraf itepi ihanya
imenunjukkan ipembesaran isaraf iauricularis
imagnus, itetapi itidak iada isensasi inyeri idan
igoresan ikulit iapusan iditemukan iindeks ibakterii+3 idan iindeks imorfologi i70%.
Maka, ididiagnosa ipasien iini iadalah ikusta
ilepromatosa idengan isuspect iiridocyclitis. iPasien
idiberikan iregimen irifampisin iharian igabungan
i(600 img isetiap ibulan), idapson i(100 img isetiap
ihari) idan iclofazimine i(300 img isetiap ibulan
idan i50 img isetiap ihari) iselama i12 ibulan. iDia
ijuga imendapat ikortikosteroid isistemik idan
ilokal idengan itetes imydriatic i2-3 ikali isehari.
iDia imenanggapi iterapi idengan ibaik itanpa iefek
isamping iatau ireaksi iyang idimediasi isecara
iimunologis. iKeluhan imata imembaik idalam
iseminggu ipengobatan, isehingga ikortikosteroid
ioral idianggap iefektif dalam pengobatanisesuai
iprosedur idan ipengobatan ipada ikulit imendapat
iurea i10% iyang idioleskan idua ikali isehari isebagai
iterapi itopikal iuntuk ibercak ihiperpigmentasi idan
ikulit ikering. Pasien juga mendapatkan kortikosteroid
sistemik dan lokal dengan tetes mydriatic
kali sehari. mendorong pasien untuk menemui
fisioterapis terkait kecacatannya.
Penyakit mata lebih isering iterjadi ipada ipasien
idengan ibentuk ilepromatosa idaripada ipada
ibentuk ituberkuloid. iKelainan imata ipada ipenyakit
ikusta ilebih isering imenyerang idaerah ianterior
imata idaripada ibagian iposterior.5,14iKeluhan iyang
isering itimbul ipada ipenderita isangat ibervariasi,
itergantung idari imanifestasi iyang itampak ipada
imata. iBeberapa ikeluhan imata iadalah irobekan
iatau ilakrimasi iyang iberlebihan, iepifora, irasa
iterbakar ipada imata, iterutama isaat iAnda
ibangun idi ipagi ihari. iPenderita isering imengeluh
itidak idapat imemejamkan imata ikarena iadanya
ilagoftlamus, imata imerah, isilau, iperasaan ilengket,
imata ikabur ihingga ipenurunan ipenglihatan iyang
iprogresif itajam.. iManifestasi igangguan
imata ilainnya ipada ipenyakit ikusta iadalah
ikeratitis,ipanus idan ipenebalan isaraf ikornea.
Gangguan imata ipada ikusta idapat iterjadi
iberupa iskleritis, iiridosiklitis, idan iepiskleritis.
iPatofisiologi iskleritis ibelum idiketahui isecara ipasti.
iTanda-tanda iutama iiridosiklitis iadalah iinjeksi
isiliaris idan iinjeksi ikonjungtiva, iedema ikornea,
isel idan iflare idi idepan imata, ipenyempitan ipupil
idan iatrofi iiris. iduktus inasolakrimalis iyang
iterjadi iakibat ikerusakan imukosa ihidung idan
iabsorpsi itulang ihidung.
Kusta iatau ipenyakit iHansen imenampilkan
ispektrum ikarakteristik iklinis, ibakteriologis,
iimunologis, idan idermatopatologis. iPresentasi
iklinisnya ibermacam-macam ikarena ikombinasi
idari isetiap ilesi ikulit iprimer iyang iberbeda
idengan iatau itanpa itanda-tanda iperadangan
idan igejala isisa ikerusakan isaraf tepi yang dapat
menyebabkan ihilangnya ikemampuan iuntukimerasakan isentuhan,inyeri, dan icedera iseperti
iluka idan iluka ibakar.
Kulit iyang iterkena iberubah iwarna idan
imenjadi ilebih iterang iatau ilebih igelap, isering
ikali ikering iatau ibersisik, iatau ikemerahan ikarena
iperadangan ipada ikulit. iKlasifikasi iRidley-Jopling
imengenali ispektrum irespons iyang idimediasi isel
iterhadap iinfeksi iM. Ileprae, idengan idemikian
idapat idigunakan iuntuk imengidentifikasi ipasien
iyang idianggap itidak istabil isecara iimunologis
idan iberisiko imengalami ireaksi ikusta. iKusta.
Penyakit ini iditandai idengan ipenyakit iyang ijauh
ilebih iumum, iketerlibatan ikulit iyang imenyebar,
ipenebalan ibanyak isaraf itepi, idan ikadang-kadang
iketerlibatan iorgan ilain, iseperti imata, ihidung,
itestis, idan itulang. iSubtipe iperantara iadalah
ituberkuloid igaris ibatas, igaris ibatas itengah, idan
ikusta ilepromatosa igaris ibatas. iKusta iperbatasan
idan isubtipe imemiliki iciri iyang ilebih iluas.
Dalam ikasus iini, iditemukan ikulit iyang isangat
ikering, ibanyak ibercak ihiperpigmentasi idan
iinfiltrat iyang imenyebar idi iwajah idan ilengannya
idengan isensasi ianestesi isaat idisentuh, inyeri
idan ipanas. Ipenderita juga imemiliki ianestesi
idan ikelainan ibentuk ipada itangan(stocking) atau
ekstremitas iatas idan ibawah. iPada ipemeriksaan
isaraf iditemukan iadanya ipembesaran ipada isaraf
iauricularis imagnus. iKami imelakukan islit-skin
ismear, idan ihasilnya i3+ iuntuk iBacteriological
iIndex idan i70% iuntuk iMorphological iIndex.
iBerdasarkan ianamnesa itersebut, igambaran iklinis
idan itemuan ilaboratorium iyang imendukung
idugaan ikami ibahwa ipasien imenderita ikusta
ilepromatosa.
Penyakit mataiterlibat idalam ikusta idalam itiga
icara isebagai ikomplikasi idari iketerlibatan iwajah
idan ikadang-kadang isaraf itrigeminal, idengan
iinvasi ibola imata ioleh isejumlah ibesar iBTA ipada
ikusta ilepromatosa, idan ipartisipasi idalam ireaksi
iumum iatau ifase ireaktif. iIni iadalah ipenyebab
iutama ikebutaan ipermanen. iIridocyclitis iadalah
iperadangan ipada iiris, idan ibadan isiliaris biasanya
iterjadi ibilateral, imemiliki iperjalanan iyang isangat
ikronis idengan ieksaserbasi iakut. iIridosiklitis iakut
idiikuti ireaksi ikusta idan isering iterjadi ipada ikasus
itipe ilepromatosa idan igaris ibatas itetapi ijarang
ipada ikusta ituberkuloid. Secara iklinis, ikita ibisa
imelihat ihiperemia isiliaris iringan ipada ikonjungtiva
isebelah ilimbus. iDengan islit ilamp, itanda iyang
ipaling iawal iadalah iendapan ikeratic i(KP) idi
ibagian ibelakang ikornea, iterjadi iflare, idan isel-sel
iyang imengapung idi iruang ianteriornya; iini ijuga
imerupakan itanda iterakhir iuntuk imenghilang.18
.Iridocyclitis imungkin iunilateral iatau ibilateral idan
idisalahartikan isebagai ikonjungtivitis, iterutama
ikarena idapat iterjadi idengan isendirinya, itanpa
iadanya itanda-tanda ireaksi.Sebaiknya dilakukan
pelebaran pupil. Setiap ketidakteraturan iakibat
isinekia iakan imenjadi idiagnosis, tetapi sulit
apakah iiridosiklitis iaktif atau tidak. iJika idilatasi
imengurangi irasa isakitnya, ikemungkinan iitu
iaktif.
Iridocyclitis ibiasanya imerespon ipengobatan
idengan ibaik, ijika itidak idiobati, idapat
imenyebabkan ikerusakan ipermanen idan
ikehilangan ipenglihatan iakibat iperkembangan
glaukoma, katarak, atau edema retinal. Perawatan
dilkaukan dengan pemberian tetes mata midriatikum
untuk melebarkan ipupil, idikombinasikan idengan
iobat ianti-inflamasi iyang ibiasanya imemakan
iwaktu ibeberapa ihari iatau beberapa iminggu.
iJika ikemerahan iatau inyeri iterus iberlanjut, iatau
ijika ikornea imatanya ikeruh, ipasienimembutuhkan
isteroid dan untuk kasus iniijarang imelalui steroid
ioral. iPasien iharus iminum iobat ikusta ipada iwaktu
iyang ibersamaan. iJika imengalami iReaksi iTipe iDua
i(ENL) ikronis, ipasien imungkin imemerlukan iatropin
isekali iseminggu idan isalep isteroid isetiap ihari
iselama iberbulan-bulan.
Reaksi ikusta iadalah irespon itubuh iterhadap
iinfeksi idengan imenjadi iperadangan itambalan
ikulit, isaraf, imata idan iorgan idalam idalam
ibeberapa ikasus. iPeradangan isaraf iyang
iparah idan isangat nyeri, itetapi ikadang-kadang
iperadangan idapat imenghancurkan isaraf itanpa
iorang imerasakan iapa-apa.10 iSaraf iyang irusak
iadalah irisiko ikecacatan iyang itinggi, ipenting iuntuk
imenangani ireaksi idengan icepat. i pentingiuntukimenilai ikecacatan iyang idialami ipasien ipada iawal
ipengobatan selama iterapi.
Regimen iyang idigunakan iuntuk imengobati
ikusta iadalah iterapi iobat imultipel i(MDT),
iseperti iyang idianjurkan ioleh iWHO. iKombinasi
iini imencegah iperkembangan ibasil iyang iresistan
iterhadap iobat idan itelah imemperpendek idurasi
ipengobatan imenjadi i12 ibulan iuntuk ikusta
imultibasiler idengan i600 img irifampisin idan i300
img iclofazimine idosis ibulanan, i100 img idapson
idan i50 img iclofazimine iuntuk idosis iharian,
inamun idemikian, ipaucibacillary ipengobatan ikusta
ihanya ienam ibulan itanpa iclofazimine. iMasalah
iterbesar iyang imungkin iditemukan iadalah iefek
isamping iobat, iTanda ikerusakan isaraf ibaru iatau
iperadangan i(reaksi) imenjadi imasalah isosial ibaru
iyang iberhubungan idengan ikusta. iEfek isamping
ipengobatan iyang iserius ijarang iterjadi. iEfek
isamping iyang ilebih iparah iadalah ialergi iobat
iterhadap isalah isatu iobat idan ipenyakit ikuning,
ijika iterjadi iobat iharus idihentikan.
Pengobatan ipasien imenggunakan iMDT
imultibacillary iselama i12 ibulan idan i10% iurea
isebagai iterapi itopikal iuntuk ipelembab. Dari
sisi optalmologis, penderita diberkan terapi
ikortikosteroid ioral idan ilokal isebagai iantiradang
iserta itetes imydriatic i2-3 ikali isehari iuntuk
imelebarkan ipupil. iDalam iseminggu ipengobatan,
ikedua imata imembaik idengan ikemerahan idan
inyeri iyang iberkurang. Ipasien direncakaniuntuk
dikonsultasikan i k e ifisioterapis iterkait
ikecacatannya. idiberikan iedukasi ikepada ipasien
itentang ipenyakitnya, irencana ipengobatannya,
ipentingnya imelanjutkan iterapi ijangka ipanjang
isampai ikursus iselesai, iefek isamping iobat iyaitu
irifampisin imengubah iurin imenjadi imerah, idan
ipasien imungkin imerasa imual idan imuntah iselama
ipengobatan. pasien iharus imakan imakanan ibergizi
iagar itubuhnya ilebih ikuat imelawan ibakteri.
Maka idilaporkan isatu ikasus iiridosiklitis
idengan ikusta ilepromatosa ipada iseorang ipria
iberusia i31 itahun iyang idiobati idengan iterapi
imultidrug iuntuk imultibasiler iselama i12 ibulan,
ikortikosteroid ioral idan itetes imata. iPerbaikan
imata iterlihat isetelah isatu iminggu ipengobatan
itidak iada ilagi ikemerahan idan inyeri. iTidak iada
iefek isamping iyang iditunjukkan iselama iterapi.
Penyebaran ikuman ikusta ike imata ipada
iumumnya iterjadi isecara ihematogen, inaik
idari ihidung iatau iekstensi ilangsung idari ikulit
iwajah idan idahi iatau ipenularan imelalui ikulit
idan isaluran ipernafasan. iPerjalanan ipenyakit
imata ipada ikusta iterjadi idalam idua ibentuk
iyaitu ituberkuloid idan ilepromatosa. iKelainan
imata ipada ipenyakit ikusta idapat imenyebabkan
iperubahan ikelopak imata iakibat ikelainan ipada
isaraf idan iotot ikelopak imata, ikelenjar ilakrimal,
ikelainan ipada ikornea idan ikerusakan ipada iiris.
iSecara iklinis idiagnosis ikelainan ikusta imata idapat
iditegakkan iberdasarkan ianamnesis iseperti iriwayat
ikontak idengan ipenderita ikusta, ipemeriksaan
ioftalmologi idan ipemeriksaan ipenunjang isesuai
igejala iklinis. iTerapi iyang ipaling iefektif isaat iini
iadalah ipemberian iMulty iDrug iTherapy i(MDT)
iyaitu iRifampisin, iDapson, idan iLampren